PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB AL-HIKAM KARANGAN SYAIKH IBNU ATHAILLAH AL-SYUKANDARI SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh: Mucharor 11110193
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2014
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (Naskah) Hal
: Pengajuan Skripsi
Kepada Yth. Ketua STAIN Salatiga Di Salatiga
Assalmu’alaikum Wr. Wb. Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini kami kirimkan naskah skripsi mahasiswa: Nama
: Mucharor
NIM
: 111 10193
Jurusan/Progdi
: Tarbiyah/ Pendidikan Agama Islam
Judul
: PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB ALHIKAM KARANGAN SYAIKH IBNU ATHAILLAH AL-SYAKANDARI
Untuk diajukan dalam sidang munaqosyah. Demikian untuk menjadi periksa. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Salatiga, 29 Agustus 2014 Pembimbing
Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag. NIP. 19541002 198403 1 001
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Mucharror
NIM
: 111 101 193
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, pendapat atau temuan orang lain. Yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 29 Agustus 2014 Yang menyatakan,
Mucharror NIM. 111 10 193
MOTTO
ِخي ر ما تَطْل ِمْنو ما ىو طَال ِ ك ن م و ب ْ َ ُُ َ ُ َ ُ ُ َ ُ َْ Sebaik-baik permohonan yang engkau ajukan kepada Allah adalah apa yang dituntut olehNya untuk engkau lakukan. -Ibnu atha’illah-
Alangkah baiknya menyalakan lilin dari pada mengumpat kegelapan
Skripsi Ini Penulis Persembahkan Untuk: 1.
Kepada kedua orangtua penulis, Abah H. Jazuli dan Ibu penulis Hj. Mujarni yang karena segala limpahan kasih sayang, pengorbanan dan doanya penulis dapat menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini dengan baik dan lancar. Semoga Allah swt selalu dan akan selalu melimpahkan kasih sayangNya untuk kesehatan dan kesehatan selalu.
2.
Kakak-kakak dan adik-adik penulis yang telah banyak berkorban untuk kelancaran studi penulis, mbak Lina, mas Hanif, mas Luthfi, dek Wafi, dek Muth, dan dek Nikmah yang selalu penulis kasihi dan sayangi.
3.
Dua malaikat kecil (Nabil dan Nazil) yang selalu menjadi pelipur lara di kala bosan dan lelah. Dan juga keponakan-keponakan yang tak selalu jumpa akan tetapi kurindu doanya, Nuha, Nayla, dan Ulum, semoga Dia membesarkanmu dengan segenap Kasih dan SayangNya.
4.
Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag, yang membimbing dan memotifasi penulis dengan sabar dari bangku studi sampai terselesaikannya skripsi ini.
5.
Seluruh dosen di STAIN Salatiga yang telah memberika hikmah dan pengajaran, motifasi dan apresiai, sehingga penulis selalu bersemangat untuk terus maju dan berkembang, semoga Allah membalas segala amal dan menjadikannya ladang ilmin tuntafa’u bih yang terus mengalir dan menyebar. Sehat dan panjang umur untuk beliau semua.
6.
Semua guruku (Murabbi ruhiy) yang mendidik dan mengajarkanku tentang pentingnya ilmu dan arti hidup.
7.
Keluarga besari TPQ Al-Muttaqin, kawan dan sahabat di LDK Darul Amal, LPM DinamikA, senior junior, teruskan karya yang bermanfaat, di manapun dan kapanpun.
8.
Teman, rekan, sahabat selama studi di STAIN Salatiga semua angkatan, terkhusus angkatan 2010, dan semua yang rekan yang mendukung dan memberikan kontribusi yang berarti bagi proses studi penulis selama ini.
Semoga yang sedikit ini dapat memberikan manfaat yang berarti bagi segenap pembaca dan penerima manfaat. Dan akhirnya ikut berkontribusi bagi pembangunan manusia seutuhnya, berguna bagi Agama, Nusa, dan Bangsa.
Salatiga, 28 Agustus 2014
Mucharror 11110193
KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahim Pujian dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Dzat pencipta alam semesta, pencipta ilmu pengetahuan, dan pengatur sekaligus pemilik alam semesta raya. Semoga limpahan rahmat dan kasih sayangNya selalu dirasa dan menemani perjalanan panjang manusia menuju ma’rifatNya. Shalawat dan salamNya semoga selalu tercurahkan kepada Baginda agung, kekasihNya, dan orang yang selalu kita rindu perjumpaan dengannya kelak, Nabi pembawa wahyu, pemberi inspirasi, Muhammad Saw, contoh pribadi insan kamil yang mulia. Banyak pihak telah berkorban bagi terselesaikannya hasil kajian tentang pendidikan akhlak ini. Kepada beliau semua: 1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Ketua STAIN Salatiga 2. Suwardi, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Tarbiyah. 3. Rasimin, S.Pd.I, M.Pd., selaku Ketua program studi Pendidikan Agama Islam. 4. M. Ghufron, M.Ag, selaku Pembimbing Akademik yang selama ini menjadi pembimbing studi penulis selama belajar di almamater, dan tak jemu memberikan nasihat dan bimbingan serta dengan antusias mendengarkan setiap kata hati penulis. Athalallahu umrohu wa shahhaha jasadahu. 5. Prof. Dr. Budiharjo, M.Ag., selaku dosen pembimbing skripsi, yang selalu sabar dan teliti memberikan pengarahan dan dukungan untuk terus maju dan maju. 6. Segenap dosen yang telah memberikan hikmah dan makna hidup dengan kemulyaan ilmu. Terkhusus bapak Asfa Widiyanto, Ph.D., yang selalu mensuport untuk tidak menyerah dan maju meniti studi. 7. Abah dan Ibuk di rumah yang dengan nasihat, perhatian dan cintanya menghidupi penulis lahir dan batin dengan semangat lillahi ta’ala. Hanya Allah yang sanggup membalas dan menuliskan pahala dengan tintaNya. Athalallahu umrohuma wa shahhaha jasadahuma.
8. Segenap kakak-kakak dan adik-adik penulis dan segenap keluarga besar yang selalu mensuport penulis dengan doa. 9. Semua pihak yang sangat berarti dalam kehidupan penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, jazakumullahu ahsanal jaza’. Penulis ucapkan banyak terima kasih, teriring doa jazakumullahu ahsanal jaza’, jaza’an katsiro. Semoga yang sedikit ini dapat memberikan kontribusi yang besar bagi pengkajian pendidikan akhlak di masa yang akan dating.
Salatiga, 28 Agustus 2014 Penulis,
Mucharror NIM. 11110193
ABSTRAK Mucharror. 2014. Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al-Syukadari. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. Budiharjo, M.Ag. Kata Kunci: Pendidikan Akhlak, al-Hikam Akhlak merupakan bagian terpenting dalam agama Islam. Al-Hikam merupakan sebuah buku/kitab karya Syaikh al-arif bilah Abi Fadhil Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah al-Asakandary radhiyallahu anhu. Sebuah karya monumental yang berisikan nasihat yang diarahkan kepada kebaikan budi pekerti (akhlaq al-mahmudah). Penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana biografi penulis kitab alHikam?. Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitan al-Hikam?. Bagaimana metodologi penerapan pendidikan akhlak dalam kitab al-Hikam?. Bagaimana implikasi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab al-Hikam?. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi pustaka (library research), yaitu meneliti secara mendalam mengenai kitab al-Hikam. Sumber data penelitian di sini berasal dari sumber data primer dan sumber data sekunder, sedangkan untuk menganalisis data yang ada penulis mengorganisir, memilih dan memilah untuk disintesiskan kemudian menemukan pola dan menyimpulkannya. Adapun metode analisis ini menggunakan metode analisis induktif dan deduktif. Setelah dilakukan peneltitian dengan pendekatan tersebut dapat diketahui bahwa Syaikh Ibnu Athaillah terlahir di kota Iskandariyah Mesir pada tahun 648 Hijriyah. Beliau adalah seorang ulama’ fiqh, muhaddis, dan ulama’ sufi yang berlatar teologi Asy’ariyah dan tarekat Syadzaliyah. Konsep pendidikan akhlak dalam kitab al-Hikam bertujuan untuk mencapai ma’rifat agar memperoleh ketenangan dan kenikmatan rohani yang melimpah. Dengan ma’rifat itu seorang hamba akan semakin dekat denganNya. Untuk dapat mencapai ma’rifatullah Ia mengharuskan seorang muslim melewati sembilan maqamat yakni: maqam taubat, maqam zuhud, maqam sabar, maqam syukur, maqam khauf, maqam raja’, maqam ridha, maqam tawakkal, dan maqam mahabbah. Sedangkan metode yang dapat digunakan dalam mengajarkan akhlak dapat dilakukan dengan dengan metode teladan, metode pemberian nasihat, metode cerita, dan metode perintah dan larangan. Dalam peranannya orangtua memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kesuksesan pendidikan akhlak pada anak.
Daftar Isi HALAMAN JUDUL………………………………………………………
I
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………….
ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………….
ii
HALAMAN PERNYATAAN……………………………………………..
iv
HALAMAN MOTTO……………………………………………………...
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………...
vii
KATA PENGANTAR……………………………………………………..
ix
ABSTRAK…………………………………………………………………
xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………
xii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………
1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….
1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………
5
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………….
6
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………
6
E. Metode Penelitian ……………………………………………….
8
F. Penegasan Istilah ………………………………………………..
11
G. Sistematika Penulisan Skripsi …………………………………..
17
BAB II BIOGRAFI SYAIKH IBNU ATHAILLAH AL-SAKANDARI …
19
A. Biografi Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandari ……………………..
19
B. Pandangan Ibnu Athaillah tentang maqam sufi …………………...
23
C. Pemikiran Ibnu Athaillah al-Sakandari ……………………………
34
BAB III KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB AL
41
HIKAM …………………………………………………………. A. Pengertian, Sumber dan Tujuan Pendidikan Akhlak ……………...
41
B. Metode Pendidikan Akhlak ……………………………………….
52
C. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab al-Hikam ……………
56
BAB IV ANALISIS DATA ………………………………………………
64
A. Tinjauan Tentang Pendidikan Akhlak dalam Islam ……………..
65
B. Implementasi Pendidikan Akhlak dalam Kitab al-Hikam ………
68
C. Peranan Orangtua dalam Mengajarkan Nilai Pendidikan Akhlak ..
85
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………
86
A. Kesimpulan ………………………………………………………
89
B. Saran ……………………………………………………………..
90
C. Penutup …………………………………………………………...
90
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
91
DAFTAR RIWAYAT HIDUP …………………………………………….
92
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
93
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan satu persoalan yang tidak akan pernah selesai untuk dibahas dan dikaji. Ia merupakan satu hal penting yang tidak akan terlepas dari kehidupan manusia karena manusia adalah subjek sekaligus objek pendidikan. Sedangkan manusia dalam perkembangannya akan menghadapi persoalan yang membutuhkan sebuah penyelesaian. Melalui pendidikan inilah manusia berusaha untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Manusia yang terhubung dengan beberapa dimensi kehidupan baik, sosial, budaya, psikologi, ekonomi, dan berbagai hal lain yang terkait secara langsung mapun tidak langsung membutuhkan semacam treatmen praktis yang dapat dipakai dan diterapkan. Terhubungnya manusia dengan banyak dimensi itulah yang pada akhirnya memberikan sumbangan permasalahan hidup yang kompleks dan sistemik karena setiap persoalan akan selalu terkait dengan persoalan lain. Saling mempengaruhi antar berbagai dimensi dan saling tarik menarik. Dari berbagai dimensi permasalahan yang muncul itulah timbul dan berkembang sebuah perilaku hidup manusia yang berubah dan juga pergeseran nilai yang semakin kabur arah pijakan dan tujuannya. Tidak selesai sampai di situ, permasalahan manusia yang semakin komplek dan tidak jelas sumber dan ujungnya menjadikan pendidikan kehilangan jejak
sehingga tidak mampu mengurut dan mencari titik pokok persoalannya. Belum lagi karena terjadi pergeseran tradisi dan kebudayaan manusia yang pada akhirnya memperburam pangkal dan ujung pendidikan. Dekadensi moral, kenakalan remaja, pergaulan bebas (freesex), penggunaan obat-obatan terlarang (narkoba), tawuran, meningkatnya tindak kekerasan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai permasalahan sosial berakibat pada pergeseran tata nilai dan norma di masyarakat. Belum lagi berbagai tindak kriminal yang diakibatkan oleh persoalan di atas misalkan pencurian, perampokan, penipuan, dan lain sebagainya. Berbagai permasalahn akhlak pada siswa khususnya diatas terkait dengan akhlak individu yang dihasilkan pendidikan akhlak di sekolah. Lembaga pendidikan yang bertugas mencerdaskan anak Bangsa ternyata tidak cukup mampu mengatasi setiap permasalahan yang timbul. Hal ini terjadi karena landasan-landasan budi pekerti tidak tertanam kuat pada diri peserta didik, misalkan sikap sabar, syukur, menghindari perbuatan tercela, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan akhlak (yang bersumber dari agama) yang seharusnya memiliki peran besar dalam mengatasi persoalan dekadensi moral seperti kehilangan gigi taringnya, tak berdaya dan kurang memberikan kontribusi yang cukup untuk mengatasinya atau paling tidak menetralisir keadaan. Itu tak lepas dari kaburnya tujuan pendidikan agama itu sendiri, yang kemudian berakibat pada pelaksanaan pendidikan berikut persoalan lain yang terkait.
Islam sebagai salah satu agama samawi memberikan ruang yang sangat luas pada persoalan moral atau akhlak. Bahkan akhlak yang terpuji menjadi ukuran berat atau ringan timbangan amal seorang mukmin. Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, Nabi Saw Bersabda:
لى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلّ ْم قَ َال َما ِم ْن َش ْي ٍء اَثْ َق َل ِ ِْف ِمْي َز ِان الْ َعْب ِد َّ ص َّ ِاَ َّن الن َ َِّب ِ ِ ِ ي ْ الْ ُم ْؤِم ِن يَ ْوَم الْ ِقيَا َم ِة ِم ْن ُح ْس ِن َّ ش الْبَ ِذ ُ َوانَّاهللَ يُْبغ, اْلُْل ِق َ ض الْ َفاح
Tidak ada sesuatupun yang lebih berat timbangan seorang mukmin di hari kiyamat dari pada akhlak yang baik, dan Allah Membenci hambanya yang berbicara kejelekan dan jeleknya pembicaraan (H.R. Tirmidzi) (al-Nawawi, t.t: 304).
Bersamaan diutusnya Nabi ke bumiNya, Allah menurunkan alQur’an sebagai pedoman hidup dan sumber ajaran Nabi. Sedangkan tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah untuk membina manusia (perorangan atau kelompok) agar mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahNya, guna membangun bumi Allah sesuai dengan konsep yang telah digariskan olehNya (M. Qurais Shihab, 1994: 172). Kalau Islam (baca: alQur’an) sebagai dasar dan sumber ajaran agama yang telah secara jelas merumuskannya berikut tujuan yang hendak dicapai dalam sebuah pembelajaran agama (baca: akhlak), mengapa yang terjadi sebaliknya?. Dalam sebuah ayat dalam al-Qur’an Allah Swt menuliskan;
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. al-Baqarah/2: 30). Telah jelaslah bahwa Allah melalui al-Qur’an telah menitipkan bumiNya agar dikelola oleh manusia, dan melalui al-Qur’an pula Dia memberikan petunjuk cara sebagaimana Allah kehendaki. Termasuk cara berperilaku kepada Tuhan, berakhlak (berperilaku) kepada sesama manusia, dan cara mengelola bumiNya. Allah pun tidak membiarkan manusia berproses sendiri dalam mengejawantahkan kandungan pesan-pesanNya. Dia juga memberikan bekal berupa akal pikiran untuk memahami esensi pesanNya, dan melalui diutusnya Rasulullah Saw Allah menjadikannya (Nabi Saw) sebagai tafsir al-Qur’an paling jelas, petunjuk dalam mengelola ciptaanNya
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. alAhzab/33: 21). Dengan demikian Islam merupakan satu agama yang kompleks dan lengkap membekali pemeluknya agar dapat menjalankan ajaran agama secara jelas, terperinci, baik yang menyangkut hubungan vertikal maupun horizontal. Islam memberikan konsep yang jelas mengenai kedudukan
manusia, tugas dan fungsi manusia, cara manusia mencapai tujuan hidup, dan tujuan penciptaan manusia. Banyak konsep pendidikan akhlak dan budi pekerti yang selama ini diterapkan dan dipakai oleh lembaga pendidikan, guru, atau orangtua akan tetapi tidak memberikan hasil sebagaimana diharapkan. Hasil pendidikan masa kini masih menyisakan persoalan baru yang menambah buramnya konsep pendidikan akhlak yang ideal dan mampu menjawab permasalahan yang sedang dihadapi. Karenanya membutuhkan sebuah konsep yang telah teruji (konsep masa lalu) dan dikompilasikan dengan konsep pendidikan modern untuk menjawab persoalan kontemporer. Kitab al-Hikam karya Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandari yang merupakan konsep pendidikan akhlak yang berpijak pada ajaran Islam penulis harapkan mampu memberikan gambaran mengenai pendidikan akhlak yang ideal. Yang mampu memberikan solusi praktis sehingga memberikan kontribusi yang nyata bagi permasalahan sosial yang terjadi saat ini. Berangkat dari latar belakang di atas, penulis berusaha menelaah konsep pendidikan akhlak yang telah lalu dikomparasikan dengan konsep pendidikan kontemporer agar dapat memberikan sumbangan pemikiran terbaru. Dengan harapan mampu menjawab permasalahan kekinian terkait dekadensi moral berikut beberapa hal yang melingkupinya. Karenanya penulis tertarik untuk mengangkat sebuah fokus pembahasan mengenai pendidikan akhlak dengan judul ”PENDIDIKAN AKHLAK DALAM
KITAB AL-HIKAM KARANGAN SYAIKH IBNU ATHAILLAH ALSAKANDARI”. B.
Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang sudah dipaparkan di atas maka dapat ditarik permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimana biografi Ibnu Athaillah?
2.
Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab al-Hikam?
3.
Bagaimana metodologi penerapan pendidikan akhlak dalam kitab alHikam?
4.
Bagaimana implikasi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab alHikam?
C.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1.
Mengetahui biografi Ibnu Athaillah
2.
Mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab al-Hikam
3.
Mengetahui metodologi penerapan pendidikan akhlak dalam kitab alHikam
4.
Mengetahui implikasi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab alHikam
D.
Kegunaan Penelitian Dari paparan tujuan yang hendak dicapai dari pelaksanaan penelitian ini, maka dapat dirumuskan manfaat yang dapat diperoleh dari kajian ilimiah ini. Pada penelitian ini penulis mengategorikannya menjadi manfaat
teoritis dan manfaat praktis. Secara lebih jelasnya akan dijelaskan sebagai berikut; 1.
