Pendayagunaan Sagu Baruk Sebagai Tanaman Konservasi Produksi Pangan dan Pakan Ternak¹ Abner Lay² ²Peneliti Utama pada Balai Penelitian Tanaman Palma Manado.
RINGKASAN Sagu baruk dapat berperan sebagai tanaman perkebunan, tanaman pangan dan tanaman kehutanan, tumbuh baik pada berbagai habitat, topografi lahan miring/curam dan musim kemarau panjang. Penanganan sagu baruk di areal kehutanan yang dilakukan secara terencana dan intensif akan memberi manfaat bagi konservasi untuk pengendalian tata air tanah, penyediaan pangan, pakan ternak, pupuk organik dan kayu, yang akan berdampak pada perluasan lapangan kerja, pelestarian lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama yang bermukim sekitar hutan. Kata Kunci: Sagu baruk, konservasi tanah dan air, tepung sagu, pakan, pupuk organik.
I. PENDAHULUAN Kelimpahan sumber daya kehutanan Indonesia mengalami kemerosatan yang sangat cepat dan sangat luas, sehingga saat ini, sulit untuk mengharapkan potensi ekonomi kehutanan sebagai penyumbang devisa, ekspor serta lapangan pekerjaan. Penebangan hutan secara liar dan ilegal, eksploitasi sumber daya kehutanan berlebihan, penyeludupan hasil dan produksi kehutanan yang tidak terkendali menjadi penyebab utama rusaknya sumber daya, ekosistem, termasuk kerusakan lingkungan. Sementara itu, masih membutuhkan sumbangan hasil produk hutan sebagai salah satu komoditas ekspor unggulan, penciptaan lapangan kerja serta sumber pendapatan bagi penduduk di sekitar hutan. Pada masa mendatang, pengelolaan pembangunan sektor kehutanan sudah tidak dapat lagi dipisahkan dengan pembangunan sektor lingkungan hidup. Pengelolaan sumber daya kehutanan harus diarahkan agar tetap dapat ditingkatkan produksinya secara berkesinambungan dan selaras dengan daya dukung alam yang lestari, yang dapat memberi kemakmuran dan kesempatan seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengusahakan hutan secara lestari, sebagai sumber pangan dan membantu mengatasi perubahan iklim global. ---------------------------------------------------¹Disampaikan pada Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado, 23-24 Oktober 2012. ²Peneliti Utama pada Balai Penelitian Tanaman Palma Manado.
93
Peningkatan produksi kehutanan diharapkan dapat dicapai dengan pengelolaan hutan alami secara lestari, yang dibarengi dengan optimalisasi pengembangan hutan tanaman industri serta pengembangan lahan hutan potensial untuk kombinasi budidaya komoditas pangan. Aren dapat ditanam di lahan yang kurang subur atau bahkan lahan kritis, karena tanaman ini relatif tidak membutuhkan air yang banyak, justru sebaliknya aren mampu menyimpan, mempertahankan kondisi air tanah tepat tumbuhnya. Dengan sifat ini, aren dapat berfungsi sebagai tanaman konservasi tanah dan air serta dapat menjadi tanaman reboisasi. Aren dapat ditanam dan dikembangkan pada lahan-lahan yang justru tanaman pangan lainnya sulit tumbuh dengan baik. Lahan-lahan potensial untuk pengembangan aren banyak terdapat di Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang secara relatif bukan lumbung pangan nasional (Probowo, et al, 2009). Sagu baruk (Arenga microcarpa Beccari) yang semarga dengan aren (Arenga pinnata ) dapat dimanfaatkan sebagaI tanaman konservasi. Selain itu, sagu baruk dapat menghasilkan pangan karbohidrat berupa tepung, yang dalam pengembangannya tidak bersaing dengan tanaman semusim sebagai penghasil pangan. Sagu baruk tumbuh membentuk rumpun dengan perakaran memiliki prorositas cukup tinggi yang dapat mencengkeram lapisan tanah, sehingga penghanyutan lapisan tanah aliran air permukaan dapat diperkecil. Sagu baruk merupakan tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan tanaman hutan. Di Kabupaten Sangihe, sagu baruk merupakan tanaman penghasil pangan karbohidrat berupa tepung sagu. Selain itu, hijauan tanaman berupa daun dan anakan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, kayu digunakan sebagai bahan bangunan dan sisa empulur sagu dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Di Kepulauan Sangihe, sagu baruk diusahakan dalantuk pola tanam campuran, pohon siap panen 105,5 pohon/Ha/tahun. Tanaman campuran dengan sagu baruk adalah tanaman cengkih, kelapa, pala, pisang dan tanaman perkebunan lainnya, yang menempati areal dengan proporsi sekitar 33-50 %. Usaha pengolahan tepung sagu baruk dilakukan secara perorangan oleh keluarga pemilik dan penyawa lahan sagu, dengan pemilikan lahan petani berkisar 1,0-2,0 Ha, 48,5 %, yang terdiri dari 44 % pemilik, pemilik sekaligus pengolah 48,5 % dan pengolah/penyewa 7,5 %. Jumlah yang ditebang rata-rata 20 pohon/ bulan, dengan produksi. Produksi sagu yang yang dijual rata-rata 450 kg/bulan. Konsumsi sagu dan beras pada daerah studi menunjukkan bahwa petani mengkonsumsi beras sebesar 61 % beras dan 39 % sagu (Lay, et al, 1998). Dilaporkan Miftahoracman (2009) bahwa sagu baruk sebagai tanaman penghasil karbohidrat dapat menghasilkan tepung sebanyak 20-30 kg/batang. Apabila kebutuhan sagu/kapita/tahun setara dengan beras yaitu 60 kg/kapita/ tahun, maka kebutuhan konsumsi sagu bagi penduduk Pulau Sangihe 66,8 % dari konsumsi beras, sehingga sagu baruk memberi peran yang sangat besar bagi ketahanan pangan bagi daerah Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara, dan berpeluang pengembangannya bagi daerah lain.
