ISSN : 2087-0795
PENDAHULUAN
menjadi elemen-elemen dasarnya,
Kebudayaan Islam seperti ke-
kebudayaan tersebut adalah budaya
budayaan lainnya, tidak muncul dari
Hindu-Jawa. Yang merupakan ikhti-
ketiadaan,
oleh
sar atau seleksi dari segala apa
kebudayaan-kebudayaan lain yang
yang terdapat pada berbagai ke-
tetapi
didahului
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
1
ISSN : 2087-0795
budayaan sebelumnya, lalu dileng-
yang menarik untuk dikaji melalui
kapi dengan unsur-unsur baru yakni
pendekatan semiotika.
Islam, sehingga membuat kebudaya-
Semua kenyataan kultural ada-
an tersebut memiliki corak khusus.
lah tanda. Kita hidup di dunia yang
Sebagian diantara unsur-unsur yang
penuh dengan tanda dan diri kitapun
lama dan baru saling menopang,
bagian dari tanda itu sendiri. Tanda-
saling menutupi dan kadang saling
tanda tersebut kemudian dimaknai
mengubah.
termasuk
sebagai wujud dalam memahami
salah satu ciri khas rumah Jawa juga
kehidupan. Manusia melalui kemam-
memiliki simbol dan ciri tersendiri. Di
puan akalnya berupaya berinteraksi
Jawa, khususnya Surakarta, peng-
dengan menggunakan tanda seba-
aruh kebudayaan dan ajaran-ajaran
gai alat untuk berbagai tujuan, salah
sebelumnya sangat berpengaruh pa-
satu tujuan tersebut adalah untuk
da tampilan hasil karya seninya.
berkomunikasi dengan orang lain
Ragam hias pada pendhapa pun
sebagai bentuk adaptasi dengan
juga terpengaruh oleh kebudayaan
lingkungan.
pra
Islam,
dengan
Pendhapa,
yang
budaya
terakukulturasi
Islam,
penggunaan motif
hias
Komunikasi bukan hanya se-
sehingga
bagai proses, melainkan komunikasi
pun
sebagai pembangkitan makna (the
di-
sesuaikan menurut ajaran Islam.
generation of meaning). Ketika kita
Melalui bentuk motif atau so-
berkomunikasi dengan orang lain,
sok obyek yang dijadikan unsur motif
setidaknya
orang
pada Pendhapa. Dapat menjadikan
memahami
maksud
wahana yang tanda yang member-
kurang lebih secara tepat. Pesan-
kan informasi yang tepat, tentang
pesan yang kita buat, medorong
segala sesuatu yang ingin diungkap.
orang lain untuk menciptakan makna
Pendhapa dapat dipandang sebagai
untuk dirinya sendiri yang terkait
sebuah
(cultural
dalam beberapa hal dengan makna
form), yakni artifak yang berisikan
yang kita buat dalam pesan kita.
wacana representasi diri yang di-
Semakin banyak kita berbagi kode
kerangkai budaya yang melahirkan-
yang
nya. Wacana ini tercermin melalui
menggunakan sistim tanda yang
bentuk dan ragam hias atau sosok
sama, maka makin dekatlah “makna”
obyek tersebut. Dan ‟wacana‟ itulah
kita dengan orang tersebut atas
2
bentuk
budaya
sama,
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
makin
lain
tersebut
pesan
banyak
kita,
kita
ISSN : 2087-0795
pesan yang datang pada masing-
berarti
masing
hanya membawa informasi, dalam
kita
dengan
orang
lain
tersebut.
bahwa
objek-objek
tidak
hal mana objek-objek itu hendak
Semiotika adalah ilmu yang
dikomunikasikan, tetapi juga meng-
mengkaji makna tanda. Para pakar
konstitusi
di bidang ilmu pengetahuan budaya
tanda. Salah satu wilayah penting
sepakat
bahwa setiap hal atau
yang dirambah Barthes dalam stu-
benda yang diindera dan terpikir
dinya tentang tanda adalah peran
oleh manusia mengandung makna di
pembaca
belakangnya. Para pakar semiotik
2001:180). Konotasi, walaupun me-
secara
bahwa
rupakan sifat asli tanda, membutuh-
ditinjau dari kaca mata semiotik
kan keaktifan pembaca agar dapat
semua gejala budaya dan gejala
berfungsi.
