Jejaring Perhimpunan Pelajar Indonesia di Eropa
Naskah Kerja
PENDIDIKAN TINGGI DI EROPA: Pengalaman dan Masukan dari PPI Prancis, PPI Belgia, PPI Jerman dan PPI Swiss untuk Pendidikan Tinggi Di Indonesia
Disusun oleh : PPI Prancis - PPI Belgia - PPI Jerman - PPI Swiss
Paris 2007
1
DAFTAR ISI Kata Pengantar 4 1. Trend Global Perguruan Tinggi 5 1. 1. Pengelolaan Pendidikan Tinggi 5 1. 2. Tanggapan pendidikan tinggi atas tantangan baru 7 1. 3. Reformasi Pendidikan Tinggi di Eropa 11 2. Pendidikan Tinggi Di Prancis 14 2.1. Sistem Pendidikan Tinggi di Prancis 14 2.2. Keuangan 23 2.3. Akses Pendidikan Tinggi 30 3. Pendidikan Tinggi Di Belgia 33 3.1. Pendahuluan 33 3.2. Sistem pendidikan Belgia dan akses ke perguruan tinggi 35 3.3. Pendanaan Perguruan Tinggi di Belgia 39 3.4. Mekanisme Pendanaan 41 3.5. Universitas dan dunia kerja 44 4. Pendidikan Tinggi Di Jerman 46 4.1. Akses ke Pendidikan Tinggi 46 4.2. Pendanaan 50 4.3. Link and Match dan Quality Assurance 54 4.4. Diskusi, Problema dan Dilema 59 4.5. Kesimpulan, Trend dan Rekomendasi 61 5. Pendidikan Tinggi di Swiss 65 5.1. Pendahuluan 65 5.2. Jenis Sekolah 66 6. Pendidikan Tinggi di Indonesia 71 6.1. Latar belakang Indonesia 71
2
6.2. Tujuan Pendidikan di Indonesia 75 7. Penandatanganan GATS dan Pendidikan Tinggi di Indonesia 91 7.1. GATS bagi Dunia Ketiga dan Indonesia: Kekhawatiran Para Mahasiswa 91 Liberalisasi 93 Menghilangkan “Penghambat” Kebebasan Pasar 94 7.2. Reaksi Secara Umum Terhadap GATS 94 7.3. Negara Dunia Ketiga di depan GATS 95 7.4. Reaksi Negara Maju (contoh Uni Eropa) terhadap GATS 107 LAMPIRAN A 112 Sistem Pembiayaan : Bentuk umum 112 LAMPIRAN B 119 (Hasil Diskusi dengan Bp. Wardiman) 119
3
Kata Pengantar Kami, para pelajar Indonesia yang saat ini hidup dan belajar di Eropa merasa sangat beruntung dan diberi kesempatan yang luar biasa. Bukan hanya diberi kesempatan untuk menimba ilmu, dan menjadi lebih pintar, kami juga menjadi mengerti bahwa ilmu yang kami timba itu berasal dari mata air yang khas di Benua ini.
Berangkat dari rasa syukur itulah kami ingin berbagi pengalaman. Terlebih manakala kami tahu bahwa pada saatnya kami nanti pulang ke Indonesia, bukan hanya ilmu yang dibutuhkan tapi keilmuan-berkonteks yang dibutuhkan Negara kita. Karena ilmu yang kita timba berasal dari sebuah mata air khas, sementara kita sadar bahwa Negara kita juga sebuah mata air tersendiri. Butuh pencocokan dan penimbangan ulang manakala kita nanti mau “menerapkan” ilmu tersebut dalam konteksnya yang berbeda-beda.
Bila pada saat ini kami ingin menyumbangkan sesuatu untuk Negara, belum waktunya kami berbicara tentang “penerapan ilmu” kami untuk tanah air. Yang bisa kami berikan adalah sumbang pengalaman belajar di Perguruan Tinggi di Prancis, Belgia, Jerman dan Swiss. Semoga penglihatan dan analisis kami ini berguna bagi Perguruan Tinggi di tanah air yang saat ini menghadapi tantangan sangat berat.
PPI Prancis, PPI Belgia, PPI Jerman dan PPI Swiss mengajukan Naskah Kerja ini untuk didiskusikan dengan Jejaring PPI Eropa, Menteri Pendidikan Nasional dan para anggota DPR RI, serta para pemerhati pendidikan di Indonesia. Semoga muara diskusi ini nantinya bisa berujung pada sebuah sumbang saran yang berguna bagi Bangsa dan Negara kita yang tercinta. Atas nama Jejaring PPI Eropa Ketua PPI Prancis
Mahmud Syaltout
4
1. Trend Global Perguruan Tinggi 1. 1. Pengelolaan Pendidikan Tinggi Diawal abad 21, Pendidikan Tinggi (PT) tengah menghadapi tantangan yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Berbagai tantangan yang muncul dapat dipandang sebagai ancaman atau bahkan sebaliknya peluang. Tantangan tersebut menuntut PT proaktif melakukan reformasi dan inovasi agar dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Jamil Salmi (Terriary Education in the Twenty-First Century-World Bank, 2000) menyebutkan paling tidak tiga tantangan yang dihadapi PT, yakni : Globalisasi, Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Revolusi Teknologi Komunikasi dan Informasi. Sementara itu, Harry de Boer dkk (Academia in the 21th century, 2002) menyampaikan enam trend yang tengah berlangsung dan akan berdampak pada PT, yakni: perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ; marketisasi Pendidikan Tinggi ; globalisasi dan internasionalisasi diikuti regionalisasi, perkembangan network society dan ekonomi ; perkembangan knowledge society dan ekonomi ; sosial-budaya dan demografi.
1.1.1. Tantangan Pendidikan Tinggi Sebagaimana halnya yang disampaikan Jamil Salmi, terdapat tiga tantangan yang dihadapi PT. Pertama, Globalisasi. Fenomena globalisasi adalah proses integrasi kompleks dari mobilisasi kapital, teknologi dan informasi yang melewati batas-batas negara, sehingga sedemikian rupa menciptakan suatu pasar global (world market). Globalisasi berdampak bahwa setiap negara, perusahaan atau institusi tidak mempunyai pilihan kecuali saling berkompetisi dan bekerjasama dalam ekonomi global. Tantangan kedua, kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan situasi dimana keberhasilan pembangunan ekonomi bergantung pada kemampuan bangsa untuk menciptakan sekaligus menerapkan pengetahuan teknik dan sosioekonomi dalam pembangunan. Strategi pembangunan berbasis keunggulan komparatif semakin lama semakin pudar. Sebaliknya, strategi pembangunan berbasis inovasi dan
5
pemanfaatan teknologi secara kompetitif semakin penting. Kini, pertumbuhan ekonomi lebih digerakkan oleh adanya akumulasi ilmu pengetahuan dibandingkan akumulasi kapital. Tantangan ketiga, revolusi teknologi komunikasi dan informasi. Penemuan mesin cetak diabad 15 menjadi awal munculnya revolusi dalam mentranformasikan ilmu pengetahuan kepada pihak lain. Inovasi teknologi sedang berevolusi. Perkembangan elektronik dan teknologi komunikasi menyebabkan kemampuan menyimpan data, memproses, mentransmisi dan mengakses data menjadi cepat dan juga berbiaya rendah. Selain tantangan di atas, Harry de Boer dkk (Academia in the 21th century, 2002) menyampaikan enam trend yang tengah berlangsung di tingkat global dan akan berdampak pada PT. Trend pertama, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menciptakan knowledge society. Dampak dari kemajuan teknologi ini adalah menyebabkan proses pengolahan dan pengiriman data menjadi cepat ; membuat proses belajar menjadi lebih fleksibel, dimana belajar dapat dilakukan dimasa saja dan kapan saja. Kemajuan teknologi ini akan meningkatkan akses pendidikan. Trend kedua, muncul marketisasi Pendidikan Tinggi, yang dicirikan dengan massifikasi PT, meningkatnya penyedia PT swasta, dan globalisasi pasar pendidikan dan penelitian (global market for education and research). Perubahan PT dari bersifat elitis menjadi massal tidak dapat dihindarkan. Karakteristik peserta didik menjadi sangat beragam dan ekspektasinya terhadap insitusi PT semakin besar. Trend ketiga adalah munculnya fenomena globalisasi dan internasionalisasi yang merupakan faktor eksternal penting yang akan mempengaruhi PT. Lingkungan organisasi PT akan bergeser dari bersifat lokal-nasional ke tingkat internasional. Trend ini akan mendorong : perubahan kebijakan pengajaran, penelitian berkarateristik global ; perubahan peran dan fungsi pemerintah dan universitas nasional. Trend keempat adalah berkembangnya network society dan ekonomi yang didorong oleh 1Fakta bahwa penelitian dan pengembangan (R&D) merupakan hal fundamental untuk meningkatkan daya saing negara, 2- Fakta bahwa penelitian dan pengembangan (R&D) sangat membutuhkan biaya menyebabkan negara dan universitas melakukan spesialisasi, 3-
6
Karena inovasi teknologi kini dihasilkan dari penelitian multidisiplin, network dan kerjasama dalam R&D menjadi penting Trend kelima adalah tumbuhnya knowledge society yang disebabkan adanya massifikasi PT. Eksistensi knowledge society berdampak pada 1- meningkatnya kapasitas akademik masyarakat dan meningkatkan kapasitas institusi akademik untuk beradaptasi dengan perkembangan ilmu, 2- Tumbuhnya daya kritis masyarakat dalam menilai insitusi PT, 3Berkembangnya riset yang dilakukan di luar insitusi PT, 4- Universitas kehilangan monopoli dalam menghasilkan pengetahuan baru (knowledge production). Trend keenam adalah perubahan sosial-kultural dan demografi. Perubahan yang tengah terjadi masyarakat, diantaranya: munculnya masyarakat individualis (individualisation within society), masyarakat ilmiah (scientification of society), konsumerisme (consumerism), perubahan pola kebutuhan (changing demands), dan meningkatnya tuntutan akan akuntabilitas (increasingly demands accountability). Perubahan demografi yang tengah terjadi adalah fenomena ageing labour force, baik level atas dan bawah. Hal ini berdampak adanya massive retirement dan scarcity of youngsters. Kesemua faktor ini akan mempengaruhi PT.
1. 2. Tanggapan pendidikan tinggi atas tantangan baru Paling tidak ada tiga dampak penting terhadap PT akibat munculnya berbagai tantangan dan perubahan trend diatas. Perubahan bentuk pendidikan dan pelatihan Dalam knowledge economy, dibutuhkan manusia yang berketrampilan tinggi dan multi talenta. Proses pendidikan di PT harus dapat berperan dalam menghasilkan manusia yang berkarakter seperti ini. Lebih lanjut, fenomena knowledge economy mendorong alumni PT yang telah bekerja untuk ingin selalu mengupdate pengetahuan dan ketrampilan. Pendekatan belajar secara tradisional PT yang berhenti dalam jenjang tertentu (sarjana atau pascasarjana) akan bergeser mengarah pada pendidikan bersifat sepanjang masa (lifelong education). Di Finlandia, sebagai contoh, lebih banyak masyarakat yang mengikuti program continuing education (200,000 orang) dibandingkan yang terdaftar dalam institusi PT tradisional (150,000 orang).
7
Evolusi ini dapat diartikan, ke depan, peserta didik tidak lagi didominasi oleh para lulusan baru pendidikan menengah (SMA), namun oleh alumni PT yang telah bekerja. Karena itu, PT harus mengorganisasi dirinya untuk dapat mengakomodasi kebutuhan pendidikan dan pelatihan bagi klien yang beragam: working students, mature students, staf-at-home students, traveling students, part-time students, day students, night students, weekend students, dan lain-lain. Piramida peserta didik akan berubah menjadi berbentuk piramida terbalik dengan unsur secara berturut-turut first time students, second atau third degree dan terbesar peserta yang mendaftar pada program short term continuing education. Dari perspektif peserta didik, dilandasi keinginan untuk bersaing dalam knowledge economy, menyebabkan mereka ingin mengikuti beberapa program studi secara bersamaan. Pola kebutuhan baru atas pendidikan muncul, dimana pembelajar mengikuti beberapa program (pararel) di satu atau beberapa institusi PT. Konsekwensi dari percepatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah perlunya perubahan pola pengajaran di PT dari orientasi persekolahan ke orientasi belajar. Perubahan ini menuntut paradigma dimana peserta didik tidak diajarkan fakta dan data semata tapi juga belajar untuk bagaimana belajar, belajar mentransformasikan informasi menjadi pengetahuan baru dan selanjutnya bagaimana mengaplikasikannya. Tidak kalah pentingnya belajar mencari dan menganalisis informasi serta memecahkan persoalan. Kini dalam situasi ekonomi dimana perusahaan memproduksi barang dan jasa untuk pasar global dan saling berkompetisi dengan perusahaan asing untuk pasar dalam negeri, terdapat tuntunan yang semakin meningkat atas kualifikasi calon karyawan yang diakui secara internasional, terutama dalam bidang manajemen dan engineering. PT harus berusaha memperbaiki kualitasnya agar diakui sebagai salah satu world class university.
Bentuk baru kompetisi Kini, insitusi PT tradisional menghadapi kompetitor-kompetitor jenis baru dalam memberikan jasa pendidikan dan pelatihan. Di era dimana makna jarak geografis menurun, membuka peluang universitas terbaik dapat membuka cabang dimana saja atau menjangkau akses lintas negara dengan memanfaatkan internet dan komunikasi satelit. Universitas jenis ini dapat berkompetisi dengan universitas nasional. British open university, sebagai contoh,
8
menawarkan program pendidikan tinggi di negara lain dengan program distance learning. Di Amerika, sebanyak 33 negara bagian, mempunyai institusi PT yang menawarkan program distance education. Bentuk kompetisi lain dihadapi institusi PT tradisional adalah munculnya corporate universities. Corporate universities seperti Motorola, IBM atau Microsoft aktif menawarkan program pendidikan dan pelatihan, yang lulusannya diakui oleh industri. Corporate universities beroperasi dengan kombinasi dari beberapa bentuk, diantaranya: membuka kampus sendiri (McDonald, Motorola, Toyota), secara virtual university (IBM) atau melakukan aliansi dengan PT yang ada. Bentuk kompetisi non-konvensional lain adalah munculnya academic brokers, yakni virtual entrepreneurs yang mempunyai spesialisasi menjembatani antara calon pengguna jasa PT dan institusi PT. Sebagai contoh, Nexus student recruitment media company yang berbasis di Inggris, mengorganisasi pameran pendidikan di beberapa negara dan menjembatasi keinginan calon pengguna jasa PT yang ingin mencari sekolah. Munculnya bentuk baru kompetisi diatas tentu akan merubah bentuk, kriteria dan mekanisme penilaian kualitas (quality assurance) institusi PT. Teknik dan cara mengevaluasi dan mengakreditasi program studi yang diselenggarakan secara on-line dan distance learning perlu disusun. Teknik dan cara menilai kualitas program studi ini berbeda dengan yang diterapkan di universitas berbasis kampus (campus-based university). Disisi lain otoritas PT dalam negeri semakin ditantang untuk dapat menata maraknya program pendidikan PT asing dalam bentuk distance education, frachise institution dan online courses yang beroperasi di dalam negeri. Tanpa adanya sistem akreditasi dan evaluasi PT yang baik, maka peluang penyalahgunaan program studi bisa terjadi.
Perubahan modus pedagogi Menghadapi tantangan baru dan perubahan bentuk pendidikan, PT harus melakukan reformasi secara mendasar pada tatakelola, struktur organisasi dan modus operasi. Kunci dari reformasi adakah kemampuan PT untuk mereorganisasi displin ilmu lama dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baru, seperti nanoteknologi, bioteknologi, ilmu lingkungan dll. 9
Pendidikan dan penelitian disiplin ilmu baru menuntut integrasi secara inter dan multi disiplin dan fleksibilitas birokrasi dengan sedapat mungkin memangkas hambatan birokrasi insitusi lama. Sebagai contoh, di Universitas Glasgow ahli fisika dan ahli mekanik bergabung melakukan penelitian bersama dalam control engineering. Di Denmark, program ilmu lingkungan diajarkan oleh tidak hanya sains dan teknik tapi juga theologi dan ilmu politik. Penciptaan knowledge baru membutuhkan tidak hanya penataan ulang Fakultas atau Departemen tapi juga pola penelitian dan pengembangan (R&D) dalam upaya mencari solusi permasalahan
kompleks.
Reformasi
ini
memunculkan
fenomena
yang
disebut
transdisciplinarity. Lebih lanjut penataan ulang dengan dasar inter dan multi disiplin dalam pengajaran dan penelitian menuntut adanya reorientasi program, kurikulum dan pengorganisasian fasilitas laboratorium. Penggunaan teknologi modern telah merevolusi modus pengajaran dan pembelajaran. Pemanfaatan multimedia dan komputer memunculkan pendekatan pedagogi baru, diantaranya active dan interactive learning. Pola pengajaran tatap muka yang bersifat terjadwal akan diimbangi dengan pengajaran didepan komputer dengan waktu yang lebih fleksibel. Disini peran pengajar berubah dari instruktur menjadi fasilitator. Agar tumbuh lingkungan pembelajaran yang lebih aktif dan interaktif, insitusi PT harus terlebih dahulu mempunyai visi jelas mengenai penggunaan teknologi baru dan secara efektif mengintegrasikannya dalam program pengajaran. Insitusi PT harus melatih sumberdaya manusianya dalam penggunaan fasilitas pendukung pedagogi yang baru. Perubahan teknologi tidak hanya berpengaruh pada modus pedagogi, tetapi juga tatakelola organisasi PT. Sebagai contoh di Amerika saat ini beberapa universitas baru dirancang dibangun dengan gedung perpustakaan yang tidak besar (atau bahkan tanpa) karena peserta didik diharapkan dapat mengakses informasi melalui online digital libraries. Maraknya virtuel university, program pendidikan online dan kursus berbasis web, memunculkan tantangan baru dalam hal hak cipta dan kebebasan akademik. Tanpa adanya kejelasan definisi hak cipta dan aturan memadai yang mengatur penggunaan media dan material pengajaran dikuartikan akan muncul permasalahan atas kedua hal tersebut. Agar dapat beradaptasi dengan tantangan di atas, fleksibilitas menjadi unsur yang penting. Institusi PT harus proaktif menata ulang program yang ada, menghapuskan program yang
10
outdated tanpa menganggu jalannya organisasi. Birokrasi yang kaku dan prosedur administrasi rumit saat bermaksud mereorganisasi program akan membuat insitusi PT mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan situasi yang baru. Sebagai contoh, aspek fleksibilitas, kini menjadi kunci penting negara Uni-Eropa saat mereformasi sistem PT. Untuk menumbuhkan fleksibilitas dalam perancangan dan pengorganisasian program akademik, di Uni-Eropa telah disepakati untuk menerapkan European Credit Accumulation and Tranfer System. Beberapa institusi PT juga tengah merubah pola pendaftaran mahasiswa. Beberapa negara telah menerapkan sistem pola pendaftaran mahasiswa lebih dari satu kali dalam setahun. Bahkan di Amerika, sejumlah college menerapkan pendaftaran peserta didik sepanjang tahun akademik. Dalam merancang kurikulum, peran industri sangat besar dengan memberikan masukan agar materi kurikulum sejalan dengan perkembangan industri. Di Denmark, sebagai contoh, presiden direktur perusahaan besar, umumnya duduk sebagai departmental board di universitas dengan fungsi memberikan mengenai masukan prioritas pendidikan dan pelatihan. Selain itu integrasi program PT dengan strategi pembangunan di daerah akan membantu insitusi ini beradaptasi dengan tantangan baru. Di Finlandia, Universitas Oulu menjadi salah satu universitas terbaik, meskipun terletak di dekat Artic. Hal ini disebabkan strategi pengembangan universitas ini disesuaikan dengan prioritas pengembangan daerah setempat. Disisi lain kebutuhan fleksibilitas menuntut kaji ulang pola perekrutan dan jenjang karier pengajar. Tantangan yang baru menutut fleksibilitas insitusi PT dalam penerimaan, penugasan dan evaluasi kerja pengajar.
1. 3. Reformasi Pendidikan Tinggi di Eropa Reformasi sistem pendidikan tinggi di Eropa didorong oleh empat fenomena. Pertama, transformasi sektor sekunder menuju sektor tersier membutuhkan kualifikasi tenaga kerja yang tidak saja terampil, namun harus mampu menguasai sistem teknologi baru. Kedua, proses neoliberalisasi telah meningkatkan arus mobilitas tenaga kerja yang berkualitas. Gejala ini telah membentuk gejala polarisasi sosial/spasial baru berdasarkan brain power. Proses polarisasi telah meningkatkan fenomena kompetisi. Karena itu, sistem 11
pendidikan tinggi pun terus melakukan proses diversifikasi dan spesialisasi dalam menghadapi kompleksitas baru ini. Ketiga, bersatunya kekuatan ekonomi dan politik di Eropa meningkatkan arus kerja sama antarnegara dalam berbagai bidang. Peningkatan aktivitas itu telah membawa proses kerja sama yang kian intensif yang variatif. Pendidikan tinggi merupakan tulang punggung riset yang mampu melakukan inovasi dalam pengembangan imu sosial, ekonomi dan politik; begitu juga dengan inovasi di bidang ilmu-ilmu dasar dan teknologi sesuai perkembangan itu. Keempat, proses neoliberalisasi telah berdampak pada memudarnya nation-state. Dinamika ini telah memberi konsekuensi pada berkurangnya investasi publik untuk sektor-sektor strategis jangka panjang (welfare state system), seperti sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sistem pensiun. Gagasan mereformasi PT negara-negara Eropa diawali dengan rapat para Menteri Pendidikan dari Prancis, Jerman, Inggris dan Italia pada 25 Mei 1998 di Sorbonne, Paris. Dari pertemuan tersebut dikemukakan bahwa PT memiliki peran penting di dalam membangun Eropa (central role in developing European cultural dimension), sehingga diperlukan upaya-upaya untuk menciptakan "European Higher Education Area" sebagai upaya meningkatkan mobilitas penduduk dan memperluas pekerjaan di benua Eropa secara keseluruhan. Kelak kemudian diperluas dengan diciptakan "European Research Area" Pertemuan tersebut kemudian dilanjutkan dengan pertemuan lain di Bologna, Italia (1999), di Salamanque, Spanyol (2001) di Praha, Republik Ceko (2001), di Berlin, Jerman (2003) dan terakhir di Bergen, Jerman (2005). Dari berbagai pertemuan tersebut lahirlah kesepakatan untuk melakukan reformasi pendidikan tinggi di eropa Tujuan dari reformasi ini adalah menjadikan Eropa the most competitive and dynamic knowledge-based economy in the world, capable of sustainable economic growth with more and better jobs and greater social cohesion. Tiga strategi tengah diterapkan untuk mencapai tujuan tersebut. Pertama, meningkatkan kualitas dan efektivitas sistem pendidikan dan pelatihan. Kedua, memfasilitasi akses semua masyarakat atas sistem pendidikan dan pelatihan. Terakhir, membuka secara luas sistem pendidikan dan pelatihan di Eropa bagi peserta didik. Strategi peningkatan kualitas, standar dan efektivitas belajar diperlukan agar Eropa dapat bersaing secara ekonomi dengan negara lain dan menjadikan masyarakat Eropa semakin
12
dinamik. Paling tidak empat program disusun untuk menggapai keberhasilan strategi ini, yakni pertama, peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan bagi pengajar. Kedua, pengembangan kemampuan peserta didik untuk belajar. Ketiga, menjamin setiap orang mempunyai akses dalam teknologi komunikasi dan informasi. Keempat, peningkatan sistem penjaminan mutu dan efisiensi insitusi PT. Strategi meningkatkan kualitas dan efektivitas sistem pendidikan dan pelatihan ditujukan untuk mendukung program lifelong learning dan menghapuskan hambatan birokrasi dalam pengelolaan pendidikan formal dan non-formal.Tiga program yang direncanakan adalah menciptakan lingkungan belajar yang terbuka dan inklusif, menjadikan belajar menjadi aktivitas yang menyenangkan, meningkatkan partisipasi publik dalam pengelolaan PT. Strategi membuka secara luas sistem pendidikan dan pelatihan di Eropa bagi peserta didik dimaksudkan untuk meningkatkan mobilitas mahasiswa, pengajar dan peneliti antar perguruan tinggi di Eropa, meningkatkan daya tarik dan daya saing perguruan tinggi di Eropa dan memperkuat kerjasama penelitian antar negara di Eropa.
13
2. Pendidikan Tinggi Di Prancis 2.1. Sistem Pendidikan Tinggi di Prancis 2.1.1. Sejarah dan Tujuan « Pendidikan Republikan » adalah sebuah model pendidikan buah Revolusi Prancis (1789), yang dimatangkan terutama oleh Troisième République (pasca kegagalan Kekaisaran Napoleon III). Pada awalnya, pendidikan hanya diperuntukkan bagi Aristokrat dan kaum bourgeois (para pedagang kaya yang tinggalnya di dalam bourg - di dalam tembok kota). Saat mayoritas penduduk adalah petani dan pelayan, pendidikan hanya dikonsentrasikan kpg kaum Aristokrat-Borjuis guna membentuk kaum honnête homme (artinya pembentukan “manusia utama”, manusia yang beradab, berkeutamaan, ningrat, dan tentu saja dengan sendirinya bersikap jujur sebagaimana menjad ideal ksatria Abad Pertengahan). Mulai abad 16, kehadiran ordo-ordo religius dari agama Katholik, membuat pendidikan makin populer (merakyat). Pendidikan bukan hanya untuk kaum aristokrat, tetapi mulai juga merekrut anak-anak petani.
Bertepatan dengan Renaissance (penghargaan kembali atas
kebudayaan Yunani dan Romawi) pendidikan yang meluas ini akan melahirkan era Lumière (Aufklärung, Pencerahan) yang kental dengan ide-ide humanisme universal. Pada gilirannya, kaum pencerahan dan kaum revolusioner (1789) akhirnya akan memenggal kepala para aristokrat dan kaum klerikal (termasuk para romo-romo dari ordo-ordo religius di atas). Dan akhirnya lahirlah Ecole Républicaine pada Troisième République di bawah nama menteri pendidikan saat itu, Jules Ferry. Sekolah Republik yang bercirikan humanistik-universal dan anti-klerikal (anti gereja) didirikan dengan tujuan a) membentuk kader republikan prancis yang berpengetahaun dan berwawasan, supaya mereka bisa mempertahankan Republik, dan b) menyebarluaskan ide-ide humanisme revolusioner buah Revolusi Prancis ke koloni-koloni Prancis.
14
Warisan-warisan humanistik-filosofis seperti itulah yang diteruskan saat ini di pendidikan di sini. Meski era dunia adalah globalisasi dan pasar bebas, kurikulum dasar Prancis masih mempertahankan pelajaran Filsafat sebagai salah satu
mata ujian baccalauerat (ijazah
setingkat SMA). Secara umum, proses pendidikan yang diikuti oleh anak-anak Prancis dalam sekolah republikan (sekolah negeri) adalah sebagai berikut. Tiga tahun école maternelle (TK), 5 tahun école élémentaire/SD (yang diakhiri dengan semacam ujian untuk mendapatkan certificat de scolarité), lalu 4 tahun collège/SMP (yang diakhiri dengan ujian untuk mendapatkan brevet de collège), dan 3 tahun lycée/SMA (yang diakhiri dengan pemberian ijazah baccalauréat atau Bac). Di level pendidikan bawah-menengah ini pemerintah Prancis menanggung hampir seluruh biaya pendidikan. Hal ini sesuai dengan membuat semua anak rakyat Prancis
amanat yang disangga oleh Pemerintah untuk melek pengetahuan. Dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi, praktis bisa dikatakan bahwa biaya pendidikan hampir seluruhnya ditanggung oleh Negara. Biaya pendidikan (yang paling banyak terutama adalah gaji guru) ditanggung secara nasional oleh negara, sedangkan biaya pelaksanaan harian pendidikan ditanggung oleh commune (kabupaten/kecamatan setempat). Dan sudah menjadi tradisi sejak jaman Troisième Republique dimulai, guru di Prancis selalu mendapatkan gaji yang layak. Ini bukan sebuah detail remeh, karena di lapangan kalau gaji guru tidak diperhatikan, guru juga tidak bisa konsentrasi untuk mengajar. Meski kurikulum pendidikan ditentukan secara nasional (dengan beberapa variasi untuk memberikan muatan lokal, sesuai keputusan tiap-tiap daerah), tetapi pelaksanaan kurikulum di tiap kelas (atau di tiap bidang studi) diserahkan dengan bebas kepada inisiatif masingmasing guru. Oleh karena itu, setiap guru/profesor di Prancis selalu membuat buku acuannya sendiri, membuat tafsiran sendiri, dan mengajarkan bidang studi sesuai dengan kapasitas personal dia. Mutu tidak mutunya guru hanya akan kelihatan dari tiap ujian akhir, dilihat dari kelulusan murid-muridnya yang saat itu harus mengikuti Ujian Akhir Nasional. Di sini kelihatan bagaimana mentalitas orang Prancis menggabungkan di satu sisi kecenderungan mereka akan sentralisme (adanya standard nasional, kurikulum nasional) dan di sisi lain kecenderungan mereka untuk menjaga dengan sangat hormat inisiatif dan kemerdekaan tiap individu untuk berekspresi. Dua hal yang biasanya bertentangan itu dipraktekkan di lapangan.
15
Pendidikan di Prancis pada prinsipnya masih menerapkan pola Troisième République, pendidikan tinggi negeri bagi warga negara Prancis dibedakan menjadi dua: pertama, pendidikan umum bagi sebagian besar warga negara (seperti Université dan Ecolé d’Application Technique); dan kedua, pendidikan bagi kelas elit yang biasanya akan menguasai strata atas administrasi kenegaraan (les Grandes Ecolés). Model ini dengan bagus disarikan oleh kata-kata Paun Langevin (1872-1946): „Promotion de tous et sélection des meilleurs“, atau „promosi bagi semua warga negara dan seleksi untuk mencari yang terbaik dari mereka“ (Alain Cadix, „L’enjeu:démocratiser les grandes écoles“, Le Monde, 27 septembre 2005, p 17). Untuk ke université, tiap warga negara berhak diterima masuk. Jadi, siapa saja yang mampu memiliki ijazah Bac (SMA) secara otomatis bisa ke université. Tetapi, untuk masuk ke Grande Ecole (sekolah Elit Republikan, yang dikonsep untuk mengisi pos-pos kenegaraan), lulusan lycée (SMA) mesti masuk dulu ke Ecole de Préparation (selama 2 tahun, selevel DEUG-Université/ 1ère cycle). Baru kemudian lewat sebuah ujian saringan (concours) mereka akan diseleksi guna masuk ke Grande Ecole (yang gratis juga, plus diberi kemudahan soal tempat tinggal, fasilitas belajar, serta masa depan yang lebih menarik). Sebagai contoh, di bidang filsafat, anak-anak terpandai di bidang ini (misalnya nama-nama besar para filsuf seperti Merleau Ponty, Jean Paul Sartre, Foucault, Derrida) biasanya adalah anak-anak lulusan Ecole Normale Supérieure de Philosophie (ENS-Philo) di rue d’Ulm. Mereka bisa masuk ke sini setelah melewati Ecole Prepa dan lolos concours. Di ENS ini mereka mendapatkan fasilitas asrama serta pendidikan yang sangat terdampingi dengan banyak profesor tutorat serta bibliothek yang sangat bagus. Khusus untuk ENS-Philo, mereka tidak mengadakan program doktoral, maka lulusan ENS-Philo akan bergabung dengan para kandidat S-3 lainnya di sebuah Université. Dalam hal terakhir ini ada bermacam-macam variasi. Ada Grande Ecole yang bisa menyelenggarakan program doktoralnya sendiri, ada yang bekerjasama dengan CNRS (LIPI-nya Prancis). Untuk hubungan dengan lapangan pekerjaan, pos-pos fonctionnaire (pegawai negeri) biasanya kebanyakan diisi anak-anak dari Grande Ecole. Mengapa? Karena mereka lebih dipersiapkan secara intensif. Ujian saringan untuk menjadi guru negeri SMA dan Universitas (Concours d’Agregation) sebenarnya terbuka untuk semua pelajar (entah jalur université maupun jalur Grande Ecole). Tetapi karena jalur yang kedua lebih terdampingi, maka mereka-merekalah yang biasanya memiliki kesempatan besar untuk lolos. 16
Dibalik pembedaan antara sekolah elit dan sekolah umum, ternyata ada missi dari negara. Negara Prancis berkepentingan untuk memiliki kader-kader yang dididik secara khusus. Maka normal kalau mereka diseleksi, dididik khusus, supaya bisa « menjalankan » negeri ini di depan persaingan dengan negara-negara lainnya. Para lulusan Ecole Polytechnique adalah mereka-mereka yang menguasai seluruh strata atas birokrasi dan ekonomi Prancis. Tetapi, bila pendidikan bersifat gratis, bagaimana tolok ukur keberhasilan pendidikan ? Untuk apa memiliki sarjana kalau lapangan pekerjaan tidak bisa menyerapnya ? Dalam hal ini pemerintah Prancis memiliki pemikiran sendiri mengenai « tolok ukur pendidikan ». Maksudnya, berbeda dengan Inggris atau Amerika, bagi negara Prancis
memberikan
pendidikan kepada warga negaranya adalah kewajiban negara. Mengenai hasil akhir, hal itu diserahkan pada proses pendidikan itu sendiri. Tentu saja ada pengukuran presis atas jumlah pensiunan PNS dan pos yang dibutuhkan untuk mengisi kelowongan tenaga pendidikan serta numerus clausus yang ditawarkan dalam concours (ujian saringan untuk PNS). Tetapi, secara umum, tidak ada pengukuran secara eksak antara out put hasil didikan universitas dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Hasil pendidikan tampak dalam proses pendidikan itu sendiri, dan bukankah orang yang melek pengetahuan justru potensial untuk menciptakan lapangan pekerjaan ?
