1
PENDAHULUAN Kepercayaan diri berasal dari bahasa Inggris yakni self confidence yang artinya percaya pada kemampuan, kekuatan dan penilaian diri sendiri. Kepercayaan diri merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia karena sikap percaya diri ini akan membuat individu merasa optimis dan mampu untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya. (dalam Nisa, 2011). Bagi Hartono (1994) kepercayaan diri merupakan sikap individu yang dapat mempraktekkan dan berani menyatakan keinginannya maupun pendapatnya dengan baik kepada teman ataupun orang yang lebih tua darinya dan Hartono menyebutkan kepercayaan diri ini memiliki 9 aspek yaitu: (1) Optimis; (2) Kreatif dan Dinamis; (3) Harga Diri yang Positif; (4) Pikiran Positif; (5) Menghargai Orang Lain; (6) Bersikap Tenang dalam Persoalan; (7) Bertanggung Jawab; (8) Toleransi Terhadap Orang Lain; dan (9) Berkomuniasi dan Bersosialisasi. Maslow (dalam Nisa’, 2011) mengungkapkan bahwa kepercayaan diri merupakan modal dasar untuk mengembangkan atau aktualisasi diri (eksplorasi segala kemampuan dalam diri). Dengan percaya diri seseorang akan mampu mengenal dan memahami diri sendiri. Sementara itu, kurang percaya diri dapat menghambat pengembangan potensi diri. Jadi, orang yang kurang percaya diri akan menjadi seorang yang pesimis dalam menghadapi tantangan, takut dan ragu-ragu untuk menyampaikan gagasan, bimbang dalam menentukan pilihan dan sering membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Sebagian besar orang cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain tidak baik. Mereka akan memikirkan kelemahan dan keterbatasan yang mereka punya dan akhirnya menjauhkan mereka dari kemampuan atau kelebihan yang sebenarnya ada dalam diri mereka. Mereka tidak menikmati, menghargai diri, dan bangga terhadap diri sendiri pribadi. Kepercayaan diri dan harga diri harus berjalan seimbang. Orang-orang yang memiliki rasa percaya diri yang cukup lebih bisa menikmati dan menjalani kehidupannya. Ada seribu alasan mengapa mereka bisa menikmati hidup tetapi mungkin alasan yang paling tepat adalah karena mereka yakin akan kemampuan dan kelebihan akan diri sendiri dan itu menunjukkan kualitas mental yang bisa dipelajari dengan praktek sehari-sehari (Tracy, 2012). Mikessel dan Foster mengemukakan bahwa kepercayaan diri berkaitan erat dengan penampilan fisiknya. Berbagai usaha dilakukan untuk tampil menarik dan meyakinkan sehingga timbul rasa percaya diri dalam melakukan sesuatu. Penampilan yang baik sangat berperan serta dalam menentukan keberhasilan individu dan
2
memperkuat kepercayaan diri sehingga lebih mantap dalam menghadapi tugas atau pekerjaan (dalam Kartini, 2000). Dariyo (2003) juga mengatakan bahwa pada umumnya kaum wanita memunyai kepedulian yang lebih besar terhadap penampilan fisik dibandingkan kaum pria. Mereka selalu berupaya agar jangan sampai dirinya memiliki penampilan fisik yang jelek, seperti berbadan gemuk atau melampaui berat badan normal. Untuk itulah, segala cara mereka lakukan agar memiliki postur tubuh yang ramping sehingga dapat menarik perhatian lawan jenis. Penampilan bagi kaum wanita menjadi begitu penting karena hal tersebut merupakan salah satu faktor yang membentuk kepercayaan diri mereka. Tidak dapat disangkal bahwa semenjak usia dini wanita diajarkan untuk menganggap penampilan fisiknya sebagai salah satu faktor penting dalam menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri. Hal ini dapat dilihat dalam dongeng atau fairy tale semacam Cinderella atau Sleeping Beauty, yang sepertinya memberi pesan kepada anak-anak perempuan bahwa mereka harus cantik agar