Manfaat Teoritis Manfaat ini memberikan sumbangan pemikiran dan konsep baru
mengenai pendidikan akhlak di kalangan praktisi pendidikan maupun akademisi sebagai bahan acuan dan rujukan. Dan bisa juga sebagai pijakan atau acuan para peneliti dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut terkait konsep pendidikan akhlak. Manfaat lainnya yaitu hasil laporan penelitian ini nantinya dapat menambah khazanah pengetahuan mengenai konsep baru tentang pendidikan akhlak. 2.
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung
(praktis) bagi segenap pemerhati dan pelaku pendidikan, terutama para pelaku/pembimbing akhlak peserta didik. Secara umum penelitian ini diharapkan dapat Memberikan sumbangan pemikiran konsep praktis bagi masyarakat secara luas dalam mengatasi masalah-masalah pendidikan akhlak a.
Manfaat Bagi Penyelenggara Pendidikan Beberapa manfaat yang dapat diambil oleh lembaga penyelenggara
pendidikan antara lain sebagai berikut: 1). Sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan sekolah terutama yang berkaitan erat dengan pendidikan akhlak atau budi pekerti di sekolah.
2).
Memberikan sumbangan dalam menghadapi permasalahan budi pekerti yang ada di sekolah.
b. 1)
Manfaat Bagi Guru Pendidikan Agama Menjadi sumber pertimbangan guru dalam menghadapi masalah kenakalan siswa didik melalui perbaikan akhlak siswa.
2)
Menjadi sumber bagi guru dalam bersikap dan berperilaku agar sesuai dengan tujuan pembelajaran agama.
c.
Manfaat Bagi Para Orangtua Manfaat penelitian ini juga bisa dipakai oleh para orangtua siswa
diantaranya sebagai berikut: 1).
Menjadi
pedoman
teoritis
bagi
orangtua
untuk
menangani
permasalahan kenakalan anak di rumah. 2).
Menjadi sumber atau pedoman perilaku orangtua sehingga mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya.
E.
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan studi pustaka (library research), karena objek kajian studi difokuskan pada kajian sebuah kitab (buku). Data-data yang terkait dengan analisis pembahasan penelitian berkaitan dengan biografi, latar belakang pendidikan penulis kitab, kondisi pendidikan dan sosial di masa itu, dan berbagai hal yang mungkin berpengaruh pada kondisi penulis, baik secara langsung atau tidak langsung. Yang dimaksud dengan penelitian literatur merupakan sebuah kajian penelitian secara mendalam mengenai sebuah karya tulis berupa buku atau
tulisan ilmiah lainnya yang sudah pernah atau belum pernah dipublikasikan (Agung, 1990: 9). Bisa juga berupa penulisan non ilmiah (fiksi) yang bertujuan untuk mengkaji lebih mendalam mengenai aspek psikologis atau kebudayaan pada karya fiksi terkait. Agar terlaksana penelitian sebagaimana yang diharapkan maka dalam penelitian ini secara runtut mengguanakn metode sebagai berikut: 1.
Jenis Penelitian Library research merupakan suatu metode penelitian yang
menjadikan sebuah tulisan ilmiah sebagai objek kajian utama. Dalam penggunaan metode ini penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut; a.
Meneliti kitab al-Hikam karya Ibnu Athaillah al-Sakandari sebagai objek kajian utama penelitian.
b.
Mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang ada pada kitab tersebut terutama yang berkaitan dengan masalah pendidikan akhlak.
c.
Manganalisis pokok permasalahan dengan cara mengemukakan dan membandingkan konsep pendidikan akhlak dari teori-teori lain.
d.
Menyimpulkan beberapa konsep pendidikan akhlak yang ada pada kitab al-Hikam dikomparasikan dengan teori pendidikan akhlak modern
2.
Sumber Data Penelitian Sumber data penelitan terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder (pendukung).
a.
Sumber data primer
Sumber data primer atau utama dalam penelitian ini adalah kitab al-Hikam karya Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakadari. b.
Sumber Data Sekunder Data sekunder berupa beberapa karya yang terkait dengan pendidikan akhlak dan budi pekerti diantaranya, Tarjamah Syarh Hikam karya Syaikh Abdullah Al-Syarqowi, Terjemah al-Hikam Asy- Syeikh Ibnu Athaillah as-Sakandari karaya Syekh Ahmad bin Muhammad Ibnu Ibad, dan lain sebagainya.
3.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data penulis lakukan dengan cara mencari dan
mengumpulkan buku, data primer dan data sekunder. Setelah dilakukan pengumpulan data selanjutnya penulis melakukan penelaahan dan menghubungkannya dengan data-data terkait sehingga ditemukan bahan penelitian yang dibutuhkan. Salah satu metode pengumpulan data yang ditempuh penulis yaitu dengan metode historis. Metode historis merupakan sebuah cara pengumpulan data penelitian yang dilakukan dengan melakukan rekonstruksi kehidupan masa lampau penulis buku, melakukan evaluasi, memverifikasi data yang masuk, dan kemudian mensintesiskan fakta yang ada untuk ditarik kesimpulan dari sebuah data yang tersaji (Brata, 1995: 98). Metode historis di atas penulis tempuh untuk mengetahui secara detil mengenai perjalanan hidup penulis. Menelaah biografi penulis merupakan satu langkah yang penting untuk diambil karena latar belakang ini sangat
berkaitan erat dengan isi tulisan yang ada di dalamnya. Dan pastinya berpengaruh besar pada hasil pemikiran penulis buku. 4.
Teknik Analisis Data Merupakan suatu metode yang dilakukan dengan cara memilah-
milah
antara
satu
pengertian
dengan
perngertian
yang
lain
(Sumargono,1980: 14). Sedangkan menurut Lexy J. Moloeng analisis data kualitatif merupakan sebuah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisir data, memilih dan memilah sehingga dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan mensimpulkan hasil analisis ke dalam sebuah laporan penelitian (2009: 248). Adapun cara menganalisis penulis menggunakan dua cara berikut; a.
Metode Induktif Metode induktif merupakan suatu cara pemotretan mengenai sebuah
fenomena dari sebuah fakta di lapangan kemudian ditarik konsep umum (Hadi, 1984: 42). b.
Metode Deduktif Merupakan sebuah metode berfikir dengan cara menarik kesimpulan
khusus dari kesimpulan sementara yang bersifat umum. Metode ini digunakan dalam rangka untuk mengetahui hakikat pendidikan akhlak menurut Ibnu Athaillah yang kemudian dihubungkan dengan konsep/teori pendidikan akhlak menurut beberapa ahli. F.
Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman dan multi tafsir mengenai istilah kunci terkait penelitian ini, maka penulis menuliskan penegasan istilah pokok sebagai berikut; 1.
Pengertian Pendidikan Pendidikan berasal dari kata didik yang berarti memelihara dan
memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan kata pendidikan berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan (tim KBBI, 1990: 204). Secara khusus Langeveld dalam pendidikan etika mengartikan pendidikan sebagai suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan (2010: 50). Tim dosen FIP IKIP Malang dalam Purwanto (2011: 11) mengartikan pendidikan sebagai sebuah upaya manusia untuk membina kepribadian peserta didik disesuaikan dengan nilai kebudayaan dalam masyarakat dan nilai-nilai lain yang menjadi pedoman masyarakat dalam bertingkah laku. 2.
Tarbiyah Mengkaji pendidikan Islam, sebagaimana sumber asalnya tidak akan
terlepas dari kata dalam bahasa Arab tarbiyah. Kata tarbiyah berasal dari akar kata
ب – َربِّا ُّ ب – يَ ُر َّ َرyang berarti mengasuh atau memimpin (Yunus,
1989: 136).
Abdurrahman al-Nahlawi (1989) menggunakan kata al-tarbiyah untuk mewakili kata pendidikan. Menurutnya kata al-tarbiyah berasal dari tiga kata, yang pertama: berakar dari kata raba yarbu yang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua berasal dari akar kata rabiya-yarba yang bermakna menjadi besar. Ketiga berasal dari akar kata rabba yarubbu yang berarti
memperbaiki,
menguasai
urusan,
menuntun,
menjaga,
dan
memelihara. Sedangka menurut al-Baidlawi mengartikan kata tarbiyah sebagai menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit sehingga menjadi sempurna (Tafsir, 1994: 29). Berdasarkan beberapa makna kata tarbiyah di atas Abdurrahman alBani menyimpulkan bahwa tarbiyah mencakup empat hal, yakni: pertama, menjaga dan memelihara fitrah manusia menjelang dewasa; kedua, tarbiyah berarti mengembangkan sebuah potesi; ketiga, mengarahkan seluruh potensi dan fitrah ke arah kesempurnaan; dan keempat, pendidikan (al-tarbiyah) dilakukan
secara
bertahap
sesuai
dengan
potensi
dan
tahap
perkembangannya (Tafsir, 1994: 29).
3.
Pengertian Akhlak Akhlak berasal dari bahasa arab Kata yaitu اخالقjama’ dari kata خ ْلق ُ
yang berarti perangai (Mahmud Yunus, 1972: 120),
Sedangkan dalam
kamus al-Munjid akhlak memiliki arti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Luis Ma’luf, t.t: 194).
Kata tersebut seakar, dengan kata خلقyang meiliki makna “kejadian”,
خالق
yang berarti “pencipta”, dan
خملق
yang bermakna “ciptaan” (Djasuri,
2004: 109). Akhlak dapat disamaartikan dengan budi pekerti (tim KBBI, 1990: 15), watak, tabiat (1990: 131) atau etika. Sedangkan kata “etika”sendiri berasal dari bahasa latin yaitu ethich yang bermakna suatu ilmu yang terkhusus mengkaji tentang perbuatan atau tingkah laku manusia (Rahmaniyah, 2010: 57). Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud akhlak pada pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari: a.
Akhlak mengenai hubungan manusia dengan manusia sebagai ciptaan.
b.
Akhlak dalam hubungannya manusia dengan Allah Swt sebagai pencipta. Ibnu Maskawaih dalam metodologi pengajaran agama (2004: 110)
mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
اْللق حال للنّفس داعية هلا إىل أفعاهلا من غري فكر وروية “Akhlak itu ialah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (terlebih dahulu)”. Sedangkan al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai:
اْللق عبارة عن ىيئة ىف النّفس را سحة عنها تصدراألفعال بسهولةويسرمن غري حاجةإىل فكروروية
“Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan dengan mudah tanpa pertimbangan pikiran terlebih dahulu”. Ahmad Amin mendefinisikan akhlak sebagai:
اْللق عا دة االءردة Yang artinya kurang lebih sebagai berikut,”khuluq ialah membiasakan kehendak”. Maka dari tiga pengertian akhlak dari pakar di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak merupakan perangai asli yang tertanam dalam jiwa yang biasa dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pertimbangan pikiran yang mendalam. 4.
Pengertian Pendidikan Akhlak Untuk mengartikan kata akhlak, menurut al-Ghazali dalam Miarso dan
Haris Fathoni Makmur dapat dilihat dari konsepnya tentang khulq. Ia mendefinisikannya sebagai suatu keadaan atau bentuk jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan tanpa melalui pemikiran yang mendalam (2010: 143). Sedangkan dalam implementasinya, al-Ghazali membagi fungsi jiwa ke dalam tiga tingkatan yakni yang pertama, al-nafs al-insaniyah (jiwa manusia) yaitu jiwa yang memiliki daya akal praktis. kedua al-nafs alnabatiyah (jiwa vegetatif) yaitu jiwa yang memiliki daya makan dan tumbuh sebagaimana makhluk hidup pada umumnya. Dan yang ketiga alnafs al-hayawaniyah (jiwa sensitif) yaitu jiwa yang memiliki daya gerak, daya tangkap, dan daya khayal. (Miarso dan Haris Fathoni Makmur, 2010: 25).
Dilihat dari analisis al-Ghozali mengenai hakikat jiwa, potensi dan fungsinya di atas, maka untuk menilai moral yang ada pada manusia tidak hanya bisa diukur dari perilaku yang tampak, akan tetapi juga dilihat dari motifasi yang mendasari sebuah perilaku manusia. Karena moral, sifat, dan sikap manusia sangat bergantung dari jenis jiwa yang berkuasa pada diri manusia. Apakah insaniyah, nabatiyah, atau hayawaniyah. Dari segi individu pendidikan berarti pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang terdapat dalam dirinya sesuai dengan tuntunan fitrah manusia yakni ilmu dan agama (Miarso, 2010: 145). Sedangkan pendidikan dalam lingkup kemasyarakatan berintikan pewarisan nilai-nilai budaya suatu masyarakat terhadap setiap individu untuk melestarikan kebudayaan itu sendiri. Jadi makna dari pendidikan akhlak merupakan suatu suatu usaha sadar dan terencana dalam mendidik dan memberikan bimbingan berdasarkan ajaran agama yang bertujuan untuk menghasilkan manusia paripurna dan berakhlak mulia agar sesuai dengan fitrah penciptaan manusia. 5.
Al-Hikam Merupakan salah satu karya besar (sebuah buku/kitab) hasil tulisan
(karya) dari Syeikh al-arif bilah Abi Fadhil Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah al-Asakandary radhiyallahu anhu. Sebuah karya monumental yang berisikan nasihat yang diarahkan kepada kebaikan budi pekerti (akhlaq al-mahmudah) atau biasa dipakai istilah akhlak tasawuf (Djamaluddin Ahmad al-Buny: xxv)
G.
Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan menyeluruh maka diperlukan sebuah sistematika penulisan yang runtut dari satu bab ke bab yang selanjutnya. Sedangkan sistematika sendiri memiliki arti suatu tata urutan yang saling berkaitan, saling berhubungan, dan saling melengkapi. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I pendahuluan akan dijelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, serta sistematika penulisan laporan hasil penelitian. Bab II akan dijelaskan, biografi Ibnu Athaillah al-Sakandari, pandangan Ibnu Athaillah tentang maqam sufi, pemikiran Ibnu Athaillah al-Sakandari. Bab III konsep pendidikan akhlak dalam kitab al-Hikam, Pengertian, sumber dan tujuan pendidikan akhlak, metode pendidikan akhlak, dan konsep pendidikan akhlak dalam kitab al-Hikam. Bab IV analisis data dipaparkan penerapan pendidikan akhlak dalam kitab al-Hikam, tinjauan tentang pendidikan akhlak dalam Islam, implementasi pendidikan akhlak dalam kitab al-Hikam, peranan orangtua dalam mengajarkan nilai pendidikan akhlak pada anak. Bab V penutup berisi kesimpulan dari teori pendidikan akhlak yang ada dalam kitab al-Hikam, saran berikut metode yang dapat dipakai dan diterapkan pada pendidikan masa kini dan penutup.
BAB II BIOGRAFI SYAIKH IBNU ATHAILLAH AL-SAKANDARI
A.
Biografi Ibnu Athaillah al-Sakandari 1. Masa Pertama
Syaikh Ibnu Athaillah terlahir di kota Iskandariyah Mesir dengan nama lengkap al-Arif billah Abi Fadhil Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah al-Asakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili pada tahun 648 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1250 Masehi (Ahmad bin Muhammad Ibnu Ibad, 2010:xxv). Kata al-Judzami diambil dari nenek moyangnya yang berasal dari Judzam, salah satu kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-A’ribah. Tumbuh dan besar di Alexandria Mesir pada masa pemerintahan kerajaan Mamluk. Sebagaimana para tokoh di jazirah Arabia, julukan al-Asakandary atau al-Sakandari dinisbatkan dengan kota kelahiran beliau yakni di kota Iskandariyah Mesir (http://tasawuf.blog.com//syekhibnu-athaillah/18 maret 2014/07.22). Riwayat hidupnya memang tidak banyak diketahui, akan tetapi Ia memiliki guru-guru terbaik dari semua disiplin ilmu dalam Islam, bahkan Ia dikenal sebagai ahli fiqh dari madzhab Maliki (Imam Sibawaih el-Hasani, 2011: 9). Sedangkan ayahnya sendiri merupakan seorang murid tarekat Syadzaliyah pada waktu itu. Sejak kecil Syaikh Ibnu Athaillah merupakan anak yang rajin dalam belajar, Ia menimba ilmu di hampir semua bidang disiplin keilmuan. Beberapa guru yang pernah menjadi gurunya bahkan Ia dekat dengannya. Diantara guru yang mempunyai kedekatan dengannya adalah Syaikh Abu al-Abbas Ahmad ibnu Ali al-Anshari al-Mursi, tokoh fiqih dan sufi besar yang juga murid dari Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzily, pendiri tarekat
Syadzaliyah
(http://tasawuf.blog.com/2010/04/
syekh-ibnu-athaillah.
diakses 12 mei 2014). 2. Masa Kedua Awal perjalanan hidup Syaikh Ibnu Athaillah bukanlah seorang ahli tasawuf ataupun pengikut aliran tasawuf tertentu walaupun Ia sendiri menjadi murid dari Abu al-Abbas al-Mursi (wafat. 686 H/1288 M) seorang tokoh tarekat Syadzaliyah. Sepeninggal Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi, Syaikh Ibnu Athaillah menggantikannya menjadi Syaikh sufi ke-21 dalam silsilah tarekat Syadzaliyah, tarekat yang pada mulanya tumbuh di Maroko dan menyebar ke seluruh jazirah Islam di dunia (Imam Sibawaih el-Hasani, 2011: 9). Syaikh Ibnu Athaillah merupakan salah satu ulama’ Islam yang produkstif, banyak karya yang telah ditelurkannya dalam berbagai disiplin ilmu agama meliputi Tasawuf, Tafsir, Aqidah, Hadis, Nahwu, dan Usul fiqh. Salah satu karya fenomenal Ibnu Athaillah yang sangat terkenal dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa adalah kitab al-Hikam yang juga telah disyarah oleh banyak ulama’, diantaranya Syaikh Ibnu Abbad (13321390), Syaikh Ibnu Ajibah (1747-1809) (Imam Syibawaih el-Hasani, 2011: 8), Syaikh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad al-Rundi, dan Syaikh Ahmad Zarruq. Ibnu Athaillah dibesarkan dalam lingkungan keras muhaddisun Hambali. Figur Ibnu Athaillah penghubung rantai transmisi, dalam isnad reguler beberapa hadis. Kepribadiannya banyak dipengaruhi oleh teologi
moral praktisnya. Sebagaimana para sufi pada waktu itu, ia banyak mengembangkan mengenai cinta (mahabbah) dan itsar (mendahulukan kepentingan orang lain) (Massignon, 2002: 89). Selain kecakapannya di berbagai disiplin ilmu keislaman, Syaikh Ibnu Athaillah juga dikenal sebagai pribadi yang santun dan bersih, sehingga banyak masyarakat jazirah Arab yang berguru dan meminta nasihat padanya. Masa pencarian Syaikh Ibnu Athaillah berawal ketia Ia bertemu dengan gurunya Abu al-Abbas al-Mursi pada tahun 674 Hijriyah yang dilanjutkan dengan kepindahannya ke Kairo, Mesir. Pada masa inilah Ia mulai menjadi ulama’ besar Tarekat Syadzaliyah dari gurunya. Ketika itu, Syaikh Ibnu Athailah yang telah menjadi ulama’ besar Fiqh madzhab Maliki mengalami guncangan batin akan kebenaran ajaran tarekat yang selama ini Ia curigai. Ia mengamati secara langsung guru yang Ia kagumi keilmuan Syari’at dan Akhlaknya dalam kesehariannya. Ia kemudian secara teratur mengikuti kajiannya dan
mendengarkan ceramahnya tentang masalah-
masalah syara’. Ia kemudian merenung dan memikirkan serta bertafakur apakah benar amaliyah tarekat yang dilakukan oleh gurunya sejalan dengan syari’at yang selama ini dipegang teguh. Dan dari apa yang Dia amati langsung dari gurunya, Syaikh al-Mursi kemudian mencocokkannya denga ilmu syara’. Ia menjadi yakin bahwa tarekat adalah benar adanya. Dari usaha inilah Ia kemudian memantapkan diri untuk mengikuti jejajk gurunya yang akhirnya menjadi Syaikh terbesar ketiga Tarekat Syadzaliyah
(http://tasawuf.blog.com/2010/04/syekh-ibnu-athaillah.
