Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306
264
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306
265
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306
266
Konstruksi Komunitas Kewarganegaraan dalam Buku Teks Pendidikan IPS Sekolah Dasar Mohammad Imam Farisi Jurusan Pendidikan IPS, FKIP Universitas Terbuka UPBJJ-UT Surabaya, Kampus C Unair Surabaya 60115
[email protected] Abstrak Bahasa Indonesia Komunitas-kewarganegaraan adalah paradigma baru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai pendidikan demokrasi. Sebuah paradigma yang mencitakan individu mengerti makna kehadirannya sebagai bagian dari komunitas dan memberikan makna kultural terhadap cita-cita kewarganegaraan sesuai dengan status legalnya sebagai warga negara. Studi ini mengkaji individu, komunitas, dan negara sebagai unsur-unsur komunitas-kewarganegaraan sebagaimana dikonstruksi di dalam bukubuku teks IPS-SD kelas I-VI secara kualitatif-interpretatif menggunakan analisis konten Holsti dan fenomenologi-hermeneutik Ricoeur. Hasil analisis menunjukkan bahwa status dan peran individu, komunitas, dan negara secara pedagogis dikonstruksi berdasarkan ideologi “tertib sosial” dan “tipe ideal”. Penggunaan simbol, semboyan, pesan, tujuan, dan cita-cita bersama, serta penghadiran sejarah sebagai justifikasiideologis, melahirkan sebuah konstruksi komunitas-kewarganegaraan sebagai “imagined community”. Masalah-masalah demokrasi seperti konflik, isu-isu kontemporer, kontroversial, dan problem krusial di “wilayah tabu” sebagai realitas sosial sama sekali tidak diungkap karena dianggap dapat mengganggu tertib sosial dan tipe ideal yang dicitrakan. Buku-buku teks IPS akhirnya hanya menjadi bagian dari proses penciptaan “budaya bisu, non-partisipatif” dengan kontrol ketat dari negara, dan belum menjadi wahana pedagogis bagi proses transformasi masyarakat demokratis. Kata Kunci: konstruksi pedagogis, komunitas-kewarganegaraan, buku teks, ilmu pengetahuan sosial Abstrak Bahasa Inggris Community-civics is a new paradigm of Social Studies as a democratic education. It aspires to individuals to understand the meaning of his presence as a part of the community and to give a cultural meaning to the citizenship ideals in accordance with their legal status as a citizen. This study examines qualitatively of individuals, communities, and nations as elements of community-civics as constructed in the social studies textbooks of grade I-VI. The analysis showed that the status and role of the individual, community, and state are pedagogically constructed based on the ideology of social order and ideal type. The use of the symbols, slogans, messages, goals, common ideals, and history as ideological justification, it has created a construction of community-civics as an imagined community. The problems of democracy such as conflicts, contemporary controversial issues, and crucial problems in closed areas as part of the social reality was not explored, because it can disrupt the social order and the ideal type being imaged. So, the social studies textbooks just to be part of the process of creating a culture of silence or non-participatory under a strict control of the state, and were not a pedagogical vehicle for the transformation process of democratic society. Keywords: pedagogical construction, community-civics; text books, social science education
267
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306
teks juga sering mereka kesankan lebih
Pendahuluan laboratorium
banyak memuat konten yang bersifat
demokrasi, tempat individu mendapatkan
“memorizing and regurgitating” untuk
haknya mendapatkan
latihan menjadi
keperluan menyelesaikan tes (Haydey, et
warga negara yang baik” (Field &
al., 2010: 14; Zhang & Kenny, 2010; Hunt
Nearing, 2007). IPS-SD adalah salah satu
& Metcalf, 1955); dan lebih banyak
wahana sistemik pendidikan demokrasi,
memaparkan materi umum yang berlaku
dan bertujuan untuk mendidik warga
pada
negara Indonesia yang demokratis, dan
(Kemendiknas, 2007).
“Sekolah
adalah
semua
sekolah
atau
daerah
bertanggung jawab, serta warga dunia
Namun, secara teoretik, buku teks
yang cinta damai (Winataputra, 2001),
juga memiliki kedudukan dan peran
melalui kajian terintegrasi fakta, konsep,
penting dan strategis sebagai referensi
dan generalisasi yang berkaitan dengan
bagi siswa untuk memperoleh pemikiran
realitas, fenomena, dan/atau isu-isu sosial
dan pengertian awal tentang konsep-
dari berbagai perspektif ilmu-ilmu sosial,
konsep
yang
(Haydey, Zakaluk, & Straw, 2010:13).
dikemas
secara
psikologis,
baru
yang
Bahkan,
2006). Buku teks merupakan salah satu
determinan penting tentang apa yang
wahana sistemik dan pedagogis untuk itu,
siswa
selain sebagai salah satu bahan dan
konsep, keterampilan dan sikap (Kolovou,
sumber belajar merupakan acuan wajib
Heuvel-Panhuizen, &
bagi pendidik dan peserta didik dalam
Apalagi
pembelajaran (Permendiknas nomor 2,
diintegrasikan ke dalam proses-proses
2008).
belajar ketika
teks
pikirkan
dan
jika
yang
juga
dipelajari
pedagogis, dan sosial budaya (Puskur,
Buku teks sering dinisbatkan pada
buku
akan
dipandang
pelajari
Bakker,
konten
2009).
buku
konstruktivistik,
peserta
tentang
didik
teks
seperti
melakukan
pembelajaran yang tidak konstruktivistik
eksperimen, pemecahan masalah, dan
atau tradisional (Thirteen Ed Online,
lain-lain (Karaduman dan Gültekin, 2007;
2004). Cakupan isinya pun dirasakan
Schreurs, 2009; Hsu & Wang, 2012). Di
siswa sangat padat, ekstensif, menyita
Indonesia penggunaan buku teks juga
waktu belajar, kurang konektivitas antar-
bersifat universal, dan secara empirik
topik atau ada distansi antar-konten
memiliki kedudukan dan peran “sentral”
(Blaik-Hourani, 2011), dan tidak selalu
daripada kurikulum dan standar isi, karena
dapat dan ingin belajar konten dari buku
sudah
teks (Pressley et al., 2004:423). Isi buku
kurikulum (Depdiknas, 2007; Lorsbach &
menjabarkan
standar
isi
dan
268
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 Tobin, 1992; Nichol & Dean, 2003; Jia,
cara-cara persuasif dan pedagogis, yang
2010).
tidak jarang menampilkan citra yang bisa sangat
menyesatkan, stereotipe, dan ahistoris
disayangkan bahwa selama ini analisis
tentang proses transformasi keilmuan
dan evaluasi buku teks, termasuk buku
yang sesungguhnya (Kuhn, 2001; Hunt &
teks IPS-SD di Indonesia hanya fokus
Metcalf, 1955).
Melihat
pada
signifikansinya,
kuantifikasi
kualitas
dan
Dalam kaitan ini, analisis buku teks
kelayakannya dari “standar isi” (Farisi,
meniscayakan
2012;
Sementara,
analisis kualitatif, yang dipandang lebih
historisitas buku teks sekolah—terutama
mampu memberikan kemampuan analisis
buku-buku teks IPS—tak dapat dipisahkan
yang lebih dalam, luas, dengan deskripsi
dari dinamika perjuangan, kepentingan,
hasil yang juga lebih kaya dan beragam
dan tujuan-tujuan keilmuan, ideologi,
dibandingkan analisis kuantitatif (Pingel,
politik, sosial, budaya, dan/atau ekonomi
2010; Nicholls, 2003). Walaupun, pada
oleh rejim politik dan/atau kelompok-
akhirnya
kelompok kepentingan tertentu, akademisi
bergantung
dan/atau non-akademisi (Mulder, 1997;
epistemologis
Crawford,
(Nicholls, 2005).
Muljono,
2007).
