PENDAHULUAN
Latar Belakang
Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah satu penyebab utama gastroenteritis pada anjing. Infeksi Canine Parvovirus memiliki distribusi yang merata di sebagian besar wilayah di dunia dan masih menjadi ancaman yang serius bagi populasi anjing secara global, walaupun program vaksinasi atas virus ini telah berjalan selama bertahun-tahun (Panda et al., 2008). Dua tipe parvovirus patogenyang berbeda sekarang dikenal telah menginfeksi anjing yaitu CPV- 2 dan CPV-1 atau minute virus of canine (MVC). CPV-1 memiliki taksonomi genetik yang berbeda dan tidak berhubungan secara antigenetik dengan anggota genus Parvovirus yang lain yaitu CPV-2. CPV-1 pertama kali diidentifikasi pada tahun 1967 dari feses anjing normal, feses dengan anjing diare ringan, dari usus halus anakan anjing yang menderita enteritis ringan hingga fatal. Penelitian yang dilakukan secara eksperimental menunjukkan bahwa CPV-1 menyebabkan pneumonia ringan hingga parah dan enteritis pada neonatus serta resorpsi embrio karena kematian fetus pada induk anjing pada periode gestasi antara 25 hingga 35 hari (Pratelli et al.,1999). Parvovirus Canine 2 (CPV-2) telah dianggap menjadi patogen penting pada anjing
domestik dan liar dan telah menyebar di seluruh dunia sejak
1
kemunculannya tahun 1978. Telah dilaporkan dari Asia, Australia, New Zealand, Amerika dan Eropa (Pratelli et al., 1999) CPV-2 merupakan agen penyebab enteritis hemoragik akut dan miokarditis pada anjing, virus ini adalah salah satu virus patogen penting dengan tingkat morbiditas yang tinggi (100%) dan angka mortalitas hingga 10% pada anjing dewasa dan 91% pada anak anjing. Kondisi penyakit menjadi rumit karena munculnya sejumlah varian yakni CPV-2a, CPV-2b dan CPV-2c selama bertahuntahun (Pratelli et al., 1999) Struktur virion Parvovirus adalah virus yang tidak beramplop (nonenveloped) memiliki ukuran diameter 25 nm, mengandung DNA linear untai tunggal dan simetri ikosahedral.Virion Parvovirus terdiri dari 70 hingga 80% protein dengan prosentase sisanya adalah DNA. Virion yang infektif mampu bertahan beberapa minggu hingga beberapa bulan pada suhu ruang dan beberapa tahun pada suhu 4ÂșC. Ukuran Genom CPV-2 adalah sekitar 5,3 Kb
dan mengkodekan dua
protein nonstruktural (NS1 dan NS2) dan dua protein struktural (VP1 dan VP2). Protein VP1 dan VP2, membentuk kapsid CPV-2, terdiri dari 60 molekul protein dari kombinasi dua kapsid protein (Cotmore dan Tatersall, 2007). Struktural protein VP2 merupakan komponen utama kapsid dan merupakan perubahan asam amino
hasil struktural protein dalam perubahan antigenik (Parrish et al.,
1988). Protein VP2 adalah penentu respon imun hospes dan mengandung situs antigenik utama. Situs antigenik pada VP2 digunakan untuk membedakan varian strain CPV-2(Parrish et al., 1991).
2
Infeksi CPV-2 telah muncul dan menjadi masalah pada anjing di seluruh dunia. Penyakit ini sangat menular dan menyebar dari anjing ke anjing melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan kotoran mereka. Akibat yang ditimbulkan oleh penyakit viral ini adalah penularan yang sangat cepat antara anjing penderita dan anjing yang sensitif terhadap penyakit ini, sehingga menimbulkan kerugian baik secara finansial maupun emosional terhadap peternak anjing maupun pemilik anjing (Decaro et al., 2005). Sifat infeksi CPV yang sangat cepat dan mudah menular antar anjing yang sensitif membuat diagnosa cepat sangatlah diperlukan untuk mengontrol penyakit dan menentukan ketepatan terapi penyakit. Diagnosa tentatif dari infeksi CPV dilakukan dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik berdasarkan gejala klinis. Namun,hal ini menjadi sulit karena gejala klinis utama yaitu gastroenteritis merupakan
gejala klinis yang umum dimiliki oleh penyakit enterik lainnya.
Selain itu diagnosa laboratoris juga dapat dilakukan dengan
melakukan
pemeriksaan hematologi, uji Hemaglutinasi-Inhibisi (HI) untuk mengetahui ada tidaknya antibodi pada serum yang diperoleh, uji antigen Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) pada feses anjing penderita dan metode molekuler menggunakan Polymerase Chain Reaction atau PCR (Sendow dan Syafriati, 2004; Decaro et al., 2005). Metode PCR telah diaplikasikan untuk mendeteksi beberapa virus yang kemudian dapat meneguhkan diagnosa suatu kasus penyakit infeksius secara lebih cepat, akurat dan spesifik. Pada kasus infeksi Canine Parvovirus, metode PCR telah banyak digunakan sebagai salah satu teknik diagnosa laboratoris secara luas.