diakses
12
mei
2014). 3. Masa Ketiga Sepindahnya Ia dari Iskandariyah ke Kairo, Ia mulai mendalami secara tekun ajaran gurunya, baik di bidang Fiqh maupun Tasawuf. Dan ketika Syaikh al-Mursi wafat pada tahun 686 Hijriyah Ia dipercaya menggantikan gurunya meneruskan ajaran tarekat Syadzaliyah sekaligus mengajar di kota Iskandariyah. Ketika Ia di Kairo, Ia juga ditugaskan mengajar dan mengisi ceramah di masjid al-Azhar Kairo. Selain itu Ia juga mengajar di Madrasah al-Mansuriyah di Hay al-Shoghoh. Beberapa murid Syaikh Ibnu Athaillah yang terkenal dan menjadi ulama’ di bidang fiqh dan tasawuf adalah Syaikh Taqiyuddin al-Subki (ayah Syaikh Taqiyuddin alSubki,
pengarang
kitab
Tabaqah
al-Syafi’iyyal
al-Kubra)
(http://tasawuf.blog.com/2010/04/syekh-ibnu-athaillah. diakses 12 mei 2014). 4. Hasil Karya Syaikh Ibnu Athaillah Banyak dari karya Ibnu Athaillah dan terkenal, namun hanya beberapa yang dapat diketahui, diantaranya:
B.
a.
Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir
b.
Unwan al-Taufiq fi’dab al-Thariq
c.
Miftah al-Falah
d.
Al-Qur’an al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad
e.
Al-Hikam
Pandangan Ibnu Athaillah Tentang Maqam Sufi
Sebelum membahas tentang pandangan Ibnu Athaillah tentang maqam sufi, ada baiknya dibahas pengertian maqam terlebih dahulu. Kata maqam berasal dari bahasa arab, berasal dari dari akar kata
قامة- - قياما-– قومة
يقوم – قام- قوما
yang bermakna tegak berdiri (Yunus, 1989: 361),
kemudian di-tashrif (dirubah) ke dalam bentuk isim makan menjadi
yang merupakan bentuk mufrad dari jama’ kata
مقام
مقاماتyang artinya tempat
berdiri (Yunus, 1989: 362). Sedangkan kata maqam dalam pembahasan tasawuf diartikan sebagai sebuah tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang salik (pelaku tarekat) berupa keadaan tertentu yang diharapkan akan memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi salik dalam rangka menempuh jalan tarekat. Misalkan maqam taubat, seorang sufi dikatakan telah mencapai maqam tersebut manakala Ia telah berusaha dengan sepenuh hati dan jiwa (mujahadah) untuk meninggalkan segala bentuk kemaksiatan dan hawa nafsu syahwati
(http://harumsuburmewangi.blogspot.com /2012/12/
pandangan-ibnu-athaillah- tentang- maqam.html, diakses 6 Agustus 2014)
Pembahasan yang lebih spesifik mengenai pengertian maqam, Ibnu Athaillah sedikit berbeda dengan makna umumnya, yakni bahwa pencapaian maqamat tertentu bukanlah atas usaha sadar (mujahadah) seorang salik, akan tetapi karena limpahan kasih sayang Allah Swt. Karena apabila seorang salik mampu mencapai tingkatan (maqam tertentu) disebabkan karena hasil mujahadah si salik, maka ini bertentangan dengan konsep fana’
iradah, yakni manusia mampu berkehendak. Pendapat ini tidak lain adalah karena Ibnu Athaillah adalah penganut madzhab teologi Asy’ariyah. Menurut Syaikh Ibnu Athaillah, maqamat (tahapan-tahapan) yang harus dilalui oleh seorang salik dalam mengamalkan ajaran tarekat terdiri atas Sembilan tingkatan yakni, maqam taubat, maqam zuhud, maqam sabar, maqam syukur, maqam khauf, maqam raja’, maqam ridha, maqam tawakkal, dan maqam mahabbah. Kesembilan maqamat tersebut harus dilalui oleh seorang salik secara berurutan, maksudnya salik tidak dapat mencapai maqam yang kedua sebelum menyelesaikan maqam yang pertama dan seterusnya. Mengenai maqamat tersebut akan dijelaskan secara berurutan sebagai berikut: 1.
Maqam Taubat Taubat berasal dari bahasa arab yang berasal dari akar kata
– تاب
توبة – توبا – يتوبyang bermakna bertobat, menyesal atas perbuatan dosa, kembali (Yunus, 1989: 79). Orang yang bertaubat adalah orang yang kembali kepada Allah Swt dari yang sebelumnya berpaling, kembali dari perbuatan dosa kepada ketaatan, kembali dari meninggalkan perintahNya kepada melaksanakan perintahNya, kembali dari melanggar laranganNya kepada menjalankan perintahNya (Ilyas, 2007: 57). Bertaubat kepada Allah baik dari segala macam kelalaian dari perintahNya maupun dengan sengaja menjalankan larangaNya, baik dari
segala dosa kecil atau bahkan dosa besar. Setiap salik wajib melaksanakan taubat sebelum beranjak pada maqamat yang selanjutnya. Maqam yang telah diajarkan oleh Syaikh Ibnu Athaillah ini sesuai dengan perintah Allah kapada
hambaNya
untuk
bertaubat
tatkala
melakukan
kesalahan,
sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Nur (24):31
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara lakilaki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau puteraputera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S. al-Nur (24):31). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam rangka taubat, Syaikh Ibnu Athaillah memerintahkan untuk banyak-banyak ber-tafakkur dan menjauh dari keramaian dunia (ber-khalwat). Dengan begitu seorang salik dapat dengan leluasa untuk ber-muhasabah dan berdzikir mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sedangkan hal yang dapat mengantarkan kepada maqam ini adalah dengan ber-khusnudzan kepada Allah agar tidak berputus asa dari rahmat Allah. Sebagaimana petikan hikmah syaikh Ibnu Athaillah dalam kitab al-Hikam sebagai berikut:
ِ ْالَ ي عظُم ال ّذن فَ ِاء َّن. ص ُّد َك َع ْن ُح ْس ِن الظَّ ّْن بِاهللِ تَ َعاىل ُ َب عْن َد َك َعظَ َمةً ت ُ ُ َْ ِ ِ ِ ف ربَّو استَصغَر ِىف جْن ُب َكَرمو َذنْبَو َ َ ْ ْ ُ َ َ َم ْن َعَر
Jangan sampai dosa itu kau anggap besar sehingga menghalangimu dari berprasangka baik kepada Allah. Sebab, siapa yang mengenal Allah akan memandang kecil jika diukur dengan kemurahanNya (el-Hasany, 2011: 69).
2.
Maqam Zuhud Kata zuhud berasal dari bahasa arab yakni
– ْى ًدا
yang artinya
meninggalkan atau tidak menyukai (Munawwir, 1984: 588). Dalam konteks ini, zuhud berarti tidak menyukai dan condong untuk meninggalkan dunia. Pemaknaan kata zuhud ini tidak hanya diartikan secara literer meninggalkan dalam arti fisik atau kontak, tetapi menjaga hati dan pikiran agar tidak terlalu dikuasi oleh dunia.
Orang yang zuhud adalah orang yang mampu mengendalikan sifat manusiawinya dalam pergaulan hidup dan dalam mengatur hidup dunianya (Syaikh Ibnu Ibad, 2010: 120). Amal ibadah orang yang zuhud berangkat dari keikhlasan hati sehingga ia menyelamatkannya. Sedangkan pada dasarnya amal yang banyak ataupun yang sedikit sangat tergantung siapa yang melaksanakannya, apakah Ia Zahid atau orang yang mengharapkan balasan dunia (tidak didasari keikhlasan). Mengikhlaskan diri mengharap ridha Allah dan banyak-banyak zikrullah adalah sifat Zahid. Allah Swt berfirman dalam Q.S. al-Ahzab (33): 41-42
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang Q.S. alAhzab (33): 41-42). Syaikh Ibnu Athaillah menuliskan dalam kitab al-Hikam sebagai berikut:
ٍِ ٍ ِب ر ِ ِ ٍ اغ ٍ ب َ َما قَ َّل َع َم ٌل بََرَز م ْن قَ ْلب َزاىد َوالَ َكثَُر َع َم ٌل بََرَز م ْن قَ ْل Tidak sedikit amal yang keluar dari hati orang zuhud, dan tidak banyak amal yang lahir dari hati orang yang sukapada dunia (Syaikh Ibnu Ibad, 2010: 119).
Artinya sifat zuhud menjadi penentu kualitas ibadah seorang hamba, bukan dari banyaknya amal ibadah yang telah dilaksanakn oleh manusia (Syaikh Ibnu Ibad, 2010: 120). 3.
Maqam Sabar Kata sabar merupakan bahasa serapan dari bahasa aran yakni,
-صْب ًرا َ
صبَ َر َ
yang berarti bersabar, tabah hati, menahan, atau menanggung
(Munawwir, 1984: 760). Yusuf al-Qardhawi dalam kuliyah akhlak mendefinisikan sabar sebagai upaya menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah (Ilyas, 2007: 134). 4.
Maqam Syukur Kata syukur merupakan asal kata dari bahasa arab yakni
–
– َش َكَر
yang berarti berterima kasih, mensyukurinya, atau
memujinya (Yunus, 1989: 201). Syaikh Ibnu Athaillah berkata dalam kitab al-Hikamnya sebagai berikut;
ض لَِزَوِهلَا َوَم ْن َش َكَرَىا فَ َق ْد قَيّ َد َىاِبعِ َقاهلَا َ ّْع ِم فَ َق ْد تَ َعَّر َ َم ْن ََلْ يَ ْش ُك ِر الن Barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat Allah, sesungguhnya ia telah membuka jalan hilangnya nikmat dari dirinya. Akan tetapi barang siapa yang mensyukuri nikmat Allah, maka sungguh ia telah
memberi ikatan yang kuat pada nikmat Allah itu (Syaikh Ibnu Ibad, 2010: 153). Allah Swt berfirman dalam Q.S. Ibrahim (14): 7, bahwa Allah akan memberikan balasan kapada orang-orang yang mau bersyukur dan memberikan adzab kepada hambaNya yang mengkufuri nikmatNya
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azabKu sangat pedih".(Q.S. Ibrahim (14): 7) 5.
Maqam Khauf Khauf secara bahasa
اف – َخ ْوفًا ُ ََخاف – ََي
berarti takut (Yunus,
1989: 122). Sedangkan secara istilah, Muhammad Ibnu Alan al-Siddiqi mengartikannya dengan faza’ al-qolb min makruh yanalih au min mahbub yafutuh ( yaitu kegalauan hati membayangkan sesuatu yang tidak disukai akan menimpanya, atau membayangkan hilangnya sesuatu yang disukainya (Ilyas, 2007: 38). Khauf dan raja’ haruslah pada posisi yang seimbang. Khauf merupakan salah satu bentuk usaha mengosongkan hati dari segala sifat jelek (takholliyah), sedangkan raja’ merupakan usaha menghiasi hati dengan sifat-sifat mahmudah (tahalliyah). Akan tetapi menghiasi hati sifat mahmudah akan bisa terlaksana manakala hati sudah bersih dari segala yang jelek, karenanya maqam khauf lebih dahulu baru kemudian raja’ (mengharap kasih sayang dan rahmatNya) (Ilyas, 2007: 38).
Ilmu apapun yang disertai rasa takut kepadaNya akan memberikan kekuatan pada pemiliknya. Syaikh Ibnu Athaillah menulis dalam kitabnya al-Hikam sebagai berikut:
ِ َخي ر العِْل ِم ما َكان اْلَ ْشيَو ْ ت َ َُْ Sebaik-baik ilmu adalah yang disertai rasa takut kepadaNya (elHasany, 2011: 262). Menurut Sayyid Sabiq, manusia semakin manusia takut kepada Allah, maka tingkat ma’rifatnya semakin tinggi (Ilyas, 2007: 39). Allah Swt berfirman dalam Q.S. Fatir (35): 28
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hambahamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fatir (35): 28). Masih menurut Sayyid Sabiq, bahwa sikap khauf melahirkan sikap positif diantaranya sebagai berikut: a.
Melahirkan
keberanian
dalam
menegakkan
kebenaran
dan
memberantas kemunkaran tanpa ada rasa takut kepaa manusia, dan bahwa sikap takutnya hanya kepada Allah Swt sesuai dengan firman Allah surat al-Ahzab (33) ayat 39:
(yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun)
b.
selain kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan. (Q.S. al-Ahzab (33): 39) Menyadarkan manusia dari segala mefasikan dan kemunkaran Karena ada konsekuensi ancaman siksaan dari Allah Swt (Ilyas, 2007: 42).
6.
Maqam Raja’ Raja’ berasal dari akar kata bahasa arab yakni
َر َجاء- َر َجا – يَرْ ُح
yang berarti mengaharap (Yunus, 1989: 139). Raja’ menjadi salah satu pencapaian (maqam) yang diajarkan Syaikh Ibnu Athaillah dalam kitabnya al-Hikam (http://harumsuburmewangi.blogspot.com, diakses 6 agustus 2014).
Muhammad
Ibnu
Alan
al-Siddiqi
dalam
kuliyah
akhlak
mendefinisikan raja’ sebagai ta’liq al-qalb bi mahbub fi mustaqbal (yaitu memautkan hati kepada sesuatu yang disukai pada masa yang akan datang (Ilyas, 2007: 41). Sifat raja’ sangatlah penting karena dengannya ia merasa memiliki Tuhan yang akan menyelamatkannya, memberikan rahmat dan ampunan atas dosa yang telah dilakukannya. Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah (2): 218
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. alBaqarah(2): 218). Dalam kitabnya, Syaikh Ibnu Athaillah berkata,
اِلَى ْال َم ِش ْي ِة يَ ْستَنِ ُد ُكلُّ َش ْي ٍء َوالَ تَ ْستَنِ ُد ِهي اِلَى َش ْي ٍء
Kepada kehendakNya segala sesuatu bergantung, sementara kehendakNya tidak bergantung kepada sesuatu (el-Hasany, 2011: 198). 7.
Maqam Ridha Kata ridha berasal dari bahasa arab yakni
َر ِض َي- ضى َ ضى– يَ ْر ً ِر
yang bermakna rela, suka, atau senang (Yunus, 1989: 142). Ridha merupakan penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah atas dirinya. Allah berfirman dalam Q.S al-Ma’idah (5): 119 sebagai berikut:
Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orangorang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar" (Q.S.al-Ma’idah (5): 119). 8.
Maqam Tawakkal Kata tawakkal merupakan bentuk kata arab dari
تَ َوَّك َل
yang
ِ َ يَك ُل- َوَك َل
bermaknamenyerahkan diri. Kata ini seakar dengan kata , ًكال ْو-
yang berarti menyarahkan atau mewakilkan (Yunus, 1989: 505). Tawakkal merupakan pembebasan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepadaNya (Ilyas, 2007: 44). Sedangkan menurut Syaikh Ibnu Athaillah
tawakkal merupakan penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah (http://harumsuburmewangi.blogspot.com, diakses 6 agustus 2014).
Allah Swt telah berfirman dalam Q.S. Hud (11): 123
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan (Q.S. Hud (11): 123). 9.
Maqam Mahabbah
ُامل َحبَّة َ ب ُّ ُب – ََي َّ َح
Kata mahabbah merupakan kata arab dari atau kasih. Kata ini berasal dari akar kata
yang berarti cinta yang berarti cinta
(Munawwir, 1984: 229). Menurut al-Ghazali mahabbah merupakan maqam atau pencapaian tertinggi dari sebuah perjalanan salik kepada Allah. Berbeda dengan pendapat al-Ghazali, Ibnu Athaillah tidak berpendapat demikian. Ia berpendapat bahwa pencapaian tertinggi adalah tercapainya ma’rifatullah, Ia berargumentasi bahwa bisa jadi seorang hamba mencintai Tuhannya karena ia mengharapkan balasan cinta dari Tuhannya, bukan semata karena ketulusan hati (http://harumsuburmewangi.blogspot.com, diakses 6 agustus 2014).
C.
Pemikiran Ibnu Athaillah al-Sakandari
Menelaah pemikiran Syaikh Ibnu Athaillah akan mendapatkan keutuhannya jika merunut dari proses perjalanan hidupnya dari awal hingga akhir hayatnya. Sebagai ulama’ terbesar ketiga dalam silsilah tarekat Syadzaliyah,
Ia
juga
merupakan
seorang
tokoh
tasawuf
yang
mengedepankan aspek teologi (ketuhanan), di mana Ia merupakan ulama’ yang bermadzhab teologi Asy’ariyah. Sebagaimana ajaran teologi Asy’ariyah pada umumnya, Syaikh Ibnu Athaillah memandang seimbang antara syari’at (unsur pengalaman ibadah dan suluk), tarekat, dan hakikat, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan tertinggi dari sebuah pencapaian maqam sufi (http://ridwanpsi.net23.net/ diakses 9 agustus 2014). untuk mengetahui lebih dalam pemikiran Syaikh Ibnu Athaillah, akan dibahas latar belakang pemikirannya mulai dari aliran teologi yang dianut dan madzhan tasawuf yang melandasi pemikirannya. 1.
