Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama Telaah Pemikiran Pendidikan Nurcholish Madjid Luluk Atirotuzzahrok ∗ Abstrak Salah satu persoalan besar yang kini dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia adalah krisis moralitas. Tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, seks bebas hingga perilaku kriminal yang semakin banyak dilakukan pelajar merupakan bukti adanya krisis moralitas. Krisis moralitas ini terjadi sebagai dampak dari perubahan sosial yang berlangsung secara massive. Dalam kondisi semacam ini, yang dibutuhkan adalah membangun kesiapan untuk menghadapi perubahan. Ajaran agama merupakan salah satu modal penting dalam menghadapi perubahan. Menurut Nurcholish Madjid, pendidikan merupakan kunci kemajuan masyarakat. Namun pendidikan seharusnya memberi keseimbangan antara aspek fisik-material dan spiritualitas keberagamaan. Penekanan hanya kepada salah satu aspek saja akan menjadikan dunia pendidikan mengalami krisis. Oleh karena itu, hal yang penting untuk dilakukan adalah dengan intensifikasi pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama yang diajarkan di sekolah berkisar pada dua dimensi hidup: penanaman rasa taqwa kepada Allah s.w.t. dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama. Dalam implementasinya, pendidikan agama membutuhkan keteladanan dari pendidik. Tanpa adanya keteladanan, pendidikan agama tidak akan mampu mencapai hasil secara maksimal. Selain itu, pendidikan agama juga harus ditanamkan dalam keluarga. Kata kunci: krisis, moralitas, pendidikan, agama, keteladanan A. Pendahuluan Sorotan terhadap dunia pendidikan Indonesia sepertinya tidak pernah berhenti dilakukan. Selalu saja ditemukan adanya aspek yang menjadi titik perhatian publik, mulai dari kebijakan, prestasi, kompetensi, hingga perilaku pendidik dan anak didik. Walaupun dengan intensitas yang naik turun, tetapi hampir selalu “wajah” dunia pendidikan mewarnai aneka pemberitaan di media massa. Tajamnya sorotan yang sering dialamatkan ke dunia pendidikan ini menimbulkan sikap pro-kontra di kalangan praktisi pendidikan. Mereka umumnya menilai bahwa aspek yang disoroti oleh media hanyalah aspek ∗
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Tulungagung Jawa Timur
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Luluk Atirotuzzahrok: Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama...
868
yang negatif saja. Padahal, ada banyak aspek positif dalam bentuk prestasi dan kemajuan yang telah diraih. Jika menggunakan cara pandang yang jernih dan obyektif, sorotan yang sering dialamatkan ke dunia pendidikan ini pada dasarnya bisa dilihat dari perspektif yang konstruktif, yakni sebagai sarana untuk refleksi, mencari akar penyebabnya, dan menemukan solusinya. Dengan cara pandang yang positif, maka berbagai penilaian yang cenderung negatif terhadap dunia pendidikan tersebut sesungguhnya merupakan momentum untuk perbaikan. Justru dengan adanya sorotan, akan diperoleh masukan yang sangat berarti. Sebab, salah satu karakteristik yang biasanya melekat kuat dalam sebuah institusi adalah keengganan untuk mengakui adanya kelemahan, atau kesalahan. B. Krisis Moralitas Salah satu persoalan serius yang kini tengah dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia adalah krisis moralitas. Parameter untuk melihat hal ini tidak terlalu sulit. Jumlah siswa yang melakukan tindakan amoral, seperti tawuran, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pergaulan dan seks bebas, perilaku kriminal dan sejenisnya, meningkat tajam dari waktu ke waktu. Pergaulan dan seks bebas misalnya, telah berkembang menjadi fenomena sosial yang meresahkan. Faktor yang cukup determinan bagi diseminasi perilaku semacam ini adalah teknologi komunikasi. Arus pornografi menyebar dengan massive lewat media internet dan telepon selular. Adegan mesum yang dilakukan oleh pelajar juga semakin banyak tersebar. Hal ini menunjukkan telah terjadinya pergeseran moralitas yang luar biasa. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika perilaku semacam itu kini banyak dilakukan oleh pelajar . Bentuk krisis moralitas yang lainnya adalah kenakalan pelajar dalam berbagai bentuknya. Kenakalan pelajar dipengaruhi oleh beragam faktor. Salah satunya adalah masalah waktu kosong. Waktu kosong merupakan kesempatan bagi pelajar untuk melakukan berbagai bentuk kegiatan yang konstruktif. Namun, tidak jarang waktu kosong justru menjadi kesempatan untuk melakukan berbagai bentuk kegiatan yang destruktif.1 Pendapat Terry E. Lawson menarik untuk disimak dalam memahami persoalan tersebut karena terasa begitu menyentuh dan dekat dengan keseharian. Lawson menyentak kesadaran karena tanpa sadar, ternyata para orang tua sebenarnya membangun “iklim” kekerasan dalam 1
Ngainun Naim, Rekonstruksi Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Teras, 2009), p.
53. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Luluk Atirotuzzahrok: Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama...
869
jiwa anak-anaknya. Hal ini dapat lacak dari pembagian Lawson terhadap jenis-jenis perilaku kekerasan yang dilakukan oleh orang tua. Terry E. Lawson membagi empat macam abuse. Jenis pertama yaitu emotional abuse. Jenis abuse ini terjadi karena orang tua tidak memperhatikan kebutuhan anak terhadap kasih sayang, perhatian, atau curahan emosionalnya. Hal ini terjadi misalnya ketika ibu, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, justru mengabaikannya. Si ibu membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan itu berlangsung konsisten. Si ibu yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu. Jenis kedua adalah verbal abuse. Hal ini terjadi ketika si ibu, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam”, atau “jangan menangis”. Jika anak mulai bicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal seperti “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, “kamu menyebalkan”, dan seterusnya. Kata Lawson, semua kekerasan verbal itu dalam satu periode ini akan diingat oleh anak sepanjang hidupnya. Jenis ketiga yaitu, physical abuse. Jika si anak tidak diam, si ibu biasanya tidak hanya sekedar membentaknya, tetapi juga menjewernya, memukul, atau menyeretnya. Si ibu merasa malu melihat tingkah si anak yang menangis meraung-raung karena permintaannya yang tidak dituruti. Tetapi, si ibu tidak sadar bahwa hal itu akan diingat oleh anak itu, terutama jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Jenis keempat yaitu sexual abuse yang biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Walaupun ada beberapa kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia enam bulan. Semua tindakan kekerasan tersebut akan direkam dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan, setelah menjadi orang tua, akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anakanak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang agresif. Lawson menggambarkan dengan sangat mengerikan, bahwa semua jenis gangguan mental (mental disorders) ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil.2 2
Jalaluddin Rakhmat, “Kecerdasan Majemuk untuk Sekolah para Juara”, dalam Thomas R. Hoerr, Buku Kerja Multiple Intelligences, terj. Ary Nilandari, (Bandung: Kaifa, 2007), pp. 106-107. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
870
Luluk Atirotuzzahrok: Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama...
Krisis moralitas yang lainnya adalah semakin lunturnya kejujuran dari dunia pendidikan. Ketidakjujuran ini mengambil bentuk beranekaragam. Ada yang dalam bentuk penerimaan siswa lewat “jalan belakang”. Model lainnya adalah dalam bentuk mengatur bagaimana agar seluruh siswa bisa lulus Ujian Nasional (UNAS). Ketidakjujuran ini semakin jelas terbaca ketika program kantin kejujuran yang dilaksanakan di berbagai sekolah ternyata sebagian besarnya bangkrut. C. Ekses Negatif Perubahan Munculnya berbagai krisis moralitas yang tengah berlangsung dalam dunia pendidikan ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Solusi yang tepat diperlukan agar dunia pendidikan Indonesia tidak semakin terpuruk. Dunia pendidikan bukan hanya mengajarkan tentang bagaimana siswa memeroleh pengetahuan yang banyak, tetapi juga bagaimana siswa berperilaku semakin baik dan memiliki ketrampilan hidup. Hal ini disebabkan karena apa yang diajarkan dalam dunia pendidikan mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, sebagaimana dirumuskan oleh Benjamin S. Bloom.3 Pemikiran Nurcholish Madjid (yang sering dikenal dengan panggilan Cak Nur) menarik disimak sebagai kerangka perbaikan dalam dunia pendidikan agar krisis moralitas dapat diatasi. Cak Nur berpandangan, akhlak atau moralitas itu penting maknanya karena merupakan sendi atau landasan ketahanan suatu bangsa dalam menghadapi pancaroba.4 Landasan itu yang menentukan terhadap kokoh atau tidaknya sebuah bangunan. Ketika dalam proses perubahan sosial yang berlangsung sedemikian massive, sangat mungkin aspek moralitas tidak mampu untuk dijaga. Jika terjadi krisis moralitas maka perjalanan bangsa ke depan akan menghadapi berbagai tantangan yang semakin akut. Oleh karena itu, Cak Nur menerangkan, untuk mengantisipasi adanya perubahan dalam masyarakat, tidak cukup hanya dengan melakukan pendekatan praktis dan pragmatis. Hal yang lebih penting justru bagaimana meningkatkan pembangunan kelembagaan sosial budaya karena adanya hubungan “sistemik-sibernetik” antara budaya dan kemasyarakatan budaya. Perangai, dan juga perilaku seseorang itu tumbuh
3 Ad. Rooijakkers, Mengajar dengan Sukses, Petunjuk untuk Merencanakan dan Menyampaikan Pengajaran, Cet. X, (Jakarta: Gramedia, 2003), pp. 129-130. 4 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), p. 174.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Luluk Atirotuzzahrok: Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama...
