PENDAPAT GURU FISIKA TERHADAP PENETAPAN KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL SE-SMA NEGERI DI KOTA PEKANBARU Oleh: Melani Risman , Fakhruddin**, Hendar Sudrajad**
[email protected] *
Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau 2012/2013 ABSTRACT This research purposed to determined the opinions of physics‟s teacher about minimum completeness criteria at Senior High School Pekanbaru. The method which is used in this research is survey method. There are 42 physics teachers‟ as the sample in this research. This research used closing question and techniques of data collection using questionnaires with Likert Scale. Validity test of questionnaire consisted of 2 contents: content validity and construct validity, and Alpha Cronbach used as the formula for reliability test. Questionnaires distributed are qualified valid and reliable. Based on results of data analyzed it can be concluded that according to physics teachers‟ opinion about determination and decision minimum completeness criteria is still not so good. It prove that the physics teachers‟ understanding about decision minimum completeness criteria (20,30%) with not good enough category. The determination of minimum completeness criteria based on complectcity (26,30%), the support items decision minimum completeness criteria (28%), and based on students‟ intake (22,20%) average (25,50%) which is not good enough category. Also the influence of school organitation structure which is not good enough category.
Keywords: Teacher Opinion, Decision Minimum Completeness Criteria, Determination of Minimum Completeness Criteria
* Mahasiswa Program Studi Pendidikan Fiska Universitas Riau ** Dosen Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Riau.
1
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapat guru fisika terhadap penetapan kriteria ketuntasan minimal se-SMA Negeri di kota Pekanbaru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Jumlah sampel penelitian ini 42 orang guru fisika. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuisioner yang bersifat tertutup. Teknik pengumpulan data menggunakan kuisioner dengan skala likert. Uji validitas kuisioner terdiri atas validitas isi dan validitas konstruk, serta uji reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach. Kuisioner yang disebar telah memenuhi syarat valid dan reliabel. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan menurut pendapat guru fisika terhadap penetapan dan penetuan kriteria ketuntasan minimal masih kurang baik. Terlihat bahwa pendapat terhadap penetapan kriteria ketuntasan minimal (20,30%) dengan kategori kurang baik. Pada penentuan kriteria ketuntasan minimal (KKM) berdasarkan kompleksitas (26,30 %), daya dukung penentuan kriteria ketuntasan minimal (KKM) (28%), dan berdasarkan intake peserta didik (22,20 %) sebesar (25,50%) dengan kategori kurang baik. Serta pengaruh struktur organisasi sekolah sebesar (25%) dengan kategori kurang baik. Kata kunci : Pendapat Guru, Penetapan KKM, Penentuan KKM
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu usaha untuk mengembangkan sumber daya manusia (Depdiknas, 2003). Mutu pendidikan merupakan prioritas utama dalam melaksanakan pendidikan. Guru salah satu faktor penentu keberhasilan peserta didik dalam proses dan hasil belajar mengajar yang berkualitas. Perbaikan kualitas pendidikan harus berpangkal dari guru dan berujung pula pada guru (Mulyasa, 2005). Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Menurut Roestiyah (1986), proses belajar mengajar adalah suatu kesatuan dimana guru dan peserta didik dapat berinteraksi satu sama lainnya. Untuk ini, guru diharapkan dapat mencapai proses yang mengarahkan peserta didik untuk melakukan aktivitas belajar yang baik. Guru salah satu faktor penentu keberhasilan peserta didik dalam proses dan hasil belajar mengajar yang berkualitas. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas. Dengan kata lain, perbaikan kualitas pendidikan harus berpangkal dari guru dan berujung pula pada guru (Mulyasa, 2005).
