PENDIDIKAN YANG BERTRANSFORMASI
I.
Pendahuluan Perubahan sosial merupakan tema yang sangat banyak diperbincangkan dunia saat ini. Di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang tema ini menjadi topik kajian para ilmu sosial. Namun tema ini paling serius dibicarakan di oleh dan untuk negara-negara berkembang. Menurut Agus Salim (2002: 1-7) perubahan sosial merupakan sebuah peradaban manusia menuju ke arah perbaikan dan kesempurnaan, akibat adanya eskalasi perubahan alam, biologis, fisik yang terjadi sepanjang kehidupan manusia. Sedangkan di bagian lain Sudarsono Wiryohandoyo dalam pengantar buku Agus Salim (2002:xix) tersebut mengatakan bahwa peruhanan sosial adalah sebuah proses perubahan bentuk yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan masyarakat, terjadi baik secara alami maupun karena rekayasa sosial. Proses tersebut terjadi sepanjang sejarah manusia dan bersifat global, di seluruh dunia. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa perubahan sosial merupakan sebuah proses yang luas dan lengkap yang mencakup seluruh tatanan kehidupan manusia. Proses ini diharapkan menghasilkan sebuah integritas sosial sebab perubahan itu sendiri memuat sejumlah pilihan yang mengedepankan kepentingan masyarakat dengan memperhitungkan budaya daerah setempat maupun budaya luar yang pada akhirnya menghasilkan kepribadian atau karakter sebuah bangsa. Telah diketengahkan bahwa perubahan sosial dapat terjadi secara alamiah maupun direkayasa oleh manusia. Dari sana kita dapat membagi bentuk proses perubahan tersebut menjadi dua bagian. Bentuk proses intern dan ekstern. Penyebab intern diakibatkan oleh kepadatan penduduk, permusuhan, peperangan, persaingan dalam masyarakat dan bencana alam. Sedangkan sebab ekstern antara lain oleh adanya globalisasi, perkembangan dan kemajuan Iptek, pergaulan dengan masyarakat luar, media massa, agama, idiologi, pengaruh kebudayaan luar dan pendidikan dan hal lainnya. Dan makalah kecil sederhana ini, mau mencoba meneropong perubahan sosial yang terjadi akibat hal terakhir tersebut, pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia. Sudah seberapa jauh pendidikan (sekolah) membantu masyarakat Indonesia mentransformasikan diri atau melakukan perubahan diri. II.
Pendidikan Indonesia Bertransformasi? Sejarah pendidikan di Indonesia sudah ada sejak masa kerajaan-kerajaan dahulu. Kerajaan Buddha dan terbesar di Nusantara selain Majapahit yang bertempat di Sumatra Selatan saat ini, kerajaan Sriwijaya pernah mengirim orang-orang terpelajarnya ke India untuk memperdalam agama Buddha. Sejak masuknya penjajahan di Indonesia sistem pendidikan mulai bersifat modern selaras dengan model pendidikan yang dibawa oleh kaum penjajah. Pendidikan saat itu hanya bertujuan untuk mengambil hati penduduk pribumi khususnya kaum priayi untuk memperteguh kekuasaan, membantu memperlancar pekerjaan-pekerjaan kecil (menulis) mereka. Karena itu yang berkesempatan untuk bersekolah adalah anak-anak para pejabat (rendahan) dan sekolah itu pun hanya pada tingkatan dasar hingga menengah. Pada awal abad XX pendidikan mulai berkembang dan terbuka untuk sebagian besar masyarakat pribumi. Pendidikan tinggi di Indonesia pun mulai dibuka, yakni sekolah untuk kedokteran (Stovia) dan sekolah tehnik. Pada waktu iitu juga ada beasiswa-beasiswa yang diberikan oleh pihak Belanda kepada pemuda-pemuda Indonesia yang cerdas untuk disekolah di Belanda. Namun mereka yang mengenyam pendidikan itu pun belum seberapa
bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan pendudk pribumi saat itu. namun berkat mereka yang sedikit itu, akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa terwujud dan akhirnya memuncak dengan diraihnya kemerdekaan Indonesia. Melihat bukti sejarah ini dapatlah dikatakan bahwa pendidikan saat itu walaupun terbatas dan hanya dikecapi oleh sebagian kecil masyarakat tetapi ia mampu dan menjadi salah satu aspek pendorong terjadinya transformasi sosial pada sejarah manusia Indonesia. Setelah kemerdekaan secara bertahap sistem pendidikan di Indonesia semakin maju dan berkembang. Sekolah dan universitas banyak didirikan di mana-mana walau pun masih juga belum cukup untuk memberantas kebodohan yang sedang dialami bangsa ini. Namun ternyata dengan berkembangnya pendidikan di Indonesia, tidak mampu menjawab tantangan jaman yang ada. Berbagai persoalan sosial yang ada di masyarakat yang berhubungan dengan pendidikan selalu mucul silih berganti dan belum dapat teratasi. Memang harus diakui bahwa di satu sisi pendidikan di Indonesia telah membawa warna baru untuk kehidupan bangsa. Berbagai kemajuan telah kita kecapi, namun hal-hal hakiki menyangkut persoalan hidup manusia yang seyogyanya dapat diredam oleh mereka yang berpendidikan dan oleh pendidikan itu sendiri tak terlihat kekuatannya. Persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme, penegakkan supremasi hukum tak terselesaikan dan itu dilakukuan oleh oknum terdidik. Pengangguran yang sangat banyak setelah selesai pendidikan menunjukkan ketidakmampuan sistem pendidikan kita untuk menghasilkan out put yang siap pakai. Pendidikan Indonesia terkesan pendidikan menghafal dan bukan pendidikan untuk mengasah kreatifitas anak didik. Di sisi lain pendidikan yang sering dikatakan “untuk semua” ternyata hanyalah slogan belaka. Untuk masuk ke sekolah, seorang anak harus membayar mahal. Akibatnya yang mengecap pendidikan adalah mereka yang memiliki uang sedangkan yang miskin tetap saja terpinggirkan, tetap saja bodoh. Sarana prasaran pendidikan pun hampir semuanya terpusat di kota-kota (besar) sedangkan di daerah pinggiran dan pedalaman masih harus rela mengecap pendidikan dengan sarana ala kadarnya malah menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk merasakan “nikmatnya” mengecap pendidikan dasar. Dan anehnya, bangsa ini tetap saja mendewakan mereka yang berpendidikan. Bagi yang tak berpendidikan dianggap tak memiliki apa-apa. Sekolah telah membangun jembatan sempit untuk menyeberangi jurang sosial yang semakin lebar. Sebagai satusatunya lintasan yang sah menuju kelas menengah, sekolah membatasi semua lintasan nonkonvensional (bukan sekolah) dan membiarkan orang yang gagal untuk menanggung kesalahan atas keterpinggirannya (Ivan Illch 2002:126). Pendewaan terhadap pendidikan ini, membuat masyarakat kita berusaha untuk sekolah. Tetapi sebaliknya, sekolah tidak mempersiapkan proses yang baik yang dapat menciptakan out put yang handal malah terkesan hanya untuk pemenuhan tanggung jawab formal dan pengejaran titel semata. Jangan heran bila banyak dari kita yang memiliki gelar tetapi tidak pernah mengikuti proses perkuliahan. Tidak aneh pula bila sebuah gelar keserjanaan yang diraih bukan hasil keringat sendiri tetapi usaha orang lain. Penulisan skripsi dilakukan oleh orang lain, misalnya. Dengan demikian sebenarnya sekolah telah menciptakan dan memperlebar jurang sosial yang ada di dalam masyarakat. Jurang sosial yang sebenarnya semu sebab bukan atas dasar kualitas tetapi spekulasi. Sadar atau tidak, sekarang ini sudah ada dan banyak penolakan terhadap pendidikan (sekolah). Banyak anak-anak tak mau bersekolah lagi. Hal ini bukan diakibatkan oleh lemahnya kemampuan intelektual mereka tetapi pendidikan di sekolah tidak menyentuh hakekat terdalam dari kebutuhan mereka sendiri. Kemajuan ilmu pengetahuan dan globalisasi yang sedang melanda dunia saat ini, membuat segalanya berubah secara cepat. Pendidikan yang didapat di sekolah nampaknya
