PENDIDIKAN PEREMPUAN: Refleksi Pemikiran TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid ULYAN NAZRI Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, email: i???????? @gmail.com Abstrak Pendidikan bila dilihat dari hak, dan kewajiban, serta tujuannya yang mulia secara umum dapat disimpulkan bahwa pendidikan layak untuk semua manusia tanpa memandang strata sosial, dan jenis kelamin. Namun melihat fakta sejarah bahwa pendidikan merupakan hal yang hanya layak bagi salah satu jenis kelamin manusia (laki-laki). Buramnya sejarah pendidikan kaum perempuan telah banyak menghiasi buku, jurnal, maupun tulisan-tulisan yang sering kita baca. Penindasan pada diri perempuan pada dasarnya bukan hanya melalui teralienasinya mereka dari akses pendidikan tetapi pada sekian banyak hak dasar sebagai seorang manusia ciptaan Tuhan. Kata kunci: Pendidikan Perempuan, Pemikiran Pendidikan, TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid, Lombok.
66 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
Pendahuluan Pendidikan dipahami sebagai kebutuhan manusia yang paling esensial sehingga menjadi sebuah keniscayaan. Mengapa dikatakan demikian? Pendidikan mengajarkan manusia jalan hidup (way of life). Secara teoretis, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di lembaga formal, informal, dan nonformal yang terus berjalan sepanjang hayat untuk mempersiapkan pribadi yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual (IQ, EQ, dan SQ), agar dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya dalam berbagai lini kehidupan secara dinamis untuk masa yang akan datang.1 Pendidikan sebagaimana tujuannya yang mulia yaitu untuk menjadikan manusia menyadari eksistensi, hakikat, maupun potensi dalam dirinya sehingga mampu menjadi manusia yang sempurna (insan kamil), proses penyadaran potensi melalui pendidikan mesti dilakukan pada manusia guna meraih kebahagiaan dalam hidup, dan merupakan jalur bagi perubahan. Fazlur Rahman menyatakan bahwa, apabila ingin membuat sebuah perubahan dalam bidang apapun maka pendidikanlah sebagai jalan untuk menuju hal tersebut.2 Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis, dan fisik.3 Pentingnya pendidikan bagi manusia adalah untuk menjalankan tugasnya dalam hidup. Dalam konteks seperti itu, dunia pendidikan dituntut bisa berkontribusi mengembangkan kemampuan umum pesertanya, termasuk pikirannya, kemampuan mentalnya, keterampilan berpikirnya, kemampuan reflektif serta keunggulan 1 Untuk mendapatkan definisi yang lebih valid tentang pendidikan lihat beberapa buku sebagai berikut: Radja Mudyarahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2002), Cet. Ke-2, hlm. 64. Jasa Ungguh Muliawan, Epistemologi Pendidikan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008), hlm. 137. Bandingkan, H. A. R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet. Ke-2, hlm. 9. Lihat, juga, Abd. Haris dan Kivah Aha Putra, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 17. Ara Hidayat & Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), hlm. 27-28. Bandingkan, Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2011) cet. Ke-9. hlm 18. Barnawi & Mohammad Arifin, Etika & Profesi Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 13. Lihat juga, H. A. R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-3. hlm. 66. Usman, Filsafat Pendidikan: Kajian Filosofis Pendidikan Nahdlatul Wathan (NW) di Lombok (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 123. 2 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), hlm. 264. 3 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 315.
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 67
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
bersikap. Sederhananya, ―pendidikan seharusnya mengembangkan kapasitas pesertanya.‖4 Karenanya, berpendidikan harus dipandang sebagai petualangan seumur hidup, perjalanan eksplorasi potensi diri tanpa akhir. Petualangan itu haruslah melibatkan kemampuan untuk secara terus-menerus menganalisis dan meningkatkan cara serta kemampuan belajar.5 Jika pendidikan secara umum dalam banyak konsep berbicara mengenai pentingnya pendidikan bagi manusia seutuhnya, lalu kemudian bagaimana Islam memandang pentingnya pendidikan agama Islam bagi manusia? Pendidikan menurut Islam, meminjam bahasanya Rahman, harus diorientasikan kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadis.6 Sebagaimana Abuddin Nata menginterpretasikan pendidikan Islam sebagai proses untuk menghasilkan manusia (ilmuwan) integratif, yang padanya terkumpul sifatsifat seperti kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, jujur, dan sebagainya. 7 Islam datang membawa ide-ide humanis, dan Islam datang untuk mengahapus kebiasaan orang Arab Jahiliyah yang memandang salah satu jenis kelamin rendah dan itu kemudian menjadi alasan untuk menindasnya. Pertanyaan selanjutnya bagaimana Nabi Muhammad Saw. menghadapi kondisi terpuruk itu? Apakah Nabi Muhammad Saw. memberikan hak-hak yang sama kepada perempuan? Bagaimana Islam memberikan kebebasan dalam hal pendidikan? Nasib perempuan sepanjang sejarah yang dijelaskan di atas menjadi salah satu bukti di mana posisinya sebagai manusia ciptaan Tuhan yang semestinya harus diperlakukan sama sebagaimana manusia lainnya. Tetapi, alasan jenis kelamin yang berbeda dan karakteristik yang dikonstruksi lemah serta rendah oleh sosial menjadi alasan kenapa perempuan dalam banyak kasus termarginalisasi dan mendapatkan perlakuan yang tidak wajar, padahal sebagai manusia ciptaan Tuhan harus memperoleh pendidikan berkeadilan. Oleh karenanya pendidikan menjadi sangat penting, terutama bagi perempuan, karena perempuan yang berpendidikan mempunyai peluang untuk meningkatkan pengetahuannya sehingga kesadaran akan 4Sayling Wen, Future of Education: Masa Depan Pendidikan, terj. Arvin Saputra (Batam Centre: Lucky Publishers, 2003), hlm. 66 5Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning for The 21 Century: Cara Belajar Cepat Abad XXI, terj. Dedy Ahimsa (Bandung: Nuansa Cendekia, 2002), hlm. 14-15. 6Muhaimin, dkk., Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam (Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999), hlm. 110. Sedangkan menurut Abdurrahman An-Nahlawi dalam Achmadi menjelaskan, pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah. Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar ―transfer of knowledge‖ ataupun ―transfer of training‖, tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi ―keimanan‖ dan ―kesalehan‖, yaitu suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan. Lihat, Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 26. Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 33. 7 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 170-171.