alam adalah tanda yang dapat diberi
mengulas apa yang sering disebut-
makna oleh manusia. Dilihat dari
nya
perspektif ini, manusia dipandang
tataran ke-dua, yang dibangun di
sebagai makhluk yang selalu men-
atas sistem lain yang telah ada
cari makna dari berbagai gejala
sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh
budaya dan gejala alam. Bila pem-
Barthes disebut dengan konotatif.
khusus
melihat
sistem
(the
reader)
Barthes
sebagai
terstruktur
(Barthes,
secara
sistem
dari
lugas
pemaknaan
berian makna atas tanda dilakukan
Dalam konsep Barthes, tanda
dalam kerangka konvensi sosial,
konotatif tidak sekadar memiliki mak-
maka semiotik dapat digunakan un-
na tambahan namun juga mengan-
tuk mengkaji kebudayaan manusia.
dung kedua bagian tanda denotatif
Roland Barthes berpandangan
yang
melandasi
keberadaannya.
bahwa sebuah sistem tanda yang
Pada dasarnya, ada perbedaan an-
mencerminkan asumsi-asumsi dari
tara denotasi dan konotasi dalam
suatu masyarakat tertentu dalam
pengertian secara umum serta deno-
waktu tertentu. Barthes pada dasar-
tasi dan konotasi yang dipahami
nya hendak mempelajari bagaimana
oleh Barthes. Di dalam semiologi
kemanusiaan (humanity) memaknai
Barthes dan para pengikutnya, de-
hal-hal (things). Memaknai (to signi-
notasi merupakan sistem signifikasi
fy) dalam hal ini tidak dapat dicam-
tingkat pertama, sementara konotasi
puradukkan dengan mengkomunika-
merupakan tingkat kedua. Dalam hal
sikan (to communicate). Memaknai
ini denotasi justru lebih diasosiasi-
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
3
ISSN : 2087-0795
kan dengan ketertutupan makna.
Pendhapa Ageng Mangkunegaran
Sebagai reaksi untuk melawan ke-
tidak hanya digunakan untuk me-
harfiahan denotasi yang
bersifat
lakukan peran fisik, tetapi di balik
opresif, Barthes mencoba menying-
semua itu ada peran psikhis yang
kirkan
Bagi
bersifat maknawi. Makna eksplisit
Barthes yang ada hanyalah konotasi
maupun yang implisit dalam bentuk
(Budiman, 1999:22).
bangunan
dan
menolaknya.
serta
ornamen
yang
Lebih lanjut dapat dikatakan
terdapat dalam Pendhapa Ageng
bahwa makna “harfiah” merupakan
tentu mengusung makna, pesan,
sesuatu
alamiah.
dan peran tertentu. Usungan nilai
Dalam kerangka Barthes, konotasi
itulah yang diharapkan mampu men-
identik
ideologi,
ciptakan atau menggerakkan asum-
yang disebutnya sebagai „mitos‟ dan
si-asumsi dan keyakinan budaya,
berfungsi
mengungkapkan
yang tidak pelak diharapkan agar
dan memberikan pembenaran bagi
keyakinan tersebut mampu menjadi
nilai-nilai
sebuah realitas, sebuah fakta.
yang
bersifat
dengan
operasi
untuk dominan
yang
berlaku
dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga PEMBAHASAN
dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem
1. Bangunan Adat Rumah Jawa
yang unik, mitos dibangun oleh
Bangunan pokok rumah adat
suatu rantai pemaknaan yang telah
Jawa
ada sebelumnya atau dengan kata
panggung pe, kampung, limasan,
lain, mitos adalah juga suatu sistem
joglo, dan tajug. Namun dalam
pemaknaan
perkembangannya,
tataran
ke-dua.
Di
ada
lima
macam,
jenis
yaitu:
tersebut
dalam mitos pula sebuah petanda
berkembang menjadi berbagai jenis
dapat memiliki beberapa penanda.
bangunan rumah adat Jawa, hanya
Pendhapa Ageng Mangkunegaran
dalam
kerangka
budaya
bangunan dasarnya masih tetap berpola dasar bangunan yang lima
bukan sekadar bangunan fisik yang
tersebut
digunakan untuk tempat pertemuan
1938).
(Narpawandawa,
1937-
dan perayaan, melainkan memiliki
Dalam bangunan rumah adat
peran yang lebih luas daripada itu.