sudah jauh dari perkembangan yang ada. Sekolah mengajarkan bagaimana orang dapat mengetik dengan mesin tik tetapi dalam praktek keseharian mesin tik tidak dipakai lagi. Di ruang kuliah mahasiswa diajarkan tentang pembagian media elektronik dan media catak tetapi bagaimana kita harus menjelaskan dan mengkategorikan internet dan fax mail? Sekolah selalu terlambat dari kehidupan praktis dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang sedang manusia hadapi. Dan ternyata sekolah yang paling elit pun tidak mampu lagi membekali murid-muridnya dengan pengetahuan dan pegangan yang memadai untuk menghadapi tantangan zaman ini (Sindhunata 2000:10). Dominasi pemerintah atas dunia pendidikan merupakan salah satu hal yang terjadi di Indonesia. UU Sistem Pendidikan Nasional menjadi salah satu contohnya. UU ini dinilai mengandung banyak kontroversi, akibatnya banyak demontrasi yang menentangnya. Sekolah dibentuk oleh dan demi kepentingan negara. Jo Verhaar S.J mengungkapkan pendidikan adalah sentralisme birokrasi dan kehomogenan pengurusan pendidikan (2003:44). Sekolah menjadi lahan menanamkan pengetahuan yang membenarkan perilaku penguasa. Akibatnya sekolah bukan menjadi tempat yang kondusif untuk bepikir dan berkreasi secara bebas malah berubah menjadi tempat untuk mendikte anak. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyak kontrol yang diterapkan. Guru dikontrol oleh kepala sekolah dan orang tua, kepala sekolah dikontrol oleh dinas pendidikan, dinas pendidikan dikontrol oleh depertemen pendidikan dan kontrol lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, metode pendidikan lama yang masih terus dipakai hingga saat ini membuat pendidikan Indonesia tidak bergerak maju. Guru menjadi dewa serba tahu dan murid menjadi pendengar setia yang tak boleh bertanya apalagi membantah. Hal ini diperparah dengan kurikulum sekolah yang seperti “kepompong” selalu berubahubah seturut pergantian menteri. Dari fenomena pendidikan saat ini, Mochtar Buchari mengemukakan bahwa pendidikan Indonesia memiliki wajah kontras sepanjang tahun 1908-1998 yakni pendidikan sebelum kemerdekaan dan pendidikan paska kemerdekaan. Ia membuat generalisasi sejarah untuk menjelaskan kontradiksi pendidikan Indonesia ini. Pertama, pendidikan sebelum kemerdekaan memiliki dasar yang kuat sehingga melahirkan kemampuan dan semangat intelektual yang tinggi. Sedangkan masa paska kemerdekaan akibat ekspansi pendidikan yang makin cepat membuat perhatian kepada mutu pendidikan mulai merosot. Kedua, zaman pra kemerdekaan yang ada adalah semangat “melawan dan membebaskan” yang membuat pendidikan saat itu berdaya guna dan digunakan sebaik mungkin sedangkan paska kemerdekaan yang berkembang adalah semangat “mengabdi pada penguasa” akibatnya pendidikannya pun cenderung dikuasai oleh negara dan tidak berdaya inovatif. Berhadapan dengan kenyataan ini, bersama Sabine Etzold, kita bertanya mungkinkah pendidikan kita masih mempunyai masa depan? Apakah pendidikan kita masih mampu mendorong/mentransformasi kehidupan masyarakat? Paulo Freire mengatakan bahwa ia mewacanakan dan mengusahakan pendidikan karena ketika tidak ada yang bisa diperbuat, pendidikan justru dapat berbuat sesuatu. Pendidikan progresif harus melihat apa yang bisa diperbuat untuk merealisasikan tujuantujuan secara tangkas (2003:15). Dan kita harus menyepakati hal tersebut bahwa pendidikan mempunyai kompetensi untuk berbuat sesuatu dan mendorong terjadinya perubahan yang diharapkan. Karena hanya dengan pendidikan (sekolah) hal-hal dasar menyangkut ilmu pengetahuan dapat kita terima secara sistimatis walau pun agak terlambat dari kemajuan yang ada. Dan pertanyaan lanjutannya adalah model pendidikan bagaimanakah yang mampu mendorong/mentransformasikan masyarakat Indonesia?
Yang dimaksudkan dengan transformasi sosial oleh pendidikan adalah perubahan relasi sosial menuju proses emansipatoris (Mansur Fakih 2002:44). Di mana kaum marjinal dan miskin mendapat fokus utama dalam pendidikan baik dari segi struktural maupun advokasinya. Sehingga kelayakan untuk hidup dan tiga semboyan revolusi Prancis itu “kebebasan, persaudaraan dan kesamaan” itu dapat terjadi di dalam kehidupan bangsa ini. III.