94
II.
KARAKTERISTIK TANAMAN SAGU BARUK
Habitat Dilaporkan Mogea (1991) bahwa sagu baruk banyak dijumpai di Kepulauan Sangihe, Maluku, Irian dan Papua New Guinea. Sagu baruk tumbuh baik pada ketinggian 0-700 m dpl, dengan kemiringan lereng 40-60 %, curah hujan 2.500-4.000 mm. Di Pulau Sangihe Sulawesi utara, sagu baruk umumnya tumbuh pada ketinggian 0-400 m dpl, tumbuh baik pada lahan kering dan pada daerah dengan topografi lereng yang terjal, tumbuh dalam bentuk rumpun (Maliangkay dan Matana, 2005). Keadaan tegakan dan rumpun sagu baruk umur 6 tahun dan tanaman dewasa umur 10 tahun yang siap panen tertera pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Sagu baruk umur 6 tahun Gambar 2. Sagu baruk dewasa siap panen Sagu baruk tumbuh baik pada lahan kering bahkan pada lereng-lereng dimana tanaman perkebunan lain sulit tumbuh. Di Kecamatan Manganitu Kabupaten Sangihe sagu baruk menyebar mulai dari tepi pantai sampai ke pegunungan yang curam pada ketinggian 500 m dpl dengan kemiringan lereng diatas 40°. Sampai dengan tahun 2004, masalah erosi pada wilayah ini kecil sekali karena kondisi populasi sagu baruk tetap dipertahankan secara alami (Miftahorachman, 2009). Perkembangan anakan dan pohon Pengamatan terhadap populasi sagu baruk di Kecamatan Tabukan Utara Kabupaten Kapulauan Sangihe Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa dari 9 plot dengan luas rata-rata areal 400 m² diperoleh sebaran keadaan tanaman sagu baruk sebagai berikut: (a) Jumlah rumpun : 11,16 rumpun (290 rumpun/Ha) (b) Jumlah anakan : 112,05 anakan (c) Jumlah anakan yang berbatang : 48,72 anakan (d) Jumlah pohon siap panen : 4,22 pohon (e) Jumlah pohon lewat panen : 0,05 pohon
95
Umur pohon sagu baruk layak panen berkisar 7-10 tahun, yang ditandai dengan tinggi pohon yang beragam dari 7-12 m. Umur sagu baruk yang dikategorikan lewat panen adalah telah terbentuknya bunga, menandakan sebagian kandungan pati telah disintesis menjadi energi untuk pembentukan bunga dan biji. Penanganan panen sagu baruk di Kepulauan Sangihe dikategorikan efisien, ditandai dengan tanaman yang lewat panen sangat kecil yakni 0,1 %. Umumnya masyarakat melakukan panen sagu baruk berdasarkan tinggi pohon. Pengamatan terhadap tinggi tanaman pada populasi sagu baruk dari 9 plot dengan luas rata-rata 400 m² sebagai berikut: (a) Tinggi 1- 2 m : 16,5 pohon (b) Tinggi 3- 4 m : 20,1 pohon (c) Tinggi 5- 6 m : 12,7 pohon (d) Tinggi 7- 8 m : 3,2 pohon (e) Tinggi 9-10 m : 0,9 pohon (f) Tinggi 11-12 m : 0,1 pohon Umumnya penebangan untuk pengambilan tepung dari empulur batang dilakukan petani sebelum sagu baruk berbunga, yakni pada ketinggian pohon lebih dari 7 m. Kondisi ini, menyebabkan sulit memperoleh biji matang untuk perbanyakan tanaman. Penebangan yang dilakukan setelah sagu baruk berbunga kurang efektif karena tepung yang dikandung pada empulur telah dikonversi menjadi energi. Pengamatan di Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa karakteristik tinggi pohon, diameter batang dan komponen hasil sagu baruk yang meliputi berat batang, berat empulur, berat sagu dan rendemen sagu cenderung seragam pada variasi ketinggian tempat tumbuh dari 200600 m dpl (Tabel 1) Tabel 1. Karakteristik pohon dan komponen hasil sagu baruk pada variasi ketinggian tempat tumbuh di Pulau Sangihe Sulawesi Utara No. 1.