Teologi Asy’ariyah Teologi Asy’ariyah merupakan satu diantara dua aliran teologi ahlu
al-Sunnah wa al-Jama’ah. Pendiri teologi ini adalah Abu al-Hasan Ali Ibn Ismail al-Asy’ari, lahir di Basrah pada tahun 873 Masehi dan wafat di kota Baghdad 935 Masehi (Nasution, 1986: 65). Sepeninggal ayahnya, al-Asy’ari tinggal bersama Abu Ali bin Juba’i yang merupakan tokoh Mu’tazilah. Kerena pengaruh didikannya itulah alAsy’ari meneruskan pemikirannya sampai Ia berusia 40 tahun. Dan karena suatu sebab dan pemikiran yang panjang mengenai aliran Mu’tazilah, alAsy’ari meninggalkan faham ini dan mendirikan faham teologi Asy’ariyah.
Teologi Asy’ariyah didirikan karena melihat begitu kontrasnya dua aliran pemikiran lama yakni textralis dan aliran baru (rasionalis) (Ma’ruf, Kholisoh, Latifah, 2010: 81). Secara garis besar pemikiran teologi Asy’ariyah adalah sebagai berikut: a. Sifat-sifat Allah sebagaimana terdapat dalam al-Asma’ul Husna tidak boleh diartikan secara harfiyah akan tetapi majazi. b. Sifat-sifat Allah tidak dapat disamakan dengan sifat Basyariyah (sifat manusia). c. Allahlah pencipta segalanya termasuk perbuatan manusia, akan tetapi tugas manusia adalah mengupayakannya. d. Baik dan buruk haruslah didasarkan pada wahyu (al-Qur’an). e. Kalam Allah (al-Qur’an) bukan merupakan esensi dari Allah Swt, karena al-Qur’an bukan Qadim. f. Dengan kekuasaanNya, Allah dapat dilihat di akhirat akan tetapi tidak dapat digambarkan. g. Sifat adil Allah berlaku mutlak, kerananya Dia tidak memiliki kewajiban apapun pada makhlukNya. h. Iman dan amaliyah adalah ranah yang berbeda, karenanya tidak dianggap kafir seorang mukmin yang melakukan dosa besar (Ma’ruf, Kholisoh, Latifah, 2010: 82). 2.
Tarekat Syadzaliyah
Dalam konsepsi agama Islam terdapat konsep Iman, Islam, dan Ikhsan yang mana ketiganya merupakan satu kesatuan yang ideal. Karenanya Islam merupakan suatu sistem ajaran keaagamaan yang lengkap dan utuh yang mencakup penghayatan keagamaan yang eksoteris (lahiri) maupun esoterik (batini) sekaligus. Dan melalui pengamalan tarekat inilah sistem Ikhsan dibangun dan dijaga idealitasnya (Nasution, 1989: 134). Tarekat Syadzaliyah merupakan salah satu tarekat mu’tabarah yang didirikan oleh Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzali al-Hasani bin Abdullah Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qushay bin Yusuf bin Yusa bin Ward bin Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad. Nama gelarnya adalah Taqiyyudin, julukannya Abul Hasan dan nama populernya adalah al-Syadzili. Dia lahir di desa Ghumarah kota Sabtah pada tahun 593 H (1197 M). Besar dan tinggal di desa syadzili, karenanya namanya dinisbatkan di daerah Ia tinggal (www.wikipedia.com , diakses 6 agustus 2014). Abu al-Hasan al-Syadzili dan penerus setelahnya Abu al- Abbas alMursi tidak meninggalkan karya tasawuf. Syaikh Ibnu Athaillah sebagai penerus generasi ketiga yang menghimpun ajaran tarekat Syadzaliyah melalui kajian dan karya-karyanya. Model ajaran dan pemikiran tarekat ini banyak dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki, kenanya banyak sisi kesamaan dan kemiripan antara keduanya (www.wikipedia.com , diakses 6 agustus 2014). Beberapa ajaran tarekat Syadzaliyah:
a. Hendaknya menggunakan nikmat Allah dengan sebaik-baiknya sesuai dengan petunjuk Allah, dan tidak dianjurkan untuk meninggalkan dunia sama sekali. Karena yang demikian akan menimbulkan rasa syukur. Meninggalkan dunia secara berlebihan akan menghilangkan rasa syukur, sedangkan memanfaatkan dunia secara berlebihan akan membawa kepada kedzaliman. b. Menjalankan syari’at dengan sebaik-baiknya dengan cara mensucikan jiwa dari sifat madzmumah dan menghiasi diri dengan akhlak mahmudah. c. Mengosongkan hati dari selain Allah (zuhud) dan menjaga diri dari godaan hawa nafsu yang memperbudak manusia. d. Seorang salik (pengikut tarekat) boleh mencari kekayaan akan tetapi tidak diperbolehkan berlebihan dalam kesenangan ketika dan tidak boleh pula terlalu bersedih hati ketika ketika kehilangan harta. Selalu bersikap sederhana dan tawadhu’. e. Memiliki sikap sosial yang tinggi, tidak memandang sebelah antara kehidupan akhirta dan kehidupan dunia. f. Tasawuf merupakan satu jalan latihan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. g. Ma’rifat merupakan tujuan pencapaian terakhir dari sebuah perjalanan panjang menuju Allah (http://ridwanpsi.net23.net diakses 9 agustus 2014). Mengenai ma’rifat Ibnu Athaillah menuliskan dalam kitab al-Hikam sebagai berikut;
فَ ِاءنَّوُ َما ُُى َو ُم ْوِرُده ُُى َو ُم ْوِرُده
ِ ِ اِ َذا فَتح لَك ِوجهةً ِمن الت ك َ َُّعُّرف فَالَ تُبَ ِال َم َع َها ا ْن قَ َّل َع َمل َ َ َْ َ ََ ِ فَتحها لَك اِالَّ وىو ي ِريد اَ ْن ي ت عر ف َ َّعّر َ ََّ ََ ُ ْ ُ َ ُ َ َ َ َ َ َ ف الَْي َ ك اَ ََل تَ ْعلَ ْم اَ َّن الت َواَيْ َن َما ُُت ِديِْو اِلَْي ِو ِِمَّا, ت ُم ْه ِديْ َها اِلَْي ِو ُ ك َواالءَ ْع َم َ َعلَْي َ ْال اَن ك َ َعلَْي
Apabila Allah telah membukakan pintu makrifat untuk seorang hamba, karena dengan makrifat itu, engkau tidak perlu ke dalam amalanmu yang memang sedikit itu, karena Allah telah membuka makrifat untukmu itu, berarti Allah berkehendak memberi anugerahNya kepadamu, sedangkan amal-amal yang engkau lakukan adalah semacam pemberian ketaatan kepadaNya. Kalau demikian, maka dimanakah letaknya perbandingan antara ketaatan seorang hamba dengan anugerah yang diterima dari Allah? (Syaikh Ibnu Ibad, 2010: 29). Secara ringkas konsep ajaran tarekat Syadzaliyah adalah sebagai berikut a.
Bertaqwa kepada Allah lahir maupun batin
b.
Berkata dan berbuat sesuai dengan hadis Nabi
c.
Mengakui akan kekuasan mutlak dari Allah, dan menafikan kekuasaan manusia
d.
Mengutamakan ridha atas apa yang telah Allah berikan
e.
Mengutamakan dzikir kepada Allah dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. (http://ridwanpsi.net23.net diakses 9 agustus 2014). Salah seorang pensyarah kitab al-Hikam abad ke delapan Hijriyah,
Syaikh Ibnu Abbad al-Rundi (w. 790 H) memberikan kesimpulan dari ajaran Syadzaliyah yakni seluruh kegiatan dan tindakan pengikut tarekat Syadzaliyah harus berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah, dan meniadakan kekuasaan dan kekuatan manusia, dan hanya Allah yang
memiliki segalanya serta hanya kepadaNya semua manusia bergantung (www.wikipedia.com, diakses 6 agustus 2014). Mengenai konsep penafian kehendak manusia dan hanya mengakui kehendak Allah saja, Ibnu Athaillah menuliskan:
ِ ِ ْث ِىف اْلوق ت َغْي َر اَظْ َهَرهُ اهللُ فِْيو ْ َما تَ َر َاك ِم َن ُ اْلَ ْه ِل َشْيأً َم ْن اََر َاد َن َُْيد َ Adalah termasuk orang bodoh, mereka meninggalkan apa yang sudah dimilikinya karena hendak mencari yang baru dalam satu waktu, padahal Allah telah memilih baginya pada waktu itu ( Syaikh Ibnu Ibad, 2010: 51).
BAB III NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB AL HIKAM
D.
Pengertian, Sumber dan Tujuan Pendidikan Akhlak 1. Pengertian Pendidikan Akhlak a.
Pendidikan Dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional (UUSPN, bab 1
pasal 1) pendidikan diartikan sebagai sebuah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang (Nata, 2003: 211). Sedangkan menurut UU No 2 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi
dirinya untuk memiliki
kekuatan
spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dari pengertian di atas, dapat ditemukan tiga pokok pikiran utama yang terkandung di dalamnya, yakni:
1). Usaha Sadar dan Terencana Dari redaksi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu upaya yang benar-benar serius dan dipikirkan secara matang serta
perencanaan
yang
matang.
Pendidikan
merupakan
sebuah
kerja
professional intelekstual, karenanya setiap level pelaksana pendidikan baik dari pusat maupun tingkat institusional, termasuk pelakasna lapangan yakni guru dan tenaga kependidikan harus menyadari hal tersebut. Menurut tekniknya, pendidikan harus direncanakan terlebih dahulu sebagaimana disyaratkan dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 yaitu bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajarn (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kmpetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar (Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007). 2). Mewujudkan Suasana Belajar dan Proses Pembelajaran Agar Peserta Didik Aktif Mengembangkan Potensi Dirinya Mewujudkan suasana belajar berarti menciptakan lingkungan belajar yang menyangkut lingkungan fisik dan non fisik (sosio emosional), termasuk dalam hal pengelolaan kelas. Selain berorientasi pada tujuan, sesuai amanat undang-undang pendidikan hendaknya juga memperhatikan proses sebagai sebuah saran untuk mencapai tujuan. Diantaranya bagaimana cara
mencapai
tujuan
pembelajaran
yang mencakup
perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran (lihat Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007).
3). Memiliki Kekuatan Spiritual Keagamaan, Pengendalian, Kepribadian, Kecerdasan, Akhlak Mulia, Serta Keterampilan Yang Diperlukan Dirinya, Masyarakat, Bangsa, dan Negara.
Pada poin ketiga di atas menjelaskan tentang tujuan dari pembelajaran yang terdiri dari tiga dimensi yakni demensi kepribadian, dimensi agama, dan dimensi sosial kemasyarakatan (UU No 2 tahun 2003). Dari segi individu pendidikan berarti pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang terdapat dalam dirinya sesuai dengan tuntunan fitrah manusia yakni ilmu dan agama (Miarso, 2010: 145). Sedangkan pendidikan dalam lingkup kemasyarakatan berintikan pewarisan nilai-nilai budaya suatu masyarakat terhadap setiap individu untuk melestarikan kebudayaan itu sendiri.
b.
Akhlak Kata akhlak berasal dari bahasa arab yaitu اخالق, yang merupakan
bentuk jama’ dari kata ُخ ْلقyang berarti perangai (Mahmud Yunus, 1972: 120). Sedangkan dalam kamus al-Munjid akhlak memiliki arti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Luis Ma’luf, t.t: 194). Da’iratul Ma’arif dalam Asmaran mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
االخالق ىى صفات االء نسان اال د بيّو
Yang berarti bahwa akhlak merupakan sifat manusia yang terdidik. (2002: 1). Ibnu Maskawaih dalam metodologi pengajaran agama (2004: 110) mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
اْللق حال للنّفس داعية هلا إىل أفعاهلا من غري فكر وروية “Akhlak itu ialah keadaan iwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (terlebih dahulu)”. Sedangkan al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai:
اْللق عبارة عن ىيئة ىف النّفس را سحة عنها تصدراألفعال بسهولةويسرمن غري حاجةإىل فكروروية “Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan dengan mudah tanpa pertimbangan pikiran terlebih dahulu”. Ahmad Amin mendefinisikan akhlak sebagai:
اْللق عا دة االءردة Yang artinya kurang lebih sebagai berikut, ”khuluq ialah membiasakan kehendak”. Maka dari pengertian akhlak dari pakar di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak merupakan perangai asli yang tertanam dalam jiwa yang biasa dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pertimbangan pikiran yang mendalam. Untuk mengartikan kata akhlak, menurut al-Ghazali dalam Miarso dan Haris Fathoni Makmur dapat dilihat dari konsepnya tentang khulq. Ia
mendefinisikannya sebagai suatu keadaan atau bentuk jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan tanpa melalui pemikiran yang mendalam (2010: 143). Untuk menjelaskan makna kata jiwa, al-Ghozali memakai empat istilah, yakni al-qalb, al-nafs, al-ruh, dan al-aql. Dari keempat aspek tersebut di atas al-Ghozali mengartikan kata al-qalb sebagai kalbu jasmani, al-ruh berarti roh jasmani dan lathif, al-nafs berarti hawa nafsu, dan al-aql yang berarti ilmu. Dengan demikian Ia mengartikan jiwa sebagai satu hal yang mencakup aspek fisik dan nonfisik (Rabbani/ketuhanan). Sedangkan dalam implementasinya, al-Ghazali membagi fungsi jiwa ke dalam tiga tingkatan yakni yang pertama, al-nafs al-insaniyah (jiwa manusia) yaitu jiwa yang memiliki daya akal praktis. kedua al-nafs alnabatiyah (jiwa vegetatif) yaitu jiwa yang memiliki daya makan dan tumbuh sebagaimana makhluk hidup pada umumnya. Dan yang ketiga alnafs al-hayawaniyah (jiwa sensitif) yaitu jiwa yang memiliki daya gerak, daya tangkap, dan daya khayal. (Miarso dan Haris Fathoni Makmur, 2010: 25). Dilihat dari analisis al-Ghozali mengenai hakikat jiwa, potensi dan fungsinya di atas, maka untuk menilai moral yang ada pada manusia tidak hanya bisa diukur dari perilaku yang tampak, akan tetapi juga dilihat dari motifasi yang mendasari sebuah perilaku manusia. Karena moral, sifat, dan sikap manusia sangat bergantung dari jenis jiwa yang berkuasa pada diri manusia. Apakah insaniyah, nabatiyah, atau hayawaniyah.
Jadi makna dari pendidikan akhlak merupakan suatu suatu usaha sadar dan terencana dalam mendidik dan memberikan bimbingan berdasarkan ajaran agama yang bertujuan untuk menghasilkan manusia paripurna dan berakhlak mulia agar sesuai dengan fitrah penciptaan manusia. 2. Sumber Pendidikan Akhlak Dalam cakupan pendidikan Islam sumber pendidikan akhlak adalah dari al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw (Ilyas, 2007: 4). a.
Al-Qur’an
1).
Akhlak Mulia (ikhsan) dalam Q.S. al-Baqarah (2): 83
Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil dari pada kamu, dan kamu selalu berpaling (Q.S. al-Baqarah (2): 83). Dalam penggalan ayat di atas, isi pesannya menceritakan tentang keadaan bani Israil zaman dahulu yang banyak tidak menepati janji pada Nabinya. Dalam isi perjanjian itu ada beberapa janji yang seharusnya
dilaksanakan oleh bani Israil yaitu tidak menyembah selain Allah, berbuat baik kepada Ibu dan Bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin. Beberapa kelompok manusia tersebut disebut menunjukkan pentingnya berbuat ihsan kepada mereka semua, sedangkan pada umumnya sebagian besar manusia tidak demikian( Shihab, 2000: 237). Selanjutnya pada kalimat , Allah memerintahkan
untuk secara umum berkata yang baik-baik kepada sekalian manusia tanpa kecuali. Baik kepada yang bukan kerabat, tetangga, antar pemeluk agama, antar warga negara, antar etnis dan golongan atau bahkan yang tidak memiliki pertalian hubungan sekalipun. Artinya Allah memerintahkan untuk berbuat ihsan kepada siapapun tanpa ada tujuan tertentu. Ini karena yang demikian akan semakin memperkokoh solidaritas di antara sesama umat manusia. 2).
Etika Terhadap Allah Swt, dalam Q.S. al-Baqarah (2): 32
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." 3).
Istiqamah, dalam Q.S. Hud (11): 112
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang Telah Taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Hud (11): 112). 3).
Akhlak Terhadap Rasulullah, terdapat dalam Q.S. al-Ahzab (33): 56
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. 4).
Berakhlak Mulia Kepada Kedua Orangtua, terdapat dalam Q. S. AlNisa’(4): 36
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibubapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabildan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Q. S. Al-Nisa’(4): 36). 5).
Akhlak Bermasyarakat (Ukhuwah Islamiyah), terdapat dalam Q.S. alHujurat (49): 10
Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. al-Hujurat (49): 10). 6).
Amar Ma’ruf Nahi Munkar, terdapat dalam Q.S. Ali Imran (3): 104
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran (3): 104).
b.
Al-Hadis
1).
Aklak yang Baik
لى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلّ ْم قَ َال َما ِم ْن َش ْي ٍء اَثْ َق َل ِ ِْف ِمْي َز ِان الْ َعْب ِد َّ ص َّ ِاَ َّن الن َ َِّب ِ ِ ِ ي ْ الْ ُم ْؤِم ِن يَ ْوَم الْ ِقيَا َم ِة ِم ْن ُح ْس ِن َّ ش الْبَ ِذ ُ َوانَّاهللَ يُْبغ, اْلُْل ِق َ ض الْ َفاح
Tidak ada sesuatupun yang lebih berat timbangan seorang mukmin di hari kiyamat dari pada akhlak yang baik, dan Allah Membenci hambanya yang berbicara kejelekan dan jeleknya pembicaraan (H.R. Tirmidzi) (al-Nawawi, t.t: 304). 2).
Taubat
ِ ِ ِ صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ُ َو اَ ْن اَِِب ُىَريْرَة َرض َي اهللُ َعْنوُ قَ َال ََس ْع َ ت َر ُس ْوَل اهلل ِ ِ ي ُقو ُل واهللِ اِ ِّّْن أل ِ ِ ِ ْي َمَّرًة َ ْ ب إِلَْيو ِِف اليَ ْوم أَ ْكثَ َر م ْن َسْبع ْ ُ َستَ ْغف ُر اهللَ َوأَتُ ْو َ َْ .)(رواه البخارى Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. dia berkata, “ saya mendengar Rasulallah Saw bersabda”, “ Demi Allah, sungguh saya memohon ampun (mengucap ustighfar) kepadaNya dan bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali”. (H.R. Bukhari) (alNawawi, t.t: 13) 3).