Jawa juga ditentukan ukuran, kondisi
Meskipun berwujud benda materi,
perawatan rumah, kerangka, dan
4
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
ISSN : 2087-0795
ruang-ruang di dalam rumah serta
cet, Empyak Setangkep, Trajumas,
situasi di sekeliling rumah, yang di-
dan
kaitkan dengan status pemiliknya. Di
rumah kampung berkembang men-
samping itu, latar belakang sosial,
jadi
dan kepercayaannya ikut berperan.
Pacul Gowang, Srotong, Daragepak,
Agar memperoleh ketentraman, ke-
Klabang Nyander, Lambang Teplok,
sejahteraan, kemakmuran, maka se-
Lambang Teplok Semar Tinandhu,
belum membuat rumah dipetang
Gajah Jerum, Cere Gancet Semar
(diperhitungkan) dahulu tentang le-
Tinnadhu, dan Cere Gancet Semar
tak, waktu, arah, letak pintu utama
Pinondhong. Dari bangunan Rumah
rumah, letak pintu pekarangan, ke-
Limasan
rangka rumah, ukuran dan bangun-
bentuk rumah Limasan Lawakan,
an rumah yang akan dibuat.
Gajah
Ngombe,
Gajah
Jerum,
Klabag
Nyonder,
Macan
Jerum,
Di dalam suasana kehidupan kepercayaan
masyarakat
Jawa,
Barongan. bangunan
rumah
bangunan kampung,
berkembang
Trajrumas,
setiap akan membuat rumah baru,
Apitan,
tidak dilupakan adanya
Mungkur,
sesajen,
Dari
Trajrumas
Pacul
menjadi
Lawakan,
Gowang,
Gajah
Goncet,
Apitan
Cere
yaitu benda-benda tertentu yang di-
Pengapit, Lambang Teplok Semar
sajikan untuk badan halus, danyang
Tinandhu,
desa, dan kumulan desa, agar da-
Gantung, Lambangsari, dan Sinom
lam usaha pembangunan rumah
Lambang Gantung Rangka Usuk
baru tersebut memperoleh kesela-
Ngambang.
matan (R. Tanaya, 1984:66-78).
bangunan rumah Joglo terdapatlah
Dalam perkembangan selan-
bangunan
Trajrumas
Dari
Rambang
perkembangan
rumah
Joglo,
Joglo
Lawakan
atau
Joglo
Sinom,
Joglo
jutnya, bangunan rumah adat Jawa
Limasan
berkembang sesuai dengan kemaju-
Lawakan,
an. Berdasarkan tinjauan perubahan
Jampongan, Joglo Pangrawit, Joglo
atapnya, maka terdapatlah bangun-
Mangkurat, Joglo Wedeng, Joglo
an rumah adat Jawa sebagai berikut:
Semar Tinandhu. Dari jenis tajug
Bangunan model atau bentuk Pang-
dalam perkembangannya terdapat-
gung Pe dalam perkembangannya
lah bangunan rumah tajug (biasa
terdapat bangunan Panggung Pe
untuk rumah ibadah), tajug lawakan
(Epe), Gedong Selirang, Panggung
lambang teplok, tajug semar tinan-
Pe Gedong Setangkep, Cere Gan-
dhu, tajug lambang gantung, tajug
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
Joglo
5
ISSN : 2087-0795
semar sinonsong lambang gantung,
Bagi warga masyarakat umum
tajug lambang gantung, tajug semar
yang mampu, disamping bangunan
sinonsong lambang gantung, tajug
rumah tersebut, tempat tinggalnya
mangkurat, tajug ceblakan. (Narpa-
(rumah) masih dilengkapi dengan
wandawa 1936-1936).
bangunan lainnya, misal: lumbung, tempat menyimpan padi dan hasil bumi lainnya. Biasanya terletak di
2.
