I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Itik merupakan ternak unggas penghasil daging dan telur yang cukup
potensial disamping ayam. Ternak itik disebut juga sebagai unggas air, karena sebagian hidupnya dilakukan ditempat berair. Hal ini ditunjukkan dari struktur fisik seperti selaput jari dan paruh yang lebar dan panjang. Selain bentuk fisik dapat juga dilihat dari populasinya itik kebanyakan berada di rawa-rawa, persawahan, muara sungai. Daerah-daerah seperti ini dimanfaatkan oleh itik menjadi tempat bermain dan mencari makan. Umumnya, itik masih dipelihara secara tradisional dengan pengembalaan. Seiring dengan semakin sempitnya areal penggembalaan, kemudian permintaan daging dan telur itik yang semakin meningkat maka pola pemeliharaan mulai berubah dari sistem tradisional ke sistem intensif dengan cara dikandangkan. Itik tidak lagi digembalakan lagi di sawah untuk mencari makanan sendiri, tetapi pakan dan minum disediakan dalam kandang. Akses kehidupannya ditempat berair dibatasi, bahkan tidak difasilitasi. kondisi ini tentunya akan berpengaruh terhadap proses fisiologis. Akses ditempat berair bagi itik punya peran sangat penting, diantaranya sebagai termoregulator dan dapat mengalami stress panas apabila tidak cukup air untuk membasahi tubuhnya (Rodenburg, 2005). Stress panas pada ternak akan mempengaruhi keseimbangan elektrolit dan mempengaruhi asam basa dalam cairan tubuh. Keseimbangan elektrolit cairan tubuh menjadi terganggu, kondisi ini dapat menghambat pertumbuhan itik, dan dapat mengganggu proses pembentukan kerabang telur pada itik periode bertelur.
2 Jaringan hati merupakan organ yang berperan penting dalam metabolisme lipid dan protein. Metabolisme biomolekul saling berinteraksi, dapat saling menunjang dan menghambat. Aktivitas metabolisme lipid (kolestrol, lemak) dan protein didalam sel-sel jaringan hati dapat menjadi indikator pertumbuhan jaringan otot dan produksi telur. Berdasarkan uraian diatas penulis tetarik untuk melakukan penelitian mengenai ‘’Kadar Protein dan Lemak Hati Itik pada Imbangan Elektrolit Ransum yang Dipelihara dengan Kondisi Minim Air ’’.
1.2.
Identifikasi Masalah 1. Adakah pengaruh imbangan elektrolit terhadap kadar protein dan lemak hati itik. 2. Tingkat imbangan elektrolit berapa besar yang dapat memberikan pengaruh terbaik terhadap kadar protein dan lemak hati itik.
1.3.
Maksud dan Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh imbangan elektrolit terhadap kadar protein dan lemak hati itik. 2. Untuk mengetahui tingkat imbangan elektrolit yang dapat memberikan pengaruh terbaik terhadap kadar protein dan lemak hati itik.
3 1.4.
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian diharapkan dapat dijadikan sumber informasi tentang
pemberian imbangan elektrolit dalam ransum itik yang dipelihara intensif pada kondisi minim air untuk menghasilkan produk yang berkualitas.
1.5.