disukai. Mereka belajar bahwa hanya putri-putri cantik dan baiklah yang bisa mendapatkan pangeran tampan dan kaya. Sebaliknya jika tidak cantik dan tidak bersikap manis, mereka tidak bisa mendapatkannya. Hal ini diperkuat oleh sebuah studi yang menyatakan bahwa selama masa kanak-kanak, anak perempuan mendapat lebih banyak perhatian atas penampilannya dari pada anak laki-laki (Melliana, 2006). Membicarakan tentang penampilan fisik tentunya berkaitan erat dengan citra tubuh seseorang. Citra tubuh terdiri dari hubungan pribadi individu dengan tubuhnya sendiri yang mencakup persepsi, pikiran, perasaan, dan tindakan yang berhubungan dengan penampilan fisik yang dikonseptualisasikan terdiri dari empat dimensi, yaitu persepsi, kognisi, afeksi dan perilaku (Banfield & McCabe, 2002). Seperti yang dikatakan oleh Jersild (dalam Putri, 2008) bahwa tingkat citra tubuh individu digambarkan oleh seberapa jauh individu merasa puas terhadap bagian-bagian tubuhnya dan penampilan fisik secara keseluruhan. Perhatian terhadap penampilan fisik meliputi penilaian kehalusan wajah, kelangsingan tubuh, tinggi tubuh dan berat tubuh. Citra tubuh juga merupakan hal yang dipelajari. Proses pembelajaran citra tubuh ini sering kali dibentuk lebih banyak oleh orang lain di luar individu sendiri, yaitu seperti keluarga dan masyarakat
(Melliana, 2006). Menurut Centi (1997) citra tubuh
merupakan hal yang subjektif, menurut penglihatan diri sendiri. Keadaan dan penampilan diri pada gilirannya dipengaruhi oleh norma yang dijumpai atau dihadapi. Selain itu, Hadisuryabrata (dalam Putri, 2008) juga menyatakan bahwa citra tubuh
3
bersifat
subjektif,
sebab
hanya
didasarkan
pada
interpretasi
pribadi
tanpa
mempertimbangkan atau meneliti lebih jauh kenyataan sebenarnya. Mondong (2011) menjelaskan bahwa menurut masyarakat abad ke 21, wanita cantik adalah wanita yang berkulit putih mulus, bertubuh ramping, berpayudara besar padat dan berambut lurus. Definisi ini telah jauh mengalami pergeseran makna. Di era 80-an, wanita cantik diilustrasikan dengan tubuh yang montok (gemuk), kulit kecoklatan dan perutnya berlipat, seperti yang sering kita saksikan dalam film India. Begitupun wanita di pedalaman Papua, seorang dewi/ratu cantik yang disegani oleh warganya dari suatu kerajaan/ suku tertentu digambarkan oleh Abdoel Xarim (dalam Toer, 2001) sebagai berikut; rambutnya keriting, hidungnya ditusuk ke dalam, kupingnya berlobang besar, mulutnya tebal, perutnya buncit, perhiasannya terbuat dari gigi dan tulang anjing. Dulu ketika Indonesia masih dijajah, telah ada idealisasi wanita cantik seperti diceritakan oleh Abdoel Xarim,“ wanita cantik ideal adalah yang jarinya halus teratur rapat, kukunya bersih bersusun berkilat, tumitnya bundar, pinggangnya ramping dan dadanya bidang, rambutnya patah mayang ombak sibolga, hidungnya mancung raut Azia, giginya putih, bibirnya seperti sirih, kulitnya kuning kulitnya merah berembun, (Toer, 2001). Gambaran di atas tetap saja sudah terpengaruh oleh citra cantik wanita Eropa, atau cantik ala Barat abad ke-18. Dengan demikian terjadi pergeseran makna cantik antara wanita abad ke-18 dengan wanita cantik abad ke-21 dewasa ini. Wanita cantik abad ke-18 Indonesia, meski sangat dipengaruhi oleh definisi cantik ala wanita Eropa tapi masih bisa mempertahankan warna kulitnya yang melayu; kuning / sawo matang seperti kebanyakan kulit masyarakat Indonesia atau rambutnya yang berombak. Kini di Indonesia terdapat pergeseran lagi, kulitnya harus putih, rambutnya harus panjang lurus mengkilat tidak lagi berombak. Indonesia yang mayoritas warna kulitnya kuning/sawo matang menjadi sasaran