68 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
hak-haknya meningkat dan bertambah perannya dalam aspek kehidupan. Pendidikan juga merupakan sarana bagi perempuan untuk berperan serta secara efektif dalam demokrasi untuk menyalurkan hak politik dan hak asasi mereka. Selama ini perempuan sangat tertinggal di bidang ini karena rendahnya pendidikan yang diperoleh.8 Dengan tingkat pendidikan yang rendah, dapat dipastikan bahwa sosialisasi peran perempuan rendah dan laki-laki melestarikan stereotip yang ada selama ini.9 Pendidikan bila dilihat dari hak, dan kewajiban, serta tujuannya yang mulia, sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas tentang pendidikan, secara umum dapat disimpulkan bahwa pendidikan layak untuk semua manusia tanpa memandang strata sosial, dan jenis kelamin. Namun melihat fakta sejarah bahwa pendidikan merupakan hal yang hanya layak bagi salah satu jenis kelamin manusia (laki-laki). Buramnya sejarah pendidikan kaum perempuan telah banyak menghiasi buku, jurnal, maupun tulisan-tulisan yang sering kita baca. Penindasan pada diri perempuan pada dasarnya bukan hanya melalui teralienasinya mereka dari akses pendidikan tetapi pada sekian banyak hak dasar sebagai seorang manusia ciptaan Tuhan. Stereotip budaya (kultural) seperti adanya anggapan bahwa perempuan merupakan sosok manusia yang secara kebudayaan memang tidak memerlukan pendidikan tinggi. Dalam hal ini, perempuan hanya menjadi pelengkap saja yaitu hanya menjadi istri dan merawat anak-anaknya di rumah. Terbukti dengan adanya aggapan di masyarakat patriarkhi yang mengatakan bahwa, ―Setinggi apapun tingkat pendidikan perempuan akhirnya mereka akan bekerja di dapur‖. Opini ini sangat menyudutkan perempuan dan sangat membatasi geraknya karena menganggap perempuan sebagai makhluk kedua (second creation) di muka bumi ini. Dan, tidak ada keuntungan dengan menyekolahkan anak perempuan. Pandangan apriori di atas yang menyebabkan kenapa angka partisipasi pendidikan di kalangan perempuan masih rendah. Banyak perempuan, terutama di daerah pedesaan, yang kemudian tidak melanjutkan pendidikannya. Jika sudah lulus sekolah dasar, maka sudah dianggap cukup, yang penting bisa membaca. Sungguh ironi sekali nasib perempuan. Sepanjang sejarah manusia berinterkasi dan berdialektika dengan sosial-kultural, perempuan yang paling dominan mendapatkan perlakuan tidak wajar. Oleh karena itu, haruslah ada pemihakan kepada kaum perempuan. Secara menyeluruh, berkeadilan dan toleran, karena kalau dipandang dari sisi rasionalitas (intelektual), kita semua sepakat dan berkeyakinan bahwa banyak Rika Saraswati, ―Perempuan, Belum ada Keadilan Jender di Segala Bidang Hukum dan Modernitas”, Diskusi Akhir Tahun Unika Soegijapranata 2003, Paradoks Modernitas, Ungaran: 22-23 Desember 2003, hlm. 5-6. 9 Tri Marhaeni P. Astuti, ―Perempuan Perkasa Ditengah Hutan: Kasus buruh Perempuan Argo industri Minyak Kayu Putih di Grobogan Jawa Tengah‖, Stri Jurnal Studi Wanita, Jakarta, Desember 2002, Vol. 1, No. 2, hlm. 116. 8
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 69
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
anak perempuan yang cerdas dan memiliki potensi untuk melanjutkan pendidikannya. Jika tidak ada kebijakan yang membela kaum perempuan di dalam pendidikan, maka akan banyak potensi perempuan yang tidak bisa dimaksimalkan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stereotip, marginalisasi, subordinasi, double burden,10 dan violence (kekerasan) merupakan frase pendek yang cukup mewakili bentuk-bentuk penindasan yang terjadi pada diri perempuan sejak pergumulannya dalam eksistensi kehidupannya. Para kaum feminis dari beberapa dekade terakhir telah dengan lantang menyuarakan, memperjuangkan, bahkan melawan segala bentuk penindasan pada kaum perempuan dengan berbagai cara. Salah satu (mungkin) yang paling fenomenal adalah aksi Amina Wadud Muhsin menjadi Khatib sekaligus Imam shalat Jum’at di sebuah gereja di New York11 yang menuai polemik. Akan tetapi satu hal yang sebenarnya diinginkan adalah konsep egaliterianisme tanpa memandang jenis kelamin, strata sosial, keturunan dan sebagainya. Sebagaimana pendapat Morteza Mutahhari yang menjelaskan status perempuan dalam al-Qur’an dengan menitikberatkan persamaan bagi keduanya, Islam telah mengakhiri praktik memandang kaum perempuan secara rendah dan menghina.12 Al-Qur’an telah menjaga keseimbangan dalam sejarah yang dituturkannya dengan secara eksplisit menjelaskan bahwa yang membedakan antara laki-laki dan perempuan adalah perbuatan yang mulia (takwa). Tidak kemudian dari jenis kelamin menjadi alasan untuk menindas perempuan dan karena jenis kelamin menjadikan perempuan terhalang untuk memperoleh hak-hak sebagai manusia—perbedaan jenis kelamin tidak lain hanyalah sekedar kepada penanda. Sedangkan dalam pandangan Mazhab Abu Hanifah sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab, banyak persamaan perempuan dan laki-laki. Mereka sama dalam kemanusiaan, sama dalam asal kejadian, sama dalam hak-hak sipil mereka. Perempuan boleh menjual, membeli, kawin, mengawinkan (dirinya) sendiri, menjadi hakim, dan saksi.13 Nilai-nilai yang telah dijelaskan oleh tokoh-tokoh di atas mengindikasikan hal yang sama antara kedua belah pihak. Nilai-nilai tersebut dapat dikategorisasikan 10 Beban Kerja (double burden): Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin, dan tidak cocok menjadi kepala keluarga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Oleh karena itu beban kerja perempuan menjadi berat dan alokasi waktu yang lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga; mulai dari mengepel lantai, memasak, dan merawat anak dan sebagainya. 11 Baca, Amina Wadud, Inside The Geder Jihad: Women`s Reform in Islam, (England: Oneworld Oxpord, 2006), hlm. 29. Juga disebutkan dalam Asma Barlas, ―Amina Wadud’s Hermeneutic’s of the Qur’an: Women Rereading Sacred Texts‖ dalam Taji al-Faruqi (ed), Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 98. 12 Baca Morteza Mutahhari, The Right of Woman in Islam, terj. M. Hashem, Wanita dan Hak-hak Dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 90. 13 M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an: Kalung Permata Buat Anak-anakku (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Hlm. 19-20.
70 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
sebagai egaliter, yaitu lebih kepada persamaan hak dan kewajiban seperti hak-hak sebagai abdi (hamba), antara laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki perasaan yang mereka upayakan untuk diperhatikan dan tidak dilukai, keduanya ingin dan berhak memperoleh penghormatan yang wajar, bahkan semua senang untuk mendapatkan penghargaan dan pujian dan enggan diperlakukan sebagai barang dan binatang begitulah kata Quraish Shihab.14 Masing-masing memiliki keinginan untuk menentukan dan meraih apa yang dianggapnya baik, dan untuk itu masing-masing memerlukan tanggung jawab untuk meraihnya, dan termasuk hak-hak untuk memperoleh pendidikan yang layak bagi perempuan tanpa melihat jenis kelamin dan sifat yang sudah terlanjur dituduhkan kepadanya. Banyak tokoh pemerhati dan pejuang hak-hak perempuan di Nusantara. Di Pulau Jawa, misalnya, R.A. Kartini merasa resah dengan sistem patriarkhis yang berlaku pada masanya. Tokoh perempuan Indonesia ini kemudian mengabadikannya dalam bentuk surat,15 disampaikan kepada Nona Stella Zeehandelaar 16 pada tanggal 25 Mei 1899. Surat Kartini menginformasikan dan memberikan afirmasi bahwa kondisi perempuan secara umum dalam aspek pendidikan masih tabu dan mendapat klaim negatif dari masyarakat, divonis melanggar adat apabila perempuan keluar dan sekolah. Dalam kondisi perempuan terpuruk, Kartini berjuang membela perempuan untuk memperoleh pendidikan, sehingga tokoh ini dikenal dengan ibu pendidikan di Indonesia yang selalu dikenang setiap tahun. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tokoh pemerhati dan pejuang hak-hak perempuan yang mengemuka adalah TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid. Ia telah memperjuangkan konsep egaliter dalam pendidikan sejak tahun 1932. Gambaran mengenai kedudukan dan peran perempuan Lombok masa itu, menurut hipotesis penulis, tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain yang juga masih kental budaya patriarkhis.17 Langkah mendirikan lembaga pendidikan bagi perempuan merupakan hal yang sangat berani mengingat konteks historis kehidupan masyarakat Lombok, kala itu, masih menganggap bahwa mendidik perempuan berarti mengajarkan mereka untuk berlaku amoral, dengan mendidik mereka (perempuan) berarti melakukan tindakan di luar agama. Perempuan Lombok hampir tidak pernah 14
Ibid.