2003a-b;
Wenzeler,
2003;
Nicholls, 2005; Repoussi & Tutiaux-
Studi
perlunya
pilihan
model-model
metodologis
sangat
pada
tujuan,
pijakan
dan
ontologis
peneliti
ini
menganalisis
secara
Guillon, 2010; Ruminiati, 2010; Khine,
kualitatif konstruksi pedagogis buku teks
2013).
ini,
IPS-SD tentang unsur-unsur komunitas-
bagaimanapun akan melahirkan buku-
kewarganegaraan (individu, komunitas,
buku teks yang tidak hanya memuat
dan negara), serta relasi ketiganya dalam
standar-standar isi, atau tujuan-tujuan
konteks hak, kewajiban dan peran-peran
kurikuler yang diharapkan, melainkan
masing-masing bagi pencapaian tujuan
juga
bersama masyarakat demokratis. Dalam
Pergulatan
kepentingan
tujuan-tujuan
tersembunyi’
berupa
‘kurikuler
nilai-nilai,
yang
IPS, hal ini dikenal dengan konsep
akhirnya akan mempengaruhi harapan,
“komunitas-kewarganegaraan”
sikap, opini, bahkan menjadi ideologi
community-civics).
siswa bila kelak ia dewasa (Setyowati &
baru dalam IPS yang lebih fokus pada
Jatiningsih, 2007). Realitas buku teks
upaya mendidik siswa sebagai warga
seperti itu memang tak dapat dihindari,
masyarakat-bangsa-negara lebih berparti-
karena buku teks memang menyajikan
sipasi-aktif melalui peran-peran sosialnya
sebuah konstruksi tentang realitas dengan
dalam berbagai realitas, isu dan/atau
Sebuah
paradigma
269
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 masalah
di
kehidupan
adalah: (1) analisis struktural sistem
memberikan
pemikiran subjek; (2) interpretasi atas
dalam
komunitasnya,
dengan
beragam
refleksi peneliti-penafsir; (3) interpretasi
kehidupan
eksistensial. Kerangka pemikiran atau
komunitas dari yang terdekat (keluarga)
paradigma yang digunakan sebagai “alat
hingga terjauh (dunia) (Dunn, 2004; 2007;
analisis” atas gagasan yang terungkap di
Rueben, 1997). Kajian difokuskan pada
dalam buku teks (controlling ideas)
konstruksi pedagogis: (1) individu, dan
adalah
perannya
kewarganegaraan”
pengalaman dalam
langsung
berbagai
yang
konteks
sebagai
warga
masyarakat-
“teori dari
(2004;
2007)
kehidupan
konstruksi pedagogis konten buku-buku
sekarang
dan
difokuskan
Dunn
negara dalam berpartisipasi aktif terhadap komunitas,
yang
komunitas-
teks
bagi individu peserta didik sebagai warga
masyarakat, dan negara, serta relasi
masyarakat-negara;
ketiganya dalam konteks hak, kewajiban
negara-
individu,
pemerintah, serta peran dan tanggung
dan
jawabnya di dalam menjaga, melindungi,
pencapaian tujuan bersama komunitas-
atau melestarikan individu dan komunitas
kewarganegaraan.
(Dunn, 2007; 2004; Saxe, 1991; Rueben,
peran-peran
mencakup
aspek
mendatang; (2) komunitas, dan maknanya
(3)
IPS-SD,
pada
masing-masing
bagi
Sumber data adalah enam buku teks elektronik IPS-SD kelas I-VI SD/MI yang
1997). metode
diunduh dari http://bse.kemdikbud.go.id/.
kualitatif atau ”interpretif” (Gall, Gall, &
Keenam buku yang dianalisis adalah
Borg, 2003) dengan dua pendekatan,
karya-karya
yaitu: analisis isi (content analysis), dan
Rusmawan (kelas 1—3); Suranti dan Eko
fenomenologi-hermeneutik (hermeneutics
Setiawan S (k.4-6). Keenam buku teks
Analisis
menggunakan
Muh.
Nursa’ban
dan
(1991).
PIPS-SD tersebut telah dinilai oleh Badan
Prosedur analisis isi adalah: (1) unitisasi
Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan
data; (2) identifikasi dan analisis gagasan
ditetapkan sebagai buku teks pelajaran
tekstual; (3) kodifikasi, klasifikasi, dan
yang memenuhi syarat kelayakan untuk
kategorisasi
berdasarkan
unit-unit
digunakan dalam proses pembelajaran
analisis;
konstruksi
logika-logika
melalui Peraturan Menteri Pendidikan
internal dan makna-makna esensial; (5)
Nasional Nomor 22 tahun 2007, Nomor
deskripsi kualitatif pesan-pesan tekstual.
34 dan 69 tahun 2008.
phenomenology)
(4)
Sedangkan
Ricoeur
prosedur
analisis
fenomenologi-hermeneutik
Ricoeur
270
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 Individu : Hidup rukun dan harmonis
seni dan budaya yang dimiliki, prestasi
“di dalam” dan “bersama” komunitas
yang
diraih,
dan
lingkungan
indah
individu
ciptaan-Nya” adalah karakteristik penting
merupakan unsur pertama komunitas-
individu beragama (1:70-3:5-4:25-5:71).
kewarganegaraan yang diharapkan dapat
Individu-ekonomi
memberikan nilai-nilai edukatif kepada
produktif dan konsumtif, penghasil dan
peserta didik sebagai ‘clientele’ tentang
pengguna barang dan jasa atau layanan
satus,
untuk
Konstruksi
dan
tentang
makna peran
partisipasinya
di
serta atau
dalam
kehidupan
memenuhi
komunitas disiplin,
komunitas dan negara (Dun, 2004).
adalah
dan
kebutuhan negara.
dan
makhluk
jujur
pribadi,
Kerja
keras,
adalah
ciri-ciri
Buku teks mengkonstruksi individu
semangat kerja yang tinggi yang harus
dalam empat status, makhluk pribadi,
dimiliki individu-ekonomi, karena pada
sosio-kultural, ekonomi, dan beragama.
dasarnya “semua pekerjaan itu baik”
Individu-pribadi dinyatakan ‘unik, dengan
(3:43-44).
kekhasan
identitas-identitas
Individu
adalah
sosio-kultural
primordialnya, seperti nama lengkap dan
pemilik
panggilan, kekerabatan, ciri-ciri fisik,
mencirikan statusnya di dalam kehidupan
umur,
koleksi,
komunitas
atau
komunitas
pengalaman,
dokumen,
hobi,
kesenangan,
adat,
identitas
kekerabatan
keluarga-kerabat, pertemanan
dan
yang
atau sekolah.
kebiasaan (k-1)*). Keunikan individu-
Individu tak bisa hidup sendirian terpisah
pribadi ini dipandang sebagai prinsip
dari
utama untuk menumbuhkan sikap saling
bekerja sama dengan orang lain, dan
menghormati
menghargai
adanya
perbedaan
bagi
komunitasnya,
melainkan
keberbedaan
sosial
harus
dan
keharmonisan,
budaya individu lain. Individu adalah
dan kerukunan antar-individu di dalam
makhluk yang dianugerahi rasa-cipta seni
komunitas.
dan
terciptanya
keteraturan,
Individu-beragama
adalah
budaya”
(5:71),
tetapi
dalam
rasa-ciptanya
tidak
sosok yang mengakui bahwa segala
mengekspresikan
identitas, kemampuan, aktivitas, dan/atau
boleh menurut egonya, melainkan harus
prestasi yang dimiliki dan diraih bukanlah
tunduk pada etika, norma aturan sosial
karena dirinya, melainkan karena-Nya.
yang diakui dan dijunjung tinggi oleh
“Bersyukur atas kemampuan rasa-cipta
komunitas. Kasih sayang, kerja sama, gotong royong, dan suka rela adalah ciri khas
utama
individu
sosial-budaya,
271
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 Indonesia. Setiap individu juga berhak
peran
atas tujuan masing-masing, tetapi apapun
pertengkaran, konflik, atau pengingkaran
tujuannya, harus larut dan tunduk pada
atas perintah atau aturan sosial pun harus
tujuan bersama, hidup damai, teratur,
dihindari, termasuk membantah perintah
rukun dan harmonis, “rukun itu indah”
ayah atau ibu (1:56). Perbedaan dan
(1:59). Tujuan bersama juga menetapkan
keberagaman
peran
individu
dipertentangkan, atau menjadi sumber
terhadap komunitas dan negara. Damai,
pertengkaran, melainkan wahana untuk
teratur, rukun dan harmonis bukan sesuatu
menciptakan
yang “given”, melainkan berkembang
menghormati perbedaan”. Individu harus
secara
melalui
saling membantu, menghargai, berbagi
proses pembiasaan dan pembudayaan
suka, dan patuh, saling mengasihi dalam
sejak individu hidup di dalam komunitas
segala perbedaan dan keberagaman suku,
keluarga (k-1) dan dikukuhkan oleh
adat, bahasa, atau kebiasaan (1:44-61).
ideologi negara “Bhinneka Tunggal Ika
Kalaupun relasi antar-individu sering kali
Tan Hana Dharma Mangrwa” (k-4).