Uraian Tinggi pohon (m)
200 m dpl 11,0
400 m dpl 9,7
600 dpl 11,0
Rata-rata 10,6
2. 3.
Diameter batang ( cm) Berat batang (kg)
14,3 199,0
15,7 196,7
15,0 205,0
15,0 200,2
4.
Berat empulur (kg)
132,7
121,7
122,7
125,7
5.
Berat sagu basah (kg)
44,3
42,0
44,0
43,4
6.
Rendemen sagu (%)
33,4
34,5
35,9
34,6
Sumber: Marianus (2011) III. KEUNGGULAN SAGU BARUK Tanaman konservasi Dalam pelaksanaan konservasi, perlu dipertimbangkan kondisi kesuburan tanah dan jenis tanaman yang adaptif terhadap tempat tumbuh. Kondisi tanah yang menjadi prioritas adalah lahan 96
dengan kesuburan rendah antara lain tanah kritis, tanah marginal seperti tanah Posolik Merah Kuning, Organosol dan Entisol. Jenis tanaman yang dapat tumbuh tanah marjinal adalah pohonpohon yang mampu tumbuh pada kondisi pada tanah marginal/kritis yang berpotensi untuk perbaikan sumber daya tanah, pertumbuhan yang baik pada musim kekeringan, tajuk ringan, dan tahan kebakaran (Purwanto dan Singoringo, 1999). Pemanfaatan tanaman kayu, pada rehabilitas lahan dalam rangka konservasi seperti Akasia (Acasia mearensii), pada umur tanaman 10-15 tahun, sangat menarik minal petani untuk melakukan penebangan untuk dimanfaatkan kayunya, yang menyebabkan hutan terbuka. Selain itu, pohon Acasia mudah terbakar pada musim kemarau. Tanaman konservasi tidak membutuhkan pemeliharaan yang intensif dan perbanyakan alami oleh tanaman itu sendiri, seperti pada sagu baruk perbasnyakan melalui tunas dalam bentuk rumpun. Untuk optimal produksi tepung sagu aren, penanganannya adalah penjarangan anakan, agar setiap rumpun tumbuh 4-5 tegakan sagu baruk, dan pembersihan sekitar rumpun untuk memudahkan pengambilan hasil. Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem yang dinamis dengan sub-ekologis dan subsistem pengelolaan. Sub sistem ekologis berkaiatan dengan sumber daya alam (lahan, hutan, estetika alam, fauna), sedangkan sub-sistem pengelolaan berkaitan dengan masyarakat dan pemanfaatan sumber daya alam. Tujuan pengelolaan daerah aliran sungai adalah mencapai keseimbangan dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam berupa vegetasi, tanah dan air. Sasaran adalah meningkatkan produksi, mutu dan keteraturan pengendalian air, mengurangi bahaya erosi, banjir, kekeringan, dan meningkatkan kulitas lingkungan, sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan (Pratiwi, 1999). Pada pelaksanaan konservasi, perlu dipertimbangkan kondisi kesuburan tanah dan jenis tanaman yang adaptif terhadap tempat tumbuh. Kondisi tanah yang menjadi prioritas adalah lahan dengan kesuburan rendah antara lain tanah kritis, ,tanah marginal seperti tanah Podsolik merah kuning, Organosol dan Entisol. Sedangkan jenis yang adapting dengan tanah marjinal adalah pohonpohon yang mampu tumbuh pada kondisi pada tanah marginal/kritis yang berpotensi untuk perbaikan sumber daya tanah, pertumbuhan yang baik pada musim kekeringan, tajuk ringan, dan tahan kebakaran (Purwanto dan Singoringo, 1999). Bertambahnya luas kawasan hutan kritis di Indonesia, berpeluang terjadinya erosi dan bencana alam, terutama di daerah aliran sungai. Sagu baruk dapat dijadikan tanaman konservasi. Pola pemungutan hasil relatif sedikit dengan penebangan yang selektif yakni yang layak tebang, sehingga penebangannya kurang mempengaruhi terbukanya lahan konservasi. Berdasarkan karakteristik tanaman dan kesesuai tumbuh pada tanah marginal/kritis, sagu baruk dapat digunakan sebagai tanaman konservasi. Pendayagunaan tanaman ini sebagai tanaman konservasi tidak membutuhkan pemeliharaan intensif dan perbanyakan oleh tanaman itu sendiri dalam bentuk berkembangnya tunas berupa rumpun sagu baruk. Untuk optimal produksi dilakukan penjarangan anakan, agar setiap rumpun tumbuh 5-6 batang pohon, dan pembersihan sekitar rumpun untuk memudahkan pengambilan hasil.