15 Redaksi
surat tersebut berbunyi: ―Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi ke sekolah, ke luar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat‖. Lihat, Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, terj. Arminj Pane (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), hlm. 32. 16 Stella Zeehadelaar merupakan sahabat pena yang pertama R. A. Kartini. Ia sering mengirim surat (tulisan) di majalah perempuan De Hollandsche Lelie, lewat iklan di majalah tersebut ia kemudian mendapat banyak sahabat, salah satunya Zeehandelaar. 17 Budaya patriarchal (patriarkhi) merupakan budaya yang di dalamnya kaum laki-laki diasumsikan oleh sosial untuk mengatur perempuan, menjadi jenis kelamin yang lebih kuat. Lihat, Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, Matriarki, Gender, terj. Pipit Maizer (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), hlm. 177.
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 71
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
merasakan pendidikan, termarginalisasi—pendidikan nonformal dari pihak keluarga dan lingkungan mereka hanya sekedar pembekalan untuk mengatur urusan dapur dan rumah tangga saja. Hal tersebut memasung kebebasan kaum perempuan, baik kebebasan berkehendak, berpikir dan berbuat yang semestinya menjadi hak asasi setiap insan. Perempuan terkekang dan tunduk di bawah kekuasaan kaum lelaki, dan lebih ekstrem lagi terkekang oleh kolonial. Lombok di bawah tirani penjajahan Belanda dan Jepang. Era itu pendidikan yang berbau Islam sering dicurigai oleh kolonial sebagai tempat mengatur perlawanan. Tetapi, sungguh menarik dan menakjubkan TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid mampu mendirikan madrasah Islam yang diperuntukkan bagi kaum perempuan bernama Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI). Pendirian madrasah perempuan itu merupakan buah pemikiran dan bukti perjuangan Pendirinya—khususnya pendidikan perempuan—yang tak dapat dipandang sebelah mata, mengingat konteks lokal Pulau Lombok dengan budaya patriarkhi yang sangat mengakar dan masih dalam belenggu penjajahan Belanda pada saat itu, ditambah lagi dengan pandangan apriori mengenai perempuan. NBDI lahir dengan segala kontroversi yang timbul pada masanya berkembang dan masih berdiri hingga saat ini. Kontribusi dan kiprah sebuah lembaga yang dibangun dalam masa penjajahan ini menjadi sebuah hal yang layak untuk dijadikan bahan kajian bagi para pemerhati pendidikan khususnya para pemerhati dunia pendidikan perempuan. Selanjutnya adalah pendirian lembaga perempuan ini (NBDI) tidak akan terwujud tanpa perjuangan tokoh utama TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid yang dengan gigih mendirikannya di tengah cacian, cemooh bahkan sanksi sosial yang dihadapinya. Pendidikan Islam Perempuan Perspektif TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid ialah sosok intelektual-religius Lombok yang memiliki basis pendidikan dan pengalaman yang luas, perjalanan intelektualreligiusnya dimulai dari pendidikan konservatif-konvensional Lombok sampai Dunia Arab khas Timur Tengah. TGH. Beliau adalah ikon yang getol memperjuangkan terciptanya peradaban baru Islam melalui pendidikan yang berbingkai keadilan, kesetaraan dan kemuliaan bagi laki-laki dan perempuan sekaligus. Secara kultural, perempuan pada masa itu dianggap melanggar norma adat apabila perempuan sekolah. Jangankan bersekolah, keluar rumah pun adalah suatu yang terlarang.18 Sepulang dari Mekah, TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid, menghadapi dua medan perjuangan: pertama, perjuangan melawan musuh yang nyata, 18 Wawancara dengan Tuan Guru Haji Lalu Muhammad Anas Hasri (Anjani: Senin 07 Januari 2014 sekitar Jam 08. 05) di Ruang Masyaikh Ma’had Darul Qur’an wal Hadis al-Majidiyah AsSyafi’iyah Anjani Lombok Timur.
72 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
yakni pemerintah kolonial. Kedua, perjuangan melawan kebodohan dan keterbelakangan umat. Sebagai figur yang memiliki intelektualitas-religius yang mapan menggiringnya untuk melakukan tindakan pembaruan dengan mendekonstruksi mainstream sosial-kultural masyarakat Lombok secara gradual melalui lembaga pendidikan (perempuan), dengan sistem klasikal, sebagaimana yang lazim diterapkan di Timur Tengah. Lebih jauh, untuk memahami secara tepat konsep Maulana Seikh terkait ihwal hak perempuan dalam pendidikan, maka tulisan tangan (ejaan lama) TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid19 dapat menjadi pintu masuk untuk mengurainya. Kepoetoesan tentang pendirian Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI). Mengingat: Beberapa Hadis jang di antaranya: 1. Hadis pertama tentang kewajiban menuntut ilmu:
َطلَ ُب الْ ِع ْ ِْل فَ ِريْضَ ٌة عَ ََل ُ ُِك ُم ْس ِ ٍْل َو ُم ْس ِل َم ٍة Jang Menoentoet ilmoe itoe adalah wajib bagi kaoem moeslimin dan moeslimat (kaum wanita). [H.R. Ibnu Majah]. 2. Hadis kedua tentang kedudukan perempuan:
َال ِن َسا ُء ِ َِعا ُد الْ ِب َال ِد ادَا َصلُ َح ْت َصلُ َح ِت الْب َِال ُد َوادَا فَ َسدَ ْت فَ َسدَ ِت الْب َِال ُد ِ ِ
Jang Kaoem wanita meroepakan tiang negeri, apabila kaoem wanita itoe baik, negeri itoe mendjadi baik, dan apabila kaoem wanita itoe tidak baik, maka negeri itu roesak. Menimbang:
1. Bahwa berdasarkan Hadis-hadis terseboet di atas, maka kaoem wanita perloe diberikan pengadjaran dan pendidikan agama agar tidak ketinggalan dari kaoem lelaki, sebab kaoem hawa adalah teman sedjawat kaoem lelaki berdjoeang membela agama, menjalankan kebenaran, memberantas kebatilan, kegelapan dan kezoliman, memajukan masyarakat negeri dalam menoedju kebahagian doenuia aehirat. 2. Oleh karena kaoem lelaki soedah mempoenjai Madrasah tempat moentoet ilmoe, ja’ itoe Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI), maka kaoem hawa perloe diboeatkan madrasah agar mereka dapat beladjar ilmoe agama dan ilmu-ilmu lain seperti kaoem lelaki, dan madrasah oentoek kaoem hawa ini kita namakan dia Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI). Memoetuskan; Menetapkan: 1. Membentoek dan mendirikan madrasah chusoes tempat kaoem wanita menoentoet ilmoe agama dan ilmoe-ilmoe lain, ja’ itoe Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI). 2. Ditetapkan di pantjor pada tanggal 15 Rabi’oel achir 1362 H (21 April 1943 M). Pendiri
ِ ِ ِ ِ ِالَ ََ ِد َ ِِ ْْ ََ ََ ْْ َِواهللُ الْ ُم َواف ُق َوا ْلَـََـد
(K. H. M. Zainoeddin Abdoel Madjid)
19 Tulisan ini berhasil penelti dapatkan di arsip Madrasah Aliyah Mua’limat Nahdlatul Wathan (MA Mu’alimat NW Pancor) pada hari Rabu 08 Januari 2014.