Sabar
ٍ َب ب ِن ِسن ِ ص َهْي ان َر ِضيَاهلل َعنو قَال قال رسول اهلل صلي اهلل ُ َو َع ْن أَِِب ََْي َي ِ عليو وسلّم عجبا ِألم ِر املؤِم ِن إِ َّن أَمره ُكلَّو لَو خي ر ولَي َّك ِأل َح ٍد إال ْ َ س ذَال ًَ َ َ ْ َ ٌ ْ َ ُ ُ َُ ُ ِ ِ صبَ َر َ َُصابَْتو َ ُضَّراء َ َوإِ ْن أ,َُصابَْتوُ َسَّرهُ َش َكَر فَ َكا َن َخْي ًرا لَو َ إِ ْن أ,لل ُم ْؤم ٍن
)ك (رواه مسلم َ َفَ َكا َن َخْي ٌر ل
Dari Abi Yahya Shuhaib bin Sinan r.a. berkata, Rasulullah bersabda,” Sungguh mengagumkan perkara orang mukmin. Karena semua perkaranya baik baginya dan tidak ada yang sebaik sebagaimana orang mukmin. Ketika memeroleh kenikmatan ia bersyukur dan itu baik baginya, dan ketika ditimpa kesengsaraan maka ia sabar dan itu baik baginya (H.R. Muslim) (al-Nawawi, t.t: 29). 4).
Tentang Kebaikan dan Keburukan
عن. م. سألت رسول اهلل ص:َوعن النّواس بن َسعان رضي اهلل عنو قال ت ْ َو,الرب ُح ْس ُن اْللُ ْق َ إلمثُ َما َح ُّ ِ : فقأل,الرب و اإلمث ّْ َ َوَك ِرْى,ص ْد ِرَك َ اك ِىف .)أَن يَطَّلِ َع َعلَْي ِو النَّاس (رواه مسلم
Dari Nawas bin Sam’an r.a. berkata:saya bertanya kepada RAsulullah Saw tentang kebaikan dan keburukan (dosa), Nabi menjawab, ”kebaikan itu akhlak yang baik, dan kejelekan itu adalah sesuatu yang mengganjal di dalam dada, dan akan marah dan malu jika dilihat oleh orang lain”. (H.R. Muslim) (al-Nawawi, t.t: 303). 3. Tujuan Pendidikan akhlak
Kierkegard dalam Prinsip dan Metode Pendidikan Islam menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu jalan yang mengantarkan peserta didik agar menjangkau dirinya sendiri, karenanya manusia harus sadar pada dirinya sendiri bahwa Ia memiliki tujuan hidup (Bayrakli, 2004: 128). Dengan demikian, tujuan pendidikan adalah agar dengan kesadaran itu Ia dapat merealisasikan dirinya sebagai manusia. Sedangkan menurut UU No 02 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Bab II tentang dasar, fungsi, dan tujuan pasal 3, berbunyi Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 tahun 2003). Secara khusus al-Ghazali menjelaskan bahwa pendidikan akhlak memiliki dua tujuan utama, yakni: a.
Membentuk manusia paripurna sehingga bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah swt
b.
Memperoleh kebahhagiaan di dunia dan di akhirat (Arif, 2002: 22). Sedikit berbeda dengan yang dikemukakan al-Ghazali mengenai
pendidikan akhlak, bahwa menurut Ibnu Athaillah tujuan pendidikan akhlak adalah agar murid atau peserta didik dapat mencapai tingkatan ma’rifat
kepada Allah. Karena apabila seorang hamba telah dibukakan pintu ma’rifat kepada Allah, maka ia akan memperolah ketenangan dan kenikmatan rohani yang melimpah. Dan dengan ma’rifat itu seorang hamba akan semakin dekat denganNya (Ahmad al-Buny, 2010: 29). Sedangkan kaitannya dengan ma’rifat di atas, Syaikh Ibnu Athaillah membaginya menjadi tiga tingkatan, yaitu: a.
Ilmu al-yaqin Yaitu suatu tingkatan di mana seorang hamba mengetahui dengan keilmuannya bahwa Allah itu ada.
b.
Ainu al-yaqin Yakni suatu tingkatan ma’rifat di mana seorang hamba mengenal Allah dengan baik menurut ilmu Allah sendiri.
c.
Haqqu al-yaqin Yaitu suatu tingkatan ma’rifat ketika pengenalannya dengan Allah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan, sehingga dalam beribadah dan beramal berada pada tingkatan yang seimbang (Ahmad al-Buny, 2010: 30).
E.
Metode Pendidikan Akhlak Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata metode memiliki arti cara teratur yg digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki (http://kbbi.web.id/ diakses 6 Agustus 2014). Sedangkan Basyiruddin Usman dalam metodologi pembelajaran agama Islam memaknai metode sebagai cara atau tehnik menyajikan bahan
pelajaran terhadap siswa agar tercapai suatu tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien (2002: 4). Sebuah metode sangat penting dipakai dalam pelaksanaan pendidikan akhlak karena ia merupakan satu komponen terpenting berhasil tidaknya sebuah pendidikan. Pendidikan agama diartikan sebagai suatu kegiatan yang bertujuan untuk membentuk manusia agamis dengan menanamkan akidah keimanan, amaliah, dan budi pekerti (akhlak al-karimah) agar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah Swt (Usman, 2002: 4). Beberapa metode yang dapat dipakai dalam melaksanakan program pendidikan akhlak adalah sebagai berikut: 1.
Metode Keteladanan Metode keteladanan sangat ditekankan dalam sebuah pembelajaran
sosial (akhlak), dan bahkan menjadi metode terpenting yang harus dipakai dalam pembelajaran ini. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Ahzab (33) ayat 21:
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab (33): 21). Pada ayat di atas Allah telah memerintahkan hambaNya untuk menjadikan metode keteladanan dalam hal mengajarkan akhlak kepada anak-anaknya. Dalam hal ini meneladani akhlak al-karimah Nabi
Muhammad Saw dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana tertera dalam alQur’an dan al-Hadis. Dalam konsep teori belajar sosial-kognitif yang dikemukakan Albert Bandura (1925), metode ini biasa disebut dengan metode imitasi, karena perilaku (akhlak) terbentuk melalui proses mengamati perilaku seseorang (guru atau orang tua) untuk kemudian diterapkan dalam dirinya (Sriyanti, 2012: 80). 2.
Metode Pemberian Nasihat Metode nasihat merupakan sebuah cara yang dapat dilakukan oleh
guru dalam rangka mendidik anak didiknya dalam hal pembelajaran agama atau akhlak dengan cara memberikan nasihat atau ceramah secara langsung (oral). Allah Swt mencontohkan apabila seorang hendak memberikan pengajaran melalui ceramah dilakukan dengan cara yang baik pula. Sebagaimana terkandung dalam Q.S. al-Nahl(16): 125:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. AlNahl(16): 125).
Metode ini sangat penting karena juga telah banyak dicontohkan oleh Allah dan RasulNya dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Baik dalam perintah atau ajaran berakhlakul karimah maupun dalam menjalankan syari’at agama Islam. Perintah atau nasihat untuk berbuat kebaikan hendaknya juga disampaikan dengan cara yang baik pula, sebagaiman Ibnu Athaillah dalam kitab al-Hikam berkata:
ِ َاَلْعِبارةُ قُو لِعائِ ِلة الْمست ِمعِْي ولَيس ل ت لَوُ اَكِ ٌل َ َ ْ َ َْ َْ ُ َ ْك االَّ َما اَن َ ْ ََ Tutur kata itu ibarat hidangan bagi pendengar, dan kalian tidak mendapatkan sesuatupun kecuali apa yang kalian makan (Ahmad al-Buny, 2010: 437). 3.
Metode Cerita Metode cerita ini dapat disampaikan secara langsung kepada peserta
didik melalui cerita lisan, audio, film, atau dengan menggunakan sosiodrama. Penggunaan metode ini sangat bagus karena siswa cenderung akan mendengarkan tanpa merasa digurui. Allah dan RasulNya juga menggunakan metode ini dalam mendidik akhlak umat manusia pada waktu itu, bahkan dalam al-Qur’an lebih banyak mengemukakan cerita manusia zaman dahulu dalam menanamkan sikap moral. Seperti cerita Nabi-Nabi dalam al-Qur’an, cerita orang saleh zaman dahulu, dan juga cerita mengenai hamba-hambaNya yang maksiat kepada Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Yusuf (12): 3:
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran Ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum Mengetahui. (Q.S. Yusuf (12): 3).
4.
Metode Perintah dan Larangan Perintah dan larangan yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan
cara Allah dalam mendidik hamba-hambaNya agar menjadi pribadi muslim yang baik sesuai dengan ajaranNya. Baik berupa perintah wajib untuk dilaksanakan atau wajib ditinggalkan, dengan menggunakan fi’lu al-amar atau nahiy ataupun dengan menggunakan kalimat berita berupa kebaikan dan keburukan. Allah Swt berfirman dalam Q.S. Luqman (31): 17:
F.
Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Q.S. Luqman (31): 17). Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Kitab al-Hikam 1.
Penjelasan Tentang Orang-Orang Yang Arif
ِ ِ ِ ِ ِ الزلَ ِل َّ الر َج ِاء ِعْن َد ُو ُج ْوِد َ الع َم ِل نُ ْق َ م ْن َعالََمات الْء ْعت َماد َعلَى ّ صا ُن
Tanda-tanda orang arif dalam amal, ia tidak membanggakan amal iabadahnya. Berkurangnya harapan kepada Allah ketika terjadi kekhilafannya kepada Allah (Ahmad a-Buny, 2010: 1).
2.
Penjelasan Adanya Kekuasaan Allah
ِ ٍ ِ وءد قَه ِرِه سبحانَو اَ ْن حجبك عْنو ِِبا لَي ِ َ ُِّمَّا يَ ُدل ُس ِبَْو ُج ْود َم َعو َ ْ َ ُ َ َ َ َ َ ُ َ ْ ُ ْ ك َعلَى ُو ُج Diantara tanda-tanda ynag menunjukkan kekauasaan Allah Swt ialah Dia berkuasa menghalangimu mendekatiNya, dengan sesuatu yang wujud tidak bersama Dia (Ahmad al-Buny 2010: 47). 3.
Penjelasan Tentang Keluar Dari Sifat Manusia Yang Merusak
ِ ِ ٍ ِف منَاق ِ اُخرج ِمن اَو ِ ٍ ْ ك َعن ُك ّْل و ك لشتَ ُك ْو َن َ ِض لعُبُ ْود يَّت َ ْ ْ ْ ُْ ُ ص ْ َ صاف بَ َش ِريَّت َ ضَرتِِو قَ ِريْبًا ْ لِنِ َد ِاء ْ اْلَ ّق ُُِمْيبًا َوِم ْن َح
Keluarlah kamu dari sifat kemanusiaanmu yang bertentangan dengan sifat ubudiyah (sifat seorang yang beribadah), agar engkau dapat mendekati Dzat al-Haq itu, dan masuk ke dalam sentuhanNya (Ahmad al-Buni, 2010: 81). 4.
Asal Semua Maksiat dan Semua Ketaatan
ٍ ٍ ٍِ ِ ضا َع ِن النّ ْف اع ٍط َويَ ْقظٍَة َ الر َ َص ُل ُك ّْل ط ْ َ َوا,س ْ َا ّ ص ُل ُك ّْل َم ْعصيَة َو َغ ْفلَة َو َش ْه َوة ك َعْن َها ّْ َو ِعف ٍَّة َع َد ُم َ الرضا ِمْن
Asal dari semua maksiat, semua kelalaian, semua syahwat, karena si hamba cenderung mengikuti nafsunya, sedangkan asal dari semua taat, kesadaran, dan rasa harga diri, karena is hamba tidak rela (menghindari) diri dari perbuatan (godaan) hawa nafsunya (Ahmad alBuny, 2010: 85). 5.
Penjelasan Tentang Berkawan Dengan Orang Bodoh Dan Orang Alim
ِ َ َوالَ ْن تَصحب جا ِىالً الَي رضى عن نَ ْف ِس ِو خي ر ل ب َعالِ ًما ْ َك م ْن اَ ْن ت َْ َ َ َْ َْ َ َ ص َح َُْ ِ ي ِع ْل ٍم لَعلِ ٍم ي رضى عن نَ ْف ِس ِو واَيث جه ٍل ِْل َاى ٍل ال ُّ َضى َع ْن نَ ْف ِس ِو فَا َ يَ ْر َ َْ َّ ْ َ َ َْ َ ضى َع ْن نَ ْف ِس ِو َ يَ ْر
Engkau bersahabat dengan orang bodoh tetapi tidak mengikuti hawa nafsunya, lebih baik bagi kamu dari pada engkau bersahabat dengan orang alim, tetapi suka megikuti hawa nafsunya. Tidak mengikuti ilmu itu dimiliki orang alim, apabila ia menyenangi hawa nafsunya. Dan di mana letak kebodohan orang bodoh yang tidak mengikuti hawa nafsunya (Ahmad al-Buny, 2010: 89). 6.
Penjelasan Tentang Kebaikan Introspeksi
ِ ِ ُتش ُّؤف ِ ِ ِ ُك ِمنض الْعُي ب َ ب َخْي ُر ِم ْن تَ َش ُّو َ ك ا َىل َمابَطَ َن فْي َ ََ َ فشك ا َىل َما ُحج ِ ُك ِمن الْغثي ب َ َ َعْن
Keinginan untuk mengetahui tentang cela yang tersembunyi dalam batinmu, itu lebih baik dari pada keinginanmu untuk mengetahui masalah-masalah gaib yang engkau tidak mampu mengalaminya (Ahmad al-Buny, 2010: 93). 7.
Penjelasan Tentang Berpengharapan Hanya Kepada Allah
ِ ال ت ت ع َّد نِي ال ُ ك اِ َىل َغ ِْريهِ فَا الْ َك ِرْْيُ الَ تَتَ َخطَّاهُ اآلََم َ ّْت ِه َ َّ َ ََ َ Jangan palingkan harapanmu selain dari Allah, karena Dzat yang maha hidup itu tidak mungkin mengenalnya oleh semua angan-angan (Ahmad al-Buny, 2010: 97). 8.
Penjelasan Tentang Husnudzan Kepada Allah
ِِ ِ ِ ِِ َ اِ ْن ََل ُُْت ِسن ظَن َّك بِِو لُِو ُج ْوِد ُم َع َاملَتِ ِو َ شن ظَن ْ َّك بو آل ْج ِل ُح ْس ِن وضفو فَ ّس ْ ْ ِ ِ ِ ك االَّ ِمنَنًا َ ص َدى الَْي َ َم َع ْ َ فَ َه ْل َع َّوَد َك االَّ َح َسنًا َوَى ْل ا,ك
Jika seorang hamba tidak berbaik sangka kepada Allah, karena kabikan sifat-sifatNya, hendaklah kalian berbaik sangka kepadaNya, karena nikmat dan rahmat yang telah kalian terima dariNya. Dia (Allah) hanya membiasakan memberikan nikmat kepada kalian, dan hanya menganugerahkan kebaikan kepada kalian (Ahmad al-Buny, 2010: 105). 9.
Penjelasan Tentang Ingin Menghindar dari Maksiat
ِ ِ ب ِِمَّن ي هر ُب َماالَ بَ َقاءَ لَو ُ ُ ْ َ ْ ِ ب ُك ُّل الْ َع َج ُ ُب م َّم الَ انْف َكا َك لَوُ َعنْوُ َويَطْل ُ اَلْ َع َج ِ الس ُد ِرى ُّ ب الَِِّت ِىف ُ َم َعوُ فًاءن ََّها الَ تَ ْع َمى الْ ُقلُ ْو
Sungguh mengherankan, orang yang lari dari apa yang dia tidak bisa terlepas darinya dan malah mencari apa yang tidak kekal baginya.” Sesungguhnya mata kepala itu tidak buta, tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada” (Q.S. al-Hajj (22): 46) (el-Hasany, 2011: 59). 10.
Penjelasan Tentang Dzikrullah
ِ الذشكْر لِع َدِم حض ِرَك مع اهللِ فِي ِو آلَ َّن َغ ْفلَتك عن وثج ِ وءد ِذ ْك ِرِه ُ َْ َ َ َ َ ُ ُ َ َ ّْ الَ تَ ْْتثك ِِ ك ِم ْن ِذ ْك ِر َم َع ُو ُج ْوِد َغ ْفلَ ِة َ وثج ْود ذ ْك ِرهِ فَ َع َسى اَ ْن يَ ْرفَ َع َ ِاَ َش ُّد ِم ْن َغ ْفلَت ُ ك ِىف ِ ِ ِ َوِم ْن ِذ ْك ٍر َم َع ُو ُج ْوِد يَ َقظٍَة اِ َىل ِذ ْك ٍر َم َع ُو ُج ْوِد,ض ٍة َ ا َىل ُو ُجد َم َع ُو ُج ْود يَ َق ِ ِ ِ ض ْوٍر اِ َىل ِذ ْك ٍر َم َع ُو ُج ْوِد َغْيبَ ٍة َع َّم ِس َوى ُ َوم ْن ذ ْك ٍر َم َع ُو ُج ْود ُح,ض ْوٍر ُ ُح ِ ك َعلَى اهللِ بِ َع ِزيْ ِز َ الْ َم ْذ ُك ْوِرَوَما ذَال
Jangan engkau tinggalkan dzikir kepada Allah, sebab lalaimu terhadap Allah tanpa adanya dzikir lebih berbahaya dari pada lalaimu kepada Allah dengan masih tertinggal dzikir di hatinya. Mudah-mudahaan Allah mengingat kamu untuk berdzikir dari suka melalaikan kepada sadar melaksanakan dzikir. Dari dzikir yang sadar ke dzikir yang penuh kesadaran hati. Dari dzikir dengan hadirnya hati kepada dzikir yang masuk kepada kegaiban. Tidaklah ada kesukaran bagi Allah tentang ha;-hal seperti itu (Ahmad al-Buny, 2010: 123).
11.
Penjelasan Tentang Maksiat dan Rahmat Allah
ِ َث ذُالِّ وفْتِ َقا را حي ر ِمن طَا ع ٍة اَورث ِ مع استِكْبَ ًارا ْ َ ْ َ ْ ٌ ْ َ ً َ ْ َصيَةٌ اَْو َرث َْ ْ ت عِّزا َو Kemaksiatan yang menimbulkan rasa rendah diri dan harapan (akan rahmat dan belas kasih Allah), lebih baik dari pada taat yang membangkitkan rasa mulia diri dan keangkuhan (Ahmad al-Buny, 2010: 225). 12.