empuk produk-produk pemutih. Para wanita di bombardir oleh iklan-iklan yang mendefinisikan cantik dan putih ala Eropa/barat (Toer, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Fahs (2011) pada perempuan yang berkulit sawo matang atau hitam, mereka memiliki banyak tuntutan tentang rambut/bulu pada tubuh mereka dan penilaian sosial terhadap rambut/bulu pada tubuh mereka dari pada wanita yang berkulit putih atau yang ekonominya menengah/atas. Perempuan yang memiliki kulit sawo matang/ hitam sering dinyatakan bahwa rambut/bulu pada tubuh
4
mereka sangat buruk dari pada wanita kulit putih. Penelitian yang dilakukan oleh Falconer dan Neville (2000), mengenai kepuasan citra tubuh orang Afrika Amerika, seperti yang diperkirakan, kepuasan warna kulit dikaitkan dengan kepuasan citra tubuh. Konsisten dengan penelitian sebelumnya oleh Bond dan Cash (dalam Falconer dan Neville, 2000) yang menunjukkan bahwa ketidakpuasan warna kulit yang juga dikaitkan dengan tingkat ketidakpuasan citra tubuh yang tinggi. Penelitian ini juga menemukan bahwa wanita kurang puas dengan warna kulit mereka, juga kurang puas dengan penampilan mereka secara keseluruhan. Kepuasan warna kulit juga secara signifikan terkait dengan penerimaan sosial, begitu juga dengan daerah tubuh tertentu (misalnya, rambut, pinggul, dan paha). Dalam penelitian-penelitian di atas yang menjadi subjek penelitian adalah perempuan AfrikaAmerika dengan salah satu ciri fisiknya adalah kulit berwarna sawo matang hingga coklat. Dalam penelitian ini yang akan menjadi subjek penelitian adalah mahasiswi Papua Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di Salatiga yang juga memiliki ciriciri fisik tertentu. Menurut Karoba (2011) salah satu aktivis Papua dalam tulisannya ia menjelaskan bahwa menurut UU Otsus, orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Pada umumnya berkulit sawo-matang (cokelat) dan berambut keriting. Adapun ciri-ciri fisik Ras Melanesia (Papua Melanosoid) yaitu berbadan kekar, ukuran badan tinggi dan pendek, warna kulit cokelat hingga hitam pekat, berambut hitam keriting, bentuk muka bulat/tebal, ukuran jari kaki dan tangan pendek. Mereka terdapat di Pulau Papua dan Kepulauan Melanesia (Waluya, 2007) . Fenomena yang terjadi di kalangan mahasiswi Papua di UKSW Salatiga, banyak dari mereka yang melakukan perubahan terhadap tubuhnya sendiri dengan cara meluruskan rambut, mencukur bulu kaki, merapikan alis mata, menggunakan behel (kawat gigi), menggunakan krim pemutih wajah, minum obat pelangsing atau obat penaikan berat badan, menggunakan berbagai macam alat make-up bahkan sampai kepada operasi bibir dengan alasan karena mereka ingin terlihat lebih indah dan rapi dari sebelumnya. Mereka juga menyatakan bahwa mereka merasa lebih nyaman dengan keadaan tubuh yang seperti sekarang ini (perubahan). Mendapatkan pujian dari orangorang di sekitarnya menjadikan mereka lebih percaya diri dan terus mempertahankan perilaku dalam mengubah beberapa anggota pada tubuh mereka yang akhirnya menjadi
5
kebiasaan. Didapati pula alasan bahwa mereka ingin sama seperti artis favorit atau idolanya serta mengikuti model atau style terbaru. Ada keluhan dan penyesalan namun lebih banyak yang merasa puas dan senang karena ada dorongan yang kuat dari dalam diri sendiri serta dari lingkungan sekitarnya. Dengan demikian kepercayaan diri mereka ditentukan oleh seberapa besar pujian yang mereka terima serta penerimaan dari lingkungan sekitar mereka atas kondisi fisik. Perilaku-perilaku dari setiap mahasiswi tersebut mencerminkan bahwa mereka memiliki citra tubuh yang negatif seperti yang dijelaskan oleh Heatherton