Komposisi dan Lingkungan Rumah Tempat Tinggal Dalam masyarakat Jawa, su-
sunan rumah dalam sebuah rumah tangga terdiri dari beberapa bangunan rumah. Selain rumah tempat tinggal (induk), yaitu tempat untuk tidur, istirahat anggota keluarga, terdapat pula bangunan rumah lain yang digunakan untuk keperluan lain dari keluarga tersebut. Bangunan rumah tersebut terdiri dari: pendapa, terletak di depan rumah tempat tinggal, digunakan untuk menerima tamu. Rumah belakang (omah mburi) digunakan untuk rumah tempat tinggal, di antara rumah belakang dengan pendapa terdapat pringgitan. Pringgitan ialah tempat yang digunakan untuk pementasan pertunjukan wayang kulit, bila yang bersangkutan mempunyai kerja (pernikahan, atau khitanan). Dalam pertunjukan
tersebut
tamu
laki-laki
ditempatkan di pendapa, sedang tamu wanita ditempatkan di rumah
sebelah kiri atau kanan Pringgitan. Letaknya agak berjauhan. Dapur (pawon) terletak di sebelah kiri rumah
belakang
mburi),
tempat memasak. Lesung, rumah tempat menumbuk padi, terletak di samping kiri atau kanan rumah belakang (pada umumnya terletak di sebelah belakang). Kadang-kadang terdapat lesung yang terletak di muka
pendapa
samping
kanan.
Kandang, untuk tempat binatang ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, angsa, itik, ayam). Untuk ternak besar disebut kandang, untuk ternak unggas, ada sarong (ayam), kombong (itik, angsa); untuk kuda disebut gedhogan. Kandang bisa terdapat di sebelah kiri pendapa, namun ada pula yang diletakkan di muka pendapa dengan disela halaman yang luas. Gedhogan biasanya menyambung ke kiri atau ke kanan kandhang. Sedang untuk sarong atau kombong terletak di sebelah kiri agak jauh dari pendapa.
belakang (Sunarmi, et,al, 2007: 36).
6
(omah
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
ISSN : 2087-0795
Kadang-kadang terdapat peranginan,
ialah
bangunan
teritorial, komunal, dan religius. Da-
rumah
sar tersebut dalam proses pemben-
kecil, biasanya diletakkan di sam-
tukan masyarakat Jawa akan ter-
ping kanan agak berjauhan dengan
pancar dalam ciri-ciri dasar masya-
pendapa. Peranginan ini bagi peja-
rakat
bat desa bisa digunakan untuk
pertahankan dan mereka lestarikan
markas ronda atau larag, dan juga
keberadaannya dalam wujud pan-
tempat
dangan dunia orang Jawa. Pandang-
bersantai
untuk
mencari
Jawa
yang
tetap
mereka
udara segar dari pemiliknya. Ke-
an
mudian terdapat bangunan tempat
keseluruhan
mandi yang disebut jambang, be-
tentang kenyataan suatu kesatuan
rupa rumah kecil ditempatkan di
antara alam, masyarakat, dan alam
samping dapur atau belakang sam-
gaib, yang daripada Nya manusia
ping kiri atau kanan rumah belakang.
berusaha memberi suatu struktur
Demikian pula tempat buang air
yang bermakna bagi pengalaman-
besar/ kecil dan kamar mandi di-
nya (Mulder, 1986: 28).
dunia
dimaksudkan
sebagai
keyakinan
deskriptif
buatkan bangunan rumah sendiri.
Bagi orang Jawa, baik sebagai
Biasanya untuk WC ditempatkan
individual maupun anggota masya-
agak berjauhan dengan dapur, ru-
rakat, realita itu tidak dibagi-bagi
mah belakang, sumur dan pendha-
secara terpisah-pisah dan tanpa
pa. Pintu masuk pekarangan sering
hubungan satu sama lain, melainkan
dibuat Regol. Secara lengkap kom-
ia dilihat sebagai satu kesatuan yang
pleks rumah tempat tinggal orang
menyeluruh. Dunia masyarakat dan
Jawa adala rumah belakang, pring-
dunia gaib, atau dunia Adi Kodrati
gitan, pendapa, gadhok (tempat para
bukanlah tiga bidang yang berdiri
pelayan), lumbung, kandhang, ge-
sendiri-sendiri, dan masing-masing
dhogan, dapur, pringgitan, topengan,
mempunyai hukumnya sendiri, me-
serambi, bangsal, dan sebagainya.
lainkan merupakan satu kesatuan
Jaman dahulu besar kecilnya mau-
pengalaman.