97
Sagu baruk adalah tipe tanaman keras yang tumbuh membentuk rumpun dengan perakaran memiliki prorositas cukup tinggi yang dapat mencengkeram lapisan tanah, sehingga penghanyutan lapisan tanah permukaan dapat ditekan dan aliran permukaan dapat diperkecil. Sagu baruk memmiliki keistimewaan yakni dapat tumbuh dengan baik pada lahan terjal dengan kemiringan mencapai 70°. Sagu baruk mempunyai kemampuan untuk menahan air hujan, antara blain dapat dilihat di lapang bahwa mata air yang muncul berada sekitar pohon sagu baruk, dan dapat menwahan air dalam waktu yang cukup lama yang ditandai dengan pada musim kemarau panjang, serta rendahnya erosi sekitar lahan yang ditumbuhi sagu baruk. Tanaman ini resisten terhadap perubahan iklim, yang ditandai pada musim kemarau panjang, di mana tanaman lain sulit tumbuh, namun sagu baruk tetap tumbuh normal dan berproduksi Dengan kondisi ini, sagu baruk mampu menutup tanah dengan cukup cepat, sehingga mampu mengurangi dampak dari bahaya erosi (Marianus, 2011). Sagu baruk memiliki keistimewaan, yaitu dapat tumbuh dengan baik pada lahan kering bahkan pada lereng-lereng dimana tanaman perkebunan lain sulit tumbuh dan berkembang. Di Kecamatan Manganitu Kabupaten Sangihe sagu baruk menyebar mulai dari tepi pantai sampai ke wilayah pegunungan yang curam pada ketinggian 500 m dpl dengan kemiringan lereng diatas 40 %. Sampai dengan tahun 2004 masalah erosi kecil sekali karena kondisi populasi sagu baruk tetap dipertahankan secara alami (Miftahorachman, 2009). Pada pemulihan lahan kritis bekas pertambangan batubara pada Perusahaan PT Kaltim Prima Coal di Sanggata Kalimantan Timur luas 1 Ha, yang dilaksanakan pada tahun 2010-2011, ternyata pertumbuhan anakan sagu baruk selama satu tahun dengan penampakan pertumbuhan vegetatif yang baik (Mashud, 2012). Pada daerah bekas letusan gunung api seperti di sekitar Gunung Merapi Yogyakarta, yang sekarang gundul dan hanya sebagian ditumbuhi rerumputan dan semak-semak, mudah lonsor dan banjir (hanyutan lahar dingin) pada musim penghujan. Areal lereng Gunung Merapi yang merupakan tanah vulkanis, sangat efektif dibudidayakan sagu baruk, baik untuk tanaman reboisasi maupun sebagai sumber bahan pangan masyarakat. Tanah di Gunung Merapi sebagai tanah vulkanis yang subur di banding dengan tanah di Pulau Sangihe Besar. Budidaya sagu baruk memungkinkan dikembangkan pada daerah yang sering mengalami masa paceklik pangan seperti di Pulau Rote, Pulau Sabu Kabupaten Rotendau NTT dan wilayah rawan banjir dan kekeringan antara lain DAS Bengawan Solo, Kabupaten Gunung Kidul dan Gunung Merapi Yogyakarta, wilayah perbukitan yang kritis di Jawa Barat, Banten, Maluku, Papua, Sulawesi, Sumatera dll. Produksi pangan Proses pengolahan tepung sagu dari sagu baruk di Pulau Sangihe, dimulai dari pemarutan sampai ekstraksi sagu basah, dengan 2 orang tenaga kerja yang berkerja selama 8 jam kerja, dengan pemarut mekanis daya 3,5 Hp dapat mengolah sebanyak 720 kg empulur/ hari, menghasilkan sagu basah 216-237 kg sagu basah (Widardo dan Tumbel, 1998). Dalam upaya meningkatakan efisiensi pengolahan sagu baruk untuk menghasilkan tepung sagu basah, dapat menggunakan alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu (Gambar 3), yang
98
digunakan pada sagu rumbia (Metroxylon sp) kapasitas olah 190 kg empulur/jam atau 1.520 kg/hari (Lay, 2002) yang setara dengan 12 pohon sagu baruk/hari. Alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu, terdiri dari tiga komponen utama, yakni unit pemarut, unit ekstrasi dan unit pengendap yang dirancang terpadu dalam satu sistem proses, yang menggunakan motor penggerak dengan daya 10 Hp. Pada penggunaan alat ini, tidak dilakukan pengupasan kulit batang, hanya batang sagu baruk dipotong sepanjang 1 m dan dibelah menjadi empat bagian untuk memudahkan pemarutan empulur sagu. Proses pemarutan empulur sagu, ekstraksi hancuran empulur dan pengendapan berlangsung simultan. Pada penggunaan alat ini, perlu diperhatikan kontinuitas aliran air ekstraksi dari sumbernya, dengan debit air berkisar 4-5 L/kg hancuran empulur. Penggunaan alat pemarut mekanis untuk proses ekstraksi membutuhkan air lebih sekit (4-5 L/kg. Empulur), sedangkan ekstraksi manual membutuhkan air ekstraksi sebanyak 20-22 L/ kg. hancuran empulur. Pengolahan tepung sagu secara mekanis kurang praktis dilakukan secara perorangan, karena kapasitasnya cukup tinggi, sehingga membutuhkan cukup banyak bahan baku. Untuk efektifnya proses pengolahan, sebaiknya pengunaan alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu dalam bentuk usaha kelompok tani/gabungan kelompok tani atau UKM.