dan Hebl (1998) bahwa gangguan citra tubuh seseorang itu dapat dilihat dari obsesi seseorang yang tidak lagi sehat dan berupaya untuk mengubah penampilan fisik melalui operasi kosmetik. Tidak hanya untuk mengubah bagian tertentu dari penampilan fisik tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis dan meningkatkan citra tubuh yang mereka anggap baik. Jenis yang paling umum dari operasi adalah sedot lemak, pembesaran payudara, operasi kelopak mata, operasi hidung, dan facelift. Seringkali seseorang merasa puas dengan bentuk-bentuk tubuh mereka yang berubah tetapi menjadi tidak puas dan sibuk dengan kekurangan fisik lainnya yang dirasakan. Willet (2007) juga berpendapat bahwa orang dengan citra tubuh yang negatif percaya bahwa jika mereka tidak terlihat indah, seperti kepribadian, kecerdasan, keterampilan sosial, atau kemampuan juga tidak ada yang sempurna. Mereka berpikir bahwa jika mereka memperbaiki tubuh mereka, semua masalah mereka yang lain akan hilang. Citra tubuh menjadi negatif bisa dipengaruhi oleh keluarga, teman, dan budaya. Sebagai contoh, saat ini adalah wanita yang langsing, mirip model atau artis. Masyarakat berpikir itu adalah norma, atau standar bagi semua orang. Pada akhirnya, tidak ada yang peduli apa tren saat ini, keindahan pada tubuh tidak ada lagi hubungannya dengan kenyataan. Pandangan ini menyebabkan orang untuk percaya bahwa semua pengalaman mereka dalam kehidupan dipengaruhi oleh penampilan saja. Namun tidak semua mahasiswi Papua di UKSW Salatiga ini melakukan perubahan pada tubuh mereka. Diantara sekian banyak mahasiswi Papua masih ada yang tetap mempertahankan citra tubuhnya seperti memiliki rambut keriting asli, tidak menggunakan make-up, tidak melakukan operasi pada bagian tubuh tertentu, mencukur alis, dan lain-lain. Meskipun demikian, mereka tetap menunjukkan rasa percaya diri karena mereka masih bisa melakukan aktifitas mereka tanpa ada rasa malu atau takut
6
yang berlebihan. Mereka merasa bangga dengan kondisi tubuh mereka sendiri yang juga menjadi identitas sebagai orang Papua. Dengan demikian tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan citra tubuh dengan kepercayaan diri Mahasiswi Papua di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. METODE PENELITIAN Partisipan Pada penelitian ini jumlah partisipan sebanyak 100 orang Mahasiswi Papua, yang berusia 18-25 tahun yang sedang melanjutkan studi di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan untuk menentukan subjek penelitian adalah Incidental Sampling, yaitu dengan mengambil subjek penelitian dari orang-orang yang kebetulan ditemui atau siapa saja yang ditemui pertama kali pada saat itu juga dan masuk dalam kategori populasi. Alasan pengambilan sample menggunakan metode ini karena populasi dalam penelitian ini dianggap homogen sehingga memenuhi syarat untuk menggunakan metode Incidental Sampling sebagai metode pengambilan sample. Metode Pengumpulan Data Pada penelitian ini digunakan skala citra tubuh yang diadopsi dari penelitian yang dilakukan oleh Banfield & McCabe (2002), dan skala kepercayaan diri diadopsi dari penelitian yang dilakukan oleh Nur’Asyah (2005). Skala Kepercayaan Diri Item skala kepercayaan diri sebelumnya berjumlah 43 item berkurang menjadi 21 item pernyataan. Validitas tersebut bergerak dari 0,354 – 0,520. Menurut Azwar (2012), validitas yang bergerak dari ≥ 0,30 dianggap memuaskan. Sedangkan untuk reliabilitas kepercayaan diri diukur dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach dari 21 item valid adalah 0,857 yang berarti skala kepercayaan diri memiliki tingkat reliabilitas dengan kategori baik.