Kerangka Pemikiran Ternak itik disebut juga sebagai unggas air, karena sebagian hidupnya
dilakukan ditempat berair. Hal ini ditunjukkan dari struktur fisik seperti selaput jari dan paruh yang lebar dan panjang. Menurut Appleby dkk (1994) itik adalah unggas sangat berorientasi pada air dan membutuhkan akses ke air untuk berenang. Secara naluri itik sebagai unggas air, menunjukkan preferensi yang sangat besar terhadap lingkungan air terbuka dan menggunakan air untuk mencari makan, minum, eksplorasi, dan excercise (Heyn, 2006). Industri peternakan itik yang dipelihara secara intensif, akses air hanya terbatas pada air yang berada di tempat air minum seperti nipple. Secara naluriah itik yang sangat berorientasi pada air akan memasukan kepalanya ke dalam tempat air minum, untuk keperluan tersebut, pada beberapa peternakan mengatasinya menyemprotkan air diatas tubuh itik (Council of Erope, 1999). Tanpa akses ke perairan terbuka, bebek dapat menunjukkan perilaku abnormal seperti kepala gemetar dan bebek juga menggunakan air untuk thermoregulasi sehingga dapat menderita stres panas bila tidak ada air yang cukup untuk membasahi tubuhnya (Rodenburg dkk., 2005). Stres panas pada ternak akan mempengaruhi keseimbangan elektrolit dan keseimbangan asam basa dalam cairan tubuh. Stres panas dapat meningkatkan kecepatan respirasi, dalam upaya melepaskan panas tubuh, proses ini dikenal
4 dengan istilah panting. CO2 dilepaskan pada saat panting, hal ini mendorong terjadinya alkalosis dalam cairan tubuh. Keseimbangan elektrolit cairan tubuh menjadi terganggu, kondisi ini dapat menghambat pertumbuhan itik, dan dapat mengganggu proses pertumbuhan kerabang telur pada itik periode bertelur. EL Hadi dan Sykes (1982), mengamati terjadinya alkalosis pernapasan. Panting mulai terjadi pada suhu lingkungan 350C, terjadi sedikit peningkatan pH darah (pH 7,55), ketika suhu lingkungan ditingkatkan pH darah meningkat menjadi 7,65. Upaya pemberian elektrolit melalui ransum maupun minuman dapat dilakukan untuk memperbaiki keseimbangan asam-basa. Protein dan lipid (termasuk lemak) merupakan komponen makromolekul yang penting bagi ternak termasuk itik. Protein dan lemak pada ternak itik, merupakan komponen penting dalam pembentukan atau sintesis yolk. Sintesis komponen ini semuanya terjadi didalam hati, perkusor protein yolk diangkut melalui darah dari sel-sel hati menuju ovary, kemudian sebagian protein yolk dibagi menjadi dua bagian yaitu lipovitelin (HDL) dan phosvitin. Globula-globula lemak yang terbentuk di yolk merupakan trigliserida yang diangkut ke ovary dalam bentuk β-lipoprotein. Pembentukan protein dan yolk tidak lepas dari estrogen, karena estrogen mempengaruhi produksi RNA yang diperlukan dalam sintesis protein dan lemak yolk di hati. Biosintesis protein dan lemak pada ternak itik tidak terlepas dari peranan keseimbangan cairan elektrolit.
Kondisi panas atau pengeluaran air yang
berlebihan karena kepanasan atau dalam transportasi atau ketersedian dalam pakan dan air minum yang rendah menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit. Raussan, dkk., (2008), melaporkan bahwa pemberian kombinasi asam ascorbat, asetilicylic acid, KCL, NaHCO3 melalui air minum dapat mengurangi dampak
5 negatif pada ayam broiler yang mengalami stres panas. Keseimbangan elektrolit secara sederhana digambarkan oleh Na+K-Cl dalam mEq/kg ransum, untuk fungsi fisiologis normal pada imbangan elektrolit 250 mEq/kg. Mongin (1980), bahwa ketika keseimbangan elektrolit dalam ransum lebih kecil atau lebih besar dari 250 mEq/kg dapat mengakibatkan acidosis atau alkalosis yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan. Ravindran dkk. (2008) telah melakukan studi terhadap pengaruh imbangan elektrolit dari mulai 150, 225, 300 dan 375 mEq/kg ransum ayam broiler, penurunan nilai energi metabolis, kecernaan N ransum, dan pertambahan bobot badan yang rendah ditunjukkan pada imbangan elektrolit 375 mEq/kg ransum. Penurunan kecernaan asam amino mulai terjadi pada imbangan elektrolit 300, dan 375 mEq/kg ransum. Peningkatan keseimbagan elektrolit juga berpengaruh terhadap kadar air ekskreta, kadar air eskreta meningkat seiring meningkatnya keseimbangan elektrolit. Konsentrasi elektrolit sangat penting dijaga keseimbangannya dalam rangka mempertahankan tekanan osmotik cairan tubuh, baik cairan intrasellular maupun cairan ekstrasellular sehingga osmolaritas membran sel dapat dipertahankan normal. Sumber elektrolit bagi ternak berasal dari air minum dan pakan, namun apabila konsentrasi elektrolit dalam air minum dan pakan berkekurangan maka untuk mempertahankan osmolaritas cairan tubuh maka proporsi glukosa, lipid dan protein (khususnya albumin) akan meningkat dalam darah untuk menjaga tekanan osmotik tersebut. Namun demikian, jika imbangan elektrolit tinggi yang dikonsumsi oleh itik baik melalui pakan dan air minum, kelebihan elektrolit akan dikeluarkan melalui feces dan urin.