‘tidak sama-sederajat’, tujuan bersama
dan
tanggung
jawab
sosio-kultural-historis
individu
yang
berujung
individu
bukan
“hidup
rukun,
pada
untuk
saling
Konstruksi pedagogis individu dan
komunitas harus tetap dicapai dengan
tanggung jawab sosialnya menciptakan
membangun relasi-relasi sosial dalam
hidup damai, teratur, rukun dan harmonis
keserasian,
di atas merupakan bentuk penundukan
keseimbangan
ego-pribadi atau distorsi personalitas atas
Pertentangan atau konflik—apapun bentuk
nama “tertib sosial” (Hechter & Horne,
dan
2003;
“wilayah tabu”. Bagi individu yang
Mulder,
2000;
Frank,
1944).
keselarasan, hak
dan
dan kewajiban.
tingkatannya—distigmasi
Egoisme individu dipandang potensial
mencoba
merugikan diri sendiri, orang lain dan
melanggar tertib-sosial akan mendapat
komunitasnya (1:20-21, 26-28). Pada
sanksi adat atau sosial, “dicemooh”
tingkat
(3:42),
negara-bangsa,
berlebihan
bahkan
‘chauvinisme’. dipandang
bisa
Sebuah sangat
egoisme
yang
melahirkan
bersikap
sebagai
“dikucilkan
masyarakat”
kritis
dari
(4:95).
dengan
pergaulan Pengecualian
yang
dibolehkan dan ditoleransi, jika komunitas
membahayakan,
berkonsensus untuk melakukan perubahan
sikap
menimbulkan persaingan, pertentangan,
yang
bahkan penjajahan, dan karenanya harus
perubahan itu sebagai sebuah keniscayaan
dijauhi, dihindari (4:133). Egoisme atas
sosial yang tidak bisa dihindari (4:95-96).
nama perbedaan identitas, status, dan
diyakini
“lebih
baik”,
atau
272
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 Tanggung jawab individu adalah menjaga,
mengembangkan,
mewujudkan
tujuan
hidup
dan bersama,
tak bisa diubah/digantikan oleh ayah. Namun, secara sosio-biologis individu, komunitas,
dan
negara
bisa
melalui peran-peran sosialnya di dalam
bersepakat/tidak bahwa “ayah mencari
kehidupan komunitas. Setiap peran harus
nafkah,
“fungsional”—sesuai
secara
anaknya, “ibu mengurus keluarga, anak
nyata—bukan “simbolis”, yang secara
berperan belajar dan menghormati orang
evolutif meluas dari komunitas terkecil
tua” (2:44, 47-48). Dalam kondisi tertentu
(keluarga)
terluas
atau dalam konteks pelaksanaan “peran
(masyarakat global) (k.1—k.6). Buku teks
bersama”, peran warisan tersebut bisa
mengkonstruksi
individu
digantikan/diubah berdasarkan ‘kesetaraan
dalam kemunitas-kewarnegaraan, yaitu:
jender’. “ibu bisa bekerja membantu ayah
warga negara, pekerja, konsumen, anggota
atau sebaliknya, dan perempuan juga ada
keluarga, teman, pribadi, dan anggota
yang menjadi presiden, PM, kanselir” (k-
kelompok sosial (cf. Superka & Hawke,
2).
hingga
fungsinya
komunitas
tujuh
peran
menyekolahkan,
mendidik
1982a,b). Ketujuh peran sosial individu
Konstruksi peran individu berbasis
tersebut harus dilaksanakan dengan baik
jender terutama perbedaan(bias)-jender,
dan penuh tanggung jawab berdasarkan
juga banyak diungkap oleh sejumlah
‘tertib sosial’ yang sudah ditetapkan dan
peneliti dalam berbagai aspek pendidikan
disepakati oleh komunitas, agar tercipta
di sekolah (Markhamah, Suwandi &
keharmonisan.
Sudirdjo, 2006; Jatiningsih dkk., 2002;
Setiap
peran
individu
bersifat
‘khierarkis’, berdasarkan status, hak dan kewajiban individu (2:44). Peran juga bersifat
‘jender’,
berdasarkan
kodrat
eksistensial dan sosio-biologis individu. Kodrat eksistensial individu menegaskan bahwa komunitas atau negara tidak bisa mengubah dan mengintervensi kodrat yang sudah dinisbatkan kepada individu, “Ibu hamil, melahirkan dan menyusui anak” (2:56) adalah kodrat ilahiah yang
Setyowati
&
Konstruksi
ini
wacana
Jatiningsih, tidak
akademik,
2007).
hanya
menjadi
melainkan
sudah
memasuki wacana epistemologis-teologis yang bersifat dekonstruktif atas status ontologis
perempuan
(Fadlan,
2011;
Zakariya, 2011). Dalam kaitan ini, biasjender dalam buku-buku teks IPS-SD bisa dimaknai
negatif
dan/atau
positif.
Pemaknaan negatif bias-jender muncul dari
pandangan
dan
semangat
egalitarianisme individu (Suryadi & Idris, 2004; Jatiningsih, dkk., 2002; Setyowati
273
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 & Jatiningsih, 2007). Bahwa bias-gender
kontroversial yang dapat menjadi bahan
telah mendekonstruksi perempuan secara
berpikir kritis-reflektif, yang menuntut
ontologis dalam peran-peran domestik
siswa untuk memberikan pertimbangan
yang kemudian melahirkan ketidakadilan
faktual atau nilai, merumuskan asumsi-
gender secara struktural (Fadlan, 2011).
asumsi
Dekonstruksi
mengujinya secara terbuka (Hunt &
ini
kemudian
‘mendiskursif’—merelasi
antara
atau
hipotesis-hipotesis,
dan
Metcalf, 1966; Dewey, 2010).
pengetahuan dan kekuasaan (Marhumah,
Resiprositas sosial atau pertukaran
2011) dalam pandangan sosio-biologis
peran juga mewarnai konstruksi peran
dan budaya patriarkhis masyarakat petani
individu. Buku teks mengkonstruksi dua
(Ruminiati, 2010; Cherlin, 2010), tetapi
tipe resiprositas sosial peran individu
hal ini tidak berlaku pada masyarakat
dalam komunitas. Keduanya dikonstruksi
pesisir (Mulyadi, 2011; Ekaningdyah,
berdasarkan
2005). Bahwa memiliki anak laki-laki
komunitarian, dan kepercayaan, tetapi
merupakan keharusan sebagai penerus
tidak selalu menuntut kepatuhan resmi,
keturunan
melainkan
dan
kekuatan
ekonomi,
prinsip
egalitarian,
bisa luwes,
eksplisit
Bias-jender, apapun alasannya, dipandang
keuntungan bersama kedua belah pihak
tidak mendukung upaya sosialisasi jender
(cf. Stafford, 2008). Pertama, resiprositas
yang
peran sosial individu
(Jatiningsih,
dkk.,
kemaslahatan
ikhlas,
“banyak anak banyak rezeki” (4:203).
egalitarian
untuk
jujur,
atau
dilandasi oleh
2002:28). Dalam kasus-kasus tertentu—
kepercayaan, kejujuran, kasih-sayang, dan
seperti
keikhlasan
sunat
perempuan—dipandang
antar-individu
baik
dalam
sebagai bentuk pelanggaran hak asasi
komunitas keluarga maupun komunitas
perempuan (Zamroni, 2011). Di sisi lain,
sekitar. “Ibu melahirkanku, menyuapi dan
perspektif bias-jender ini bisa dimaknai
menggendongku waktu kecil, menyiapkan
‘positif’, dalam konteks pengembangan
seragamku,
IPS-SD
menemani aku makan siang sore harinya,
sebagai
wahana
pendidikan
menyiapkan
sarapanku,
demokrasi yang sehat, yang dicirikan oleh
dan
dialog terbuka tentang isu-isu publik
“aku sangat sayang ibu, aku sering
(Harwood & Hahn, 1990; Dewey, 1964),
membantu ibu, membereskan rumah, aku
dan penguatan otonomi guru di dalam
juga taat pada ibu” (1:39). “Sesama
kelas (Lunstrum, 1965). Dalam IPS,
tetangga harus saling menolong. jika kita
konstruksi bias-jender juga merupakan
berbuat baik pada hari ini, suatu saat kita
salah
akan ditolong” (2:70). Kedua, resiprositas
satu
dari
konten
isu-isu
menemaniku belajar”, karena itu
274
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 peran sosial individu bersifat solidaritas
memberikan nilai-nilai edukatif kepada
mekanik yang diwujudkan dalam bentuk
peserta didik sebagai ‘clientele’ tentang
kerja sama, kerja bakti, atau gotong
kehidupan
royong atas dasar sukarela, dan saling
global—sebagai “actual civic situations”
menguntungkan
(Dun, 2004:1).
secara
personal
dan
Buku-buku
komunal secara timbal-balik, bukan motifmotif
ekonomi,
mempercepat
melainkan
penyelesaian
menghemat
tenaga,
untuk
pekerjaan, mempererat
komunitas—lokal
hingga
teks
IPS-SD,
mengkonstruksi komunitas dalam tujuh tipe:
keluarga,
pertemanan,
sekolah,
sekitar/tetangga, kota, suku bangsa, dan
persaudaraan, dan terciptanya rasa aman
global.