Skala Citra Tubuh Item skala citra tubuh sebelumnya berjumlah 28 item berkurang menjadi 22 item pernyataan. Validitas tersebut bergerak dari 0,350 - 0,756. Menurut Azwar (2012),
7
validitas yang bergerak dari ≥ 0,30 dianggap memuaskan. Sedangkan reliabilitas kepercayaan diri diukur dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach dari 22 item valid adalah 0,929 yang berarti skala kepercayaan diri memiliki tingkat reliabilitas dengan kategori baik. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan untuk menguji dan membuktikan secara statistik hubungan antara kepercayaan diri dengan citra tubuh adalah analisis dari Sperman Rho yang berfungsi untuk mencari korelasi antara dua variabel (Sugiyono, 2005). Proses analisis ini akan dilakukan menggunakan bantuan program SPSS for Window versi 20.0. Proses pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan dibagikan kepada mahasiswi Papua yang kebetulan ditemui pada saat itu juga. HASIL PENELITIAN Hasil Analisis Deskriptif Hasil pengukuran deskriptif masing-masing variabel disajikan pada tabel berikut: Tabel I Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Variabel
a. Pengukuran Kepercayaan Diri Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel kepercayaan diri digunakan 5 kategori, oleh karena jumlah item valid sebanyak 21 item, banyaknya pilihan jawaban 4 maka skor tertinggi adalah 4 x 21 = 84 dan skor terendah adalah 1 x 21 = 21. Lebar interval dapat dihitung sebagai berikut:
i = 84 – 21
= 12,6
5
8
Dengan demikian tinggi rendahnya hasil pengukuran frekuensi variabel kepercayaan diri dapat dikategorikan sebagai berikut: Tabel II Statistik Deskriptif Kategorisasi Hasil Skala Kepercayaan Diri Nilai Kriteria Mean N Presentase 71,4 ≤ x < 84
Sangat Tinggi
6
6%
58,8≤ x < 71,4
Tinggi
59
59%
46,2≤ x < 58,8
Sedang
31
31%
33,6≤ x < 46,2
Rendah
3
3%
21 ≤ x < 33,6
Sangat Rendah
1
1%
100
100%
60,12
Jumlah SD = 7,985
Min = 32
Max = 77
Dari Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa 6% mahasiswi Papua memiliki skor kepercayaan diri pada kategori sangat tinggi, 59% berada pada kategori tinggi, 31% berada pada kategori sedang, 3% pada kategori rendah dan hanya 1% pada kategori sangat rendah. Secara umum kepercayaan diri mahasiswi papua berada pada kategori tinggi yang ditunjukkan oleh rata-rata sebesar 60,12 yang masuk dalam kategori tinggi. Skor yang diperoleh mahasiswi Papua bergerak dari skor minimum 32 sampai dengan skor maksimum sebesar 77 dengan standar deviasi 7,985. b. Pengukuran Citra Tubuh Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel citra tubuh digunakan 5 kategori, oleh karena jumlah item valid sebanyak 22 item, banyaknya pilihan jawaban 7 maka skor tertinggi adalah 7 x 22 = 154 dan skor terendah adalah 1 x 22 = 22. Lebar interval dapat dihitung sebagai berikut:
i = 154 – 22 5
= 26,4
Dengan demikian tinggi rendahnya hasil pengukuran frekuensi variabel kepercayaan diri dapat dikategorikan sebagai berikut: Tabel III Statistik Deskriptif Kategorisasi
9
Hasil Skala Citra Tubuh Nilai
Kriteria
127,6≤ x <154
Sangat Tinggi
101,2≤ x <127,6
Tinggi
74,8≤ x <101,2
Mean
N
Presentase
22
22%
41
41%
Sedang
22
22%
48,4 ≤ x <74,8
Rendah
14
14%
22≤ x <48,4
Sangat Rendah
1
1%
100
100%
106,36
Jumlah SD = 26,705
Min = 40
Max = 154