2.1.2. Sistem dan Organisasi Pendidikan Tinggi Sejak tahun 1968 ditetapkan tiga azas yang mendasari organisasi pendidikan tinggi di Prancis yaitu : a) Otonomi universitas di bidang keuangan, administrasi dan ilmu pendidikan; b) Partisipasi mahasiswa, pengajar dan civitas akademika pada segala kegiatan pemilihan (Dewan UER, Dewan Universitas); dan c) Multidisiplinaritas sehingga dapat menghindari spesialisasi yang sempit. Menurut pembagian administratif, Prancis dibagi dalam wilayah-wilayah akademik. Jumlah wilayah untuk seluruh Prancis ada 24. Misalnya akademi Paris mencakup perguruan tinggi di Paris dan sekitarnya. Dari undang-undang yang dikeluarkan tanggal 26 Januari 1984 diadakan penyempurnaan (reorganisasi) pendidikan dari siklus pertama sampai siklus ketiga yang bertujuan : - Perbaikan prestasi pendidikan tinggi, - Penganekaragaman dan profesionalisasi pendidikan tinggi, - Penyesuaian pendidikan tinggi pada keadaan nyata di luar perguruan
17
tinggi (perindustrian, dan pusat-pusat penelitian) dan membentuk ikatan dengan lingkungan ekonomi dan sosial.
Perbaikan tersebut bertujuan untuk menjadikan pendidikan di Universitas lebih praktis tanpa menghilangkan fungsi kulturalnya. Pada tahun 1992 dan berikutnya tahun 1997 telah diadakan pembaharuan kembali pada sistem pendidikan tinggi di Prancis ini khususnya untuk menata ulang profesionalisme di setiap bidang pendidikan serta memungkinkan keserasian sistem dengan sistem di negara anggota Uni Eropa dan keterbukaan bagi masyarakat Uni Eropa. Perbaikan siklus pertama bertujuan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada mahasiswa untuk dapat memilih dengan tetap mempertahankan pelajaran klasik yang diimbangi dengan usaha, lebih membuka diri pada masalah teknologi, ekonomi dan sosial tanpa menghilangkan fungsi kulturalnya. Siklus ketiga merupakan formasi penelitian perseorangan atau dalam kelompok kerja yang bersifat multidisiplin. Organisasi pendidikan di universitas pada dasarnya hampir sama namun untuk Fakultas Kedokteran, Farmasi, Sekolah Tinggi (Grandes Ecoles) berbeda dengan organisasi pada fakultas sains. Hal tersebut juga akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan sistem pendidikan di Indonesia. Sedang program Institut Universitaire de Technologie (IUT) sederajat dengan program D1, D2, D3 atau politeknik di Indonesia. Secara umum sistem PT di Prancis terbagi menjadi 4 (empat) institusi : yaitu Université, Grandes Ecoles, Classes Préparatoires, dan yang lain-lainnya. Université : Sejak abad 19 sekitar 60 universitas telah didirikan di Prancis. Pelayanan pendidikan yang diberikan universitas dibiayai oleh Negara (tahun 2001 sebesar 6,590 euro tiap mahasiswa). Banyak pelajar asing yang belajar di berbagai universitas di Prancis. Pada tahun 2002-2003 jumlah pelajar asing mencapai 180,418 pelajar atau sebesar 12,7% total pelajar. Universitas biasanya menawarkan program studi yang sangat beragam disiplin ilmunya. Tiap universitas terdiri dari berbagai jenis departemen, dikenal sebagai unités de formation et de recherche (UFR). Tiap UFR mencakup berbagai disiplin ilmu khusus seperti sastra, sains, bahasa, hukum, ekonomi, dll. Pelajar yang berhak masuk universitas adalah yang telah menyelesaikan pendidikan setingkat baccalauréat. Secara prinsip tidak ada ujian masuk universitas, hanya pemeriksaan dossier
18
yang diperlukan untuk masuk universitas. Peneriman jumlah pelajar dibatasi oleh kapasitas tempat yang tersedia. Universitas mempunyai program studi beragam dari saintifik, sosial kultural dan profesional. Organisasi universitas adalah dibawah kementerian pendidikan. Terkait dengan pengajaran, ada tiga jenis universitas, yakni IUT (Instituts universitaires de technologie, didirikan sejak 1966 dan menawarkan program profesional jangka pendek), IUFM (Instituts universitaire de formation des maitres, didirikan sejak 1989 dan memberikan pelatihan untuk menjadi guru) dan IUP (Instituts universitaires professionnalises, didirikan sejak 1991 dan menawarkan program profesional terspesialisasi yang berhubungan erat dengan industri). Grandes Ecoles: sebuah sistem unik yang hanya dimiliki Prancis, dimana menawarkan pendidikan khusus dengan standar tinggi. Standar tinggi ini dicerminkan dari ketatnya pesaingan untuk masuk ke Grande Ecole. Sekolah ini dikenal sebagai sekolah yang prestisius karena menghasilkan pemimpin-pemimpin di pemerintahan dan industri. Penerimaan masuk ke Grande Ecole sangat selektif dan didasarkan ujian kompetisi. Setelah lulus ujian SMA, maka pelajar tidak langsung masuk ke Grande Ecole, melainkan harus terlebih dahulu melewati kelas persiapan selama dua tahun sebelum akhirnya berhak mengikuti seleksi ketat untuk masuk ke Grande Ecole. Grande Ecole menawarkan program studi yang lebih spesifik dibandingkan université. Ada beberapa macam Grande Ecole, diantaranya Grande Ecoles Scientifiques, Ecole Normales Superieures,dll. Bidang yang diajarkan sangat beragam : baik untuk ilmu sosial maupun sains murni, termasuk juga untuk teknik sipil, sekolah militer, sekolah administrasi negara, sekolah pertanian, sekolah veteriner, sekolah seni dan arsitekteur.Selain dibawah kementrian pendidikan, pengelolaan beberapa organisasi jenis ini berada langsung di bawah departemen teknis terkait (misalnya kementrian pertahanan, kementrian industri dll). Classes Preparatoires : ini merupakan istitusi setingkat SMA + 2 tahun pendidikan lanjut. Ada dua jenis untuk institusi ini : yaitu STS (Sections de Technicien Superieur) dan CPGE (Classes Preparatoires aux Grandes Ecoles). STS adalah kelas yang berorientasi ke profesional yang berada dibawah Lycees (secondary level institutions) dan berlangsung selama 2 tahun. Dua jenis program STS ditawarkan, yaitu kursus untuk sektor sekunder (terkait dengan industri) dan kursus untuk sektor tersier (terkait dengan bisnis dan sektor
19
jasa). Sedangkan CPGE merupakan kelas persiapan untuk dapat berkompetesi sebelum masuk ke Grandes Ecoles. Lain-lainnya: Termasuk diantaranya sekolah untuk paramedical dan pekerja sosial dan lainlain. Kesemuanya berorientasi kerja (profesional). Secara skematis, Pendidikan Tinggi di Prancis diorganisir dalam 3 siklus sebagai berikut ini :
A. Siklus pertama (Bac + 2 tahun) : Prasyarat untuk memasuki siklus pertama ini adalah diploma Baccalaureat/Bac (ijazah SMA). Waktu tempuh siklus pertama adalah 2 tahun, yang diakhir dengan diploma « Bac + 2 tahun ». Secara spesifik, diploma itu diberi nama sesuai bidangnya masing-masing : · Diploma Studi Umum Universitas (DEUG). · Diploma Studi Sains dan Teknik Universitas (DEUST). · Diploma Universitas (DU). · Diploma Universitas Teknologi (DUT).
B. Siklus Kedua (Bac + 3-5 tahun) : Siklus kedua merupakan pendidikan untuk memperoleh gelar Ingenieur dan Magister dalam waktu 2 atau 3 tahun Prasyarat diploma yang diperlukan untuk memasuki siklus kedua ini adalah DEUG. Bagi para pemiliki diploma DEUG ini, ia memiliki kesempatan untuk memilih kemungkinan-kemungkinan pendidikan di siklus kedua seperti : * Formasi fundamental, profesional dan/atau spesialisasi untuk
mendapatkan Diploma :
Licence (DEUG + 1 tahun atau Bac + 3 tahun) dan Maitrise (Licence + 1 tahun atau Bac + 4 tahun) Untuk Licence dan Maitrise ini, bidang keahlian yang dimiliki adalah sama dengan bidang keahlian di DEUG. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa Licence dan Maitrise merupakan lanjutan dari DEUG. * Pendidikan yang bertujuan keahlian dirancang dalam suatu paket 2 tahun yang tidak dapat dipisah untuk mendapatkan Diploma (Bac + 4 tahun) adalah : Maitrise de Sciences et Techniques MST (Sains dan Teknik) ;
Maitrise de Sciences de Gestion MSG (Ilmu
Manajemen) ; Maitrise de Methodes Informatiques Appliquees à la Gestion.
20
* Pendidikan menuju gelar Insinyur yang dirancang dalam paket 3 tahun (atau menurut skema MST + 1 tahun; DEUG + 3 tahun; atau Bac + 5 tahun). * Pendidikan universiter yang dirancang dalam paket 3 tahun yang tidak dapat dipisah untuk mendapatkan Magister (DEUG atau DUT + 3 tahun = Magister atau Bac + 5 tahun). * Pendidikan universitas untuk memperoleh gelar Mastaires (atau Master pada umumnya seperti yang terdapat pada sistem pendidikan eropa dan amerika pada umumnya) dalam rangka menyesuaikan dengan sistem pendidikan di Eropa pada umumnya dan dibuka sejak tahun 1999. Magister yang dapat diambil pada tahun ajaran 1985, merupakan pendidikan dalam jangka waktu 3 tahun terbuka bagi mereka yang mempunyai DEUG atau DUT, dengan menunjukkan diplomanya, demikian juga bagi mahasiswa sekolah tinggi (Grandes Ecoles), merupakan diploma yang diberikan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Diploma ini meliputi suatu pendidikan tingkat tinggi, sangat multidisipliner, dengan tujuan profesional, tetapi merupakan diploma universitas, bukan diploma nasional. Pemegang diploma Mastaires memiliki level yang sama dengan pemegang diploma DEA atau DESS pada siklus ketiga.
C. Siklus ketiga (Doktorat atau Bac + 7 - 9 tahun) : Siklus ketiga merupakan pendidikan untuk memperoleh gelar magister dan doktor dalam waktu 1 sampai 5 tahun. Prasyarat diploma yang diperlukan untuk memasuki siklus ketiga ini adalah Maitrise. Dengan ijazah Maitrise memungkinkan seseorang untuk dapat memilih antara 2 jalur, yaitu : * Jalur Diploma Studi Tinggi Spesialisasi (DESS), suatu bentuk pendidikan dengan tujuan keahlian dalam waktu 1 tahun. (Maitrise + 1 tahun DESS atau Bac + 5 tahun) * Jalur Doktorat yang pada tahun pertamanya diperkuat dengan Diploma Studi lanjut (DEA). Maitrise + 1 tahun DEA + 3 tahun doktoral atau Bac + 5 + 2 sampai 4 tahun doktoral atau Bac + 7 tahun sampai 9 tahun. Atau melalui jalur lain, Insinyur + DEA (1 tahun) + 2 sampai 4 tahun doktoral.
21
SKEMA SISTEM PENDIDIKAN DI PRANCIS
22
2.2. Keuangan 2.2.1. Data anggaran untuk pendidikan nasional di Prancis Pembiayaan publik PT di Prancis secara nominal meningkat dalam kurun 1991-1998. Akan tetapi andai dihitung berdasarkan presentasi GDP maka relatif konstan dan cendurung menurun. Gambar 3. menjelaskan Pembiayan Publik untuk PT (dalam juta FF/franc français dan persentase GDP). 100000
75000
50000
25000
0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
public total private households
private industry private total
0
0
0
0
0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
public total private households
private industry private total
Sumber: MENRT (1999d).
Tahun 1997-2002 Menurut gambaran yang diberikan oleh site internet Partai Sosialis Prancis (http://www.partisocialiste.fr/lafrancequichange/education.htm : „education-culture“, diakses tanggal 20 juli 2005), budget umum untuk pendidikan Nasional di Prancis adalah sebagai berikut:
23
Sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2002, budget pendidikan nasional menjadi budget pertama Negara di Prancis (acuan diambil dari : projets de loi de finances 1997 et 2002) (Perhitungan 1 euro = 6,55957 francs).
Tahun
Jumlah Alokasi Anggaran Pendidikan Nasional
1997
273 milliards francs (41,62 milliards euros)
2001
388 milliards francs/59,14 milliards euros (jika ditotal keseluruhan biaya untuk pendidikan nasional, budget ini sebenarnya mencapai 654 milliards francs/ 99,7 milliards euros). - Dana ini untuk membiayai 870 ribu pengajar, 70.700 lembaga persekolahan, dan 15 juta murid/mahasiswa - Budget ini lebih besar daripada budget pertahanan dan keamanan (244 milliards francs/37,2 milliards euros) - Dari dana tersebut, khusus untuk Riset, alokasinya mencapai 70 milliards francs/10,67 miliards euros (pada tahun 1997 dana riset hanyalah 27 milliards francs/4,1 milliards euros). Riset ini diberikan untuk karya-karya 82 universitas (yang memiliki 82 ribu periset dan insinyur-insinyur peneliti) - Total budget ini = 28, 2% dari Anggaran Pembangunan Nasional 403 milliards francs (61,43 milliards euros) (jika ditotal dengan seluruh anggaran untuk pendidikan nasional, budget mencapai 98, 2 milliards euros)
2002
Data-Data Pendidikan Nasional di Prancis tahun 2002 menurut Paul Phillipon-Dollet, Le Nouvel Hebdo (tgl 3 september 2002) di site : http://www.01net.com/article/191469.html):
Jumlah pelajar
: 14 924 000
Jumlah pengajar
: 876 000
Jumlah sekolah
: 70 228
Budget Kementrian Pendidikan Nasional
: 55 milliards d'euros
Pengeluaran untuk Pendidikan (di luar wilayah DOM/TOM) : 98,2 milliards d'euros Asal Pemasukan (en milliards euros) Pengeluaran Negara Daerah-Daerah Dana Mandiri Perusahaan Dari lain-lain TOTAL
: 63,3 : 20,7 : 6,3 : 6 : 1,9
Salaires, charges et pensions : 77 % Investasi :8% Pengeluaran lain-lain : 15 %
= 98, 2 milliards euros
24
Tahun 2003 Menurut http://www.ifrap.org/0-ouvrirlesite/Education-nationale.htm, Education nationale : plus d'argent pour moins de résultats (ditulis oleh Nicolas Lecaussin, du Société Civile N°28, septembre 2003), budget general untuk pendidikan nasional mencapai 103,6 milliards euros (= 7% dari Product Intérieur Brut tahun 2002). Dari 103, 6 milliards tersebut, 63 milliards adalah pengeluaran administratif (kementrian pendidikan). Dengan
budget
seperti
itu,
bagaimana hasil pendidikan di Prancis ? Ternyata, toh dianggap tidak begitu menggembirakan, karena secara mondial Prancis berada di posisi ke-15 : « En effet, le Rapport situe la France à la 15ème place (et non pas à la 10ème comme on a pu le voir dans certains journaux de l'Hexagone) pour le niveau de compétence de ses élèves. Parmi les premiers, la Finlande, la Corée du Sud, Hong Kong, Canada, Japon et l'Irlande. Néanmoins, dépenser en moyenne plus par élève ne signifie pas, contrairement à ce que soutiennent les syndicats français, obtenir de meilleures performances. L'Italie dépense à peu près deux fois plus par élève que la République de Corée, mais alors que la Corée fait partie des pays qui obtiennent les meilleurs résultats dans les trois domaines de connaissance, l'Italie obtient des résultats notablement inférieurs à la moyenne. De même, en Finlande, le meilleur de la classe, le coût d'un élève ne dépasse pas 4 700 par an, tandis qu'en France, celui-ci coûte 6 800 euros/an. Les résultats de ce Rapport ne font que s'ajouter à une longue liste de mauvaises notes (dépenses publiques, impôts, subventions, etc.) attribuées ces derniers temps à notre pays. Le comble c'est que nos gouvernants ne comprennent toujours pas qu'il faut agir. »
Tahun 2005 Menurut survey The Economist, “Survey: Higher Education” (Friday September 9th 2005 http://www.economist.com/displaystory.cfm?story_id=4339), tidak ada satu pun perguruan tinggi Prancis di antara 20 universitas terbaik di dunia. Mereaksi hal tersebut, Nicolas Sarkozy (menteri dalam negeri Prancis, presiden partai kanan mayoritas, UMP, kini Presiden Prancis) mengungkapkan keprihatian yang sama (« Enseignement supérieur et recherche, l'heure des choix », par Nicolas Sarkozy – ministre de l’intérieur, Le Monde, 21 septembre 2005). Menurut Sarkozy, PT terbaik Prancis saat ini berada di posisi 46 di klasemen mondial, jauh di belakang Amerika, Inggris atau Jepang. Salah satu sebab dari kemunduran itu adalah
25
sedikitnya biaya yang dialokasikan ke PT di Prancis (hanya 1% dari PIB, jauh di belakang Amerika yg memberikan 2,7% dari PIB atau Korea Selatan dengan 2,6% dari PIB-nya). « Notre pays ne se positionne plus qu'à la douzième place mondiale pour l'impact global de ses travaux de recherche. Ces dix dernières années, un seul chercheur français s'est vu attribuer un prix Nobel en sciences, contre trois en Suisse, six en Allemagne, huit au Royaume-Uni et soixante-dix aux Etats-Unis. Quant à nos établissements d'enseignement supérieur, un classement international récent faisait figurer la première université française à la 46e place, loin derrière des universités américaines, britanniques ou japonaises. Certes, ce type de classement est toujours contestable. Mais j'observe que les indicateurs sont rarement à l'avantage de notre pays. (…) La France consacre un peu plus de 1 % de sa richesse nationale au financement de l'enseignement supérieur, un effort sensiblement moins important qu'aux Etats-Unis (2,7 %), en Corée du Sud (2,6 %) ou en Suède (1,7 %). La dépense par étudiant y est beaucoup moins élevée que dans la moyenne des pays de l'OCDE. Fait moins connu, qui nous singularise encore davantage, elle est également inférieure de 20 % à la dépense moyenne par élève du premier et second degré. Notre effort de recherche, lui, se relâche depuis le milieu des années 1990, pour stagner autour de 2,2 % du produit intérieur brut. Il se situe, dorénavant, en net retrait derrière les grandes puissances industrielles Etats-Unis, Japon, Allemagne, mais aussi derrière la Suède, la Suisse ou la Corée du Sud. Je note, par ailleurs, que la Chine vient de passer devant notre pays pour ce qui est de son poids dans les dépenses mondiales de recherche. Ce manque de moyens trouve, pour partie, son origine dans la situation très dégradée de nos finances publiques. »
2.2.2. Data Anggaran untuk Pendidikan Tinggi di Prancis Budget 2002 khusus untuk Pendidikan Tinggi menurut Le ministère de la jeunesse, de l’éducation nationale et de la recherche : Budget coordonné de l'enseignement supérieur Année 2002 (http://www.education.gouv.fr/sup/bces2002/donquan1.htm) adalah : « Au total, les crédits recensés en faveur de l’enseignement supérieur s’élèvent en 2001 à 11 351 millions d'Euros (soit 74 456 MF) et à 11 506 millions d'Euros (soit 75 468 MF) au PLF 2002. Ce montant constitue un socle minimum, eu égard à l’ensemble des difficultés
26
rencontrées pour déterminer avec précision le niveau réel des moyens affectés. (…) Le ministère de l’éducation nationale consacre 16,65 % de la totalité de son budget à l’enseignement supérieur. Les seules STS-CPGE de la section " scolaire " représentent 2,89 % du budget total du MEN. (…) Avec plus de 11 311 millions d'Euros, les crédits recensés en faveur de l’enseignement supérieur représentent 4,34 % du budget de l’Etat. » Sedangkan Budget 2004 khusus untuk Pendidikan Tinggi menurut Le ministère de la jeunesse, de l’éducation nationale et de la recherche : Budget coordonné de l'enseignement supérieur - Année 2004 (http://www.education.gouv.fr/sup/bces2004/donquan1.htm) adalah : « Au total, les crédits recensés en faveur de l’enseignement supérieur s’élèvent en 2003 à 11 748 M€ et à 12 095 M€ au PLF 2004. Ce montant constitue un socle minimum, eu égard à l’ensemble des difficultés rencontrées pour déterminer avec précision le niveau réel des moyens affectés. (…) Le ministère de la jeunesse, de l’éducation nationale et de la recherche consacre 16,06 % de la totalité de son budget à l’enseignement supérieur. Les seules STSCPGE de la section " scolaire " représentent 2,80 % du budget total du MJENR. » Budget untuk tahun 2005 (menurut, « L’armée rit, l’éducation nationale pleure », L’Humanité,
23
septembre
2004,
http://www.humanite.presse.fr/journal/
2004-09-23/2004-09-23-401109) menunjukkan bahwa dana khusus untuk riset sebesar 9,285 juta euro. « Tahun 2004, pemerintahan Raffarin menjanjikan 1 milliard euros tambahan untuk riset di pendidikan tinggi (artinya 10% lebih dari budget sebelumnya). Ternyata, realisasinya hanyalah sepertiga dari yang dijanjikan, karena 1 milliard euros itu akan diberikan dalam tempo 3 tahun. Dengan demikian untuk budget riset tahun 2005, hanya ada tambahan 356 juta euros (kalau tahun sebelumnya 8 929 juta euros, maka untuk tahun 2005 menjadi 9 285 juta euros). »
2.2.3. Metode alokasi budget Untuk sebagian besar insitusi pendidikan tinggi, model nasional SANREMO (système analytique de répartition des moyens, diaplikasikan mulai tahun 1994) digunakan untuk mengalokasikan staf dan anggaran. Model telah digunakan oleh 231 institusi PT. Bagi pemerintah model ini berfungsi ganda, untuk merencanakan anggaran pendidikan dan untuk mengalokasikan sumberdaya (staf dan dana) kepada institusi PT. Dasar perhitungannya adalah
27
jumlah mahasiswa yang mendaftar. Alokasi dana publik ditentukan berdasarkan empat kriteria : kebutuhan untuk tambahan jam kerja staff (additional staff hour), jenis fungsi pedagogi (fungsional dan umum), besaran floor surface dan kompensasi untuk non-academic staff. Biaya yang dibayarkan mahasiswa akan mengurangi jumlah subsidi. Beberapa institusi PT swasta dapat memperoleh dana publik andai pemerintah memandang institusi ini penting. Dalam hal ini kontrak dibuat antara institusi tersebut terkait dengan besarnya dana dan target yang ingin dicapai. Secara prinsip negara bertanggung-jawab penuh dalam investasi sektor PT, namun sejak 1968 institusi PT telah diberikan otonomi. Institusi PT dapat mengusulkan proposal kebutuhan pendanaan terkait kebutuhan bangunan dan material untuk pengajaran, penelitian dan perpustkaan. Usulan investasi ini diperiksa dan dinilai oleh suatu badan (le rectorat), sebelum kemudian diajukan ke Pemerintah. Pemerintah pusat bertanggung-jawab atas pembiayaan gedung, pengembangan dan peralatan universitas. Namun sejak 1989, sebagian beban tanggung-jawab ini dibagi ke pemerintah daerah. Hanya 20% dana publik yang dialokasikan pemerintah yang dapat dikelola universitas. Dari 48.5 milyar FF anggaran tahun 1998, 10 milyar dikelola langsung universitas, 26.6 milyar untuk membayar gaji pegawai (fonctionnaire), 8.2 milyar digunakan untuk mendukung mahasiswa dan 1.8 milyar untuk konstruksi bangunan.
Sistem kontrak Sistem kontrak antara pemerintah dan insitusi PT dalam mengalokasikan dana publik mulai diterapkan sejak 1998. Tujuannya adalah untuk memberikan otonomi insitusi PT lebih luas dan untuk memudahkan bagi pemerintah mengawasi PT dan mendorong dan mengkoordinasi aktivitas PT. Setiap institusi PT diwajibkan menyusun rencana pengembangan untuk 4 tahun kedepan, yang disesuaikan dengan objektif nasional dan kebutuhan lokal. Rencana pengembangan mencakup aktivitas pendidikan, pengajaran, manajemen, program internasionalisasi dari PT dan keterlibatan masing-masing aktor (mahasiswa, staf, otoritas publik dan pihak lain). Rencana tersebut diserahkan ke pemerintah (melalui kementrian terkait yang membawahi institusi PT), dinegosiasikan dan akhirnya disahkan sebagai kontrak 4 tahun. Kontrak ini bukanlah kontrak hukum (legal contract) tapi sebagai sebuah kesepakatan bersama (set of
28
mutual) yang dijabarkan dan diformalkan dan yang akan dijalankan sebagai kewajiban dan komitmen.
2.2.4. Sumber pendapatan institusi PT Universitas menerima hampir 57% dana operasi dari pemerintah. Di Grande Ecole untuk teknik persentasi ini lebih rendah (46%) dan pada program pendidikan guru lebih tinggi (76%). Pendapatan dari riset untuk Grande Ecole teknik menyumbang 15% sedang untuk universitas hanya 5%. Gambar 4 dan Tabel 1, secara berturut-turut mengambarkan distribusi sumber pendanaan publik berdasarkan sumbernya dan sumber penerimaan insitusi PT.
18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
MENRT teaching MENRT research other ministries Local authorities taxe d'appr other own funds
Gambar 4. distribusi sumber pendanaan publik berdasarkan sumbernya
Tabel.1: sumber penerimaan insitusi PT., 1997, juta FFR universities MENRT teaching 5962 43% MENRT research 1110 8% Other ministries 847 6% Local authorities 711 5% D r o i t s u n i v e r s i t a i r e s1374 10% (tuition) Taxe d'apprentissage 299 2% Research income 764 6% Recurrent teaching income 1033 7% Other income 1774 13%
engineering schools 676 36% 100 5% 80 4% 87 5% 83 4%
IUFM 600 0 41 44 49
71% 0% 5% 5% 6%
92 276 88 385
0 0 0 108
0% 0% 0% 13%
5% 15% 5% 21%
Source: MENRT (1999).
29
2.2.5. Pembiayaan riset Penelitian di tingkat Pendidikan Tinggi dilakukan oleh CNRS (Centre National de la Recherche Scientifique, lembaga riset scientifik milik pemerintah), Grande Ecole dan Universitas. Pembiayaan riset di tiga institusi tersebut berasal dari pemerintah (core funding), dana sendiri (own resources) dan kontrak industri (contract). Distribusi pendanaan riset dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel.2: Distribusi pendanaan riset insitusi PT., 1997, juta FFR Higher education institutions Cnrs Grandes écoles Universities
core funding 81% 90% 51% 77%
own resources 4% 4% 17% 3%
contracts 15% 6% 33% 20%
Source: MENRT (1999).
2.3. Akses Pendidikan Tinggi 2.3.1. Prinsip dasar mengenai tuition fees Di Prancis, semua mahasiswa yang menempuh program sarjana dan pascasarjana wajib membayar tution fees, meskipun besarnya tidak signifikan. Besarnya tuition fee tergantung dari jenis program (misal ekonomi atau engineering, sarjana atau pascasarjana) dan jenis institusi PT (université atau grande ecoles). Secara umum besarnya adalah 130 euros, untuk engineering program sebesar 360 euros, sedangkan untuk program kesehatan mencapai 290-810 euros. Untuk institusi PT publik, besarnya tuition fee ditetapkan pemerintah sedangkan untuk institusi PT swasta ditentukan oleh institusi tersebut.
Untuk memasuki Université, lulusan SMA tidak perlu menjalani seleksi khusus. Tergantung kecepatan pendaftaran dan ketersediaan bangku, Univeristas hanya memeriksa dossier 30
mereka. Sedangkan untuk memasuki Grande Ecole, lulusan SMA mesti menjalani proses seleksi yang sangat ketat. PT Swasta memiliki mekanisme mandiri untuk menyaring calon mahasiswanya.
2.3.2. Bantuan pemerintah untuk mahasiswa Bantuan yang diberikan pemerintah kepada mahasiswa umumnya melalui beasiswa (grants), yang diberikan berdasarkan kriteria sosial dan berdasarkan kriteria universitas. Beasiswa jenis pertama merupakan bagian dari sistem jaminan sosial Prancis yang diberikan kepada keluarga (termasuk anaknya yang berusia < 26 tahun) berdasarkan dasar pertimbangan kondisi pendapatan keluarga (ekonomi). Warganegara yang berumur kurang 26 tahun dan pendapatan keluarga dibawah batasan tertentu yang diterapkan pemerintah, dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan beasiswa ini. Selain bantuan pendidikan, sesuai dengan sistem jaminan sosial di Prancis, maka mahasiswa dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan biaya sewa kamar kos (aide de logement).
Recteur Academie bertanggung-jawab pada manajemen dan penilaian pengajuan. Satu lembaga khusus (CROUS, Centre régional des oeuvres universitaires et scolaires regional atau centres for university and school life) mengelola beasiswa tersebut.
Beasiswa jenis kedua adalah bantuan yang diberikan berdasarkan penilaian terhadap prestasi mahasiswa. Bantuan ini umumnya diberikan kepada mahasiswa yang hendak melanjutkan ke tingkat pascasarjana (Baccalaureat + 5).
Jumlah mahasiswa yang menerima bantuan (sosial grant, university grant dll) meningkat dari 272,966 di tahun 1990/91 menjadi 440,252 pada 1999/00, yang merepresentasikan 22.1% total mahasiswa terdaftar, dimana 97% menerima bantuan berdasarkan kriteria sosial. Secara nominal keseluruhan grant ini dapat memenuhi hampir 50% total biaya hidup dan biaya sekolah. Besarnya bantuan secara nominal meningkat namun dalam presentase GDP cenderung konstan. Tabel 3 mengambarkan besarnya bantuan untuk mahasiswa.
31
Tabel 3. Bantuan untuk mahasiswa.
1991 In current prices, mln FF 4289 % of GDP 0.06%
1992 1993 5339 6422 0.08% 0.10%
1994 7082 0.11%
1995 7575 0.11%
1996 7476 0.11%
1997 7040 0.11%
1998 7297 0.11%
Source: MENRT (1999d).
32
3. Pendidikan Tinggi Di Belgia 3.1. Pendahuluan Walaupun secara geografis luas Belgia hampir sama dengan propinsi Jawa Barat dan jumlah penduduknya lebih sedikit dari Jakarta, Belgia bukanlah sebuah negara yang homogen. Sejarah Belgia adalah sejarah pertarungan dan perpecahan antara elemen-elemen masyarakat yang terbagi berdasarkan ideologi, status sosio-ekonomis dan daerah. Beberapa ahli sejarah Belgia menggunakan teori Martin-Lipset dan Rokkan mengenai Cleavage Structures. Menurut mereka evolusi sejarah politik eropa dipengaruhi secara garis besar oleh dua kejadian, Revolusi Nasional dan Revolusi Industri. Kedua revolusi ini melahirkan konflik yang akhirnya memunculkan cleavages atau perpecahan yang terkristalisasi dalam dua poros : poros fungsional dan poros teritorial-kultural. Revolusi Nasional melahirkan konflik antara Negara dan Gereja secara fungsional, dan antara Pusat dan Daerah secara territorial. Selanjutnya Revolusi Industri melahirkan konflik antara borjuasi dan pekerja secara fungsional, dan antara desa dan kota secara teritorial. Untuk dapat memahami sejarah pendidikan belgia kita harus melihat pengaruh dari beberapa perpecahan yang mempengaruhi sistem pendidikan belgia. Yang pertama adalah konflik antara Gereja dan Negara. Dimasa Ancien Regime, pendidikan bukanlah merupakan urusan negara. Urusan ini diserahkan kepada Gereja dan swasta yang diatur secara lokal. Tetapi sejak abad XVIII masalah pendidikan mulai diperhatikan oleh Negara dan ketika belgia diserahkan ke kerajaan Belanda pada awal abad 19, intstruksi publik sepenuhnya diurus secara administrasi oleh kerajaan Belanda. Dibawah rezim belanda, prinsip kebebasan mengajar (Freedom of Education) berlaku secara resmi, namun secara praktis pendidikan dimonopoli oleh negara. Karena itulah, setelah revolusi kelompok Gereja menekankan pentingnya kebebasan mengajar dan meletakkan kewajiban ini pada inisatif swasta, yang secara garis besar ditangani oleh Gereja. Sebaliknya kaum liberal berpendapat bahwa pendidikan seharusnya bebas dari ideologi dan pendidikan yang « netral » hanya bisa ditangani oleh negara. Peran Negara dan Gereja dalam pendidikan merupakan pertarungan sengit dalam sejarah belgia yang berakhir setelah dicapainya « Pakta Sekolah » (Pacte Scolaire) pada tahun
33
50an. Pakta Sekolah merupakan semacam konsensus yang menginstitusionalisasikan « pilarisasi » dalam pendidikan belgia dan mengakibatkan pluralisme pendidikan dengan hadirnya berbagai macam network sesuai dengan ideologi dan keyakinan masing-masing sampai ke pendidikan tingkat tinggi. Akibatnya setiap institusi pendidikan memiliki otonomi yang cukup besar terutama pada tingkat universitas, dimana pilarisasi ini sangat terlihat, sebagai bukti nyata adalah persaingan antara univeritas-universitas « bebas » dan universitasuniveritas « katolik ». Perpecahan kedua adalah masalah sosio-ekonomis setelah masa Revolusi Industri dengan munculnya « la question sociale » (masalah sosial). Pada awal sejarah belgia sekolah merupakan sumber ketidakadilan, suatu cara untuk mempertahankan struktur sosial yang ada. Sekolah belum merupakan kewajiban, pendidikan belum gratis dan universitas-universitas berkarakter elitis. Akibatnya tidak semua orang memiliki akses pada pendidikan yang berkualitas. Pencapaian wajib belajar merupakan suatu perjuangan untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil, dengan memungkinkan akses pada semua orang. Disamping itu juga ada usaha-usaha demokratisasi pendidikan yang bertujuan untuk menghilangkan hambatan-hambatan finansial bagi yang tidak mampu dan memberikan kesempatan yang sama agar mempermudah mobilitas vertikal. Ini merupakan landasan sejarah wajib belajar dan pendidikan gratis di belgia. Terakhir adalah perpecahan territorial-kultural. Belgia terbagi dalam tiga daerah bahasa : bahasa perancis, bahasa belanda dan bahasa jerman (yang sangat kecil jumlahnya). Di masa lalu bahasa perancis sangat dominan dalam pendidikan, bahasa belanda hanya digunakan secara lokal di sekolah-sekolah tingkat dasar. Bahkan universitas-universitas di Belgia hanya menggunakan bahasa perancis walaupun secara teritorial berada di daerah Flanders yang berbahasa belanda. Menghadapi kenyataan tersebut terbentuklah gerakan Vlaamse Beweging yang sedikit demi sedikit berjuang untuk penggunaan bahasa belanda dalam pendidikan. Perjuangan itu dibarengi juga oleh usaha-usaha untuk mendapatkan otonomi lebih luas. Alhasil, Belgia sekarang merupakan negara federal yang sangat kompleks dimana secara praktis urusan pendidikan menjadi kompetensi « komunitas » masing-masing. Hal tersebut menjelaskan cikal bakal terjadinya dua sistem pendidikan, walaupun secara prinsip tidak begitu berbeda tetapi diorganisir, diatur dan didanai oleh dua badan berbeda: komunitas belanda dan komunitas perancis. Dalam perkembangannya universitas-universitas juga terpecah, seperti UCL dan ULB dan terbentuklah KUL dan VUB yang berbahasa belanda. 34
Sedangkan di Universitas Gent para profesor berbahasa perancis perlahan-lahan diusir dari kampus. Pendek kata, perpecahan dalam masyarakat belgia yang saling tumpang tindih dan sangat rumit mempunyai efek yang signifikan terhadap sistem pendidikan yang berlaku di Belgia.