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 73
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
Tulisan tangan di atas menjadi dasar pemikiran TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid tentang pendidikan Islam perempuan. Hal ini dilatari ooleh posisi manusia dalam aspek hak dan kewajiban mendapatkan pendidikan yang layak, berkeadilan dan toleran merupakan aspek yang paling fundamental dalam Islam; kewajiban bagi semua manusia. Dengan kalimat yang menyatakan “menuntut ilmu itu adalah wajib bagi kaum muslimin dan muslimat” dikategorisasikan sebagai pandangan teologis. Islam memandang bahwa posisi dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Pendidikan Islam bertugas untuk menghantarkan, memberikan pemahaman tentang nilai persamaan, kemerdekaan, dan kesempatan, dengan tujuan agar dapat direalisasikan dalam kehidupan umat manusia tanpa diskriminasi, marginalisasi, subordinasi, dan stereotype. Kaitannya dengan konsep demokrasi dalam pemikiran TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid tentang pentingnya kesetaraan dalam aspek pendidikan bisa dilihat dari pernyataan di atas tentang keputusannya mendirikan madrasah khusus perempuan setelah berhasil mendidik kaum laki-laki melalui Madrasah NWDI. Dari kedua madrasah yang berdampingan itu, bisa diambil spirit pemikirannya tentang empat konsep dasar: keseteraan, demokrasi, keadilan, dan kebebasan dalam aspek pendidikan. Dalam hadis yang kedua, pandangan TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid tentang pendidikan Islam bagi perempuan, yaitu: ―Kaoem wanita meroepakan tiang negeri, apabila kaoem wanita itoe baik, negeri itoe mendjadi baik, dan apabila kaoem wanita itoe tidak baik, maka negeri itu roesak‖ dapat ditarik kesimpulan bahwa perempuan disebut sebagai tiang negara karena perempuan merupakan pendidikan awal bagi anak, apabila perempuan tidak baik, maka generasi penerusnya otomatis demikian. Dalam hal ini, TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid berkeinginan keras untuk kembali mengaplikasikan nilai persamaan dan kesetaraan yang harus dilaksanakan dalam mengembangkan pendidikan yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan sebagaimana yang sudah banyak dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Lewat lembaga yang didirikan (Madrasah NWDI dan NBDI) merupakan tempat di mana akan diberikan pemahaman tentang kewajiban menuntut ilmu sebagai dasar bertindak dan beribadah secara total. Analisis reflektifnya dapat disimpulkan, individu yang memilki ilmu yang tinggi, akan teraktualisasi iman, di mana iman merupakan nilai yang berdimensi vertikal yang mengakui dan percaya kepada Tuhan selain Allah Swt. Selanjutnya dengan keimanan akan teraktualisasi ajaran-ajaran sakral sebagaimana terkadung dalam kitab suci (al-Qur’an), di mana dalam al-Qur’an merupakan ajaran yang syarat dengan nilai humanis yakni keadilan, kesetaraan, saling mengahargai, dan tidak saling merendahkan. Apabila nilai humanis tersebut dapat dipahami secara intens maka secara otomatis anggaapan yang rendah terhadap perempuan akan terbantahkan, dan selesai sudah anggapan negatif yang ditujukan kepada perempuan setelah laki-laki
74 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
mendapat pengajaran total tentang Islam, di mana telah dijelaskan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi dan menghargai kaum perempuan. Dasar-dasar Pemikiran TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid tentang Pendidikan Islam Perempuan Karena insan dijadikan Tuhan Mengabdikan diri sepanjang zaman Bukan pokoknya makan dan makan Tapi pokoknya bersihkan iman20
Dimensi iman dalam wasiat di atas merupakan faktor yang utama dalam jiwa umat Islam, karena dalam membentuk pribadi Islam yang taat kepada perintah Allah Swt. baik itu laki-laki dan perempuan, yang utama dihidupkan adalah iman, karena dengan iman akan tercipta perilaku sakral baik dalam berhubungan dengan Tuhan (vertikal) maupun hubungan dengan sesama manusia (horizontal). Dalam menumbuhkan nilai iman dan takwa dalam hidup, sebagai hamba Tuhan dalam bumi yang menjalankan perintah dan menjauhi segala rangan-Nya dibentuk sejak dini melalui pendidikan yang berkeadilan tanpa memandang bulu, perempuan sama-sama hamba Tuhan yang harus menadapat perhatian untuk memperoleh pendidikan Islam sebagaimana laki-laki. Disinilah peran sentral TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid mengangkat harkat dan martabat perempuan dalam hal beribadah kepada Tuhan, dimensi iman yang utama yang ditumbuhkan untuk membantah adat yang menganggap perempuan tidak boleh sekolah dan keluar rumah. Karena dengan memiliki iman yang teguh, sikap rendah dalam pandangan kaum laki-laki kepada perempuan akan sirna dengan diketahuinya manusia dalam pandangan Allah Swt. tidak dibedakan, yang membedakannya adalah ketakwaan. Gagasannya dalam memberdayakan perempuan muncul sebagai refleksi dan wujud kepedulian intelektual TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid terhadap realitas perempuan Lombok telah dipinggirkan dalam relasi laki-laki. Ide emansipasi perempuan yang dicetuskan oleh TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid timbul karena pandangan masyarakat Lombok masih beranggapan perempuan rendah, lemah, dan terlalu emosional. Di antara mainstream masyarakat dengan budaya patriarkhi dapat dilacak dibawah ini: 1. Masyarakat menganggap bahwa pendidikan perempuan tidak peting. Bahkan masih ada yang mempertanyakan apakah boleh menurut syara’ mendidik perempuan, seringkali diklaim melanggar adat kalau perempuan keluar rumah dan sekolah 2. Masyarakat waktu itu memandang perempuan hanya sebagai objek seksual dan menjadi pengganggu kaum pria. 20
Ibid…, hlm 63.