Penjelasan Tentang Jangan Berburuk Sangka Kepada Allah
ِ ِ ِ َ ِك بِتَاَ ُّح ِر مطْلَب ك َ ِك بِتَاَ ُّخ ِر اََدب َ ب نَ ْف َس َ ّب َرب ْ ك َولَك ْن طَا ل َ ْ الَ تُطَا ل
Jangan Tuhan yang disalahkan, karena tertundanya permintaan kalian. Akan tetapi salahkanlah diri kalian sendiri, karena kalian suka menunda kewajiban terhadap Allah (Ahmad al-Buny, 2010: 255). 13.
Penjelasan Tentang Batas Kejelekan dan Kebaikan
ِ الَ ِِنا ية لِم َذا ّْمك اِ ْن اَرجعك اِلَيك والَ ت ْفرغُ مد ِاءح َ ُ ََ ُ َ َ َ ْ َ ََ ْ َ ُك ا ْن اَ ْذ َىَر ُج ْوَده َ ََ َ ك َ َعلَْي Tidak ada batas akhir keburukan itu, jikalau Allah mengembalikan kamu pada dirimu sendiri. Tidak akan juga ada habis-habisnya kebaikan itu, jikalau Allah menampakkan kemurahanNya kepadamu (Ahmad al-Buny, 2010: 293).
14.
Penjelasan Tentang Bersandar Kepada Sifat Rububiyah
ِ ِ اف رب وبِيَّتِ ِو مت علّْ ًقا وبِاَو ِ ُكن بِاَو ك ُمتَ َح ّْق ًقا َ ِصاف عُبُ ْوديَّت َ ْ َ َ َ ُ ْ ُُ ص َ ْ ْ Bersandarlah kepada sifat-sifat rububiyah, dan nampaklah sifat-sifat ubudiyah yang sesungguhnya (Ahmad al-Buny, 2010: 295). 15.
Penjelasan Tentang Perintah Mempelajari Alam Semesta
ِ ِ ك اَ ْن تَِقف مع َذوا ت الْ ُم َك ّْونَا َ َات َوَما اَذ َن ل َ َاح ل ْ َك اَ ْن تَ ْنظَُرَما ِىف الْ ُم َك ّْون َ َاَب َ ََ َ ِ السماوا ِ اُنْطُُرْوا: اب االَفْ َه ِام َوََلْ يَ ُق ْل َ َت فَتَ َح ل ْ َ َك ب َ َّ قُ ِل انْظُُروا َما َذا ىف:ت ِ ِ السما و ك َعلَى َو ُج ْوِد االَ ْجَرِام َ ُّات لئالَّ يَ ُدل َ َ َّ
Allah mengharuskan kalian meniliti (menalar) alam semesta dan sebab terjadinya, akan tetapi Allah tidak mengizinkan kalian berhenti karena mengetahui benda-benda alam semesta itu saja.karena Allah telah berfirman (dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 101): “telitilah olehmu apa yang ada di langit dan apa yang ada dibumi.” Dengan keadaan itu Allah akan membuka pikiranmu, karena Allah mengajarkan: “ pandanglah lapisan langit itu, supaya tidak menunjukkan kepadamu wujudnya benda-benda itu.” (Ahmad al-Buny, 2010: 333). 16.
Penjelasan Tentang Raja’ Dan Khauf
ت اَ ْن يَ ْفتَ َح َ اَ ْد
ِ ِ َّ اِ َذا اَردت اَ ْن ي ْفتح لَك باب ك َواِ َذا َ الر َجا ء فَا ْش َه ْد َما ِمْنوُ الَْي َ َ َ َ َ َ َ َْ ِ ْ لَك با ب ك اِلَْي ِو َ اْلَْوف فَا ْش َه ْد َما ِمْن َ َ َ
Apabila Allah bukakan pintu raja’ (harapan), maka saksikan apa yang Allah berikan untukmu. Apabila kamu ingin Allah bukakan pintu khauf (kuatir), perhatikanlah apa yang telah engkau amalkan mentaati Allah (Ahmad al-Buny, 2010: 351). 17.
Penjelasan Tentang Istiqamah
ِ ِ ِ ِْ ك ِمن حصوِل ك َ ّْاال ْستِ َق َم ِة َم َع َرب َ ا َذا َوقَ َع ِمْن ْ ُ ُ ْ َ ك َذنْبًا فَالَ يَ ُك ْن َسبَبًا لبَاْس ِ َ ِفَ َق ْد ي ُكو ُن َذال ٍ ك َ ّْر َعلَْي ْ َ َ ك اَخٌر َذنْب قُد
Jikalau terlanjur berbuat dosa, janganlah menjadi penyebab engkau berputus harapan untuk istiqamah kepada Tuhanmu. Mungkin hal itu akan menjadi sebab sebagai dosa terakhir yang ditaksirkan Tuhan untukmu (Ahmad al-Buny, 2010: 349). 18.
Penjelasn Tentang Hawa Nafsu Maksiat
ِ صي ِة ظَا ِىر جلِي وحظُّها ِىف الطَّاع ِة ب ِ ُّ َح ِ ظ النّ ْف ُاط ٌن َخ ِف ّّي َوُم َدا َوة َ َ َ ّّ َ ٌ َ َ َ س ِىف املَْع ِ ما ََيْ َفى صع ُب عالَ ُجو َ ٌ َْ Bagian nafsu dalam maksiat itu sangat jelas, sedang bagiannya dalam ketaatan, halus, dan samar. Menyembuhkan segala yang samar itu terlalu sulit (Ahmad al-Buny, 2010: 373).
19.
Penjelasan Tentang Nasihat Baik
ِاط اِحسانِاهلل ِ االساءةُ ومن عبَّرِمن بِس ِ من َعبَّر ِمن بِسا ِط اِحسنِ ِو اَصمتَْتو َ ْ ُ َْ َ ْ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َْ ِ اِلَي ِو ََل يسم ْ َُْْ ْ َت اذَا اَ َساء
Siapa yang memberi nasihat dengan memandang dirinya baik, maka dia kan berdiam diri apabila berbuat kesalahan. Dan siapa yang member nasihat, karena memandang (apa yang ia ucapkan) sebagai kebaikan dari Allah untuk dirinya, maka dia tidak berdiam diri apabila berbuat kesalahan (Ahmad al-Buny, 2010: 425). 20.
Penjelasan Tentang Tutur Kata Ibarat Hidangan
ِ َاَلْعِبارةُ قُو لِعائِ ِلة الْمست ِمعِْي ولَيس ل ت لَوُ اَكِ ٌل َ َ ْ َ َْ َْ ُ َ ْك االَّ َما اَن َ ْ ََ
Tutur kata itu ibarat hidangan bagi pendengar, dan kalian tidak mendapatkan sesuatupun kecuali apa yang kalian makan (Ahmad alBuny, 2010: 437). 21.
Penjelasan Tentang Malu Kepada Allah
ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ َف ال َ العا ِر ُق اَنْ َس ْرفَ َع َحا َجتَوُ ا َىل َم ْوالَهُ ِال ْكت َفائو ِبَشْيئَتو فَ َكْي ْ ُرَِّبَا َ استَ ْحيَا يَ ْستَ ْح ِي اَ ْن يَ ْرفَ َعا اِ َىل َخلِْي َقتِ ِو Sering kali orang yang berma’rifat itu merasa malu memohon keperluannya kepada Allah, karena telah puas mengikuti kehendak Allah, dan betapa ia tidak malu menyampaikan keperluannya kepada sesame makhluk? (Ahmad al-Buny, 2010: 447).
22.
Penjelasan Tentang Ajakan Nafsu
ِا ِ ك اَْمَر ِان فَا نْظُْر اَثْ َقلَ ُه َما َعلَى النَّ ْف س فَا تَّبِ ْعوُ فَ ِاءنَّوُ الَ يَثْ ُق ُل ب ت ل ا ذ ْ َ َ س َعلَْي َ َ َ َعلَْي َها اِالَّ َما َكا َن َحقِّا
Apabila engkau harus memilih satu di antara dua perkara, maka lihatlah apa yang diinginkan oleh nafsumu, dan ikutilah. Karena sesungguhnya tidaklah yang palng dipilih oleh nafsumu, kecuali sesuatu yang dianggap lebih benar (Ahmad al-Buny, 2010: 449). 23.
Penjelasna Tentang Hakikat Ilmu
ِ ِ ِ ُ فَاء َذا قَ َراْنَاه,َّج ّْل ُُْم َملَةً َوبَ ْع َد الْ َو ْع ِي يَ ُك ْو ُن الْبَيَا ُن َ اَ ْْلََقا ئ ُق تَ ِرُد ِىف َحا ل الت ِ ُفَا التَّبِ ْع قُ ْراَنَوُ ُمثَّ ا َّن َعلَْي نَا بَيَا نَو Ilmu hakikat itu datangnya dalam keadaan jelas dan bersifat mujmal. Setelah diberi keterangan barulah menjadi jelas. Seperti firman Allah: Apabila Kami (Allah) telah selesai membacakannya, kemudian sesungguhnya penjelasannya adalah tanggungan Kami (Ahmad alBuny, 2010: 497).
24.
Penjelasan Tentang Larangan Berputus Asa Dalam Ibadah
ِ الع َم ِل ْ س ِم ْن قَبُ ْوِل َع َم ٍل ََلْ ََيش ْد فِْي ِو ُو ُج ْوَد ُ ُاْل َ ض ْوِر فَ ُرَِّبَا قُبِ َل م َن ْ َالَتَ ْيا ِ ملَمء تُ ْدرْك ََثَرتُو ع ًاجال َ َُ َ َ
Janganlah berputus asa karena tidak ditermanya amalmu sebab tidak hadir hatimu. Kemungkinna amalmu diterima akan tetapi belum dapat segera dilihat hasilnya (Ahmad al-Buny, 2010: 505).
25.
Penjelasan Tentang Ilmu Yang Bermanfaat
ِ ِ اَلْعِْلم النَّافِع ىو الَّ ِذى ي ْنب ِ ف بِِو َع ِن الْ َق ْل ب ُص َّ ط ِىف ُ الص ْد ِر ُش َعا عُوُ َويَنْ َكش ََ َُ ْ ُ ِ ُقنَا عُو
26.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang memancarkan cahaya di dalam dada, dan menyingkap katupnya hati (Ahmad al-Buny, 2010: 533). Penjelasan Tentang Takabbur Karena Tawadzu’
ِ ِ ِ ِ من اَثْب اض ُع اِالَّ َع ْن ِرفْ َع ٍة ُ س الت ََّو ُ ت لنَ ْفسو تَ َو َ َ َْ َ ا ْذ لَْي,اض ًعا فَ ُه َو املُتَ َكبّْ ُر َحقِّا ِ فَمِت اَثْب ت املتَ َكبّْ ُر َحقِّا ْك ِرفْ َعةً فَاَن َ ت لنَ ْف ِس َ َ َ ََ ُ
Siapa yang merasa dirinya tawadhu’ benar-benar dia telah takabbur. Sebab tiadalah ia merasa tawadhu’ kalau bukan karena sifat tinggi darinya. Maka kapan saja engkau merasa dirimu tinggi, maka engkau itu telah benar-benar takabbur (Ahmad al-Buny, 2010: 545). 27.
Penjelasan Tentang Mencintai Allah
ِ ُب الَّ ِذى ي رجو ِمن ََْمجوبِِو ِعوضا اَو يطْل ب َّ ضا فَاِ َّن امل ِح ُّ س امل ِح ً ب مْنوُ َغَر ً َ ْ ُ ْ ْ ُ َْ ْ َ ُ َ ْلي ُ ُ ُّ س امل ِح َ ََم ْن يَْب ُذ ُل ل ُب َم ْن يَْب ُذ ُل لَو َ ك لَْي ُ Bukanlah dinamakan mencintai Allah, orang yang mengharapkan sesuatu dari yang dicintanya, atau meminta dari yang mencintainya akan kepentingannya. Akan tetapi cinta itu adalah engkau memberikan kepadanya. Bukanlah disebut cinta jika engkau harus memperoleh sesuatu darinya (Ahmad al-Buny, 2010: 551). 28.
Penjelasan Tentang Berpikir Adalah Pelita Hati
ِ ِ الفكْرث َسْي ر ال َق ْل ب ِىف َميَا ِديْ ِن االَ ْغيَا ِر ُ Berpikir itu adalah perjalanan hati di dalam semua lapangan kehidupan makhluk (Ahmad al-Buny, 2010: 585). 29.
Penjelasan Tentang Syukur Nikmat
ِ ِِ ِ ِ ِ َالش ِري عةُ تَ ْقت ِ ْي ال َق ْل َض ْي اَنَّوُ ال ْ َا ْن َكان ُ ْ ت َع َ ْ َّ ب تَ ْنظُُر اَ َّن اهللَ َواح ٌد ِىف منَّتو فَا بُ َّد ِم ْن ُش ْك ٍر َخلِْي َقتِ ِو Apabila sang mentari mampu memandang ke-Esa-an Allah itu berdiri sendiri dalam menganugerahka karunianya, maka syari’at menetapkan, agar orang mau bersyukur kepada sesame makhluk (Ahmad al-Buny, 2010: 597).
30.
Penjelasan Tentang Dzikir Dan Doa
ِ ّْ ِ قُل ل:السالَم ْي ِِب فَ ْليَ ْفَر ُح ْوا َوبِ ِذ ْك ِرى َ ْ لصدّْق ْ ُ َّ َوقَ ْد اَْو َحى اهللَ َد ُاوَد َعلَْيو فَ ْليَتَ نَ عَّ ُم ْوا
Sungguh Allah telah mewahyukan kepada Nabi Dawud As.: Hai Dawud, katakana kepada orang-orang yang jujur, hendaklah dengan Aku mereka bergembembira, dan dengan berdzikir kepada-Ku mereka merasakan nikmat (Ahmad al-Buny, 2010: 607).
BAB IV ANALISIS DATA
D.
Tinjauan Tentang Pendidikan Akhlak dalam Islam Mengkaji tentang pendidikan akhlak, maka tidak akan terlepas dari pendidikan Islam sebagai landasan perencanaan dan pelaksanaannya. Sedangkan memahami pendidikan Islam harus menganalisis secara pedagogis suat aspek utama dari misi agama yang yang diturunkan kepada umat manusia melalui RasulNya sejak 14 abad yang lalu (Arifin, 2011: 21) Islam
sebagai
pentunjuk
Ilahi
mengandung
implikasi
kependidikan yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia menjadi pribadi Muslim yang sempurna melalui tahapan-tahapan sesuai dengan ajarannya. Islam sebagai salah satu agama samawi (agama yang datang dari langit) mengandung nilai-nilai sehingga proses pendidikan dapat berlangsung secara konsisten dan tentunya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Tata nilai Islam merupakan pondasi pokok pendidikan Islam. Yang dengannya kemudian dapat dijabarkan menjadi asas, strategi dasar, dan sistem pendidikan yang nantinya memberikan ruh, membentuk proses pendidikan yang nantinya akan berlangsung (Arifin, 2011: 21). Sesuai misi Islam diturunkan di bumi, agama Islam bertujuan agar menjadi rahmat bagi sekalian alam. Karenanya melalui pendidikan Islam ini dijadikan wadah sebagai sebuah proses mewujudkannya. Adapun dimensi pengembangan manusia agar dapat mencapainya adalah sebagai berikut:
1. Menyadarkan Manusia Sebagai Makluk Individu Manusia sebagai makhluk individu di sini bukan berarti mansuia hanya berorientasi pada diri sendiri saja, akan tetapi dengan segenap kelebihan yang telah diberikan Allah kepadaNya Ia dapat memaksimalkan fungsi tersebut. Karena salah satu bentuk syukur kepadaNya adalah dengan
memaksimalkan
potensi
yang
telah
diberikanNya
untuk
dimanfaatkan sebaik-baiknya. Agar manusia mampu memaksimalkan potensi dirinya, maka Allah telah memberikan bekal yang cukup berupa fisik, akal (pikiran), dan hati yang sehat. Karena itulah Allah meninggikan derajatnya melebihi makhluk ciptaanNya di muka bumi. Allah berfirman dalam Q.S. al-Isra’ (17): 70
Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan (Q.S. al-Isra’ (17): 70). Sebagai makhluk yang telah diberikan keistimewaan oleh Allah berupa akal, pikiran dan hati, maka akan ada konsekuensi yang harus ditanggung olehnya. Allah Swt berfirman dalam Q.S. al-Isra’ (17): 15:
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi
(kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul (Q.S. al-Isra’ (17): 15) .
2. Menyadarkan Manusia Sebagai Makhluk Sosial Selain sebagai makhluk individu, manusia merupakan makhluk sosial yang harus berinteraksi dan saling tolong-menolong. Kesuksesan Manusia yang manjalankan fungsinya sebagai makhluk sosial diawali dengan kesuksesannya menjadi pribadi muslim yang tangguh. Ia harus memiki potensi sehingga dengan potensi itulah manusia saling berinteraksi, bemusyawarah, dan tolong-menolong sehingga tercipta hubungan timbal balik yang harmonis dan saling melengkapi (Arifin, 2011: 23). Allah Swt berfirman dalam Q.S. al-Rum (30): 22:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tandatanda bagi orang-orang yang Mengetahui (Q.S. al-Rum (30): 22). 3. Menyadarkan Manusia Sebagai Hamba Allah Menurut C.G. Jung dalam Ilmu pendidikan Islam, bahwa manusia telah memiliki kemampuan beragama atau naluri beragama (naturaliter religiosa) (Arifin, 2011: 25). Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. alAn’am (6): 102-103:
(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.
Ketiga dimensi di atas, yakni kesadaran pribadi, kesadaran sosial, dan kesadaran akan posisinya sebagai hamba Allah, manusia membangun keselarasannya dengan akhlak al karimah (budi pekerti). E.
Implementasi Pendidikan Akhlak dalam Kitab al-Hikam 1. Implementasi Materi Pendidikan Akhlak a.
Akhlak Bagi Diri Sendiri Segala sesuatu sejatinya berasal dari diri sendiri, termasuk akhlak
manusia
kepada
manusia
yang lainnya.
Jika
seseorang hendak
memperbaiki akhlaknya kepada orang lain atau kepada Allahm hendaknya Ia memulainya dari dirinya sendiri. Begitu juga bagi seorang guru yang hendak mendidik anak didiknya agar memiliki akhlak yang baik, hendaknya selalu diawali dari dirinya sendiri. Sebagaimana ajaran dalam tasawuf, bahwa untuk menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji hendaknya dimulai dengan meninggalkan akhlak yang tercela. Syaikh Ibnu Athaillah menuliskan:
ِ ِ ٍ ِف منَاق ِ اُخرج ِمن اَو ِ ٍ ْ ك َعن ُك ّْل و ك لشتَ ُك ْو َن َ ِض لعُبُ ْود يَّت َ ْ ْ ْ ُْ ُ ص ْ َ صاف بَ َش ِريَّت َ ضَرتِِو قَ ِريْبًا ْ لِنِ َد ِاء ْ اْلَ ّق ُُِمْيبًا َوِم ْن َح
Keluarlah kamu dari sifat kemanusiaanmu yang bertentangan dengan sifat ubudiyah (sifat seorang yang beribadah), agar engkau dapat mendekati Dzat al-Haq itu, dan masuk ke dalam sentuhanNya (Ahmad al-Buny, 2010: 81).