3.2. Sistem pendidikan Belgia dan akses ke perguruan tinggi Prinsip-prinsip dasar sistem pendidikan Belgia telah diatur dalam Konstitusi. Dalam sistem federal Belgia masalah pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada French Community, Flemish Community dan German Community. Khusus untuk German Community karena komuniutasnya sangat kecil sekali sehingga tidak memiliki pendidikan tingkat tinggi, dan dalam paper ini tidak akan dibahas secara mendalam. Setiap Community bebas menentukan dan mengatur sistem masing-masing kecuali dalam hal penetapan wajib belajar, pembagian tingkatan pendidikan, numerus clausus, dan penentuan gaji dan pensiun staf pengajar. Kebebasan mengajar (Freedom of Education), seperti telah disebutkan diatas, merupakan hak yang dijamin oleh Konstitusi Belgia. Setiap legal person berhak untuk menyelenggarakan dan mengadakan pendidikan sesuai dengan keinginannya, berdasarkan keyakinan filosofis, religius atau keyakinan lainnya. Pemerintah dilarang untuk mengambil langkah-langkah preventif yang menghambat pendirian sekolah-sekolah secara bebas. Disamping itu pemerintah juga mempunyai kewajiban konstitusional untuk memberikan pendidikan “netral” di sekolah-sekolah publik. Walaupun setiap Community memiliki otonomi yang luas dalam penentuan kurikulum dan penyelenggaraan sekolah, secara garis besar struktur pendidikan di seluruh belgia adalah sama. Pendidikan bersifat wajib diantara umur 6 sampai 18 tahun. Sampai umur 15-16 wajib full-time, selanjutnya bisa part-time jika telah lulus 2 tahun pertama tingkat sekunder. Pendidikan wajib dibagi dalam dua tingkat: tingkat dasar (primaire atau lager onderwijs) dan tingkat sekunder (secondaire atau secundair onderwijs) yang berlangsung masing-masing selama enam tahun. Tidak ada kriteria-kriteria khusus yang harus dipenuhi untuk mendaftar dan setiap orang tua bebas memilih sekolah bagi anaknya: sekolah publik, sekolah katolik bahkan sekolah berbahasa belanda. 35
Pendidikan tingkat sekunder dibagi dalam tiga jenjang. Secara garis besar, jenjang pertama (kelas 1 dan 2 SMP) bertujuan untuk membantu setiap siswa dalam menentukan tipe pendidikan yang paling sesuai bagi mereka pada jenjang berikutnya yang terbagi dalam jurusan-jurusan. Setiap siswa, tergantung dari cara menyelesaikan jenjang pertama, mempunyai sampai empat pilihan untuk jenjang selanjutnya: jurusan Umum, Teknik, Seni atau Profesional.
Struktur Pendidikan di Belgia
Higher Professional Education
Academic Education
Vocational (1)
7
7 6
General
5
6 Art
5
4 General
3
7 6 Technical
5
4 Art
3
Technical
1
6
3
Part Time
Vocational 5
4
2 TYPE A
7
4 Vocational 3
Preparation to vocational
2
TYPE B
1
12 YEARS
6 5 4 3 2
6 YEARS Legend:
S E C O N D A R Y
1 1st Stage
3rd Stage
2nd Stage
4th Stage
P R I M A R Y
36
Belgia merupakan salah satu negara di dunia dimana akses ke perguruan tinggi sama sekali tidak memerlukan tes ujian masuk. Secara prinsip sistem Belgia menganggap bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk mengakses perguruan tinggi, kecuali untuk jurusan Civil Engineer yang memerlukan tes masuk. Oleh karena itu untuk dapat masuk universitas atau sekolah tinggi lainnya hanya diperlukan diploma CESS di French Community dan DSO di Flemish Community yang didapatkan setelah tahun ke enam jurusan Umum, Teknik dan Seni, dan setelah tahun ketujuh jurusan profesional. Diploma CESS (Certificat d’Etude Secondaire Supérieur) atau DSO (Diploma Secundair Onderwijs) juga bisa didapatkan melalui ujian tunggal yang diadakan setiap tahun oleh Departemen Pendidikan sesuai dengan kondisi dan situasi tertentu. Selain itu, akses ke perguruan tinggi juga dimudahkan dengan total biaya pendidikan yang sangat murah dibanding negara Eropa lainnya. Menurut suatu studi dari Educational Policy Institute, jika memperhitungkan biaya SPP dan biaya hidup, Total Cost pendidikan di Belgia adalah yang paling murah, yaitu sebesar 17.49% dari GDP per capita di daerah bahasa belanda dan 19.14% dari GDP per capita di daerah berbahasa perancis. Tentu ini sangat murah jika dibandingkan dengan Jepang (51.15%) dan Amerika Serikat (42.70%). Secara keseluruhan penelitian ini menunjukkan bahwa dari 16 negara maju, Belgia berada di urutan ke-4 (Flemish) dan ke-6 (French) dari segi affordability. Pemerintah juga memberikan beasiswa bagi orang-orang yang kurang mampu. Namun pemberian beasiswa di Belgia termasuk paling rendah dibanding negara maju lainnya dengan rata-rata per mahasiswa sebesar € 257 di Flemish Community dan € 237 di French Community. Hal ini dikarenakan pemberian beasiswa di Belgia tidak universal seperti di Swedia atau Belanda melainkan hanya diberikan pada mahasiswa yang kurang mampu saja. Mahasiswa yang kurang mampu harus membuktikan kesulitan finansial keluarganya dan harus mendaftarkan diri pada bantuan-bantuan sosial lainnya. Bantuan ini berupa pengurangan biaya SPP sampai pemberian beasiswa penuh termasuk untuk pembelian peralatan sekolah. Beasiswa dan bantuan diselenggarakan oleh masing-masing Community sehingga terdapat beberapa perbedaan antara daerah bahasa perancis dan belanda.
37
Struktur Pendidikan Tinggi:
Doctor (120 ECTS)
T E R T I A R Y
Subsequent Master (60 ECTS)
Subsequent Bachelor (60 ECTS)
Master (60 ECTS)
Bridging Programme
Profession-Oriented Bachelor (180 ECTS)
Higher Professional Education
Academic Bachelor (180 ECTS)
Academic Education
Tingkat partisipasi pendidikan lanjutan di Belgia juga termasuk paling tinggi di Eropa dengan partisipasi dalam pendidikan sebesar 65.2 % untuk kelompok umur 0 – 29 tahun. Menurut data dari European Commision, secara umum tingkat partisipasi pendidikan turun secara drastis setelah umur 19 tahun. Penurunan partisipasi dapat terlihat dengan membandingkan partisipasi kelompok umur 0 – 19 dan kelompok umur 0 – 29. Hal ini disebabkan oleh hilangnya wajib belajar pada umur 18 tahun. Tetapi di Belgia penurunan ini tidak sedrastis negara Eropa lainnya dan berada di atas rata-rata. Tingkat partisipasi untuk umur 0-19 tahun di Belgia adalah 85.8 % sedangkan rata-rata Eropa adalah 79.9 % untuk 0-19 tahun dan 58.9 % untuk umur 0–29 tahun. Namun, ini bukan berarti sistem pendidikan belgia menjamin keadilan dan sudah demokratis. Biarpun akses ke perguruan tinggi sangat terbuka, studi dari Educational Policy Institute menunjukkan bahwa Educational Equity Index Belgia sangat rendah dengan EEI score sebesar 37, sedangkan negara-negara seperti Belanda, Inggris atau Canada bertengger dengan skor diatas 60. Skor EEI yang rendah menunjukkan sifat “elitis” dari pendidikan tinggi. Di Belgia, 50% dari mahasiswa mempunyai bapak yang telah lulus universitas, sedangkan di Inggris hanya 29.6 %. Studi tersebut menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan negara maju yang lain, sistem belgia bukanlah yang paling memungkinkan mobilitas vertikal.
38
Disisi lain, penelitian PISA (Programme for International Student Assessment) yang dilakukan oleh OECD menunjukkan beberapa masalah lain dalam sistem pendidikan di Belgia. Pertama adalah perbedaan performance antara French Community dan Flemish Community. Flemish Community memberikan skor yang jauh lebih baik dibandingkan dengan French Community. Tetapi yang lebih menarik lagi, studi tersebut menunjukkan bahwa pendidikan belgia, baik di daerah belanda maupun daerah perancis sangat inegaliter. Perbedaan skor antara anak dari kelas sosio-ekonomi teratas dan anak dari kelas sosioekonomi rendah sangat signifikan, sampai 130 poin di daerah perancis dan sekitar 100 poin di daerah belanda. Perbedaan antara French dan Flemish Community dikarenakan tingkat kemiskinan di daerah Wallonia yang lebih tinggi dibanding daerah Flanders. Selain itu, French Community juga mengenal lebih banyak murid yang terlambat karena tidak naik kelas. Kegagalan di sekolah juga merupakan masalah di Belgia yang mengenal tingkat kegagalan yang cukup tinggi. Di daerah bahasa perancis, tingkat kegagalan rata-rata mencapai 25% dengan 16% murid tidak naik kelas dan 9% mengalami reorientasi paksa. Ditambah lagi, 30% dari anak 15-17 tahun (antara kelas 3 dan kelas 5 tingkat sekunder) meninggalkan sekolah dan memasuki sistem sekolah part-time. Sedangkan di daerah bahasa belanda menunjukkan hampir 25% anak berumur 15 – 17 tahun meninggalkan sekolah sebelum selesai. Angkaangka tersebut menempatkan Belgia pada urutan paling rendah dibanding negara Eropa lainnya. Kegagalan yang tinggi di tingkat SMA dan pendidikannya yang inegaliter dalam outputnya menjelaskan mengapa, walaupun akses ke perguruan tinggi sangat terbuka, demokratisasi di universitas masih belum ideal di Belgia.
3.3. Pendanaan Perguruan Tinggi di Belgia Berdasarkan sistem federal belgia, penyelenggaraan pendidikan merupakan kompetensi dari Communities termasuk dalam hal pendanaannya. Sumber dana setiap Community diatur oleh undang-undang. Secara garis besar dana berasal dari bagian pajak-pajak tertentu yang diberikan oleh negara federal (seperti TVA misalnya), dari pajak radio dan televisi, pendapatan non-fiskal lainnya, dan bunga pinjaman. Perlu digarisbawahi bahwa untuk daerah berbahasa belanda terjadi penggabungan antara Flemish Community dan Flanders Region untuk membentuk Vlaams Raad. Ini berarti bahwa Flemish Community juga dapat 39
menggunakan secara bebas dana yang dimiliki secara teoritis oleh Flemish Region. Penggabungan ini menguntungkan Flemish Community, karena dengan begini mereka mempunyai sumber dana yang lebih banyak. Sebaliknya French Community dan Walloon Region merupakan dua entitas berbeda sehingga sumber dana French community terbatas pada yang telah ditetapkan undang-undang. Situasi ini sangat merugikan sehingga French Community menyerahkan sebagian kompetensinya kepada Walloon Region dan COCOF (daerah Brussel) agar dapat membantu kesulitan finansial yang dia hadapi. Sebelum kemerdekaan Belgia, ada tiga Universitas Negeri yang diatur secara administrasi oleh rezim Belanda : Universitas Gent, Universitas Liège dan Universitas Leuven. Setelah kemerdekaan, Universitas Liège dan Gent tetap berjalan sedangkan Universitas Negeri Leuven dihapuskan. Pada tahun 1834, sesuai dengan artikel 17 Konstitusi, dua universitas didirikan : Universitas Katolik Leuven (UCL, resureksi Universitas Lovanensis yang didirikan tahun 1425) dan Universitas Brussel (ULB) yang berstatus universitas bebas. Sejak waktu pendiriannya sampai dengan tahun 1914, universitas bebas sepenuhnya independen karena didanai oleh swasta (mécénat) tanpa campur tangan pemerintah. Sebaliknya universitas negeri didanai 100 persen oleh pemerintah. Tradisi independensi finansial universitas bebas berubah setelah Perang Dunia pertama karena di satu sisi biaya pendidikan semakin tinggi. Disisi lain « kebiasaan » mendapatkan bantuan untuk membangun kembali universitas yang hancur setelah perang membuka tradisi baru pensubsidian universitas bebas. Dalam penyelengaraan pendidikan tinggi, Belgia membedakan dua jenis institusi : pendidikan universitas dan non-universitas (Hautes Ecoles/Hogescholen). Pendidikan tinggi tidak di monopoli oleh negara, dan sekolah swasta juga menerima subsidi dari pemerintah. Dari segi administratif dapat dibedakan tiga tipe pendidikan tinggi : •
Institusi
pendidikan
pemerintah
yang
diselenggarakan
oleh
masing-masing
Community. •
Institusi pendidikan yang disubsidi pemerintah dan diselenggarakan oleh otoritas lokal: kabupaten, propinsi, atau daerah.
•
Institusi pendidikan independen (universitas bebas) yang disubsidi pemerintah dan diselenggarakan oleh swasta.
40
Perbedaan universitas dan non-universitas secara administratif hanya terletak pada tingkat independensi dalam penentuan program-programnya. Selain itu mekanisme pemberian dana juga berbeda antara universitas dan non-universitas. Dalam paper ini kami akan lebih fokuskan pada pendanaan universitas yang memiliki mekanisme lebih rumit dibanding institusi non-universitas. Dapat dibedakan dua tipe sumber pendanaan universitas : disatu sisi dana yang berasal dari pemerintah, dan disisi lain dana yang berasal dari mahasiswa atau keluarganya dan dari sektor swasta. Walaupun begitu dana yang didapat dari mahasiswa (bayaran SPP) sangat kecil dibandingkan kebutuhan riil universitas sehingga sebenarnya pemerintahlah yang mendanai hampir seluruh kebutuhan universitas. Seperti telah disebutkan diatas, institusi pendidikan bebas juga mendapatkan subsidi dari pemerintah sama seperti universitas negeri. Dana yang bersumber dari pemerintah untuk universitas tidak hanya berasal dari budget Community
melalui
Departemen
Pendidikan.
Disamping
Departemen
Pendidikan,
departemen-departemen lainnya juga memberikan bantuan dana untuk riset dan investasi. Departemen Kesehatan juga mendanai penyelenggaraan
dan investasi Rumah Sakit
universitas. Sejak tahun 1971, universitas bahasa perancis dan bahasa belanda (sampai 1991) memeperoleh dana sesuai dengan Undang-Undang 27 Juli 1971. Menurut undang-undang ini pemberian dana sangat terkait dengan jumlah mahasiswa « yang mendapatkan subsidi » (subsidiables, yang kriterianya ditetapkan melalui undang-undang), dan « biaya tetap per mahasiswa » yang bervariasi berdasarkan jurusan. UU ini bertujuan untuk mencapai rasionalisasi dan uniformisasi pendanaan agar institusi publik dan institusi bebas mendapatkan perlakuan yang sama berdasarkan kriteria-kriteria objektif. Setelah proses Komuneterisasi Pendidikan pada akhir 80an, UU ini mengalami modifikasi yang berbeda di setiap Community, sehingga mekanisme pendanaan juga berbeda antara kedua daerah bahasa.
3.4. Mekanisme Pendanaan 3.4.1. French Community Seperti telah disebutkan diatas, secara garis besar pendanaan universitas ditentukan berdasarkan jumlah mahasiswa dan « biaya tetap per mahasiswa » yang bervariasi sesuai jurusan sesuai denga ketetapan undang-undang. Sistem ini sangat jauh dari sempurna dan
41
memunculkan kesulitan-kesulitan. Kemampuan pendanaan pemerintah yang semakin terbatas dan jumlah mahasiswa yang terus bertambah mendorong pemerintah untuk memodifikasi sistem ini. Setelah beberapa tentatif yang gagal, pada tahun 1998 beberapa poin UU tahun 71 dimodifikasi. Perubahan yang paling penting adalah sebagai berikut : dana yang diberikan menjadi tetap sesuai dengan tahun dana tahun 1998 dan selanjutnya berubah mengikuti proses indeksasi untuk tahun-tahun berikutnya. Sistem « biaya tetap per mahasiswa » diganti dengan sistem pembagian dimana setiap jurusan mendapatkan “bagian” masing-masing berdasarkan « biaya tetap » yang tersedia pada tahun 1998 dan indeksasi yang akan dialaminya. Bagian ini akan dihitung berdasarkan perbandingan jumlah mahasiswa di suatu universitas dengan jumlah total mahasiswa jurusan tersebut di seluruh universitas. Jadi, semakin banyak mahasiswa jurusan tertentu yang kita miliki, semakin banyak dana yang kita peroleh. Padahal dana yang tersedia adalah tetap, sehingga dapat dikatakan bahwa « kerugian » suatu universitas adalah « keuntungan » bagi universitas lainnya. Hal ini dapat menimbulkan persaingan antar universitas dan mempersulit terbangunnya kerjasama. Pihak mahasiswa berkontribusi pada pendanaan universitas melalui pembayaran SPP. Biaya SPP ditentukan oleh pemerintah melalui undang-undang. Bagi keluarga yang pendapatannya rendah, pembayaran SPP ini juga mengalami pengurangan sesuai dengan aturan yang ada. Bagian yang didapat dari pembayaran SPP sengat minim dibanding kebutuhan total universitas. Pada tahun 1996, pendapatan biaya SPP hanya memenuhi 8% total dana yang diperlukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa praktis seluruh dana universitas berasal dari pemerintah.
3.4.2. Flemish Community Sampai tahun 1991 mekanisme pendanaan di Flemish Community sama dengan mekanisme di French Community. Pada tahun 1991 dekrit Coens melakukan perubahan drastis mekanisme pendanaan universitas. Dekrit ini bertujuan untuk memberikan lebih banyak kepastian pada universitas mengenai dana yang akan dia peroleh dengan menjamin alokasi dasar yang tetap sehingga universitas memiliki otonomi lebih besar dalam hal manajemen pendanaan. Sistem baru yang ditawarkan berdasar pada prinsip bahwa evolusi biaya pendanaan universitas harus
42
mengikuti evolusi budget dan bukan sebaliknya. Jumlah dana yang diterima universitas tidak lagi dihitung berdasarkan jumlah mahasiswa sesuai dengan jurusannya. Besarnya dana tidak tetap yang didapat dihitung berdasarkan budget yang tersedia dan jumlah mahasiswa « yang mendapatkan subsidi » (subsidiables) dan di adaptasi setiap tahun sesuai dengan « satuan tanggungan pendidikan » (onderwijsbelastingseenheden) yang terdapat di universitas bersangkutan. Onderwijsbelastingseenheden ini berupa poin yang didapatkan melalui kalkulasi matematis. Poin yang dimiliki suatu universitas sama dengan jumlah mahasiswa subsidiable yang terdaftar di suatu kelas dikalikan faktor ponderasi yang ditetapkan untuk kelas tersebut. Kelas ini tidak hanya ditentukan berdasarkan bidang studi melainkan juga berdasarkan tingkat pendidikan. Jadi ada dua jenis dana yang didapatkan universitas, pertama dana tetap dan kedua dana tidak tetap yang telah kami jelaskan diatas. Untuk dana tetap, ditentukan bahwa dana yang diperlukan pada tahun 1991 menjadi dasar untuk penetapan dana tahun-tahun berikutnya setelah melalui proses indeksasi harga. Dekrit ini juga memberikan kebebasan pada universitas untuk menetapkan biaya SPP (collegesgelden) masing-masing. Walaupun begitu biasanya tiap universitas mengikuti saran dari VLIR, Mekanisme pendanaan baik di French maupun Flemish Community sangatlah rumit dan menggunakan rumus-rumus matematika yang sengaja tidak kami bahas disini. Yang perlu dicatat, sistem yang ada memang bertujuan untuk menghilangkan perbedaan antara universitas negeri dan universitas bebas dari segi pendanaan yang diberikan pemerintah. Selain itu, sistem ini dibuat dalam konteks krisis ekonomi tahun 70an. Reformasi dan modifikasi sistem tahun 71 juga dibuat untuk mencapai efektifitas agar dapat mengurangi beban pemerintah dalam hal pendanaan pendidikan. Sementara itu, sistem yang dipakai juga menghambat kemampuan universitas belgia untuk bersaing dalam konteks globalisasi. Pertama karena pemerintah belgia cenderung mengurangi budget yang tersedia untuk pendidikan dan riset. Dan kedua karena situasi korporatis dan regionalis menghambat reformasi mendalam sistem pendidikan secara menyeluruh. Masalah pendanaan pendidikan menjadi isu penting jika Belgia tetap ingin bersaing dalam hal pendidikan. Masalah pendanaan juga lebih parah untuk sektor non-universitas. Saat ini Hautes Ecoles benar-benar kekurangan dana. Hal ini disebabkan mekanisme pendanaan Hautes Ecoles yang
43
justru terlalu simplistik. Dana yang diberikan untuk institusi non-universitas ditetapkan seusai dana yang diberikan tahun 1996, dan tidak mengalami perubahan serta tidak memperhitungkan jumlah mahasiswa yang terdaftar. Perubahan yang dilakukan hanya berdasarkan indeksasi harga dan perubahan yang berkaitan dengan gaji staff pengajar. Masalah muncul ketika jumlah mahasiswa Hautes Ecoles meledak sejak akhir tahun 90an, jumlah mahasiswa bertambah sebanyak 11.7% sejak tahun 96. Pendanaan Hautes Ecoles merupakan isu yang sangat hangat di daerah French Community saat ini dan menunjukkan kesulitan finansial yang sedang dialaminya.
3.5. Universitas dan dunia kerja Telah disebutkan diatas bahwa akses ke universitas terbuka bagi semua orang. Namun perlu dicatat bahwa tingkat drop-out pada tahun-tahun pertama cukup tinggi juga. Dari 100 mahasiswa tahun pertama, hanya rata-rata 58 yang lulus dan meneruskan tahun kedua. Seperti tradisi tingkat sekunder tidak naik kelas dan pengulangan tahun dalah hal biasa. Tidak jarang seorang mahasiswa menghabiskan 6-7 tahun untuk program 4 tahun. Dengan cara ini kualitas lulusan universitas tetap terjaga walaupun akses sangat terbuka untuk mendaftar. Dapat dikatakan bahwa semua orang bisa mendaftar tetapi hanya sedikit yang lulus. Alhasil, lulusan universitas sangat diminati di lapangan kerja, terutama yang berhubungan dengan sektor industri dan kesehatan. Kualitas lulusan belgia juga diakui di negara-negara lain tidak jarang mereka mendapatkan tawaran pekerjaan di luar negeri. Dari 100 lulusan, hanya sekitar 10-15 yang tidak mendapatkan pekerjaan. Ini berarti daya serap lapangan pekerjaan sangat tinggi untuk lulusan universitas. Walaupun begitu tidak semua sektor memiliki nasib yang sama. Untuk lulusan kedokteran misalnya, pengangguran hanya sebesar 5% sedangkan untuk lulusan sospol dapat mencapai 20%. Untuk jurusan filsafat lebih menyedihkan lagi, pengangguran mencapai 50%. Akibat lainnya, lulusan SMA pada tahun-tahun terakhir ini cenderung memilih sekolah tinggi non-universitas. Hautes Ecoles mengajarkan skill yang bersifat lebih praktis daripada teoritis dan cara pengajaran masih mendekati cara pengajaran di SMA. Hal ini menjelaskan booming yang terjadi di sektor non-universitas dan mengakibatkan kesulitan finansial yang telah kami sebutkan diatas.
44
Tertiary Attainment for Age Group 25-34. As percentage of the population in that age group Australia Austria Belgium Canada Finland France Germany Italy Japan Netherlands United Kingdom United States
1996 25,3 9,2 32,2 40,6 35,2 26,0 20,3 8,3 .. 25,1 24,3 35,2
1997 25,7 12,4 33,1 44,1 36,4 27,8 21,0 .. 45,2 .. 24,7 35,7
1998 28,1 12,5 33,8 45,5 36,0 29,6 21,5 9,0 45,4 27,5 25,9 36,2
1999 29,0 12,7 34,4 46,8 37,4 30,9 21,5 10,0 45,1 25,1 27,3 37,4
2000 31,4 15,0 36,0 48,3 37,6 32,4 22,3 10,4 47,2 26,6 28,6 38,1
2001 33,5 14,3 37,5 50,5 38,2 34,2 21,8 11,8 47,7 26,5 29,5 39,1
2002 35,8 14,8 37,6 51,2 39,2 36,1 21,7 12,5 50,3 27,7 31,2 39,3
Source: OECD Factbook 2005
Menurut data OECD diatas, 37.6% dari orang belgia berumur antara 24-35 tahun memiliki diploma pendidikan tingkat tinggi pada tahun 2002 dan trendnya cenderung meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam tabel ini masuk perhitungan baik lulusan universitas maupun non-universitas.
Tabel Persentasi Pengangguran berdasarkan Lulusan untuk setiap Tingkat Diploma
JK Pria Wanita Total
Tingkat Diploma Post SMA SD SMP SMA NON PT NON UNIV UNIVERSITAS 21,18 27,49 34,69 1,25 20,19 13,09 14,81 23,24 41,87 1,48 28,36 11,79 18,19 25,49 38,07 1,36 24,03 12,48
Sumber: BIT
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa dari 100 orang yang menganggur, sekitar 12 adalah lulusan universitas. Dapat disimpulkan pula bahwa sebagian besar orang yang menganggur adalah orang yang memiliki diploma dibawah tingkat PT.
45
4. Pendidikan Tinggi Di Jerman 4.1. Akses ke Pendidikan Tinggi 4.1.1. Pendidikan Dasar dan Sekunder di Jerman Untuk memahami akses masuk ke perguruan tinggi di Jerman, berikut ini adalah penjelasan singkat tentang sistem pendidikan dasar dan sekunder di Jerman [i]. Ketika berumur 6 tahun, seorang anak wajib masuk ke pendidikan dasar selama 4 tahun (atau 6 tahun di Berlin dan Brandenburg). Pendidikan sekunder (kelas 5 - kelas 12/13) dilakukan terutama melalui Hauptschule, Realschule dan Gymnasium. Berikut adalah deskripsi dart masing-masing jenis sekolah tersebut diambil dari [I]: Hauptschule The Hauptschule provides its pupils with a BASIC GENERAL EDUCATION. It normally covers grades 5-9. In Lander with 6 years of primary school or with an Orientierungsstufe independent of type of school, it commences with grade 7. With 1o years of compulsory education, the Hauptschule also includes grade 1o. Realschule Realschulen provide a MORE EXTENSIVE GENERAL EDUCATION. The standard Realschulen cover grades 5 to 10. In Lander with six years of primary school or an Orientierungsstufe independent of school type, it includes grades 7 to 10. There is also a three- or four-year form of the Realschule for Hauptschule pupils who may transfer to the Realschule after grade 6 or 7. Gymnasium Gymnasien provide an INTENSIFIED GENERAL EDUCATION. The course of education in the standard Gymnasium comprises both the lower and upper secondary level and covers grades 5 to 13 (or years 7 to 13 following a six-year primary school or an Orientierungsstufe independent of school type). In Sachsen and Thuringen, and in the future as well in Baden-Wurttemberg, Bayern, Berlin, Hamburg, Hessen, MecklenburgVorpommern, Niedersachsen, Nordrhein-Westfalen, Saarland and Sachsen-halt, the Gymnasium has grades 5 to 12. In addition, shorter 12-year courses of school education up to the Allgemeine Hochschulreife are increasingly on offer in other Lander, some of them as pilot projects.
Secara sederhana, jenis jenis sekolah ini merepresentasikan pendidikan dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Hauptschule adalah yang paling mudah, Realschule lebih sulit, dan Gymnasium adalah yang paling sulit. Walaupun demikian, perbedaan ini bukan hanya terletak pada tingkat kesulitan, melainkan juga pada proses belajarmengajar yang terjadi. Di Gymnasium, pada dua tahun terakhir menjelang Abitur (ujian akhir), proses belajar tidak dilakukan pada unit-unit kelas melainkan mengikuti unit kursus per-semester yang membertkan pilihan yang lebih luas dan
46
ekstensif pada anak didtk untuk melakukan spesialisasi. Ini semua ditujukan untuk menyiapkan anak dtdik menghadapi kehidupan akademik di universitas. Di akhir pendidikan di Gymnasium, anak dtdik akan mendapat sertifikat kualifikasi masuk ke pendidikan tinggi: Zeugnis der Allgemeinen Hochschulreife (general higher education entrance qualification) . Selain Hauptschule, Realshule dan Gymnasium, di beberapa negara bagian ada Gesamtschule yang merupakan gabungan dart ketiga jenis sekolah tersebut. Gambaran sistem pendidikan di Jerman dapat dilihat di gambar 1.1-1.
Gambar 1.1-1: Diagram sistem pendidikan dasar dan sekunder di Jerman.
47
4 . 1 . 2 . Akses ke Perguruan Tinggi 1 Syarat akses (admission) ke perguruan tinggi adalah memiliki Hochschulreife yang biasanya didapat setelah menyelesaikan pendidikan di Gymnasiuml. Berbekal Hochschulreife ini, anak didik bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, yang secara umum terdiri dari Fachhochschule atau Hochschule (Universitas). Mengenai universitas dan Fachhochschule, [1] memberikan deskripsi sebagai berikut:
Universities In addition to the traditional universities, the Technische Hochschulen or Technische Universitaten, that specialise in natural and engineering sciences also enjoy university status... at these institutions have in common, as a rule, is the traditional right to award the Doktorgrad (doctorate). These rights are termed Promotionsrecht and Habilitationsrecht respectively. Academic and scientific research - particularly basic research - and the training of the next generation of academics are also distinctive features of universities and equivalent institutions of higher education. Fachhochschule Fachhochschulen (universities of applied sciences) were introduced in 1970/71 as a new type of institution in the system of higher education in the Federal Republic of Germany. They fulfil their own specific educational function, characterised by a practice-oriented bias in the teaching, a usually integrated semester of practical training, and professors, who have, in addition to their academic qualifications, gained professional experience outside the field of higher education. Pada tahun 2002, lulusan sekolah yang mempunyai Fachhochschulreife berjumlah 11.4 % dan Hochschulreife 26.7% dari seluruh jumlah lulusan [1] .Sedangkan dari total penduduk Jerman pada April 2002, hanya 20,1% dari sekitar 70 juta penduduk Jerman memiliki Hochschulreife. Walaupun pendidikan Jerman kelihatannya melakukan diferensiasi (pembedaan) yang ketat sejak mulai dari sekolah menengah, namun sebenarnya tetap terbuka peluang bagi setiap anak didik untuk memilih jalur pendidikan yang lain. Untuk anak didik yang ingin pindah dari Hauptschule ke Realschule, atau ke Gymnasium, tetap terbuka peluang seperti [I]: Untuk mahasiswa asing, ijin masuk ke perguruan tinggi jerman bisa didapatkan dengan menunjukkan bukti kualifikasi berupa: surat penerimaan dari universitas di negara asal atau kelulusan tes dari Studienkolleg di Jerman, serta bukti penguasaan bahasa jerman lewat tes DSH (Deutsche Sprachprufung fir den Hochschulzugang auslandischer Studienbewerber). 1
48
There is also a three- or four-year form of the Realschule for Hauptschule pupils who may transfer to the Realschule after grade 6 or 7. Apart from standard Gymnasien, there are special types of Gymnasium into which Hauptschule pupils can transfer following grade 7 as well as special courses for particularly able Realschule and vocational school leavers. Walaupun demikian, jumlah siswa Gymnasium merupakan indikator penting terhadap jumlah siswa yang akhirnya melanjutkan ke perguruan tinggi. Jumlah anak didik di kelas 7 yang bersekolah di Gymnasium pada tahun 2002/2003 adalah 33,1% dari keseluruhan jumlah siswa sekolah menengah. Selain itu, jumlah lulusan Gymnasium di Jerman dan jumlah mahasiswa bare yang masuk ke perguruan tinggi (Studienanfdnger) selama beberapa tahun dapat dilihat sebagai berikut [2] :2 1993
1994
1996
1998
2000
2002
Lulusan Gymnasium 2116 Mahasiswa Baru 280
2149 268
2182 267
2223 272
2257 315
2297 359
Jumlah x woo
2003
Rata rata 2204 385 357,67
dibanding jumlah lulusan Gymnasium cuma 16.23%. Angka ini tentu saja tidak memperhitungkan jumlah lulusan Gymnasium Jerman yang sekolah ke luar negeri, ataupun jumlah mahasiswa bare di Jerman yang berasal dari negara asing.
Angka serupa untuk kasus Indonesia bisa didapat [3]. Angka lulusan SMA pada periode 2003/2004 adalah 963.410 siswa, sedangkan jumlah mahasiswa bare di perguran tinggi negri maupun swasta pada periode yang sama adalah 1.125.284. Dalam hal ini, jumlah mahasiswa bare di Indonesia pada periode 2003/2004 justru melebihi jumlah lulusan SMA. Jumlah mahasiswa terdaftar pada tahun 2003/2004 di Jerman adalah 2.026.000 [2]. Jumlah mahasiswa terdaftar di Indonesia pada periode yang sama adalah 3.796.717 [3]. Total penduduk Jerman adalah 82,5 juta jiwa dan penduduk Indonesia adalah 211,7 juta jiwa [4]. Selain itu, jumlah penduduk yang memiliki ijazah universitas atau Fachhochschule pada tahun 2002 di Jerman berjumlah 11,2% [2].
