Jurnal TARBAWIYAH
MEMBUDAYAKAN MORALITAS AGAMA DALAM BUDAYA SEKOLAH Oleh Sari Agustiani *) Abstrak Tidak jarang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari penyimpangan perilaku siswa. Jenis penyimpangan yang mereka lakukan sangat beragam dan dengan kualitas yang kian meningkat. Perkelahian antar siswa secara internal dan eksternal, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, perampokan dan pembunuhan adalah kisah-kisah nyata yang sering mengisi lembaran pengalaman kita sehari-hari yang diperoleh baik secara langsung maupun melalui berbagai media baik media cetak maupun elektronik. Ini menunjukkan bahwa moral siswa sudah mengalami penurunan, yang apabila dibiarkan akan menjadi malapetaka bagi masa depan pembangunan bangsa dan negara. Walaupun secara empirik banyak lembaga pendidikan yang disebut sebagai sekolah unggulan atau berbagai sebutan lainnya dengan fasilitas yang serba lengkap dan tenaga pendidik yang hebat, namun jiga moralitas siswa tidak dikedepankan maka keunggulan itu hanyalah nama tanpa makna. Untuk meningkatkan kualitas moral siswa, maka pembudayaan moralitas harus dibudayakan di lembaga-lembaga pendidikan sejak jenjang terendah hingga tertinggi (sekolah dan perguruan tinggi). Pembinaan moral hendaknya dituangkan dan visi, misi, dan tujuan pendidikan yang sedang dikembangkan. Namun begitu, perbaikan moralitas siswa tidak lepas dari ketauladanan dari sang pendidik itu sendiri dan penataan lingkungan yang kondusif bagi pembinaan moral siswa. Kata Kunci Moral Pembudayaan Lingkungan Sekolah A. Fenomena Sekolah dianggap pilar pendidikan paling ideal diantara pilar lain yaitu keluarga dan lingkungan dalam mentransfer pengetahuan. Walaupun hakikinya ketiga sendi tersebut tidak dapat dipisahkan dalam penbentukan kepribadian anak. Kesibukan orang tua menjadi pembenaran argumen tersebut, sehingga implikasinya Banyak orang tua yang kemudian menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak dalam lingkungan sekolah. Maka bermunculan sekolahsekolah dengan konsep full day, sekolah yang menggunakan alokasi waktu yang lebih panjang dari sekolah- sekolah pada umumnya. Beragam alasan didirikannya sekolah full day, bergantung visi, misi, tujuan, nilai, inovasi serta kretifitas lembaga pendidikan tersebut. Tanpa menunggu hasil penelitian lebih akurat tentang out put produk full day, dan tidak menilai apakah full day sebagai sebuah konsep sekolah tersebut efektif dalam pembelajarannya atau tidak. Masyarakat cenderung menilai dari sisi praktis. Karena keterbatasan pengawasan orang tua, dan dalam rangka mengeliminir pengaruh negatif dari lingkungan maka sistem sekolah full day menjadi alternatif pilihan yang subur. Orang tua tidak punya alasan cemas ketika anak berada di latar sekolah. Pengawasan orang tua menjadi lebih
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
26
Jurnal TARBAWIYAH
ringan. Karena dengan waktu yang panjang, siswa disekolah berada dalam pengawasan para guru. Ironisnya begitu besarnya harapan para orang tua kepada sekolah. Terlepas dari sekolah tersebut memiliki konsep full day ataupun tidak. Banyak sekolah tidak menangkapnya sebagai suatu peluang untuk membudayakan nilai-nilai luhur yang berdasarkan moralitas agama kepada anak didik secara integreted. Realitasnya pemebelajaran nilai hanya ada dalam kelas dimana proses belajar mengajar sedang barlangsung. Fenomena yang terekam dalam media visual televisi cukup mencengangkan. Di latar sekolah subur bermunculan kelompok-kelompok (geng-geng) dari siswa yang cenderung mengadopsi nilai negatif, dan dengan bebasnya mereka mengaplikasikan nilai tersebut sebagai jati diri disekolah (misalnya, geng nero, Jawa Tengah). Prilaku-prilaku arogan senior kepada yunior ditengah berlangsungnya aktivitas sekolah (misalnya, pelatihanpelatihan), lebih ironis bila hal tersebut mendapat legitimasi pihak sekolah. Belum lagi kekerasan yang dilakukan siswa dengan siswa lainnya, kekersan guru terhadap siswanya. Fenomena tersebut diatas, Sebuah gambaran yang jauh dari nilai-nilai pendidikan. Pada tulisan ini, penulis urun rembuk menata budaya sekolah yang integreted dengan nilai yang bersumber dari moralitas agama. Sehingga seluruh aktivitas dan prilaku anak didik di latar sekolah syarat nilai. B. Hakikat budaya sekolah Sekolah merupakan organisasi yang kompleks dan unik. Sekolah sebagai organisasi akan ditandai dengan adanya ciri-ciri umum sebuah organisasi, disamping ciri-ciri khas yang tidak dimiliki oleh organisasi pada umumnya (Wahjosumidjo : 2002). Maka budaya