Sifat basyariyah (kemanusiaan) yang menyangkut perintah agama ada dua macam. Pertama, yang menyangkut lahiriyah manusia, yaitu amal. Kedua, yang manyangkut batiniyah dan hati manusia, yaitu perjanjian. Adapun yang berkaitan dengan lahiriyah dibagi menjadi dua, yaitu yang berkaitan dengan perintah dinamakan ketaatan, dan yang berkaitan dengan meninggalkan perintah dinamakan maksiat. Adapun yang menyangkut dengan batin juga dibagi menjadi dua, yakni yang menyangkut hakikat, dinamakan iman dan ilmu, dan yang menyangkut lahirnya dinamakan nifaq dan jahil (Ahmad al-Buny, 2010: 81). Sesungguhnya hati ibarat penguasa dalam tubuh manusia yang akan melawan setiap kejahatan atau kejelekan yang datang meyerang, sedangkan iman dan ilmu ibarat sebuah senjata yang dipergunakan untuk menahan dan memukul mundur kejelekan yang datang. Adapun hati yang saleh selalu mensucikannya dari sifat-sifat yang rusak (madzmumah). Sifat yang dapat menutup ma’rifat kepadaNya, yaitu nifaq, fusuq, ujub, riya’, menggunjing, dengki, cinta dunia, dan takut akan kesengsaraan. Adapun hati hati orang beriman diliputi dengan sifat-sifat Rububiyah dan ubudiyah, suka membersihkan diri dari dosa-dosa kecil dan menghindari dosa-dosa
besar, baik berupa larangan Allah ataupun dosa yang berkaitan dengan manusia (Ahmad al-Buny, 2010: 82). Agar manusia dapat terhindar dari sifat-sifat yang tercela di atas, maka manusia harus melaksanaka proses penyucian jiwa (tazkiyat al-nufus). Proses penyucian jiwa ini dapat dilakukan dengan jalan Riyadhah dan Mujahadah. Tujuan dari riyadhah dan mujahadah di sini adalah untuk mengusir dari sifat sayatin (sifat-sifat syetan) dan sifat kehewanan yang banyak dipengaruhi oleh hawa nafsu. Dalam konsep tasawuf usaha manusia untuk menghilangkan diri dari sifat sifat tercela dinamakan dengan dengan takhalli. Sedangkan dalam konsep pendidikan akhlak menurut Syaikh Ibnu Athaillah, proses penyucian jiwa termasuk dalam tahapan pencapaian yang pertama sebelum Ia menuju ke tahapan-tahapan yang selanjutnya yang disebut dengan maqam (pencapaian) taubat. Setelah maqam pertama (taubat) yang diawali dengan penyucian diri dari sifat tercela tercapai, untuk mencapai tujuan akhir dari sebuah pendekatan kepada Allah (ma’rifat), manusia harus meniti jalan yang selanjutnya yakni, maqam zuhud, maqam sabar, maqam syukur, maqam khauf, maqam raja’, maqam ridha, maqam tawakkal, dan maqam mahabbah. Kesemua maqamat di atas termasuk dari sebuah proses tahalli atau menghiasi diri dengan akhlak al-mahmudah. Dan kesemua maqamat tersebut harus dilalui secara berurutan dan tuntas, barulah Ia dapat mencapai puncak dari sebuah pencapaian, yaitu ma’rifatullah.
b.
Akhlak Kepada Allah Untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia berakhlak kepada
Allah maka ada baiknya ditelusuri terlebih dahulu bagaimana kedudukan manusia di hadapannya dan apa saja konsekuensi dan kewajiban manusia terhadapNya. Allah berfirman dalam Q.S. Thaha (20): 12:
Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa (Q.S. Thaha (20): 12). Pada ayat di atas Allah Swt telah jelas bahwa Allah adalah Tuhan sekalian alam. Karena kedudukanNya itulah, manusia sebagai hamba Tuhan memiliki konsekuensi untuk menghamba hanya kepadaNya dan berakhlak dengan akhlak yang baik sesuai kedudukan manusia sebagai hamba. Oleh karena itu nilai pendidikan akhlak yang perlu ditanamkan kepada peserta didik agar ia menyadari kedudukannya sebagai hambaNya adalah sebagai berikut: 1). Khusnudzan Terhadap Allah Syaikh Ibnu Athaillah berkata:
ِ ِ َّك بِِو لُِو ُج ْوِد ُم َع َملَ ِة َ َّك بِِو ِآل ْج ِل ُح ْس ِن َو ِضف ِو فَ َح ّْس ْن ظَن َ ا ْن ََلْ ُُْت ِس ْن ظَن ِ ِ ك اِالَّ ِمنَنًا َ فَ َه ْل َع َّوَد َك االَّ َح َسنًا َوَى ْل اَ ْس َدى الَْي,ك َ َم َع
Jika seorang hamba tidak berbaik sangka kepada Allah karena kebaikan sifat-sifatNya, hendaklah kalian berbaik sangka kepadaNya kalian nikmat dan rahmat yang telah kelian terima dariNya. Dia (Allah) hanya membiasakan memberikan nikmat kepada kalian, dan hanya menganugerahkan kebaikan kepada kalian (Ahmad Albuny, 2010: 105).
2). Mencintai Allah Syaikh Ibnu Athaillah menuliskan dalam kitabnya sebagai berikut:
ف اْلَ َّق َش ِه َدهُ ِىف َش ْي ٍء َوَم ْن اَ َحبَّوُ ََلْ يُ ْؤثِْر َعلَْي ِو َشْيئُا َ َم ْن َعَر siapa yang mengenal Allah pasti akan menyaksikanNya pada semua ciptaanNya. Siapa yang fana terhadap Allah pasti gaib dari segala sesuatu, dan siapa yang mencintai Allah, tidak mengutamakan apapun selain Allah (Ahmad Albuny, 2010: 385). 3). Memohon Hanya Kepada Allah Syaikh Ibnu Athaillah menuliskan dalam kitab al-Hikam sebagai berikut:
ِ ِ ك ِال ْذ َىا ِر َ ُ َولْيَ ُك ْن طَلَب,ُك َعْنو َ ك تَ َسبُّنًا ا ََل الْ َعطَا ِمْنوُ فَيَق َّل فَ ْه ُم َ ُالَ يَ ُك ْن طَلَب الربُبِيَّ ِة ُّ الْعُبثدشيَّ ِة َوقِيَ ًاما ِِبُ ُق ْو ِق
Jangan sampai permohonanmu kepada Allah hanya sebagai alat untuk mendapatkanNya, karena perbuatan seperti itu berarti engkau tidak memahami kedudukanmu terhadapNya. Bermohonlah dengan melahirkan dirimu sebagai hambaNya karena kewajibanmu terhadap Tuhanmu (Ahmad Albuny, 2010: 391). 4). Jangan Bersekutu Kepada Selain Allah Syaikh Ibnu Athaillah menyatakan:
ِ ك ب ُّ َك َما الَ َُِي َ الع َم َل امل ْشتَ َرَك َك َذال َ ِ.الَي ْقب لُو والْ َق ْلب امل ْش ِْت ُكُ الَي ْقبِل علَيو َْ ُ ُ َ ُ ُ َُ َ َ Sebagaimana Allah tidak menerima amal orang yang syirik, demikian juga الع َم ُل امل ْشتَ َرُك ب امل ْش َِْت َك ب ال َق ْل ُّ الَ َُِي َ َ ُ ُ
dia tidak menyukai hati syiri. Amal yang disekutukan tidak akan diterima oleh Allah Swt. Sedangkan hati yang berbuat syirik tidak diterima menghadapNya (Ahmad al-Buny, 2010: 473). c.
Akhlak Kepada Sesama Manusia
Akhlak kepada sesama manusia sangat tergantung dengan akhlak pribadi manusia itu sendiri, karena apa yang diperlihatkan kepada orang lain (dalam bentuk perangai dan tingkah laku kepada orang lain) berangkat dari dalam hatinya. Hati yang baik akan menghasilkan perilaku yang baik, begitu juga sebaliknya. Setelah manusia berhasil meninggalkan segala sifat madzmumah dari dalam dirinya (tahalli) semisal nifaq, fusuq, ujub, riya’, menggunjing, dengki, cinta dunia, dan kemudian menghiasi dirnya dengan sifat mahmudah (tahalli) maka di situlah manusia telah juga memiliki potensi akhlak al-mahmudah kepada orang lain. 2. Implementasi Metode Pendidikan Akhlak Hakikat keluhuran nilai seseorang tidak terletak pada wujud fisiknya, melainkan terletak pada pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa dekat kepada Allah Swt, yaitu mencapai derajat ma’rifat kepadaNya. Sedangkan untuk memperoleh kesucian jiwa, maka ada tiga tahapan yang harus dilalui oleh seorang mukmin, yaitu: Pertama, dzikir atau ta’alluq yakni mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran di manapun dan kapanpun. Kedua Takhalluq, yakni secara sadar meniru sifat-sifat Allah atau internalisasi sifat-sifat Tuhan kepada dirinya. Ketiga Tahaqquq, yaitu kemampuan untuk mengaktualisasi kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai hambaNya yang mukmin karena telah menghiasi sifat-sifatnya dengan sifat-sifat mahmudah (Muhaimin, 2009: 113). Sebagaimana pendekatan akhlak yang dipakai oleh al-Ghazali, pendekatan akhlak yang digunakan Syaikh Ibnu Athaillah dalam kitab al-
Hikam adalah pendekatan tasawuf. Adapun karakteristik dari pendekatan ini yaitu: pertama, cara pendidikan akhlak yang diterapkan menekankan pada aspek esoteris atau kedalaman spiritual batiniyah dari agama Islam; kedua, pendidikan akhlak di sini lebih menitikberatkan pada qalb (hati) dan dzauq (rasa) dari pada aspek lahiriyah; ketiga, seorang guru yang akan mengajarkan akhlak hendaknya melalui tiga tahapan berikut secara berurutan, yakni takhalli, tahalli, dan tajalli (Muhaimin, 2009: 114). Takhalli merupakan suatu usaha mengosongkan diri dari perhatiannya terhadap dunia serta mengosongkan jiwa dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tahalli, yaitu suatu usaha seorang mukmin menghiasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji dan memperbanyak amal-amal saleh melalui ritsritus tertentu. Yang terakhir yakni, tajalli merupakan menampakkan dirinya sebagai makhluk Tuhan melalui sifat-sifat agungNya (tercapainya nur Ilahi) (Syukur, 2012: 115). Untuk membangun nilai-nilai akhlak mulia sebagaimana konsep dalam ajaran tasawuf, maka perlu didukung melalui proses pendidikan akhlak dalam proses pembelajaran di sekolah dan lingkungannya pendukungnya. Adapun startegi atau metode pembinaan yang dapat dilakukan oleh pelaksana pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut: a.
Metode Keteladanan Metode keteladanan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh
seorang pendidik/ guru, pengawas, kepala sekolah, staf, dan seluruh karyawan yang bekerja di lingkup pendidikan terkait yang dapat dijadikan
model bagi peserta didik (Muhaimin, 2009: 115). Metode ini perlu ditegaskan karena disadari atau tidak para peserta didik memperhatikan setiap tingkah laku sekecil-kecilnya yang dilakukan oleh orang dewasa di sekitarnya untuk kemudian menjadi sumber pendidikan (contoh/model) yang kemudian terinternalisasi ke dalam diri peserta didik. Mengingat begitu pentingnya metode ini sebagai salah satu metode pendidikan aklak, dan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan akhlak, maka guru dan segenap karyawan unit sekolah bertanggung jawab untuk menciptakan suasana lingkungan pendidikan yang kondusif dan mendukung setiap proses pendidikan. Baik yang tertuang dalam agenda pembelajaran maupun dalam pola interaksi non formal. Pada metode ini, sangat jelas bahwa para pendidik termasuk didalamnya kepala sekolah dan segenap elemen yang terlibat di dalamnya merupakan faktor penentu keberhasilan pendidikan akhlak pada siswa. Sekolah berfungsi sebagai penanggung jawab terciptanya lingkungan pendidikan yang kondusif dan mendukung proses pendidikan akhlak. Karenanya untuk bisa mencapai tujuan pendidikan akhlak yang telah ditentukan maka guru dan segenap karyawan yang terlibat langsung di lingkungan pendidikan harus memiliki akhlak yang sesuai dengan tujuan pembelajaran akhlak. Sesuai dengan firman Allah Q.S al-Ahzab (33) ayat 21:
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab (33): 21). Pada ayat di atas menjelaskan bahwa Allah telah mengutus seorang Rasul yang dapat memberikan gambaran atau teladan bagi sekalian umat manusia. Rasulullah merupakan pendidik terbaik dan merupakan contoh ideal akhlak seorang muslim yang sempurna. Maka untuk menentukan nilai-nilai pendidikan akhlak yang hendak dicapai hendaknya guru menjadikan cerminan perilaku Nabi dalam kehidupan pribadi. Dalam ayat di atas juga telah dipahami bahwa agar umat manusia memiliki akhlak yang baik, maka Allah mengutus seorang Nabi sebagai pendidik. Materi yang pendidikan memang telah tertulis di dalam alQur’an, akan tetapi contoh perilaku Nabi merupakan satu instrumen penting dalam proses pendidikan akhlak. Jadi telah jelas dalam penggunaan metode teladan dalam proses pendidikan akhlak bahwa manusia (dalam hal ini guru beserta segenap masyrakat sekolah) merupakn satu instrumen penting tercapainya tujuan pendidikan akhlak. b.
Metode Pemberian Nasihat Pemberian nasihat (mau’idzah hasanah) merupakan suatu cara
memberikan
anjuran
agar
seorang
siswa
melaksanakan
ajakan,
mendekatkan manusia pada kebaikan dengan jalan memudahkan dan tidak menyulitkan (Qasim, 1997: 48). Pemberian nasihat ini bisa diberikan melalui nasihat lisan atau tulisan yang berisi mengajak dan menganjurkan agar siswa berperilaku baik. Dalam pemberian nasihat ini biasanya juga disertai dengan dengan reward (hadiah) atau punishment (hukuman) dengan harapan nasihat tersebut dapat diindahkan untuk kemudian dilaksanakan. Sebagaimana terkandung dalam Q.S. al-Nahl (16) : 125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. Al-Nahl (16) : 125)
Pada ayat di atas, Allah menyuruh manusia (dalam hal ini guru) untuk memberikan nasihat dengan cara yang baik. Cara yang baik dalam memberikan nasihat akan memberikan kesan positif pada si pemberi nasihat, sedangkan cara yang buruk dan kasar cenderung akan menimbulkan sikap penolakan. Jika sudah terjadi penolakan maka pesan nasihat yang disampaikan tidak akan memberikan manfaat positif dan bahkan cenderung berekses negatif.
Karenanya dalam penggunaan metode ini, guru harus bisa lebih peka dan menekankan pada cara yang digunakan dari pada isi nasihat yang akan disampaikan. Ekses negatif tidak hanya bagi hubungan siswa dan guru saja, akan tetapi bagi pribadi guru akan berakibat sama (negatif). Syaikh Ibnu Athaillah berkata:
ِاط اِحسانِاهلل ِ االساءةُ ومن عبَّرِمن بِس ِ من َعبَّر ِمن بِسا ِط اِحسنِ ِو اَصمتَْتو َ ْ ُ َْ َ ْ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َْ ِ اِلَي ِو ََل يسم ْ َُْْ ْ َت اذَا اَ َساء
Siapa yang memberi nasihat dengan memandang dirinya baik, maka dia kan berdiam diri apabila berbuat kesalahan. Dan siapa yang member nasihat, karena memandang (apa yang ia ucapkan) sebagai kebaikan dari Allah untuk dirinya, maka dia tidak berdiam diri apabila berbuat kesalahan (Ahmad al-Buny, 2010: 425).
Dalam memberika nasihat kepada siswa, guru hendaknya juga memperhatikan cara dan kondisi pada saat memberikan nasihat. Hal ini akan sangat berpengaruh pada diterima tidaknya sebuah nasihat. Guru hendaknya mengemas sebuah wejangan nasihat dengan kata-kata yang menyejukkan dan dalam kondisi yang tepat. Karena tidak semua nasihat baik akan menghasilkan kebaikan jika tidak dibarengi dengan cara dan kondisi yang sesuai. Syaikh Ibnu Athaillah berkata:
ِ َاَلْعِبارةُ قُو لِعائِ ِلة الْمست ِمعِْي ولَيس ل ت لَوُ اَكِ ٌل َ َ ْ َ َْ َْ ُ َ ْك االَّ َما اَن َ ْ ََ Tutur kata itu ibarat hidangan bagi pendengar, dan kalian tidak mendapatkan sesuatupun kecuali apa yang kalian makan (Ahmad al-Buny, 2010: 437).
c.