871
dan berubah hanya sampai batas minimal sesuai dengan tuntutan situasi yang terdekat dalam hidupnya.5 Perubahan memang merupakan realitas yang tidak mungkin untuk dihindari. Dalam dinamika sosial yang berlangsung sedemikian massive, ada aspek yang menjadi konsekuensinya, yaitu timbulnya krisis. Ukuran krisis itu sebanding dengan ukuran perubahan yang terjadi dan kondisi sosial tertentu akan mendorong tumbuhnya sistem nilai tertentu.6 Krisis yang timbul akibat adanya perubahan sosial kebanyakan bersifat negatif. Dalam analisis yang dilakukan oleh Cak Nur—panggilan Nurcholish Madjid—ada beberapa dampak negatif akibat perubahan sosial. Pertama, “deprivasi relatif”, yaitu perasaan teringkari, tersisihkan atau tertinggal pada orang lain dan kalangan tertentu dalam masyarakat akibat tidak dapat mengikuti laju perubahan, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Kedua, “dislokasi”, yaitu perasaan tidak punya tempat dalam tatanan sosial yang sedang berkembang. Dalam wujudnya yang amat nyata, dislokasi ini dapat dilihat pada krisis-krisis yang dialami oleh kaum marginal atau pinggiran di kota-kota besar akibat urbanisasi. Ketiga, “disorientasi”, yaitu perasaan tidak mempunyai pegangan hidup akibat yang ada selama ini tidak lagi dapat dipertahankan karena terasa tidak cocok. Disorientasi ini menyebabkan yang bersangkutan sulit mengenali diri sendiri (kehilangan identitas). Keempat, “negativisme”, yaitu perasaan yang mendorong ke arah pandangan yang serba negatif kepada susunan mapan, dengan sikap-sikap tidak percaya, curiga, bermusuhan, melawan, dan sebagainya.7 Namun demikian, tidak setiap perubahan sosial membawa dampak negatif. Perubahan justru bisa mendatangkan sisi positif ketika terdapat kesiapan untuk menghadapinya. Oleh karena itu, aspek mendasar yang harus ditanamkan dalam diri anak didik adalah bagaimana mereka memiliki landasan yang kokoh dalam menghadapi perubahan. Landasan tersebut adalah nilai-nilai ajaran agama. D. Makna Penting Ajaran Agama Kondisi pendidikan yang penuh dengan persoalan seperti sekarang ini tidak bisa diselesaikan secara singkat. Hal ini disebabkan karena memang persoalannya telah mengakar kuat, sehingga penyelesaiannya pun membutuhkan kerja keras dan waktu yang panjang. 5 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), p. 171. 6 Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Cet. II, (Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat, 2009), p. 160. 7 Ibid., p. 160.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Luluk Atirotuzzahrok: Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama...
872
Langkah awal untuk menyelesaikan aneka persoalan dalam dunia pendidikan ini adalah dengan jalan keyakinan diri yang optimis-positif. Keyakinan diri dan kemampuan dalam menghadapi masa depan sangat tergantung pada bagaimana cara berpikir. Cara berpikir merupakan salah satu yang paling substantif dalam diri .8 Oleh karena itu, pola pikir bahwa krisis pendidikan merupakan sesuatu yang harus diatasi dengan mendasarkan diri pada nilai agama penting untuk ditanamkan. Sebab dengan keyakinan semacam ini, maka akan memunculkan langkah yang penuh keyakinan untuk melakukan rekonstruksi pendidikan secara lebih utuh. Salah satu akar persoalan munculnya krisis moralitas karena selama ini pendidikan hanya memberi penekanan pada aspek yang bersifat fisikmaterial. Sementara, dimensi yang lebih bersifat fundamental, yakni dimensi spiritual keberagamaan justru diabaikan. Dimensi spiritual keberagamaan itu sangat penting artinya. Dalam konteks Islam, nilai-nilai Islam secara normatif ikut menentukan sikap seseorang dalam mengantisipasi dan memecahkan setiap persoalan yang dihadapinya.9 Antara aspek fisik-material dengan aspek spiritual-keberagamaan semestinya bersifat imbang. Penekanan pada salah satu aspek saja akan mengakibatkan kepincangan pada manusia yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Karena pendidikan Indonesia hanya menekankan pada aspek fisik-material, salah satu implikasinya adalah munculnya krisis moralitas. Ilmu pengetahuan yang ditransfer dalam proses pembelajaran bukanlah jaminan bagi kehidupan bahagia sejati dan langgeng. Manusia memerlukan sesuatu yang lebih daripada ilmu pengetahuan, yaitu ajaran-ajaran moral Tuhan yang bila diikuti akan menghindarkan manusia dari kemungkinan terjatuh pada kesesatan dalam hidup.10 Aspek penting agama yang seharusnya menjadi bagian tidak terpisah dalam kurikulum pendidikan adalah ajaran-ajaran agama yang menjadi “grounds for meaning”, atau “asas-asas makna hidup”. Ajaran agama semacam ini sifatnya universal. Dengan kata lain, ajaran-ajaran agama yang menjadi sumber pokok pancaran nilai-nilai kehidupan disebut universal karena selain merupakan keperluan setiap individu, juga kapasitas fungsionalnya sebagai sumber nilai tidak terkena oleh batasan-batasan ruang dan waktu. Bagian dari ajaran-ajaran agama yang bersifat asasi itu membentuk apa yang dinamakan dalam bahasa pengetahuan sosial sebagai “weltanschauung”. 8
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, p. 29. Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), p. 3. 10 Ibid., pp. 184-185. 9
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Luluk Atirotuzzahrok: Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama...
