(12) MENGUATKAN PENDIDIKAN KEBANGSAAN YANG BERKEMAJUAN
Dikdik Baehaqi Arif, S.Pd., M.Pd Program Studi PPKn FKIP Universitas Ahmad Dahlan E-mail:
[email protected] Abstrak Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), baik sebagai nomenklatur untuk mata pelajaran di sekolah, mata kuliah di perguruan tinggi maupun aktivitas sosial budaya di masyarakat berorientasi pada upaya menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air warga negara. PPKn adalah program pendidikan kebangsaan untuk mendorong penguatan pemahaman dan keterlibatan warga negara dalam mewujudkan Indonesia berkemajuan sebagai negara utama (al-madinah alfadhillah), berkemakmuran dan berkeadaban (umran), dan negara yang sejahtera. Dalam konteks demikian, perlu ada revitalisasi program pendidikan kebangsaan (terutama pada lembaga pendidikan Islam) melalui penguatan nilai-nilai Islam sebagai faktor determinan yang menentukan karakter ke-Indonesiaan. Hal tersebut, karena ikhtiar membangun Indonesia yang berkemajuan melalui pendidikan kebangsaan merupakan manifestasi dari semangat Islam berkemajuan. Tulisan ini menguraikan gagasan penguatan nilai-nilai Islam dalam kajian PPKn sebagai revitalisasi program pendidikan kebangsaan untuk menjamin optimalisasi pengembangan potensi warga negara, baik secara individu maupun kolektif yang pada gilirannya dapat membentuk masyarakat utama (khairu ummah) sebagaimana dicita-citakan bangsa dan negara Indonesia. Kata kunci: pendidikan kebangsaan, PPKn, Islam berkemajuan, Indonesia berkemajuan
PENDAHULUAN Tegak rumah karena sendi Runtuh sendi rumah binasa Sendi bangsa ialah budi Runtuh budi runtuhlah bangsa
197
Pantun yang ditulis Buya Hamka (Hamka, 2016) di atas menegaskan posisi budi (kebajikan/keutamaan/akhlak warga bangsa/civic virtue) dalam membangun bangsa. Demikian pentingnya budi, sampai-sampai keruntuhan budi menjadi sebab utama runtuhnya bangsa. Pantun ini juga mengisyaratkan perlunya merawat bangsa melalui penguatan kebajikan/keutamaan/akhlak warga bangsa. Bangsa Indonesia dalam pandangan Benedict Anderson (Dhakidae, 2002), adalah sebuah komunitas-komunitas terbayang (imagined community), karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan tidak kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Kebhinnekaan suku bangsa, ras, agama, budaya, adat istiadat memperkaya kebangsaan Indonesia. Ia menjadi modal sosial dan budaya (cultural and social capital) yang menjadi pengikat kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia. Namun, pada sisi yang lain, keberagaman ini juga rawan dengan konflik antar entitas yang berbeda yang pada girilannya dapat meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang kuat. Memperkuat kebajikan warga bangsa menjadi penting dilakukan, karena ia memiliki peran sentral dalam meneguhkan identitas warga bangsa – yang dibangun atas dasar entitas yang berbeda – yang berakhlak dan bermartabat. Lebih luas dari itu, dalam konteks kenegaraan penguatan kebajikan warga bangsa juga untuk mendorong penguatan pemahaman dan keterlibatan warga dalam mewujudkan Indonesia