Ini menunjukkan bahwa keseimbangan elektrolit merupakan
6 manifestasi homoestasis yang harus dijaga terus menerus akan keberlangsungan metabolisme dapat terjaga dengan baik. Mengenai sumber elektrolit, diketahui bahwa selain mineral, beberapa makromolekul berperan sebagai elektrolit antara lain protein, lemak, dan glukosa. Untuk menjaga keseimbangan elektrolit ini (baik yang berasal dari mineral maupun dari makromolekul), hormon dilaporkan memiliki peranan penting untuk menjaga homoestasis ini. Andi Mushawwir dan D. Latipudin (2012) mengemukakan selain peran glukosa, mekanisme homeostatis menjadi alternatif penting bagi ternak yang mengalami cekaman keseimbangan elektolit, melalui peran hormonal antara lain ADH (anti deuretik hormone) dan aldosteron dari tubulus ginjal yang diinduksi oleh angiotensin dari sel-sel hati. Aldosteron dan ADH keduanya berperan menjaga retensi Na, Cl, dan K di tubulus ginjal dan reabsorbsi air di usus besar. Terkait dengan perlunya menjaga keseimbangan elektrolit, maka kekurangan elektrolit yang bersumber dari pakan dapat digantikan perannya dengan mengaktifkan lebih banyak elektrolit dari molekul-molekul nutrien. Optimalisasi peran
makro/mikromolekul
ditempuh
melalui
peningkatan
metabolisme
karbohidrat melalui jalur gluconeogenesis yaitu mekanisme sintesis glukosa dari precursor asam-asam amino (protein) dan lemak di dalam sitoplasma sel-sel hati. Selain mekanisme ini maka aktifitas lipogenesis juga akan meningkat untuk penyediaan asam-asam lemak dalam darah. Kekurangan elektrolit juga merangsang lebih banyak sekresi aldosterone dan ADH, kedua hormone ini adalah hormone peptide. Ini berarti bahwa banyak prekurson protein dari asam-asam nukleat sebagaian dialihkan untuk transkripsi protein di ribosom sel-sel hati untuk sintesis hormone angiontensin. Angiotensin
7 merupakan hormon pembawa signal kimiawi bagi nucleus sel dalam ginjal bagian glomerulosa untuk mensekresikan aldosterone. Berdasarkan uraian sebelumnya dapat ditetapkan hipotesis bahwa pemberian imbangan elektrolit pada ransum dibawah 250 mEq/kg menyebabkan penurunan kadar protein dan lemak hati, kadar protein dan lemak hati dipertahakan pada imbangan elektrolit yang lebih tinggi dalam ransum.
Waktu dan Lokasi Penelitian Bulan Juli sampai dengan Agustus 2014, di Kandang Unggas Universitas Padjadjaran serta analisis di Laboratorium Fisiologi Ternak dan Biokimia, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.