2
Hasil perhitungan sementara 49
4 . 2 . Pendanaan 4.2.1. Konsekuensi Jerman di Sektor Pendidikan dan Penelitian Pengeluaran dana untuk pendidikan, terutama pada pendidikan tinggi, di dunia pendidikan modern sekarang ini dipandang sebagai sentral investasi masa depan bagi suatu negara. Ditilik dari pengaruhnya yang bersifat long-term dan sustainable terhadap ekonomi, teknologi dan bahkan kultur budaya, investasi ini tidak bisa hanya dilihat dari berapa besarannya, tetapi juga harus dilihat seberapa effisien dana ini dipergunakan untuk kemajuan pendidikan tinggi dari suatu negara. Sejak awal berdirinya republik federal Jerman, mereka telah menjadikan sektor pendidikan sebagai sektor penting penunjang kelangsungan hidup negaranya. Reformasi pendidikan di Jerman tidak terlepas dari nama Humboldt 3 yang telah mencetuskan sistem pendidikan tinggi barn di Jerman pada tahun 1809. Hingga hari ini, sistem tersebut telah memberikan lebih banyak kesempatan untuk mengenyam pendidikan kepada semua lapisan masyarakat. Apabila kits mengambil contoh anggaran belanja (APBN) pemerintah republik Jerman untuk sektor pendidikan dan penelitian pada tahun 2001 secara umum[5]. Di sana dapat kits lihat bahwa dengan jumlah € 132,2 Milyar (tidak termasuk biaya penelitian dan pengembangan) pemerintah jerman telah mengambil 6,4 % dari GDP mereka. Sedangkan dana penelitian dan pengembangan sendiri berjumlah € 53,3 Milyar. Dari jumlah tersebut anggaran untuk perguruan tinggi adalah € 11,8 Milyar pada tahun 2001. Pembagian anggaran pendapataan dan pengeluaran lainnya di sektor pendidikan dapat di lihat di diagram 2.1-1. Sedangkan biaya yang terpakai di tahun tersebut adalah sebesar € 83,6 Milyar[6] atau 63,2 % dari anggaran.
Wilhelm von Humboldt (1767, Postdam - 1 8 3 5 , Tegel), ilmuwan bahasa dan reformator pendidikan, Saudara dari Alexander von Humboldt 3
50
Negara 15,7
Negara Bagian 64,2
Masyarakat 18,4
Perekonomian dan Privat 33,9
Anggaran pendidikan tahun 2001 132,2 Milyar Lainnya4 38,2 Sekolah dasar
Sekolah dan kejuruan 11,7
umum 11,8
Perguruan Tinggi Pendidikan 56,9
13,8
Diagram 2.1-1: Anggaran Pendidikan 2001 beserta pembagiannya L 5 1 4 , jumlah dalam € (Euro).
4 . 2 . 2 . Perubahan Paradigma pada Pendanaan Pendidikan Tinggi di Jerman Apabila kits lebih mengkhususkan ke dalam pendanaan perguruan tinggi, untuk tahun 2 0 0 1 secara garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu dana pemerintah 79%, proyek 18% dan dana sendiri 3% [6]. Dilihat dari angka statistik pengeluaran untuk sektor pendidikan tinggi di Jerman untuk tahun 2 0 0 1 yang mencapai 0,96% dari GNP, Jerman adalah termasuk dari negara-negara pada urutan teratas dalam pendanaan sektor pendidikan tinggi. Tetapi, jika angka ini dibandingkan dengan perkembangan jumlah mahasiswa dari tahun 198o, maka terlihat penurunan sebesar 15% pada pendanaan untuk setiap mahasiswa. Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa pemerintah Jerman mengurangi pertahap pendanaan ini. Sekarang ini diperkirakan sekitar 3 milyar Euro defisit pendanaan terjadi setiap tahunnya [7]. Hal ini dipandang oleh banyak kalangan di Didalamnya terdapat anggaran lembaga pendidikan lainnya, pendidikan lanjut di perusahaan, pengeluaran pelajar dan mahasiswa, tunjangan. 4
51
Jerman sebagai tidak kompetitif untuk masa depan kemajuan pendidikan tinggi Jerman. Awal dekade 90-an berbagai kalangan akademisi di Jerman memulai pemikiranpemikiran untuk menggulirkan reformasi yang menyangkut pendanaan pendidikan tinggi. Di satu sisi adalah pemikiran mengenai sistem pendanaan pemerintah, isu penting lainnya adalah mengenai sumber pendanaan alternatif.
4.2.3. Dana Pemerintah Tema sentral reformasi dana pemerintah terletak pada perubahan sistematika pemberian dana. Hal ini mencakup pemberian keleluasaan pada perguruan tinggi untuk mengatur sendiri sumber serta penggunaan dananya. Disini terjadi pergeseran kewenangan pemerintah, dari pengaturan detail dan menyeluruh ke pengaturan yang bersifat garis besar. Disamping itu, semakin banyak pemerintah negara bagian yang menerapkan penilaian terhadap prestasi yang dicapai oleh perguruan tinggi tertentu sebagai dasar pemberian dana. Ide dasarnya adalah untuk memberikan keleluasaan dan motivasi kepada perguruan tinggi untuk bersaing dalam berprestasi. Adapun titik berat dan kriteria dari penilaian prestasi tersebut dapat berbeda dari setiap negara bagian. Beberapa negara bagian menerapkan penilaian berdasarkan besarnya volume proyek penilitan yang didanai pihak industri atau dana penyertaan lainnya (Drittmittel). Di beberapa negara bagian yang lain kriteria penilaian didasarkan pada pencapaian target-target yang disepakati bersama oleh pihak perguruan tinggi dan pihak pemerintah negara bagian, seperti jumlah lulusan sarjana, jumlah makalah ilmiah per tahun dan lain-lain. Berdasarkan data perkembangan komposisi dana pembiayaan perguruan tinggi di Jerman antara tahun 1980-2001. Sangat jelas terlihat komponen dana yang berasal langsung dari pemerintah (Grundaustattung) berangsur menurun dibandingkan dengan pos penerimaan dari proyek penelitian (Drittmittel) dan dana admisnistrasi (Verwaltungseinnahmen).
4.2.4. Dana Alternatif Dalam tahun 2005 ini terjadi perubahan yang cukup penting dan mendasar dalam sektor perguruan tinggi dengan digulingkannya undang-undang yang mengatur
52
pergurkan tinggi (HRG) pasal 27 ayat 4 pada beberapa bulan yang lalu. Isinya memuat bahwa secara umum pendidikan tinggi di Jerman adalah bebas biaya. Dengan berhasil digulingkannya undang-undang ini, memungkinkan diterapkannya Studiengebi hren di lingkungan perguruan tinggi. Dana alternatif ini besarnya diperkirakan € 500 per semester per mahasiswa. Sebelumnya kesulitan-kesulitan dalam pembagian "jatah" pendanaan juga telah dirasakan langsung oleh para mahasiswa. Sejak kira-kira enam tahun terakhir semua pergurkan tinggi jerman telah memberlakukan langzeit Studiengebi hren, yang artinya mahasiswa hares membayar sebesar € 500 setiap semesternya, bila is telah melewati masa studi "gratis" yang telah diberikan.
4.2.5. Perbandingan Finansial Jerman dan Indonesia Akses Pendidikan yang sedemikian rapinya dan notabene gratis di Republik Federal Jerman tentu saja memakan biaya yang tidak sedikit untuk pengadaan dan perawatannya. Dengan konsumsi untuk pendidikan sekitar $ 16o Milyar (€ 131 Milyar) tiap tahunnya[2], negeri Jerman telah mengeluarkan uang lebih dari 70 kali lebih besar dibanding Indonesia yaitu $ 2,1 Milyar (Rp 21,5 Trilyun)[8]. Sebuah kemewahan yang sulit dibayangkan mengingat penduduk di Jerman yang berjumlah kurang lebih 8o juta hanya sekitar 40 persen dari jumlah penduduk Indonesia [9]. Ditambah Komposisi penduduk Jerman yang berbentuk peluru, perbedaan ini semakin dipertajam. Dibandingkan dengan di Indonesia yang komposisinya berbentuk piramid seperti di kebanyakan negara berkembang lainnya. Dengan kata lain sebagian besar penduduk Jerman berada diatas usia produktif seperti pelajar. Artinya hanya sebagian kecil orang saja yang berkecimpung di sektor yang memiliki total perputaran uang milliard-an dollar ini.Dengan kata lain pendidikan di Jerman saat ini telah menjadi sate aktivitas yang cukup berperan dalam pergerakan roda ekonomi dan bagi kesejahteraan masyarakat, terutama para pelajar, staf pengajar dan juga para pelaku kegiatan administratif serta industri yang mengiringi di sekitarnya. Membandingkan secara langsung standard pendidikan di Jerman dan Indonesia saat ini rasanya kurang adil, karena dalam kenyataannya jumlah pendapatan domestik bruto per kepala di dua negara ini sangat jauh berbeda. GDP per kepala di Jerman berkisar $ 33.000 sedangkan di Indonesia $ 1.200 [9][10]. Angka total GDP yang di dalamnya dipengaruhi oleh konsumsi negara, konsumsi rumah tangga dan konsumsi organisasi non-profit dapat memperlihatkan dengan cukup baik kecenderungan konsumsi yang terjadi dalam sebuah negara.
53
4.3. Link and Match dan Quality Assurance 4.3.1. Link and Match Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, Atmawidjaja [12] mendefinisikan "Link and Match" sebagai "an idea to synchronizing the educational curriculum with the human-resource demands of industry" sehingga pada akhirnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) diharapkan "To produce skilled, self-reliant university graduates to support industrial development in the country". Di Indonesia, istilah di perkenalkan pada tahun
1993
oleh Departemen Pendidikan Nasional (saat itu Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan) [13].
Linking refers to improving the relationship the education system and the labour market. Matching indicates the need for education to meet the qualitative and quantitative requirements of the workplace
Jadi dapat di simpulkan dengan memasukkan variable link and match ke dalam sistem pendidikan tinggi, diharapkan perguruan tinggi dapat menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan industri, baik itu secara kuantitas maupun kualitas. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, lulusan dengan keahlian seperti apa yang di butuhkan oleh industri? Beragamnya jenis industri tentu membutuhkan ragam lulusan baik itu secara bidang ilmu maupun kualifikasi. Secara singkat dapat dijabarkan sebagai berikut: 1.
Jenis industri yang berbeda-beda maka akan membutuhkan beragam keahlian (beragam jurusan). Dalam hal ini memenuhi kebutuhan industri secara kuantitas.
2.
Kebutuhan akan tingkat keahlian dan kualifikasi yang berbeda-beda seperti tingkat operasional, tingkat managerial, tingkat pengembang, dll. Dalam hal ini memenuhi kebutuhan secara kualitas.
Untuk kasus Jerman, dalam menjawab point pertama, pemerintah jerman melalui departemen pendidikan dan riset, BMBF (Bundes Ministerium fir Bildung and Forschung) selalu melakukan pengawasan terhadap kebutuhan dan perkembangan pasar kerja, seperti contoh melalui program Arbeitsmarktradar (radar pasar kerja). Dengan demikian diharapkan untuk jangka pendek, menegah dan panjang dapat selalu tercipta keseimbangan antara ragam lulusan dengan kebutuhan industri. Hasil dari pengawasan ini 54
selebihnya dapat di manfaatkan oleh calon mahasiswa sebagai bahan pertimbangan dalam memilih jurusan di perguruan tinggi dan juga oleh masing-masing lembaga pendidikan tinggi untuk melakukan variasi jurusan yang ditawarkan. Untuk point kedua diatas, perbedaan tingkat keahlian yang dibutuhkan industri di Jerman dapat dikelompokan sebagai berikut: 1. Lulusan yang lebih banyak menguasai teori-teori dasar, yang pada nantinya di harapkan mampu mengembangkan dan menerapkan pengetahuan yang dimiliki. Untuk tingkatan ini, dengan kualifikasi yang dimiliki, seorang lulusan diharapkan dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran kreatif dan kritis untuk mengembangkan industri yang bersangkutan. 2. Lulusan yang lebih banyak menguasai ilmu-ilmu aplikasi di bandingkan dengan teori dasar dan ilmu aplikasi yang dipelajari diharapkan langsung berhubungan dengan lapangan perkerjaan sehingga lulusan akan lebih mengarah kepada lulusan "siap pakai".
Terlepas dari dua kelompok diatas, masih ada i kelompok lagi, yaitu kelompok tenaga kerja yang diperlukan untuk tingkatan operasional. Pada umumnya kelompok ini dapat digolongkan ke dalam non-academic, dalam hal ini bukan lulusan dari lembaga pendidikan tinggi. Untuk kebutuhan ini pemerintah Jerman membuat metode pendidikan dengan dual system (gabungan teori dan praktek) pada secondary level (lihat bagian 2). Untuk dapat memenuhi tuntutan industri akan kebutuhan lulusan dengan dua karakter yang berbeda di atas, sistem pendidikan di Jerman, membedakan lembaga pendidikan tinggi kedalam dua kategori yaitu Universitas dan sekolah tinggi (Fachhochschule atau University of Applied Science). Universitas adalah sebagai lembaga pendidikan tinggi yang di harapkan menghasilkan lulusan sesuai point 1. Secara umum pembagian antara teori dan aplikasi adalah 60 : 40. Sedangkan sekolah tinggi adalah lembaga pendidikan tinggi yang diharapkan dapat menghasilkan lulusan sesuai point 2 (teori : aplikasi = 40 : 6o). Kemudian untuk bidang-bidang yang lebih spesifik dibuat sekolah tinggi khusus seperti sekolah tinggi musik, sekolah tinggi teologi, dll. Dengan dengan membedakan sistem belajar mengajar yang jelas antara universitas dan sekolah tinggi maka kendala dalam pemenuhan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan industri dapat minimalisasi. Yang perlu dilakukan pemerintah melalui Frame Work Act for Higher Education Hochschulrahmengesetz - HRG, adalah dengan memberikan guidance mengenai tujuan dan arah dari pendidikan tinggi secara umum tanpa membedakan jenis lembaga pendidikan, kemudian
55
institusi pendidikan membuat kurikulum serta sistem belajar mengajar sesuai dengan definisi dasar mereka masing-masing. Keuntungan dari sistem ini adalah dengan hadirnya sekolah tinggi maka kedinamisan akan ilmuilmu aplikasi di dunia industri dapat tetap diimbangi tanpa hares banyak merubah tatanan ilmu-ilmu dasar yang sudah lebih bersifat statis. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.1-1, dimana jumlah sekolah tinggi (university of applied science) di Jerman dapat di katakan terns bertambah, sedangkan jumlah universitas relatif konstan. Dari penjabaran singkat di atas dapat disimpulkan bahwa Link and Match di Jerman ini sudah menjadi sebuah kerangka besar dari sistem pendidikan nasional yang di sepakati bersama dan bukan lagi menjadi masalah institusi (universitas /sekolah tinggi). Selain itu, Link & Match di Jerman sampai saat ini relatif bisa berjalan baik juga tidak luput dari dukungan pihak Industri. Dalam artian secara umum industri di Jerman sudah dapat menarik garis yang cukup jelas akan kebutuhan tenaga kerja mereka. Dan dapat di katakan bahwa kebutuhan tersebut sudah dapat terspesifikasi dan mencangkup tingkatan dasar (operasional) sampai tingkatan riset dan pengembang (Research and Development). Untuk menjamin bahwa mekanisme ini tetap berjalan maka pemerintah terns melakukan kontrol sehingga terns tercipta keseimbangan, untuk selanjutnya masalah quality Assurance akan di bahas pada bagian 4.3.2., yang diharapkan dapat mempertegas bagaimana sistem pendidikan tinggi di Jerman menjaga Link & Match antara pendidikan dan industri. Tahun
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Universitas
Fachhochschule n (University of Applied Science)
College of Education
91 87 88 88 90 90 92
125 127 136 138 146 147 152
11
8 6 6 6 6 6
College of Theolog y 19 17 17 17 16 16 16
College of Art and Music 43 44 46 46 46 46 46
College of Public Administratio n 28 30 31 30 30 37 37
Sumber: BMBF, Higher Education Statistics Tabel 3.1-1: Jenis perguruan tinggi yang ada di Jerman. Sebagai catatan, metode untuk menjaga Link and Match yang dibahas di atas adalah metode yang selama ini sudah diterapkan di Jerman. Namun hares disadari saat ini pun Jerman sedang mengalami reformasi pendidikan, tidak menutup kemungkinan bahwa perubahan-perubahan akan terjadi, terlebih lagi tantangantantangan di era globalisasi ini mau tidak mau akan sangat mempengaruhi jalannya suatu sistem pendidikan. 56
4.3.2. Quality Assurance Pada tahun 1996 hasil pendataan menunjukkan jumlah dan tipe sektor pendidikan tinggi Jerman seperti terlihat di tabel 3.2-1. Pendidikan Tinggi Universitat (Universitiy) Gesamthochschule (Comprihensive universities) Padagogische Hochschulen (Teacher training colleges) Theologische Hochschulen (Theoligical colleges) Kunsthochschulen (Colleges of art) General Fachhochschulen (Colleges of professional studies) Fachhochschulen for public administration Total
Negara 82 1
Privat 6 0
6
0
0
17
44
2
96
40
31 26o
65
Sumber : Zentrum fur Hochschulentwicklung Tabel 3.2-1: Jumlah dan tipe sektor pendidikan tinggi di Jerman. Dalam tulisan ini pembahasan dibatasi tentang general Fachhochschule dan Universitas, dan dipersempit lagi pada sistem pendidikan tinggi yg berkaitan dgn perkembangan teknologi. Secara umum, struktur pendidikan tinggi adalah setelah melalui masa belajar normal (4 tahun) gelar Diplom, Magister, atau Staatsexamen dapat diraih. Lulusan univesitas dengan nilai bagus dapat langsung melamar untuk melanjutkan program doktor (S3). Lulusan program doktor jika ingin berkarir sebagai tenaga pengajar di universitas maka dia hares menyelesaikan riset utama tambahan ditambah beberapa riset kecil dan kemudian juga hares mengambil ujian lagi yang dikenal sebagai habilitasi. Konsep universitas di Jerman adalah posisi professor adalah motor penggerak riset/penelitian dan proses pengajaran di institusional masing-masing. Kreatifitas dan terobosan yg dlakukan professor dengan mendayagunakan seluruh potensi yang ada, seperti laboratorium, perpustakaan, peralatan penunjang riset dan juga staff, mempengaruhi kredibilitas dan kualitas institusinya. Di samping universitas, ada institusi perdidikan tinggi lain yang disebut Fachhochschule yaitu institusi yg berorientasi untuk mencetak tenaga profesional yg sesuai dengan lapangan pekerjaan (industri) dan bukan sebagai akademisi. Dalam masa studi, mahasiswa diwajibkan minimal 6 bulan
57
untuk melakukan praktikum, berinteraksi langsung dengan industri. Professor institusi ini hares punya pengalaman profesional di bidangnya selama beberapa tahun di industri. Professor ini hanya dapat melakukan riset tetapi dalam lingkup yang lebih kecil jika dibandingkan dengan professor di universitas, disebabkan keterbatasan staff dan infrastruktur yang dia miliki. Di lain pihak professor ini mempunyai kesempatan lebih besar untuk menjalin hubungan dengan industri tempat mahasiswanya berpraktikum. Secara prinsip, professor di universitas ataupun professor Fachhochschule dituntut untuk melakukan riset sehingga kredibilitas dan kualitas institusinya dapat dipertahankan atau bahkan menjadi lebih baik. Tetapi riset di perguruan tinggi dapat mejadi rusak, tidak hanya disebabkan sistem belajar mengajar di institusi masingmasing (faktor internal dari kepemimpinan professor) tetapi juga berkurangnya dana yang diterima dari pemerintah. Selama ini besar pengucuran dana untuk pengembangan riset tidak ditentukan oleh kebutuhan masyarakat atau riset dengan permintaan khusus, melainkan dipengaruhi dua hal: 1. Jumlah tempat (laboratorium, perpustakaan, asrama) mahasiswa yg mampu tersedia. 2. Pemberian dana yang mengacu pada keberhasilan riset sebelumnya. Hal tersebut di atas menyebabkan perbedaan penerimaan dana antara institusi pendidikan yg besar dan kecil dan juga antara institusi tua dan bare. Untuk mejaga kualitas sistem pendidikan tinggi secara extensive dirumuskan beberapa langkah bare. Adalah perlu untuk mengadakan evaluasi dan akreditasi secara periodik. Prinsip dari riset dan pengajaran secara kesatuan hares dijaga dan ditingkatkan dengan langkah-langkah sebagai berikut: - Evaluasi secara periodik atas hak mengajar (professor) dan hal itu dapat diperbarui jika ada bukti keberhasilan dari aktifitas riset. - Penghargaan atas keberhasilan mengajar alokasi sumber daya yang tersedia dalam waktu tertentu. - Penghasilan dan level akademisi sangat tergantung dari aktifitas mengajar dan riset. Professor di Fachhochschule diharapkan juga untuk telibat dalam riset besar, pengembangan dan transfer teknologi sehingga hal tersebut dapat menjamin bahwa proses belajar mengajar di lingkungan institusinya selalu relevan dengan perkembangan teknologi. Untuk lingkungan universitas, diharapkan sebagai pusat riset yg canggih dan promosi dari mahasiswa postgraduate hares didorong melalukan kerjasama riset antar institusional dan juga melalui pengembangan kualitas personal institusi.
58
Untuk mengkombinasikan usaha dalam rangka menjaga kualitas, profile institusi yang positif dan strategi pengembangan, setiap institusi perguruan tinggi membutuhkan instrumen kontrol yang dilakukan secara sentralisasi dan desentralisasi. Instrumen-instrumen itu hanya dapat efektif berfungsi jika negara dapat menahan diri untuk tidak mempengaruhi proses pengambilan keputusan pada institusi pendidikan tinggi. Dengan demikian diusahakan level perbedaan antara peraturan tingkat pusat degan regional semakin mengecil. Pendanaan dari negara tidak hanya didasarkan pada pengalaman historis dari suatu institusi, tetapi juga kenyataan pengeluaran yang aktual, performasi dari institusi. Sumber-sumber daya ekstra yang secara kompetitif dibutuhkan masyarakat hares disediakan oleh negara. Pengusahaan dana tambahan dapat dilakukan dengan menjual pelayanan akademis, seperti penelitian dan pengembangan, pelayanan konseling, (sophisticated analysis) dan juga kemungkinan menarik iuran per semester dari mahasiswa undergraduate.
4.4. Diskusi, Problema dan Dilema 4.4.1. Fenomena Akses ke Perguruan Tinggi Di Jerman, pendidikan adalah gratis dan dibiayai sepenuhnya oleh negara (paling tidak sampai tulisan ini dibuat). Dengan demikian, adalah agak mengherankan dari sisi pandang kits, bahwa minat untuk masuk ke perguruan tinggi cenderung rendah (lihat bagian 1.2.). Beberapa faktor penyebab yang mungkin adalah: •
Standar pendidikan yang tinggi/ketat yang tidak memungkinkan semua siswa untuk masuk ke Gymnasium.
•
Pendidikan tinggi bukanlah sate-satunya tiket menuju kehidupan/pekerjaan yang layak. Sehingga banyak yang memilih untuk memulai karier lebih dini dan tidak menempuh jalur akademis.
Dalam kasus pendidikan di Jerman, persoalan yang dihadapi juga sangat berbeda dibandingkan dengan Indonesia. Di Jerman, kendala yang besar untuk mencapai pendidikan tinggi adalah kemampuan/minat siswa itu sendiri. Di Indonesia persoalan yang dominan adalah masalah keterbatasan dana, dan biaya studi yang mahal. Hal menarik lainnya adalah differensiasi pendidikan yang sudah dilakukan sejak lulus sekolah dasar, yang akhirnya membatasi keleluasaan siswa untuk mengakses perguruan
59
tinggi. Walaupun pada prakteknya ada jalan pintas yang masih memungkinkan siswa untuk pindah jenis sekolah, namun keuntungan dan kerugian dari sistem diferensiasi dini ini masih bisa diperdebatkan.
4.2. Fenomena Link and Match dalam Sistem Pendidikan di Indonesia Seperti telah tertulis pada bagian 4.3.1, di Indonesia istilah Link and Match diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (saat itu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) sejak tahun 1993. Namun apabila melihat kebijakan dasar pengembangan pendidikan tinggi ke depan yang tertuang dalam Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi I tahun 1975-1985 (Higher Education Long Term Strategy, HELTS I) ide dari Link & Match itu sendiri sudah tertuang di dalamnya dan terns diperbaiki dan dikembangkan pada HELTS selanjutnya (HELTS II 1986-1995, HELTS III 1996-2005). Dan dalam menjawab kebutuhan tenaga akademis (lulusan perguruan tinggi) dengan non-akademis, sejak HELTS I, pemerintah sudah memperkenalkan dual sistem seperti yang diterapkan di Jerman ini. Namun pada HELTS W 2003-2010, ide dari Link and Match terlihat mulai ditinggalkan. Tujuan pendidikan tinggi tidak lagi menekankan untuk mengikuti kebutuhan industri, namun lebih ke arah pemenuhan kebutuhan mahasiswa akan pendidikan itu sendiri, sehingga mahasiswa sanggup mengembangkan intelektual mereka. "Education that effectively linked to student needs, develop their intellectual capability to become responsible citizens, and contribute to the nation's competitiveness" (Feature of HELTS W) Melihat realita yang ada, faktor Link and Match kelihatan memang tidak mudah untuk diterapkan di Indonesia. Di satu sisi perguruan tinggi mengharapkan dapat menghasilkan lulusan dengan memiliki ilmu-ilmu dasar, daya kreativitas dan analisa yang mendalam, namun di sisi lain terlihat bahwa dunia Industri di Indonesia masih lebih mengarahkan kebutuhan tenaga kerja "siap pakai". Sehingga dalam prakteknya untuk masa pendidikan 4-5 tahun akan sangat sulit bagi universitas untuk memenuhi kedua tuntutan tersebut Sedangkan pembagian togas antara universitas dan sekolah tinggi belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
60
4.5. Kesimpulan, Trend dan Rekomendasi 4.5.1. Memperluas Akses ke Perguruan Tinggi Diskusi di bagian 4.4.1. memperlihatkan bahwa semangat dan minat orang Jerman untuk masuk ke bangku perguruan tinggi adalah relatif minim. Namun demikian, tekanan ekonomi yang melanda Jerman akhir-akhir ini, serta banyak berpindahnya lapangan pekerjaan manual ke Eropa timur, menyebabkan bangku perguruan tinggi kembali diminati sebagai jaminan mendapatkan pekerjaan. Ini bisa terlihat dari angka mahasiswa bare yang terns meningkat beberapa tahun terakhir ini (lihat tabel 1.2-1). Untuk kasus Indonesia, problema yang dihadapi adalah permasalahan biaya. Walaupun begitu, kasus pendidikan di Jerman telah menunjukkan bahwa menjadikan seluruh pendidikan gratis, belum tentu memperluas akses ke perguruan tinggi. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Karena permasalahan akses di Indonesia lebih berhubungan dengan biaya, maka tentu saja solusi langsung terhadap masalah ini adalah melalui beasiswa. Pemberian beasiswa bukan saja soal penyediaan dana, melainkan bagaimana mengalokasikan dana itu supaya betel-betel jatuh ke tangan yang tepat. Memberikan beasiswa untuk seorang anak didik, dan membebaskan dia untuk memilih ke institusi mana dia mau melanjutkan pendidikannya, mungkin adalah ide yang lebih baik daripada menyalurkan dana melalui perguruan tinggi maupun organisasi lainnya. Karena dengan demikian dana betel-betel tersalurkan untuk kebutuhan anak didik dan tidak menguap ditelan biaya administrasi yang tidak langsung berhubungan dengan pendidikan anak tersebut. Solusi lain yang bisa dilakukan untuk memperluas akses ke perguruan tinggi di Indonesia adalah dengan menghapuskan segala birokrasi/peraturan yang menyulitkan seseorang untuk masuk ke perguruan tinggi. Hal ini misalnya bisa dilakukan dengan membebaskan setiap perguruan tinggi mempunyai kebijaksanaan yang otonom dalam menerima mahasiswa. Seseorang tidak perlu menunjukkan ijazah SMA, SMP ataupun nilai Ebtanas sebagai syarat masuk perguruan tinggi. Setiap perguruan tinggi berhak menentukan sendiri kriteria penerimaan yang mereka pakai, misalnya dengan psikotest, wawancara, dan lain-lain. Di lain pihak, setiap perguruan tinggi juga bertanggung jawab terhadap mute lulusan mereka masingmasing, yang pada akhirnya juga akan menerima kontrol dari masyarakat dan dunia kerja.
61
Dengan melakukan hal ini, pinto ke arah kreatifitas dan inovasi pendidikan pun jadi terbuka. Seorang anak bisa saja tidak pernah mengecap pendidikan formal sampai SMA tetapi tetap punya kesempatan masuk ke perguruan tinggi. Bisa saja semua keahlian dasar seperti membaca, menulis, berhitung dipelajari sambil bekerja. Atau mungkin juga berkembang suatu budaya home-schooling yang memungkinkan anak punya lebih banyak quality-time bersama keluarga mereka. Atau mungkin saja seorang anak memutuskan untuk selepas SMP langsung mencoba masuk ke salah sate perguruan tinggi. Semuanya ini adalah skenario-skenario yang mungkin terjadi dan memperkaya kemungkinan akses anak didik untuk mengecap pendidikan tinggi.
4.5.2. Strategi Pendanaan Ideal untuk Perguruan Tinggi Indonesia Dengan tidak terus menerus mengalah setelah melihat perbandingan finansial diatas dan mulai perlahan-lahan melkukan sesuatu seperti menaikan angka konsumsi pendidikan, dengan sendirinya kits telah menjadikan sektor pendidikan sebagai sektor yang cukup menjanjikan di Indonesia. Anggaran yang digunakan datangnya bisa dari peorangan, organisasi, atau bahkan langsung dari Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN) seperti yang telah di paparkan di bab sebelumnya. Salah satunya adalah dengan meningkatkan perhatian industri terhadapa sektor pendidikan di Indonesia. Atau kompetitif dengan memberikan penghargaanpenghargaan kepada mereka yang telah berhasil berprestasi dalam meningkatkan sektor ini di daerahnya masing-masing. Perealisasiannya jelas tidak semudah yang di perkirakan, diperlukan orang-orang yang sangat berpengalaman dan kompeten untuk mewujudkannya. Diharapkan dengan demikian harapan kits sedikit demi sedikit dapat terwujud, yaitu "Pendidikan untuk semua di Indonesia" sekaligus "Education for all 2015" yang telah dicanangkan UNESCO [ii].
62
4.5.3. Link vs. Match Pada bagian 4.3.1 dan 4.4.2 telah di jabarkan bagaimana pemerintah Jerman mengatur faktor Link and Match dalam mengatur pendidikan tinggi mereka dan kesulitan bagi Indonesia untuk memasukan faktor Link and Match. Dari kedua pembahasan tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa agar ide Link and Match dapat berjalan, institusi pendidikan sangat bergantung pada kebutuhan tenaga kerja dari pihak industri. Untuk negara Jerman, sistem tersebut dapat di terima karena kebutuhan industri akan lulusan sudah beragam dari semua tingkatan, sehingga pembagian sejak dini dapat diterapkan dengan baik. Sedangkan untuk kondisi Indonesia, sampai saat ini, walaupun tidak pernah dijabarkan secara eksplisit, terlihat bahwa industri di Indonesia masih sedikit sekali membutuhkan tenaga untuk pengembang. Sariana yang dibutuhkan masih terbatas untuk tingkat operasional dan perencanaan, yang pada kenyataannya masih rancu apakah perlu sampai tingkat sarjana atau cukup sampai tingkat diploma. Pada akhirnya industri lebih mengarahkan pilihan pada sarjana "siap pakai". Untuk itu cukup sulit terutama pihak universitas untuk mempertahankan idealisme menciptakan sarjana yang menguasai teoriteori dasar tanpa menularkan kemampuan-kemampuan aplikasi yang cukup untuk dapat dikategorikan sebagai sarjana "siap pakai". Salah satu alternatif yang dapat dipakai adalah dengan mencetak sarjana "siap latih", dan inilah yang terlihat menjadi acuan HELTS W. Memberikan bekal ilmu pengetahuan yang cukup, sehingga seorang sarjana mampu beradaptasi dengan lapangan pekerjaan. Apakah ini solusi yang terbaik untuk menjawab pertentangan Link and Match ? Tentu saja pertanyaan ini dapat mematik suatu diskusi yang panjang. Namun satu hal yang bisa di rasakan adalah selama kebutuhan industri di Indonesia belum terspesifik dan belum pada tingkatan-tingkatan riset dan pengembangan mungkin alternatif ini adalah suatu alternatif yang optimal untuk diterapkan.
63
Referensi [1]
G. Jonen (editor), "The Education System in the Federal Republic of Germany 2003", Secretariat of the Standing Conference of the Ministers of Education and Cultural Affairs of the Lander in the Federal Republic of Germany, Boon 2005.
[2]
Statistisches Bundesamt, "Datenreport 2004, Zahlen and Fakten fiber die Bundesrepublik Deutschland", Bundeszentrale fur politische Bildung.
[3]
http://www.depdiknas.go.id
[4]
http://www.spiegel.de/jahrbuch
[5]
BLKBildungsfinanzbericht2002/2003, Heft ii6-II, Juli 2004.
[6]
http://www.destatis.de/basis/d/fist/fisto3 1.php
[7]
Fairness statt Will/cur, Die Zeit, 02.09.2004, Nr.37.
[8]
Kompas, "Laporan atas Konferensi Nasional Pendidikan Nasional dalam arcs Neoliberalisme di Bandung", Jakarta 15 Mei 2005.
[9]
World Bank, "Population 2004", World Development Indicators database, 15 July 2005.
[1o] World Bank, "Total GDP 2004", World Development Indicators database, 15 July 2005. [ i i ] http://www.unesco.org/education/efa/index.shtml [12]
R. Atmawidjaja, "Toward Technologically Oriented Education System in Indonesia", International Seminar, Managing Higher Education in Third Millennium, Jakarta 26 - 29 October 1999.
[13]
Simon McGrath [Ed], "Skill Development Working Paper No.3", Swiss Agency for Development and Co-operation, 1998.
[14]
Statistisches Bundesamt, "Bericht zur finanziellen Lage der Hochschulen", 2003.