berkemajuan sebagai negara utama (al-madinah al-fadhillah), berkemakmuran dan berkeadaban (umran), dan negara yang sejahtera (Nashir, 2015) sebagai cita-cita dan tujuan utama bernegara. Pendidikan adalah alat utama untuk memperkuat budi warga dalam merawat bangsa. Dalam rumusan sistem pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan nasional hadir tidak semata untuk membentuk manusia yang cerdas dan terampil, tetapi yang utama adalah menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab (Pemerintah Republik Indonesia, 2003). Di sanalah, urgensi peneguhan budi warga bangsa dikuatkan melalui pendidikan. Fokus tulisan ini membahas upaya memperkuat pendidikan kebangsaan yang berkemajuan dengan mengangkat nilai-nilai budi/akhlak/kebajikan utama warga negara yang bersumber pada nilai-nilai Islam. Pendidikan kebangsaan dalam makalah ini dimaknai sebagai misi dari mata pelajaran PPKn sebagai kajian kurikuler 198
kewarganegaraan di persekolahan (school civic education). Tawaran mengangkat nilai-nilai Islam dalam pendidikan kebangsaan diharapkan mampu mendorong penguatan pemahaman dan keterlibatan warga dalam mewujudkan Indonesia berkemajuan sebagai negara utama, berkemakmuran dan berkeadaban, dan negara yang sejahtera sebagai cita-cita dan tujuan utama bernegara. Pendidikan Kebangsaan dan Indonesia Berkemajuan Pendidikan kebangsaan dan upaya mewujudkan Indonesia berkemajuan memiliki korelasi yang cukup erat. Pendidikan kebangsaan adalah pendidikan untuk pembinaan wawasan kebangsaan peserta didik yang berorientasi pada pembentukan warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Sebuah prasyarat bagi tercapainya cita-cita dan tujuan negara Indonesia yang berkemajuan. Tentang rumusan negara Indonesia berkemajuan, penulis merujuk pada rumusan pemikiran yang disampaikan Persyarikatan Muhammadiyah dalam buku “Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna” yaitu sebagai berikut: Indonesia berkemajuan dapat dimaknai sebagai negara utama (al-madinal alfadhilah), negara berkemakmuran dan berkeadaban (umran), dan negara yang sejahtera. Negara berkemajuan adalah negara yang mendorong terciptanya fungsi kerisalahan dan kerahmatan yang didukung sumber daya manusia yang cerdas, berkepribadian, dan berkeadaban mulia (Nashir, 2015). Rumusan di atas menegaskan cita-cita dan tujuan negara berkemajuan sebagai negara utama, berkemakmuran dan berkeadaban, serta negara yang sejahtera. Karena itu dalam pandangan Haedar Nashir (Nashir, 2015), konsekuensi dari negara berkemajuan tersebut adalah bahwa negara harus mampu menegakkan kedaulatan (wilayah, politik, hukum, ekonomi, dan budaya); mendatangkan kemakmuran (terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan); mewujudkan kebahagiaan material dan spiritual; menjamin kebebasan berpikir, berekspresi, dan beragama; menghormati hak asasi manusia; dan menciptakan keamanan dan jaminan masa depan. Artinya, negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi harus memiliki kedaulatan – ke dalam dan keluar – agar mampu memenuhi hak-hak konstitusional warga negaranya.