873
Weltanschauung Islam membicarakan tiga masalah pokok yaitu Tuhan, manusia dan alam, termasuk bentuk-bentuk hubungan antara ketiganya. Dalam tiga kategori pembahasan filsafati itu telah tercakup persoalan-persoalan penting seperti alam gaib, eskatologi, tentang Nabi dan Rasul, dan lain-lainnya. Semua persoalan tersebut dilakukan dalam perspektif yang lebih bersifat asasi. Dalam pembahasan hubungan antarmanusia umpamanya, yang dimaksud bukanlah sekedar materi-materi pembicaraan tentang mu’amalah dalam fikih, melainkan lebih pada ajaranajaran yang memberikan pendekatan “falsafi” tentang siapa itu manusia dan bagaimana seharusnya hak dan kewajiban kemanusiaan dalam hubungan antar sesamanya. Maka, pembahasannya akan lebih banyak berkisar pada doktrin tentang kesamaan manusia (egalitarianisme), hakhak asasi, dan keadilan sosial. Tentang ketuhanan, tidak sekedar memahami Tuhan lewat sifat-sifatnya sebagaimana dalam metode Maturidi-Asy’ari, tetapi juga memerlukan keinsyafan ketuhanan yang lebih fungsional dalam ruhani. Umpamanya, keinsyafan bahwa Tuhan mutlak memiliki sifat pengasih, penyayang, pengampun, penyantun kepada umat manusia, “omnipresent” (senantiasa hadir mutlak), dan keseluruhan sifat Tuhan dalam asma’ al-husna. Penting juga diinsyafi tentang sifat kemutlakan Tuhan yang tak terjangkau kemampuan manusia, namun manusia dapat berproses mendekatinya dengan taqarrub. Dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan tidak hanya mempelajari persoalan-persoalan ubudiyah saja, tetapi juga membahas dan menanamkan keinsyafan yang mendalam tentang makna nilai-nilai keagamaan seperti taqwa, taqarrub, tawakkal, ikhlas, dan seterusnya. Dari perspektif ini, ibadat dalam arti ritus merupakan sarana edukatif bagi terbentuknya kualitas-kualitas tersebut dalam jiwa.11 Bagi Cak Nur, pendidikan tidak cukup hanya dengan menekankan kepada keahlian dan ketrampilan teknis semata. Walaupun penting, namun ditinjau dari sudut manusia secara utuh, ketrampilan tersebut nilainya instrumental, bukan intrinsik. Nilai yang instrumental itu harus mengabdi kepada nilai yang intrinsik. Berkaitan dengan pengembangan kualitas manusia yang memiliki keteladanan. Cak Nur menawarkan agenda etika manusia Indonesia. Pertama, keimanan dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa manusia Indonesia terwujud dari manusia yang menyadari tentang adanya asal dan tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup duniawi atau terrestrial ini. Dengan menyadari asal dan tujuan hidup, manusia akan selalu bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. 11
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, pp. 14-16.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Luluk Atirotuzzahrok: Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama...