2
Menurut Kusnandar (2009), “Guru adalah tenaga pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”. Mutu pendidikan merupakan prioritas utama dalam melaksanakan pendidikan. Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya misalnya melalui penataran guru-guru, perbaikan kurikulum, pengadaan alat-alat laboratorium dan sebagainya. Semua dilakukan sebagai usaha penyesuaian terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang begitu pesat. Oleh karena itu guru dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan tersebut (Suderadjat, 2005). Dalam rangka membantu peserta didik mencapai standar isi (Permendiknas No. 22 tahun 2006) dan standar kompetensi lulusan (Permendiknas No. 23 tahun 2006), pelaksanaan atau proses pembelajaran perlu diusahakan agar interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan kesempatan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mencapai tujuan dan prinsip-prinsip pembelajaran tersebut pasti dijumpai adanya peserta didik yang mengalami kesulitan atau masalah belajar. Hasil belajar merupakan penilaian pendidikan tentang kemajuan setelah melaksanakan aktivitas belajar atau merupakan akibat dari kegiatan pembelajaran (Djamarah, 2006). Tinggi rendahnya hasil belajar yang diperoleh peserta didik juga dapat dilihat dari skor yang diperoleh dan kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah melalui proses pembelajaran. Hasil belajar peserta didik dapat ditentukan oleh proses pembelajaran. Proses pembelajaran dibutuhkan sebuah penilaian guru terhadap muridnya. Menurut Suharsimi Arikunto (2009), istilah “kriteria” dalam penilaian sering juga dikenal dengan kata “tolak ukur” atau “standar” adalah sesuatu yang digunakan sebagai patokan atau batas minimal untuk sesuatu yang diukur”. Menurut Suharsimi Arikunto (2009), “Penetapan KKM yaitu penetapan nilai yang dicapai peserta didik sama dengan atau lebih besar dari KKM, maka peserta didik tersebut dinyatakan berhasil dan bila nilai peserta didik dibawah KKM, maka ia dinyatakan tidak berhasil”. Berdasarkan hasil bimtek KTSP tahun 2009, masih banyak masalah yang ditemukan berkenaan dengan penetapan kriteria ketuntasan minimal oleh satuan pendidikan, diantaranya masih banyak guru yang belum mengetahui bahwa KKM yang disusun sudah benar atau belum dan sejumlah guru belum memahami secara benar tentang penerapan kriteria kompleksitas, daya dukung, dan intake siswa dalam penyusunan KKM, beberapa guru menetapkan KKM tanpa proses analisis, penetapan KKM berdasarkan pengalaman guru mengajar dan atau kesepakatan dengan guru mata pelajaran sejenis (Direktorat Pembinaan SMA, 2010). Kriteria dan mekanisme penetapan ketuntasan minimal per mata pelajaran yang ditetapkan oleh sekolah dengan mempertimbangkan aspek daya dukung 3
salah satunya. Guru harus menetapkan ketuntasan belajar dengan mendasarkan pada peraturan yang berlaku, yaitu peraturan yang dikeluarkan pemerintah pusat berlaku secara nasional dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah serta mempertimbangkan kondisi nyata yang ada di sekolah berdasarkan pada kualitas input peserta didik dan kondisi sumber daya sekolah. Padahal guru merupakan titik sentral dari peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas proses belajar mengajar. Tetapi, mengapa peningkatan profesionalisme guru tidak dilakukan secara sungguh-sungguh. Seringkali proses pendidikan tidak berjalan dengan baik, setiap guru senantiasa mengharapkan peserta didiknya dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan, namun pada kenyataannya beberapa peserta didik menunjukkan hasil belajar yang rendah, meskipun telah diusahakan sebaik-baiknya. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya hasil belajar peserta didik yang belum mencapai kriteria ketuntasan minimal belajar atau KKM yang telah ditetapkan. Namun dalam prakteknya, menurut pengalaman peneliti pada praktek pengalaman lapangan (PPL), meskipun kriteria ketuntasan minimal atau KKM tersebut termasuk tinggi, peserta didik merasa kurang peduli dengan belajar mereka yang seharusnya mereka belajar lebih giat untuk menguasai dan mencapai ketuntasan dalam proses pembelajaran yang termasuk tinggi tersebut. Guru pun kewalahan dengan KKM yang tinggi, sehingga apabila peserta didik yang belum mencapai ketuntasan dalam belajar setelah diadakan nya perbaikan, dinilai dari tuntas atau tidaknya peserta didik tersebut, peserta didik akan mendapat kan nilai sesuai dengan KKM yang berlaku. Tanpa menguasai dengan baik pelajaran yang diberikan kepadanya. Menurut peneliti hal seperti ini menjadi kurang bagus terhadap proses pembelajaran dan prestasi belajar peserta didik, serta mutu dari pendidikan pun tidak bagus. Di sisi lain, jika KKM yang ditentukan terlalu tinggi bagi siswa maka ketidaktuntasan belajar siswa pun menjadi tinggi. Idealnya guru harus memberikan pembelajaran remedial sampai siswa yang belum mencapai nilai minimal dapat mencapai nilai minimal. Namun, ini tidak dilakukan secara benar. Seringkali siswa cukup mendapatkan ujian ulang satu kali, kemudian mendapatkan nilai ninimal sesuai KKM. Pada umumnya nilai yang tinggi ( ≥75 ) mengindikasikan keberhasilan pembelajaran, tetapi kenyataannya tidak demikian. Orang tua menganggap nilai tersebut sudah sangat memuaskan, padahal nilai tersebut merupakan nilai terendah yang diakibatkan oleh criteria ketuntasan minimal (KKM) yang tinggi. Akhirnya KKM menjadi dilema, satu sisi sebuah sekolah harus memenuhi standarisasi mutu sebagaimana sekolah lainnya. Semua sekolah pasti tidak ingin diberi lebel „berkualitas rendah‟, hanya karena KKM yang ditetapkan masih jauh lebih rendah dibanding sekolah lain Di sisi lain, sebuah sekolah yang secara kondisional masih perlu pembenahan, harus berani jujur menetapkan KKM yang sesuai dengan hasil analisis. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : “Pendapat Guru Fisika Terhadap Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal Se-Sma Negeri Di Kota Pekanbaru”. 4
METODE PENELITIAN Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA Negeri Kota Pekanbaru. Waktu penelitian dari April sampai Juni 2013 tahun ajaran 2012/2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan metode survey. Sampel dalam penelitian ini adalah 42 guru fisika di SMA Negeri Pekanbaru. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner yang bersifat tertutup, yaitu kuisioner yang telah dilengkapi dengan alternatif jawaban dan responden tinggal memilih jawaban yang telah disediakan. Adapun langkah-langkah pengembangan kuisioner yang menjadi instrumen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi variabel/indikator kuisioner pelaksanaan program KKM. Berdasarkan literatur dan kajian pustaka yang relevan, maka ditetapkan indikator instrumen penelitian ini sebagai berikut : a. Demografi guru b. Pemahaman guru terhadap KKM c. Penentuan KKM d. Pengaruh Struktur Organisasi Sekolah 2. Menjabarkan butir kuisioner. 3. Uji Validitas Instrumen. Uji validitas instrumen bertujuan untuk mengukur kualitas instrumen yang digunakan dan menunjukkan tingkat kevaliditasan atau kesahihan instrumen. Instrumen yang valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2012). Validitas instrumen terdiri dari validitas isi (content validity) yang berkenaan dengan isi dan format dari istrumen. Serta validitas konstruk (construct validity). Kategori penilaian kuisioner oleh validator menggunakan pedoman yang ditentukan pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori penilaian kuisioner No. Kategori Skor 1. Sangat Setuju 4 2. Setuju 3 3. Kurang Setuju 2 4. Tidak Setuju 1 (Sugiyono, 2012) Model skala yang digunakan pada kuisioner adalah menggunakan skala Likert. Instrumen penelitian yang menggunakan skala Likert dapat dibuat dalam bentuk checklist ataupun pilihan ganda (Sugiyono, 2012).
5
Tabel 2. Model skala penilaian kuisioner No. 1. 2. 3. 4. (Sugiyono, 2012)
Kategori
Skor
Selalu Sering Jarang Tidak Pernah
4 3 2 1
Analisis data hasil validasi menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menjumlahkan skor tiap item kuisioner validasi. 2. Mencari skor rata-rata tiap item kuisioner validasi. 3. Menentukan kategori tiap item kuisioner sesuai tabel 5. 4. Menjumlahkan skor tiap indikator kuisioner validasi. 5. Mencari skor rata-rata tiap indikator kuisioner validasi. 6. Mencari skor rata-rata keseluruhan kuisioner validasi. 7.Menentukan kategori skor rata-rata indikator berdasarkan Tabel 3 dengan menggunakan skala Likert. Tabel 3. Kategori Validasi Kuisioner Skor Rata-rata 1,0 ≤ x < 1,75 1,75 ≤ x < 2,50 2,50 ≤ x < 3,25 3,25 ≤ x ≤ 4,0 (Sugiyono, 2012)
