Pendidikan Lintas Budaya Dalam Pembangunan Regional Berkelanjutan
PENDIDIKAN LINTAS BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN REGIONAL BERKELANJUTAN Oleh: Indah Namira Sari Abstraksi Tulisan ini mendiskusikan tentang pendidikan lintas budaya dalam pembangunan regional berkelanjutan. Indonesia sebagai bangsa yang dibangun atas dasar multikultural, multietnis, dan multikewilayahan, pada satu sisi perbedaan budaya dapat dijadikan modal sosial, tetapi di sisi lain sangat rentan dengan berbagai konflik. Oleh karena itu, pendidikan lintas budaya pada tingkat daerah atau budaya-budaya lokal perlu dikedepankan. Sehingga dengan pendekatan pendidikan lintas budaya akan membentuk karakter budaya Bangsa. Hal ini, sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional yaitu bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Abstraction This article discusses cross-cultural education in sustainable regional development. Indonesia as a nation built on the basis of multicultural, multiethnic and multi-regional, on the one hand, cultural differences can be social capital, but on the other hand is very vulnerable to various conflicts. Therefore, crosscultural education at the regional level or the local cultures need to be promoted. So with a cross-cultural approach to education will form the Nation cultural character. It is, in accordance with the purpose of the national education that is aimed at developing students' potentials in order to become a man of faith and fear of God Almighty, noble, healthy, knowledgeable, skilled, creative, independent, and become citizens of a democratic and responsible. Kata Kunci: Pendidikan Lintas Budaya, Pembangunan Regional Berkelanjutan
PENDAHULUAN Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah Yang Maha Pencipta berbeda-beda. Allah berfiman dalam Al Quran yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujarat : 13)1 1
QS Al-Hujarat Ayat 13
1082
Pendidikan Lintas Budaya Dalam Pembangunan Regional Berkelanjutan
Selanjutnya Allah berfirman, yang artinya “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS Ar-Rum : 22).2 Dari kedua ayat tersebut, manusia diciptakan berdeda-beda merupakan suatu keniscayaan. Namun, semua perbedaan pada hakekatnya manusia agar bersosialisasi sehingga saling menganal dan menghargai nilai-nilai kemanusian yaag paling hakiki. Terkait dengan hal tersebut, Indonesia sebagai Bangsa yang heteregon (multi-kutural, multi-etnis, dan multi-wilayah). Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural baik dilihat secara horizontal maupun vertikal, secara horizontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuankesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaaan agama, adat, tradisi dan budaya. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaanperbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Pada satu sisi perbedaan tersebut dapat menjadi modal sosial (social capital), namun di sisi lain sangat rentan dan berpotensi terjadinya diintegrasi. Stereotip budaya, selain berfungsi memisahkan satu kelompok dari kelompok asing ‘lain’, juga mengandung risiko yaitu dialog dapat terhenti disebabkan oleh perbedaan dan perbedaan tersebut dapat menyebabkan intoleransi. Budaya-budaya yang berasal dari tradisi peradaban yang berbeda sangat rentan terhadap mutual stereotyping. Mengutif pernyataan John Naisbitt dalam bukunya “Global Paradox” ketika dunia berpadu secara ekonomi, bagian-bagian komponennya menjadi lebih banyak dan lebih kecil dan lebih penting. Secara serentak, ekonomi global berkembang sementara ukuran bagian-bagiannya menyusut.3 John Naisbitt, mengistilahkan fenomena
tersebut sebagai Global
Paradox yakni di saat perekonomian dunia semakin lepas dari pengaruh batasbatas politis menuju sebuah masyarakat perekonomian global yang menyatu, ternyata 'partikel' negara bukanlah yang menjadi pemain-pemain utama dalam 2 3
Ibid Ar-Rum : 22 https://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/10/29/0008.html
1083
Pendidikan Lintas Budaya Dalam Pembangunan Regional Berkelanjutan
percaturan ekonomi global tersebut. Kekuatan utama telah bergeser kepada 'satuan' yang lebih kecil daripada negara. Naisbitt melihat suatu gejala bahwa manusia tidak lagi memandang negara (dalam artian nation-state) sebagai identitas yang bisa mereka bawa. Di saat dunia semakin tanpa batas, manusia malah semakin membutuhkan suatu identitas lain yang lebih sempit dari nation-state tersebut, hingga kemudian lahirlah konsep tribal-state (negara-suku). Disadari atau tidak, Indonesia pun tak terlepaskan dari fenomena Global Paradox. Indonesia telah mulai memasuki tahap globalisasi perekonomian, dengan menggabungkan diri kepada GATT, APEC ataupun AFTA. Namun di saat yang sama kita juga dihadapkan pada berbagai masalah