Pendidikan Masa Depan Untuk membenah pendidikan nasional, tentunya harus mengubah paradigma lama dengan yang baru. Dan paradigma baru itu pun haruslah benar-benar telah terkaji secara matang agar menemukan bentuk pendidikan yang holistik-komprehensif tetapi tidak menghilangkan spesifikasinya. Karena itu harus memperhitungkan sisi kebutuhan pendidikan, eksistensi manusia itu sendiri, budaya setempat dan kebutuhan masyarakat global. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membenahi pendidikan nasional kita, antara lain: Pendidikan Dikembalikan Kepada Masyarakat (dari oleh dan untuk) Menurut Jo Verhaar, S.J (2000:45) perkembangan mutakhir dalam dunia pendidikan banyak negara kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, sistem “pendidikan” semakin dipandang sebagai peralihan pengetahuan dan ketrampilan dari mereka yang sudah memilikinya kepada yang belum: sifatnya “pengajaran. Untuk pengajaran itu tidak mutlak harus sekolah, dapat juga dilakukan sendiri tanpa pengajar, misalnya kursus komputer. Kedua, pengajaran berubah menjadi “pendidikan” hanya terjadi ketika dalam proses transfer ilmu itu terjadi bimbingan kepada pihak yang belajar. Dan di banyak negara, peranan orang tua dalam kepengurusan sekolah-sekolah sudah semakin diakui, peranan pemerintah mulai berkurang. Ketiga, peranan sekolah-sekolah tidak lagi tergantung pada “bimbingan” pihak pemerintah karena keahlian yang dituntut dari pihak pemerintah tersebut sekarang sudah dapat diakui dan ditemukan juga pada pihak swasta. Peranan pemerintah dibatasi pada pemberian lisensi untuk profesi tertentu (keserjanaan) karena memang hal tersebut harus dipegang oleh pemerintah karena menyangkut kepentingan umum. Perkembangan dunia pendidikan ini seharusnya menjadi pegangan untuk kita dalam mengubah paradigma pendidikan kita. Bahwa pendidikan sekarang ini bukan lagi harus dikuasai dan tergantung oleh dan kepada negara tetapi seluruh lapisan masyarakat turut bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup pendidikan nasional kita. Bila dahulu sekolah menjadi tempat sampah dari pelbagai kejelekan dan kekeliruan yang dibuat oleh masyarakat maka sekarang saatnya, sekolah menjadi tempat reparasi untuk memperbaiki semua keburukan, kekeliruan dan kejelekan itu. Dan untuk mewujudkannya tidak bisa hanya pihak sekolah atau pemerintah atau sebagian masyarakat tetapi kita semua komponen masyarakat mempunyai hak dan kewajiban untuk mereparasinya sesuai dengan kemampuan kita. Sehingga pada suatu waktu pendewaan terhadap pendidikan (sekolah) bukanlah menjadi sesuatu hal yang keliru karena basis kualitasnya yang teruji. Di pihak pihak lain pun, kita tidak boleh menutup mata terhadap bentuk ”pengajaran” yang dikatakan oleh Jo Verhaar itu. Yang kita butuhkan adalah kualitas manusia bukan gelar keserjanaan. Karena itu pendewaan terhadap tinggi rendahnya pendidikan tanpa menuntut kemampuan yang memadai sesuai dengan gelarnya adalah sebuah kekeliruan besar.