Metode Cerita
Cerita atau kisah yang memuat nilai pendidikan memiliki pengaruh yang kuat dalam jiwa peserta didik, mudah dipahami sehingga cepat terserap ke dalam pikiran peserta didik. Selain itu penggunaan metode ini memiliki daya tarik tersendiri bagi siswa sehingga siswa akan cenderung mendengarkan dan tidak merasa digurui. Dengan demikian sikap penolakan dari siswa dapat dihindari. Metode ini dapat digunakan dengan cara menceritakan peristiwa bersejarah zaman dahulu, cerita para Nabi, orang saleh yang memuat nilainilai pendidikan akhlak (Zuhaili, 2002: 67). Bisa juga dengan cara menggunakan perangkat pendidikan berupa audio visual. Penggunaan metode cerita dalam pendidikan akhlak memiliki daya tarik yang sangat kuat pada perasaan. Sifat alamiyah manusia untuk menyukai sebuah cerita membawa pengaruh besar terhadap perasaan. Dan melalui perasan itulah, sebuah cerita mempengaruhi perilaku secara temporer atau jika dilakukan secara terus menerus akan menempel kuat sehingga membentuk sebuah karakter dalam dirinya. Cerita faktual yang menampilkan suatu contoh kehidupan manusia secara riil akan memberikan makna dan pengaruh lebih kuat yag pada akhirnya mempengaruhi perilaku pembacanya. Begitulah cerita-cerita yang ada dalam al-Qur’an berfungsi mempengaruhi akhlak pembacanya (Nata, 1997: 97). Nabi Muhammad sebagai pendidik melalui al-Qur’an juga lebih banyak menggunakan metode cerita yang diambil dari al-Qur’an. Allah
sebagai Yang menurunkan wahyu juga lebih banyak menceritakan NabiNabi zaman dahulu dan orang-orang saleh sebagai bentuk cara menyebarkan nilai-nilai akhlak. Bahkan beberpa nama surat dalam alQur’an adalah nama-nama Nabi terdahulu dan orang-orang saleh. Yang di dalamnya secara khusus menceritakan keadaan dan sikap para utusanNya itu. Misalkan surat Ibrahim, Surat Yusuf, Surat Muhammad, surat Luqman, surat Ali Imran, dan lain sebagainya. Bahkan dalam sebuah ayat dalam al-Qur’an menegaskan bahwa salah satu sebab diturunkannya alQur’an adalah Allah ingin menceritakan suatu hal untuk kemudian diambil hikmah (i’tibar) untuk diterapkan dalam dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Yusuf (12): 3:
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran Ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum Mengetahui. (Q.S. Yusuf (12): 3). Dalam penggunaan metode cerita hal yang penting untuk diperhatikan selain dari metode itu sendiri adalah isi cerita itu sendiri, apakah cerita tersebut mengandung nilai-nilai akhlak yang baik atau tidak. Karena keberhasilan sebuah tujuan pembelajaran akhlak tidak hanya dipengaruhi oleh metode tetapi materi yang diajarkan. Jika metode yang digunakan sangat tepat sedangkan materi yang diajarkan melenceng dari
tujuan pembelajaran akhlak atau bahkan bermuatan negatif, maka tujuan pembelajaran tidak akan tercapai. Dalam hal ini guru harus pandai memilah dan memilih materi cerita yang
baik
yang
diharapkan
memberikan
manfaat
positif
bagi
perkembangan akhlak peserta didiknya. Dalam ayat di atas juga telah sedikit disinggung bahwa al-Qur’an telah memuat cerita-cerita yang baik yang difungsikan untuk mendidik akhlak manusia. Allah Swt bercerita kisah perjalanan hidup Nabi Yusuf dengan sempurna dalam Q.S Yusuf dalam satu surat secara lengkap. Sepenggal cerita dalam al-Qur’an yang mengandung nilai akhlak adalah sebagai berikut:
4. (ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku." 5. Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia." 6. Dan Demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpimimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana dia Telah menyempurnakan nikmatNya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 7. Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya. 8. (yaitu) ketika mereka berkata: "Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. 9. Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia kesuatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik." 10. Seorang diantara mereka berkata: "Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat." Dalam hal mencari sumber cerita yang baik, guru bisa mengambil dari sumber manapun baik dari al-Qur’an, hadis, atau sejarah hidup para sahabat Nabi dan lain sebagainya. Akan tetapi harus memuat nilai-nilai pendidikan akhlak yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Karena materi (isi) cerita sangat berpengaruh bagi pembentukan perilaku siswa nantinya.
d.
Metode Perintah dan Larangan
Dalam pola pendidikan akhlak pada anak, penggunaan metode perintah dan larangan juga merupakan metode terpenting. Metode ini dibutuhkan karena secara langsung tertuju kepada tujuan yang ingin dicapai guru terhadap peserta didiknya tanpa harus menafsirkan lebih dalam apa pesan yang ingin dicapai. Dan secara serta merta siswa akan dapat langsung memahami apa yang hendak diajarkan oleh guru. Namun perlu diketahui pada penggunaan metode ini juga harus memperhatikan kesesuaian antara siswa dengan isi printah, apakah sekiranya siswa telah mampu melaksanakannya atau tidak. Penggunaan metode ini tanpa memperhatikan intensitas, seorang guru hendaknya jangan terllau sering menggunakan satu metode ini saja karena siswa akan cenderung bersikap acuh dan kurang memperhatikan. Dalam pelaksanaannya guru juga memperhatikan kondisi yang ada, sehingga tidak terkesan bahwa mendidik akhlak anak adalah hanya dengan memerintah dan melarang. Harus ada kobinasi dengan metode yang lainnya. Allah Swt dalam mendidik akhlak manusia melalui al-Qur’an juga menggunakan metode ini. Metode ini digunakan jika tidak ada lagi cara yang mampu mengkondisikan perilaku siswa atau adanya suatu hal yang penting untuk segera dikatahui dan dilaksanakan atau dijauhi oleh peserta didik. Allah Swt berfirman dalam Q.S. Luqman (31): 17:
Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Q.S. Luqman (31): 17). Pada penggalan ayat di atas, shalat, mengerjakan yang baik, dan meninggalkan yang mungkar adalah hal penting untuk segera diketahui dan dilaksakan oleh peserta didik. Tiga hal di atas juga merupakan hal yang mudah dipahami dan tidak membutuhkan penafsiran yang dalam, sehingga langsung bisa dilaksakan oleh siswa. Berbeda dengan mengajarkan sikap jujur, disiplin, tanggung jawab, karena hal ini masih membutuhkan penafisran dan pemahaman yang lebih dalam. Walaupun dalam mengajarkan tiga sikap tersebut (jujur, disiplin, dan tanggung jawab) juga bisa diajarkan dengan metode perintah dan larangan. Dalam kitab al-Hikam, Syaikh Ibnu Athaillah juga menuliskannya sebagai berikut:
ِ ِ ٍ ِف منَاق ِ اُخرج ِمن اَو ِ ٍ ْ ك َعن ُك ّْل و ك لشتَ ُك ْو َن َ ِض لعُبُ ْود يَّت َ ْ ْ ْ ُْ ُ ص َ ْ َ صاف بَ َش ِريَّت ضَرتِِو قَ ِريْبًا ْ لِنِ َد ِاء ْ اْلَ ّق ُُِمْيبًا َوِم ْن َح
Keluarlah kamu dari sifat kemanusiaanmu yang bertentangan dengan sifat ubudiyah (sifat seorang yang beribadah), agar engkau dapat mendekati Dzat al-Haq itu, dan masuk ke dalam sentuhanNya (Ahmad al-Buny, 2010: 81).
ِ ال ت ت ع َّد نِي ال ُ ك اِ َىل َغ ِْريهِ فَا الْ َك ِرْْيُ الَ تَتَ َخطَّاهُ اآلََم َ ّْت ِه َ َّ َ ََ َ Jangan palingkan harapanmu selain dari Allah, karena Dzat yang maha hidup itu tidak mungkin mengenalnya oleh semua anganangan (Ahmad al-Buny, 2010: 97).
3. Implementasi Tujuan Pendidikan Akhlak Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia di dunia dan di akhirat (Arifin, 2011: 28). Tujuan pendidikan akhlak sebagai salah satu bagian dari pendidikan Islam tidak jauh berbeda, yakni terciptanya kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sebagaimana maqamat Ibnu Athailah yang dipandang sebagai pencapaian-pencapaian secara bertahap untuk mencapai tujuan akhir dari sebuah proses pendidikan akhlak yaitu tercapainya ma’rifat, pendidikan akhlak di sekolah hendaknya memiliki batasan sasaran kemampuan yang harus dicapai proses pendidikan pada tingkatan tertentu. Berbagai tujuan pendidikan akhlak yang telah dirumuskan itu bertujuan untuk memudahkan proses jalannya pembelajaran melalui tahapan yang semakin meningkat ke arah tujuan akhir (Arifin, 2011: 27). Jika dilihat dari pendekatan sistem instruksional tertentu, pendidikan Islam (dalam hal ini pendidikan akhlak) bisa diklasifikasikan beberapa tujuan berikut: a. Tujuan Instruksional Khusus Yaitu tujuan terkecil dari sebuah tujuan pendidikan akhlak di tiap-tiap bidang studi yang terintegrasi dengan pendidikan akhlak. b. Tujuan Instruksional Umum Berupa tujuan lanjutan dari tujuan instruksional khusus yang dijabarkan secara garis besar dari tujuan khusus yang telah ditetapkan,
misalkan tertanamnya sikap akhlak al-karimah pada setiap pserta didik. c. Tujuan Kurikuler Yaitu tujuan umum yang hendak tercapai di tiap-tiap institusi pendidikan, biasanya tertuang dalam visi-misi sekolah terkait. d. Tujuan Institusional Merupakan tujuan yang hendaknya dicapai menurut program pendidikan di tiap jenjang pendidikan. e. Tujuan akhir Taitu tujuan tertinggi dan terakhir yang yang telah ditetapkan untuk dicapai melalui sebuah proses pendidikan berdasarkan sistem formal, informal, maupun sistem nonformal (Arifin, 2011: 27). F.
Peranan Orangtua dalam Mengajarkan Nilai Pendidikan Akhlak Orangtua merupakan guru yang pertama dan utama bagi anakanaknya semenjak ia dilahirkan sampai ia dewasa dan menikah. Sebagai guru utama dan paling pertama berinteraksi dengan anak-anaknya, orang tualah yang paling banyak memberikan warna dan pengaruh kepada mereka. Baik dalam kepribadian terkecil sampai pada perangai dan tingkah laku (akhlak) anak sampai ia dewasa. Kedudukan orang begitu penting karena dari orang tualah anak mengenal bahasa, apakah akan mendapatkan bahasa yang sopan dan baik atau sebaliknya. Dari orangtua juga sejak kecil anak belajar bertutur kata,
sopan santun, dan budi pekerti lain seperi, sikap empati, tenggang rasa, bersikap jujur, terbukan, dan lain sebaganya. Objek pembelajaran akhlak anak dari orangtua bukan hanya berupa sikap keseharian yang nampak oleh indera saja, akan tetapi juga berupa sifat dan karakter orang tua mereka yang tidak terlihat semisal marah, dendam, takabut, dan lain sebagainya. Bahkan dalam sebuah ungkapan parenting mengatakan bahwa anak merupakan perwujudan jujur dari sifat dan sikap orangtua, termasuk akhlak, kepribadian, dan budi pekerti. Mengingat pengaruh yang sangat besar dan intensitas orang tua bersama anak sangat tinggi, maka peranan orangtua dalam mengajarkan, menanamkan, dan menjaga akhlak anak sangat dibutuhkan. Orangtua harus menjadi pendukung utama proses pendidikan akhlak anak. Terlebih mereka para orangtua adalah orang yang pertama kali meletakkan sendisendi atau karakter dasar perilaku anak. Tanpa ada dukungan penuh dari orangtua dan lingkungan di sekitarnya (terutama lingkungan terkecil/ keluarga), tujuan pendidikan akhlak sulit tercapai. Termasuk dari materi pendidikan akhlak dan metode yang digunakan. Sebagaimana empat metode pendidikan akhlak yang telah diuraikann di atas yaitu, metode keteladanan, metode pemberian nasihat, metode cerita, dan metode perintah dan larangan,sangat tergantung dengan intensitas kebersamaan antara anak dan pendidik (guru atau orangtua). Semakin tinggi intensitas kebersamaan anak dan pendidik, semakin besar kemungkinan tercapainya tujuan pendidikan akhlak. Karenanya, antara
guru dan orangtua haruslah memiliki tujuan dan komitmen yang sama dalam hal memberikan pendidikan akhlak bagi anak. Jika guru memiliki tujuan pembelajaran akhlak tentang kejujuran, kemudian guru memberikan teladan dilanjutkan teladan dan nasihat tentang kejujuran dari orangtua, maka tujuan penanaman sikap jujur akan sangat mudah tercapai. Selanjutnya metode nasihat, perintah dan larangan digunakan untuk tetap menjaga sikap jujur yang telah diajarkan disekolah.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan pengkajian yang telah penulis lakukan,
maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Syekh Ibnu Athaillah memiliki nama lengkap al-Arif billah Abi Fadhil Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah alAsakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Terlahir di kota Iskandariyah Mesir pada tahun 648 Hijriyah. Beliau adalah seorang ulama’ fiqh, muhaddis, dan ulama’ sufi yang berlatar teologi Asy’ariyah dan tarekat Syadzaliyah. 2. Ma’rifatullah yang menjadi tujuan utama akhlak manusia yang berlatar belakang nilai-nilai sufistik sangat mungkin untuk terbentuknya perilaku akhlak manusia dalam menghadapi kehidupan modern yang hanya bertumpu pada pengembangan rasional-intelektual manusia. Proses menuju ma’rifatullah diawali dengan penyucian jiwa (tazkiyat alnufus) melalui pertobatan kemudian dilanjutkan menuju proses selanjutnya berupa usaha menghiasi akhlak manusia dengan akhlak mahmudah yaitu, maqam zuhud, maqam sabar, maqam syukur, maqam khauf, maqam raja’, maqam ridha, maqam tawakkal, dan maqam mahabbah (cinta). 3. Metode pendidikan akhlak yang telah dikemukakan dapat dilakukan dengan beberapa metode berikut, yaitu: metode teladan, metode pemberian nasihat, metode cerita, metode perintah dan larangan 4. Dari beberapa metode pendidikan akhlak yang telah dikemukakan, guru atau pengajar memiliki fungsi sentral bagi tercapainya tujuan pendidikan akhlak, karena pendidikan akhlak bukan merupakan pendidikan yang menekankan pada konsep rasional-intelegensi, tetapi lebih kepada pembentukan perilaku siswa. Konsep pendidikan akhlak dalam kitab al-
Hikam yang didominasi mahmudah yang bersumber dari sifat-sifat Allah yang baik (al-Asma’ al-husna) memiliki implikasi positif bagi tercapainya tujuan
nilai-nilai
pendidikan
akhlak
di
sekolah.
Yaitu
dengan
dipaparkannya nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab al-Hikam dan dijelaskan secara rinci dan hierarkis ini dapat memberikan sebuah konsep utuh bagaimana seharusnya pendidikan akhlak di sekolah berjalan. B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis uraikan di atas, maka untuk menindak lanjuti (follow up) dapat penulis kemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Proses pendidikan akhlak merupakan satuan paket yang terintegrasi antar semua komponen pendukung keberhasilan tujuan, baik dari guru, orangtua, maupun lingkungan di mana anak tinggal. Karenanya, semuanya harus dalam suasana yang kondusif dan memiliki visi-misi dan komitmen yang sama dalam mewujudkan anak didik yang berakhlak al- karimah. 2. Orangtua sebagai penanggung jawab utama sekaligus yang diberikan amanah oleh Allah Swt, hendaknya meningkatkan kesadaran akan peranan dan posisinya yang sangat vital dalam mendukung keberhasilan proses pendidikan yang sedang berjalan. 3. Guru dan pemangku kebijakan sekolah merupakan faktor sentral yang menjadi penentu terlaksananya proses pendidikan akhlak di sekolah, dan menjadi sumber teladan utama siswa di lingkungan sekolah. 4. Kajian mengenai pendidikan akhlak sangatlah luas dan kompleks, bagi peneliti selanjutnya hendaknya mengkaji lebih dalam sehingga ditemukan formula yang ampuh dan sesuai dengan kondisi dan dinamika problematika sosial yang ada.
Daftar Pustaka Agung, Gusti Ngurah. 1990. Metode Penelitian Sosial: Pengertian Dan Pemaknaan Praktis Jakarta: gramedia Al-Ghazali, Imam. t.t., Ihya’ Ulum al-Din, III, Indonesia: Daru Haya’ al-Kitab alArabiyah Almutaqi, Muhammad IlzamSyah. 2013. Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab al-Alimwa al-Mutta’alim(skripsi). Salatiga: STAIN Salatiga Al-Nawawi. t.t. Riyadz al-shalihin. Indonesia: Daru Haya’ al-Kitab al-Arabiyah Al-Syarqowi, Syaikh Abdullah. 1996. Tarjamah Syarh Hikam. Tuban: Maktabah alBalagh
Arifin, M. 2011. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara Asmaran. 2002. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Bayrakli, Bayraktar. Prof. Dr. 2004. Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Jakarta: Inisiasi Press Brata, Sumadi Surya Drs, ed. S, MA. 1995. Metodologi Penelitian, Jakarta: Raya Grafindo persada Hafidz dan Kastolani. 2009. Pendidikan Islam: Antara Tradisi dan Modernitas, Salatiga: STAIN Salatiga Press Ibnu Ibad, Syekh Ahmad bin Muhammad. 2010. Terjemah al-Hikam Asy- Syeikh Ibnu Athaillah as-Sakandari. Surabaya: Mutiara Ilmu Ilyas, Yunahar. 2007. Kuliyah Akhlak. Jogjakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam Ma’ruf, Amari, Kholisoh, Latifah. 2010. Buku Ajar Ilmu Kalam Untuk Madrasah Aliyah Program Keagamaan kelas XI. Semarang: Kantor Kementrian Agama Propinsi Jawa Tengah Moloeng, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya
Muhaimin, Prof, Dr. 2009. Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakrta: PT Raja Grafindo Persada
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, dan Analisis Perbandingan. Jakarta: UI-Press Nata, Abudin (Ed). 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa
. 1997. Filsafat Pendidikan Islam 1. Ciputat: Logos Wacana Ilmu Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 Purwanto. 2011. Evaluasi Hasil Belajar. Jakarta: Pustaka Pelajar Rohmaniyah, Istighfarotur. 2010. Pendidikan Etika: Konsep Jiwa Dan Perspektif Ibnu Miskawaih Dalam Kontribusinya Di Bidang Pendidikan. Malang: UIN-Maliki press Shihab, Quraish. 2000. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati
Sriyanti, Lilik, Suwardi, Muna Erawati. 2012. Teori-Teori Belajar (diktat kuliyah). Salatiga: Tidak Diterbitkan Sujarwo, Sumargono. 1980. Filsafat Pengetahuan. Jogjakarta: Nur Cahaya Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya Umiarso dan Haris Fathoni Makmur. 2010Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern. Jogjakarta: IRCiSoD Usman, Basyruddin. M. 2002. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: Ciputat Pers w.j.s Poerwadarminta. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustakan http://kbbi.web.id http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UU2003.pdf
http://tasawuf.blog.com//syekh-ibnu-athaillah/18 maret 2014/07.22. http://harumsuburmewangi.blogspot.com/2012/12/pandangan-ibnu-athaillah-tentangmaqam.html diakses 6 Agustus 2014
http://ridwanpsi.net23.net/ diakses 9 agustus 2014
www.wikipedia.com
Daftar Riwayat Hidup Data Pribadi Nama
: Mucharor
Tempat, Tanggal Lahir
: Semarang, 10 Oktober 1988
Jenis kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Kewarganegaraan
: Indonesia
Alamat
: Bergaslor RT: 02/01 Bergas, Kabupaten Semarang
HP
: 085 642 676 330
Latar Pendidikan MI Ar-Rosyad
: 2001
MTs Al Uswah Bergas Kab. Semarang
: 2004
MA Fathul Huda, Demak
: 2007
STAIN Salatiga
: 2010 – Sekarang
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat supaya dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Salatiga, 29 Agustus 2014
Mucharror NIM. 111 10 193