kesukuan. Beberapa kasus seperti tragedi Sampit, Sambas, Mejusi dan sebagainya merupakan contoh interprestasi dari semangat kesukuan yang sempit yang akan menimbulka krisis kebangsaan. Di samping itu, semangat desentralisasi saat ini justeru disibukkan ego kedaerahan yang lebih mementingkan kelompok-kelompok terentu dari pada pengembangkan potensi dan mamajukan daerah masing-masing. Gagasan menjalankan asas desentralisasi dalam pembangunan dan pemerintahan di Indonesia memang merupakan suatu hal yang sudah waktunya. Walaupun kebijakan ini lahir lebih banyak karena political will di tingkat pusat, namun sesungguhnya pemberian otonomi daerah yang lebih besar adalah sebuah arus global yang tak bisa dihindari. Cepat atau lambat, bangsa Indonesia akan dihadapkan pada tuntutan atas lebih diakuinya eksistensi dan potensi daerah yang lebih besar. Untuk itu, polical will Pemernitah Pusat dengan semangat otonomi daerah yang yang dipahami secara sempit telah menjadi pemicu disintegrasi akibat menojolkan
ego
kedaerahan.
Untuk
mengantisifasi
melausnya
isu-isu
sebagaimana dikemukakan di atas, maka perlu dikemukakan pendidikan lintas budaya sebagai instrumen strategis dalam upaya menjalakan pembangunan dan pemernitahan daerah yang berkelanjutan.
KONSEP PENDIDIKAN LINTAS BUDAYA
1084
Pendidikan Lintas Budaya Dalam Pembangunan Regional Berkelanjutan
Sejak konseptualisasi pertamanya di tahun 1960-an, pendidikan lintas budaya telah kembali dikonseptualisasikan. Selain itu, konsep pendidikan lintas budaya
sering
disinonimkan
dengan
pendidikan
bicultural,
pendidikan
multikultural, pendidikan antar-budaya, pendidikan pluralisme budaya, dan pendidikan trans-budaya. Namun, tampaknya semua sinonim dari pendidikan lintas budaya sering digunakan secara bergantian dan dapat ditemukan dalam buku-buku, dokumen, dan hukum sekolah di seluruh dunia. Namun, hal itu telah muncul dari berbagai penelitian bahwa ada kegagalan terus menerus untuk memberikan definisi semantik yang jelas atau landasan epistemologis yang berbeda untuk konsep-konsep ini. Prinsip-prinsip dasar jenis pendidikan ini yang sangat sering disalahpahami atau disalahartikan oleh guru dan mereka yang bertanggung jawab dalam kebijakan. Dalam situasi ini, tampaknya kedua tepat dan perlu untuk memberikan klarifikasi semantik singkat konsep serta definisi yang lebih spesifik pendidikan lintas budaya berdasarkan penelitian dan literatur. Klarifikasi semantik dan definisi khusus dari konsep di atas tersedia dalam konteks linguistik yang lebih luas dalam upaya untuk lebih menggambarkan perbedaan satu sama lainnya. Dimana istilah tertentu dalam penggunaannya sering tidak tepat atau cara yang tidak jelas sebagau sumber penguatan prasangka dan stereotip dalam pendidikan. Untuk memehami pendidikan lintas budaya, definisi yang dikemukakan oleh Smith (1956, dalam Metraux 1956: 578) bahwa pendidikan lintas budaya adalah: “the reciprocal process of learning and adjustment that occurs when individuals sojourn for educational purposes in a society that is culturally foreign to them, normally returning to their own society after a limited period. At the societal level, it is a process of cultural diffusion and change, involving temporary ‘exchange of persons’ for training and experience.”4 Dalam konteks yang luas, pendidikan lintas budaya mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Metraux Guy “INTRODUCTION: AN HISTORICAL APPROACH” INTERNATIONAL SOCIAL SCIENCE BULLETIN VOL . VIII, NO . 4, I956 4
UNESCO
1085
Pendidikan Lintas Budaya Dalam Pembangunan Regional Berkelanjutan
Pembelajaran berbasis lintas budaya didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Asumsi teoritik yang digunakan dalam mengembangkan model pendidikan dan/atau program pembelajaran lintas budaya adalah sebagai berikut. Pertama, bahwa sekolah-sekolah belum sepenuhnya terpenuhi kebutuhannya, baik itu kebutuhan sosial maupun kebutuhan akademiknya. Substansi pembelajaran (materi pelajaran) di sekolah belum sepenuhnya digali dari khasanah sosial dan kultural esensial (suku, agama, ras, tradisi, kearifan lokal dan sebagainya) masyarakat, khususnya masyarakat minoritas termasuk yang miskin, yang tidak/kurang berpendidikan, maupun yang berspektif gender. Dikebanyakan masyarakat Indonesia, wanita sering memperoleh peran dan kedudukan tak adil dibandingkan pria. Perlakuan kurang adil disebabkan oleh harapan masyarakat yang bersifat stereotip, akibatnya wanita menjadi subordinasi kaum pria. Konsekuensinya maka kurikulum pendidikan lintas budaya mengandung unsurunsur keadilan gender, suku, agama, ras maupun kelompok-kelompok minoritas. Kurikulum pendidikan lintas budaya dirancang sedemikian rupa sehingga menyediakan kesempatan untuk memperoleh dan menikmati pendidikan bermutu dan
tidak segregatif.