Gambar 3. Alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu
Pengolahan tepung sagu baruk dengan menggunakan alat pengolahan sistem terpadu (Lay, 1998), dengan cara pengolahan sebagai berikut: (a) Penebangan tegakan sagu dan pemotongan gelondongan batang sagu dengan ukuran panjang 80-100 cm (disesuaikan dengan penggunaan kulit batang sebagai bahan bangunan), tanpa dilakukan npengupasan kulit batang. (b) Batang sagu dibelah menjadi empat bagian, agar memudahkan dalam proses pemarutan. Pemarutan menggunakan sistem pemegangan, yang dilakukan pemaruant empulur sagu baruk pada arah sejajar dengan gerigi pemarut, proses pemarutan selesai, jika empulur seluruhnya telah terparut, ditandai ketebalan kulit batang berkisar 1,00-1,25 cm. (c) Bersamaan dengan proses pemarutan, air ektraksi dialirkan ke unit pengolahan, agar air ekstraksi dapat membantu menahan hancuran empulur dan mengalirkan ke unit ekstraksi, air
99
yang diperlukan sekitar 4-5 L/kg empulur sagu, jika kapasitas pengolahan sebesar 190 kg empulur/jam diperlukan air sebanyak 760-950 L/jam atau debit air 12,7-15,8 L/menit, air ekstraksi mengalir secara kontinu selama proses pengolahan berlangsung. (d) Pada proses ekstraksi, suspensi sagu (cairan yang mengandung sagu) akan terpisah dengan serat, ampas kasar dan ampas halus secara mekanis di dalam ekstraktor dan saringan getar, selanjutnya suspensi sagu mengalir ke unit pengendap dan sagu akan mengendap pada unit pengendap. (e) Proses pencucian sagu, dilakukan setelah selesai satu periode proses atau satu hari pengolahan. Pati sagu yang telah mengendap dipermukaanya terdapat sisa air proses, air proses dialirkan keluar, kemudian dimasukan air proses ke dalam bak pengendap dan dilakukan pengadukan pati sagu basah dengan air proses secara manual untuk mengeluarkan asam-asam dan zat warna dari pati sagu. (f) Pati sagu diendapkan selama 30 menit, apabila endapan pati sagu sagu telah menjadi padat, air sisa proses yang ditambahkan sebelumnya dikeluarkan dengan hati-hati agar pati sagu tidak terikut pada pengaliran air sisa proses. (g) Pada pengeluaran sisa air proses, yang tertinggal adalah pati sagu basah. Pati sagu basah dikeluarkan dari bak pengendap, dan dimasukan ke dalam wadah penampung, yang dapat dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan atau diolah menjadi tepung sagu. Tepung sagu baruk yang dihasilkan berwarna putih agak kelabu, jika akan diolah menjadi sowan dan produk industri lainnya, perlu dilakukan pemutihan. Pemutihan adalah menghilangkan warna-warna yang ada pada bahan karena pigmen-pigmen alam ata zat lain, sehingga diperoleh bahan yang lebih putih. Untuk proses pemutihan dapat mengunakan Kalium Bromat 30 ppm dan Asam Askorbat 100 ppm. Peningkatan derajat putih dengan menggunakan Kalium bromat dan Asam Askorbat, ditinjau dari segi biaya produksi adalah ekonomis. Mutu tepung sagu baruk yang menggunakan pemutih kalium Bromat, Asam Askorbat dan tanpa pemutihan, memenuhi syarat mutu sesuai Standar Nasional Indonesia (Tabel 2). Tabel 2. Analisis mutu tepung sagu baruk No.
Parameter
Kalium Bromat 30 ppm 12,24
Asam Askorbat 100 ppm 13,02
Tanpa Pemutih 12,54
1.
Kadar air (%)
2. 3.
Kadar abu (%) Serat kasar (%)
0,26 0,18
0,31 0,19
0,32 0,18
4.
Derajat asam (ml NaOH 1 n/100 g
2,02
2,58
2,96
5.
Kadar pati (%)
88,00
84,00
82,00
6.
Derajat putih
88,50
89,50
77,50
7.
Jamur
Negatif
Negatif
Negatif
8.
Kehalusan (80 mesh)
Lolos ayakan
Lolos ayakan
Lolos ayakan
9.