64
5. Pendidikan Tinggi di Swiss 5.1. Pendahuluan Switzerland salah satu negara yang tidak memiliki sumber daya alam, maka dari itu pendidikan dan ilmu pengetahuan dijadikan sebagai sumber daya yang sangat penting bagi mereka. Switzerland sendiri mengklaim bahwa mereka adalah salah satu negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Karena yang bertanggung jawab untuk lancar atau tidaknya sistem pendidikan itu sendiri bukanlah tetapi setiap cantons (provinsi), itulah sebabnya mengapa sistem pendidikan diantara cantons satu dengan yag lainnya bisa berbedabeda tergantung kebijakan dari pemerintah cantons. Contoh, beberapa cantons mulai memasuki pelajaran bahasa asing pada tahun keempat (fourth grade) padahal di cantons yang lainnya pelajaran itu baru dimasukkan pada tahun ketujuh (seventh grade). Sebagian besar murid di Swiss masuk ke sekolah negeri (public school). Karena harga sekolah swasta di Swiss terbilang sangatlah mahal dan kebanyakan orang tua menganggap bahwa murid-murid yang masuk sekolah swasta ada murid-murid yang tidak dapat lulus di public school. Public school meliputi Kindergarten (Taman kanak-kanak), Volksschule (elementary school), Gymnasium (secondary school) dan Universitäten (universitas). Setiap kecamatan harus memiliki kindergarten dan elementary school. Dari setiap kanton biasanya mereka menyediakan paling tidak satu secondary school ke setiap kecamatan. Swiss memiliki 11 universitas negeri, 9 dari itu di jalankan oleh cantons dan 2 sisanya dijalankan oleh confederation (). Setelah para murid menyelesaikan elementary school mereka, murid-murid boleh memilih untuk melanjutkan ke secondary school atau mulai mencari “apprenticeship” atau yang biasa kita sebut magang. Setelah menyelesaikan magang mereka, mereka tetap boleh melanjutkan karir akademik mereka ke secondary school ataupun ke Fachhochschulle (FH) sekolah kejuruan atau technical college.
65
5.2. Jenis Sekolah Setiap anak diwajibkan untuk masuk sekolah paling tidak hingga elementary school. Swiss memberikan beberapa pilihan jenis sekolah dan level-level yang berbeda-beda. Setiap cantons bertanggung jawab sepenuhnya, untuk sistem pendidikan, mata pelajaran, umur awal mulai masuk sekolah dan lama nya sekolah itu sendiri. Semua data-data setelah ini adalah data yang kami fokuskan di kota Zurich, Swiss. a. Kindergarten: Tidak seperti sekolah, anak-anak tidak di haruskan tetapi dianjurkan untuk masuk kindergarten (Taman Kanak-Kanak). Disini mereka tidak belajar bagaimana cara membaca ataupun menulis tetapi mereka lebih diajarkan bagaimana mereka menbangun kapabilitas social mereka dan kemampuan untuk beradaptasi dengan orang lain ataupun lingkungan. Mereka juga diajarkan untuk diam dikelas dan mendengarkan para guru sewaktu menerangkan. Anak-anak biasanya masuk di Kindergarten selama setahun sampai 2 tahun. Karena untuk masuk elementary school baru di perbolehkan pada umur 7 tahun, dan sekali lagi semua itu tergantung dari cantons yang bersangkutan tinggal. b. Volksschule (Elementary School) Diwajibkan untuk setiap anak di seluruh Switzerland tidak perduli di cantons mana anak itu berada, untuk masuk Elementary school. Mereka harus masuk ke public school ataupun private school. Elementary school dimulai pada umur 7 tahun, atau setidaknya 8 tahun, tetapi biasanya 9 tahun. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya semua tergantung kebijakan dari kebijakan cantons. Beberapa sekolah menawarkan tahun tambahan bagi mereka yang belum dapat menentukan apa yang akan mereka lakukan setelah lulus dari sekolah ataupun belum mendapatkan magang atapun juga belum sampai ke umur dimana mereka bisa menentukan jalan hidup mereka selanjutnya. Volkschulle dibagi menjadi dua yaitu Primarschulle dan Oberstufenschule: •
Primarschule di Zurich berkisar 6 tahun masa belajar. Tetapi biasanya murid hanya mempunyai satu orang guru untuk mengajarkan seluruh mata pelajarannya.
•
Oberstufenschule berkisar 3tahun masa belajar. Biasanya, setidaknya ada dua orang guru yang akan mengajarkan para murid. Satu guru mengajarkan beberapa mata pelajaran, dan guru yang lain mengajarkan mata pelajaran sisanya. Mereka
66
juga biasanya memiliki guru untuk special subject (ekstrakulikuller), seperti gym, needlework, memasak, dan lain sebagainya.
Obersstufenschule sendiri memiliki 3 level yang berbeda-beda, yaitu: Sekundarschule, Realschule, dan Oberschule. Sekarang, setiap sekolah menyediakan 3 level tersebut untuk setiap mata pelajaran yang diambil oleh para murid. Tetapi para murid harus paling tidak menyelesaikan satu level per mata pelajaran. Hanya untuk matematika, native language dan first foreign language saja, mata pelajaran yang akan diajarkan per kelas. Mata pelajaran yang lainnya seperti kuliah mereka yang memilih. Sekundarschule Highest Level dari Obersstufenschulle. Anak-anak yang ingin melanjutkan ke Gymnasium harus lulus dari tingkat ini. Sekundarschule meliputi math, geometry, native language (German, karena di Zurich), first foreign language (french in Zurich), geography, history, dan yang lain sebagainya. Mereka juga dapat mengambil second foreign language seperti english atau italian. Realschule Pada dasarnya mengajarkan mata pelajaran yang sama dengan sekundarschule hanya saja tingkat kesulitan yang diberikan seperti sekundarschule diatas. Oberschule Menuntun secara intensif murid-murid yang memiliki kesulitan dalam belajar.
Setelah menyelasaikan Primarschule, para murid di perbolehkan juga untuk melanjutkan ke Gymnasium (secondary school) langsung tanpa mengikuti oberstufenschule, tetapi dalam situasi ini, belajar di Gymnasium nya akan memakan waktu 61/2 tahun padahal seharusnya hanyalah 41/2 tahun saja. c. Berufslehre (Apprenticeship) Mayoritas anak di Swiss memulai magang nya adalah setelah elementary school. Tergantung dari profesinya masing-masing, pada umumnya apprenticeship memakan 67
waktu dua sampai empat tahun. Magang meliputi semua jenis profesi, dari handicraft (mechanician, carpenter, baker, hairdresser dan lain-lainnya). Untuk anak-anak yang bekerja di perkantoran biasanya adalah secretary, bookkeeper, IT specialist, dan lainlainnya). Pemagang akan mendapatkan pengajaran dari setiap perusahaan dan organisasi dimana tempat mereka bekerja. Disamping itu mereka juga masuk sekolah satu atau dua hari dalam seminggu. Setelah Apprenticeship selesai dan tergantung dari pendidikan mereka, anak-anak yang masih terbilang muda bisa melanjutkan perkerjaan mereka ataupun mencari sekolah untuk pendidikan selanjutnya, yang biasa disebut dengan Facchochschulen (Technical College). d. Gymnasium (Secondary School) Ada beberapa jenis Gymnasium dengan perbedaan dari major subject dan tujuantujuannya: i. Mathematiches und Naturwissenschaftliches Gymnasium (secondary school of math and science) fokus untuk mata pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan, tetapi mengajarkan juga pelajaran bahasa Jerman dan 2 bahasa asing (French, dan English atau Italian). ii. Neusprachliches Gymnasium (secondary school of modern language) focus untuk pelajaran bahasa, yaitu German, French, Italian dan English, tetapi juga mempelajari sedikit tentang matematika dan ilmu pengetahuan. iii. Altsprachliches Gymnasium (secondary of ancient language) fokus kepada bahasa Latin ditambah 2 bahasa tambahan, tetapi juga mempelajari tentang matematika dan ilmu pengetahuan. iv. Wirtschaftgymnasium (secondary school of economics) fokus kepada pelajaran ekonomi. v. Musisches Gymnasium (secondary school of art), untuk gymnasium ini masih terbilang baru. Fokus kepada musik dan kesenian. vi. Sportgymnasium (secondary school of sport) focus kepada aktifitas olah raga.
Seluruh secondary school berlangsung selama 61/2 tahun atau 41/2 tahun dan akan mendapatkan Eidgenössische Matura (federal graduation diploma) yang di akui oleh
68
seluruh universitas di Switzerland dan kebanyakan universitas di luar Swiss terutama Eropa. Ada juga yang disebut Lehramtsschule dan akan mendapatkan Kantonale Matura (cantonal graduation) dan akan di akui oleh cantons nya yang sama. Kebanyakan murid yang mendapatkan Lehramtsschule akan menjadi seorang guru. Walaupun setelah magang pun, mereka masih mungkin untuk mendapatkan graduation diploma yang di Maturitätschule (graduation diploma school). Setelah lulus dari situ mereka dapat melanjutkan studi mereka ke ajang universitas dan sama seperti muridmurid yang lain yang telah mengikuti gymnasium sebelumnya. Jalan seperti ini di dalam kurikulum pendidikan swiss dikenal dengan nama Zweiter Bildungsweg (secondary educational path). e. Universität (University) Swiss memiliki 11 universitas negeri, 9 dari universitas tersebut di jalankan oleh cantons, dan 2 sisanya dijalankan oleh
(confederation). Pada umumnya, universitas yang
dijalankan oleh cantons tidak menyediakan mata kuliah teknik, dan sebaliknya universitas yang dijalankan oleh confederation menyediakan teknik. Untuk dapat diterima di universitas, murid harus menyelesaikan gymnasiumnya mereka ataupun graduation diploma. Kuliah di universitas swiss biasanya memakan waktu 41/2 tahun. Berikut adalah universitas yang dijalankan oleh canton: 1. Universität Basel 2. Universität Bern 3. Universität Fribourg 4. Universität Genf 5. Universität de Lausanne 6. Universität de Neuchatel 7. Universität St. Gallen 8. L’Università della Svizzera Italiana 9. Universität Zurich
Berikut adalah universitas yang dijalankan oleh confederation satu berada di German part speaking dan yang satu lagi berada di French part speaking:
69
1. Eidgenössische Technische Hochschule Zürich (ETHZ) 2. Ecole Polytechnique Fédérale de Lausanne (EPFL)
Dengan data-data diatas kita bisa melihat diagram yang simpified di halaman berikutnya tentang step by step pendidikan di Switzerland yang saya ambil dari Swiss Education Server www.educa.ch.
Referensi
1.
Information about Switzerland, Confoederatio Helvetica, Education sector, http:// about.ch/education/index.html
2.
Schweizerische Konferenz der Kantonalen Erziehungsdirektoren (Swiss Conference of Cantonal Ministers of Education) http://www.edk.ch/e/eurydice/framesets/mainBildungCH_e.html
70
6. Pendidikan Tinggi di Indonesia 6.1. Latar belakang Indonesia Pencerdasan bangsa merupakan salah satu alasan berdirinya bangsa dan negara Indonesia. Kenyataannya, kebodohan masih dihadapi bangsa ini setelah 60 tahun merdeka. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang ditopang utang luar negeri ternyata hanyalah candu yang memberikan kepuasan semu. Akibat rendahnya investasi dalam bidang pendidikan dan kesehatan, kini kita dihadapkan pada kenyataan yang pahit. Di tengah dunia yang makin kompetitif, kita masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang besar untuk memerangi kebodohan dan kemiskinan”( bdk. St. Sularto Kompas, Selasa, 16 Agustus 2005, « « Praksis Pendidikan Minus Visi : Catatan atas Bongkar Pasang Kurikulum »). « Khususnya di bidang pendidikan, saat ini dunia pendidikan di Indonesia telah diwarnai dengan banyak penyimpangan, yang disebabkan oleh permainan uang yang memengaruhi proses akademis. Karena budaya hedonisme di universitas-universitas banyak yang beli gelar dengan uang. Gelar doktor dibeli, bahkan gelar profesor », demikian ungkap guru besar dan sejarawan Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Sartono Kartodirdjo di Yogyakarta (Suara Pembaruan, 23 Januari 2003, « Banyak Penyimpangan dalam Pendidikan »). Menurut Sartono, permainan uang itu menyebabkan proses akademis berlangsung dengan meninggalkan aspek disiplin ilmu dan aspek kepakaran. Hal itulah yang menjadi tantangan dunia pendidikan di era globalisasi.
Ia mengatakan, disiplin memang tidak dapat
dilembagakan melalui materi perkuliahan, tetapi melalui gaya hidup. Gaya hidup inilah yang pada gilirannya, menurut Sartono, akan memunculkan kepakaran atau keahlian. Dengan istilah „pakar“ ini ada tiga pesan yang mau dikatakan:
yakni otensitas, otoritas, dan
integritas. Tiga hal itulah yang menjadi tujuan sekaligus roh dari yang namanya pendidikan. Sayangnya, gaya hidup hedonisme yang melanda Indonesia telah terbawa juga ke lembagalembaga akademis. Akibatnya, lembaga akademis mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi sulit untuk menghindar dari permainan uang. "Kita mendengar ada skripsi di satu universitas diujikan di universitas lain, bahkan untuk tesis S2. Itu hebat sekali, tetapi dengan adanya plagiat sangat sulit menghapus nama baik universitas yang bersangkutan, bahkan sampai tujuh keturunan," ujar Sartono.
71
Selain gaya masyarakat yang cenderung « konsumeristik » dan « hedonis », dunia pendidikan pun rasanya menjadi makin merana karena Negara tidak pernah memberikan perhatian yang serius kepadanya. Negara tidak peduli kepada pendidikan, itu
terlihat dari minimalnya
anggaran yang ditentukan sbg kebijaksanaan nasional bagi pendidikan nasional (sekolah negeri). Tiadanya anggaran membuat pendidikan nasional dijalankan seadanya. Apa artinya memberikan « tuntutan dan idealisme tinggi » bila uang untuk perpustakaan, gaji untuk guru, dan uang untuk prasarana tidak banyak ? Bukankah itu hanya melanggengkan kultur munafik di negeri kita ? Negara kita memang miskin, banyak hutang. Sama seperti banyak negara lain. Toh, sama seperti banyak keluarga miskin, ada keluarga miskin yang memprioritaskan pendidikan anakanaknya karena mereka mau berkorban untuk masa depan yang lebih gemilang bagi anakanaknya. Negara Malaysia adalah contoh untuk itu. Negara kita? Sudah miskin, kita malah tidak pernah berniat secara jangka panjang untuk tidak memiskinkan lagi generasi selanjutnya. Tidak adanya anggaran, plus keengganan berkorban bagi generasi masa depan (tidak adanya political will) membuat kisah pendidikan di negeri kita menjadi begitu menyedihkan. Karena Negara tidak mempedulikan pendidikan nasional, akhirnya tiap individu di negeri kita mesti memikirkan sendiri pendidikan anak-anak mereka. Ketidakpedulian
Negara atas
pendidikan ini membuat sedemikian sehingga di Indonesia sangat lumrah bahwa tiap warga negara (sesuai kapasitas masing-masing) mesti mengurusi sendiri pendidikannya. Dan bukan hanya dalam soal pendidikan, dalam semua aspek « pelayanan publik », warga negara dibiasakan untuk memiliki gaya hidup mengurusi dirinya sendiri-sendiri. Untuk warga negara yang miskin, tidak ada jalan lain kecuali berusaha memanfaatkan sekolah negara yang ada. Pun, jika sekolah negeri yang seharusnya “gratis” itu menuntut uang pangkal, uang seragam, uang gedung (yang di Yogya bisa mencapai 2 juta rupiah untuk masuk ke sebuah SMP Negeri), rakyat tidak memiliki pilihan lain. Bagi warga negara yang kaya raya, ketidakpedulian negara akan pendidikan menjadi “peluang” untuk membisniskan pendidikan. Apakah sekolah mahal, berbahasa inggris di kota-kota besar adalah sebuah “bisnis” atau sebuah tawaran “pendidikan berkualitas”, kita tidak pernah tahu.
72
Contoh dua laporan di bawah ini bisa menjadi gambaran bagi situasi sehari-hari pendidikan di Indonesia:
(ADJIE Massaid) Artis yang sekarang menjadi anggota DPR itu memilih High/Scope Indonesia untuk menyekolahkan Zahwa, 4 1/2 tahun, dan Aaliyah, 3 tahun. Keduanya ditempatkan di kelas pra-sekolah. ''Saya berusaha memilih sekolah yang terbaik buat anakanak saya,'' kata Adjie, yang bernama lengkap Chandra Pratomo Samiadjie Massaid itu. Sebelum memilih High/Scope, Adjie sudah mencoba dua sekolah lain. Ketika Zahwa berumur enam bulan, dia dititipkan di Kidsports selama 13 bulan. Kemudian Zahwa dipindahkan ke Kinderland di Pondok Indah selama tiga bulan. Adjie menilai, fasilitas kedua sekolah itu sudah tak memadai untuk aktivitas anaknya. Padahal, keduanya termasuk sekolah yang banyak diminati untuk pendidikan pra-sekolah. ''Semakin besar, anak saya makin gesit dan menyukai tempat yang lapang, '' kata Adjie, anggota Partai Demokrat perwakilan Jawa Timur. Anak kedua, Aaliyah, pun akhirnya disekolahkan di tempat yang sama. Adjie harus membayar Rp 3,6 juta tiap tiga bulan per anaknya. Sedangkan uang gedung Rp 10 juta. Saat Gatra mengunjungi salah satu sekolah High/Scope di Taman Alfa Indah, Jakarta Barat, anak-anak di sana memang terbiasa berbahasa Inggris. ''Hello Miss. We are going home,'' sapa seorang anak dengan ramah. Kebetulan yang ditemui Gatra adalah anak-anak SD yang hendak pulang. Sebenarnya, menurut Antarina Amir, pemimpin High/Scope, mata pelajaran yang diberikan sekolahnya sudah memadai. Anak didik masuk ke kelas pukul delapan pagi dan pulang pukul dua siang. ''Tapi orangtua sering salah kaprah. Mereka masih mengursuskan anaknya sampai kecapekan,'' kata Rina, panggilan Antarina Amir, pemegang lisensi High/Scope untuk Asia Pasifik sejak 1996. (…) Namun Rina mengakui, orangtua zaman sekarang banyak yang gerah menghadapi ketatnya persaingan memperoleh pekerjaan di masa mendatang. Tidak mengherankan jika minat orangtua memasukkan anaknya ke sekolah berstandar internasional makin tinggi. Demikian juga yang terjadi di High/Scope. Sejak berdiri pada 1996, sekarang High/Scope memiliki sekolah di lima lokasi, mulai dari pra-sekolah sampai SMP. Satu lagi berada di Medan, Sumatera Utara. Jumlah murid seluruhnya 1.300 anak. ''Tahun 2007, kami harus
73
memiliki SMA,'' kata Rina, yang mengaku punya hubungan darah dengan Ki Hajar Dewantara, tokoh pejuang pendidikan Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan pasar, High/Scope menawarkan kurikulum untuk mempersiapkan anak didik agar bisa bersaing dengan putra-putri dunia. Itulah sebabnya, High/Scope menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. ''Tapi bukan bermaksud kebaratbaratan,'' ujar Rina, alumnus Clarion University of Pennsylvania, Amerika Serikat. Sebagai ''imbalannya'', sekolah kerap mengadakan acara ''Indonesian Day'', saat anak-anak wajib berkata-kata dalam bahasa Indonesia. Hari itu, siswa juga diperkenalkan dengan makanan, pakaian, dan adat dari berbagai daerah di Nusantara. [SUMBER: “Lumrah Asal Tak Salah Kaprah”, Laporan Utama, Gatra Nomor 20 Beredar Senin, 28 Maret 2005, oleh: Rihad Wiranto, Dessy Eresina Pinem, dan Elmy Diah Larasati]
Tidaklah mengherankan, jika di Jakarta saat ini banyak sekolah swasta yang kurang bonafid, baik dari nama maupun kualitasnya, mematok harga yang cukup tinggi. Ada yang mematok harga Rp; 2 juta untuk pendaftaran, belum termasuk hal lainnya yang total bisa mencapai Rp. 4 juta. Kemudian iuran per bulannya bisa mencapai Rp. 250.000. Ada pula yang lebih dari itu. Memang, harus diakui, biaya sekolah di Indonesia terkadang lebih mahal dibandingkan luar negeri. Hal itu diakui warga lainnya, Julia yang mengaku harus mengeluarkan sekitar Rp 5 juta untuk memasukkan putrinya di sebuah SMA swasta di Jakarta Timur. "Saya sendiri heran, sekolah enggak begitu terkenal tapi bayarannya mahal," keluh dia Simak saja biaya sekolah favorit, mulai TK hingga SMA di Mutiara Indonesia, Tutor, Cikal, JIMS, Madania, Al Azhar, Pembangunan Jaya, Global Jaya, Insan Cendekia, Nurul Fikri, Marsudirini, Bunda Hati Kudus Pelita Harapan, Perguruan Cikini, Tarakanita, dan Lab School. Uang pangkal TK minimal Rp 2,5 juta, bahkan bisa sampai 17 juta dan ada yang pakai dolar, US$ 2.500. Uang sekolah paling murah 125.000/bulan, termahal 8,4 juta. [SUMBER: „Yang Mahal Belum Tentu Berkualitas“, Suara Pembaruan 8 juli 2005, oleh Steven Setiabudi Musa]
74
6.2. Tujuan Pendidikan di Indonesia Adagium pendidikan sebagai bagian dari nation and character building disadari sejak awal Indonesia merdeka, bahkan jauh sebelumnya, seperti dirintis Perguruan Tamansiswa (1922). Artinya sejak awal sudah disadari bahwa proses pendidikan bukan hanya transfer pengetahuan, melainkan pembentukan watak dan moral. Pendidikan tidak hanya ingin menghasilkan anak didik yang memiliki keterampilan teknis dan profesional, tetapi juga anak didik yang berkembang sebagai manusia yang utuh dan memiliki tanggung jawab sosial. Salah satu tujuan pendidikan tentu saja adalah untuk menjawab kebutuhan masyarakat (dan bukan menjawab kebutuhan pasar semata). Tetapi lebih daripada sekedar fungsi praktis seperti itu, secara ideal kita bisa mengatakan bahwa pendidikan mestinya bertujuan untuk membuat manusia makin utuh sebagai manusia. Artinya, dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan pendidikan mesti memperhitungkan pendidikan watak yang berlandaskan nilai-nilai keindonesiaan. Hanya atas dasar ideal seperti itulah character building dan pencerdasan bangsa Indonesia akan terbentuk dan terlestarikan. Pendidikan adalah sarana untuk pewarisan kebudayaan. Setiap masyarakat mewariskan kebudayaannya kepada generasi yang lebih kemudian agar tradisi kebudayaannya tetap hidup dan berkembang, melalui pendidikan (Ajip Rosidi, Kompas, Selasa, 16 Agustus 2005, “Pendidikan dan Kebudayaan”). Namun, seperti diungkap di atas, tujuan luhur ini berhadapan dengan masalah besar: pertama, soal prinsip kegratisan pendidikan dasar yang tidak ditaati oleh Negara, dan kedua, soal krisis kepemimpinan bangsa di mana selama 60 tahun merdeka ini tidak pernah ada kebijakan konkret secara jangka panjang dan konstan untuk mencerdaskan dan memintarkan generasi muda Indonesia. Pertama, mengingat fungsi vital pendidikan, maka bangsa Indonesia pun sepakat bahwa pendidikan dasar mesti gratis. Mengapa pendidikan dasar mesti gratis? Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Biaya gratis untuk mencerdaskan secara “minimal” warga negara Indonesia adalah komitmen kita sendiri, Negara, Pemerintahan dan Rakyat. Namun kesepakatan nasional ini tidak pernah jelas dalam prakteknya. Ketentuan tentang siapa yang
75
bertanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan sejak awal sudah salah kaprah. UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 46 Ayat (1) menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Ketentuan ini kemudian diterjemahkan bahwa tanggung jawab pemerintah dalam membiayai penyelenggaraan sekolah negeri hanya separuh, sisanya diambil dari masyarakat. Tidak peduli apakah sekolah itu pada jenjang pendidikan wajib atau tidak. Kedua, menurut salah satu analisis dari bapak Sayidiman, inti problem pendidikan kita adalah “tidak adanya kepemimpinan bangsa” yang cukup kuat: “Inti permasalahan pendidikan, pertama, adalah kepemimpinan bangsa, tingkat pusat maupun daerah, yang menyadari bahwa pendidikan adalah investasi utama satu bangsa. Tanpa pendidikan yang baik, masa depan bangsa akan celaka. Inilah yang sedang kita alami akibat masa lampau. Kedua, selain sadar akan makna pendidikan sebagai investasi utama, kepemimpinan bangsa juga mengusahakan dengan sungguh-sungguh tersedianya segala faktor yang mendukung pendidikan yang baik, terutama tersedianya dana yang cukup untuk diinvestasikan dalam pendidikan. Para pemimpin bangsa harus berusaha agar dapat memenuhi keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan bermutu, adil merata. Dengan dana itu, kesejahteraan guru dan pendidik lain dapat dijamin sesuai status sosial yang diperlukan. Juga penyelenggaraan pendidikan bermutu untuk seluruh anak bangsa dapat dilakukan secara baik.” (Sayidiman Suryohadiprojo, Kompas, Senin, 21 Juli 2003, ”Inti Permasalahan Pendidikan”). Sedangkan bila berbicara tentang Perguruan Tinggi, Dikti hanya berbicara tentang “penyiapan tenaga profesional dan cendekiawan”. Dan rupanya, masalah pokok PT, seperti pada taraf pendidikan dasar, adalah soal uang. Saat ini subsidi untuk perguruan tinggi negeri dipeloroti sehingga PT dipaksa mencari sumber uang sendiri. Keadaan itu mengakibatkan penyaringan mahasiswa tidak sepenuhnya adil, lagi-lagi akses masyarakat bawah terhadap pendidikan tinggi yang bagus makin tertutup. Akibatnya, pendidikan Indonesia yang semestinya memperkuat struktur masyarakat yang egaliter justru bergerak menjadi pemerkuat stratifikasi sosial. Tidak ada lagi perbedaan antara sekolah atau perguruan tinggi swasta atau negeri. Yang ada, sekolah untuk orang miskin, sekolah untuk kelas menengah, sekolah untuk orang kaya, dan sekolah untuk superkaya Apalagi, liberalisasi pendidikan tinggi yang diintrodusir sekarang ini cenderung membuka akses bagi pemilik modal besar untuk mendiktekan kepentingan dan kebutuhannya kepada pendidikan tinggi berikut sumber dayanya. Alhasil, pendidikan tinggi bisa mengesampingkan 76
pencarian kebenaran (truth) dan upaya memanusiakan manusia secara utuh yang menjadi fungsi fundamental pendidikan, demi kepentingan industri atau bisnis yang mendanai
6.2.1. Problem Keuangan di PT di Indonesia dan terobosan PT-BHMN Bercerita tentang pengalamannya bersekolah di TH Bandung, Nakoela Soenarta Guru Besar Ilmu Teknik Mesin di FTUI, ISTN, dan FTUP (Kompas tanggal 5 Agustus 2004, « Biaya Pendidikan di Indonesia: Perbandingan jaman Kolonial Belanda dan NKRI », http:// www.kompas.com/kompas-cetak/0408/05/pddkn/1190238.htm) berkisah sebagai berikut: “Biaya kuliah untuk satu tahun di salah satu sekolah tinggi itu besarnya fl (gulden) 300. Saat itu, harga satu kilogram (kg) beras sama dengan 0,025 gulden. Maka, besar uang kuliah sama dengan 12.000 kg beras. Bila ukuran dan perbandingan itu diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas sekarang, sedangkan harga beras sekarang rata-rata Rp 3.000 per kg, maka untuk kuliah di universitas biayanya sebesar Rp 36 juta per mahasiswa per tahun. Biaya di MULO, setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama, adalah sebesar 5,60 gulden per siswa per bulan, setara dengan 224 kg beras. Bila dihitung dengan harga beras sekarang, akan menjadi Rp 672.000 per siswa per bulan. Maka, saat itu banyak rekan sekolah saya masuk ke Ambachtschool atau Technische School, karena biayanya agak murah sedikit. Berbekal keterampilan yang diperoleh di Ambachtschool atau Technische School, siswa bisa langsung bekerja setelah lulus.”
A. Anggaran sebagai ujud konkret komitmen Negara terhadap Pendidikan? Berkenaan dengan Amanat UUD yang sudah diamandemen (pemberian 20% dari APBN bagi Pendidikan), Kompas (“Penundaan Pendidikan Gratis Menghambat Mobilitas Sosial”, 23 Februari 2005) memuat berita sebagai berikut. “Menyadari keterbatasan anggaran negara, skenario tersebut bersifat progresif dan bertahap sehingga pemenuhan alokasi 20 persen ditoleransi baru terwujud tahun 2009. Asumsinya adalah, tahun 2004, alokasi Rp 16,8 triliun (atau 6,6 persen dari APBN); tahun 2005 Rp 24,9 triliun (9,3 persen); tahun 2006 Rp 33,8 triliun (12,0 persen); tahun 2007 Rp 43,4 triliun (14,7 persen); tahun 2008 Rp 54,0 triliun (17,4 persen); dan tahun 2009 Rp 65,5 triliun (20,1 77
persen). "Ternyata, dalam Rancangan APBN 2005 ini, rancangan alokasi anggaran pendidikan hanya Rp 21,5 triliun. Kalau dari awal saja pemerintahan melenceng dari skenario, maka kita patut pesimistis bahwa tahun 2009 kesepakatan tadi bisa terpenuhi," kata Masduki. Menanggapi hal itu, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Fasli Jalal segera meluruskan bahwa alokasi anggaran pendidikan dari APBN tahun 2005 adalah Rp 25,5 triliun. ‘Alokasi anggaran tahun 2005 ini malah lebih lebih besar dari skenario,’ katanya”. RAPBN 2005 memberikan 9, 3% kepada pendidikan (= 24,9 trilyun), artinya anggaran global kita = 267,74 trilyun rupiah. (jika 1 trilyun rupiah = 100 juta euros, maka RAPBN kita = 26 774 juta euros = 26,7 milyar euros). Jika anggaran yang diberikan untuk pendidikan hanya 21,5 trilyun (2,15 milyar euros), atau 25,5 trilyun (2,55 milyar euros) itu artinya sebesar = 8% atau 9,5% dari RAPBN. (Bdk. Pidato Megawati di Pikiran Rakyat, 18 agustus 2004, „Pemerintah tak Konsisten Menetapkan Asumsi RAPBN 2005: Pertumbuhan Ekonomi Direncanakan 5,4%“ http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/18/0102.htm). APBN yang akhirnya disetujui menunjukkan bahwa belanja Negara mencapai 511,92 trilyun rupiah, sedangkan anggaran pendidikan tetap berkisar 21 trilyun – 25 trilyun. Artinya, prosentase anggaran pendidikan makin jadi rendah (4,2% – 4,98% saja dari total APBN 2005) (Bali Post, 29 juni 2005, „APBN Perubahan 2005 Disahkan“, http://www. balipost.co.id/balipostcetak/ 2005/6/29/e4.htm). Menurut Media Indonesia 9 Mei 2005, Staf Ahli Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bidang Desentralisasi Pendidikan, Ace Suryadi, PhD, mengakui bahwa anggaran pendidikan Indonesia yang sekitar Rp 21,5 triliun merupakan angka terendah di dunia. Lebih menyedihkan lagi, dengan berlakunya Otonomi daerah, anggaran sekecil itu tidak selalu masuk ke pendidikan karena pelaksanannya diputuskan oleh kebijakan di tingkat daerah. Sebuah angka untuk tahun 2001 menunjukkan bahwa dari studi atas 100 kabupaten/ kota, realisasi anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan hanya berkisar di 3,4 persen. (Sumber Kompas,
Minggu, 15 mei 2005, laporan atas Konferensi Nasional Pendidikan
Nasional dalam Arus Neoliberalisme di Bandung) Pertanyaan mendasar: mengapa anggaran pendidikan tidak menjadi prioritas?
Pertama,
jawaban klasik : dari dulu memang tidak pernah menjadi prioritas pemerintah dan para politisi kita. Membangun sesuatu yang « konkret » (jalan, bendungan, gedung) jauh lebih disukai daripada membangun sesuatu yang « tidak kelihatan » (pendidikan). Maka jangan heran
78
bahwa sampai Era Reformasi-pun eksekutif pemerintahan dan anggota DPR setuju begitu saja dengan anggaran pendidikan yang jelas-jelas bertentangan dengan amanat UUD. Kedua, kita memang negara miskin. Total APBN kita (yang 51,2 milyar euros ternyata hanyalah separo dari total dana untuk pendidikan di negeri Prancis yang saat ini sudah mencapai di atas 100 milyar euros). Dan dari APBN yang sedikit itu, kita ternyata setiap tahunnya harus mengalokasikan 35-40%-nya untuk membayar hutang. Kita baca di Kompas 10 Mei 2005 (“Privatisasi Pendidikan Cenderung Menguat”) sebagai berikut: “Sebagaimana diketahui, utang luar negeri Indonesia berjumlah sekitar 82 miliar dollar AS. Untuk membayar angsuran pokok dan bunganya, setiap tahun pemerintah harus mengalokasikan anggaran negara hingga Rp 145 triliun. Artinya, sekitar sepertiga APBN habis untuk membayar utang pokok dan bunga utang. (…) Seperti halnya Thailand dan Filipina, Indonesia membayar utang lebih besar daripada dana yang disediakan untuk pelayanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Untuk membayar utang, Indonesia harus mengalokasikan 35-40 persen dari keseluruhan total APBN.”
B. Rendahnya biaya studi per mahasiswa di PT Indonesia Salah satu hal yang mungkin juga menjadi penyebab ketertinggalan tersebut adalah alokasi dana dari pemerintah untuk pengembangan pendidikan tinggi relatif rendah dan biaya kuliah per mahasiswa per tahun dapat dikatakan relatif murah: sekitar Rp 13.900.000,00 di UGM, Rp 17.500.000,00 di ITB atau sekitar Rp 8.000.000,00 di UNS (bandingkan dengan biaya kuliah per mahasiswa per tahun yang nilainya sekitar Rp 194.000.000,00 di Kyoto, sekitar Rp 111.000.000,00 di Malaysia, antara 10.000 – 15.000 AUD di Australia, sekitar £ 7.500 - £ 18000 di Inggris untuk mahasiswa dari luar Inggris). Di Indonesia, biaya total 18 juta/mahasiswa/tahun, anggaran yang diberikan pemerintah untuk membantu tiap mahasiswa saat ini hanyalah 6, 2 juta rupiah per tahun (atau cuma 1,2 persen dari APBN).