199
Upaya pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara oleh negara, sekaligus mensyaratkan perlunya upaya membangun keterlibatan warga dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan Indonesia berkemajuan di atas. Dengan demikian, pada setiap diri warga negara perlu dibangun pemahaman, keterampilan, dan sikap untuk melaksanakan kewajiban konstitusional sebagai warga negara, disamping menuntut hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Keseimbangan antara pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban konstitusional warga negara inilah yang melahirkan perlunya pendidikan kebangsaan bagi setiap warga negara. Islam dan Pendidikan Kebangsaan Islam adalah satu agama yang hidup dalam sebagian besar masyarakat bangsa Indonesia. Bukan itu saja, Islam adalah satu ideologi. Islam bukan sematamata satu agama dalam arti hubungan manusia dengan Tuhan (Natsir, 2004). Secara umum, Islam didefinisikan sebagai nama agama Allah (dienullah) yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam AS sampai kepada Nabi Muhammad SAW (Ilyas, Cakrawala Al Qur'an: tafsir Tematis tentang Berbagai Aspek Kehidupan, 2011). Secara khusus, Islam adalah nama diri dari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai mata rantai akhir dari agama Allah yang diturunkan kepada umat manusia. Sebagai mata rantai akhir dari agama Allah, Islam yang dibawa oleh penutup para nabi ini telah disempurnakan dan dinyatakan oleh Allah sebagai agama yang diridlai-Nya untuk seluruh umat manusia sampai hari akhir nanti. Islam memiliki beberapa ciri khusus (Ilyas, Cakrawala Al Qur'an: tafsir Tematis tentang Berbagai Aspek Kehidupan, 2011) sebagai berikut: 1) Islam adalah agama yang bersumber dari Allah SWT baik melalui wahyu secara langsung (Al Qur’an) maupun tidak langsung (Sunnah Nabawiyah) (QS 39:2; 32:2); 2) Ajaran Islam bersifat komprehensif (mencakup seluruh aspek kehidupan) (QS 6:38); 3) Ajaran Islam bersifat universal (berlaku untuk seluruh umat manusia sampai akhir zaman (QS 7: 158); 4) Ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia (QS 30:30); 5) Ajaran Islam menempatkan akal manusia pada tempat yang sebaik-baiknya secara proporsional, tidak mendewakan dan tidak pula menghinakannya (QS 7:179; 31:20); 6) Ajaran Islam menjadi rahmat bagi alam semesta (QS 21:107); 7) Ajaran Islam berorientasi ke masa depan (akhirat) tanpa melupakan masa kini (dunia) (QS 28:77); 8) Ajaran Islam menjanjikan surga bagi yang beriman dan neraka bagi yang kufur (QS 98:6-8). Dari berbagai karakteristik di atas, secara garis besar, ajaran Islam mencakup empat aspek yaitu aqidah, akhlak, ibadah, dan mu’amalah duniawiyah (Ilyas, 200
Cakrawala Al Qur'an: tafsir Tematis tentang Berbagai Aspek Kehidupan, 2011; Nashir, 2015). a. Aqidah: aspek keyakinan terhadap Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para nabi dan rasul, hari akhir dan taqdir. b. Ibadah: Segala cara dan upacara pengabdian kepada Allah (ritual) yang telah diperintahkan dan diatur tata cara pelaksanaannya dalam Al Qur’an dan Sunnah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. c. Akhlak: Nilai dan perilaku baik yang harus diikuti seperti sabar, syukur, tawakkal, berbakti pada kedua orang tua, berani dan lain sebagainya, serta nilai dan perilaku buruk yang harus dijauhi seperti sombong, takabur, dengki, riya, durhaka kepada kedua orang tua dan lain sebagainya. d. Mu’amalah: Aspek kemasyarakatan yang mengatur pergaulan hidup manusia di atas bumi, baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antara negara dan lain sebagainya. Karakteristik dan aspek-aspek Islam tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat lengkap mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Karena itu, nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam dapat diderivasi dalam program pendidikan untuk menumbuhkan wawasan kebangsaan. Tepatlah apa yang dikemukakan Mohammad Natsir, tokoh Islam dan mantan Perdana Menteri Republik Indonesia yang melihat bahwa Islam memelihara nilai yang ada, dan menumbuhkan yang belum ada (Natsir, 2004). Nilai-nilai itu antara lain: tolong menolong, nilai demokrasi dan musyawarah, mencintai tanah airnya, cinta kemerdekaan, kesukaan membela yang lemah, nilai tidak mementingkan diri sendiri dan kesediaan hidup dan memberi kehidupan, nilai toleransi antar pemelukpemeluk agama. Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai kebajikan utama yang dapat dikembangkan melalui pendidikan kebangsaan. Reorientasi Pendidikan Kebangsaan Berkemajuan Gagasan pendidikan kebangsaan berkemajuan penulis derivasi dari pandangan kebangsaan Persyarikatan Muhammadiyah pada Muktamar ke-47 di Makasar beberapa waktu yang lalu yang mengusung visi Indonesia Berkemajuan. Dalam pemikiran penulis, untuk menyongsong Visi Indonesia Berkemajuan, aspek pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan pun harus berkemajuan. Pesan KH Ahmad Dahlan dalam membangun pondasi pendidikan agar “jadilah ulama yang berkemajuan, yakni yang memiliki ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan 201
umum yang luas dan jangan lelah, berhenti, memajukan bangsa dan masyarakat” menjadi penting dikaji secara teoretis dan diimplementasikan secara praksis. Pendidikan kebangsaan adalah pendidikan untuk membina wawasan kebangsaan warga negara. Pendidikan kebangsaan ini mengandung dua aspek utama, aspek moral dan aspek intelektual. Pada aspek moral berarti pendidikan kebangsaan mensyaratkan adanya perjanjian diri, adanya komitmen pada seseorang atau suatu masyarakat untuk turut bekerja bagi kelanjutan eksistensi bangsa serta bagi peningkatan kualitas kehidupan bangsa. Pada aspek intelektual, pendidikan kebangsaan menghendaki pengetahuan yang memadai tentang tantangantantangan yang dihadapi bangsa – baik sekarang maupun di masa yang akan dating – serta potensi-potensi yang dimiliki bangsa. Karena itu, Mochtar Buchori menyebut ciri utama pendidikan kebangsaan watak moral-intelektual. Artinya, keseluruhan materi serta kegiatan yang terdapat di dalamnya harus benar-benar mampu membentuk kedua aspek kepribadian para peserta didik, yaitu aspek moral dan aspek intelektual (Buchori, 1994). Kegiatan pendidikan kebangsaan harus mencakup tiga jenis kegiatan pembinaan, yaitu kegiatan-kegiatan untuk pembinaan daya kognitif, kegiatan-kegiatan untuk pembinaan daya afektif, dan kegiatan-kegiatan untuk pembinaan daya konatif. Dalam pandangan Budiono Kusumohamidjojo (Kusumohamidjojo, 1994), pendidikan kebangsaan harus disusun secara programatis dengan mengacu pada tiga sasaran utama, pencerahan (aufklaerung/enlightnenment), desektarianisasi, dan demokratisasi. Pencerahan dimaksudkan untuk mengembalikan acuan pandangan para warga bangsa kepada akal sehat dan dengan demikian membersihkan medan komunikasi sosial atau komunikasi antarwarga bangsa dari anasir-anasir agitatif atau propagandistis yang selama ini ditunggangi oleh kepentingan terselubung dari aneka kekuatan sosial yang terkotak dalam masingmasing dogmatiknya sendiri. Desektariasisasi yaitu gerakan yang logisnya akan merupakan hasil dari pencerahan akan dank arena itu bertolak dari akal sehat sebagai acuan pandang untuk membangun wawasan kebangsaan para warga bangsa yang mandiri. Sedangkan demokratisasi, yaitu proses menuju pelibatan warga bangsa secara aktif dalam kehiduan kenegaraan integrative dan supra sectarian. Warga bangsa yang bebas dari jebakan sektarianisme atau separatism niscaya akan merupakan warga bangsa yang percaya kepada kemampuan rasionalnya masingmasing dan karena itu memiliki mentalitas mandiri dan bebas dari aneka kesetiaan sempit. Hanya warga bangsa yang mandiri yang mampu embangun peranannya yang
202