Dari Tabel 4.9 dapat dilihat bahwa 22% mahasiswi Papua memiliki skor citra tubuh pada kategori sangat tinggi, 41% berada pada kategori tinggi, 22% pada kategori sedang, 14% pada kategori rendah dan 1% pada kategori sangat rendah. Secara umum citra tubuh mahasiswi papua berada pada kategori tinggi yang ditunjukkan oleh rata-rata sebesar 106,36 yang masuk dalam kategori tinggi. Skor yang diperoleh mahasiswi Papua bergerak dari skor minimum 40 sampai dengan skor maksimum sebesar 154 dengan standar deviasi 26,705. Hasil Uji Asumsi Uji Normalitas Tabel IV Hasil Uji Normalitas Variabel Kepercayaan Diri dan Citra Tubuh
Uji normalitas
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah uji normalitas Kolmogorov Sminorv. Berdasarkan uji normalitas
10
tersebut, dapat dilihat pada Tabel 4.5 variabel kepercayaan diri diperoleh nilai koefisien Kolmogorov sebesar 0,980 dan memiliki signifikansi sebesar 0,292 (p > 0,05). Oleh karena nilai signifikansi > 0,05 maka distribusi data kepercayaan diri berdistribusi normal. Hal ini juga terjadi pada variabel citra tubuh. Dapat dilihat pada Tabel 4.5 variabel citra tubuh bahwa pada uji normalitas diperoleh nilai koefisien Kolomogorov sebesar 0,669 dan memiliki signifikansi sebesar 0,763 (p > 0,05) dapat disimpulkan bahwa asumsi normalitas dalam penelitian ini terpenuhi. Uji Linearitas Tabel V Hasil Uji Linearitas
Dari hasil uji linearitas untuk variabel kepercayaan diri dengan variabel citra tubuh diperoleh nilai Fbeda sebesar 1,705 dengan signifikansi p = 0,041 (p < 0,050) yang menunjukkan hubungan antara variabel kepercayaan diri dengan variabel citra tubuh adalah tidak linear. Uji Korelasi Hasil korelasi antara kepercayaan diri dengan citra tubuh dapat dilihat pada Tabel berikut ini: Tabel VI Hasil Uji Korelasi Kepercayaan Diri dengan Citra Tubuh
Berdasarkan hasil pengujian hubungan antara variabel kepercayaan diri dengan citra tubuh, menunjukkan koefisien korelasi r = 0,047 dengan signifikansi sebesar 0,321
11
(p>0,05). Hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kepercayaan diri dengan citra tubuh. PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian tentang hubungan kepercayaan diri dengan citra tubuh pada mahasiswi Papua di UKSW, didapatkan hasil perhitungan korelasi sebesar r = 0,047 dengan signifikansi sebesar 0,321 (p>0,05), hal ini menujukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kepercayaan diri dengan citra tubuh pada mahasiswi Papua di UKSW. Dengan demikian hipotesis yang diajukan dinyatakan ditolak atau H0 = diterima ; H1 = ditolak. Hasil penelitian ini tentu tidak mendukung atau bertolak belakang dengan pendapat yang sudah dikemukakan sebelumnya oleh Midlle Brook (Nurzzakiah, 2012) bahwa salah satu faktor yang memengaruhi kepercayaan diri seseorang adalah penampilan fisiknya. Juga yang dikatakan oleh Dagun (Melliana, 2006) bahwa penampilan bagi kaum wanita menjadi begitu penting karena hal tersebut merupakan salah satu faktor yang membentuk kepercayaan diri mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa kepercayaan diri dipengaruhi oleh faktor lain. Seperti yang dikemukakan oleh Brook (Nurzzakiah, 2012) bahwa selain penampilan fisik faktor lainnya ada pola asuh, jenis kelamin dan pendidikan juga memengaruhi kepercayaan diri seseorang. Perry (2006) juga mengutarakan beberapa faktor lainnya yaitu arogansi, keraguan diri dan rendah diri seseorang memengaruhi kepercayaan dirinya. Dari hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini diketahui kepercayaan diri mahasiswi Papua memiliki skor paling banyak 59% yang berada pada kategori tinggi sedangkan citra tubuh mahasiswi Papua memiliki skor paling banyak 41% yang berada pada kategori tinggi. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa
sebanyak 59%
mahasiswi Papua memiliki kepercayaan diri dalam kategori tinggi dan sebanyak 41% mahasiswi Papua memiliki citra tubuh dalam kategori tinggi. Citra tubuh mahasiswi Papua di UKSW berada pada kategori tinggi, salah satu alasannya adalah karena mereka dapat diterima di lingkungannya secara baik sekalipun mereka memiliki warna kulit, jenis rambut dan bentuk fisik lainnya yang berbeda dari lingkungan sekitarnya. Menurut Tailor (dalam Karina & Suryanto, 2012) penerimaan adalah kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain tanpa menilai dan tanpa mengendalikan. Hurlock mengemukakan
bahwa penerimaan sosial adalah keadaan dimana keberadaan
12
seseorang ditanggapi secara positif oleh orang lain dalam suatu hubungan yang dekat dan hangat pada suatu kelompok (dalam Karina & Suryanto, 2012). Dari hasil penelitian ini citra tubuh mahasiwi Papua adalah tinggi dan ini disebabkan salah satunya karena adanya penerimaan sosial yang baik dari mahasiwa/i UKSW yang berasal dari suku lain terhadap mahasiwi Papua. Seperti yang dinyatakan oleh Sina (2013) bahwa UKSW biasa dipanggil dengan sebutan Indonesia mini yang menunjukkan suatu keharmonisan dan saling menghargai antara manusia karena di UKSW terdapat begitu banyaknya suku yang dimulai dari Sabang hingga Merauke. Dalam hal ini memang sangat indah menimbang setiap mahasiswa dapat saling belajar budaya lain sehingga perlahan tapi pasti mindset global pun akan meningkat. Dan bukan hanya mindset global saja melainkan juga kepekaan yang hakiki bahwa semua manusia pada prinsipnya adalah unik. Kepekaan hakiki tersebut muncul karena ketika berinteraksi dengan mahasiswa/I atau pun orang sekitar , mampu membuka cakrawala berpikir bahwa saling menghargai dan menghormati budaya yang memang turut mempengaruhi perilaku manusia sangat bermanfaat. Dan tidak hanya itu saja, hidup diantara begitu banyaknya orang yang memiliki latar belakang budaya berbeda membuat sikap nasionalis yang rasional semakin meningkat. Dalam event atau kegiatan-kegiatan di kalangan fakultas atau pun universitas mahasiswa/i UKSW juga dituntut untuk bekerja sama untuk menyukseskan sebuah acara. Hal itu menyebabkan mahasiswa/i UKSW lebih menghargai dan menerima setiap perbedaan budaya, penampilan fisik, karakter, dan lain-lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa citra tubuh mahasiswi Papua berada pada kategori tinggi karena adanya penerimaan sosial yang baik dari lingkungan sekitarnya yang akhirnya juga tidak mengganggu kepercayaan diri mereka sebagai wanita Papua. Diharapkan Mahasiswi Papua di UKSW untuk tetap mempertahankan pandangan dan penilaian yang positif terhadap dirinya sendiri, karena orang yang mampu memberi penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Keberagaman itu indah, jadi teruslah pertahankan identitas diri dengan menjaga citra tubuh sebagai wanita Papua yang unik dengan tidak merubah penampilan fisik secara berlebihan. Bagi peneliti selanjutnya hendaklah melanjutkan penelitian ini dengan mengembangkan variabel-variabel yang digunakan sehingga dapat terungkap faktor apa saja yang memengaruhi kepercayaan diri. Juga dimungkinkan
13
untuk bisa melanjutkan penelitian ini dengan subjek dan tempat penelitian yang berbeda. Hasil pengembangan variabel diharapkan dapat melengkapi hasil penelitian.