Logam berbahaya
Negatif
Negatif
Negatif
Sumber: Widardo dan Tumbel (1998)
100
Produksi pakan ternak Daun anakan pohon sagu baruk sangat disukai sapi sebagai hijauan pakan ternak. Pada pengolahan tepung sagu baruk, diperoleh hasil sampng berupa ampas pati sagu. Ampas pati sagu sagu baruk sama dengan dengan ampas pati aren, dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang dicampur konsentrat. Ampas pati aren (APA) mengandung 85,8 % bahan kering, protein kasar 2,63 %, serat kasar 15,9 % dan lemak 0,5 %. Ampas dalam bentuk ampas halus dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi dengan komposisi 80 % konsentrat dan 20 % APA. Pengujian pada Sapi Onggole di Bogor, menunjukkan bahwa pemberian pakan yang terdiri dari 80 % konsentrat dan 20 % APA pada sapi dengan bobot 190,9 kg selama 10 minggu, memberikan pertambahan bobot hidup harian rata-rata 0,675 kg/ekor/hari dengan efisiensi pakan 14,08 %, dibanding pemberian 100 % konsentrat adalah tidak berbeda nyata terhadap pertambahan bobot hidup harian dan efisiensi pakan. Pemberian pakan dengan proporsi 70 % konsentrat dan 30 % APA tidak efisien, ditandai pertambahan bobot hidup harian rata-rata 0,490 kg/ekor/hari dan efisiensi pakan 10,3 %, (Umiyasih, et al, 2008). Produksi pupuk organik Daun sagu baruk yang komposisi kimia diduga menyerupai daun kelapa, dapat dimanfaatakan sebagai pupuk organik. Kotoran hewan seperti sapi yang umum telah digunakan sebagai bahan baku pupuk organik karena nutrisi yang dikandungnya. Kotoran sapi padat mengandung 0,4 % Nitrogen; 0,2 % Fosfor; 0,1 % Kalium dan air 85 % (Yuliarti, 2009). Sapi dewasa memproduksi kotoran rata-rata 6 kg/hari dalam bentuk agak cair dengan kadar air 85 %, jika dikeringkan menjadi 30 %, produksi kotoran = 6 kg x (100-85 +30) % = 2,7 kg kg kotoran kering/hari. Apabila dalam satu Ha dipelihara 4 ekor, maka produksi kotoran sapi kering (kadar air 30 %) sebanyak 4 x 2,7 kg x 365 = 3.942 kg/Ha/tahun. Formulasi pupuk organik limbah sagu baruk adalah 50 % daun sagu kering + ampas sagu baruk dan 50 % kotoran hewan (kotoran ayam, sapi dll), larutan EM4 1,6 L; gula pasir 1 kg dan air 400 L untuk satu ton bahan organik. Selama ini, daun sagu baruk hasil penebangan pohon sagu, dikumpul dan dibakar, dengan telah ditemukan alat pengolahan pupuk organik limbah kelapa yang terdiri dari unit pencacah (Gambar 4), penghancur bahan organik (Gambar 5), ayakan bahan organik sistem sentrifugal (Gambar 6) dan bak fermentasi (Gambar 7).
Gambar 4. Alat pencacah daun
Gambar 5. Alat penghancur bahan organik
101
Gambar 6. Alat ayakan bahan organik sistem sentrifugal
Gambar 7. Bak fermentasi pupuk organik suhu terkontrol
Pengolahan pupuk organik dilakukan dengan cara mencampurkan bahan organik (hancuran daun sagu baruk dan hancuran kotoran ternak) dan bahan tambahan (EM4, gula dan air) dicampur sampai merata dan dimasukan ke dalam bak fermentasi, kemudian ditutup plastik untuk difermentasi. Proses fermentasi pupuk organik limbah sagu baruk membutuhkan waktu 9 hari. Penggunaan alat pengolahan pupuk organik limbah sagu baruk, mensyaratkan penggunakan bahan olah dalam bentuk kering. Proses pencampuran adonan pupuk dilakukan secara manual karena belum tersedia alat pencampur mekanis. Pengolahan pupuk organik limbah sagu baruk dapat menggunakan metode pengolahan pupuk organik limbah kelapa, yakni: (1) Penyiapan bahan olah: Pencacahan daun dan tangkai daun sagu baruk kering, penghancuran hasil pencacahan, pengeringan dan pengayakan kotoran ternak, pengeringan kotoran sapi yang tidak lolos ayakan sentrifugal, ayakan ampas sagu dengan saringan sentrifugal. (2) Penyiapan larutan fermentasi: Ditimbang gula putih dilarutkan dalam air, ditambahkan ke dalam larutan gula, diaduk hingga merata.
larutan EM4
(3) Pencampuran bahan baku: Serbuk daun/pelepah daun, serbuk ampas sagu dan serbuk kotoran sapi, dengan komposisi 3:2:5. Bahan baku dicampur sampai merata, baik dilakukan secara manual maupun mekanis. (4) Proses fermentasi: Larutan gula + EM4 di tuangkan ke dalam campuran bahan baku pupuk organik secara merata dan ditambahkan air 50-60 %, diaduk sampai merata, dimasukkan ke dalam wadah fermentasi. Pengamatan suhu fermentasi dengan memasang thermo-koppel pada bak fermentasi, untuk mengukur suhu fermentasi dan suhu udara luar (suhu kontrol). (5) Proses fermentasi pupuk organik limbah kelapa berlangsung selama 9 hari, suhu fermentasi berkisar 30-45 ºC, sedangkan suhu ruang 29-31 ºC, setelah fermentasi dihasilkan pupuk organik limbah kelapa. Proses fermentasi pupuk organik ini tidak memerlukan pembalikan bahan olah selama proses fermentasi.