syarat nilai menjadi ciri khas yang diharapkan dapat menginternal pada setiap komponen yang terlibat didalamnya. Duncan (dalam Nirman: 1999), bahwa budaya organisasi adalah cara berpikir dan melakukan sesuatu yang mentradisi, yang dianut bersama oleh semua anggota organisasi, dan para anggota baru harus mempelajari atau paling sedikit menerimanya sebagaian agar mereka diterima sebagai bagian organisasi. Dengan demikian individu-individu yang ada dalam suatu organisasi tentunya tidak bisa lepas dari kebisaan-kebiasaan yang berlaku dalam wadah tersebut. Maka sejatinya budaya organisasi adalah keseluruhan nilai, norma, kepercayaan, pengertian, anggapan, harapan, pandangan yang dibuat, dikembangkan dan dihayati oleh anggota organisasi untuk digunakan sebagai petunjuk dalam bersikap dan berprilaku. Sebagai konskuensinya, bila nilai dalam organisasi tersebut menjadi kesepakatan bersama dan diaplikasikan bersama, maka nilai itu akan berkembang dengan wujud produk yang kita sebut dengan budaya. Budaya sekolah menurut Zamroni (2000), dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos dan kebiasaankebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah. Hal ini mengandung arti bahwa budaya sekolah merupakan suatu kebiasaan dan aktivitas yang selama ini dilakukan oleh individu-individu sekolah. Selanjutnya Poster (2000) mengungkapkan bahwa budaya sekolah berkaitan dengan keseluruhan aktivitas dari semua yang berlangsung disekolah. Maka betapa ironisnya, bila organisasi besar yang bernama sekolah tidak menumbuhkan nilai yang bersumber dari moralitas agama sebagai dasar dari
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
27
Jurnal TARBAWIYAH
seluruh aktivitas sekolah, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Otomatis sekolah gagal dalam menjalankan fungsinya, meminjam istilah Tilaar sebagai transformasi nila-nilai budaya Kita ketahui bahwa budaya merupakan hasil olah akal, budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia dan dapat berbentuk apa saja dari seluruh aktivitas sekolah. Budaya dapat dimodifikasi, mengikuti perubahan zaman, dan dapat diciptakan melalui sebuah kebijakan dimana budaya tersebut berada. Budaya organisasi tidak terwujud dengan sendirinya melainkan merupakan hasil proses intraksi antara pribadi, pemimpin, bawahan serta lingkungan yang sama-sama berniat untuk membuat, mengembangkan, menghayati serta menerapkannya. Sutarto (2002). Untuk menjaga keberlangsungan budaya organisasi, maka organisasi dalam hal ini sekolah tidak pernah berhenti melakukan proses sosialisasi. Proses tersebut diberlakukan kepada komponen organisasi tersebut. terutama pada anggota baru yang masih belum dapat menghayati dan menjadikan aturan main organisasi tersebut sebagai budaya. Maka pada intinya hakikat budaya sekolah adalah keseluruhan dari seluruh aktivitas yang berlangsung di sekolah. Arti yang lebih spesifik lagi bahwa budaya sekolah merupakan suatu kebiasaan dan aktivitas yang selama ini dilakukan oleh individu-individu dalam sekolah. Aktivitas tersebut bisa berupa pengetahuan, interaksi sosial, kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, moral, kebiasaan-kebiasaan, rutinitas-rutinitas, ritual-ritual, simbol-simbol maupun bahasa-bahasa yang berlangsung dalam perjalanan panjang sekolah. C. Komponen Budaya Sekolah. Menurut poster (2000) terdapat dua kategori dasar yang menjadi komponen dalam budaya organisasi sekolah yaitu; 1) konsep yang tidak kasat mata terdiri dari nilai, filsafat dan idiologi, 2) konsep yang dapat diperinci menjadi ungkapan verbal, visual dan tingkah laku. Suatu budaya dapat bertahan bahkan mampu berkembang secara dinamais jika masing-masing komponen dalam lingkup organisasi tersebut dapat berjalan seirama. Dalam kaitan wacana disini adalah bila komponen sekolah dapat sejalan dengan pembuat keputusan dan sepakat mengaplikasikan dalam tingkah laku. Penanaman nilai, kultur dan kebiasaan-kebiasaan dalam organisasi sekolah dilakukan oleh anggota-anggota organisasi itu sendiri, dan tentunya sudah dimulai sejak dalam fase-fase awal pendidikan. Hal tersebut tentunya dapat terwujud dengan peran kepemimpinan sekolah yang memiliki kualifikasi manajemen yang baik. Jika kepala sekolah sungguh-sungguh berkepentingan terhadap pembentukan kultur sekolah yang syarat moral, maka harus terlibat dalam mengembangkan, memelihara dan membentuk kembali simbol-simbol yang mengungkapkan sekolah untuk apa dan bagaimana menyelenggarakannya. Menurut Poster ( 2000), Komponen budaya sekolah sebagi berikut : 1. 2. 3. 4.