874
Kedua, karena dasar keimanan dan takwa itu maka manusia Indonesia bekerja tidak atas dasar keyakinan keliru bahwa kebahagiaannya sebagai manusia yang utuh terletak dalam ekspediensi fisik dan material, tetapi dalam peningkatan kualitas jiwa dan ruhaninya. Dengan begitu, ia tidak tersesat masuk ke dalam sikap-sikap mementingkan diri sendiri dan memenuhi keinginan rendah diri sendiri, sehingga mampu mengingkari diri sendiri, bebas dari dorongan mencari kenikmatan hidup lahiriah semata (pleasure seeking), juga bebas dari sifat-sifat tamak, loba, rakus, dan mementingkan diri sendiri. Ketiga, kualitas manusia Indonesia berpangkal pada semangat dan kemampuan menunda kesenangan sementara. Keempat, manusia Indonesia adalah manusia yang tabah, gigih, tahan menderita, karena yakin kepada masa depan. Karena keimanan dan takwanya, ia senantiasa berpengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hidup penuh harapan itulah yang menjadi dorongan batin atau motivasi yang tinggi dan kuat sehingga ia tekun, rajin, produktif, dan senantiasa menggunakan waktu luang untuk kerja keras yang menghasilkan sesuatu. Kelima, tidak memiliki dorongan untuk hidup mewah dan berlebihan. Keenam, mampu bersikap dan berlaku adil, jujur, dan fair meskipun terhadap diri sendiri, kerabat dan handai taulan.12 Tawaran etika manusia Indonesia yang digagas oleh Cak Nur ini terasa relevan dalam merespon realitas krisis moralitas dalam dunia pendidikan. Karakteristik manusia semacam itu membutuhkan usaha dan perjuangan untuk mewujudkannya, dengan cara semacam itu, diharapkan akan lahir manusia yang memiliki budi pekerti luhur dan nilai keimanan yang kokoh. E. Pendidikan Keteladanan Cak Nur melihat bahwa langkah yang paling efektif untuk mengatasi berbagai krisis yang mendera dunia pendidikan adalah lewat jalur pendidikan. Formula pendidikan yang ditawarkan oleh Cak Nur sarat dengan ajaran agama yaitu dengan kembali kepada makna esensial pendidikan. Pendidikan dalam istilah al-Qur’an disebut tarbiyah yang mengandung arti penumbuhan atau peningkatan anak dengan terutama juga si ibu yang tanpa pamrih dan atas rasa cinta kasih yang semurnimurninya mencurahkan diri dan perhatiannya kepada pertumbuhan anak. Hubungan emosional yang amat pekat dan penuh kemesraan si ibu menjadi taruhan survival si anak memasuki dunia kehidupan. Hubungan itu 12
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Cet. II, (Jakarta: Paramadina, 2003), pp. 98-100. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Luluk Atirotuzzahrok: Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama...
875
telah terbentuk sejak dalam kandungan, sedemikian pekatnya unsur cinta kasih itu, sehingga tempat janin dalam bahasa Arab disebut rahm (rahim, secara etimologis berarti cinta kasih). Namun, usaha penumbuhan dan peningkatan oleh orang-tua bagi anaknya tidak terbatas hanya kepada segi fisik semata-mata. Justru yang lebih penting adalah usaha yang tidak bersifat fisik, yaitu penumbuhan dan peningkatan potensi positif seorang anak agar menjadi seorang manusia dengan tingkat kualitas yang setinggitingginya. Orang tua tidak kuasa membuat anaknya “baik”, karena potensi kebaikan itu justru sudah ada pada anak. Tetapi, orang tua dapat dan berkewajiban berbuat sesuatu guna mengembangkan apa yang secara primordial sudah ada pada si anak, yaitu nature kebaikannya sendiri sesuai dengan fitrahnya. Sementara itu, di pihak lain, orang-tua mempunyai peranan menentukan dan memikul beban tanggungjawab utama jika sampai terjadi si anak menyimpang dari nature dan potensi kebaikannya itu, sehingga menjadi manusia dengan ciri-ciri kualitas rendah.13 Menurut ajaran agama, anak adalah fitnah, yaitu cobaan Tuhan kepada , bersama dengan harta benda. Anak disebut cobaan karena anak (dan harta) adalah batu penguji tentang siapa sebenarnya dari sudut kualitas hidup dan kepribadian. Kualitas itu akan dengan sendirinya tercermin dalam apa yang lakukan kepada anak (dan harta) yaitu menuju kebaikan ataukah membawa kepada keburukan. Oleh karena itu, anak harus diberi “fungsi sosial”, dengan jalan menumbuhkannya menjadi orang yang shalih, yang bermanfaat untuk sesamanya dan dirinya sendiri.14 Esensi pendidikan adalah kesatuan antara aspek fisik-material dengan aspek spiritual. Keduanya harus diberikan secara seimbang. Namun sayangnya, hal ini diabaikan oleh sistem pendidikan di Indonesia. Jika pendidikan Indonesia ingin keluar dari jerat krisis moralitas, maka hal mendasar yang harus dilakukan adalah “intensifikasi” pengajaran agama di sekolah-sekolah.15 Dimensi pendidikan akan menjadi bagian yang tidak terpisah dari sistem pembelajaran. Lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, harus dilihat sebagai kelanjutan rumah tangga, sedangkan pendidik adalah wakil-wakil orang tua dan pelanjut peran orang tua menumbuhkan dan mengembangkan anak mereka.16 Pembelajaran agama di sekolah tidak bisa dilakukan dengan hanya menyentuh ranah kognitif semata, sebab agama itu tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan semata, tetapi juga berkaitan dengan pengamalan dan penghayatan. Keberhasilan pendidikan 13
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, pp. 114-115. Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, p. 117. 15 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, p. 164. 16 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, p. 117-118. 14
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Luluk Atirotuzzahrok: Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama...