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 75
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
3. Posisi perempuan masih dalam otoritas kaum laki-laki, dalam banyak kasus sejarah perempuan menginformasikan perempuan harus dimanjakan, ucapan tersebut mengindikasikan bahwa perempuan kesannya lemah. Perempuan harus di dalam rumah tidak boleh keluar. Dalam hal di atas menurut TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam memberantas moral yang rendah kepada perempuan adalah dengan cara menghidupkan nilai iman, karena menurutnya dengan nilai iman akan termanifestasi sifat toleran, sakral, dan berkeadilan kepada perempuan. Dan untuk menumbuhkan kedua nilai sentral Islam (iman dan takwa) yang paling efektif menurutnya adalah melalui lembaga pendidikan Islam. Pentingnya penekanan terhadap aspek pendidikan moral dengan menanamkan nilai-nilai iman dan takwa yang pertama. Pendapat tersebut mengisyaratkan beberapa kemungkinan bahwa pendidikan moral yang berdimensi nilai iman dan takwa akan dengan sendirinya mengarahkan manusia kepada konsep tauhid dalam Islam. Bahwa dengan aturan moral dapat ditarik hikmah akan adanya pencipta yang mengatur segalanya di bawah satu Pengatur yaitu Tuhan. Dan juga bahwa pendidikan moral merupakan bentuk lain dari pendidikan tauhid. Sampai di sini kiranya apa yang ingin ditafsirkan oleh TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid tentang hadis ―Bu’itstu li utammima makaarimal akhlaaq‖. Keutamaan pentingnya pendidikan moral yang berangkat dari keteguhan iman yang teraktualisasi dalam bentuk takwa (berlandaskan kepada nilai iman dan takwa) merupakan nilai moralitas utama yang memiliki urgensi nilai yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian manusia. Bahwa semua krisis yang melanda manusia termasuk di dalamnya krisis spiritual lebih disebabkan oleh hancurnya pendidikan Akhlak. Terutama pandangan yang masih rendah kepada perempuanya juga disebabkan karena kurang moral yang berdimensi iman dan takwa. Minusnya moral (akhlaq) ini akan membuat predikat manusia yang mulia–dengan akhlaq dan takwa– turun menjadi hina. Salah satu upaya pemberdayaan perempuan dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan Islam dan latihan bagi kaum perempuan yang bergerak dalam seluruh bidang atau sektor. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas sumber daya perempuan yang mempunyai kemampuan dan kemandirian, dengan bekal kepribadian, memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan, keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini diharapkan menumbuhkan kepekaan dan kepedulian terhadap perempuan dari seluruh masyarakat, penentu kebijakan, pengambil keputusan, perencana dan penegak hukum serta pendukung kemajuan dan kemandirian perempuan. Penekanan inti sari pembaruan (tajdid) pendidikan Islam bagi semua kalangan baik laki-laki dan perempuan dapat diambil benang merahnya dari karyanya dalam Wasiat Renungan Masa I dan II yang sudah dijelaskan di atas menurut TGH. M.
76 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
Zainuddin Abdul Madjid dalam rangka menyelamatkan umat dari budaya patriarkhi mulai dari paham animisme dan pandangan masyarakat tentang perempaun masih menganggap rendah adalah dengan menanamkan pendidikan moral yang berlandaskan nilai ketauhidan. Baginya, seorang perempuan sekalipun hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetap memiliki tanggung jawab sosial atas kesejahteraan masyarakat, agama, dan tanah airnya. Tanggung jawab itu dapat diberikan melalui pendidikan, baik di lingkungan keluarga (domestik) maupun di sekolah (publik). Barangkali, seandainya TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid masih hidup ia akan sepakat dengan gagasan masa kini yang menyebutkan bahwa membangun masyarakat tanpa melibatkan perempuan bagaikan seekor burung yang terbang dengan satu sayap. Mendidik seorang perempuan berarti mendidik semua manusia. Karena, sebagaimana diyakini oleh banyak orang, pendidikan dapat memberikan sumbangan yang besar bagi upaya memodernisasi suatu masyarakat. Dan nampaknya TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid mempunyai pemikiran yang mulia tanpa memandang jenis kelamin, semuanya berhak berpendidikan karena sama-sama abdi Tuhan, dalam menjalankan tugas sebagai manusia, pendidikanlah sebagai sebuah solusi yang tepat. Melalui madrasah yang didirikannya merupakan bukti pemikirannya tentang perempuan yang memandang perempuan wajib membekali dirinya dengan ilmu sebagai pedoman dalam menjalankan tugas dalam hidup baik itu tugas dalam melaksanakan perintah Tuhan dalam kitab suci (vertikal), tugas menjadi istri, tugas menjadi ibu bagi anak-anaknya dan bersosialisasi dengan baik dengan masyarakat di sekelilingnya (horizontal). Wasiat TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid mengenai wajib belajar: Aduh sayang! Belajar olehmu segala macam Ilmu yang mufid ningkatkan umam Jangan belajar ilmu jahannam Perusak iman, perusak Islam Aduh sayang! NWDI dan NBDI mu Jalan menuju ke langit ilmu Terus kebulan sampai bertemu Sinar yang lima nyinari penjuru21
Dari kedua bait sya’ir di atas mengindikasikan bahwa perhatiannya kepada semua umat mengenai wajibnya menuntut ilmu yang bermanfaat (mufid) sebagai benteng dan bahtera untuk mengarungi hidup yang penuh dengan problematika, maka pesan selanjtunya yaitu jangan sampai belajar ilmu yang hanya digunakan
21 Tuan Guru Kiai Haji Muhammad TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid Abdul Madjid, Wasiat Renungan Masa…, hlm. 95.
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 77
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
untuk berbuat buruk (jangan belajar ilmu jahannam) karena menurutnya sebagai perusak iman, dan perusak Islam. Peran Perempuan dalam Pendidikan Perspektif TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid Dalam Wasiat Renungan Masa TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid berpendapat tentang peran perempuan: Kaum Wanita tetap wanita Sekalipun S. H. dan Doktoranda Wajib berjuang dengan pelita Membela agama, nusa dan bangsa22
Dari wasiat di atas dapat di analisis bahwa wanita pada dasarnya secara kodrat tentu berbeda dengan laki-laki, tapi dalam hal peran, jelas menurutnya tidak ada perbedaan, perempuan yang memiliki intelektualitas tinggi di gambarkan dalam Wasiat di atas ―sekalipun mendapat gelar Serjana Hukum, dan Doktoranda”, mengindikasikan bahwa dalam hal peran untuk membela agama, yakni ikut serta dalam mendidik masyarakat untuk membela agama, nusa dan bangsa. Keikutsertaan perempuan dalam mengambil peran sebagai pendidik dalam pendidikan Islam merupakan wajiab bagi mereka yang sudah mempunyai ilmu (Sarjana dan Doktoranda), jadi perempaun wajib mengamalkan ilmu yang dimlikinya (transfer of knowledge) bagi kemajuan agama, nusa dan bangsa. Bagitu sangat pentingnya pendidikan menurut TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid yang harus diajarkan bagi generasi berikutnya, maka tidak luput dari perhatiannya bagi kaum perempuan yang mempunyai pendidikan yang tinggi wajib mengamalkan Ilmu yang dimilikinya demi kesejahteraan masyarakat dan kemajuan Negara. Karena perempuan yang sadar akan pentingnya pendidikan Islam harus dijunjung tinggi dan ditekaknkan oleh TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid untuk mengamalkan ilmu yang dimilikinya kepada peserta didik supaya menjadi manusia dewasa dan sempurna, yang didasarkan pada tujuan untuk menumbuhkan kepribadian total manusia secara seimbang, yaitu melalui latihan spiritual, intelektual, rasional, perasaan dan kepekaan manusia, sampai dengan kepasrahan total kepada Allah Swt. baik pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya. Sebagaimana ungkapan TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam tulisan tangannya yang juga telah jelaskan pada bab di atas menegaskan: ―Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap manusia baik laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid menambahkan, berdasarkan Hadis-hadis tersbut di atas, maka kaum wanita perlu diberikan pengajaran dan pendidikan agama, agar tidak ketinggalan dari kaum lelaki, sebab kaum hawa adalah teman sejawat kaum lelaki berjuang membela agama, menjalankan kebenaran, memberantas kebatilan, kegelapan dan kezhaliman, memajukan masyarakat negara menuju kebahagian dunia akhirat‖. 22
Ibid.
78 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid melanjutkan argumentasinya, tentang peran penting perempuan yang dipandang perlu direalisasikan dengan melihat tugas manusia seutuhnya sebagai penegak ajaran Tauhid yang tetap konsekwen dalam ajaran Islam, maka perempuan menurut TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid: ―Oleh karena kaum lelaki sudah mempunyai Madrasah tempat menuntut ilmu, yaitu Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI), maka kaum hawa perlu dibuatkan madrasah agar mereka dapat belajar ilmu agama dan ilmu-ilmu lain seperti kaum lelaki, dan madrasah untuk kaum hawa ini kita namakan dia Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI‖).