102
(6) Penggunaan pupuk organik dari limbah sagu baruk dapat menggunakan cara penggunaan pupuk organik limbah kelapa, yakni 2-3 ton/Ha atau setara 10 kali takaran pupuk anorganik NPK (Lay, 2012). Produksi kayu Pada pengolahan tepung sagu baruk, khusus pada proses pemisahan empulur dari batang sagu baruk akan diperoleh kayu sagu baruk yang merupakan bagian kulit batang, kekerasannya menyerupai kulit batang aren. Kayu sagu baruk dapat digunakan sebagai kayu bakar dan bahan perkakas rumah. Produksi kayu dari satu batang pohon diperkirakan sebanyak 0,1 m³. Tegakan sagu baruk yang dapat ditebang 105 pohon/Ha/tahun, akan dihasilkan sebanyak 10,5 m³/Ha/tahun, suatu jumlah sangat berarti sebagai kayu bakar dan bahan bangunan. IV. BUDIDAYA SAGU BARUK Perbanyakan dan penanaman Sagu baruk dalam perkembangbiakannya lebih banyak melalui anakan dan membentuk rumpun. Pada kondisi tidak terpelihara, anakan akan berkembang dengan cepat, dan yang tumbuh menjadi tanaman dewasa dan memiliki struktur batang hanya sedikit. Pertumbuhan anakan rata-rata 3-6 anakan/rumpun/bulan atau ketambahan anakan sebanyak 750 anakan/ha/bulan (Barri, et al, 2001). Perbanyakan tanaman sagu baruk dapat dilakukan melalui biji dan tunas/anakan. Perbanyakan melalui biji agak sulit dilaksanakan karena penebangan tegakan sagu baruk umumnya dilakukan sebelum terbentuk buah atau sebelum buah matang, sehingga pilihan terbaik perbanyakannya dengan tunas. Tunas sagu baruk terdiri dari dua jenis yakni tunas batang dan tunas akar, kedua jenis tunas ini dapat ditanam langsung dilapang yang lahannya sudah diolah, namun untuk mendapatkan hasil yang baik tunas atau anakan disemai terlebih dahulu, dan dipindahkan ke lapang setelah tunas membentuk akar. Anakan sagu baruk dengan jumlah daun 4-5 helai adalah ukuran yang layak untuk bibit. Tunas batang dan tunas akar yang disemai selama 6 bulan tumbuh menjadi bibit masingmasing tunas batang 90 % dan tunas akar 75 %. Tunas batang tumbuh lebih baik dari tunas akar, dikarenakan pada tunas batang berada pada fase pertumbuhan optimal karena mendapat suplai makanan dari akumulasi pati dari batang. Tunas batang dan tunas akar dipisahkan dari pohon induk dengan hati-hati dan disemai selama 4 bulan, setelah berdaun 4-5 helai bibit sudah dapat dipindahkan di kebun, yang sebelumnya terlebih dahulu dibuat lubang penanaman dengan ukuran 40x40x40 cm, jarak tanam 9x9 m. Penanaman dilakukan pada musim penghujan, untuk mengurangi bibit yang mati. Apabila bibit sudah tumbuh normal, pekerjaan selanjutnya adalah pembersihan sekitar pertanaman dengan radius 1 m, yang dilakukan setiap tiga bulan (Maliangkay, 2010). Pemeliharaan tanaman Pada saat tanaman berumur 4 tahun, perlu dilakukan penjarangan anakan (tunas batang dan tunas akar). Untuk optimal pertumbuhannya, penjarangan anakan dilakukan secara kontinu tiap tiga bulan bersamaan dengan pembersihan kebun terutama areal sekitar pertanaman sagu baruk, dan
103
dibiarkan tumbuh sagu baruk sebanyak 5-6 tegakan. Pada penjarangan anakan, hijauan anakan sagu baruk dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi. Penjarangan dilakukan sampai tegakan sagu baruk siap tebang. Pada saat tanaman muda umur 1-4 tahun dapat diusahakan tanaman semusim diantara sagu baruk seperti jagung dan kacang-kacangan, sehingga areal kebun dapat dimanfaatakan dengan baik, dapat pula ditanamai tanaman penghijauan seperti lamtoro dan lamtoro gung untuk menghasilkan hijauan pakan ternak. Setelah umur 5 tahun atau lebih penanaman tanaman semusim diantara sagu baruk dan tanaman penghijauan tidak efektif, karena mahkota daun sagu baruk dan tanaman penghijauan sudah melebar dan menutup areal. Pola tanam sagu baruk sebaiknya dilakukan secara polikultur atau tanaman campuran sagu baruk dengan tanaman perkebunan dan sagu baruk dengan tanaman kehutanan. Sagu baruk ditanam diantara kelapa dan tanaman kayu dengan jarak menyesuaikan jarak tanam kelapa yakni 9x9 m dan 10x10 m, jarak tanam dengan tanaman kehutanan 9x9 m, agar tanaman perkebunan, kehutanan dan sagu baruk memperoleh sinar matahari yang cukup. Pada pengusahaan sagu baruk dan tanaman penghijauan sebaiknya dilakukan pemeliharaan ternak sapi