Pendidikan Personalistik Filsafat manusia yang bersifat personalistik mengemukakan bahwa manusia terbentuk dari beberapa struktur dasar antara lain: 1) manusia adalah makluk jasmanirohani, 2) manusia makluk sosial-individual, 3) manusia makluk adalah bebas dan 4) manusia adalah makluk yang menyejarah. Dan untuk itu, pendidikan (sekolah) yang adalah salah satu tempat pembentukan manusia agar menjadi utuh harus memperhitungkan keempat dasar ini dalam metode pendidikannya. Pertama, manusia makluk jasmani-rohani. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagai persona manusia memiliki dua unsur di atas. Badan mewakili jasmaninya dan jiwa mewakili rohaninya. Kedua hal ini tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Bila hal ini terpisah maka manusia bukan lagi menjadi manusia. Dalam proses pendidikan aspek ini harus diperhitungkan. Sekolah harus mengembangkan sisi jasmani seorang anak. Sebab sisi jasmani seorang anak membantunya menjadi cerdas. Hanya dengan kondisi tubuh yang sehat maka semua hal dapat dilakukan dengan baik. Karena itu pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mempertajam budi belaka tetapi juga harus mengembangkan sisi jasmanai anak. Dalam hal ini, pekerjaan tangan juga merupakan bagian dari sisi jasmani itu sendiri. banyak dari kita yang tidak menghargai pekerjaan tangan dan melihat itu sebagai hal remeh. Pada hal untuk melakukannya, walau pun kelihatan sederhana tidak semua orang dapat melakukannya, tetapi sebagai manusia seharusnya kita harus melakukannya. Penghargaan dan rasa memiliki dunia yang dipijaki ini pun merupakan bagian dari pendidikan jasmani. Manusia merupakan bagian dari dunia dan tak bisa dipisahkan. Karena itu manusia harus mengolah dunia ini secara wajar dan bijak agar wajah dunia menampakan kemanusiaan manusia sendiri. Sebagai makluk rohani, pendidikan juga harus dapat mengembangkan tiga unsur kerohanian manusia: cipta, karsa dan rasa agar manusia dapat hidup layak dan berbeda dengan makluk lain. Sebagai makluk jasmani manusia mempunyai naluri-naluri liar yang dapat menjerumuskan manusia ke duniia yang salah oleh karena itu tugas sekolah untuk mendidik sisi rohani manusia agar menjadi pengontrol naluri liarnya itu. Kedua, manusia sebagai makluk individu-sosial. Manusia adalah makluk individu sekaligus sosial. Individualitas manusia hanya dapat dimengerti dalam kaitannya dengan sosialitasnya. Sebagai pribadi manusia memang dapat berdiri sendiri terlepas dari pribadi yang lain . Tetapi keberadaanya selalu bersama dengan orang lain. Hakekat manusia yang lain adalah sosialitasnya. Manusia baru dapat ada, hidup dan berkembang secara normal bila ia ada bersama pribadi yang lain. Sejak awal mulanya ia sudah tergantung dengan pribadi lain. Karena itu sekolah juga harus memperhatikan kedua aspek ini. Pendidikan yang didominasi oleh negara biasanya bersifat otoriter-stato-sentris. Pendidikan model macam ini tidak memperhitungkan sisi individual yang unik, khas dari peserta didik. Yang ada adalah pendidikan penyeragaman dengan menanamkan disiplin yang keras tanpa memperhitungkan keunikan masing-masing peserta didik. Akibatnya keunikan dan kemampuan-kemampuan tersembunyi dari para peserta didik tidak diolah secara baik dan maksimal. Yang ada hanyalah kesadaran bahwa aku dan engkau sama saja. Kenyataan ini harus diubah. Sekolah harus mampu melihat dan mengolah kemampuan peserta didik yang beragam itu agar mereka menjadi diri mereka sendiri. Namun pendidikan macam ini pun haruslah disadari sebaik mungkin agar tidak terjebak
pada individualisme. Oleh karena itu, dalam mendidik, sekolah selalu harus menyadarkan bahwa mereka hidup bersama dengan orang lain di sekitarnya. Ketiga, manusia adalah makluk bebas. Manusia disebut bebas bila ia dapat melepaskan diri dari segala sesuatu yang menghalanginya untuk mewujudkan dirinya secara penuh. Dengan kata lain kebebasan adalah kesempurnaan eksistensi manusia. Kebebasan itu mengandaikan bila manusia memiliki pengetahuan yang cukup, ketrampilan yang memadai, tata nilai yang benar sehingga dapat memutuskan sesuatu dengan tepat, cepat dan bijaksana. Penerapan pendidikan pun harus mendukung dan mengembangkan kebebasan manusia itu. Artinya, pendidikan di sekolah harus melihat anak sebagai subjek dari pendidikan dan bukan objek. Dengan demikian ada proses dialogal antara murid dan guru. Guru menjadi pendamping murid sekaligus juga belajar bersama murid. Pada kesempatan itu, murid