Kategori Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Untuk menentukan kategori validasi per item pertanyaan digunakan rumus : …………………………..……………(1) Untuk menentukan skor rata-rata validasi per indikator digunakan rumus : ……….(2) 4. Uji Reliabilitas Instrumen. Uji reliabilitas ditujukan untuk melihat seberapa besar hasil pengukuran dapat dipercaya. Tinggi rendahnya reliabilitas instrumen digambarkan melalui koefisien reliabilitas dalam suatu angka. Teknik yang digunakan untuk mendapatkan konsistensi dari alat ukur in, yaitu teknik Alpha Cronbach. Rumus koefisien reliabilitas Alpha Cronbach : …………………………………………………………..(3) 6
Keterangan : k = jumlah item
Uji reliabilitas instrumen dilakukan secara internal consistency diukur berdasarkan skala Alpha Cronbach 0 sampai 1. Suatu kuisioner dikatakan reliable jika nilai Alpha Cronbach = 0,60 (Sarjono, 2011). Jika skala itu dikelompokkan ke dalam lima kelas dengan range yang sama, maka ukuran kemantapan alpha dapat di interpretasikan sebagai berikut : a. Nilai Alpha Cronbach 0,00 < r ≤ 0,20, berarti kurang reliabel. b. Nilai Alpha Cronbach 0,20 < r ≤ 0,40, berarti agak reliabel. c. Nilai Alpha Cronbach 0,40 < r ≤ 0,60, berarti cukup reliabel. d. Nilai Alpha Cronbach 0,60 < r ≤ 0,80, berarti reliabel. e. Nilai Alpha Cronbach 0,80 < r ≤ 1,00, berarti sangat reliable (Triton dalam Mekanisari, 2009). Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuisioner. Angket kuisioner ini akan disebarkan kepada guru Fisika yang mengajar se-SMA Negeri di kota Pekanbaru. Kemudian setelah kuisioner diisi oleh responden, kemudian peneliti akan mengumpulkan atau mengambil kembali kuisioner tersebut untuk dianalisis. Untuk analisis data pada penelitian survey ini adalah sebagai berikut : 1. Memasukkan setiap item pertanyaan terhadap jawaban yang diberikan oleh responden ke dalam tabel sesuai kategori validasi yang ditetapkan. 2. Menghitung tiap item data dari responden angket kuisioner terhadap masingmasing indikator dalam bentuk persentase rumus : ……………………………………………………………(4) Keterangan : f = frekuensi yang sedang dicari persentasenya. N = Number of Cases (jumlah frekuensi/banyaknya individu). P = angka persentase (Sudijono, 2009). Untuk menafsirkan banyaknya persentase yang diperoleh digunakan kategori sebagai berikut : Tabel 4. Kategori Pemahaman Responden No. 1. 2. 3. (Arikunto, 1996).
Kategori
Persentase
Baik Cukup Baik Kurang Baik
>75% 60%-75% <60% 7
3. Mendeskripsikan tiap item pernyataan data responden angket kuisioner terhadap masing-masing indikator. 4. Menyimpulkan data responden tiap indikator untuk menjawab rumusan masalah pada penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pendapat guru fisika terhadap penetapan kriteria ketuntasan minimal di SMA Negeri di Kota Pekanbaru. Sebelum kuisioner disebar kepada responden, terlebih dahulu dilakukan uji sebagai berikut : 1. Uji Validitas Instrumen. Uji validitas instrumen bertujuan untuk mengukur kualitas instrumen yang digunakan dan menunjukkan tingkat kevaliditasan atau kesahihan instrumen. Instrumen yang valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2012). Validasi dilakukan sebanyak dua kali. Validasi tahap pertama dilakukan secara panel. Hasil dari validasi tahap pertama menunjukkan bahwa terdapat item instrumen yang belum valid. Sehingga dilakukan validasi tahap kedua dengan memperbaiki item-item instrument tersebut, validasi ini dilakukan secara diskusi mandiri (professional judgement) sampai instrument tersebut dinyatakan valid. Validitas instrumen divalidasi oleh tiga orang dosen Program Studi Pendidikan Fisika PMIPA FKIP Universitas Riau. Setelah dilakukan validasi oleh validator (professional judgement), item pernyataan semula berjumlah 51 item berkurang, sehingga item pernyataan yang telah valid berjumlah 50 item pernyataan. Dengan perolehan skor rata-rata untuk masing-masing indikator adalah sebagai berikut : Tabel 5. Hasil Validasi Kuisioner No.
Indikator
1. 2. 3. 4.