3
Permasalahan Belum adanya data tipe CPV yang beredar dan tipe CPV yang banyak menginfeksi anjing di Indonesia merupakan permasalahan yang harus diteliti lebih lanjut. Metode diagnosis berbasis molekuler mempunyai beberapa keunggulan dalam hal kecepatan, sensifitas, dan spesifitasnya untuk mendiagnosis penyakit yang disebabkan
oleh virus (Gavin and Thomson, 2003). Berdasarkan hal
tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teknik diagnosa cepat berbasis PCR dengan menggunakan primer spesifik untuk gen penyandi protein VP-2 dan dapat dipergunakan untuk mendeteksi penentuan tipe virus CPV. Informasi mengenai peranan gen VP-2 pada CPV masih sangat terbatas sehingga perlu dikaji lebih mendalam. Selain itu minimnya literatur yang menggunakan sampel darah yang terinfeksi CPV sehingga dirasa perlu untuk meneliti lebih lanjut.
Keaslian Penelitian Uwatoko et al. (1994)melakukan amplifikasi gen VP2 menggunakan primer spesifik untuk
gen VP2 dari CPV, dengan teknik PCR
mengidentifikasi virus dari spesimen feses.
untuk
Pada penelitian tersebut juga
dilakukan identifikasi dengan ELISA dan kultur sel sebagai pembanding. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode PCR dapat mendeteksi secara dini keberadaan CPV, tetapi pada penelitian ini tidak dilakukan sekuensing.
4
Calderon et al. (2009)menggunakan tehnik PCR untuk mendeteksi DNA parvovirus anjing (CPV) dari 38 anal swab anjing domestik Argentina dengan gejala mirip penyakit parvovirus. Dari ke-38 sampel yang dianalisis terdapat sampel dengan CPV positif. Dari sampel ditemukan varian CPV2a, CPV2b dan CPV2c.Terjadi mutasi pada asam amino 426 dari gen VP2 (Asp426Glu), karakteristik varian CPV2c, yang awalnya diidentifikasi sebagai CPV2b. Tetapi tidak lakukan analisis untuk menentukan filogenetik tree. Di Cina, infeksi CPV yang pertama kali terlihat pada tahun 1982, namun belum ada informasi mengenai jenis antigen CPV yang berlaku di Cina pada saat sekarang. Dalam studi ini, penggunaan PCR untuk mengetahui strain parvovirus anjing dalam sampel feses yang dikumpulkan dari anjing yang diduga menderita parvovirus pada tahun 2006-2009. Dilakukan sekuensing dan RLFP tapi tidak dilakukan analisis filogenetik tree. Data menunjukkan bahwa tipe CPV adalah sebagian CPV2b, proporsi sangat rendah pada CPV-2a, tidak diketemukan CPV2c dan CPV-2 (Zhang et al., 2010). Pereira et al. (2000) di Brazil, infeksi CPV pertama kali diamati tahun 1979, namun, belum ada informasi mengenai jenis antigen CPV di Amerika Selatan. Dalam studi ini, penggunaan PCR untuk mengetahui strain parvovirus anjing di sampel feses yang dikumpulkan dari anjing dengan gejala parvovirus selama tahun 1980 sampai 1986 dan 1990 sampai 1995. Tapi tidak lakukan sekuensing. Data menunjukkan bahwa epidemi CPV di Brasil mengikuti pola yang sama diamati di Amerika Serikat dari munculnya CPV-2 yang diikuti oleh penggantian dengan varian CPV-2a dan 2b. Pada penelitian ini yang
5
dominanditemukan selama 1980 adalah CPV-2a, yang secara substansial digantikan oleh CPV-2b dari tahun 1990 sampai 1995. Veir et al. (2009) melakukan penelitian dengan tes kuantitatif (real-time PCR) menggunakan sampel darah anjing yang suspect CPV. Hasil penelitian ini dapat memberikan perkiraan terjadinya infeksi viral, yang dapat membantu membedakan karena proses vaksinasi atau infeksi alami.
Hoelzer et al. (2008) mengisolasi DNA dan melakukan sekuensing dari sampel feses anjing di USA, kemudian melakukan filogenetik tree dari FPV dan CPV. Kelas FPV dan CPV dipisahkan oleh 16 substitusi, sedangkan 7 substitusi memisahkan CPV-2 dari klas CPV-2a. Mayoritas penggantian ini (11 antara FPV dan CPV dan 5 antara CPV-2 dan CPV-2a) yang terletak di wilayah penyandi protein kapsid.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi adanyaCanine Parvovirus secara molekulerpada anjing yang didiagnosis dan mengkonfirmasi/ peneguhan hasil diagnosis berdasarkan gejala klinis dan hematologi, dengan mengamplifikasi gen VP2
menggunakan metode PCR.Penelitian ini juga bertujuan untuk
menentukan tipe CPV yang menginfeksi anjing di D.I Yogyakarta berdasar sekuen gen VP2 pada CPV.
6
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk membantu peneguhan diagnosa CPV pada pasien anjing yang diduga menderita CPV menggunakan PCR. Manfaat lain yang diharapkan dapat menentukan tipe CPV yang menginfeksi anjing di Yogyakarta dengan menggunakan metode diagnosa PCR dan sekuensing DNA.
7