876
agama bagi anak tidak cukup diukur hanya dari penguasaan aspek kognitif tentang ajaran agama atau ritus-ritus keagamaan semata, tetapi justru yang lebih penting, berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, yaitu seberapa jauh tertanam nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa anak, dan seberapa jauh pula nilai-nilai itu mewujud-nyata dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-harinya. Perwujudan nyatanya adalah budi pekerti luhur atau alakhlak al-karimah.17 Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah berkisar pada dua dimensi hidup: penanaman rasa takwa kepada Allah s.w.t. dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama. Penanaman rasa takwa dimulai dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama berupa ibadat-ibadat. Pelaksanaan itu harus disertai dengan penghayatan yang sedalam-dalamnya akan makna ibadat-ibadat tersebut, sehingga ibadat-ibadat itu tidak dikerjakan semata-mata sebagai ritus formal belaka, melainkan dengan keinsyafan mendalam akan fungsi edukatifnya. Rasa takwa kepada Allah s.w.t. itu kemudian dapat dikembangkan dengan menghayati keagungan dan kebesaran Tuhan lewat perhatian kepada alam semesta beserta segala isinya, dan kepada lingkungan sekitar. Al-Qur’an menyebutkan bahwa hanyalah mereka yang memahami alam sekitar dan menghayati hikmah dan kebesaran yang terkandung di dalamnya sebagai ciptaan Ilahi yang dapat dengan benar-benar merasakan kehadiran Tuhan, sehingga bertakwa kepada-Nya.18 Dalam bahasa al-Qur’an, dimensi hidup ketuhanan ini disebut jiwa rabbaniyah atau ribbiyah. Kegiatan menanamkan nilai-nilai keagamaan sesungguhnya merupakan inti pendidikan keagamaan. Nilainilai yang sangat mendasar adalah: pertama, iman, yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan, tidak cukup hanya percaya kepada adanya Tuhan, melainkan harus meningkat menjadi sikap mempercayai kepada adanya Tuhan dan menaruh kepercayaan kepada-Nya; kedua, Islam, sebagai kelanjutan adanya iman, maka sikap pasrah kepada-Nya (yang merupakan makna asal perkataan “islam”), dengan meyakini bahwa apa pun yang datang dari Tuhan tentu mengandung hikmah kebaikan di mana manusia yang dlaif tidak mungkin mengetahui seluruh wujudnya. Sikap taat (Arab: “din”) tidak absah (dan tidak diterima oleh Tuhan), kecuali jika berupa sikap pasrah (islam) kepada-Nya; ketiga, ihsan, yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah s.w.t. senantiasa hadir atau berada bersama di mana pun berada. Bertalian dengan ini, dan karena menginsyafi bahwa Allah s.w.t. selalu mengawasi manusia, maka manusia harus berbuat, berlaku dan bertindak menjalankan sesuatu dengan sebaik 17 18
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, p. 132. Ibid., p. 128.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Luluk Atirotuzzahrok: Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama...