Demografi Guru Pemahaman Guru Penentuan KKM Pengaruh Organisasi Sekolah
Rata-rata Skor Validasi 3,7 3,4 3,3 3,3
Kategori Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi
Dari setiap indikator kuisioner ini diperoleh skor rata-rata 3,3 sampai 3,7. Skor tersebut menunjukkan bahwa validitas instrumen sangat tinggi. 2. Uji Reliabilitas. Uji reliabilitas ditujukan untuk melihat seberapa besar hasil pengukuran dapat dipercaya. Tinggi rendahnya reliabilitas instrumen digambarkan melalui 8
koefisien reliabilitas dalam suatu angka. Teknik yang digunakan untuk mendapatkan konsistensi dari alat ukur in, yaitu teknik Alpha Cronbach. Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan bantuan program SPSS Portable PASW Statistics 17. Reliabilitas yang diperoleh dari hasil uji coba kuisioner pendapat guru fisika terhadap penetapan KKM adalah sebesar 0,728 yang berarti kuisioner ini reliabel. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada guru fisika SMA Negeri di Kota Pekanbaru, maka diperoleh beberapa informasi sebagai berikut : 1. Demografi guru Terdapat 28,57% responden tidak pernah mengikuti pelatihan cara menentukan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang baik dan benar. Serta sebesar 50% responden yang mengikuti pelatihan KKM dengan intensitas responden mengikuti pelatihan KKM sebanyak 1-2 kali yang masih kurang. 2. Pemahaman guru terhadap KKM Terlihat bahwa pada masing-masing indikator ini pemahaman guru terhadap rambu-rambu penetapan kriteria ketuntasan minimal sebanyak (22,80%), pemahaman guru terhadap fungsi KKM (29,14%), pemahaman guru terhadap prinsip penetapan KKM (19,85%), dan pemahaman guru terhadap langkahlangkah penetapan KKM (9,32%). 3. Penentuan KKM Persentase masing-masing indikator, pemahaman responden dalam menentukan KKM. Penentuan kriteria ketuntasan minimal (KKM) berdasarkan kompleksitas sebanyak (26,30 %), berdasarkan daya dukung penentuan kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar (28%), dan berdasarkan intake peserta didik (22,20 %). 4. Pengaruh Struktur Organisasi Sekolah Masih kurangnya peran kepala sekolah serta struktur organisasinya dalam penetapan kriteria ketuntasan minimal (KKM). Terlihat bahwa pengaruh struktur organisasi sekolah sebesar (21,22%) dalam memberikan arahan teknis tentang penetapan KKM. Kemudian, partisipasi kepala sekolah dalam penentuan kriteria ketuntasan minimal sebesar (22,35%). Sedangkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan, disahkan oleh Kepala Sekolah, keseluruhan jawaban responden sebesar (30,30%). Kriteria ketuntasan minimal yang telah ditetapkan oleh guru akan diperiksa oleh kepala sekolah atau wakil bidang kurikulum dan memberikan masukan untuk perbaikan, responden menjawab sebesar (26,14%).
9
KESIMPULAN DAN SARAN Dari informasi yang diperoleh dapat disimpulkan menurut pendapat guru fisika terhadap penetapan kriteria ketuntasan minimal bahwa pemahaman guru terhadap penetapan dan penentuan kriteria ketuntasan minimal di SMA Negeri sekota Pekanbaru, masih kurangnya perhatian, arahan, motivasi dan keikut sertaan kepala sekolah sebesar (23,60%) dengan kategori kurang baik. Pada penelitian ini, peneliti hanya meneliti pendapat guru fisika terhadap penetapan kriteria ketuntasan minimal (KKM) di SMA Negeri se-kota Pekanbaru yang berjumlah 42 orang guru fisika. Untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya agar dapat meneliti pendapat guru yang cakupannya lebih luas serta lebih spesifik lagi.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi., 1996, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta. Arikunto, Suharsimi., 2009. Evaluasi Program Pendidikan (Pedoman Teoritis Praktis Bagi peserta didik dan Praktisi Pendidikan). Bumi Aksara, Jakarta. Depdiknas, 2003, Standar Kompetensi Mata Pelajaran IPA fisika SMA. Depdiknas, Jakarta. Direktorat Pembinaan SMA, 2010, Panduan Penetapan KKM, Depdiknas, Jakarta. Djamarah, S.B., 2006, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta. Kusnandar. 2009. Guru Profesional Implemetasi KTSP dan Sukses Dalam Sertifikasi Guru. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mekanisari, N., 2009. Identifikasi Risiko, Skripsi, Fakultas Teknik UI, Jakarta (tidak diterbitkan). Mulyasa, E., 2005. Menjadi Guru Profesional, Rosdakarya, Bandung. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan. Roestiyah, N. K., 1986, Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem, Bina Aksara, Jakarta. Sarjono, Haryadi dan Winda Julianita., 2011, SPSS vs LISREL, Salemba Empat, Jakarta. Suderadjat, Hari, 2005, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Cipta Lekas Garafika, Bandung. Sudijono, Anas. 2009. Pengantar Statistik Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
10