secara bebas berkreasi dan bereksperimen untuk mengaktualisasikan dirinya. Murid tidak lagi sepenuhnya tergantung dan menyetujui apa yang dikatakan guru tetapi ia sendiri mengekplorasi ilmu yang ia dapat dan menemukan sendiri kebenaran yang sesungguhnya. Pada sisi lain, pendidikan yang diharapkan bukan sekedar pentransferan pengatahuan dan ketrampilan saja tetapi juga pembentukan watak dan sikap hidup. hal ini dimaksudkan supaya murid tidak pincang dalam menilai kehidupan yang ia jalani. Dengan kebebasannya menerima pelajaran/pendidikan yang utuh diharapkan dapat mempertajam dan memperluas ruang kebebasannya untuk mengaktualisasikan mewujudnyatakan keidealan dirinya secara sempurna. Karena itu pendidikan di sini tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah tetapi juga terjadi di rumah dan lingkungan sang anak. Keempat, manusia adalah makluk menyejarah. Ada tiga arti dalam konsep ini yakni: pertama, sebagai makluk yang sadar dan mengenal diri bahwa ia hidup dalam dimensi waktu: lampau, sekarang dan masa depan. Kedua, makluk yang bebas dan dapat merancang hidupnya sendiri kendati dipengaruhi oleh masa lampau. Ketiga, manusia berkembang dalam waktu, manusia dinamis. Karena itu pendidikan harus melihat ketiga unsur pengertian ini dan menjadikannya pedoman dalam mendidik. Pendidikan harus didirikan di atas fakta sejarah masa lampau baik dari segi individual mau pun bangsa. Secara individual manusia bukan tabula rasa tetapi ia sudah memiliki rasa sejak dalam kandungan ibunya. Karena itu pendidikan harus mampu melihat hal ini dan bergerak dari keberadaan masa lampau anak. Dari segi bangsa, pendidikan harus memperkenalkan sejarah bangsanya secara benar agar ia menemukan identitas bangsanya dan bergerak dari sana untuk menentukan siapa dirinya sebagi anggota sebuah bangsa. Dan dalam penghayatan sejarah itu, seorang anak mempunyai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri berdasarkan fakta historis yang ia ketahui. Berkaitan dengan manusia yang dinamik, manusia yang berubah. Sekolah harus dapat melihat perkembangan, kebutuhan zaman dan diri seorang anak lalu menyusun kurikulum yang mampu menjawab persoalan tersebut.
IV.
Penutup Perubahan sosial dapat terjadi secara alamiah maupun direkayasa, secara intern maupun ekstern. Dan perubahan sosial tersebut diharapkan dapat menguabah situasi hidup manusia ke arah yang lebih baik dengan memperhitungkan pribadi manusia, lingkungan sosial terdekat dan juga tuntutan global yang ada.
Pendidikan (sekolah) merupakan salah satu unsur pendorong dan perubah kehidupan sosial masyarakat. Namun pendidikan yang bagaimana yang dapat mewujudkannya? Hal tersebut harus disesuaikan dengan ketiga unsur di atas. Di Indonesia, pendidikan di satu sisi telah mampu membawa perubahan dalam masyarakat namun di sisi lain masih banyak kegagalan yang dibuat dan dialami oleh pendidikan kita. Harus diakui bahwa pendidikan kita masih jauh tertinggal dari pendidikan di negara lain. Dan hal tersebut dapat kita lihat dari begitu banyak persoalan sosial yang kita hadapi. Memang tidak adil apabila semua kesalahan dan persoalan itu, harus ditumpahkan semuanya pada bidang pendidikan. Tetapi harus juga kita akui bahwa pendidikan merupakan jantung kehidupan sebuah bangsa. Bila pendidikan morat-marit maka tak ayal lagi kehidupan bangsa pun akan terpengaruh olehnya. Dan untuk mengubah situasi pendidikan kita, tentu saja, awalnya harus mengubah paradigama berpikir kita tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan. Setelah itu hal-hal lainnya akan sertakan dari belakang.
Pustaka
Collins, Dennis (2002), Paulo Freire: Kehidupan, Karya, dan Pemikirannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Komunitas Apiru Yogyakarta. Editor, Sindhunata, (2000), Menggagas Paradigma Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Yogyakarta: Kanisius. Fakih, Mansur (2002), Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Insist Press. Freire, Paulo (2003), Pendidikan Masyarakat Kota, Yogyakarta: LkiS. Illich, Ivan (2002), Perayaan Kesadaran: Sebuah Panggilan Untuk Revolusi Institusional, Yogyakarta: Ikon. Qathafi, Muammar (2000), Menapak Jalan Revolusi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Insist Press. Salim, Agus (2002), Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Verhaar, Jo (2000), Filsafat Yang Berkesudahan, Yogyakarta: Kanisius, Pustaka Filsafat. Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, Yogyakarta: Bigraf.