(2:76-77).
dalam
prinsipnya memiliki tujuan dan peran
resiprositas ini. Pola pertama, ‘one-to-one
sama, membantu individu membangun
reciprocity’, resiprositas peran antar dua
kehidupan kolektif dalam kerukunan,
individu
keharmonisan,
Ada
untuk
tiga
saling
pola
meringankan
Ketujuh
komunitas
ketenangan,
pada
dan
pekerjaan, seperti saling membantu antar-
kedamaian, dalam segala keberagaman
tetangga yang membutuhkan (k.2—k3).
yang
Sinoman dan sambatan termasuk pola ini
anggotanya. Komunitas dikonstruksi buku
(Pribadhi, 2011; Hastowiyono. 2005).
teks dalam dua tujuan yang bersifat
Pola kedua, ‘one-to-many reciprocity’,
komplmenter.
resiprositas
sebagai
peran
individu
untuk
dimiliki
oleh
individu-individu
Pertama,
“real
komunitas
community”,
bentuk
komunitas, seperti ronda malam atau
kehidupan kolektif individu sebagai ruang
siskamling untuk keamanan lingkungan”
sosial, budaya, ekonomi, dan politik bagi
(2:74; 3:31); kerja bakti membersihkan
individu untuk melaksanakan peran-peran
jalan kampung (3:30). Pola ketiga, ‘many-
sosialnya secara nyata untuk mencapai
to-one reciprocity’, resiprositas peran
tujuan bersama. Kedua, komunitas sebagai
komunitas untuk individu, seperti “gotong
‘tipe ideal’ bagi kehidupan kolektif
royong membantu salah seorang warga
individu
yang terkena musibah” (2:73; 3:29).
‘masyarakat
sebagai etik’
organisasi yang
kosmis dibangun
berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai Komunitas: Tipe Ideal Kehidupan
dasar tertentu yang disepakati bersama
Kolektif Individu
yang dicitrakan bersama (Weber, 2005; tentang
komunitas
Madjid, 1992); atau “komunitas etik” yang
kedua
komunitas-
menekankan kerjasama dan dan saling
kewarganegaraan yang diharapkan dapat
hormat antara warga negara dan bangsa
Konstruksi merupakan
unsur
275
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 sebagai landasan idealnya (Popper, 2008;
harmonis
Niiniluoto, 2011).
pemandangan alam sekitar yang nyaman,
Keluarga adalah komunitas pertama
dengan
lingkungan
dan
segar, dan indah (3:bab-1). Pertemanan
bagi individu, mengenal anggota keluarga
adalah
inti (ayah, ibu, adik, dan kakak) dan
teman-sebaya-sepermainan
kerabat dekat (kakek, nenek, paman, dan
individu
bibi) yang memiliki hubungan sedarah-
sosialisasinya,
sekandung-sesaudara.
untuk
komunitas individu-
memenuhi juga
kebutuhan
untuk
bertukar
Keluarga
adalah
pengalaman, mengembangkan kesamaan
pertama
kali
kesenangan, hobi, koleksi, dokumen, dan
bersosialisasi, mengenalkan dirinya; dan
kebiasaan. Sekolah adalah komunitas
mengenal
lain;
ketiga bagi individu untuk mendapatkan
dan
pendidikan, mengembangkan kesenangan,
pengayoman; mendapatkan kasih sayang;
hobi, juga bersoalisasi dengan individu-
mempelajari
kebiasaan,
dan
individu lain lebih luas, termasuk dengan
tatakrama
kehidupan
komunitas
guru dan individu-individu lainnya (3:8).
(kepatuhan, ketaatan, dan rasa hormat);
Di sekolah individu juga dapat memenuhi
dan mendapatkan kehidupan sosial rukun,
kebutuhan
harmonis, tenang, dan damai. “Kita harus
melalui kantin dan koperasi sekolah (3:52-
rukun dalam keluarga, walaupun setiap
53).
anggota keluarga memiliki keberbedaan
komunitas sekitar-pedesaan, terdiri dari
hobi, agama, bahasa, dan suku. Karena
para tetangga dengan asal-usul, kebiasaan,
rukun
menjadi
dan pekerjaan yang relatif homogen; dan
bahwa
komunitas sekitar-perkotaan (miskin dan
“rumah tempat berteduh dan berlindung
kaya), terdiri dari para tetangga dengan
dari binatang buas” (3:7) dapat dipandang
asal-usul, kebiasaan, dan pekerjaan yang
sebagai metafora yang mengkiaskan peran
sangat heterogen (4:33). Kedua tipe
sebuah
komunitas sekitar menjadi lingkungan
tempat
individu
individu-individu
mendapatkan
tenang”
pengasihan
membuat
hidup
(1:55-60).
budaya,
kita
Penyataan
‘mikro-kosmos’
komunitas-
ekonomi
Komunitas
bagi
dan
sekitar
individu
sekolahnya
terdiri
untuk
dari
keluarga bagi siapapun individu yang
sosial
mengharapkan kerukunan, keharmonisan,
mengembangkan
ketenangan, dan kedamaian. Siapapun
kebutuhan-kebutuhan
yang akan membangun rumah harus
sosialnya, namun secara sosial, budaya,
senantiasa menjaga keseimbangan dengan
ekonomi,
dan
‘makro-kosmos’, dengan memilih lahan
berbeda.
Keduanya
juga
yang baik, hidup rukun, damai, dan
hubungan
fungsional
terutama
dan
lebih
memperluas pribadi
demografis
dan
keduanya memiliki dalam
276
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 memenuhi kebutuhan ekonomi masing-
perbuatan manusia (3:6-11). Kegiatan
masing (4:155).
ekonomi komunitas sekitar yang bertumpu sekitar-desa
pada sumber daya alam dan padat karya
menyediakan ruang bagi individu untuk
juga menyediakan bagi individu ruang
belajar dan berpartisipasi aktif di dalam
interaksi-komunikasi
berbagai aktivitas kolektif seperti kerja
lebih intensif (3: 37-46). Komunitas
sama,
sekitar-desa
Komunitas
kerja
bakti,
tolong-menolong,
juga
langsung
dihadapkan
secara
pada
gotong-royong, dan siskamling untuk
berbagai peristiwa alam seperti gunung
mencapai
meletus, gempa bumi, banjir, angin topan,
Selain
tujuan
itu,
banyak
bersama
komunitas. tersebut
erosi, dan lahan kritis yang disebabkan
bagi
oleh alam atau perbuatan manusia (6:97-
mempercepat
116) yang menuntut tanggung jawab dan
menghemat
peran individu, masyarakat, dan negara
aktivitas-aktivitas
memberikan
individu,
manfaat
seperti
penyelesaian
pekerjaan,
tenaga, memperoleh keuntungan timbalbalik, dan saling mengenal baik identitas
untuk mengatasinya. Komunitas
sekitar
dan karakteristik masing-masing bagi
sebagai
terciptanya rasa persaudaraan yang erat,
heterogenitas asal-usul dan kebiasaan
dan rasa aman bagi komunitas secara
(4:33) yang berurbanisasi ke kota untuk
keseluruhan
khas
mendapatkan penghidupan yang lebih
kepribadian bangsa Indonesia” (2:67-77).
layak. Di dalam komunitas sekitar (kota-
Makna terpenting dari aktivitas-aktivitas
miskin) individu harus belajar dan hidup
kolektif
dengan
sebagai
bagi
“ciri
individu
adalah
kelompok
digambarkan
berbagai
individu
dengan
persoalan,
seperti
menundukkan ego-pribadi atau distorsi
perumahan kumuh dan padat, lingkungan
personalitas ke dalam tatanan tertib sosial
kurang
(Hechter & Horne, 2003; Mulder, 2000;
mengatasinya (4:204), dan ‘kehidupan
Frank, 1944). Konstruksi lingkungan alam
keras’ para pedagang kaki lima (PKL),
dan
menyuguhkan
pedagang asongan, atau warung (4:151).
“keindahan, keteduhan, dan kesegaran
Sementara komunitas sekitar(kota-kaya)
panorama
mengitari
hidup di rumah-rumah permanen yang
kehidupan komunitas sekitar-desa (3:2-7)
dibangun dari semen atau beton dengan
memberikan
bentuk rumah disesuaikan dengan selera
buatan
yang
alam”
wahana
yang
pedagogis
bagi
sehat,
serta
individu untuk berperan serta dalam
masing-masing.
memelihara,
dan
sekitar (kota-kaya) individu belajar dan
akibat
hidup dengan aktivitas ekonomi non-
menjaganya
melestarikan, dari
kerusakan
Di
dalam
bagaimana
komunitas
277
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 natura, seperti perdagangan, industri, jasa,
97; 5:69-75) yang dilandasi oleh nilai-
perhubungan,
nilai
dan
bangunan
yang
dasar:
kepercayaan,
kejujuran,
bertumpu pada keunggulan teknologi
sukarela, keikhlasan, saling menghargai,
produksi, komunikasi, dan transportasi
dan
(4:150-154). Tetapi individu kota-kaya
komunitas global individu belajar tentang
tidak lagi bisa belajar tentang budaya
komunitas-komunitas di seluruh negara-
silaturahmi,
saling
bangsa di dunia, dan membuka diri
mengunjungi, karena cara bersilaturahmi
bergaul dengan bangsa lain di dunia.
komunitasnya
Kemajuan teknologi informasi (internet),
atau
budaya
menggunakan
berbagai
kepatuhan.