Pengakuan ini muncul dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Satryo
Soemantri Brodjonegoro (Kompas, Minggu, 22 Juni 2003, “Merogoh Kocek Mahasiswa Mblegedu”, http://www.kompas.com/utama/news/0505/24/004145_.htm): “Selama ini, dana yang dikucurkan pemerintah terhadap 48 PTN selama ini hanya menutupi sepertiga dari kebutuhan dana secara ideal. Sebagai gambaran, unit cost mahasiswa sarjana per tahun idealnya Rp 18 juta. Namun, pemerintah hanya mampu menutupi sekitar Rp 5 juta-
79
Rp 6 juta. ‘Dengan kondisi biaya yang hanya terpenuhi sepertiga, jangan muluk-muluk berharap mutu pendidikan tinggi yang ideal,’ ujar Satryo. Dia membandingkan dengan situasi di Malaysia di mana negara mampu menutupi unit cost mahasiswa sampai di atas Rp 20 juta. (…) ‘Bukannya negara melepaskan tanggung jawabnya. Tetapi mau bagaimana lagi kalau memang kondisi keuangan negara sangat terbatas,’ kata Satryo. Dia mengungkapkan, untuk pembiayaan pendidikan tinggi, negara hanya mampu menyediakan anggaran sekitar Rp 4 triliun. Anggaran sebesar itu hanya mampu membuat PTN bertahan hidup alias jalan di tempat. Idealnya, kata Satryo, anggaran itu minimal tiga kali lipat baru bisa membuat PTN mengembangkan diri sebagai pusat riset unggulan.” Dibandingkan dengan negara lain, kita membaca informasi sebagai berikut (sumber Kompas: “Menyongsong
Undang-Undang
BHP”
http://www.kompas.com/
0505/24/004145 _.htm ; Kompas, Sabtu, 02 April 2005, oleh
utama/
news/
Eko Budihardjo, Rektor
Universitas Diponegoro, Ketua Pembina YPSDM Forum Rektor Indonesia; dan dari Kompas, Senin, 05 Mei 2003 “Fenomena Inul dan Pendidikan Tinggi: Tanggapan untuk Winarso Dradjat Widodo”; http://www.kompas.com/utama/news/0505/24/004145_.htm, oleh Prof. Dr. Sofian Effendi, Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta): Bila dibandingkan dengan biaya di perguruan tinggi yang lebih maju, biaya pendidikan tinggi di negara kita relatif rendah. Kalau biaya pendidikan di UGM diberi indeks 1, misalnya, di Universitas Malaysia indeks biaya pendidikan adalah 14, di Universitas Nagoya, 19, di Universitas AMIS, Arab Saudi, mencapai 29, dan di state universities di Amerika mencapai 20-21. Perbedaannya begitu besar karena gaji dosen di PT Indonesia hanya 1/20 gaji dosen di negara jiran. Universitas di sana pun dilengkapi fasilitas perpustakaan, fasilitas penelitian dan layanan telekomunikasi dan interkoneksi jaringan Internet yang amat baik. Semua fasilitas yang baik itu memerlukan biaya besar. Karena gaji yang amat rendah, sebagian besar dosen di PTN hanya bekerja satu dua hari di kampusnya, sisanya pergi ke mana-mana mencari tambahan pendapatan dengan menelantarkan tugas dan kewajibannya di kampus. Fasilitas pun hanya tersedia sekadarnya sehingga tidak mampu mendukung kegiatan akademik berkualitas tinggi. Di negara yang berkemampuan ekonomi tinggi, pemerintahlah yang menanggung sebagian besar biaya pendidikan. Mahasiswa biasanya hanya menanggung 25-30 persen dari biaya pendidikan. Di negara kita, kontribusi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan hampir
80
mencapai 20 persen, tetapi jangan lupa, biaya pendidikan kita adalah 1/14 dari biaya di negara tetangga. Inilah salah satu sebab rendahnya mutu PT kita. Sementara di artikel lain beliau menekankan sekali lagi rendahnya biaya pendidikan di negeri kita dibandingkan Malaysia (Jalan Lurus PT-BHMN, Kompas 21 juli 2003, Prof. Dr. Sofian Effendi http://www.kompas.com/utama/news/0505/24/004145_.htm): “(...) Aaron Vildavsky, negara warga AS ahli kebijakan keuangan, pernah menulis ‘prioritas politik suatu pemerintah dapat dilihat dari alokasi anggarannya’. Apa kualitas dan akses pendidikan tinggi merupakan prioritas politik Pemerintah Reformasi yang sedang memegang tampuk kekuasaan saat ini? Tampaknya tidak. Paling tidak bila diukur dari pengeluaran pemerintah untuk pendidikan. Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan bukan saja kecil, jauh di bawah pengeluaran negara tetangga seperti Malaysia, tetapi yang lebih mengejutkan, pengeluaran itu semakin lama semakin turun. Pada tahun 1980 pengeluaran pemerintah untuk pendidikan hanya 1,2 persen dari PDB, 1990 turun menjadi 1,0, dan 2000 turun lagi menjadi hanya 0,80 persen. Sedangkan di negara jiran, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan hampir lima kali lebih besar, 5,2 pada 1980, naik menjadi 5,6 pada 1990 dan naik lagi menjadi 5,8 pada 2000. Tampaknya, Pemerintah Dato’ Seri Dr Mahathir Muhammad memberi prioritas besar pada pencerdasan anak bangsanya. Sementara itu, Pemerintah Indonesia, sepertinya belum memberi prioritas tinggi pada bidang pendidikan Bandingkan dengan kemampuan negara-negara maju di Eropa. Menurut Les chiffres clés de l’éducation nationale: statistiques et indicateurs année scolaire 2002-2003 – Ministre de l’éducation nationale, de la Formation professionnelle et des Sports de Luxembourg) kita baca tabel berikut yang memberikan ide tentang alokasi biaya bagi tiap siswa (sekolah dasar dan menengah) yang diberikan di negara-negara Eropa (dalam US dollar) :
Pendidikan Dasar
Pendidikan Menengah
Luxembourg
7873 (18% PIB/tiap penduduk)
11091 US dollar (22%)
Belgia
5321 (20%)
7912 (29%)
Prancis
4777 (18%)
8107 (30%)
Jerman
4237 (17%)
6620 (26%)
Belanda
4862 (17%)
6403 (22%)
Italia
6783 (27%)
8258 (33%)
Austria
6571 (23%)
8562 (30%)
Finlandia
4708 (18%)
6537 (25%)
81
C. Realitas Gaji Dosen PT
Gaji dan seluruh tunjangan seorang guru besar dengan golongan tertinggi, IVE, kurang dari Rp 5 juta. "Gaji profesor di sini cuma seperdua belas dibandingkan dengan Malaysia," jelas Alibasyah (ITB). Melalui rektor ITB, diperoleh informasi bahwa kesejahteraan dosen akan ditingkatkan terus, jika tahun sebelumnya mereka menerima gaji 13 kali dalam setahun, maka tahun 2003 ini ditargetkan dosen menerima 14 kali gaji dalam setahun. Sedangkan menurut orang UI: "Dengan gaji profesor yang berkisar Rp 1,8 juta sampai Rp 2,5 juta, pasti mereka akan mencari pekerjaan di luar," kata Darminto.
D. Akibat: Mutu PT Indonesia yang rendah Rektor Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi khawatir melihat peringkat UGM di Majalah Asiaweek turun terus sejak tahun 1993. Tahun 1993, UGM masih berada di peringkat 36. Tujuh tahun kemudian, peringkatnya melorot ke angka 68. Di tingkat ASEAN, tahun 2000 UGM menduduki peringkat 11 dengan nilai 46. Bahwa PT Indonesia belum mampu menyediakan pendidikan tinggi bermutu, ditunjukkan Survei PT yang diselenggarakan majalah Asiaweek. Tahun 2000, PT papan atas Indonesia (UI dan UGM), hanya mampu menduduki posisi 61 dan 68 dari 77 PT yang ikut disurvei. UGM, hanya menduduki rangking 43 dalam kualitas akademik, rangking 77 dalam kualitas dosen, rangking 69 dalam kualitas penelitian, rangking 73 dalam sumber keuangan, 76 dalam publikasi ilmiah, dan 71 dalam fasilitas teknologi informasi. UNDIP dan UNAIR lebih rendah.
Berita mengejutkan muncul di Suara Merdeka, Rabu, 28 September 2005, „UGM Peringkat I Quality Assurance di ASEAN (http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0509/28/ dar3.htm): „Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menduduki peringkat I bersama Chulalongkorn University Thailand dalam pelaksanaan Quality Assurance di ASEAN, berdasarkan penilaian ASEAN-European University Network Program (AUNP). Salah satu nilai tinggi yang diperoleh UGM tersebut adalah pada tingkat harmonisasi Internal Quality Assurance dengan External Quality Assurance System dan muatan standar ASEAN yang
82
sangat banyak. Hal itu dijelaskan oleh Asisten Wakil Rektor Senior Bidang Akademik/Ketua Kantor Jaminan Mutu UGM Dr Ir Toni Atyanto Dharoko MPhil didampingi oleh Sekretaris Eksekutif UGM Dr Agus Sartono MBA kepada wartawan. Menurut Toni, UGM melaksanakan Quality Assurance System (QAS) sejak tahun 2000 manakala pada tahun 1999 menjadi anggota tetap ASEAN University Network for Quality Assurance (AUN-QA) yang beranggotakan 17 universitas yang mewakili negara-negara ASEAN.” Kami belum tahu bagaimana menganalisis data terakhir ini. Jika kualitas UGM pada tahun 2000 menurut Asiaweek masih rendah, bagaimana bisa dijelaskan bahwa tahun 2005 ini UGM menduduki peringkat pertama di ASEAN untuk quality assurance?
E. Situasi Keuangan PT BHMN dan trik „Jalur Khusus“ untuk mengatasi problem? Rendahnya mutu PT Indonesia, yang diawali dari tiadanya komitmen anggaran dari pemerintah akibat kemiskinan, pada akhir-akhir ini justru mau „diatasi“ bukan dengan menyuntikkan tambahan dana kepada PTN-PTN melainkan dengan membuat trik baru „liberalisasi PTN“ (supaya PTN bisa mencari uang tambahan sendiri dari luar kas negara). Sejauh ini, dari kira-kria 21 trilyun dana untuk pendidikan nasional, hanya ada 4 trilyun (0,4 milyar euros) yang dialokasikan oleh negara ke Pendidikan Tinggi. Uang itu lalu disebar ke universitas-universitas. Tentu saja uang itu jauh dari cukup. Dengan kebijakan baru tentang privatisasi PTN, maka PTN yang memang tidak diberi cukup uang oleh Negara sekarang membuka « jalur khusus » untuk mendulang uang. Karena kasus « jalur khusus » ini, empat PTN yang telah berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) sejak tahun 2000 menjadi sorotan. Masyarakat mengkritik perubahan keempat perguruan tinggi ini menjadi BHMN hanya akan memberatkan masyarakat dan meninggikan biaya pendidikan. Dari sumber-sumber : « Regulasi Pemerintah Tidak Siap », Kompas Minggu, 22 Juni 2003 http://www.kompas.com/utama/news/0505/24/004145_.htm; dan « BHMN Putar Otak Mengatur Anggaran », http://www.kompas.com/utama/news/0505/24/004145_.htm, Reportase Tim Kompas, Minggu, 22 Juni 2003, didapatkan informasi sebagai berikut ini. Universitas Indonesia: Via “jalur khusus” (di UI dinamai “Program Prestasi dan Minat Mandiri” - PPMM). Jalur khusus atau program prestasi dan minat mandiri dibuka dengan ide untuk memanfaatkan kelompok yang lulus tapi "terbuang". Kuota penerimaan mahasiswa
83
baru pun ditambah 20 persen bagi mereka yang terbuang itu. Syaratnya, selain rata-rata rapor kelas tiga SLTA harus tujuh, calon peserta jalur khusus harus sanggup membayar uang masuk Rp 25 juta-Rp 75 juta, dan SPP Rp 7,5 juta per semester. Uang pangkal masuk ke Fakultas Hukum UI = 25 juta rupiah, sedangkan SPP per semesternya adalah 7, 5 juta rupiah. Jika S-1 di tempuh selama 8 semester, minimal mahasiswa mesti menyediakan 60 juta (SPP) plus 25 juta = 85 juta rupiah. Sedangkan untuk masuk ke jurusan Ilmu Komunikasi, uang pangkan yang diminta adalah 60 juta (dan bisa dibayangkan SPP semesterannya juga sangat tinggi). Institut Teknologi Bandung: „Jalur khusus“ di ITB diberi nama „Penelusuran Minat, Bakat, dan Potensi“ (PMBP). Jalur ini mematok uang pangkal minimal Rp 45 juta. ITB berharap bisa mendapatkan dana 10 milyar dari „jalur khusus“ ini. (...) DI ITB, menurut Rektor Kusmayanto Kadiman, jalur khusus penerimaan mahasiswa baru ITB yang dinamai ujian saringan masuk (USM) penelusuran, minat, bakat, dan potensi (PMBP) bisa disamakan dengan kereta api.. "Ada seseorang mau berangkat (dari) Bandung (ke) Jakarta. Keretanya itu juga, ada yang bisnis, ada yang eksekutif. Silakan (memilih)," tutur Kusmayanto. Menurutnya, ada lapisan masyarakat yang memang akan ikhlas, mau, dan mampu. Jadi, kita lihat si calon mahasiswa PMBP itu pinter, dan si anaknya gaul, ditambah kemauan dan keikhlasan orangtuanya," jelasnya. Menurut Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB Adang Surahman, "Pokoknya ada sekitar 10 orang yang sumbangan sukarelanya antara Rp 400 juta dan Rp 500 juta," kata Adang yang menepis, ada orangtua yang menawarkan Rp 1 miliar asal anaknya masuk ITB. (...) Ia memperkirakan, jumlah mahasiswa yang diterima melalui PMBP ini berjumlah 150-300 orang. Sementara, jumlah mahasiswa yang diterima dari SPMB atau jalur biasa tidak dikurangi jatahnya, yaitu tetap 1.930. Universitas Gajah Mada: „Jalur khusus“ di UGM diselenggarakan via ujian masuk tersendiri dengan „Sumbangan Pengembangan Mutu Akademik“ (SPMA) minimal Rp 5 juta. Untuk mengefisienkan diri, sekaligus menambah pemasukan, UGM memberlakukan tiga jalur masuk. Pertama, adalah lewat jalur SPMB. Kedua, melalui jalur ujian masuk UGM (UMUGM) yang terdiri dari ujian masuk tertulis dan UM non tes, yaitu jalur-jalur penjaringan dan prestasi. Jalur ketiga, adalah program swadaya. Program swadaya adalah program lama yang dahulu bernama program ekstensi yang diadakan karena daya tampung UGM sebenarnya masih jauh lebih besar dari yang ada saat ini. Diperkirakan, jumlah calon mahasiswa yang diterima melalui UM-UGM 75 persen, sedangkan sisanya melalui tes tertulis SPMB. 84
Institut Pertanian Bogor: Sedangkan di ITB, „jalur khusus“ itu dilaksanakan lewat „program mahasiswa utusan daerah“ (MUD) dengan biaya SPP Rp 9 juta per tahun. (…) Rektor Institut Pertanian Bogor Prof Ahmad Ansori Mattjik mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menjaring mahasiswa baru lewat jalur khusus. Untuk program khusus ini, IPB mematok biaya kuliah sebesar Rp 9 juta setiap tahunnya, jauh lebih besar dari biaya kuliah mahasiswa reguler yang hanya Rp 1,5 juta per tahun. Jumlah mahasiswa baru yang akan ditambahkan melalui jalur khusus ini maksimal sebanyak 10 persen dari 2.800-3.000 mahasiswa baru yang diterima IPB melalui jalur reguler. Secara umum, setiap pengelola kampus memang harus pandai-pandai memutar otak mendanai kegiatan operasionalnya. Kebutuhan per tahun terus bertambah, sementara bantuan pemerintah dalam bentuk anggaran rutin dan pembangunan hanya mencukupi sekitar 30 persen kebutuhan keseluruhan. Kita lihat perincian dana beberapa PTN besar di negara kita di bawah ini.
IPB Anggaran IPB tahun 2003 = 253,2 Pemasukan milyar rupiah (IPB - Anggaran Pembangunan = 36, 1 milyar (14, 32 %) mengalokasikan 10 juta/ - Anggaran Rutin = 56, 3 milyar (22, 32 %) mahasiswa/tahun) - Sisanya (159, 9 milyar, atau 63, 36%) mesti dicari sendiri Jika mengikuti tolok ukur Dirjen dari dana masyarakat (SPP dan « hasil usaha » mandiri Dikti yang mengatakan bahwa pihak IPB) “biaya normal seorang mahasiswa” = 18, 1 juta/tahun, - A) SPP mahasiswa sekitar 16, 2 milyar per tahun seharusnya IPB membutuhkan - B) dana lainnya (60% dari komponen « dana masyarakat ») Anggaran sebesar 450 milyar diperoleh dari penelitian dan kerjasama dengan pemda dan industri) -
C) Selain itu, IPB juga memanfaatkan sejumlah aset yang dimiliki: salah satunya, bekerja sama dengan swasta membangun pusat perbelanjaan megah di atas tanah aset IPB di Ekalokasari dengan sistem built-operating-transfer selama 25 tahun. Dari usaha ini IPB mendapat tambahan dana sebesar Rp 1,8 miliar per tahun.
UGM hanya dikatakan bahwa SPP mahasiswa di UGM adalah 1 juta/tahun (dan ini jauh dari biaya riil yang dikeluarkan kampus yang mencapai 11 juta/mahasiswa/tahun). Artinya, mahasiswa
85
selama ini hanya membiayai 9 persen dari pendidikannya, sedangkan sisanya (91%) ditutup oleh negara atau usaha mandiri UGM.
ITB Biaya operasional per tahun = 246,5 milyar (ITB mengalokasikan 15,81 juta per mahasiswa)
Pemasukan : -
dari pemerintah (anggaran rutin pembangunan) = 78 milyar (31, 64%)
-
dari dana masyarakat diharapkan sebesar 162, 25 milyar.
-
A) SPP yang dipungut 3, 65 juta/tahun hanya menutup 20 persen dari pengeluaran per tahun per mahasiswa.
-
B) pemasukan dari riset dan penelitian belum banyak karena “belum ada regulasi yang mewajibkan perusahaan menyisihkan anggaran untuk penelitian”.
-
C) Cara lain memperoleh dana dikembangkan ITB dengan membentuk reksa dana yang merupakan produk jasa keuangan. Masyarakat dapat berinvestasi secara kolektif yang pengelolaannya dilakukan pada instrumen pasar uang dan pasar modal.
UI Kebutuhan rutin per tahun = Pemasukan: 415 milyar rupiah - dari Pemerintah (anggaran rutin = 110 milyar plus anggaran (anggaran th 2003 ini naik pembangunan = 19 milyar). Total jumlah ini hanya menutupi 53, 7 persen dibandingkan 31% dari kebutuhan UI. anggaran th 2002 yang - Pemasukan terbesar ditargetkan dari dana masyarakat melalui berjumlah 270 milyar) SPP mahasiswa reguler sebesar Rp 29 miliar dan non reguler Idealnya, dengan 4000 sebesar Rp 188 miliar. mahasiswa yang per orang- Pemasukan dari penelitian belum dapat diandalkan karena masih nya membutuhkan biaya 17, di bawah lima persen dari seluruh anggaran. Keuntungan 8 juta/tahun, UI mestinya penelitian hanya diperoleh peneliti dan unit penelitiannya, tidak mematok anggaran sebesar sampai ke universitas. Sehingga dana UI sebagian besar 712 milyar. didapatkan dari dana masyarakat, yaitu orangtua mahasiswa.
Berangkat dari situasi memprihatinkan itu, PT BHMN dibuat oleh pemerintah sebagai “terobosan berani” untuk membuat PTN supaya lebih mandiri (akademik, keuangan, dan kepegawaian). Sofian Effendi berkomentar („Jalan Lurus PT-BHMN“, Kompas 21 juli 2003, http://www.kompas.com/utama/news/0505/24/004145_.htm): « Belajar dari kegagalan negara lain dalam reformasi pendidikan tinggi, Pemerintah Indonesia, melalui PP No 61 Tahun 1999, menurut saya, telah melakukan terobosan manajemen cukup berani. (Pada PP No 61/1999 Bab II Sifat dan Tujuan Pasal 2 tertulis, ‚Perguruan Tinggi merupakan badan hukum milik Negara yang bersifat nirlaba’. Yang
86
menjadi persoalan adalah pengertian nirlaba itu sendiri, karena menjadikan PT BHMN sebagai suatu lembaga ‚jasa’ pendidikan yang tidak berorientasi keuntungan). Terobosan manajemen itu dilakukan dengan menyapih PTN, yang selama ini merupakan instansi pemerintah, menjadi suatu independent administrative entity yang ditabalkan dengan nama Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN). Secara administratif badan itu adalah badan milik pemerintah yang bersifat nirlaba. Dia diberi kemandirian dalam mengelola urusan akademik, keuangan, dan kepegawaian. Semua kebebasan ini diberikan agar PTBHMN tidak terikat berbagai kekakuan peraturan birokrasi pemerintah, khususnya dalam bidang keuangan dan kepegawaian. (…) Landasan hukum pemberian kemandirian kepada empat PTN dengan mentransformasi mereka menjadi PT-BHMN sudah jelas, yakni UndangUndang No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004. Bab VII.C.3. Undang-undang itu jelas mencantumkan, salah satu sasaran Program Pendidikan Tinggi adalah ‚mewujudkan otonomi pengelolaan empat perguruan tinggi, yaitu Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada’.“ Di depan problem ketidakmampuan Negara membiayai Pendidikan Tinggi, ketidakmampuan Negara memberi gaji yang layak kepada dosen
dan terpuruknya mutu PT kita, apakah
„memberikan kemandirian kepada PT“ (via UU PTBHMN) merupakan pilihan terbaik? Bukankah artinya Negara „mundur“ dari tugasnya, dan menyerahkan setiap PT untuk survive sendiri-sendiri, dengan segala dampak yang bisa dibayangkan? Sebuah „terobosan berani“ ataukah tindakan kamikaze? Salah satu analisis justru mengatakan bahwa PT BHMN adalah ujud pelepasan tanggung jawab Negara terhadap pendidikan Tinggi. Liberalisasi sebagai „roh jaman“ dirangkul tanpa kekritisan untuk melegitimasi tindakan kebablasan ini. Bila negara-negara kuat dan kaya (Eropa), yang „rumahnya“ sudah rapi dan kokoh saja sangat hati-hati meliberalkan sektor publiknya, kita, yang „rumahnya“ masih amburadul dan sangat rapuh terbuka terhadap segala bentuk angin yang mau masuk, justru secara nekat malah begitu saja menceburkan diri ke model liberal. Mungkin masalahnya bukan soal „kemiskinan rumah“ kita. Barangkali. Namun, jika negara semiskin kita, Malaysia contohnya, toh bisa memberi prioritas pendidikan demi rakyatnya, prioritas semacam itu tidak kita lihat di Negara kita. Siapa lagi yang harus menerima konsuekensinya kalau bukan rakyat? Korban utama dan pertama-tama sudah tentu adalah masyarakat miskin (yang berjumlah 62 juta atau 28,44% dari penduduk Indonesia – 87
218 juta, menurut data BPS sebagaimana dikutip oleh Kantor Berita Antara, „62 Million People Classified as Poor: BPS“, 16 September 2005). Pendidikan menjadi makin tak terjangkau oleh mereka karena PTN pun sekarang berlombalomba menaikkan tarif secara gila-gilaan. Bukan hanya makin menjauhkan PT dari rakyat kebanyakan, praktek PT BHMN akan makin memperkuat jurang pemisah kaya miskin yang sudah kokoh hadir di negeri. Bandingkan dengan salah satu analisis di bawah ini („Merogoh Kocek Mahasiswa ‚Mblegedu’", Tim Kompas, 22 juni 2003, http://www.kompas.com/utama/ news/0505/ 24/004145_.htm): « Ketika pendidikan tinggi masih bertumpu pada semangat mulia bahwa pendidikan bukan bisnis, yang kemudian dirumuskan secara formal oleh rezim pendidikan Orde Baru menjadi Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat), intervensi kapital belum terlalu tinggi. Aktivitas utama yang dijalankan hanya mengacu pada tiga hal karena kapital bukan isu sentral. (…) Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan tren pasar bebas yang sedang mengglobal telah memberikan legitimasi kepada pemerintah untuk membentuk small state not weak state, sehingga salah satu kebijakannya adalah meliberalkan pendidikan tinggi. Perguruan tinggi negeri (PTN) yang dianggap potensial diliberalkan, diubah statusnya menjadi perguruan tinggi (PT) Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Mereka adalah UI, ITB, IPB, UGM, dan akan disusul oleh PTN lain yang semua itu dalam rangka mengurangi beban finansial pemerintah. Terjadilah perlombaan pengumpulan dana masyarakat oleh PT BHMN demi memenuhi biaya operasional pendidikan yang semakin tinggi, dari kebijakan menggelar ujian masuk PT sebelum ada pengumuman kelulusan SMU hingga kebijakan penerimaan jalur mandiri atau jalur khusus bagi calon mahasiswa yang dapat menyumbang dari Rp 15 juta hingga Rp 150 juta. (…) Di Jerman, Prancis, Belanda, dan negara maju lainnya, saat ini pemerintahannya juga dilanda kebijakan liberalisasi sektor-sektor publik. Namun, untuk bidang pendidikan mereka tetap memberi subsidi yang memadai. Sektor pendidikan mereka tetap menghasilkan SDMSDM yang dapat bersaing di pasar bebas dan tetap unggul dalam persaingan sains dan teknologi dunia. Negara jiran Malaysia juga melakukan hal yang sama di era perdagangan bebas dunia saat ini. Pemerintah Malaysia sangat menaruh perhatian kepada PT-nya dan memberikan kucuran dana yang memadai di sektor pendidikan sehingga PT-nya dapat bersaing di tingkat Asia maupun dunia. ‘Dulu Malaysia pernah berguru kepada kita dalam hal 88
pendidikan tetapi sekarang kalau mau menempuh pendidikan S2 dan S3 lebih bermutu di sana,’ ungkap Heru. »
F. Kerancuan pola pikir tentang liberalisasi yang berakibat bahwa pendidikan dijadikan komoditas Benarkah
liberalisasi
PT
merupakan
“terobosan”,
atau
jangan-jangan
sebuah
“keterjerembaban” tanpa daya akibat lemahnya daya kritis kita? Tampaknya yang kedua yang terjadi. Secara umum kita bisa mengkonstatasi adanya pola pikir rancu di Indonesia tentang “liberalisasi”. Pertama, harus diakui bahwa de facto situasi dunia membuat bangsa kita mau tidak mau menganut “ekonomi liberal” yang senyatanya dianut oleh seluruh bangsa di dunia (kecuali Korea Utara, Kuba, dan beberapa negara lainnya yang tidak kelihatan). Ini adalah situasi apa adanya yang kita tidak bisa mengelak. Kita hidup dan berkubang dalam sebuah ordo liberal, meski secara kritis kita masih bisa bilang bahwa “ekonomi liberal” di tempat kita sebenarnya sangat buas dan primitif, dan tidak bisa dibandingkan dengan liberalisme di Eropa yang protektif terhadap rakyatnya. Tetapi, kita tidak akan membahas “praktek primitif dari ekonomi liberal itu” de facto menjadi hukum ekonomi di Indonesia. Pada tataran pertama ini, kalau ada yang mau memperbaiki, biarlah aparat hukum dan para teknokrat-ekonomi berpikir untuk “memperbaiki” bangsa kita. Namun, adalah hal lain bahwa kita lalu menundukkan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara (misalnya, politik dan pendidikan) pada asaz “hukum pasar”. Ini adalah hal kedua, yang sama sekali lain yang ingin kita tekankan. Menurut kami, jika pendidikan ditundukkan pada asaz hukum pasar, diserahkan kepada “mekanisme pasar”, dan dijadikan „komoditas dagang“, maka pendidikan sebagai dasar pembentukan anak bangsa terancam. Dan persis saat ini kita menyaksikan kerancuan dan ketidakjernihan pola pikir para pemegang keputusan RI. Kalau kita bisa melihat bahwa beras, kopi, pakaian adalah “komoditas dagang” yang tunduk pada fluktuasi pasar, kita tidak bisa memperlakukan “agama, pendidikan, politik, budaya” sebagai komoditas dagang. Jika “pendidikan atau agama” diperlakukan seperti “beras dan kopi”, maka habislah “nilai” pendidikan dan agama tersebut. Ini yang sedang terjadi di negara kita. Universitas disamakan dengan Badan Usaha (perusahaan). Berbagai argumen “liberal” dikemukakan supaya Universitas menjadi semacam “pasar” yang menawarkan
89
“komoditas pendidikan”, yang maju mundurnya ditundukkan pada “mekanisme pasar”. Pendidikan bukan komoditas. Pendidikan memiliki nilai jauh lebih penting sehingga Negara harus mengurusinya terlepas dari fluktuasi “pasar”-nya. Memeluk sistem ekonomi liberal adalah satu hal, sementara menundukkan agama, pendidikan, kebudayaan ke sistem ekonomi liberal adalah hal lain. Keduanya bisa dipisahkan. Dan jika kita mau Negara ini dihuni oleh manusia berbudaya, manusia normal, manusia yang tidak sekedar direduksi pada “logika dagang”, maka Negara harus mengupayakan supaya “semua warganya” mendapatkan pendidikan, Negara mesti memproteksi “sistem nilai” yang sangat penting bagi kelanjutan bangsa ini. Ini adalah misi Negara sebagaimana tertuang dalam UUD kita. Pendidikan mesti ditegaskan kembali sebagai “urusan negara dan bangsa” dan tidak boleh diserahkan kepada mekanisme “pasar”.
90
7.
Penandatanganan
GATS
dan
Pendidikan Tinggi di Indonesia Sebagai sumbangan terakhir untuk merefleksikan situasi PT Indonesia, di bagian ini akan disampaikan pandangan kami tentang GATS dan masalah serta resiko-resiko yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia (dunia ketiga) ; juga akan diperlihatkan mengapa negara semaju Prancis justru tidak begitu saja mudah ditekuk oleh « permintaan » GATS. Sementara pada pihak kita, jauh sebelum GATS ditandatangani (2005), pemerintah Republik Indonesia sudah mempreteli sistem subsidinya yang vital bagi keadilan akses ke PT bagi anak-anak bangsanya dengan UU PT-BHMN.
7.1. GATS bagi Dunia Ketiga dan Indonesia: Kekhawatiran Para Mahasiswa
7.1.1. Introduksi: Globalisasi, Internasionalisasi Pendidikan Tinggi, dan GATS Dari kacamata internasional, GATS (General Agreement on Trade in Services) adalah salah satu bentuk pengaturan kerjasama yang muncul bersamaan dengan gejala globalisasi. Dunia yang makin menyatu menghendaki pasar yang menyatu juga, dengan demikian muncul desakan supaya “batas-batas wilayah dan kebangsaan” tidak mengekang dinamika pasar dunia yang menyatu itu. Bila sebelumnya liberalisasi menghendaki peran internal negara sesedikit mungkin dalam mengatur dinamika pasar, dengan mendunianya pasar maka liberalisasi menghendaki “hilangnya hambatan-hambatan terhadap pasar” pada level mondial. Note: Globalization is not usually seen as a neutral concept. It engenders strong reactions, both supportive and critical of its process and impact. In this paper, globalization is desecaraibed as “the flow of technology, economy, knowledge, people, values, ideas...across borders. Globalization affects each country in a different way due to a nation’s individual history, traditions, culture and priorities” (Knight and de Wit 1997, 6). This definition 91
acknowledges that globalization is a multi-faceted process and can impact countries in vastly different ways - economically, culturally, politically- but it does not take an ideological stance or a position as to whether this impact has positive and/or negative consequences. A key aspect of this definition is that it refers to borders of countries and infers a worldwide scope and movement and is decidedly different from the term internationalization, which emphasizes relations between and among nations. There are a number of factors which are closely related to this worldwide flow and which are seen as key elements of globalization. These include the knowledge society, information and communication technologies, the market economy, trade liberalization and changes in governance structures. It can be debated whether these are catalysts for globalization or whether they are consequences of globalization, but for this discussion they are presented as elements of globalization which have an impact on the education sector. (Jane Knight, “Crossborder Education in a Trade Environment: Complexities and Policy Implications”, in The Implications of WTO/GATS for Higher Education in Africa: Proceedings of Accra Workshop on GATS 27th - 29th April 2004, p. 62) Sementara itu, fenomen internasionalisasi Pendidikan Tinggi, seperti tukar menukar mahasiswa, profesor atau proyek penelitian yang lintas negara, sudah terjadi jauh sebelum GATS dimunculkan (bdk. “Cross-border Education: Complexities, Policy Implications and Challenges”, by Jane Knight in The Implications of, pp. 9, 59, 65-66). Fenomen pendidikan tinggi lintas-nasional sudah terjadi jauh sebelum GATS ada. Globalisasi di satu sisi, dan internasionalisasi pendidikan di sisi lain, entah bagaimana, akhirnya dua fenomen ini berujung pada visi di mana pendidikan akhirnya dilihat menjadi salah satu komoditi yang juga bisa dipertukarkan bagi seluruh umat manusia. "The trade creep into the education sector and the resultant inclusion of education under the umbrella of the GATS is thus one significant outcome of this process of globalization.” (Introduction, p. 1, The Implications of WTO/GATS for Higher Education in Africa: Proceedings of Accra Workshop on GATS 27th - 29th April 2004, Accra, Ghana, Held by Association of African Universities 2004Website: http://www.aau.org) Note: The term trade creep refers to the quietly pervasive introduction of trade concepts, language and policy into the education sector. The nuance behind trade creep is an unconscious adoption of trade jargon and its underlying values. In some countries there is a deliberate positioning of education as an export industry and the considerable investment of 92
resources to promote education export is concrete proof. One would not characterize this approach as trade creep but as trade choice. (Cf. Jane Knight, The Implication of, p. 92) Dengan GATS, secara resmi Pendidikan Tinggi dimasukkan ke dalam pasar global dan dijadikan salah satu komoditi “jasa” yang bisa dipertukar-dagangkan seperti barang-barang lainnya. Note: The GATS is the first ever set of multilateral rules covering international trade in services. Previous international trade agreements covered trade in products, but never services. The GATS was negotiated in the Uruguay Round and came into effect in 1995. It is administered by the World Trade Organization (WTO) which is made up of 146 member countries. The WTO is the only global international organization dealing with the rules of trade between nations. At its heart are the WTO agreements, negotiated and signed by the majority of the world’s trading nations and ratified in their parliaments. The GATS is one of these key agreements and is a legally enforceable set of rules. The GATS has three parts. The first part is the framework, which contains the general principles and rules. The second part consists of the national schedules that list a country’s specific commitments on access to its domestic market by foreign providers. The third part consists of annexes that detail specific limitations for each sector and can be attached to the schedule of commitments. This will be discussed in more detail later, but first it is essential to understand what kind of education services will be covered by GATS and what is meant by higher education services. (Cf. Jane Knight, The Implications of, p. 67) Note: GATS, which is administered by the World Trade Organization (WTO), covers the following twelve service sectors: 1. Business, including professional services and computer science; 2. Communications; 3. Construction and related engineering; 4. Distribution; 5. Educational; 6. Environmental; 7. Financial; 8. Health and related Social Services; 9. Tourism and services related to travel; 10. Recreational, cultural and sportive; 11. Transport; 12. Other. (Jane Knight, The Implications of, p. 1)
7.1.2. Beberapa Tujuan Spefisik GATS Liberalisasi GATS is not a neutral agreement as it aims to promote and enforce the liberalization of trade in services (EI/PSI 2000). …The intention of GATS is to facilitate and promote increasingly
93
more opportunities for trade. Therefore, countries that are not interested in either the import or export of education services will most likely experience greater pressures to allow market access to foreign providers. (cf. Jane Knight, The Implications of, p.74). Menghilangkan “Penghambat” Kebebasan Pasar The purpose of GATS, as stated by the WTO is to reduce or eliminate barriers to promote further trade. It is important to note that national policies and parameter that have been established by some countries in order to control the import of education and training services into their country are in fact seen as trade barriers that need to be removed by others. One of the GATS principles is that countries can determine the degree of market access they will give to foreign providers. This is seen as a certain kind of safeguard. However, safeguards can be interpreted as barriers. Therefore, when one considers the GATS principle of progressive liberalization, one questions whether these so called safeguards will in fact be able to withstand the pressure of liberalization in future rounds of negotiations. It should also be noted that barriers to trade seen from the exporting country’s point of view, may be seen by the importing country as fundamental aspects of domestic higher education policy. (Jane Knight, The Implications of, p. 79)
7.2. Reaksi Secara Umum Terhadap GATS Masuknya Pendidikan sebagai salah satu jenis “jasa” ke dalam GATS menimbulkan banyak polemik di kalangan komunitas pendidik. Sindikat Mahasiswa, Sindikat Pengajar, AsosiasiAsosiasi Perguruan Tinggi, serta para pakar pendidikan mengungkapkan keprihatinan mereka akan fenomen komodifikasi pendidikan ketika pendidikan dijadikan salah satu bidang jasa yang bisa diperdagangkan dan dikebawahkan pada aturan GATS. Fenomena tersebut mengancam: a) otonomi sebuah negara untuk mengatur pendidikannya secara merdeka, b) mengancam pendidikan sebagai „kekayaan sosial“ sebuah masyarakat, c) mengancam pengeroposan quality assurance yang sudah terbakukan di sebuah negara, d) mengancam politik kesama-rataan pendidikan yang menjadi kredo sebuah negara, dan dengan itu e) mengancam kesamarataan akses atas pendidikan sbgmn diamanatkan oleh konstitusi sebuah negara. Selain itu, khususnya untuk negara-negara berkembang, GATS ini jelasjelas menempatkan negara berkembang dalam posisi asimetris. Jika dengan globalisasi pasar
94
(barang pertanian dan barang teknologis misalnya) yang diatur oleh WTO menempatkan negara berkembang selalu dalam posisi didikte, maka bisa dibayangkan bahwa globlalisasi pendidikan
yang diatur oleh WTO via GATS-nya akan makin memperpanjang daftar
keterpojokan negara berkembang di depan negara maju yang nota bene sebagai provider pendidikan akan menentukan segala-galanya. Selain fenomen trade off yang sudah terjadi di bidang tukar menukar barang, Negara berkembang akan makin kehilangan kontrol atas pendidikan anak bangsanya sendiri, negara makin tidak berfungsi karena sistem kontrol akan dipegang oleh provider pendidikan dari negara maju (Introduction, The Implications of, p. 2). Dari sudut pandang ini, sangat wajar kalau kita khawatir bahwa promosi “kebebasan pasar pendidikan” sebagaimana diintrodusir oleh GATS justru akan melumpuhkan/menghancurkan sistem pendidikan tinggi negara berkembang yang masih tertatih-tatih untuk membangun konstruksi rumahnya sendiri. Pada pihak lain, ada yang percaya bahwa pemasukan pendidikan ke dalam GATS justru akan memberikan keuntungan-keuntungan baru bagi negara yang menandatanganinya. Jenis pendidikan yang disediakan bisa bertambah aneka rupa, cara-cara baru memberikan pendidikan juga bisa dikomunikasikan, dan dipercaya bahwa berkat itu semua kapasitas generasi muda untuk hidup di dunia yang “menyatu ini” menjadi lebih terbentuk. Dengan itu semua, diharapkan akan muncul pertumbuhan perdagangan yang membawa pertumbuhan ekonomi. Lagi pula, para pendukung GATS mengatakan bahwa peraturan GATS memungkinkan keanggotan yang “fleksible” yang disesuaikan dengan keterbatasan negaranegara berkembang (Introduction, The Implications of, p. 2.)