Praktek-praktek
kurikulum
yang
segregatif
akan
melanggengkan dan meligitimasi ketimpangan dan disparitas dalam masyarakat (Amoda, 19725; Mc Coy, 1970;6). Kedua, bahwa lingkungan sosial pebelajar justru sering mengorbankan hampir semua kebutuhan dan jati diri pebelajar di sekolah. Suzuki lebih lanjut berpandangan bahwa: “The sociocultural milieu of the schools has victimized all students by reinforcing and perpetuating prejudicial attitudes and values, and inadequately developing their capacity for understanding and critically analyzing pressing social problems, thereby, giving them little help in developing the moral commitment and the necessary skills for the building of a more equitable and therefore, better society (1979:47).7
5
Amoda, M.(1972). Black politics and Black visions . Philadelphia,Pa.:Wesminster Press Mc Coy, R. (1970). The formation of community-controlled school district Community Control of Schools, Ed. by Henry Levin. Washington,D.C.:The Brookings Institution 7 Suzuki, B.(1979). Multicultural education:What’s it all about? Integrated Education 6
1086
Pendidikan Lintas Budaya Dalam Pembangunan Regional Berkelanjutan
Ketiga, bahwa dengan semakin banyaknya kampanye, kothbah atau ceramah tentang nilai-nilai seperti demokrasi, kebebasan, keadilan, persamaan derajat dan sejenisnya, maka struktur sosial sekolah akan dapat mempromosikan nilai serta prilaku yang baik dan ideal. Misalnya, sistem penjurusan atau kegiatan lomba sering memiliki dampak terbalik (counter productive) terhadap nilai kerjasama, altruistik dan elitis. Sebaliknya struktur sekolah yang egalitarian sering menciptakan suasana konformitas, loyal, setia, taat dan sejenisnya, yang sesungguhnya membunuh sikap memberdayakan diri (Sumartana, 20018 dan Suparlan, 20019). Sepatutnya sekolah sebagai tempat pembelajaran bagi siswa dari berbagai kultur yang berbeda-beda, sebab melalui proses belajar mengajar melahirkan tingkah laku sosial, menyepakati norma dan nilai bersama membangun struktur kelembagaan. Keempat, bahwa sekolah tidak dapat menghindar dari kegiatan mentransmisikan nilai kepada anak didik. Banyak nilai-nilai luhur ditransmisikan lewat kurikulum tersembunyi (Widja, 2001; Hasan,2000). Dalam anggapan ini terselip pula anggapan bahwa tidak seorang pendidikpun yang luput dari kewajiban untuk mentransmisikan nilai kepada anak didik. Pendidikan multikultural bertujuan untuk ‘promoting some rather explicit values such as democracy, freedom, equality and resfect for diversity’ (Suzuki, 1979; cfWCEFA, 1999; UNESCO, 1992). Demikian pula anak didik diasumsikan bersikap bebas, tidak ada beban psikologis dan merasa terdorong untuk bertanya atau mengkritisi nilai-nilai tersebut dan bebas untuk menerima atau menolak nilai-nilai yang disodorkankepadanya. Dalam asumsi ini terkandung sikap dan unsur kreatifitas, produktifitas dan kemandirian pada anak (Ford, 1979; Gay, 1977). Kelima, sekolah memiliki kemampuan untuk beroperasi sendiri dalam mentransmisikan nilai-nilai luhur tersebut, maka dari itu sekolah hanya berfungsi sebagai wahana utama perubahan sosial. Peran pendidik yang paling utama adalah membantu siswa untuk dapat mengkonseptualisasikan dan mengaspirasikan sebuah masyarakat yang lebih baik. Pendidik juga memiliki peran membantu 8
Sumartana, Th. (Ed.) (2001). Nasionalisme etnisitas. Pertaruhan sebuah wacana. Yogyakarta:Institut Dian/Interfeider 9 Suparlan, Parsudi (2001). Menuju masyarakat Indonesia yang multikultural. Makalah Simposium Internasional. Denpasar:Kajian Budaya UNUD
1087
Pendidikan Lintas Budaya Dalam Pembangunan Regional Berkelanjutan
siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan, pemahaman yang memungkinkan perubahan perubahan yang diperlukan. Pendidik diasumsikan dapat meningkatkan kualitas sekolah bagi kepentingan siswa secara historis selalu dimarjinalisasi. The National Council for Social Studies (Gorski, 2001) mengajukan sejumlah fungsi yang menunjukkan pentingnya keberadaan dari Pendidikan intas budaya, sebagai berikut: (1) memberi konsep diri yang jelas; (2) membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari sejarahnya; (3) membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada setiap masyarakat; (4) membantu mengembangkan pembuatan keputusan (decision
making),
partisipasi
sosial
dan
ketrampilan
kewarganegaraan
(citizenship skills); dan (5) mengenal keberagaman dalam penggunaan bahasa.10 Dengan demikian pendidikan lintas budaya dapat mempromosikan dialog antarbudaya menyatu secara signifikan dengan pendekatan ‘identitas beragam’. Dialog seharusnya tidak dipandang sebagai penghilangan jati diri melainkan sebagai proses untuk memahami diri dari satu kerangka acuan ke kerangka acuan lain. Perlu adanya pemberdayaan bagi semua peserta dialog melalui pelatihan dan proyek-proyek yang mendukung proses interaksi tanpa penghilangan identitas personal atau kolektif. Selain itu juga perlu adanya pengakuan tentang cara-cara etnosentris dimana budaya umum seringkali berjalan dan menyediakan ruang bagi sistem pemikiran yang mengakui bentuk pengetahuan ‘eksoterik’ dan ‘esoterik’. Sebuah contoh yang patut dicatat dalam hal ini adalah pemetaan komunitas, yang sudah sangat berhasil dalam membantu memberdayakan penduduk asli dalam upayanya untuk mengembalikan hak-hak mereka atas tanah leluhur dan sumbersumber daya serta menentukan nasib perkembangannya sendiri yang diakui dunia internasional.
URGENSI PENDIDIKAN LINTAS BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN REGIONAL BERKELANJUTAN Dalam dunia yang semakin ditandai oleh pembauran antarbudaya, berbagai upaya untuk melindungi berbagai bentuk keanekaragaman budaya
10
Gorski. 2001. http://www.aaanet.org/cae/aeq/br/gorski.htm
1088
Pendidikan Lintas Budaya Dalam Pembangunan Regional Berkelanjutan
menjadi demikian penting bagi pemerintah nasional dan juga masyarakat internasional. Dalam beragam bidang budaya (seperti: warisan budaya benda, warisan budaya tak-benda, ekspresi budaya, pertukaran budaya, dan perdagangan benda budaya secara ilegal), berbagai kesepakatan dan peraturan/acuan di tingkat regional dan internasional telah disusun sebagai upaya untuk melindungi dan mempromosikan beberapa pemahaman kunci mengenai keanekaragaman budaya dan penanda identitas budaya. Berdasarkan kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural, maka untuk membentuk negara Indonesia yang kokoh perlu mengembangkan jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multikultural. Jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multikultur ini adalah Pendidikan lintas budaya. Pendidikan
sering
dikaitkan
dengan
transmisi
pengetahuan
dan
pengembangan perilaku dan keterampilan sosial yang pemahaman mengenainya seringkali diseragamkan. Pendidikan juga merupakan transmisi nilai, baik di generasi yang sama maupun antar generasi dan lintas budaya. Berbagai kebijakan di bidang pendidikan berdampak besar terhadap berkembangnya atau menurunnya keanekaragaman budaya. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus berupaya mempromosikan pendidikan melalui dan untuk keanekaragaman. Hal ini menjamin hak atas pendidikan dengan mengakui keanekaragaman kebutuhan para pelajar (terutama kelompok-kelompok minoritas, asli, dan nomaden) dan dengan mengintegrasikan keanekaragaman metode dan isi yang saling berhubungan. Dalam masyarakat multikultural yang semakin kompleks, pendidikan harus membekali kita dengan kompetensi antarbudaya yang akan memungkinkan kita hidup bersama dalam perbedaan budaya dengan tidak saling membenci. Empat prinsip pendidikan berkualitas sebagaimana tertulis dalam laporan Komisi Dunia tentang Pendidikan untuk Abad ke-21 yaitu ‘belajar untuk menjadi’, ‘belajar untuk mengetahui’, ‘belajar untuk melakukan’ dan ‘belajar untuk hidup bersama’ hanya dapat berhasil dilaksanakan jika keanekaragaman budaya mendapat perhatian utama Pendidikan lintas budaya mengajarkan anak didik untuk mengenal dan terbuka terhadap kisah dan narasi hidup serta kultur kelompok yang lain, baik dari dimensi religius, etnis, ekonoms, politis dan gender. Dalam dimensinya yang
1089
Pendidikan Lintas Budaya Dalam Pembangunan Regional Berkelanjutan
global, pendidikan lintas budaya membutuhkan kontribusi interaktif dari pengetahuan sejarah, geografi, studi kebudayaan yang interdisipliner, sejarah hukum dan sistim politik serta studi-studi keagamaan. Sikap belajar yang kritis, aktif dan kreatif tentu menjadi dasar bagi anak didik. Walaupun mereka bertumbuh menjadi dewasa, persentuhan dengan kehidupan yang riil dan segala praksisnya tidak boleh diabaikan karena perkembangan pengetahuan dan pemahaman tentang hidup riil berjalan bersama. Keterbukaan terhadap yang lain dan kesanggupan mengolah setiap perbedaan, hanya mungkin kalau orang saling belajar dengan menatap ke depan, memandang setiap keberlainan dengan cita rasa kemanusiaan yang kaya makna, penuh empati. Oleh karena itu, pendidikan yang adekuat untuk hidup dalam suatu iklim demokrasi yang pluralistic adalah pendidikan yang lintas budaya. Pendidikan lintas budaya mengajarkan anak didik untuk mengenal dan terbuka terhadap kisah dan narasi hidup serta kultur kelompok yang lain, baik dari dimensi religius, etnis, ekonoms, politis dan gender. Dalam dimensinya yang regional, pendidikan lintas budaya membutuhkan kontribusi interaktif dari pengetahuan sejarah, geografi, studi kebudayaan yang interdisipliner, sejarah hukum dan sistim politik serta studi-studi. Interaksi yang penuh respek antar anak didik yang berbeda agama dan latar belakang etnis adalah prakondisi yang baik bagi mereka untuk masuk dalam masyarakat multikutral. Salah satu tanggung jawab warga Negara yang baik adalah mengenal dan memahami pluralisme hidup. Tanggung jawab ini menuntut kesanggupan-kesanggupan utama seperti mempertimbangkan kebenaran historis, menggunakan dan berpikir secara kritis tentang prinsip-prinsip ekonomi dan kebijakan politik, tahu mengukur tentang keadilan sosial, berbicara dan mengerti bahasa asing, mengapresiasi kompleksitas pluralitas agama dan kepercayaan. Anak didik tidak sekedar diajarkan untuk memiliki sejumlah katalogus fakta tentang realitas kehidupan. Mereka diajarkan juga untuk mengoptimalkan segala kemampuannya untuk kehidupan yang sejati. Sebuah
kurikulum
yang
dibuat
berdasarkan
proses
standarisasi
pembelajaran dan isi yang menggunakan pendekatan ‘pukul rata’ (one size fits all) tidak akan memenuhi kebutuhan seluruh peserta didik dan juga tidak akan
1090
Pendidikan Lintas Budaya Dalam Pembangunan Regional Berkelanjutan
merespon sesuai konteks latar-belakang kehidupan mereka. Hal ini menjadi semakin terlihat karena semakin banyak negara yang mencari jalur alternatif di dalam sistem pendidikan. Namun, informasi tentang bentuk pendidikan yang diajarkan di seluruh dunia dan bagaimana pendidikan tersebut berbeda di setiap (dan kadang di dalam) negara-negara, belum dikumpulkan dan dievaluasi secara sistematis. Demi pendidikan berkualitas, yang harus mencakup dua hal yaitu layak (dapat diterima secara budaya) dan fleksibel (dapat beradaptasi sesuai dengan perubahan dalam masyarakat), pengembangan kurikulum ditujukan untuk peningkatan