Akhirnya,
di
dalam
surat,
telekomunikasi, dan transportasi yang
telegram, telepon, kartu lebaran, email,
telah membentuk, mengembangkan, dan
dan pesan singkat tertulis (SMS) (4:96).
menyatukan
Buku
pembelajaran bagi individu tentang arti
perangkat
komunikasi
teks
seperti
juga
mengungkap
mereka
meemberikan
kota,
globalisasi. Di dalam komunitas global ini
tinggi,
pula, individu belajar tentang hubungan
merata,
kerja sama dan persahabatan dengan
kualitas penduduk yang rendah yang
penduduk di seluruh dunia dan melakukan
hanya menghadirkan peran negara (4:199-
perdagangan bebas tanpa dibatasi oleh
208), sementara apa peran individu dan
peran
komunitas sama sekali tidak diungkap.
Individu juga bisa mengenal, belajar, dan
permasalahan
sosial
seperti
urbanisasi
arus
persebaran
komunitas
penduduk
Suku-bangsa
yang tidak
adalah
komunitas
dan
menyebarkan
batas-batas
nilai-nilai
antarnegara.
dan
budaya
tempat individu bersosialisasi, mengenal
tertentu dari/ke seluruh dunia (6:119-127).
dan belajar lebih jauh tentang keragaman
Untuk membangun kolektivitas dan
budaya seperti senjata tradisional, pakaian
kohesivitas individu, dan menghindarkan
adat, lagu daerah, tarian daerah, rumah
komunitas situasi “keos” yang dapat
adat, alat musik, seni pertunjukan, upacara
mengganggu
adat, dan kebiasaan; serta bagaimananya
komunitas memiliki “tipe ideal”, yaitu
menghargai dan menjaga kelestariannya.
sebuah ‘thoughtful pictures’ bagi setiap
Di dalam komunitas suku bangsa ini pula,
tujuan, nilai, emosi, sikap dan kebiasaan
individu belajar dan hidup dalam satuan-
individu
satuan kerukunan hidup suku bangsanya,
keharmonisan, kerukunan, dan kedamaian
seperti Gampong Aceh, Beo NTT, Nagari
kehidupan komunitas yang dicitrakan.
Minangkabau, Rumah Panjang Minahasa,
Nilai-nilai
atau Rumah Jejer Bugis-Makassar (4:86-
terdapat di dalam budaya silaturahmi, adat
ketertiban
tentang
budaya
sosial,
setiap
keteraturan,
komunitas
yang
278
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 istiadat,
upacara
keagamaan, sangat
sekalipun
penting
dan
upacara
tinggalnya (k-5), bukan alasan untuk tidak
tidak
tertulis,
menjaga
adat,
bagi
individu,
bagi
persatuan
dan
kesatuan,
melainkan khasanah dan kekuatan untuk
terciptanya kohesi komunitas yang kuat,
membangun
sekaligus menjadi instumen budaya untuk
Keberagaman diakui mempunyai potensi
membentuk dan melestarikan “kepatuhan
terjadi perpecahan, namun kearifan setiap
penduduk terhadap lingkungan tempat
komunitas untuk menghindari segala hal
tinggalnya”(4:95-96).
”Sanksi
yang dapat memicu perpecahan, konflik
seperti
dari
pengucilan
sosial,
pergaulan
atau
keutuhan
komunitas.
pertentangan,
dengan
masyarakat bagi siapapun yang melanggar
mengedepankan sikap saling menghargai,
kebiasaan
sangat dihargai (4:75).
atau
adat
istiadat
di
lingkungannya” (4:95) juga merupakan
Melalui pedagogi tentang tipe ideal ini, secara ideologis, buku-buku teks IPS-
peran penting tipe ideal komunitas.
SD ingin menegaskan bahwa eksistensi Hidup permusuhan,
berdampingan dan
saling
tanpa
menghargai
individu dalam komunitas mempunyai potensi
yang
dapat
menggangu
tradisi masing-masing juga merupakan
keteraturan, kerukunan dan keharmonisan
tipe ideal komunitas tentang prinsip-
(cf. Mulder, 2000). “Banyaknya penduduk
prinsip dasar kerukunan hidup bersama.
dan suku bangsa mempunyai potensi
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
terjadi
Mangrwa, walaupun berbeda-beda tetapi
menghindari segala hal yang memicu
tetap satu juga (k.4—k.5) merupakan tipe
perpecahan Negara Kesatuan Republik
ideal komunitas lainnya yang diklaim
Indonesia (NKRI), sesuai cita-cita awal
sebagai prasasti sejarah tentang kerukunan
pendirian bangsa ini. Persatuan harus
hidup antar-komunitas suku bangsa di
diutamakan meskipun kita berbeda-beda.
Indonesia. Bagi komunitas, keberagaman
Keanekaragaman yang dimiliki komunitas
sosial-budaya yang disebabkan oleh letak
Indonesia bukan merupakan penghalang
kultur
untuk
historis
wilayah,
perbedaan
perpecahan.
mewujudkan
Kita
persatuan
harus
dan
lingkungan dan bentang alam, kepercayaan
kesatuan” (4:75-76). Otonomi daerah—
dan kebudayaan, serta keterikatan setiap
sebagai evolusi keberagaman individu dan
komunitas
komunitas
pada
wilayah
tempat
dalam
konteks
politik
kenegaraan—juga harus tunduk kepada otoritas politik negara (pemerintah pusat).
279
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 Negara: Melindungi Individu dan
individu dan komunitas atas elemen-
Komunitas
elemen
Konstruksi
tentang
negara
kebutuhan
hidup
individu/masyarakat
(kesehatan,
komunitas-
perlindungan terhadap hidup dan hak
kewarganegaraan yang diharapkan dapat
milik, rekreasi, pendidikan, keindahan
memberikan nilai-nilai edukatif kepada
warga negara, kemakmuran, komunikasi,
peserta didik sebagai ‘clientele’ tentang
transportasi, migrasi, dana sosial, dan
satus, peran (operasi dan mekanisme
perbaikan (Dunn, 2004; 2007) merupakan
kerja)
peran dan tanggung jawab utama negara.
merupakan
unsur
ketiga
negara-pemerintah
di
dalam
melindungi tujuan dan kebaikan bersama
“Orang
(Dun, 2004).
sebagian
Negara dikonstruksi sebagai bentuk
dikatakan besar
makmur
apabila
kebutuhannya
telah
terpenuhi” (5:90).
evolusi dari bangsa dalam konstruksi
Berbagai fasilitas, program, badan
sebagai kesatuan masyarakat politik yang
usaha yang disediakan negara-pemerintah
otonom
untuk
dengan
wilayah,
kekuasaan,
memenuhi
berbagai
kebutuhan
warga negara, dan segala atribut dan
individu dan komunitas adalah: bidang
simbol-simbol
pendidikan:
kedaulatannya,
undang-
sekolah,
perpustakaan,
undang dasar, bendera, lambang, lagu,
gerakan orang tua asuh, wajib belajar 9
bahasa, mata uang, dan tentara. Sebagai
tahun, kelompok belajar paket, BOS
entitas
(Bantuan Operasional Sekolah), kartu
masyarakat
politik,
negara dari
pelajar, ijazah, rapor, kantin dan koperasi
(k.4—k.5)
sekolah (k.1-k.4); perdagangan-industru:
yang sarat dengan sejarah perjuangan,
toko, pasar (tradisional dan moderen) (k.1,
perlawanan, dan perjuangan merebut dan
k.6),
menegakkan
dan
Pelelangan Ikan (TPI), industri otomotif
dalam
seperti PT INKA, PT PAL, PT Dirgantara
melindungi tujuan dan kebaikan bersama
Indonesia, dan PT Krakatau Steel (4:152);
adalah
perbankan: uang (kartal, giral), Bank
merupakan
transformasi
kerajaan-kerajaan
tanggung
genetik
nusantara
kedaulatan.
jawab
Peran
negara
melindungi
dan
di
menjaga
koperasi
(4:165-173);
Tempat
dan
Indonesia, ATM (3:61-69); transportasi:
keduanya
pelabuhan bongkar muat barang dan
sebagai unsur-unsur dalam kehidupan
transportasi antarpulau (3:6); PT Angkasa
komunitas-kewarganegaraan.