Pada
pun jenis bangunannya dibuat me-
orang
Jawa
tidak
nurut selera serta status sosial
antara
sikap religius atau tidak
pemiliknya di dalam masyarakat
religius dan interaksi-interaksi sosial
Masyarakat Jawa lama disusun atas dasar kedudukan sosial,
religius,
tetapi
merupakan
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
hakekatnya, membedakan
tetapi
penjabaran
ketiganya manusia 7
ISSN : 2087-0795
Jawa tentang sikapnya terhadap
ruang besar dan terbuka yang sering
alam, seperti halnya sikap alam
digunakan untuk menerima tamu
yang sekaligus mempunyai relevansi
yang kemudian dinamakan pendapa
sosial.
(Sunarmi, et,al, 2007: 58).
Tolok ukur anti pandangan dunia
orang
Jawa
adalah
nilai
Sebagai istana seorang adipati,
Pura
Mangkunegaran
tidak
pragmatisme atau kemanfaatannya
seperti istana (kraton) Kasunanan
untuk mencapai keadaan senang,
Surakarta ataupun Kasultanan Yog-
tenteram dan seimbang lahir dan
yakarta yang mempunyai Siti hinggil
batin antara dunia sini dengan dunia
dan Tratag Rambat. Akan tetapi
sana. Oleh karena itu, apabila kita
Pura Mangkunegaran mempunyai
membicarakan
dunia
pendapa yang besar dan luas meng-
orang Jawa tidak terbatas pada
hadap ke selatan berada di depan
bidang agama, kepercayaan dan
Dalem Ageng (difungsikan sebagai
mitos, melainkan juga sistem per-
Kedhaton). Pendhapa Agung yang
tanian,
ke-
berukuran 3.500 meter persegi ter-
hidupan keluarga Jawa, seni dan
dapat pada gerbang kedua setelah
budaya Jawa, sistem tempat tinggal
lapangan pamedan.
dan
pandangan
perayaan
lingkungan
mereka. terjadi
Maka akan
pameran,
tempat
Ageng
Mangku-
yang
negaran dapat menampung lima
pandangan
sampai sepuluh ribu orang orang,
perubahan
meliputi
Pendhapa
tinggal
hidup dan filsafat, budaya politik
selama
bertahun-tahun
dianggap
Jawa, ekonomi, sosial dan budaya
pendhapa terbesar di Indonesia.
Jawa.
Tiang-tiang kayu berbentuk persegi yang menyangga atap joglo diambil
3.Pendhapa Ageng Mangkunegaran Istilah Pendhapa atau Penda-
dari pepohonan yang tumbuh di hutan Mangkunegaran di Donoloyo,
pa berasal dari kata mandapa, yang
di
dalam bahasa sansekerta mengacu
bangunan didirikan tanpa menggu-
pada suatu bagian dari kuil Hindu di
nakan paku (S. Ilmi Albiladiah, 1995:
India yang berbentuk persegi dan
15).
perbukitan
Wonogiri.
Seluruh
dibangun langsung di atas tanah.
Pendhapa Ageng yang berben-
Arsitektur mandapa tersebut kemu-
tuk Joglo ini memiliki luas 52,50 x
dian dimodifikasi menjadi sebuah
62,30 meter. Tiang utama (saka
8
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
ISSN : 2087-0795
guru) terdiri dari 4 buah dengan
dikenal sebagai gunung kosmis atau
tinggi 10,50 m dan besar 0,40 x 0,40
ggunung kahyangan yang menjadi
m. Tiang emper/ penyangga I terdiri
pusat jagad raya, tempat tinggal
12 buah dengan tinggi 8m besar
para dewa (Mulder, 1986: 43). Oleh
0,26 x 0,26 m. Tiang penyangga II
karena bentuknya yang semakin
terdiri atas 20 buah dengan tinggi 5
mengerucut ke atas yang menye-
m besar 0,20 x 0,20 m. Tiang
rupai gunung inilah yang dijadikan
penyangga III 28 buah dengan tinggi
asumsi bahwa Pendhapa merupa-
4 m dan besar 0,20 x 0,20 m. Dan
kan ”replika” meru dalam lingkungan
tiang besi sejumlah 44 buah dengan
Istana Mangkunegaran. Selain ada
tinggi 3,75 m (Suwaji Bastomi, 1996:
pendapat
21).
binathara dalam kosmologi Jawa
Dalam
pendhapa
Ageng
dewa-raja
atau
raja-
didominasi oleh warna kuning dan
Namun juga dapat diinterpre-
hijau yang dikenal dengan istilah
tasikan bahwa atap bertingkat yang
warna
khas
mempunyai arah vertikal menuju
Lantai
puncak, melambangkan tujuan akhir
pendapa terbuat dari bahan marmer
manusia, yaitu Allah SWT. Terlepas
yang diimpor langsung dari Italia.
dari itu, secara teknis atap bertingkat
Sedangkan lampu gantung pada
memberi kelapangan sirkulasi udara
pendhapa berasal dari Belanda dan
dan memberi pencahayaan yang
patung-patung
tidak
pare
keluarga
anom
warna
Mangkunegaran.
singa
dari
Berlin
menimbulkan
efek
silau.