Dari ungkapan di atas dapat diverifikasi pesannya yang mempunyai dimensi prinsip keadilan, demokrasi, kesetaraan, dan prinsip kebebasan pada aspek mendapatkan pendidikan. Mendidik perempuan salah satu prioritas TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid pada saat Lombok ketika itu terbelakang dalam bidang pendidikan. Maka pendirian madrasah khusus untuk mendidik perempuan setelah mendirikan madrasah untuk laki-laki ini jelas bertujuan untuk membangun kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam hal bersama-sama mendidik generasi umat menuju kesejahteraan dunia dan akhirat. Berdasarkan hasil wawanacara penulis sebagai sebuah afirmasi yang valid tentang faktor-faktor yang melatar belakangi pemikiran TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid tentang pendidikan Islam bagi perempuan menurut pembacaan salah satu muridnya: ―Melihat kondisi perempuan dalam budaya Lombok sepanjang sejarahnya yang masih terbelakang dalam aspek pendidikan. Laki laki masih berpandangan negatif kepadanya. Ahkirnya pendirian madrasah untuk mendidik perempuan bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan yang cenderung masih dianggap remeh oleh pihak laki-laki, kemudian dari madrasah itulah akan diberikan pemahaman bagaimana Islam memuliakan perempuan, bagaiman Islam memberikan kedudukan yang adil dan bagaimana Islam memberikan balasan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam hal melaksanakan tugas menjadi hamba Allah yang darinya tidak dibedakan dalam hal pemberian apresiasi (pahala)‖.23
Perempuan juga dalam pandangan TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid menurut penuturan kepala sekolah Madrasah Aliyah Mu’alimat NW Pancor di lihat dengna pendekatan emosionalmengambil perhatiandalam proses belajar mengajar sebagai berikut: ―Perempuan dalam pandangan TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid sebelum proses belajar mengajar berlangsung, seringkali mereka diprioritaskan, contoh kecil mereka (perempuan) didahulukan dalam hal reward (dalam bentuk pemberian manisan) dengan tujuan supaya bersemangat menerima penjelasan darinya.‖ 24
23
Wawancara dengan Tuan Guru Haji Muhammad Faisal (Pringga Baya: Sabtu 04 Januari
2014). 24 Wawancara dengan Kepala sekolah MA Mu’alimat NW Pancor. Drs. Khumaidi Mamben (Pancor: Senin 07 Januari 2014 sekitar Jam 02) di Ruang Kepala Sekolah.
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 79
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
Kemudian dalam konteks lain, pandangan TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam hal menyebar luaskan agama Islam dan menghidupkan sunnah Rasul Saw. sebagaimana yang dijelaskan oleh Tuan Guru Haji Lalu Anas Hasri: ―TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid merupakan figur yang teguh, tekun, ihklas, istiqamah, dan sabar dalam memperjuangkan akhlak masyarakat yang masih dalam jurang kebodohan, melalui lembaga pendidikan ia meretaskan masalah umat, tidak hanya itu, beliau juga aktif terjun ke masyarakat, dengan membuka pengajian umum di masjid, desa-desa dan di mushalla yang diperuntukkan untuk kedua belah pihak baik itu laki-laki dan perempuan.‖25
Analisis reflektif penulis tentang pandangan TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid dengan empat konsep yang menjadi keharusan atau prioritas untuk mengentaskan kebodohan yaitu keadilan, kesetaraan, demokrasi dan kebebasan dalam pendidikan merupakan empat hal yang menjadi ajaran dalam Islam. Dengan keempat prinsip ini juga sudah lama dipraktekkan oleh Rasullah Saw. dan TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid mewujudkan kembali prinsip itu ketika melihat kebobrokan moral masyarkat yang masih memilki kecenderungan menerobos batas-batas agama konvensional. Nilai kebebasan dalam pandangan TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid berbeda dengan nilai kebebasan yang dterapkan oleh Barat. Kebebasan yang diproklamasikan oleh Barat merupakan kebebasan yang sebebas-bebasnya bahwa perempuan dan laki-laki tidak ada jaraknya dan tidak ada batasannya, bergaul bebas atas dasar hak asasi manusia dan berbeda dengan konsep kebebasan . Sedangkan TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid menilai kebebasan tidak demikian, kebebasan disana diartikan sebagai kebebasan dalam aspek mendapatkan pendidikan, karena pendidikan pada budaya patriarkhi tidak diterapkan secara adil oleh masyarakat. Kebebasan yang dipraktekkan oleh Barat dikritisi oleh TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid, dalam karyanya ―Wasiat Renungan Masa‖ sebagai berikut: Banyak wanita mengaku bebas Semau-mau meninggalkan tugas Bercampur baur secara buas Akhirnya imannya melayang lepas Banyak terdapat dewasa ini Bahwa wanita berlagak laki Dan laki seolah istri Terbalik langit menjadi bumi26
Kritikan konstruktif yang ditujukan bagi perempuan yang memilih hidup bebas sebagaimana kebudayaan yang diproklamirkan oleh Barat hingga akhir ini menjadi budaya hampir dipenjuru dunia, tidak bisa disangkal lagi, diserang lewat media dan tekhnologi lainnya. budaya bebas tersebut sudah menyerang berbagai Negara dan Wawancara dengan Tuan Guru Haji Lalu Anas Hasri Gunung Rajak Sakra (Anjani: Senin 07 Januari 2014 sekitar Jam 8.30 pagi) diruang Masyaikh Ma’had Darul Qur’an wal Hadis Anjani Lombok Timur. 26 Tuan Guru Kiai Haji Muhammad TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid Abdul Madjid, Wasiat.., hlm. 117. 25
80 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
tidak ketinggalan juga di Indonesia. Oleh karena itu, TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid jauh hari sudah berpesan demikian. Kebebasan yang diinginkan oleh TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid adalah kebebasan dalam hal berjuang membela agama, mencegah kejahatan, dan bersamasama memajukan masyarakat melalui jalur pendidikan Islam tanpa ada tindakan yang melarang perempuan untuk ikut serta mengambil bagian bersama-sama mensejahterakan masyarakat, agama dan negara. Oleh karena itu, keadilan dan kebebasan dalam mendapatkan hak dan kewajiban sebagaimana Pandangan sosiologis TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid tentang pemberian keadilan kepada perempuan dijelaskan pada saat acara muktamar Muslimat NW ke-6 pada tanggal 19 April 1986 sebagai berikut: ―Bahwa kaum laki-laki harus memberikan keadilan kepada kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan antara keduanya perlu saling membantu berdasarkan batas-batas yang telah digariskan syari’at. Jadi intinya, dunia ini dibangun oleh kaum laki-laki dan perempuan, maka apabila kedua belah pihak itu baik, maka secara otomatis dunia itu juga akan baik. Landasan teologis yang menjadi acuannya ketika memposisikan peran laki-laki dan perempuan secara seimbang adalah hadis yang menjelaskan tentang yang artinya tidak ada seorang laki-laki yang memuliakan perempuan, kecuali ia sebagai laki-laki yang berjiwa mulia, dan tidak ada seorang laki-laki yang menghina perempuan, kecuali laki-laki yang berjiwa durjana‖.27