Pura, PT Pelni, PT Jakarta Lloyd, PT
terpenuhinya komunitas,
hak-hak serta
individu
keutuhan
Berbagai
fasilitas, program, badan usaha negara
Gesuri
Lloyd,
(4:194-195),
fasilitas
yang disediakan untuk memenuhi hak-hak
transportasi darat, laut, dan udara (4:153);
280
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 jalan, terminal, stasiun, rel, palang pintu
(6:47-49). Dari semua fasilitas fasilitas,
kereta api (4:192); perijinan: surat izin
program, badan usaha tersebut, peran
mengemudi (2:8); konservasi energi dan
pemerintah
sumber
daya
PLTA
alam:
(4:31);
pusat
sangat
menonjol,
sementara peran pemerintah daerah tak
program-program pelestarian sumber daya
banyak diungkap.
alam (4:64); pembangunan berwawasan
Untuk
membangun
kohesivitas
lingkungan beserta hukum dan perundang-
individu dan komunitasnya dan mencapai
undangannya,
Pengendalian
tujuan nasional, negara menggunakan
Lingkungan (BPL), program perlindungan
politik sejarah sebagai instrumen untuk
terhadap tanah dan air (reboisasi), dan
membangun pencitraan secara simbolis
udara, (6:108-111);
dan
Badan
pertanian: pupuk
ideologis
tentang
nasionalisme.
(3:9), irigasi, waduk (4:31-32); program
Sebuah ikhtiar politik sejarah yang juga
intensifikasi
unggul,
lazim digunakan diberbagai negara di
pengolahan tanah, pengairan, dan pasca
dunia (Crawford, 2003a-b; Wenzeler,
panen (4:183); rekreasi: tempat-tempat
2003;
wisata (k.1); olah raga: lapangan sepak
Tutiaux-Guillon, 2010; Khine, 2013),
bola (k.1); informasi dan komunikasi:
walaupun penyajian sejarah**) di dalam
telepon umum (k.1), SKSD (Sistem
buku-buku teks IPS-SD sangat naratif dan
Komunikasi Satelit Domestik) Palapa
bertumpu pada metode kronologis, beserta
(4:188), TVRI (4:190); layanan publik:
tokoh-tokoh, dan bukti-bukti historisnya
balai desa, kantor polisi (k.1); kesehatan:
(cf. Mulder, 2000). Bukti-bukti sejarah
puskesmas,
(k.1-k4);
yang dikonstruksi untuk tujuan tersebut
penduduk,
adalah: (1) ideologi Bhinneka Tunggal
pertanian--bibit
rumah
kependudukan: Keluarga
sakit
sensus
Berencana
(KB),
Nicholls,
2005;
Repoussi
&
Norma
Ika—Sumpah Palapa—kepahlawanan dan
Keluarga Kecil dan Bahagia Sejahtera
patriotisme bangsa sebagai khasanah dan
(NKKBS),
pembuktian
transmigrasi,
pemerataan
peran
sejarah
pembangunan (4:201-206), akta kelahiran,
pembentukan
KTP, surat keluarga; dan hak milik: surat
(2) Rembug Nasional—olahraga, jambore,
kepemilikan tanah (sertifikat) (2:2-8);
aksi sosial-keagamaan, diskusi budaya—
konservasi budaya: museum, pemugaran
dan
atau
perbaikan
(4:123);
dan
pembangunan
negara
bagi
nasional
(k-4).
yang
bangunan
bersejarah
merata; dan simbol-simbol, sejarah, dan
penanganan
masalah-
sumpah kebangsaan merupakan instrumen-
masalah sosial: kemiskinan, kejahatan, kependudukan, dan lingkungan hidup
281
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 pengikat
for granted”, yang akhirnya melahirkan
komunitas (4:75-76). (3) monumen atau
sebuah konstruksi politik budaya negara
tugu
yang anti-dialogis (Trianita, Leo, &
instrumen
pemersatu
bersejarah
dan
untuk
membangun atau
Sinaga, 2012), dimana negara berkeras
patriotisme bangsa, seperti Monumen
menyembunyikan isu, masalah, konflik
Pancasila Sakti, Monumen Tugu Muda,
atau pertentangan sebagai realitas yang
Monumen Yogya Kembali (2:38). (4)
perlu disikapi oleh setiap individu dan
simbol-simbol pemersatu seperti: burung
masyarakat (Manggeng, 2005). Dalam
garuda, lambang negara Indonesia yang
budaya bisu, sulit dihasilkan individu-
menyimbolkan
individu pemikir dan peneliti sosial yang
kesadaran
historis,
heroisme,
kemerdekaan
bangsa
(4:74-76); dasar negara Pancasila, bendera
skeptis,
nasional Merah Putih, lagu kebangsaan
(Novenanto, 2013). Dalam kaitan ini, bisa
Indonesia Raya, bahasa nasional bahasa
dipahami mengapa di dalam buku-buku
Indonesia,
teks,
negara
dan
strategis
‘dihadirkan
dalam
sejarah
perjuangan
dalam
memperoleh
ketakhadiran’ (presence in absence atau
kemerdekaan, Sumpah Pemuda (4:76);
absence of a presence). Negara hanya
upacara bendera, membangkitkan sikap
dihadirkan melalui ‘penanda’ (signifier)
kepahlawanan dan patriotisme (4:129).
atau ‘jejak (trace) (cf. Nugraha, 2011;
bangsa
uraian
eksploratif,
Indonesia
Di sisi lain, upaya negara untuk
Derrida, 1997) berupa simbol, pesan,
membangun citra simbolis dan ideologis
ideologi, tujuan, cita-cita bersama. Bisa
melalui eksplorasi warisan sejarah tentang
dipahami pula, mengapa negara dipersepsi
nasionalisme, persatuan dan kesatuan,
individu atau kolektif sebagai “komunitas
sangat rentan bagi lahirnya “budaya bisu”
terbayang” (imagined community) yang
(culture of silence). Suatu konstruksi
baru
budaya
individu atau kelompok dihadapkan pada
dimana
manusia
belum
dirasakan
anomali
situasi
mereka sendiri, dan berbicara secara
revolusi (Anderson, 2001). Dalam konteks
otentik sebagai subjek (Collins, 1999:87).
ini pula, kehadiran buku-buku teks IPS-
Hal ini bisa terjadi, karena politik sejarah
SD
cenderung
masa-kini
pewarisan ideologi “negara teater” dari
sebagai realitas yang dicengkeram oleh
sebuah “dunia imajiner” (Mulder, 1997),
masa-lalu yang diidealkan sebagai “taken
bukan sebagai wahana pedagogis bagi
sesungguhnya
atau
ketika
sepenuhnya mampu mengucapkan “logos”
menempatkan
krisis,
kehadirannya,
hanya
bahkan
medium
terciptanya transformasi demokratis.
282
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 Menghadapi kehidupan komunitas
individualisme, materialisme, pergaulan
global, negara membangun ideologi dan
bebas, dan minum-minuman keras, harus
citra tentang “bangga terhadap produksi
dibatasi, dihindari, dan ditolak (6:117-
dalam negeri” dan “keunggulan kompetitif
128).
bangsa”.
Produk
dalam
negeri
dikonstruksi secara simbolis sebagai hasil kerja, kreativitas, dan prestasi bangsa
Penutup Konstruksi buku-buku teks IPS-SD
yang secara kualitas memiliki daya saing
tentang
dengan produksi luar negeri. “Jangan
kewarganegaraan, individu, komunitas,
khawatir untuk memakai produk dalam
dan negara, serta relasi ketiganya dalam
negeri.
konteks hak, kewajiban dan peran-peran
Banggalah
memakai
barang-
unsur-unsur
barang produksi dalam negeri, karena
masing-masing,
selain
“tipe ideal” yang ‘dipilih dan diorganisasi’
harganya
cukup
murah,
juga
merupakan
komunitas-
memberi kesempatan kepada generasi
secara
bangsa untuk berkarya” (5:90). Negara
konsep, dan generalisasi dari berbagai
juga
konten
mensinergikan
antara
nilai-nilai
pedagogis
konstruksi
ilmu-ilmu
berdasarkan
sosial.
fakta,
Tujuannya
global dan nilai-nilai kebangsaan secara
adalah mewariskan pengetahuan, nilai,
“ko-eksistensial”.
budaya
sikap, dan kebiasaan yang secara turun
global adalah nilai-nilai yang dianut,
temurun dari generasi ke generasi dengan
diakui,
kontrol ketat oleh simbol, pesan, ideologi,
dan
Nilai-nilai
disepakati
oleh
seluruh
masyarakat di dunia seperti giat bekerja,
tujuan,
disiplin, tanggung jawab, berorientasi ke
merefleksikan peran dan tanggung jawab
masa depan, dan menghargai waktu.
negara.