877
mungkin dan penuh rasa tanggungjawab, tidak setengah-setengah dan tidak dengan sikap sekedarnya saja; keempat, takwa, yaitu sikap yang sadar penuh bahwa Allah s.w.t. selalu mengawasi manusia, kemudian manusia berusaha berbuat hanya sesuatu yang diridlai Allah s.w.t., dengan menjauhi atau menjaga diri dari sesuatu yang tidak diridlai-Nya. Takwa inilah yang mendasari budi pekerti luhur atau al-akhlak al-karimah; kelima, ikhlash, yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan, semata-mata demi memperoleh ridla atau perkenan Allah s.w.t., dan dengan menjauhi atau menjaga diri dari sesuatu yang tidak diridlai-Nya; keenam, tawakkal, yaitu sikap senantiasa bersandar kepada Allah s.w.t., dengan penuh harapan kepada-Nya dan keyakinan bahwa Dia akan menolong manusia dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik; ketujuh, syukur, yaitu sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya, yang dianugerahkan Allah s.w.t. kepada manusia. Sikap bersyukur sebenarnya sikap optimis kepada hidup ini dan pandangan senantiasa berpengharapan kepada Allah s.w.t.; kedelapan, sabar, yaitu sikap tabah menghadapi segala kepahitan hidup, besar dan kecil, lahir dan batin, fisiologis maupun psikologis, karena keyakinan tak tergoyahkan bahwa manusia semua berasal dari Allah s.w.t. dan akan kembali kepada-Nya. Sadar adalah sikap batin yang tumbuh karena kesadaran akan asal dan tujuan hidup, yaitu Allah s.w.t.19 Agama itu tidak hanya pengajaran tentang ritus-ritus dan segi-segi formalistik saja. Ritus dan formalitas merupakan—atau ibarat—“bingkai” bagi agama, atau “kerangka” bagi bangunan keagamaan. Karena itu, setiap anak perlu diajari bagaimana melaksanakan ritus-ritus itu dengan baik dengan memenuhi segala “syarat dan rukun” keabsahannya. Tetapi sebagai “bingkai” atau “kerangka”, ritus dan formalitas bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Ritus dan formalitas baru mempunyai makna yang hakiki jika mengantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah s.w.t. dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlak karimah). Maka, pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertianpengertiannya yang konvensional dalam masyarakat. Meskipun pengertian pendidikan agama yang dikenal dalam masyarakat itu tidaklah seluruhnya salah—jelas sebagian besar adalah baik dan harus dipertahankan—namun tidak dapat dibantah lagi bahwa pengertian itu harus disempurnakan.20
19 20
Ibid., pp. 130-132. Ibid., pp. 123-125.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Luluk Atirotuzzahrok: Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama...
878
Sejalan dengan konsepsi ini, agar pembelajaran agama dapat berjalan secara maksimal maka pihak pendidik seharusnya menjadi role model bagi pelajaran yang diampu. Pendidik menjadi contoh sempurna dari materi yang sedang diajarkan. Dengan demikian, pendidik harus menjadi teladan bagi anak didiknya. Aspek yang penting untuk dikembangkan untuk menciptakan manusia yang memiliki keteladanan adalah bagaimana melahirkan kesadaran akan tanggung jawab pribadi, yaitu tanggungjawab atas semua yang dilakukannya kepada Allah s.w.t. Kesadaran ini berpangkal kepada iman. Ini memerlukan takwa. Takwa dalam tafsiran Cak Nur bukan hanya “takut kepada Allah s.w.t.” atau “sikap patuh memenuhi segala kewajiban dan menjauhi larangan Allah s.w.t.”, tetapi lebih dari itu adalah pentingnya membangun “kesadaran ketuhanan” bahwa Tuhan itu Maha Hadir (omnipresent) dan bersedia untuk menyesuaikan keberadaan diri di bawah sorotan kesadaran tersebut. Persyaratan utama takwa adalah kepercayaan kepada yang gaib, yaitu semua sektor atau fase yang berada di luar jangkauan pemahaman manusia. Kesadaran ini merupakan prasayarat bagi munculnya keteladanan. Keteladanan harus dimulai dengan usaha penanaman kesadaran kepada pendidik, dan juga para siswa, bahwa segala perilaku itu harus mempertimbangkan segi positif-negatifnya. Aspek yang perlu ditekankan adalah bahwa keteladanan itu memiliki implikasi yang luas.21 Keteladanan ini sesungguhnya juga menunjukkan bahwa tiap-tiap pribadi dituntut untuk menampilkan diri sebagai makhluk moral yang bertanggungjawab, yang akan memikul segala amal perbuatannya tanpa kemungkinan mendelegasikannya kepada pribadi yang lain.22 Apapun yang manusia kerjakan akan menjadi tanggungjawab sendiri-sendiri. Perbuatan baik akan melahirkan banyak manfaat positif, sedangkan perbuatan buruk akan membawa efek negatif. Lebih lanjut, Cak Nur menegaskan bahwa keteladanan adalah kunci utama keberhasilan dalam mencapai sebuah tujuan. Keteladanan berarti adanya kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan. Al-Qur’an sendiri dengan keras menganjurkan kepada manusia jangan sampai manusia menganjurkan sesuatu. Namun, diri manusia tidak menjalankannya. Karena itu, perlu dipikirkan kebenaran ungkapan bahwa “bahasa perbuatan adalah lebih fasih daripada bahasa ucapan” (lisan al-hal afshah min lisan al-maqal).23 21
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, pp. 141-143. Ibid., p. 68. 23 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, p. 91. 22
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Luluk Atirotuzzahrok: Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama...