Nilai Filsafat Idiologi Konsep Verbal a. Sasaran dan tujuan b. Kurikulum c. Bahasa
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
28
Jurnal TARBAWIYAH
d. Metafora e. Cerita-cerita organisasi f. Pahlawan organisasi g. Struktur organisasi 5. Konsep Visual a. Fasilitas dan perlengkapan b. Artefak dan kenangan c. Ornamen dan motto d. Pakaian seragam 6. Tingkah laku a. Ritus dan upacara b. Belajar dan mengajar c. Prosedur operasional d. Aturan dan tata tertib, hadiah dan sanksi e. Dukungan psikologi dan sosial f. Pola interaksi komunitas dan orang tua siswa D. Moralitas Agama Membudaya di Sekolah Fungsi dari lembaga pendidikan adalah mentransformasikan nilai-nilai budaya. Proses transformasi nilai-nilai budaya mempunyai dua prinsip. Prinsip pertama, adanya pengakuan adanya kenyataan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dengan keragamannya, dan yang kedua adalah nlai-nilai budaya yang ada di masyarakat Indonesia dengan memilih nilai--nilai yang luhur untuk dipertahankan dan meninggalkan nilai-nilai yang tidak berfungsi lagi menghadapi perubahan. Tilaar (2000). Transformasi budaya mengasumsikan adanya fungsi-fungsi imanen dan transeden. Fungsi imanen yaitu memelihara nilai-nilai luhur didalam kebudayaan, dan fungsi transeden memilih nilai yang sesuai dengan perkembangan jaman. Menurut Schein (Arifin 2003), nilai-nilai yang terdapat dalam budaya organisasi mempunyai peranan yang sangat penting untuk kekuatan organisasi dan sering dipublikasikan dalam pernyataan formal pada misi dan visi organisasi tersebut. Dengan demikian setiap komponen budaya organisasi yang kuat dapat mempengaruhi prilaku individu dalam kelompok tersebut dan dapat dianut secara terus menerus oleh generasi berikutnya. Nilai dipelajari, dicerna melalui pengalaman, pendidikan dan observasi dan menjadi sasaran penilaian kembali secara terus menerus. Mendefenisikan nilai sebagai suatu konsep tentang apa yang diinginkan, dengan kekuatan motivasi maka nilai juga berlaku sebagai penggerak penentu tingkah laku. Nilai-nilai yang terdapat dalam sekolah sangat mempengaruhi prilaku anggotanya dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Nilai-nilai dan keyakinan sekolah merupakan dasar dari budaya sekolah. Bagaimana mengaplikasikan moralitas agama menjadi dasar nilai, filsafat, Idiologi sekolah. Moralitas agama integreted dalam proses belajar mengajar yang didalamnya ada; Sasaran, tujuan, kurikulum, bahasa, metafora, cerita-cerita organisasi sekolah, pahlawan sekolah, Struktur organisasi sekolah. Berkelanjutan kepada hal-hal fisik; Fasilitas dan perlengkapan, Artefak dan kenangan, Ornamen dan motto, Pakaian seragam. Sampai kepada tingkah laku; ritus dan upacara, belajar dan mengajar, prosedur operasional, aturan dan tata tertib, hadiah dan sanksi, dukungan psikologi serta sosial, Pola interaksi komunitas dan orang tua siswa. Maka sesungguhnya mutlak bagi penyelenggara pendidikan yang concern terhadap pembudayaan akhlak atau moralitas agama menjadi ciri khas
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
29
Jurnal TARBAWIYAH
budaya lembaga pendidikannya untuk menanyakan kembali, apakah komponen budaya sekolah mereka sudah berlandasakan nilai moralitas agama?.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Rois., Amirullah & Fauziah., 2003. Prilaku organisasi. Malang; Bayu Media Nimran, Umar. 1999. Prilaku Organisasi. Surabaya ; Citra Media Poster, Cyril. 2000. Gerakan Menciptakan sekolah Unggul, Jakarta: Lembaga Indonesia Adidaya Sutarto, 2002. Dasar-dasar Organisasi. Yogyakarta : Gajah Mada University press Tilaar, H.A.R. 2002 Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung : Remaja rosdakarya. Wahjosumidjo. 2002. Kepemimpinan kepala sekolah, Tinjauan teoritik dan permasalahannya, Jakarta ; raja Grafindo persada. Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing *) Penulis adalah Pegiat Diskusi Keislaman PPs Al Khoziny.
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
30