Dalam konteks di atas, harus diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat. Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani (sivil society) yang merupakan bagian dari demokrasi seperti toleransi, transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan, pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas, partisipasi, dan humanisme. Nilai-nilai itulah yang telah diwujudkan oleh TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid melalui pendidikan yang berkeadilan. TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid kalau ditinjau dari perspektif pendidikan berwawasan gender merupakan tokoh pemerhati pendidikan bagi kedua belah pihak baik laki-laki dan perempuan melalui kedua madrasah yang didirikannya yaitu madrasah NWDI dan NBDI. Dalam kedua madrasah tersebut yang mewadahi proses bimbingan (pimpinan, tuntutan, usulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi dan sebagainya) dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengakapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan Islam di kedua madrasah tersebut banyak ditujukan pada perbaikan mental yang akan diwujudkan dalam amal perbuatan, baik sendiri maupun orang lain. pendidikan Islam di kedua madrasah tersebut tidak hanya bersifat teoretis saja, tetapi juga praktis. Dengan kata lain pendidikan Islam yang ditekankan TGH. M. 27
Lihat, Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius.., hlm. 351
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 81
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
Zainuddin Abdul Madjid di kedua madrasah tersebut memadukan antara pendidikan iman dan pendidikan amal serta pendidikan individu dan masyarakat. Selanjutnya Pendidikan Islam menurut TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid yang dibidik dalam madrasah NWDI dan NBDI dapat dinyatakan sebagai pendidikan keimanan, ilmiah, amaliah, moral, dan sosial. Semua kriteria tersebut terhimpun dalam firman Allah Swt. ketika mensifati kerugian manusia yang menyimpang dari pendidikan Islam baik individu maupun keseluruhan. Dari paparan di atas kontras dengan pernyataan tokoh pemerhati pendidikan yaitu Zakiyah Daradjat menjelaskan, Pendidikan agama Islam (PAI) adalah, suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senatiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh, lalu menghayati tujuan yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.28 Sedangkan Tayar yusuf mengartikan pendidikan agama Islam sebagai usaha sadar generasi tua untuk mengalihkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda agar kelak menjadi manusia bertakwa kepada Allah Swt. 29 Implementasi Pemikiran TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid di Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah Gagasan pendirian madrasah khusus untuk kaum perempuan ini, merupakan kristalisasi dari hadis Rasulullah Saw. mengenai kewajiban menuntut ilmu bagi kaum perempuan sama dengan kewajiban bagi kaum laki-laki, sebagaimana yang sudah dijelaskann di atas: ―Dari Anas bin Malik berkata, Nabi Muhammad saw. bersabda: Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa dalam Islam, menuntut ilmu sangat dihargai keberadaannya sehingga menjadi kewajiban bagi setiap insan baik laki-laki maupun perempuan untuk memperolehnya. Sebagai realisasi dari pemikiran tersebut, maka pada tanggal 15 Rabi’ul akhir 1362 H bertepatan dengan tanggal 21 April 1943, resmilah berdiri sebuah madrasah khusus kaum perempuan yang diberi nama dengan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyyah (NBDI).30 Pada mulanya madrasah NBDI dibuka sebanyak dua kelas, waktu belajarnya diatur pada sore hari mulai pukul 13.30 sampai pukul 17.00 bertempat di komplek Pesantren al-Mujahidin. Jadwal tersebut diatur sedemikian mengingat anak wanita di pagi hari sibuk mengerjakan pekerjaan rumah untuk membantu orang tuanya maka Zakiyah Daradjat, dkk, Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara , 2008), hlm.86 Madjid, Dkk, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep Dan Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h.lm. 130 30 Baca Ahmad Mansur Surya Negara, Api Sejarah (Bandung: PT. Grafindo Media Pratama, 2009), Cet ke- V. hlm. 467-472. Lihat juga, Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baedowi, Transformasi Otoritas Keagamaan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 177-195. 28
29Abdul
82 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
jadwal belajar disesuaikan. Sistem pengajaran dan pelajaran yang diberikan sama dengan yang diterapkan di NWDI, perguruan yang merupakan wadah yang khusus untuk kaum laki-laki. Ide pendirian NBDI ini pun mendapat tantangan dari kaum adat dan ulama yang fanatik seperti juga halnya ketika NWDI didirikan dengan menggunakan sistem yang baru. Mereka menilai bahwa pendidikan wanita secara massal kurang pantas, pekerjaan yang sia-sia, yang akan menghasilkan perempuan-perempuan karir yang tidak berakhlak. Lebih-lebih mengajar perempuan membaca dan menulis, berpidato di depan umum merupakan sesuatu yang tidak pantas dari pandangan adat, agama dan kultur budaya Sasak pada saat itu. Sistem yang digunakan pada madrasah yang khusus bagi kaum perempuan ini juga sama dengan madrasah yang didirikan TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid sebelumnya, yaitu dengan mengadopsi sistem pembelajaran yang lebih modern dari yang selama ini dipraktekkan pada pendidikan lembaga pesantren yang didirikan para tuan guru sebelum kedatangan TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid, yaitu dengan sistem halaqah dan semi klasikal dengan menggunakan alat seperti papan tulis, duduk bersaf juga dengan mengikuti sistem pendidikan madrasah Saulatiyah Mekah. Sistem yang diterapkan oleh kedua madrasah ini (NWDI & NBDI), merupakan sistem yang pertama diperkenalkan dan digunakan dalam sistem pendidikan di Pulau Lombok, sehingga madrasah ini dapat dikatakan sebagai Adam dan Hawa bagi madrasah-madrasah yang ada di Nusa Tenggara Barat. Dua madrasah ini dijuluki ―Dwi tunggal pantang tanggal‖ hari berdirinya NWDI bertepatan dengan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus dan begitu pun hari berdirinya NBDI bertepatan dengan hari Ibu Kita Kartini yang diperingati pada tanggal 1 April. Hal ini tidak pernah terbersit pada diri TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid bahwa tanggal-tanggal tersebut merupakan tanggal yang memiliki nilai-nilai sejarah pada waktu-waktu yang akan datang. Pada perkembangan NBDI sampai tahun 1949 telah melebarkan sayap-sayap pendidikannya dengan mendirikan 5 madrasah untuk kaum perempuan. Di antara cabang-cabang yang didirikan oleh para alumni NBDI sebagai berikut: 1) Madrasah Sullam al-Banat di Sakra Lombok Timur 2) Madrasah al Banat di Wanasaba Lombok Timur 3) Madrasah Is`af al-Banat di Perian Lombok Timur 4) Madrasah Sa`adah al-Banat Praya Lombok Tengah 5) Madrasah Tanbib al-Muslimat di Praya Lombok Tengah31 Selanjutnya, pada tahun ajaran 1952/1953 sekolah-sekolah lanjutan pun mulai didirikan tercatat yaitu madrasah Mu`allimin 4 tahun, Madrasah Mu`llimat 4 tahun, 31Usman,
Menalar, hlm. 197.