aktif dan konstruktif atas dasar inisiatif sendiri dan yang berorientasi kepada kepentingan nasional. Dari berbagai latar belakang rumusan pendidikan kebangsaan di atas, sebagai program kurikuler kewarganegaraan di persekolahan (school civic education), Kajian Pendidikan [Pancasila] dan Kewarganegaraan (Pancasila and Civic Education,PKn/PPKn) di Indonesia, dan pengalaman di beberapa negara lain di dunia, dapat dianggap memiliki misi sebagai pendidikan kebangsaan, yang berorientasi pada upaya pembentukan warga negara yang baik (be a good citizen), warga negara yang memiliki kebajikan/akhlak/budi utama sebagai bekal membangun negara utama. Winarno (2013) menyebut bahwa misi penyelenggaraan PPKn sebagai pendidikan kebangsaan tersirat dari pernyataan bagian Pendahuluan mata pelajaran PKn dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan pesertadidik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan berbasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, perlu ditingkatkan secara terus menerus untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara historis, negara Indonesia telah diciptakan sebagai Negara Kesatuan dengan bentuk Republik. Dalam perkembangannya sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai dengan penghujung abad ke-20, rakyat Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa yang mengancam keutuhan negara. Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendalam dan komitmen yang kuat serta konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi Negara Republik Indonesia perlu ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia, khususnya generasi muda sebagai generasi penerus. (Pemerintah Republik Indonesia, 2006) Dari rumusan tersebut, Winarno (2013) menyebut bahwa bagian pendahuluan itu secara jelas mengamanatkan pentingnya peserta didik sebagai 203
generasi muda memiliki komitmen kuat terhadap negara kebangsaan modern Indonesia, serta prinsip semangat kebangsaan yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara Indonesia sebagai negara kebangsaan modern merupakan consensus bersama yang perlu dipertahankan dan pengalaman bersama pula telah banyak berbagai peristiwa yang mengancam keutuhan bangsa. Sikap dan komitmen kebangsaan itu dapat ditumbuhkan melalui mata pelajaran PPKn. Rumusan resmi tentang kajian PPKn dewasa ini menyebutkan: Mata pelajaran PPKn memiliki visi dan misi mengembangkan siswa menjadi warga negara yang baik yang memiliki rasa kebanggaan terhadap Negara Indonesia, cinta tanah air, jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi di lingkungan rumah, sekolah, dan sekitarnya serta berbangsa dan bernegara. (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016). Dari rumusan tersebut, kompetensi setelah mempelajari mata pelajaran PPKn di Pendidikan Dasar dan Menengah adalah sebagai berikut: a. Bertanggung jawab pada setiap keputusan bersama berdasar nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Negara dan penghargaan atas kewajiban dan hak warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, b. Melaksanakan kewajiban, hak, dan tanggung jawab sebagai warga negara yang mendukung pelindungan dan penegakkan hukum dalam menjamin keadilan dan kedamaian berdasar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, c. Bertoleransi terhadap masalah-masalah dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, dan gender, serta mengantisipasi pengaruh positif dan negatif kemajuan iptek terhadap negara dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, d. Mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa sebagai wujud rasa cinta dan bangga dalam upaya menjaga dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016). Pada setiap jenjang pendidikan, berdasarkan pada aspek materi PPKn, maka kompetensi yang harus dicapai siswa setelah mempelajari PPKn di sekolah adalah tergambar seperti tabel berikut: 204
Tabel 1: Kompetensi setelah mempelajari PPKn Kelas Rendah Mencintai lambang garuda Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia
Kelas Tinggi Berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila yang merupakan dasar Negara Indonesia
Bekerjasama melaksanakan kewajiban dan memenuhi hak masing-masing dengan penuh percaya diri sebagai anggota keluarga dan warga sekolah Bertanggungjawab melaksanakan berbagai aktivitas dalam suasana kebersamaan di kehidupan yang beragam
Melaksanakan kewajiban dengan penuh tanggungjawab serta peduli terhadap hak yang dimilikinya sebagai anggota masyarakat
Mengenali dirinya dalam keberagaman anggota keluarga, teman di sekolah dan teman bermain di lingkungannya
Bertanggugjawab untuk menjaga persatuan dan kesatuan dalam keberagaman kehidupan di masyarakat
Berperan serta dalam melaksanakan berbagai aktivitas yang beragam dengan penuh percaya diri di masyarakat
SMP Berintegritas sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Berperan serta dalam menjaga kedaulatan Negara sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Repulbik Indonesia tahun 1945
SMA Bangga sebagai bangsa Indonesia yang menghargai kewajiban dan hak sesuai dengan nilainilai Pancasila Berpartisipasi aktif dalam upaya pelindungan dan penegakan hukum untuk menciptakan kedamaian di Negara Republik Indonesia
Mendukung persatuan dan kesatuan dalam menyelesaikan masalah nasional
Bangga sebagai bangsa Indonesia yang mampu berperan dalam kemajuan IPTEK (Ilmu Pnegetahuan dan Teknologi) dalam konteks lokal dan global Mencintai Negara Berperan aktif dalam Kesatuan Republik menjaga dan Indonesia dengan mempertahankan membela kebenaran, persatuan dan persatuan dan kesatuan Negara kesatuan di Kesatuan Republik lingkungannya Indonesia dengan berpikir dan berperilaku positif
Sumber: (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016)
205
Dari uraian di atas, yang dimaksud reorientasi pendidikan kebangsaan adalah penyelenggaraan pendidikan kebangsaan melalui program kurikuler kewarganegaraan (school civic education) dengan mengangkat, mengintegrasikan, dan menguatkan nilai-nilai Islam (terutama aspek akhlak/budi/kebajikan utama) pada kajian PPKn. Penguatan nilai-nilai Islam dalam program kurikuler kewarganegaraan memiliki pijakan yang cukup kuat. Sebab nilai-nilai akhlak/budi/kebajikan utama Islam yang dipelihara dan tumbuh dalam konteks kenegaraan bersifat komprehensif (mencakup semua aspek kehidupan manusia), berlaku universal, dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Perkataan budi/akhlak/kebajikan utama sesungguhnya adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Akhlak menurut Yunahar haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar (Ilyas, 2015). Dengan demikian, budi/akhlak/kebajikan utama kewargaan sesungguhnya adalah sikap dan perilaku warga negara yang bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan, serta dorongan dari luar. Dilihat dari ruang lingkupnya, dengan merujuk pada pendapat Muhammad Abdullah Draz, Yunahar Ilyas (2015) (2015:5) menyatakan bahwa akhlak (kewargaan) dalam perspektif Islam dapat dikelompokkan ke dalam lima bagian: akhlak pribadi, akhlak berkeluarga, akhlak bermasyarakat, akhlak bernegara, dan akhlak beragama. Dengan demikian, akhlak kewargaan, sebagaimana kita sebut sebagai komponen penting budaya kewargaan bagi terwujudnya masyarakat demokrasi Indonesia yang kuat, mencakup spektrum yang luas, meliputi seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan Allah SWT maupun secara horizontal sesama makhluk-Nya. Mengangkat nilai-nilai budi/akhlak/kebajikan utama yang bersumber dari nilai-nilai Islam dalam kajian PPKn – sebagai pendidikan kebangsaan – juga untuk menguatkan aspek moral dan aspek intelektual pendidikan kebangsaan yang berbasis nilai-nilai Islam pada tiga ranah pembinaan, kognitif, afektif dan konatif. Dalam konteks itu, penulis ingin mengajak para komunitas akademik dan praktisi PPKn untuk mengangkat nilai-nilai Islam dalam kajian kurikuler kewarganegaraan. Klaim kebenaran Islam diangkat dalam kajian pendidikan kebangsaan yang berkemajuan sebagai energi positif untuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang plural dan heterogen. Samsuri (2011) menyebut mengajarkan kebenaran agama adalah suatu keharusan bagi pemeluk-pemeluknya. Karena “kebenaran agama” memberikan jaminan bagi para pengikutnya dalam menjalankan keyakinannya itu. 206