7.3. Negara Dunia Ketiga di depan GATS Kita wajib bertanya, khusus untuk tanda tangan negara kita terhadap GATS, sudahkah hal ini ditimbang secara hati-hati dengan melibatkan proses diskusi rakyat (demokratis)? Ataukah jangan-jangan kita hanya “menerima begitu saja” argumen dari negara-negara eksportir pendidikan (Amerika, Inggris, Australia, New Zealand)? Lebih buruk lagi, apakah ‘paksaan’ mereka itukah yang akhirnya membuat mau tidak mau kita mesti menandatangani GATS? Lepas dari berbagai pertanyaan naif di atas, barangkali kita biasa berpikir bahwa masuknya eksportir Pendidikan ke negeri kita dengan sendirinya akan membawa kebaikan dan keuntungan bagi kita. Bila kita mau berhandai-handai mencari alasan “baik-baik” mengapa
95
kita membuka kran impor Pendidikan Tinggi ke negeri kita, barangkali kita bisa memikirkan alasan-alasan sebagai berikut (cf. Jane Knight, The Implications of, p. 80): -
A) Karena rendah dan terbatasnya kemampuan PT kita untuk memberikan pendidikan yang benar-benar “ujung” dan berlevel internasional. Sehingga masuknya PT Asing diharapkan akan memberi akses lebih besar untuk mempelajari pengetahuan dan ketrampilan khusus yang belum ada di negeri kita.
-
B) Dengan itu kita mau mengembangkan SDM kita, sekaligus menghindari brain drain akibat mahasiswa kita yang belajar di luar negeri tidak mau pulang. Selain itu, belajar di sebuah PT Asing di negeri kita akan relatif murah bila dibandingkan mesti hidup
di
luar
negeri
(bdk.
http://www.jawapos.co.id/index.php?
act=detail_c&id=169822, Jawa Pos, Kamis, 05 Mei 2005, “Harus Bermitra Lokal”: “Liberalisasi di Perguruan Tinggi (PT) yang dipromosikan WTO dibungkus sesuatu yang positif: agar lembaga pendidikan asing bisa memacu peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Termasuk bisa meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan, memperbaiki efisiensi pengelolaan pendidikan, serta mengurangi aliran uang ke luar negeri.”). -
C) Reputasi dan prestige negara pengekspor pendidikan akan serta merta memajukan PT dalam negeri entah melalui trickle down effect atau melalui iklim persaingan yang otomatis akan memacu PT dalam negeri untuk maju.
-
D) Hubungan kerjasama pendidikan akan berujung juga bagi membaiknya hubungan antara negara. Hubungan yang baik artinya mengamankan “bantuan yang diterima” selama ini.
Puncak optimisme atas GATS (dari dunia ketiga)
justru keluar dari mulut Prof Dr Ki
Supriyoko, yang kini menjabat Wakil Presiden Pan-Pacific Associations of Private Education (PAPE). Baginya, “ Kehadiran Perguruan Tinggi Asing (PTA) tidak perlu ditolak, kehadiran PTA di Indonesia, sebagai konsekuensi pemerintah meratifikasi kesepakatan WTO, justru dapat dijadikan pemacu dan pemicu pengelola PT di Indonesi. Yang diperlukan sekarang adalah meningkatkan kesiapan masyarakat untuk menyambut hadirnya PTA agar menjadi kompetitor eksternal yang sehat bagi perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) Indonesia.” Lebih lanjut menurut Ki Supriyoko, PTA justru akan memudahkan anak bangsa untuk memilih pendidikan tinggi. "Sekarang kita harus berbicara soal kualitas.
96
Ingin kualitas lebih, tidak perlu susah ke luar negeri, dosen bisa mengajar di PTA sambil mengembangkan PTN dan PTS yang ada di negara ini. Atau sebaliknya, juga bisa mengembangkan PTN dan PTS sambil mengajar di PTA," katanya. Kekhawatiran banyak pihak akan tergerusnya PTN dan PTS jika PTA hadir, kata Ki Supriyoko, sangat tidak beralasan. Kekhawatiran itu hanya didasarkan rasa takut bersaing. (bdk. Suara Pembaruan, “Perguruan
Tinggi
Asing
Siap
Masuk
Indonesia”,
22
juni
2005,
http://
www.suarapembaruan.com/News/2005/06/22/index.html). Optimisme yang sama muncul dari Adjisuksmo dari Badan Litbang Depdiknas yang berharap bahwa masuknya lembaga pendidikan asing akan memacu peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Di samping itu akan meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan, memperbaiki efisiensi pengelolaan pendidikan, dan mengurangi aliran uang ke luar negeri. (Kompas, 3 Mei 2005, “Harus Siapkan Strategi Hadapi Liberalisasi Pendidikan”). Bila kita berpikiran positif seperti di atas, beberapa pertanyaan yang bisa diajukan adalah sebagai berikut: -
A) Jika yang masuk adalah PT Asing yang benar-benar bermutu, eksportir PT pasti akan memberikan pendidikan bermutunya. Berapa biayanya memberikan pendidikan yang bermutu itu ? Siapakah di antara warga negara kita yang sanggup menanggung biaya tersebut?
-
B) Jika yang masuk adalah PT Asing asal-asalan, sejauh mana kita siap dan mampu mem-filternya? Bukankah pasar bebas akan memasukkan apa saja, yang baik maupun yang buruk bersama-sama? Sistem regulasi kita akankah mereka terima jika kita mengatakan “tidak” pada PT tertentu? Dari sisi lain, dengan parahnya problem korupsi dan kong kalikong, apakah sistem regulasi kita bisa dipercaya menjalankan peran filter ini?
-
C) Dari segi
mata kuliah pendidikan yang diekspor, bisa diraba bahwa negara
eksportir pendidikan tidak akan mengekspor pendidikan yang kental nilai-nilai khas mereka sendiri. Dengan sendirinya mereka akan mengekspor pendidikan yang trend dan sedang diminati pasar, yang diperkirakan tidak akan konfliktual dengan “nilainilai” kita! Selain itu, kita juga sangat wajar untuk bertanya apakah mungkin PT Asing masuk memberikan pendidikan terujung dan terbaik dari sains dan teknologi mereka ? Bisa diduga bahwa PT Asing tidak akan memberikan “pendidikan filsafat,
97
antropologi” yang kental dengan nilai-nilai khas mereka sendiri. Bisa diduga juga bahwa mereka tidak akan memberikan riset-riset termutakhir mereka di bidang sains dan teknologi. Kemungkinan besar hanya fak-fak “profit” saja yang akan masuk. Bila PT dalam negeri yang untuk hidup sebenarnya juga mengandalkan fak-fak trend tersebut, pangsa pasar fak-fak “profit” itu akan menjadi semakin jenuh. Jadi benarkah kehadiran PT Asing akan “memperkaya” dan “memperbaiki” PT dalam negeri dan SDM kita? -
D) Bisa dipertanyakan juga, sejauh mana PT Asing berani masuk ke daerah-daerah di Indonesia yang benar-bener membutuhkan pendidikan tinggi? Bukankah bisa diperkirakan bahwa mereka akan ikut bertarung di kota-kota besar di mana sudah “jenuh” populasi PT dalam negerinya. Tidak mungkin mereka membuat PT di Atambua atau di Nabire, tempat-tempat di mana sebenarnya bangsa indonesia butuh PT. (bdk. ungkapan Drs Adjisukmo MSc, pejabat Balitbang Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Jawa Pos, Kamis, 05 Mei 2005, “Harus Bermitra Lokal”: “Pada tahap awal, rencananya liberalisasi pendidikan tinggi itu akan diterapkan di lima kota, yaitu Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta dan Medan.”). Apakah Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, Cina, Australia, dan Malaysia yang sudah menunjukkan minatnya untuk membuka “filial” mereka di Indonesia akan berminat mengembangkan kawasan Indonesia Timur kita yang objektif butuh kehadiran PT???
Akhirnya, kalau GATS sudah terlanjur ditandatangani, berpulang kepada pemerintahan negara sebagai pengambil kebijakan: mampukah kita membuat “regulasi” yang bisa diterima “logika GATS” sehingga harapan-harapan positif kita dengan kehadiran PT Asing bisa terlaksanakan di lapangan? Supaya PTA mengembangkan daerah terpencil, supaya PTA tidak menjenuhkan pasar yang sudah ada, supaya PTA tidak membunuh “lapangan kerja lokal”, mampukah kita membuat regulasi “fleksibel” sebagaimana dimungkinkan oleh GATS? Setelah berbicara soal regulasi”, tentu saja kita mesti bertanya juga mampukah secara efektif kita menjalankan regulasi tersebut? Sudah siapkah “mental” bangsa kita untuk membuat aturan dan menerapkannya secara impartial? Akhirnya berpulang juga kepada para pendidik di PT dalam negeri: siapkah mereka bersaing di pasar dengan PT-PT Asing? Dan lebih jauh lagi, mampukah PT kita bukan hanya menjadi “objek penderita GATS” tetapi juga menjadi “subjek pelaku”? Mampukah kita melihat GATS 98
sebagai “peluang” untuk turut menjadi eksportir pendidikan? Jika antisipasi kedua ini tidak pernah dipikirkan, artinya kita hanya dalam posisi “korban” GATS, dan kita benar-benar “terlalu percaya diri” (takabur) untuk ikut serta begitu saja dalam rimba persaingan bebas GATS. Akhirnya berpulang pada kita semua untuk berpikir apakah pendidikan nasional kita tidak dibahayakan dengan pembukaan kran pasar ini? Tidak cukup kita menghentikan para “pengritik GATS” dengan argumen bahwa mereka itu “penakut dan terlalu nasionalis buta” karena sikap “berani berlebih-lebihan” juga tidak kurang berbahayanya bagi kepentingan umum sebuah negara. GATS sebenarnya bukan hanya berargumen tentang masuknya intrusi asing, tetapi juga memberi peluang bagi PT di negara kita untuk meluaskan sayapnya ke luar negeri. Meskipun kita tahu bahwa barangkali PT kita belum mampu mengekspor pendidikannya ke luar negeri, tetapi perlu juga kita berhandai-handai mencoba membayangkan mengapa sebuah negara begitu berambisi memperluas Pendidikan Tingginya ke negara-negara lain. Alasan-alasannya barangkali adalah sebagai berikut: -
A) Kemampuan negara yang berlebihan dalam mengelola Pendidikan Tingginya sehingga ada baiknya “energi berlebih” itu di-ekspor supaya ada keuntungan-lebih yang masuk (entah dalam bentuk finansial, diplomatik, kultural).
-
B) Pengakuan internasional dan prestige negara di depan bangsa-bangsa lain.
-
C) Strategi budaya, politis, ekonomis yangn dirancang lewat “persaudaraan akademis” yang akan muncul lewat pelebaran sayap PT.
-
D) Pelebaran sayap ke luar negeri menjadi sarana untuk “koreksi diri” dan untuk makin menguatkan PT di dalam negerinya sendiri agar selalu inovasi di depan tantangan-tantangan baru yang semula tidak kelihatan.
-
E) Bila dalam hal ekonomi pasar dunia sudah terbuka lebar, tidak ada salahnya memperluas pasar itu pada bidang pendidikan. Artinya, bila ekonomi bisa menjadi “senjata” dalam hubungan antar bangsa, pada akhirnya pendidikan pun bisa menjadi “senjata baru” dalam relasi-kekuatan antar bangsa.
Mengenai keuntungan finansial dari “pasar pendidikan”, data dari tahun 2000 berikut ini menunjukkan jumlah signifikan dan nilai strategis pasar baru ini (Cf. Negotiating Trade in
99
Educational Services within the WTO/GATS context, Raymond Saner and Sylvie Fasel, p 281.) The data shown in Table 2, even though concerning only the main exporters and more or less only Mode 2 – are of interest. First, they show a clear prevalence of English speaking countries who enjoy a comparative advantage compared to non-English language. Second, in total values and including only the first five countries, exports in ES achieved more than 200% of growth between 1989 and 2000, United States and Australia being the most impressive cases – as long as statistics for New Zealand are not available for 1989. In relative terms, it is worth noting that some countries’ share of (Education’s Service) ES exports compared with total service exports for 2000 were impressive as, for instance, was the case for New Zealand. The five major ES exporters are also among the few countries which collect data concerning imports of ES. Their records as importers won’t show where these flows are going, but confirm them as net ES exporters.
Table 2. Five Major Exporters of ES, US$ million (current prices) and as a percentage of total exports in services, 1970–2000.
Australia
1970 %
1989
%
1997
6
584
6.6
2’190 11.8
530
3.0
0.6
Canada
68
New Zealand …
…
United Kingdom … United States …
… …
…
2.7
…
%
595
2000
%
2’155
11.8
1.9
796
280
6.6
199
4.7
2’214 4.5
4’080
4.3
3'758
3.2
4’575 4.4
8’346
3.5
10’280
3.5
2.1
Source: Based upon LARSEN ET AL. (2002); OECD/CERI (2002a) p. 6. Note: “…” denotes data not available.
Sudah jelas bahwa bagi negara yang mempromotori GATS (Amerika, Inggris, Australia dan Selandia Baru) knowledge adalah sebuah jenis bisnis baru yang memberi begitu banyak kesempatan bagi mereka. Jika pendidikan mereka sendiri sudah sangat kuat, masyarakat mereka sudah sangat terlindungi, maka sangat logis kalau mereka mau mengembangkan
100
dominasi ekonomis mereka lewat “perjanjian internasional” GATS. “Setiap tahun 15.000 mahasiswa Indonesia mendaftar di berbagai institusi pendidikan tinggi di luar negeri. Negara yang paling banyak dituju adalah Australia dengan jumlah mahasiswa Indonesia mencapai 20.000 orang. Pendidikan tinggi lintas batas ini merupakan bisnis yang besar. Sebagai contoh, Australia dan New Zealand masing-masing berhasil mencapai 13 persen dan 8 persen dari nilai ekspor kedua negara tersebut di bidang pendidikan”, demikian disampaikan Ketua Bidang Pendidikan International Finance Corporation (IFC) Ron Peterson di Jakarta, Selasa (9/8) (http://www.suarapembaruan.com/News/2005/08/10/index.html, Suara Pembaruan, 10 Agustus 2005, “Majunya Institusi Pendidikan Tinggi Bisa Hemat Devisa”).
7.3.1. Pertimbangan yang bagi Negara Berkembang Dari sudut pandang negara berkembang, berhadapan dengan kekuatan luar biasa para pengekspor pendidikan (sekaligus para pelopor GATS ini) , hal-hal yang semestinya perlu dipertimbangkan adalah sbb : -
1) Kelemahan posisi tawar negara berkembang di depan “imperatif dagang” yang didiktekan negara maju. Fenomen komodifikasi pendidikan jelas disetir oleh kepentingan ekonomis para pelaku aktif globalisasi. Bila di bidang ekonomis kita sudah selalu didikte, sejauh mana dalam bidang pendidikan kita bisa “bertahan” di depan imperatif-imperatif mereka? (Contoh kasus Afrika menunjukkan bahwa GATS memakai World Bank untuk memaksakan agar negara-negara di Afrika meliberalisasi PT-PT mereka. bdk Jane Knight, The Implications of, p. 12). Relasi asimetris ini sudah begitu lazim kita alami sehingga kita mudah lupa bahwa kita tidak dalam posisi tawar yang sejajar. Kisah “perang pisang” antara petani negara Prancis dengan petani Amerika Latin menyadarkan betapa « relasi dagang » tidak pernah benar-benar bebas dari « proteksi politis » sebuah negara (dalam hal ini proteksi Prancis atas petanipetaninya sendiri). Dalam soal ini, negara Amerika Latin tidak akan pernah bisa menembus pasar pisang di Prancis biar mereka memberikan harga jauh lebih murah sekalipun.
-
2) Kelemahan kemampuan negara berkembang untuk “memenuhi kriteria-kriteria yang disyaratkan oleh negara maju penyodor GATS”. Sejauh mana kita sendiri siap
101
mengatur kehadiran eksportir pendidikan di negara kita? Tata aturan yang memadai dan aparat penegaknya, sudahkah siap untuk mengawasi mereka? Bila ada PT asing yang melakukan kontrak kerja seenaknya kepada para dosennya? Lebih jauh lagi, bagaimana negara berkembang bisa turut serta menyodorkan produknya dan bukan sekedar jadi mangsa pasar? Sejauh mana negara berkembang mampu bernegosiasi untuk “menyodorkan produk” kita di depan negara-negara maju yang secara SDM, secara organisatoris,
secara politis dan secara keuangan sangat jauh lebih solid
daripada kita? -
3) Kelemahan negara berkembang untuk “mamahami” artikel-artikel GATS dan sejauh mana kita “sadar” akan konsekuensi dari persetujuan kita atas artikel-artikel tersebut? Bila negara maju menyertakan proses demokratis (ada proses debat yang melibatkan semua unsur masyarakat), apakah pengambilan keputusan sebuah negara untuk menandatangi GATS benar-benar sudah melewati proses demokratis ataukah janganjangan hanya “tembakan spekulatif” dari petinggi pendidikan di dalam situasi ketidakpedulian massif rakyatnya yang baru terbatas pusing memikirkan survival sehari-hari ?
-
4) Lebih jauh lagi, sejauh mana penandantanganan GATS itu sudah memikirkan pelestarian model pendidikan khas negara kita ? Perlukah dipikirkan bahwa identitas bangsa itu mestinya dilestarikan lewat pendidikan kader-kadernya di tingkat PT demi pelanjutan “cita-cita kemerdekaan”? Ataukah itu tidak perlu dipikirkan karena hanya menjadi “penghambat” bagi kemajuan pasar dunia (argumen yang persis disodorkan oleh
para
pelopor
GATS)?
(Bdk.
http://www.indopos.co.id/index.php?
act=detail_c&id=169823, Indopos, Kamis, 05 Mei 2005, “Pasar yang Empuk”, pernyataan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Prof Dr Azyumardi Azra MA: “Harus diingat, bahwa proses pendidikan bukan hanya transfer pengetahuan, melainkan pembentukan watak dan moral. Dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan pendidikan tidak boleh
mengabaikan watak dan moral yang
berlandaskan nilai-nilai keindonesiaan.”) -
5) Tanpa harus melihat terlalu jauh ke soal identitas bangsa, sudahkah dipikirkan bahwa GATS akan mengguncang sistem standarisasi penilaian PT kita sendiri? Atau memang mungkin GATS diharapkan jadi dewa penolong untuk memajukan standar kita yang terlalu lama jalan di tempat? 102
7.3.2. Situasi Khas Indonesia sebagai Negara Berkembang A. Kita didikte negara pendonor utang Kita bisa menduga bahwa proses liberalisasi PT BHMN yang diintrodusir sejak tahun 2002 lewat pilot project 4 PTN besar di Indonesia merupakan hasil “paksaan” negara donor pemberi hutang kepada kita. Program liberalisasi Pendidikan yang sudah dirancang sejak 1994 (UU No 7 Tahun 1994, tentang ratifikasi WTO), dilanjutkan dengan penandatanganan WTO (tahun 2001), dan akhirnya memuncak sejak dua tahun lalu (dengan pasal 65 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memberikan kans bagi PT Asing masuk di Indonesia), itu semua menunjukkan kaitan logis bahwa kita tidak berdaya di bawah tekanan mereka. Penandatanganan GATS tahun ini memang mau tak mau harus terjadi ! Dan ini menyedihkan, karena kita tahu bahwa "seperti halnya Thailand dan Filipina, Indonesia membayar utang lebih besar daripada dana yang disediakan untuk pelayanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Untuk membayar utang, Indonesia harus mengalokasikan
35-40
persen
dari
keseluruhan
total APBN.“
Negara
pendonor
berkepentingan mendapatkan hutangnya dikembalikan oleh Indonesia. Untuk itu semua pengeluaran negara bagi subsidi sektor publik mesti dikurangi jika para pendonor ingin memastikan bahwa uang mereka kembali (bdk. Kompas, 10 Mei 2005, « Privatisasi Pendidikan Cenderung Menguat », pernyataan Yanti Muchtar dari Jaringan Pendidikan untuk Keadilan : "Komunitas donor mendorong negara-negara berkembang meminimalkan peran negara dalam menyediakan pelayanan publik yang membutuhkan dana besar dan memberikannya kepada pasar sebagai pembiaya alternatif. Pelayanan publik yang membutuhkan dana besar itu antara lain pendidikan").
B. Kita sangat miskin Sangat menyedihkan, karena kita juga tahu bahwa situasi umum Indonesia saat ini : « Menurut lembaga dunia, United Nation Development Program (UNDP), Human Development Index (HDI) – dari 177 negara - masyarakat Indonesia berada di urutan ke 112 di bawah negara yang baru saja bangkit, Vietnam. Perhitungan HDI itu menyangkut banyak aspek dan tidak hanya komponen pendidikan, melainkan juga faktor kesehatan, gizi
103
masyarakat, kondisi ekonomi dan yang lainnya » (bdk. Suara Pembaruan, 8 juli 2005, « Yang Mahal Belum Tentu Berkualitas », oleh wartawan SP Steven Setiabudi Musa. Data yang sama juga diungkap oleh Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof Dr Sutjipto di Kantor Berita Antara, 2 Mei 2005 yang mengatakan bahwa Indeks SDM negara kita oleh PBB dinyatakan menduduki urutan ke-111 dari 177 negara). Salah satu indikasi betapa miskinnya negara kita bisa dilihat dari jumlah anak putus sekolah di level pendidikan dasar dan menengah! Menurut proyeksi Pusat Data dan Informasi Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional murid yang putus sekolah tahun ajaran 2004-2005 di level SD, SMP/MTs, SMA/ MA mencapai 1.122.742 anak. Angka terbesar justru putus sekolah tingkat SD, yakni mencapai 685.967 – dan tidak kurang dari 271.948 siswa putus sekolah di jenjang SMP (bdk. Kompas, 3 Mei 2005, “Aduh… Susahnya Rakyat Miskin Pergi ke Sekolah”, dan “Peran Negara dalam Pendidikan Diprihatinkan”).
C. Korupsi yang memperparah situasi Pendidikan Nasional kita Bukan hanya kemiskinan yang membuat kita pesimis. Lebih parah lagi adalah soal korupsi yang juga tidak luput menggerogoti Departemen Pendidikan Nasional kita. "Departemen Pendidikan Nasional, menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2003, merupakan departemen terkorup setelah Departemen Agama. Korupsi dalam dunia pendidikan, menurut laporan Indonesian Corruption Watch, dilakukan secara bersama-sama dalam berbagai jenjang, dari tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan menjunjung nilai-nilai kejujuran justru mempertontonkan kepada siswanya praktik-praktik korupsi. Korupsi dana pendidikan, menurut Ade Irawan-aktivis Indonesian Corruption Watchmenyangkut baik dana pemerintah maupun dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Bila aparat birokrasi selama ini mengeluhkan dana pendidikan yang kecil, ternyata dana yang kecil itu dikorup pula. » (bdk. Kompas, 3 Mei 2005, « Memberantas Korupsi, Mulailah dari Sekolah“). Dari keseluruhan dana APBN tahun 2004, uang yang dikorupsi sebesar Rp 23 triliun. Belum lagi kalau persoalan korupsi ini kita perluas pada fenomen lainnya seperti pengucuran dana BLBI senilai Rp 144 triliun, yang belakangan justru menguap dan sangat
104
boleh jadi akan hilang tak tentu rimbanya (bdk. Kompas, 3 Mei 2005, « Diragukan, Komitmen Penguasa Memajukan Rakyat »). Bukan rahasia lagi bahwa pendidikan secara umum sudah sangat mahal bagi rakyat. Berbeda dengan negara maju di mana Negara secara serius membiayai pendidikan, di negara kita rakyat sudah terbias untuk « mengurusi sendiri » sekolah anak-anaknya. « Laporan tim Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menyebutkan biaya pendidikan lebih banyak ditanggung masyarakat daripada pemerintah. Porsi biaya pendidikan yang ditanggung orangtua siswa mencapai 53,74 sampai 73,87 persen dari total biaya pendidikan. Sementara porsi biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah dan masyarakat (selain orangtua siswa) sebesar 26,13-42,26 persen dari total biaya pendidikan yang harus dikeluarkan » (bdk. Kompas, 3 Mei 2005, « Aduh… Susahnya Rakyat Miskin Pergi ke Sekolah”). Lebih memprihatinkan lagi, ternyata partisipasi dari rakyat itu justru menguap karena korupsi para penyelenggara pendidikan : « Ade Irawan dari Divisi Pendidikan Indonesian Corruption Watch mencatat, ada sekitar 39 jenis pungutan di sekolah. Mulai dari biaya rapor, guru bantu, lembar kerja siswa, fotokopi ujian, komputer, disket, nilai olahraga, peringatan hari besar, mutasi, awal tahun, sarana olahraga, uang kunti, kapur, ekstrakurikuler, sampai kawinan guru. Ada saja murid yang akhirnya tidak meneruskan sekolah karena tidak mampu menebus ijazah dan membayar kegiatan ekstrakurikuler. Model lainnya, siswa yang baru masuk ke sekolah tidak langsung diinformasikan biaya yang harus dikeluarkan. Sesudah seminggu atau sebulan sekolah berjalan, baru pengelola sekolah memanggil orangtua murid untuk meminta partisipasi biaya karena ada keperluan ini dan itu. Orangtua murid akhirnya terjebak dan tidak mempunyai banyak pilihan » (ibid. Kompas, 3 Mei 2005).
D. Masih adakah Negara, Pemerintahan atau …. Di depan situasi kemiskinan yang berat, ditambah korupsi lembaga pendidikan yang memperparah beban rakyat yang mau memajukan anak-anaknya, dimanakah peran pemerintahan kita yang mengemban amanat UUD 45? “Formula yang begitu jelas dalam kontrak sosial antara negara dan rakyat - sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 berikut batang tubuhnya pada Pasal 27 Ayat (2), Pasal 31, Pasal 34 serta UU Sistem Pendidikan Nasional - dalam prakteknya masih jauh dari apa yang diharapkan” (bdk. Kompas, 3 Mei 2005, “Diragukan, Komitmen Penguasa Memajukan Rakyat”). Jika mentaati amanat rakyat sendiri pemerintah tidak bisa, apalagi mentaati Artikel 26 (1) dari Universal 105
Declaration of Human Rights, yang menyebutkan: “Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit”. Rakyat memang layak bertanya-tanya apakah pemerintah memang memiliki “hati” untuk soal yang sangat penting seperti pendidikan ini. Dalam diskusi Kompas 3 Mei 2005: “Salah seorang panelis malah melihat bahwa keterpurukan dunia pendidikan di Tanah Air - lantaran sikap elite pemerintahan yang enggan memajukan pendidikan dalam artian yang sesungguhnya - bukan sekadar karena tidak ada komitmen seperti yang selama ini disinyalir oleh banyak kalangan. Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh, ketidakmauan itu sesungguhnya lebih disebabkan memang jauh di lubuk hati mereka tidak ada niat untuk memajukan rakyat yang di bawah. ‘Selama ini kita salah mengambil asumsi bahwa di Indonesia pendidikan itu penting. Pendidikan tidak pernah penting di Indonesia. Tidak ada indikator apa pun yang bisa menjadi rujukan untuk mengatakan bahwa pendidikan diperlakukan penting di Indonesia. Sebagai kebutuhan ya, tetapi sebagai hasil perlakuan tidak!’ begitu pandangan salah satu panelis”. Jika memang faktanya ada pembiaran secara serius terhadap proses pembusukan kondisi pendidikan, apakah rakyat mesti berpikir lebih jauh lagi :
"Penguasa yang
mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab tersebut selayaknya dituntut secara hukum karena bisa digolongkan tindakan malapraktek atau dalam bahasa hukum disebut misconduct," kata sang panelis (bdk. Kompas 3 Mei 2005« Diragukan, Komitmen Penguasa Memajukan Rakyat »).
E. Kesimpulan : kita melestarikan etiket sebagai Bangsa Pembantu dan Kuli Di saat Negara kita secara objektif miskin secara ekonomis, amburadul secara kelembagaan, serta parah kondisi mentalnya akibat korupsi, skenario terburuk yang membuat kami para mahasiwa khawatir dengan proses liberalisasi Pendidikan Tinggi adalah bahwa kita akan melestarikan diri kita sebagai bangsa kuli : « Pakar ekonomi Prof Dr Sri Edi Swasono mengemukakan, liberalisme pendidikan merupakan bagian dari Komitmen Washington yang akan melumpuhkan bangsa Indonesia. Bila pendidikan dipahami sebagai komoditas, terjemahannya adalah seseorang yang tidak bisa membayar sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) tidak usah sekolah. ‘Bila liberalisme pendidikan dilakukan, 30 tahun lagi
106
bangsa Indonesia akan menjadi seperti suku Aborigin,’ katanya (bdk. Kompas, 16 Mei 2005, « Akibat Liberalisme Pendidikan Bangsa Indonesia Akan Jadi Bangsa Kuli »). Memasuki liberalisasi manakala sebuah negara sudah kuat dan kaya (seperti Malaysia yang sudah melebihi kita, atau seperti Amerika, Inggris, Australia, dan Selandia Baru) adalah sebuah kans untuk mengembangkan dominasi intellektual, budaya, bahasa, dan segala potensi besar yang dimiliki sebuah bangsa. Tetapi bila kerangka rumah kita keropos, busuk (corrupted), serta de facto kita sangat miskin karena terlilit hutang, bukanlah dalam kondisi seperti itu memasukkan diri dalam arus liberalisasi berarti « menggadaikan kepala kita » demi survival esok hari, supaya besok tetap bisa diberi hutang ?