Nilai-nilai kebangsaan adalah nilai-nilai
cita-cita
Individu
dan
bersama
perannya
yang
sebagai
khas yang menjadi kepribadian suatu
warga komunitas-negara dimungkinkan
bangsa yang berfungsi sebagai paradigma
berpartisipasi aktif di dalam kehidupan
nilai bagi masyarakat-bangsa di dalam
komunitas-kewarganegaraan, tetapi harus
menerima atau menolak efek samping
larut dan tunduk pada tujuan bersama,
nilai-nilai global. Setiap budaya global
yaitu hidup teratur, rukun dan harmonis.
masuk
secara
Ego-pribadi atau distorsi personalitas
selektif dan hati-hati. Sementara, budaya
individu harus tunduk pada tatanan “tertib
global
dengan
sosial” agar tidak merugikan diri sendiri,
kepribadian, dasar, dan pandangan hidup
orang lain dan komunitasnya. Individu
bangsa
sebagai warga negara yang baik adalah
masuk
yang
harus
tidak
Indonesia,
disikapi
sesuai
seperti
kekerasan,
283
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 dan
industrialisasi yang berdampak pada alam
menjaga,
dan kehidupan manusia, dipandang cukup
melindungi, atau melestarikan keteraturan,
penting dan bermakna bagi peserta didik
kerukunan
hidup
tentang adanya persoalan yang perlu
individu dan komunitas sejalan dengan
dipelajari dan disikapi sebagai warga
politik
masyarakat-negara
warga
negara
bertanggung
yang
jawab
dan
dan
berperan untuk
keharmonisan
ideologi
persatuan
dan
kehidupan
kesatuan. Komunitas dan negara bagi individu
Namun,
dalam
konstruksi
komunitas-kewarganegaraan. patut
disayangkan
terhadap
adalah kehidupan kolektif faktual dan
masalah-masalah tersebut buku-buku teks
ideal tentang keteraturan, keharmonisan,
lebih banyak menghadirkan peran negara,
kerukunan, dan kedamaian hidup individu
daripada peran individu dan komunitas.
secara kolektif. Peran keduanya bekerja
Realitas ini dikuatkan oleh temuan bahwa
sama melindungi individu agar tidak
konstruksi
memasuki ruang konflik, pertentangan,
eksplisit hanya terdapat di dalam buku-
atau tabu. Karena itu, bisa dipahami
buku teks IPS-SD kelas I-III tentang
mengapa
terkait
individu, keluarga, teman, sekolah, dan
dengan “problems of democracy”, seperti
lingkungan sekitar/tetangga, sementara di
peran kontrol individu dan komunitas
kelas-kelas selanjutnya ‘sangat implisit’.
(organisasi atau lembaga masyarakat)
‘Ketidakhadiran’ individu secara eksplisit
terhadap
konflik-
di luar komunitas keluarga, pertemanan,
masalah
sekolah, dan lingkungan sekitar, di satu
konflik
konten-konten
yang
negara-pemerintah; sosial,
kontroversial,
isu-isu serta
atau
masalah-masalah
sisi,
tentang
menyebabkan
individu
kekosongan
secara
citra
krusial yang berada di “wilayah tabu”
individu, dan menyulitkan peserta didik
(closed areas) seperti isu tentang seks,
melakukan identifikasi atas diri, peran dan
patriotisme, ras, ekonomi, moral, agama,
tanggung jawabnya di dalam kehidupan
dan hubungan atar-suku sebagai potret
komunitas kota, suku bangsa, dan global.
realitas kehidupan sosial, yang memiliki
Di sisi lain, ketidakhadiran individu juga
signifikansi
terhadap
menegaskan bahwa negara memandang
berpikir
peran-peran individu dalam komunitas
kritis-reflektif dan wahana pedagogis bagi
luas kurang penting, dan bisa digantikan
terciptanya transformasi demokratis agak
oleh kehadiran korporasi atau perusahaan
terabaikan.
swasta besar di bidang jasa, perdagangan,
pengembangan
tinggi kemampuan
Deskripsi perilaku-perilaku individu atau
komunitas,
dan
meningkatnya
industri, perhubungan, komunikasi, dan
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 bangunan, atau setidak-tidaknya melalui wadah usaha bersama, koperasi.
284
Barr, Barth, & Shermis. (1978). The Nature of the Social Studies. Palm Spring CA: ETC Publications.
Dengan konstruksi seperti itu, bukubuku
teks
wahana
PIPS-SD
belum
menjadi
sosio-pedagogis
bagi
pembentukan pribadi siswa sebagai warga masyarakat-negara
dengan
kebiasaan
berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri. Realitas ini menegaskan bahwa buku-buku teks IPSSD
merupakan
bagian
dari
proses
penciptaan “budaya bisu” dengan kontrol ketat dari negara yang masih bernuansa “otoritatif”.
Daftar Pustaka Niiniluoto, I. 2011. The Open Society and Its New Enemies: Critical Reflections on Democracy and Market Economy, dalam G. Brennan, (Ed). The Tampere Club Series: Preconditions of Democracy, vol.2, 1-16. Popper, K. 2008. Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, terj. Uzair Fauzan Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Anderson, B. (2001). Imagined Community: Komunitas-komunitas Terbayang. Alih bahasa O.I Naomi. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar. Barr, Barth, & Shermis. (1977). Defining the Social Studies. Virginia: National Council for the Social Studies.
Blaik-Hourani, R. 2011. Constructivism and Revitalizing Social Studies. The History Teacher, 44(2), 227-250. Cherlin, A. 2010. Public and Private Families, An Introduction. NY: McGraw-Hill Companies, Inc. Crawford, K. 2003a. The Role and Purpose of Textbooks. International Journal of Historical Learning, Teaching and Research, 3(2), 5-10. Crawford. K. 2003b. Culture Wars: Serbian History Textbooks and the Construction of National Identity. International Journal of Historical Learning, Teaching and Research, 3(2), 43-52. Depdiknas. (2007). Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Badan Penelitian dan Pengembangan-Pusat Kurikulum, Depdiknas. Derrida, J. 1997. Of Grammatology. Diterjemahkan oleh G. Chakravorty Spivak. Baltimore & London: Johns Hopkins University Press. Dewey, J. (1964). Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education. New York: Mcmillan Co. Dewey, J. 2010. How We Think. BostonNew York-Chicago: D.C.Heath & Co., Publishers. Digitalized by Universal Digital Library. [On Line] (http://archive.org/details/howwethin k000838mbp, diakses 21 Mei 2013). Dunn, A.W. 2004. Community Civics and Rural Life. The Project Gutenberg
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 Literary Archive Foundation. [On Line] (http://www.gutenberg.org/ebooks/5 088, diakses 16 Mei 2013). Dunn, A.W. 2007. Community Civics for City Schools. Boston, New York [etc.]: D.C. Heath & Co. Digitized by the Internet Archive. [On Line] (http://www.arcliive.org/details/ communitycivicsOOfieliala, diakses 16 Mei 2013). Ekaningdyah, A. 2005. Peran Wanita dalam Peningkatan Pendapatan Keluarga Nelayan di Desa Tasikagung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Tugas Akhir. Semarang: Universitas Diponegoro.
285
Harwood, A.M., & Hahn, C.L. 1990. Controversial Issues in the Classroom. ERIC Digest. ERIC Clearinghouse for Social Studies/Social Science Education 2805 E. 10th St., Suite 120, Indiana University, Bloomington, IN 47408. Hastowiyono. 2005. Kemandirian, Keberlangsungan Hidup dan Pembaharuan Desa. Makalah Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke 40 STPMD “APMD” Yogyakarta, tanggal 16 Nopember 2005 di Yogyakarta. Haydey, D.C., Zakaluk, B.L., & Straw, S.. 2010. The Changing Face of Content Area Teaching. Journal of Applied Research on Learning, 3, Article 3, 1-29.
Fadlan, 2011. Islâm, Feminisme, dan Konsep Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’ân. Karsa: Jurnal Sosial dan Keislaman, 19(2), 105-119.
Hechter, M.; Horne, C. Eds. 2003. Theories of Social Order. A Reader. CA: Stanford University Press.
Farisi, M.I. 2012. Buku Teks sebagai Psychological Tool Proses Enkulturasi dan Pelestarian Kearifan Lokal. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Guru IV. hal. 583590. Jakarta: Universitas Terbuka.
Hsu, K-C., & Wang, J-R. 2012. An Elementary School Teacher’s Reflection on Implementing Constructivist Instruction in Science Classroom. US-China Education Review, B 1, 63-67.
Field, J., & Nearing, S. 2007. Community Civics. NY: The Macmillan Company. Digitized by tine Internet Archive in with funding from Microsoft Corporation. [On Line] (http://www.arcliive.org/details/com munitycivicsOOfieliala, diakses 25 Mei 2013).
Jatiningsih, dkk., 2002. Pengembangan Model Pendidikan di SD: Studi untuk meningkatkan Pemahaman Jender pada Anak dalam Rangka Penyiapan Anak menuju Tatanan Masyarakat Egalitarian. Laporan penelitian tahap I, tidak dipublikasikan. Surabaya: Lembaga Penelitian UNESA.