karena tersedia cukup banyak hijauan pakan ternak, yang berasal dari penjarangan anakan dan pemangkasan daun dewasa. Dipeliharannya sapi pada areal sagu baruk akan diperoleh kotoran sapi. Kotoran sapi, ampas sagu dan daun kering dapat diolah menjadi pupuk organik. Panen Sagu baruk dengan tinggi pohon (diukur dari pangkal batang sampai dengan pangkal daun terakhir) minimal 7 m sudah dapat dipanen atau ditebang. Umumnya panen sagu baruk atau penebangan dilakukan pada tinggi pohon berkisar 8-12 m. Perencanaan penebangan tidak mutlak tergantung pada saat panen yang tepat, melainkan dapat digunakan indikasi tinggi pohon, sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan eksploitasi, terutama pada pengolahan tepung sagu baruk skala menengah (Lay, et al, 1998). V. PENUTUP Sagu baruk mempunyai kemampuan tumbuh pada berbagai lahan kritis, daerah berlereng yang cukup curam, dan mampu tumbuh normal pada musim kemarau panjang, walaupun tanpa budidaya yang intensif dapat tumbuh dan berproduksi. Penanganan sagu baruk di areal kehutanan yang dilakukan secara terencana dan intensif akan memberi manfaat bagi konservasi untuk pengendalian tata air tanah, penyediaan pangan, pakan ternak, pupuk organik dan kayu, yang akan berdampak pada perluasan lapangan kerja, pelestarian lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama yang bermukim sekitar hutan.
104
DAFTAR PUSTAKA Barri, N. L., D. Allorerung., A. Ilat., dan J. Mawikere. 2001. Survey keragaan tanaman dan ekosistem habitat sagu baruk di Kabupaten Sangihe Talaud. Laporan Penelitian Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. Lay, A., D. Allorerung., Amrizal dan N.L. Barri. 1998. Pengolahan sagu berkelanjutan. Prosiding Seminar Regional Kelapa dan Palma. Manado, 25-26 Februari 1998, hal 217-230. Lay, A. 2002. Alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu. Paten. No. ID 0 0000 367 S. Lay, A. 2012. Perancangan teknik proses produksi pupuk organik dari limbah kelapa kapasitas 2 ton/hari untuk peningkatan nilai tambah. Laporan Akhir Penelitian Koordinatif TA. 2011. Balai Besar Mekanisasai Pertanian, Serpong. Maliangkay, R.B. dan Y. R. Matana, 2005. Budidaya dan pemanfaatan sagu baruk. Buletin Palma; 29:.73-79. Maliangkay, R.B. 2010. Pengaruh asal anakan terhadap pertumbuhan bibit sagu baruk. Buletin Palma; (38):95-99. Mashud, N. 2012. Pengembangan komoditas sagu di sekitar wilayah operasional PT Kaltim Prima Coal di Sangatta Kalimantan Timur. Laporan Penelitian Balai Penelitian Tanaman Palma Manado, Tahun 2012. Marianus. 2011. Tanaman sagu baruk (Arenga microcarpa) sebagai sumber pangan lokal di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Laporan Penelitian Pascasarjana Fakultas Pertanian Brawijaya, Malang. Miftahorachman. 2009. Potensi sagu baruk (Arenga microcarpa) sebagai sumber pangan. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor; 15 (3):14-16. Mogea, J.P. 1991. Revisi Marga Arenga (palmae). Disertasi Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta. Prabowo, S., H. Djojohadikusumo, R. Pambudy, E. S. Thohari, Frans BMD., R. Purnama dan W. Purnama. 2009. Membangun kembali Indonesia Raya; Haluan baru menuju kemakmuran. Institut Garuda Nusantara (Pusat Studi Strategis Indonesia). Jakarta, hal. 70-72; 170-171. Pratiwi. 1999. Pengelolaan daerah aliran sungai untuk menunjang konservasi tanah, air dan keragaman hayati. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor; 56-63. Purwanto, I. dan H.H. Siringoringo, 1999. Upaya pelestarian potensi kesuburan tanah hutan. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor; 56-63 Umiyasih, U., D. Pamungkas., A. Rasyid., Y.N. Anggraeny., D. M. Dikman dan I.W. Mathius. 2008. Pengaruh level penggunaan ampas pati aren (Arenga pinnata Merr) dalam ransum terhadap pertumbuhan sapi peranakan ongole. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 11-12 November 2008, hal. 186-191.
105
Widardo, S.H. dan N. Tumbel. 1998. Prospek pengembangan pengolahan sagu baruk. Prosiding Seminar Regional Hasil Penelitian Kelapa dan Palma. Manado, 25-26 Pebruari 1998, hal. 206116. Yuliarti, N. 2009. 1001 Cara menghasilkan pupuk organik. Lyli Publisher. Yogyakarta, hal. 9.
106