pendidikan yang relevan dengan menyesuaikan proses belajar, isi pendidikan, pelatihan untuk guru, dan manajemen sekolah sesuai kebutuhan peserta didik. Hal ini mencakup pengembangan kurikulum multibudaya dan multibahasa, berdasarkan pada beragam perspektif dan pendapat dan mengacu pada sejarah dan budaya dari semua kelompok dalam masyarakat. Pendekatan yang peka terhadap keanekaragaman peserta didik juga harus siap dengan langkah-langkah khusus untuk menjangkau kelompok-kelompok yang rentan dan terpinggirkan dan untuk memperbaiki lingkungan sekolah dan pendidikan, khususnya untuk anak perempuan. Tujuan utamanya adalah pemberdayaan terkait penghormatan terhadap peningkatan hak-hak asasi manusia, peningkatan kewarganegaraan yang demokratis dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Mengembangkan pendidikan yang peka budaya tidak hanya memerlukan pakar bidang studi saja, tetapi para guru yang memiliki pengetahuan luas dan peka terhadap perbedaan budaya. Keinginan untuk mempromosikan metode pengajaran yang relevan untuk seluruh peserta ajar telah menyebabkan diversifikasi media dan metode pendidikan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tidak terkecuali di sektor swasta, dan terkadang dalam kemitraan dengan LSM. Manfaat pendekatan multibahasa berbasis bahasa ibu di semua tingkat pendidikan formal dan non-formal dapat digambarkan oleh pendidikan dasar di sejumlah negara berkembang. Program-program pendidikan dwibahasa diterapkan di hampir seluruh konteks pembelajaran dan dapat berperan penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan memperluas kesempatan bagi kelompok marginal dan kurang terlayani, termasuk penduduk pendatang. Ketika sebagian besar negara mungkin masih jauh dari mencapai tujuan mengajarkan bahasa
1091
Pendidikan Lintas Budaya Dalam Pembangunan Regional Berkelanjutan
nasional, lokal/daerah, dan internasional dalam kurikulum resmi mereka (sebagaimana disorot dalam suatu analisa mengenai jadwal dalam pendidikan bahasa), tujuan ini sangat penting baik untuk pelestarian keanekaragaman bahasa maupun untuk fungsi intelektual lainnya. Dalam masyarakat yang multibudaya salah satu tantangan utama yang dihadapi pendidikan seumur hidup melibatkan kemampuan kita untuk belajar untuk hidup bersama. Dengan demikian, pendidikan multibudaya harus dilengkapi dengan pendidikan antarbudaya. Seni dan pendidikan humaniora, kegiatan multimedia, museum, dan wisata akan membantu dalam mengembangkan keterampilan penting yang sangat diperlukan untuk memerangi pandangan yang bersifat sepihak, untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial dengan budaya beragam dan menanggapi tantangan dalam dialog antarbudaya. Mengajak orang untuk memahami keanekaragaman budaya lebih merupakan masalah pendekatan, metode, dan sikap daripada asimilasi isi. Toleransi harus dipraktikkan terlebih dahulu, sebelum dapat menjadi suatu keahlian. Prinsip-prinsip
utama
UNESCO
terletak
pada
keyakinan
bahwa
pendidikan merupakan hal yang fundamental untuk mengatasi ketidaktahuan dan ketidakpercayaan yang merupakan sumber konflik manusia. Berhubung prasangka didasarkan antara lain pada ketidaktahuan kita atau prasangka yang salah, memfasilitasi budaya keterbukaan adalah kunci untuk mendorong dialog antarbudaya dan mencegah ‘benturan ketidakpedulian’. Humaniora dan ilmu-ilmu sosial mendorong peserta didik untuk menyadari keberpihakan mereka sendiri dan untuk merenungi kembali asumsi mereka. Masuknya agama-agama dunia dan kepercayaan dalam kurikulum dapat membantu menghilangkan kesalahpahaman yang dapat membuat hidup bersama menjadi bermasalah. Seni merupakan alat yang kuat dan universal untuk meningkatkan saling pengertian dan perdamaian, dan mempraktikkan seni adalah cara yang ampuh untuk bersosialisasi dengan orang lain. Pengajaran seni membantu menghubungkan proses ilmiah dan emosional dengan intuisi yang merupakan satu komponen penting untuk menanamkan sikap yang menyukai keterbukaan antar-budaya. Dengan demikian pengembangan kompetensi antarbudaya tidak hanya terbatas di dalam ruang kelas saja melainkan harus meluas ke ‘universitas