(T.N;T.T, Selayang pandang Mang-
Sedang untuk hiasan singup pada
kunegaran: 18).
pendhapa, secara teknis berfungsi
Pendhapa merupakan salah
sebagai penutup celah yang ada
satu tipe rumah Jawa yang ber-
pada ujung atap sekaligus menguat-
bentuk
kan ujung atap.
Joglo.
Pendhapa
Ageng
memiliki atap bertingkat dan me-
Sebagai istana ‟raja‟, maka
muncak. Dalam pandangan meta-
pembicaraan mengenai raja dan
fisis, bangunan Pendhapa dapat
kekuasaan tidak dapat dipisahkan
diasumsikan sebagai puncak Meru,
dari konsep spiritual yang berasal
yang diambil dari sebuah nama
dari kultur India, yaitu kepercayaan
gunung suci di India Mahameru.
adanya kesejajaran antara makro-
Menurut Mulder dalam kosmologi
kosmos dan mikrokosmos, antara
Hindu maupun Budha istilah meru
jagad raya dan dunia manusia.
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
9
ISSN : 2087-0795
Menurut kepercayaan tersebut, manusia selalu berada di bawah
raya dalam bentuk kecil. (Darsiti Soeratman, 1989: 3-4)
pengaruh tenaga-tenaga yang ber-
Ibu kota atau kota istana bukan
sumber pada penjuru-penjuru mata
hanya merupakan pusat politik dan
angin, pada bintang-bintang dan
kebudayaan, tetapi juga sebagai
planet-planet. Tenaga-tenaga itu da-
pusat magi bagi kerajaan. Ber-
pat menghasilkan kemakmuran dan
hubung jagad raya yang menurut
kesejahteraan, tetapi juga sebalik-
kosmologi Brahman atau Budis atau
nya, dapat membawa kehancuran.
keduanya, berpusat di gunung Meru,
Terutama raja, yang menyelaraskan
maka kerajaan yang merupakan
kehidupan dan kegiatan mereka
jagad kecil harus pula memiliki
dengan jagad raya. Keselarasan
gunung Meru pada pusat kotanya,
antara kerajaan itu sebagai jagad
dan gunung Meru di pusat kota ini
raya dapat dicapai dengan cara
akan
menyusun kerajaan sebagai jagad
kerajaan. Dan pusat Meru dalam
10
menjadi
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
pusat
magi
bagi
ISSN : 2087-0795
istana Mangkunegaran ini, menurut
tuk penyucian jiwa; mulai dari shalat,
penulis adalah Pendhapa Ageng
puasa, haji, dan zakat. Karena itu,
Mangkunegaran.
tasawuf dengan gerakan etikanya
Negara kosmis erat hubungan-
bertujuan
untuk
mengisi
semua
nya dengan konsep raja yang ber-
gerak-gerik manusia baik yang ber-
sifat dewa, yaitu bahwa raja adalah
hubungan dengan Tuhan (ibadah)
titisan atau keturunan dewa. Konsep
hingga yang berhubungan degan
dewa-raja atau ratu-bina-thara pada
manusia (muamalat) dengan nilai-
kerajaan Islam tidak menempatkan
nilai luhur. Dengan tasawuf semua
raja pada kedudukan yang sama
ibadah vertikal manusia diharapkan
dengan Tuhan, melainkan sebagai
dapat membawa perubahan dalam
Khalifatullah, atau wakil Tuhan di
kehidupan sosialnya dan dengan
dunia. Sebagai suatu entitas sosial,
tasawuf pula seluruh praktek-praktek
kraton mempunyai kebudayaan ter-
sosial manusia diharapkan memiliki
sendiri. Berbagai macam lambang
nilai ibadah kepada Tuhan. Oleh
diketemukan dalam segala segi ke-
karena itu, sebagai sebuah disiplin
hidupan, dimulai dari bentuk dan
ilmu,
cara mengatur bangunan, mengatur
gerakan etis dan moral (akhlak)
penanaman pohon yang dianggap
yang
keramat, mengatur tempat duduk,
(akidah) dan ilmu fikih (syari'ah).