879
Tidak kurang pentingnya dalam keteladanan adalah konsistensi atau istiqamah. Sebab, keteladanan akan rusak tanpa sikap konsisten. Akibatnya, tumbuhnya disiplin juga tidak mungkin dapat diharapkan. Konsistensi adalah syarat agar suatu kegiatan berjalan secara optimal. Karena diperlukan adanya konsistensi atau istiqamah ini, maka suatu ketentuan tidak akan mengundang ketaatan, kepatuhan dan disiplin, jika dapat diubah atau berubah dengan mudah.24 Ditinjau dari sudut ajaran keagamaan, disiplin adalah sejenis perilaku taat atau patuh yang sangat terpuji. Tetapi agama juga mengajarkan bahwa ketaatan atau kepatuhan boleh dilakukan hanya terhadap hal-hal yang jelas-jelas tidak melanggar larangan Tuhan.25 Selain lewat lembaga pendidikan formal, penguatan nilai agama juga harus dilakukan dalam keluarga. Cak Nur menyatakan bahwa peran orang tua dalam mendidik anak itu sangat penting, yang ditekankan dari orang tua adalah pendidikan, bukan pengajaran. Sebagian dari usaha pendidikan itu memang dapat dilimpahkan kepada pihak lain, misalnya lembaga pendidikan tetapi yang sesungguhnya dilimpahkan hanyalah pengajaran agama. Sebagai pengajaran, peran “orang lain” seperti sekolah dan guru hanya sebatas terutama kepada segi-segi pengetahuan dan bersifat kognitif, meskipun tidak berarti tidak ada sekolah atau guru yang juga sekaligus berhasil memerankan pendidikan yang lebih bersifat afektif. Namun, segi afektif itu akan lebih mendalam diperoleh anak di rumah melalui orang tua dan suasana umum kerumahtanggaan itu sendiri.26 Peran pendidikan agama dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang tua adalah peran tingkah laku, tuladha atau teladan, dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai oleh dan disemangati oleh nilainilai keagamaan menyeluruh. Pendidikan agama menuntut tindakan percontohan daripada pengajaran verbal. Karena itu, yang penting adalah penghayatan kehidupan keagamaan dalam suasana rumah tangga.27 Peran orang tua juga akan efektif dengan keteladanan. Sebab, interaksi dengan orang tua dalam keluarga lebih dominan daripada interaksi dengan guru di sekolah. Dengan adanya keteladanan, baik dari guru ketika di sekolah maupun dari orang tua, diharapkan berbagai masalah moralitas akan dapat diatasi, atau paling tidak, diminimalisir.
24
Ibid., pp. 91-92. Ibid., p. 87. 26 Ibid., pp. 125-126. 27 Ibid., pp. 126-127. 25
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
880
Luluk Atirotuzzahrok: Pendidikan Keteladanan Berbasis Nilai Agama...
F. Penutup Krisis moralitas yang sedang terjadi dalam dunia pendidikan sudah semakin akut. Dalam kondisi demikian, dibutuhkan berbagai langkah secara serius yang bersifat komprehensif. Jika tidak, dunia pendidikan Indonesia akan semakin terpuruk sebab yang dihasilkan adalah manusiamanusia yang semakin hari semakin keropos moralnya. Padahal, moral adalah penyangga eksistensi sebuah bangsa. Pemikiran Nurcholish Madjid menarik untuk diapresiasi dalam mencari solusi untuk keluar dari jerat krisis moral dalam dunia pendidikan. Pemikiran Nurcholish Madjid berlandaskan kepada ajaran agama. Pembelajaran agama yang ideal adalah yang tidak hanya pada aspek formalistik saja, tetapi juga sampai pada pemahaman dan penghayatan. Selain itu, pembelajaran pendidikan agama akan mencapai hasil secara lebih maksimal manakala dilakukan dengan adanya keteladanan dari pendidik. Tidak kalah pentingnya adalah keteladanan dari orang tua. Dengan maksimalisasi segenap potensi ke arah penanaman nilai-nilai ajaran agama sebagaimana disarankan oleh Nurcholish Madjid, diharapkan dunia pendidikan Indonesia dapat keluar dari krisis moralitas yang tengah melanda.
Daftar Pustaka Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997. _______, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Cet. II, Jakarta: Paramadina, 2003. _______, Kaki Langit Peradaban Islam, Cet. II, Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat, 2009. _______, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997. _______, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1997. Naim, Ngainun, Rekonstruksi Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Teras, 2009. Rakhmat, Jalaluddin, “Kecerdasan Majemuk untuk Sekolah para Juara”, dalam Thomas R. Hoerr, Buku Kerja Multiple Intelligences, terj. Ary Nilandari, Bandung: Kaifa, 2007. Rooijakkers, AD., Mengajar dengan Sukses, Petunjuk untuk Merencanakan dan Menyampaikan Pengajaran, Cet. X, Jakarta: Gramedia, 2003. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010