1092
Pendidikan Lintas Budaya Dalam Pembangunan Regional Berkelanjutan
kehidupan’. Sifat inklusif harus dipupuk baik di kelas maupun di lingkungan sekolah secara umum, serta melalui keterlibatan orang tua dan masyarakat setempat. Oleh karena itu, pendidikan lintas budaya merupakan pendidikan yang sesesuai dengan konteks kebangsaan Indonesia Indonesia yang multikulural. Juga sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
KESIMPULAN Dalam dunia yang semakin ditandai oleh pembauran antarbudaya, berbagai upaya untuk melindungi berbagai bentuk keanekaragaman budaya, maka pendidikan lintas budaya menjadi demikian penting bagi pemerintah nasional dan juga masyarakat internasional. Dalam beragam bidang budaya (seperti: warisan budaya benda, warisan budaya tak-benda, ekspresi budaya, pertukaran budaya, dan perdagangan benda budaya secara ilegal), berbagai kesepakatan dan peraturan/acuan di tingkat regional dan internasional telah disusun sebagai upaya untuk melindungi dan mempromosikan beberapa pemahaman kunci mengenai keanekaragaman budaya dan penanda identitas budaya. Fungsi yang menunjukkan pentingnya keberadaan dari Pendidikan intas budaya, sebagai berikut: (1) memberi konsep diri yang jelas; (2) membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari sejarahnya; (3) membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada setiap masyarakat; (4) membantu mengembangkan pembuatan keputusan (decision
making),
partisipasi
sosial
dan
ketrampilan
kewarganegaraan
(citizenship skills); dan (5) mengenal keberagaman dalam penggunaan bahasa Kurikulum yang dibuat berdasarkan proses standarisasi pembelajaran dan isi yang menggunakan pendekatan ‘pukul rata’ (one size fits all) tidak akan memenuhi kebutuhan seluruh peserta didik dan juga tidak akan merespon sesuai konteks latar-belakang kehidupan mereka. Demi pendidikan berkualitas, yang harus mencakup dua hal yaitu layak (dapat diterima secara budaya) dan fleksibel
1093
Pendidikan Lintas Budaya Dalam Pembangunan Regional Berkelanjutan
(dapat beradaptasi sesuai dengan perubahan dalam masyarakat), pengembangan kurikulum ditujukan untuk peningkatan pendidikan yang relevan dengan menyesuaikan proses belajar, isi pendidikan, pelatihan untuk guru, dan manajemen sekolah sesuai kebutuhan peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Amoda, M.(1972). Black politics and Black visions . Philadelphia,Pa.:Wesminster Press Gorski. 2001. http://www.aaanet.org/cae/aeq/br/gorski.htm https://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/10/29/0008.html Mc Coy, R. (1970). The formation of community-controlled school district Community Control of Schools,
Ed.
by
Henry
Levin.
Washington,D.C.:The Brookings Institution Metraux Guy “INTRODUCTION: AN HISTORICAL APPROACH” UNESCO INTERNATIONAL SOCIAL SCIENCE BULLETIN VOL . VIII, NO . 4, I956 QS Al-Hujarat Ayat 13 QS Ar-Rum : 22 Sumartana, Th. (Ed.) (2001). Nasionalisme etnisitas. Pertaruhan sebuah wacana. Yogyakarta:Institut Dian/Interfeider Suparlan, Parsudi (2001). Menuju masyarakat Indonesia yang multikultural. Makalah Simposium Internasional. Denpasar:Kajian Budaya UNUD Suzuki, B.(1979). Multicultural education:What’s it all about? Integrated Education Widja,
G.
(2001).
Desentralisasi dan
serta perspektifnya. Denpasar:UNUD
integrasi bangsa.
Permasalahan
1094