tasawuf
lebih
menyebelahi
dekat ilmu
pada kalam
menyimpan dan memelihara pusaka,
Dari pernyataan di atas dapat
macam pakaian yang dikenakan dan
disimpulkan bahwa budaya Hindu
cara mengenakan, bahasa yang
masih sangat kental dalam sim-
harus dipakai, tingkah laku, pemilih-
bolisme budaya Jawa yang Islami di
an warna, dan seterusnya. Kraton
istana Mangkunegaran. Dapat dilihat
juga menyimpan dan melestarikan
dari penempatan ornamen hias di
nilai-nilai lama, mengenai folklor dan
dalam pendhapa yang terbagi dalam
bebera-pa mitos. (Darsiti Soeratman,
tiga tingkatan seperti kaki dimana
1989: 5)
arah puncaknya menuju kepada ke-
Pandangan ini akan lebih jelas
Esaan. Selain itu dapat di inte-
lagi jika kita melihat secara teliti
pretasikan bahwa Pendhapa yang
tujuan dari setiap ajaran agama
berguna untuk menerima tamu di
Islam. Tidak ada satu kewajiban
istana, juga memiliki sebuah makna
agamapun yang tidak ditujukan un-
bahwasanya orang-orang Jawa se-
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
11
ISSN : 2087-0795
belum mendapat pengaruh bangunan kolonial merupakan sosok yang
Bastomi, Suwaji, Karya Budaya KGPAA Mangkunegara I-VIII , IKIP Semarang Press. Semarang, 1996.
sangat terbuka dan sangat menghormati
tamu,
namun
dengan
adanya bangunan kolonial seperti tembok yang mengelilingi rumah membuat berkesan ”tertutup”. Selain itu bagaimanapun juga konsep Manunggaling
Kawula
Gusti
juga
terdapat di Pendhapa, selain Raja sebagai ”Manusia Setengah Dewa” juga makna untuk mengajak manu-
Christomy, T, & Untung Yuwono, Semiotika Budaya, Penerbit Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI, Jakarta., 2004. Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1930-1939, Penerbit Taman Siswa, Yogyakarta, 1989. Hall, Stuart (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage Publications, London, 1997.
sia selalu ingat pada sang Khalik melalui ornamen juga arah vertikal puncak pendhapa yang menjulang ke satu titik puncak yang mengarah pada Tuhan. *Penulis adalah Dosen Program Studi Senirupa Murni Institut Seni Indonesia Surakarta.
DAFTAR PUSTAKA Agus Sachari & Yan Yan Sunarya, Desain dan Dunia Kesenirupaan Indonesia dalam Wacana Transformasi Budaya. Bandung: Penerbit ITB, 2001. Albiladiah, S. Ilmi, Ragam Hias Pendhapa Istana Mangkunegaran, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1995. Barthes, Roland, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Kreasi Wa-cana, Yogyakarta, 2004.
12
Moedjanto, G. Konsep Kekuasaan Jawa; Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Yogyakarta: Kanisus, 1994. Mulder, Niels. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986. Parsons, Talcot, The Social System. New York: The Free Press, 1951. Peursen. Van. (Terjemahan Dick Hartoko), Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius; Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976. R. Tanojo, Pawukon, miturut kina asli saking Surakarta ingkang kadapuk nalika kawitanipun abad Masehi ingkang kaping 20, Solo: Sadu Budi, 1955 Ritzer, George, Teori Sosial Postmodern (penerj. Muhammad Taufiq), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003. “Selayang Pandang Pura Mangkunegaran”, Arsip Rekso Pustoko
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
ISSN : 2087-0795
Mangkunegaran. Storey, John (Ed.), Cultural Theory and Cultural Culture: A Reader, Harvester Heatsheaf, New York, 1994. Sujiman, Panuti, & Aart van Zoest (Ed.), Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta, 1991 Sunarmi, Guntur, dan Tri Prasetyo Utomo. Arsitektur dan Interior Nusantara; Seri Jawa, Surakarta: ISI Press, 2007. Wahyu H.R. Sufisme Jawa, Yogyakarta: Pustaka Dian, 2006.
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
13