14 DAFTAR PUSTAKA.
Azwar, S. (1999). Penyusunan skala psikolgi. Yogyakarta: Pustaka Pleajar. Banfield, S. & McCabe, P. (2002). An Evaluation of The Construct of Body Image, Adolosence. Vol. 37. No. 146. Centi, PJ. (1997). Mengapa rendah diri. Alih bahasa : A.M. Hardjana. Yogyakarta : Kanisius. Dariyo, Agoes. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta : Grasindo Fahs, Breanne. (2011). Breaking body hair boundaries: Classroom exercises for challenging social constructions of the body and sexuality. Arizona State University, USA Falconer, W. J., &Neville, A. H. (2002). African American College Women’s Body Image:An Examination of Body Mass, African Self-Conciousness, and Skin Color Satisfaction. Columbia: University of Missouri. Hartono, Bambang. (1994). Melatih anak percaya diri. Jakarta : BPK Gunung Mulia Heatherton, F. T. & Hebl., R. M. (1998). Body Image. Academic Press. Darmouth College. Karina. M., S. & Suryanto. (2012). Pengaruh Keterbukaan Diri Terhadap Penerimaan Sosial Pada Anggota Komunitas Backpacker Indonesia Regional Surabaya Dengan Kepercayaan Terhadap Dunia Maya Sebagai Intervening Variabel. Psikologi Kepribadian dan Sosial Volume 1, No. 02. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Karoba, S. (2011). Apa dan Siapa Orang Asli Papua. Published on July 07 http://papuapost.com/2011/07/sem-karoba-apa-dan-siapa-orang-asli-papua/
Melliana, A. S. (2006). Perempuan dalam mitos kecantikan. Yogyakarta: Pelangi Aksara Lkis. Mondong, T. (2011). Representasi perempuan dalam iklan ponds. Vol. 8. No. 1. Maret 2011. ISSN 1693-9034. Hal. 123. Nisa’. K. (2011). Hubungan tingkat kepercayaan diri dengan motivasi berprestasi siswa kelas XI IPA di SMA Mazra’ Atul Ulum Paciran. Skripsi. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Nur’asyah. (2005). Hubungan kepercayaan diri dan persepsi siswa terhadap matematika dengan hasil belajar matematika di SMP Negeri sekota Medan. Tesis. Medan: Universitas Negeri Medan.
15
Nuruzzakiah, R. (2012). Hubungan komunikasi orang tua terhadap rasa percaya diri siswa kelas XI di SMK PGRI 1 Ngaawi. Skripsi. Malang: Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Perry, M. (2006). Confidence Boosters/ pendongkrak kepercayaan diri. London: Octopus Publishing Group Ltd 2-4 Heron Quays, Docland. E14JP. Putri, W. E. T. (2008). Hubungan antara citra raa dan kepercayaan diri pada mahasiswi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Skrpisi.Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata. Sina, Peter. (2013). UKSW Indonesia Mini, Apakah Itu dan Bagaimanakah Itu?. Published on January 18. edukasi.kompasiana.com/2013/01/18/uksw-indonesiamini-apakah itu-dan-bagaimanakah-itu-526510.html Sugiyono. (2005). Statistika untuk penelitian.Bandung : Alfabeta. Toer, A. P. (2001). Cerita dari Digul. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Tracy, B. (2012). The power of self confidence. Canada: Published by John Miley & Sons, Inc. Hoboken, New Jersey. Waluya, B. (2007). Sosiologi, Mengenal fenomena sosial di masyarakat. Bandung: PT. Setia Purna Invest. Willet, E. (2007). Dieting and eating disorders, negative body image. The Rosen Publishing Group, Inc. 29 East 20st Street. New York, NY 10010.