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 83
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
Sekolah Menengah Islam (SMI), Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 tahun. Selanjutnya pada tahun ajaran 1955/1956 didirikan Madrasah Muballigin dan Muballigat. Pada tahun 1957 dibuka madrasah Muallimin 6 tahun dan Muallimat 6 tahun, pada tahun 1959 dibuka madrasah Menengah Atas (MMA), Tsanawiyah dan Aliyah, tahun berikutnya PGA 4 tahun ditingkatkan menjadi PGA lanjutan.32 Untuk melengkapi pendidikan di lingkungan NWDI dan NBDI, pada tahun 1964 didirikanlah perguruan tingkat tinggi dan selanjutnya dibuka perguruan tinggi nonformal yang khusus mengkaji kitab-kitab klasik yaitu Ma`had Darul Qur`an walHadis al Majidiyah asy-Syafi`iyah Nahdlatul Wathan (banin) dan menyusul kemudian berdirinya Ma`had Darul Qur`an Wal-Hadis (banat). Penutup Pokok-pokok pemikiran TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid tentang pendidikan berwawasan gender dan relevansinya dalam pendidikan Islam di antaranya: Pertama, ada kesamaan tujuan antara pemikiran TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid dan pendidikan Islam. Hal itu terletak pada memberikan hak yang sama di antara individu baik laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan. Agar mampu berperan serta atau bermanfaat terhadap lingkungannya serta mempunyai akhlak yang baik. Dalam arti takwa pada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, Konsep keadilan gender perspekitf TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid sebenarnya memiliki cakupan luas, akan tetapi pemikiran TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid tersebut dapat di ringkas, yaitu bahwa keadilan gender, khususnya pada perempuan dapat digolongkan dalam beberapa bagian: (a) perempuan mempunyai kedudukan dan martabat yang sama dalam Islam, yaitu sebagai makhluk yang dilahirkan dari satu unsur yang sama dan sama-sama menerima tugas sebagai Khalifah di bumi. (b) perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang pendidikan. (c) teks keagamaan sangat menghargai perempuan, sehingga pemahaman atau penafsiran yang kurang responsif terhadap perempuan perlu dikaji ulang untuk dilakukan sebuah perbaikan-perbaikan, misalnya, penafsiran mengenai masalah bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam) yang bengkok, sehingga dengan banyak kasus perempuan dianggap lemah, padahal kalau dikaji dan ditelusuri jejak argumentasinya dalam kitab suci al-Qur’an tidak satu pun yang menjelaskan perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Kalau pun ada hadis yang menjelaskan demikian, harus dilakukan kajian ulang. Ketiga, Gender dalam pendidikan Islam merupakan kegiatan atau proses yang mengaitkan satu komponen dengan komponen lainnya untuk menghasilkan pendidikan yang lebih baik, mengenai 32Badruddin & Rasmianto, Maulana Lentera Kehidupan Umat (Malang: Mitra Insan Cendikia, 2004), hlm. 27.
84 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
kegiatan penyusunan, pelaksanaan, penilaian dan penyempurnaan dalam pendidikan Islam. Keadilan gender dalam Islam merupakan sesuatu yang esensial dalam proses pendidikan, sebab tujuan utamanya yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya perempuan. Adapun landasan-landasan pendidikan Islam adalah al-Qur’an, Hadis dan ijtihad. Dengan karakteristiknya, seperti tujuan pendidikan Islam dan kurikulum pendidikan Islam. Dan dengan beberapa metode pendidikan Islam yang secara garis besarnya terdapat di dalam alQur’an dan Hadis, yaitu mengandung muatan keadilan bagi perempuan. Keempat, Analisa mengenai relevansi pemikiran TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid tentang pendidikan Islam bagi perempuan dan konsep pendidikan Islam berwawasan keadilan gender, maka hal-hal yang harus diperhatikan dalam melihat relevansi keadilan gender dalam pendidikan Islam yaitu: Meninjau kembali keadilan di dalam Islam khusunya pendidikan perempuan, pendidikan Islam harus responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan peserta didik (laki-laki dan perempuan), tanpa membedakan kedua-duanya dalam dunia pendidikan, dengan mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk perempuan, memberikan solusi pembenaran atau meluruskan kembali segala bentuk permasalahan ketidakadilan gender dengan jalan, memberikan penjelasan yang benar dan transparan terhadap masyarakat dengan tujuan menegakkan keadilan, bersih dari campur tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan menggunakan metode yang bisa merusak nilai-nilai kemurnian agama demi kepentingan tertentu, khususnya keadilan gender dalam pendidikan Islam. Akan tetapi secara praktis di lapangan, dalam proses pembelajaran, beberapa permasalahan atau kebijakan tersebut belum bisa memberikan rasa keadilan bagi perempuan. Maka berkenaan dengan masih adanya bias gender yang terjadi kepada perempuan, maka gender dalam pendidikan Islam menjadi tugas bagi generasi penerus, karena TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid sudah membuka gerbongnya. Tugas selanjutnya yang menjadi peran generasi penerus perjuangan TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid menurut peneliti adalah adanya suatu perubahan-perubahan di dalam komponen-komponen pendidikan Islam yang masih ada benih ketertinggalan tentang materi ajar yang tidak seimbang, baik itu mengenai sistem atau isi materi daripada pendidikan Islam yang berkeadilan. Kemudian juga penjelasan yang lebih detail dalam menafsirkan kata gender, sehingga dikemudian hari tidak terjadi lagi kesalahpahaman atau diskriminasi terhadap gender khususnya kepada perempuan dalam pendidikan Islam. DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 85
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
Astuti, Tri Marhaeni P., ―Perempuan Perkasa Ditengah Hutan: Kasus buruh Perempuan Argo industri Minyak Kayu Putih di Grobogan Jawa Tengah‖, Stri Jurnal Studi Wanita, Jakarta, Desember 2002, Vol. 1, No. 2. Badruddin & Rasmianto, Maulana Lentera Kehidupan Umat, Malang: Mitra Insan Cendikia, 2004. Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta Press, 2007. Barnawi & Mohammad Arifin, Etika & Profesi Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. Burhanuddin, Jajat dan Ahmad Baedowi, Transformasi Otoritas Keagamaan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003. Daradjat, Zakiah, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara dan Binbagais Depag RI, 1992. Fromm, Erich, Cinta, Seksualitas, Matriarki, Gender, terj. Pipit Maizer, Yogyakarta: Jalasutra, 2002. Haris, Abd dan Kivah Aha Putra, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2012. Hidayat, Ara & Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan, Yogyakarta: Kaukaba, 2012. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, terj. Arminj Pane, Jakarta: Balai Pustaka, 2004. Madjid, Abdul, Dkk, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004. Madjid, Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddi Abdul, Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru Cet-VI, Lombok: Terbitan Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, 2002. Mudyarahardjo, Radja, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2002. Muhaimin, dkk., Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009. Muliawan, Jasa Ungguh, Epistemologi Pendidikan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008. Muthahhari, Murtadha, The Rights of Women in Islam, terj. M. Hashem, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, Jakarta: Lentera, 1995. Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009. Nata, Abuddin, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Jakarta: PT. RajaGrafindo
86 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Ulyan Nazri, Pendidikan Perempuan…
Persada, 2012. Negara, Ahmad Mansur Surya, Api Sejarah 1, Bandung: PT. Grafindo Media Pratama, 2009. Noer, Hery, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999. Noor, Mohammad, dkk, Visi Kebangsaan Religius: Refleksi dan Perjuangan Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2004. Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin, Bandung: Penerbit Pustaka, 1984. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2011. Rose, Colin dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21 Century: Cara Belajar Cepat Abad XXI, terj. Dedy Ahimsa, Bandung: Nuansa Cendekia, 2002. Shihab, M. Quraish. Pengantin Al-Qur’an: Kalung Permata Buat Anak-anakku. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992. Tilaar, H. A. R. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Tilaar, H. A. R., Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010. Usman, Filsafat Pendidikan: Kajian Filosofis Pendidikan Nahdlatul Wathan (NW) di Lombok, Yogyakarta: Teras, 2010. Wadud, Amina. Inside The Geder Jihad: Women`s Reform in Islam. England: Oneworld Oxpord, 2006. Wadud, Amina, al-Qur’an dan Perempuan, Charles Kurzman (ed.), Wacana Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2003. Wen, Sayling, Future of Education: Masa Depan Pendidikan, terj Arvin Saputra, Batam Centre: Lucky Publishers, 2003.
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 87