7.4. Reaksi Negara Maju (contoh Uni Eropa) terhadap GATS Reaksi negara maju atas GATS justru lebih beragam dan kritis. Bila pada akhirnya bisa dilihat bahwa pelan-pelan negara seperti Prancis pun akhirnya mengadopsi GATS dan mulai menyesuaikan dirinya ke liberalisasi pasar pendidikan, hal itu bukannya tanpa perlawanan dan resistensi dari masyarakatnya. Sehebat apa pun arus liberalisasi, negara dan masyarakat Prancis masih berusaha mempertahankan « model sosial » yang mereka punyai (proteksi terhadap sektor-sektor publik seperti kesehatan dan pendidikan). Ada beberapa kelompok mahasiswa di Eropa yang menentang keras proses komodifikasi pendidikan sebagaimana diintrodusir oleh GATS tersebut (cf. Alonso, C.S. 2003. “European Union: The Threat to Education”. International Viewpoint, No 354 – November 2003, http:// www. internationalviewpoint.org/article.php3?id_article =120). Di Eropa, pendidikan selalu dianggap penting oleh sebuah negara karena lewat pendidikan itulah negara bisa mereproduksi ideologi dan struktur yang dia kehendaki. Namun, bila mengamati tendensi akhir-akhir ini, fungsi ideologis pendidikan nyaris jarang dibicarakan. Ia memudar bukan karena sebuah revolusi yang berhasil menjungkirbalikkannya, melainkan karena fungsi ini sudah secara inflatif sudah digantikan oleh koran, radio, televisi, atau iklan. Reproduksi ideologis sudah diambil alih oleh media-media itu. Tetapi, massalisasi „ideologi“ ini pelan-pelan tidak lagi berbicara tentang pretensi “membawa manusia ke konsep-konsep luhur”, melainkan sekedar berputar-putar pada ide-ide „efisiensi, profesionalitas, dan 107
ekonomis“. Tak pelak, pendidikan juga akhirnya dirembesi oleh ideologi semacam itu. Jargon-jargon besar bahwa pendidikan adalah untuk memanusiakan, memperadabkan dan memajukan bangsa dengan mudah dilupakan karena saat ini tujuan konkret orang membicarakan soal sekolah adalah hubungannya dengan lapangan pekerjaan, in put dan out put-nya, kemampuannya untuk menghasilkan SDM yang profesional dan sesuai tuntutan perubahan cepat jaman. Ideologi sbg sebuah ide “besar“ memudar, dan sebagai gantinya „ideologi teknis-ekonomis“ secara diam-diam menyamaratakan pemikiran semua orang! Secara global, saat ini semua orang yakin bahwa ekonomilah yang mesti menjadi titik tekan untuk membicarakan apa pun. Para politisi, saat membicarakan dunia pendidikan, juga akhirnya tidak berkutat jauh dari ide yang lagi trend ini. Namun, pergeseran makna pendidikan itu juga bisa dijelaskan dari latar belakang situasi ekonomis negara Eropa dari tahun 70-an hingga sekarang. Pengalaman Eropa menunjukkan bahwa model welfare state yang dilandaskan pada stabilitas pertumbuhan ekonomi dan pada inovasi teknologis jangka panjang membutuhkan tenaga kerja yang besar dan makin tinggi ketrampilannya. Budget pendidikan naik dari 3% GDP pada tahun 50-an ke 6-7% GDP pada tahun 70-an. Jika semula pendidikan hanya terbatas untuk lingkaran kecil, di Eropa pendidikan mengalami demokratisasi dan massifikasi. Namun, demokratisasi pendidikan ini justru akhirnya berujung pada pengangguran tinggi kelompok terpelajar. Krisis ini pada gilirannya menyebabkan negara lalu berpikir untuk mereorientasikan pendidikan. Pendidikan akhirnya dikebawahkan kepada kepentingan konkret seperti: menanggapi “spesifikasi dan innovasi teknik” untuk makin bisa memperluas pangsa pasar. Sejalan dengan itu, secara politis, negara berpikir untuk merubah politik ketenagakerjaan supaya masyarakat bisa menanggapi tiap situasi baru di pasar dengan cepat. Sistem pensiun, jaminan sosial yang tinggi, perlindungan tenaga kerja yang luar biasa ketat, semua itu dipandang perlu dirubah agar problem “pengangguran” dan “pertumbuhan ekonomi” bisa berjalan bersamaan. Lebih jauh lagi, negara welfare state mulai mengurangi keterlibatannya terhadap apa yang disebut public service. Akhirnya pendidikan makin disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang berubah cepat: diintrodusir istilah lifelong education dan semangat-semangat entrepeneurship dalam proses pendidikan. Selain itu, model pendidikan informal yang pendek dan yang disesuaikan dengan kebutuhan sesaat juga menjadi trend.
108
Empat tahun terakhir ini, meski Negara Prancis tetap akan berusaha mempertahankan „model sosial“-nya, toh Kementrian Pendidikan mulai pelan-pelan mengintrodusir tuition fee lebih besar kepada mahasiswa. Secara politis beberapa perusahaan negara juga mulai diprivatisir untuk mengurangi beban negara. Dan puncak dari politik yang makin liberal ini, pernyataan Nicolas Serkozy dalam „université d’été de l’UMP“ tanggal 7 September 2005 kemarin yang dengan jelas-jelas menujukkan wajah Partai Kanan di Prancis ini. „Model Sosial Prancis telah gagal“, demikian katanya. Untuk itu, reformasi pajak dan peluwesan politik ketenagaan kerja menjadi agenda utama UMP untuk kampanye pemilihan presiden tahun 2007 besok. Dan kita menjadi bertanya-tanya sampai sejauh mana liberalisasi di Prancis akan dijalankan: kapan giliran pendidikan akan kena kebijakan liberal ini?
7.4.1. GATS dalam pandangan Eropa WTO dan GATS memasukkan pendidikan sebagai salah satu jasa yang bisa diperdagangkan seperti jasa-jasa lainnya. Pada awalnya, soal pendidikan ini mulai di introdusir di WTO (Uruguay round, 1995) oleh Amerika Serikat – yang kita tahu adalah ekportir utama jasa pendidikan. Tujuan utama GATS adalah “the complete liberalization of the services market”. Dan bila membaca artikel-artikel GATS, “there are then, no public services in a pure state that are beyond the reach of GATS and the rules of the market”. Salah satu contoh pasal GATS yang jelas-jelas menunjukkan misinya untuk meliberalkan pasar pendidikan adalah pasal 15: yang menggambarkan subsidi sebagai penyebab munculnya “distorting effects on the services trade", dan yang menyatakan bahwa "each member that considers that a subsidy accorded by a member state harms them will be able to start up the process and to ask for a hearing in the body for resolving differences" – artinya sebuah Mahkamah WTO, yang akan memberikan sangsi bagi negara-negara yang “establish obstacles to free competition”. Bila dihubungkan dengan aturan internal WTO (pasal 4), memang regulasi-regulasi internal sebuah negara bisa dianggap seabgai “unnecessary obstacle” bagi sirkulasi bebas komoditi.
Note Tentang Subsidi: Article XV says that member states acknowledge that state subsidies can be considered ’trade distorting’ and at the moment the WTO has asked member states to point out examples where that has been the case. If state subsidies are considered as trade
109
distorting measures they can be declared illegal under the GATS ruling. This might increase the trend in many European countries to privatise the education institutions and introduce fees. Note Tentang Regulatory measures: Article VI 4 (b) says that regulatory measures should not be ’more burdensome than necessary to ensure the quality of the service’. What constitutes the quality of the service is open to interpretation. Based on this the quality assurance mechanisms and bodies might be disputed and privatised. Countries with functioning QA systems might be forced to cut down those mechanisms under pressure from service suppliers. The GATS also has provision for setting up international bodies to regulate licensing and quality assurance, it is important to ask if a body fundamentally concerned with promoting free trade is best placed to regulate QA and licensing. Kalau melihat proses the European Space of Higher Education (ESHE), kelihatannya Uni Eropa pun pelan-pelan menyelaraskan diri dengan GATS (sebagai bentuk aplikasi bertahap untuk nantinya diselesaikan pada tahun 2010). Sejak pertemuan di Lisboa tahun 2000, tujuan pendidikan di Uni Eropa adalah untuk mempromosikan sebuah "knowledge economy, the most competitive and dynamic in the world, capable of creating durable economic growth" di mana pendidikan "should adapt itself to the new technological demands, those for qualified personnel and flexibility formulated by the European employers”. Note: The development of the ESHE is being openly coordinated and it is reflected in what is known as the Bologna "process" which, from 1998 to 2003 has involved a series of meetings of ministers in charge of higher education (the Sorbonne 1998, Bologna 1999, Prague 2001 and the most recent one this year in Berlin). The origins of the ESHE can be traced to the famous White Paper on Education of the European Commission (1990) whose role in education, thanks to the institutionalized pressure of the ERT and the UNICE, is increasing significantly. Untuk menjalankan ESHE itu, misalnya, pemerintah Prancis mulai menyelaraskan penjenjangan studi PT (undergraduate selama 3 tahun, dan graduate), dan membuat studi undergraduate sebagai studi generalis supaya bisa adaptasi dengan pasar kerja yang makin dideregulasi, serta dengan menstandarkan sistem kredit di Uni Eropa. Note: The measures adopted in the development of the ESHE can be summarized in a few key themes: a change in the structure of university studies, a system of equivalent degrees
110
(the European credit transfer system) and mobility of teachers and students. The fundamental measure is the reform in the structure of studies, establishing two cycles (undergraduate and graduate), diminishing the length of the first cycle to three years devoted to generalist lessons oriented to a deregulated labour market and a second degree confined to an elite. Sikap ESIB (the National Union of Students in Europe) adalah “iya-kritis” terhadap proses yang sudah dimulai sejak di Bologna ini. Dan sebagaimana tampak dalam pernyataanpernyataan protes yang diorganisir di Eropa, para mahasiswa berusaha “menghentikan proses” ESHE yang dibaliknya adalah agenda liberalisasi GATS (cf. ESIB, 2002, Commodification
of
Education:
Introductory
Information.
http://www.esib.org/
commodification/ documents/ ESIB_Info_sheet_on_GATS. pdf. Bdk juga, EISB, Policy Paper
on
the
Commodification
of
Education;
http://www.esib.org/policies/
CommodificationEducation.pdf). Di depan manouver negara pengekspor pendidikan (yang terutama berbahasa inggris, seperti Amerika, Inggris, Australia, New Zealand) yang menekan supaya seluruh anggota WTO meliberalisasi pendidikan, ESIB mengingatkan bahwa manouver itu terutama mengancam kebebasan negara untuk mensubsidi pendidikannya sendiri. Lebih lanjut manouver ini akan makin menekan negara anggota untuk memprivatisir PTN-PTN mereka. Bila dua hal itu terjadi, selanjutnya, kompetensi negara untuk mengatur diploma dan mutu pendidikannya sendiri juga menjadi tanda tanya besar. Dan lebih dari semuanya, ada bahaya bahwa pendidikan tidak lagi manjadi misi sebuah bangsa, tetapi menjadi sekedar kepanjangan tangan kepentingan swasta.
111
LAMPIRAN A Sistem Pembiayaan : Bentuk umum
1. Bentuk umum Pembiayaan Pendidikan Tinggi
Mekanisme pembiayaan (publik atau privat) akan mempengaruhi kualitas dan efisiensi Pendidikan Tinggi (PT). Namun demikian, tidak ada satu sistem pembiayaan PT yang ideal, semua sistem akan tergantung tujuan yang hendak dicapai oleh pembuat kebijakan terhadap peserta didik dan bangsa secara umum. Keberhasilan suatu sistem pembiayaan akan tergantung pada dana yang diinvestasikan oleh baik publik (pemerintah, pembayar pajak) maupun private (swasta). Secara umum terdapat 3 (tiga) sumber pembiayaan institusi pendidikan tinggi, yakni : pemerintah (pembayar pajak), mahasiswa (dan orang tua), dan swasta. Sumberdaya pemerintah mencakup operational grant (baik untuk pengajaran dan penelitian), capital investment dan research grant yang dibayarkan ke pada institusi. Pembiayan dari mahasiswa mencakup tuition fee (SPP) dan sumbangan lain. Pembiayaan dari swasta dan sumber lain meliputi donasi dan hibah (donation and gifts) serta pembayaran atas jasa konsultasi, paten dan jasa lainnya. Gambar 1 menjelaskan secara sederhana sumber pembiayaan suatu instusi Pendidikan Tinggi.
112
Gambar 1. Sumber pembiayaan Pendidikan Tinggi (Jongbloed, 2004)
Mekanisme pembiayaan
Paling tidak terdapat 4 bentuk mekanisme pembiayaan institusi pendidikan tinggi dengan menggunakan dana publik. Oleh karena institusi PT mempunyai misi mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kompetisi bangsa, pemerintah harus memberikan dukungan penuh kepada institusi ini. Oleh karena pendidikan tinggi mempunyai manfaat sosial dan ekonomi maka pembiayaan dari pemerintah terhadap universitas bukanlah semata berdasarkan pertimbangan ekonomi. Subsidi yang diberikan pemerintah haruslah didasarkan pada realitas sosial dan ekonomi masyarakat.
Dalam merencanakan mekanisme pembiayaan PT dari dana publik, pertanyaan yang fundamental adalah :
(1) Apa yang dimaksud dengan dana publik (2) Bagaimana dana tersebut diberikan
113
Pertanyaan (1) berfokus pada basis penentuan (funding base) alokasi dana publik kepada insitusi pendidikan tinggi : Apakah pembiayaan terkait dengan keluaran dan performa pendidikan (educational output and performance) atau terkait dengan masukan (inputs) ? Pertanyaan (2) berfokus pada isu tingkatan orientasi pasar (degree of market orientation) dalam pengaturan mekanime pembiayaan. Siapa (mahasiswa, universitas atau pemerintah) yang menentukan besaran dana publik yang diberikan ke universitas ? Dialokasikan untuk apa (pengajaran atau penelitian, program sarjana atau pascasarjana dll) dana tersebut? Apakah universitas harus berkompetisi untuk mendapatkannya ? Apakah universitas punya hak penuh menentukan tuition fee ? Apakah universitas bebas memilih mahasiswanya ? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan tergantung dari derajat sentralisasi pengaturan pemerintah terhadap insitusi PT. Dari sangat mengatur (highly regulated), dimana pemerintah sangat menentukan pembiayaan (misalnya dengan menentukan quota jumlah mahasiswa tiap program atau universitas) hingga dimana pengguna jasa pendidikan (mahasiswa) yang menentukan besaran dana publik (individual client decisions/market orientation) yang diterima universitas. Dalam kondisi praktis, derajat sentralisasi (atau orientasi pasar) tersebut akan terletak diantara kedua kutub ekstrim diatas. Gambar 2 mengilustrasikan 4 (empat) bentuk utama sistem pembiayaan (Q1, Q2, Q3, dan Q4). Sumbu vertikal menjelaskan derajat sentralisasi dan sumbu horisontal mengambarkan basis penentuan (funding base) alokasi dana publik kepada insitusi pendidikan tinggi (berdasarkan outcomes atau inputs/effort).
114
Budget Orientation
Program Orientation
Student Centered
Supply-driven
Gambar 2. Bentuk utama sistem pembiayaan Pendidikan Tinggi (Jongbloed, 2004)
Q1 : planned, input-based funding through providers Kuadran Q1 mencerminkan sistem pembiayaan yang sentralistis. Mengambarkan tipe penganggaran (budgeting) tradisional, dimana alokasi dana didasarkan permintaan (rencana kerja atau proposal anggaran) universitas yang disampaikan kepada otoritas anggaran. Bentuk ini dikenal sebagai pembiayaan yang dinegosiasi (negotiated funding). Dalam bentuk ini, alokasi anggaran tahun mendatang untuk beberapa komponen biaya tertentu didasarkan pada alokasi tahun sebelumnya. Komponen biaya dinegosiasikan antara perwakilan tiap universitas dan otoritas anggaran. Perubahan tahunan tiap komponen anggaran dilakukan secara individu, dengan didasarkan proyeksi biaya. Komponen anggaran umumnya akan mencakup gaji staf, kebutuhan material, biaya perawatan gedung dan investasi. Perhitungan anggaran tiap komponen mengacu pada standar tertentu (unit biaya, jumlah mahasiswa dll). Q2 : performace-based funding of providers Performace-based funding of providers adalah sistem pemberian dana publik kepada insitusi PT berdasarkan jumlah mahasiswa yang lulus dalam ujian. Dana yang diberikan akan tergantung dari jumlah kredit (i.e weighted number of passed courses) yang diakumulasi oleh mahasiswa dan jenis program studi yang ditempuh. Sistem ini diterapkan di Denmark (Taximeter model). Di Swedia diterapkan sistem yang merupakan gabungan jumlah 115
mahasiswa yang mendaftar dan jumlah kredit. Di Belanda, gabungan antara jumlah mahasiswa tingkat pertama (freshmen) dan jumlah mahasiswa master akan menentukan alokasi dana kepada universitas. Di Inggris, pembiayaan riset berdasarkan proporsi kualitas penelitian yang dihasilkan, yang dievaluasi dan dirangking oleh Research Assessment Exercises setiap 5 tahun. Q3 : purpose-specific purchasing from providers Sistem ini merupakan contoh sistem pembiayaan berorientasi pasar (market-oriented funding system), dimana universitas diundang untuk menyerahkan tender untuk menghasilkan lulusan program studi tertentu atau melakukan penelitian. Tender yang terpilih adalah yang paling menguntungkan (price-competitive). Dalam proses tender, universitas saling berkompetisi dalam menyediakan jasa pendidikan, pelatihan dan penelitian untuk memenuhi kebutuhan nasional. Kontrak kemudian dibuat antara insitusi pemberi dana dan universitas, dimana universitas setuju untuk menghasilkan target lulusan yang dibutuhkan pasar atau hasil penelitian untuk memperkuat kapasitas inovasi negara. Saat melakukan kontrak, pemerintah dana harus yakin bahwa negara memperoleh jasa yang dinginkan dengan harga yang sesuai (reasonable). Dalam hal ini pertimbangan biaya operasi (cost-effectiveness of the delivery) menjadi salah satu kriteria. Kriteria lain adalah jenis dan kualitas mahasiswa yang diterima, batas maksimum tuition fees yang dikenakan universitas dan komitmen yang dibuat universitas kepada mahasiswa dalam hal proses pengajaran atau pelatihan. Hanya andai kriteria ini dipenuhi, maka universitas akan menerima dana (core funding). Q4 : demand-driven, input-based funding through clients Sistem ini berbasis pada penggunaan voucher. Dana untuk universitas di-supply dari para pengguna jasa universitas. Calon mahasiswa menerima voucher - merepresentasikan sejumlah nilai tertentu dan dapat diuangkan di Kementerian Pendidikan - yang dapat digunakan untuk membeli jasa pendidikan (i.e education consumption) di universitas sesuai dengan keinginannya. Voucher dapat digunakan secara fleksibel (selama periode tertentu dan untuk program studi terakreditasi yang ditawarkan universitas). Dalam sistem ini, adalah konsumer menentukan besaran dana yang diterima universitas, sistemnya adalah demand-driven. Calon mahasiswa (client) bebas memutuskan di institusi mana ybs ingin masuk dan program studi apa yang ingin diikuti. Universitas harus menjaga kualitasnya, sebab andai programnya tidak menarik maka tidak menerima dana yang memadai. Sistem voucher dapat digabungkan dengan dengan sistem tuition fee (differentiated course fees). Universitas dapat mengenakan 116
mahasiswa biaya perkuliahan. Besarnya tuition fees dapat dirundingkan dengan pemerintah. Dengan adanya dikenakan biaya, membuat mahasiswa peduli dengan kualitas pelayanan yang diterima dari universitas. Sehingga menggabungkan voucher dan fees akan mendorong universitas lebih responsif terhadap tuntutan mahasiswa. Di beberapa negara OECD, negara umumnya memisahkan pemberian dana publik antara untuk pendidikan dan penelitian. Dana diberikan dalam bentuk block grant (lump sump), untuk tiap aktivitas. Terdapat kecenderungan untuk meninggalkan bentuk pembiayaan seperti Q1 (planned, input-based funding through providers) yang menegosiasikan per komponen biaya, mengarah ke Q2 (performace-based funding of providers) yang lebih transparan dan rasional. Selain itu, dalam pembiayaan penelitian terdapat kecenderungan untuk meninggalkan sistem block grant menuju mekanisme pembiayaan publik dengan sistem Q3 (competitive funding mechanism) atau Q2 (performance-based mechanism).
Contoh besaran Tution Fee Tabel 4 memberikan gambaran sekilas mengenai besaran tuition fee di beberapa negara OECD. Bentuk dan besaran dukungan pemerintah terhadap mahasiwa dapat diukur dari upayanya mengatur besaran tuition fee. Dalam konteks tingkatan pendidikan, banyak negara berupaya mengatur bentuk dan besaran tuition fee untuk program sarjana, namun tidak untuk program pascasarjana. Disini lain, dibeberapa negara (Inggris dan Australia) universitas dapat pula mempunyai kebebasan untuk menentukan besaran pungutan (iuran) nya. Di Inggris, Pemerintah telah mengajukan usulan kepada parlemen yang memperbolehkan universitas menaikan tuition fee hingga £3000 dari sebelumnya £1125. Mulai 2006, universitas bebas menentukan besaran tuition fee. Namun, mahasiswa diperbolehkan untuk meminjam uang melalui skema pembiayaan negara (state-run loan scheme) dan dapat melunasi hutang tersebut setelah ybs lulus. Mahasiswa tidak membayarkan tuition fee ini secara langsung kepada universitas tetapi satu perusahaan (Student Loans Company) akan membayarkan kepada universitas dan perusahaan akan menyetor ke rekening mahasiswa sejumlah uang untuk biaya hidup. Di Belanda dan Prancis, pemerintah menentukan besaran tuition fee dan umumnya sama untuk universitas publik dan seluruh program studi. Di Jerman dan Austria hingga kini
117
mahasiswa masih dibebaskan dari membayar tuition fee, meskipun pada beberapa program studi mulai dikenakan. Trend yang muncul di Eropa adalah bahwa partisipasi mahasiswa dalam pembiayaan pendidikan menjadi sangat penting dan tidak dapat dihindarkan. Terkait dengan kebijakan flexible fees yang ditetapkan universitas, kebijakan ini harus dibarengi dengan mekanisme pinjaman kepada mahasiswa yang dapat diangsur setelah ybs lulus.
Tabel 4. Tution Fees beberapa negara OECD, untuk tahun 2000/02 (dalam Euro)
118
LAMPIRAN B (Hasil Diskusi dengan Bp. Wardiman) Pengantar Umum mengenai Situasi Pendidikan di Indonesia
Perlu diketahui bahwa soal pendidikan di Indonesia ini ruwet, luas dan saling terkait. Sudut pandang dan cara kita melihatnya mirip dengan perumpamaan orang yang masuk ke sebuah ruang gelap dan mencoba menggambarkan gajah yang mereka temukan di situ. Bagi yang memegang perut si gajah dalam kegelapan, dia akan keluar dari ruangan dan mendeskripsikan pendidikan sebagai “perut si gajah” (yang besar, bulat, luas); sementara bagi yang kebetulan memegang “ekor si gajah”, dia akan menggambarkannya secara lain (kecil, bulat, dan panjang). Karena itu penyelesaian persoalan pendidikan selalu harus dilakukan dengan cara menyeluruh (holistik) dan tidak dapat hanya satu bagian saja.
Soal Pendidikan menurut beliau bisa dibagi seperti berikut:
Pendidikan di Sekolah •
-
1) Pendidikan Dasar (Universal Education, 9 year education ) yang meliputi
SD-SMP •
-
2) Pendidikan Menengah
•
-
3) Pendidikan Tinggi
Pendidikan di luar Sekolah •
-
4) Pendidikan berkelanjutan atau Continuing Education
Pendidikan Dasar (Universal Education) Bp. Wardiman, selepas menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, saat ini memusatkan perhatiannya pada persoalan nomor 1 (Pendidikan Dasar). Menurut beliau adalah moral obligation dari setiap Negara atau Pemerintah untuk memberikan bekal atau “sangu” kepada
119
seluruh anak bangsa dari 7 sampai umur 15 tahun. (pada umur 16 tahun seorang boleh bekerja). Bekal itu adalah pendidikan dasar selama 9 tahun, dan pendidikan ini harus bebas (sebebasnya, sehingga yang miskin atau dipelosok negara pun dapat menikmatinya). Berarti bahwa setiap anak antara 7-15 tahun dimanapun di Indonesia, harus disediakan sekolah dan guru, lagi lagi tanpa ada pungutan apapun. Jika negara negara Asia lainnya sudah selesai dengan pendidikan dasar ini, maka Indonesia belum selesai, dan ternyata masih jauh dari sasaran. (Masih ada sekitar 5 % anak umur SD tidak bersekolah dan sekitar 2,8 juta anak umur SMP yang tidak mempunyai sekolah sama sekali. Masuk SD dan SMP masih dibebani dengan berbagai pembayaran dan pungutan). Beliau merasa malu dan “berhutang” kepada para pendiri RI karena selama masa jabatannya beliau merasa belum bisa memberikan jalan keluar atas problem pendidikan dasar ini.
Berbagai faktor pelaksanaan pendidikan. Melaksanakan proses pendidikan perlu “keajegan” (kontinuitas), dan proses keajegan ini diperlukan faktor 1. Gedung untuk tempat mengajar lengkap dengan furniturnya (prasarana). 2. Sarana pengajaran, atau bahan ajar, seperti buku, peta dsb. 3. Tenaga pengajar yang memenuhi syarat (qualified) . 4. Biaya operasi sekolah yang wajar. 5. Kurikulum sekolah . 6. Evaluasi (pengawasan) baik akademis maupun non akademis, atau lazimnya disebut quality control. 7. Dinas yang mengurus sistim sekolah diwilayah tsb.
Pada prinsipnya pelaksanaan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi juga memerlukan disediakannya secara cukup 7 faktor tsb diatas untuk menjaga keajegan dan mutu. Meskipun untuk pendididkan menengah dan pendididkan tinggi tidak ada sasaran “universal education” seperti pada pendididkan dasar
Situasi pendidikan dasar saat ini (yang menyedihkan): Pada saat ini ke tujuh faktor tsb. masih dalam keadaan serba kurang.
120
Beberapa contoh:
1.
40.000 ruang belajar SD rusak berat (dari lk 156.000 gedung SD). Sukar dapat
belajar dengan baik jika tidak ada atap, atau tidak ada bangku dan meja. Masih kurang sedikitnya antara 8000 – 10.000 gedung SMP baru (untuk menampung sekitar 2.8 juta anak didik). 2.
Satu murid satu buku (gratis) belum bisa dilaksanakan
3.
Hanya lk 20% dari guru SD memenuhi syarat akademis. Pada umumnya sekolah
masih memerlukan guru, tetapi terbentur kepada anggaran mengangkat guru baru, dan juga guru yang memenuhi syarat dan permintaan Daerah bahwa yang diangkat menjadi guru adalah “putera daerah”. 4.
Biaya operasi sekolah sangat minim, bergantung dari anggaran Kabupaten atau
Walikota ybs. 5.
Kurikulum sekolah belum luwes, melihat berbedanya setiap wilayah yang ada.
6.
Evaluasi atau pengawasan lemah.
7.
Dinas tidak mempunyai staf yang profesional.
Pada tahun 70-an kisah pembangunan SD Inpres adalah suatu success story, karena saat itu dalam 14 tahun Indonesia bisa menaikkan prosentase anak-anak yang menerima pendidikan dasar sampai 88 persen. Bisakah kita ulangi cerita sukses ini untuk SMP? Melihat anggaran yang tersedia dan political will dari penguasa (= Pemerintah dan DPR), mungkin hal ini jauh dari harapan. Pendidikan Dasar yang wajib (compulsory) kiranya merupakan suatu keharusan dan untuk ini diperlukan “kesadaran” dari Penguasa. Jika dilihat dari komposisi tenaga kerja kita, dari 106 juta tenaga kerja, 72 persen-nya adalah lulusan SD atau tidak lulus SD. Dengan tenaga kerja “rendah” yang begitu besar ini, sukarlah bagi Indonesia untuk bersaing dalam era global, bersaing dengan negara negara lain, yang tenaga kerjanya pendidikannya sudah jauh lebih tinggi
121
Usaha perbaikan dari Pemerintah Dua tahun terakhir ini masalah pendidikan menjadi salah satu fokus perhatian, apalagi dengan Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung (PILKADA), maka pendidikan kesehatan dan kesejahteraan bisa langsung jadi isu politik. Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk membebaskan pembayaran untuk pendidikan dasar. Tetapi terjadi salah kaprah, karena belum semua unsur biaya diganti. Baru taraf SPP. Tetapi seperti terlihat di atas masih banyak faktor biaya yang perlu “diganti” atau ditanggung Pemerintah untuk dapat mewujudkan “impian” pendidikan dasar yang sejati, yaitu pendidikan (gratis) untuk semua, dan dimana saja si anak berada. Jika sudah diputuskan “pendidikan gratis”, kiranya betul betul memberikan 100 persen gratis. UU no 2 tahun 1989, yaitu Undang undang wajib belajar, menggariskan adanya pendidikan untuk semua sampai umur 15 tahun. Hanya kewajiban menyekolahkan anaknya terbatas kepada himbauan saja. Wajib Belajar yang “normal” atau sebetulnya, adalah bahwa semua anak umur 7 sampai 15 tahun bersekolah tanpa kecuali. Berarti, di satu sisi, pemerintah harus mewajibkan orang tua menyekolahkan anak-anak mereka dengan sanksi hukum, yaitu orang tua dihukum jika tidak menyekolahkan anaknya. Dan di sisi lain, pemerintah harus memberikan sarana yang cukup – penyediaan sekolah, sarana belajar, anggaran, guru, evaluasi, dsb - diseluruh pelosok negeri, dengan sanksi bahwa orang tua dapat menuntut pemerintah jika lalai menyediakan fasilitas pendidikan untuk itu. UU no 2 th 1989 tersebut tidak dibarengi dengan sangsi yang jelas sehingga hanya berhenti di taraf “himbauan”, karena Pemerintah sadar tidak dapat menyediakan seluruh fasilitas tsb. Dengan demikian, dengan persepsi bahwa adalah kewajiban Pemerintah secara moral dan secara hukum memberi bekal kepada anak didik bangsa (ingat mukadimmah UUD 45: “mencerdaskan kehidupan bangsa”), maka sesungguhnya kurang etis bahwa pemerintah justru “meminta orang tua murid/swasta” untuk ikut membiayai pendidikan dasar. Hal ini tidak etis jika mengakui kewajiban moralnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara mesti mempunyai political will utk menyediakan dan mencarikan biaya pendidikan dalam program kerjanya. Kurang tepat jika Negara malah meminta “swasta” untuk ikut menanggung biaya pendidikan. Pada zaman demokrasi sekarang pembagian Anggaran ditentukan oleh Pemerintah bersama DPR, sehingga kata-kata political will sangat relevan disini, karena penyediaan anggaran (yang besar) utk pendidikan kesehatan dan sosial, hanya bisa dengan mengurangi anggaran untuk proyek proyek lain. Dan disini timbul persoalan pokok: proyek 122
fisik lebih menarik bagi para politisi karena dapat memenangkan Pemilu atau Pilkada berikutnya. Sedangkan anggaran pendidikan baru akan kembali atau terlihat hasilnya setelah 15-20 tahun. Yang akan menikmati adalah tiga atau empat Bupati/ Walikota/ atau Presiden berikutnya. Atas pertanyaan apakah swasta tidak bisa di pajak khusus untuk pendidikan, beliau menyatakan bahwa bukan demikian caranya. 1) Karena pendidikan khususnya pendidikan dasar adalah kewajiban Negara, maka mestinya sebahagian besar atau seluruhnya dari anggaran pendidikan disediakan oleh Negara pula. 2) Swasta sudah dipajak, dan hasil pajak dikumpulkan oleh Negara untuk membiayai Programnya. Jadi persoalannya dari uang pajak yang dikumpulkan itulah biaya pendidikan harus di alokasikan! Lagi lagi kata political will penting disini, karena dalam Negara yang masih serba kurang (seperti Indonesia), maka pengurangan proyek proyek lain akan mengundang reaksi dari mereka yang berkepentingan. (yaitu mereka yang ingin membiayai proyek yang kelihatan cepat hasilnya, agar dapat memenangkan pemilihan berikutnya). Dalam amandemen UUD 45, tercantum pasal bahwa penyediaan Anggaran Pendidikan sedikitnya 20%.
Jika betul betul anggaran 20% disediakan (sekitar 80 trilyun Rp), maka
jumlahnya akan menyamai jumlah pajak langsung yang terkumpul. (NB: Bp. Wardiman akan mencarikan data mengenai ini dari Buku Anggaran Pemerintah). Dengan demikian, kita memang berhadapan dengan persoalan yang sangat ruwet dan saling terkait. Jika anggaran memang akhirnya tidak dapat disediakan, maka menjadi pertanyaan besar bagaimana keajegan (faktor utama penyelenggaraan pendidikan) pendidikan dasar bisa diberikan oleh negara? Jadi, ada suatu problem berat yang di penyediaan anggaran. Pada saat ini pemerintah belum dapat mentaati UUD 45. Dari 400 trilyun APBN kita, mestinya 80 triyun yang disediakan, tetapi nyatanya anggaran pendidikan adalah sekitar 21 trilyun (plus anggaran untuk sekolah kedinasan) (ditambah 5.6 trilyun subsidi BBM). Dalam alam demokrasi ini maka penyediaan anggaran disetujui oleh kedua belah pihak : yaitu pihak pemerintah dan pihak wakil rakyat DPR. Atas pertanyaan bagaimana dengan keadaan pendidikan setelah otonomi daerah (sejak 2000), maka beliau menyatakan akan ada setback selama 10 – 15 tahun. Menurut catatan, dari 440 daerah tingkat II (Kabupaten dan Kota) yang ada, hanya sekitar 40-an yang dinilai cukup
123
« kuat » untuk melangsungkan pendidikan dasar, karena mempunyai anggaran Daerah yang tinggi. Sedangkan sisa daerah lain harus berjuang kuat untuk dapat memantapkan pendidikan dasar dan menengahnya (yang berada dibawah naungan Bupati/ Walikota), karena anggaran mereka untuk menyelenggarakan pendidikan tidaklah besar. Sehingga sebagian besar dari daerah tsb tidak dapat melaksanakan tugas “mencerdaskan bangsa” dengan penuh. Berbedanya kemampuan dan visi para Bupati dan Walikota, akan menimbulkan ketimpangan antar daerah dalam pengembangan SDM mereka. Satu daerah yang “kaya” SDM nya berpendidikan semua sedangkan tetangganya masih tingkat SD plus. Beliau menekankan, bahwa meskipun dalam 10-15 tahun ke depan, perspektif pendidikan dasar bagi anak-anak di negeri kita di sebagian besar daerah akan suram, hendaknya kita semua tetap ikut membantu mencari jalan keluarnya. Karenanya beliau sangat senang dengan insiatif untuk membuat Naskah Kerja pendidikan ini
124