Frank, L.K. 1944. What Social Order. American Journal of Sociology, 49(5), pp. 470-477. Gall, M.D., Gall, S.P., & Borg, W.R. 2003. Educational Research: An Introduction. Boston: Pearson Education, Inc.
Jia, Q. 2010. A Brief Study on the Implication of Constructivism Teaching Theory on Classroom Teaching Reform in Basic Education. International Education Studies, 3(2), 197-199.
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 Karaduman, H., & Gültekin, M. 2007. The Effect of Constructivist Learning Principles Based Learning Materials To Students’ Attitudes, Success and Retention in Social Studies. The Turkish Online Journal of Educational Technology – TOJET, 6(3), 98-112. Khine, M. S. (Ed.). 2013. Critical Analysis of Science Textbooks: Evaluating instructional effectiveness. New York-Heidelberg: Springer. Kolovou, A., Heuvel-Panhuizen, M., & Bakker, A. 2009. Non-Routine Problem Solving Tasks in Primary School Mathematics Textbooks – A Needle in a Haystack. Mediterranean Journal for Research in Mathematics Education, 8(2), 3168. Koohang, A. et al., 2009. E-Learning and Constructivism: From Theory to Application. Interdisciplinary Journal of E-Learning and Learning Objects, 5(5), 91-109. Kuhn. T.S. (2001). The Structure of Scientific Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Keilmuan. Alih Bahasa Tjun Surjaman. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Lorsbach, A., & Tobin, K. 1992. Constructivism as a Referent for Science Teaching. Research Matters to the Science Teacher, NARST Monograph No. 5, 7 pp., 1992.
286
Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keindonesiaan. Jakarta: Yayasan Paramadina. Manggeng, M. 2005. Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia. INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual, No.8 Semester Genap. 41-44. Marhumah. 2011. Konstruksi Gender, Hegemoni Kekuasaan, dan Lembaga Pendidikan. Karsa: Jurnal Sosial dan Keislaman, 19(2), 167-182. Markhamah, Suwandi, S., & Sudirdjo. 2006. Persepsi Pengambil Kebijakan dan Guru Terhadap Pengembangan Model Materi Ajar dan Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia di SLTP Berperspektif Kesetaraan Jender. Jurnal Penelitian Humaniora, 7(1), 19 – 38. Mulder, N. 1997. Individu, Masyarakat dan Sejarah. Diterjemahkan A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius Muljono, P. (2007). Kegiatan Penilaian Buku Teks Pelajaran Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BNSP. Mulyadi, A. 2011. Perempuan Madura Pesisir Meretas Budaya Mode Produksi Patriarkat. Karsa: Jurnal Sosial dan Keislaman, 19(2), 200213.
Lunstrum, J.P. 1965. The Treatment of Controversial Issues in Social Studies Instruction. The High School Journal, 49(1), 13-21.
Nichol, J., & Dean, J. 2003. Writing for Children: History Textbooks and Teaching Texts. International Journal of Historical Learning, Teaching and Research, 3(2), 53-82.
Madjid, N. 1992. Islam, Doktrin dan Peradaban: Islam Doktrin dan
Nicholls, J. 2003. Methods in School Textbook Research. International
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 Journal of Historical Learning, Teaching and Research, 3(2), 11-26. Nicholls, J. 2005. The Philosophical Underpinnings of School Textbook Research. Paradigm, 3(1), 24-35. Novenanto, A. 2013. Pertanyaan tentang Metodologi Ilmu Sosial Indonesia. Diakses di http://etnohistori.org/edisional/ tanggal 2 Mei 2013. Nugraha, D. 2011. Sastra dan Dekonstruksi. [On Line] (http://www.academia.edu/ 1524997/Sastra_dan_Dekonstruksi_ oleh_Dipa_Nugraha) Diakses 15 Mei 2013. Nursa’ban, N., & Rusmawan. 2008. Ilmu Pengetahuan Sosial 3 untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Kelas III. Jakarta: Pusat PerbukuanDepdiknas. Nursa’ban, N., & Rusmawan. 2010. Ilmu Pengetahuan Sosial 1 untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Kelas I. Jakarta: Pusat PerbukuanKemendiknas. Nursa’ban, N., & Rusmawan. 2010. Ilmu Pengetahuan Sosial 2 untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Kelas II. Jakarta: Pusat PerbukuanKemendiknas. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2008 tentang Buku.
287
(2004). The Nature of Literacy Instruction in Ten Grade 4 and 5 Classrooms in Upstate. New York. Scientific Studies of Reading, 2, 159-191. Urbana, IL: National Council of Teachers of English. Pribadhi, P.A. 2011. Resiprositas Dalam Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus Pada Masyarakat Kelurahan Kauman Kabupaten Blora). Skripsi Sarjana. Semarang: Universitas Semarang. Repoussi, M., & Tutiaux-Guillon, N. 2010. New Trends in History Textbook Research: Issues and Methodologies toward a School Historiography. Journal of Educational Media, Memory, and Society, 2(1), 154-170. Resink, G.J. 1987. Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 18501910. Jakarta: KITLV & Djambatan. Reuben, J.A. 1997. Beyond Politics: Community Civics and the Redefinition of Citizenship in the Progressive Era. History of Education Quarterly, 37(4), 399420. Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays in hermeneutics. Illinois: Northwestern University Press. Ruminiati. 2010. Implikasi Teori Sosiobiologis dan Budaya Patriarkhi dalam Pembelajaran IPS-SD Berbasis Jender. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Malang: FIP-UM.
Pingel, F. 2010. UNESCO Guidebook on Textbook Research and Textbook Revision. 2nd revised and updated edition. Paris/Braunschweig: UNESCO-Georg Eckert Institute for International Textbook Research.
Saxe, D.W. (1991). Social studies in schools: A history of the early years. New York: State University of New York.
Pressley, M., Wharton-McDonald, R., Hampston, J. M., & Echevarria, M.
Setyowati, N., & Jatiningsih, O. 2007. Pendidikan Jender Bagi Calon Guru
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 SD Dalam Rangka Penyiapannya Menjadi Agen Sosialisasi Jender di Sekolah Dalam Rangka Pendekonstruksian Nilai Jender Pada Anak Menuju Tatanan Kehidupan yang Egalitarian. Jurnal Pelangi Ilmu, 1(1), 27-49. Stafford, L. 2008. Social Exchange Theories. Dalam L.A. Baxter & D.O. Braithwaite (Eds.), Engaging Theories in Interpersonal Communication:Multiple perspetives (pp.377-389). Thousand Oaks. Superka, D.P., & Hawke, S.D. (1982a). Social roles: A focus for social studies in the 1980s. in I. Morrisett (ed), Social Studies in the 1980s, h. 119-130. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development. Superka, D.P., & Hawke, S.D., & Morrisett, I. (1982b). The concept and future status of the social studies. Social Education, 44 (may), 363-369. Suranti, & Saptriarso, E.S. 2009. Ilmu Pengetahuan Sosial 5 untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Kelas V. Jakarta: Pusat PerbukuanDepdiknas. Suranti, & Saptriarso, E.S. 2009. Ilmu Pengetahuan Sosial 6 untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Kelas VI. Jakarta: Pusat PerbukuanDepdiknas. Suryadi, A., & Idris, C. 2004. Kesetaraan Jender dalam Bidang Pendidikan. Bandung: Genesindo.
288
Thirteen Ed Online. 2004. Constructivism as a Paradigm for Teaching and Learning. [On Line] (http://www.thirteen.org/edonline/co ncept2class/constructivism/ diakses 1 Mei 2013). Trianita, L.N., Leo, H., Tiomahita, I., & Sinaga, P. 2012. Strategi Kebudayaan dalam Pendidikan Karakter (Studi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire). Prosiding the 4th International Conference on Indonesian Studies Sanur, Bali, 9— 10 Februari 2012. Weber, M. 2005. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. London and New York: the Taylor & Francis eLibrary. Wenzeler, B.M. 2003. The Presentation of the Holocaust in German and English School History Textbooks – A Comparative Study. International Journal of Historical Learning, Teaching and Research, 3(2), 1007118. Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi (Suatu Kajian Konseptual dalam Konteks Pendidikan IPS). Disertasi, Bandung: PPS-UPI. Zakariya, N.M. 2011. Kegelisahan Intelektual Seorang Feminis: Telaah Pemikiran Fatima Mernissi tentang Hermeneutika Hadîts. Karsa: Jurnal Sosial dan Keislaman, 19(2), 120135. Zhang, Z., & Kenny, R.F. 2010. Learning in an Online Distance Education Course: Experiences of Three International Students. International
Pendas, Vol.07, No.03, 2014, 211-306 Review of Research in Open and Distance Learning, 11(1), 17-36.
289