Persoalannya, bagaimana “klaim kebenaran agama” tidak menjadi sumber konflik dan perpecahan, tetapi klaim itu menjadi energi positif untuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk. Banyak ikhtiar telah dilakukan, termasuk pembinaan moralitas agama sebagai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat agar pendidikan kebangsaan benar-benar efektif. PENUTUP Penyelenggaraan pendidikan kebangsaan yang berkemajuan, pendidikan yang bersandar pada nilai-nilai budi/akhlak/kebajikan utama warga negara, atau pendidikan untuk pembinaan wawasan kebangsaan yang berbasis nilai-nilai Islam merupakan ikhtiar untuk menjaga dan merawat rajutan kebangsaan Indonesia yang bersatu di atas dasar falsafah Pancasila dan dasar konstitusional UUD 1945. Menawarkan Islam sebagai acuan bagi penguatan budi/akhlak/kebajikan utama dalam rangka penguatan wawasan kebangsaan melalui kajian kurikuler kewarganegaraan tentu saja memerlukan komitmen dari seluruh komunitas akademik PPKn. Diperlukan kajian-kajian akademis paedagogis untuk praksis penyelenggaraan pendidikan kebangsaan yang berkemajuan. Sehingga, pada gilirannya nanti, kajian kurikuler kewarganegaraan yang mengemban misi pendidikan kebangsaan menjadi bidang kajian yang kuat dan berkontribusi besar bagi penguatan budi/akhlak/kebajikan utawa warga negara demi terwujudnya cita-cita dan tujuan Indonesia berkemajuan. Semoga ! Daftar Pustaka Buchori, M. (1994). Pendidikan wawasan Kebangsaan: Masalah Program dan Metode. In S. Poespowardojo, & F. M. Parera (Eds.), Pendidikan Wawasan Kebangsaan: Tantangan dan Dinamika Perjuangan kaum Cendekiawan Indonesia (pp. 233-244). Jakarta: Kerjasama Lembaga Pengkajian Strategis dan Pembangunan (LPSP) dengan Penerbit PT Gramedia Widasarana Indonesia. Dhakidae, D. (2002). Pengantar: Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai Komunitas-Komunitas Terbayang. In B. Anderson, Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Kerjasama Insist dan Pustaka Pelajar. . Hamka. (2016). Lembaga Budi. Jakarta: Republika Penerbit. Ilyas, Y. (2011). Cakrawala Al Qur'an: tafsir Tematis tentang Berbagai Aspek Kehidupan. Yogyakarta: Itqan Publishing. 207
Ilyas, Y. (2015). Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Kerjasama Lembaga Pengembangan dan Studi Islam UAD dengan Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam UMY. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Silabus Mata Pelajaran SMP/MTs: Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Kusumohamidjojo, B. (1994). Kata Pengantar. In S. Poespowardojo, & F. M. Parera (Eds.), Pendidikan Wawasan Kebangsaan: Tantangan dan Dinamika Perjuangan kaum Cendekiawan Indonesia (pp. xv-xix). Jakarta: Kerjasama Lembaga Pengkajian Strategis dan Pembangunan (LPSP) dengan Penerbit PT Gramedia Widasara. Nashir, H. (2015, Juli 16-31). Muhammadiyah dan Rekonstruksi Politik Kebangsaan. Suara Muhammadiyah, 12-14. Natsir, M. (2004). Islam sebagai Dasar Negara. (K. O. Santosa, Ed.) Bandung: Sega Arsy. Pemerintah Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Jakarta. Samsuri. (2011, Mei 14). Pendidikan Karakter: Menyemai Moralitas Agama dan Kenegarawanan. Seminar Nasional Pendidikan “Revitalisasi Pendidikan Karakter menuju Progresivitas Pendidikan Nasional" HMPS PPKn Universitas Muhammadiyah Purwokerto, pp. 1-10. Winarno. (2013). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan: Isi, Strategi, dan Penilaian. Jakarta: PT Bumi Aksara.
208