BAB I PENDAHULUAN I.1.
Latar Belakang Permasalahan Kebudayaan manusia tidak dapat dilepaskan dari seni. Materi-materi yang
dibuat atas dasar seni berupa suatu karya, memiliki kandungan yang merujuk kepada suatu hal, atau yang disebut sebagai referen (Goodman, 1984, 1988; dalam Guntur, 2009: 23). Berdasarkan definisi ini kemudian muncul pemaknaan maupun pesan yang akan disampaikan oleh seniman melalui karya seni buatannya. Karya seni yang ditampilkan dan dinikmati oleh publik, di dalamnya terjadi interaksi tidak langsung antara seniman sebagai komunikator/sender dan pengamat karyanya sebagai komunikan/receiver dengan karya seni sebagai media penghubung untuk menyampaikan pesan (message) dan maksud yang ingin disampaikan seniman, sehingga dalam konteks ini karya seni ditempatkan sebagi media komunikasi (Kusen, 1985: 85). Dalam proses penangkapan pesan dalam suatu karya seni, tentunya setiap penikmat
menggunakan
sudut
pandang
masing-masing
dalam
menginterpretasikan karya seni itu, sehingga hasil interpretasi pada satu karya seni seringkali menimbulkan berbagai pemaknaan, bahkan bersifat bias atau berbeda dengan maksud sebenarnya yang disampaikan oleh seniman pembuatnya. Ketidaktepatan dalam memahami pesan dalam karya seni tersebut salah satunya dapat terjadi karena adanya kesenjangan konsep atau nilai kebudayaan antara seniman dengan penikmat karya seni, ditambah lagi dengan masa hidup keduanya yang berbeda (Kusen, 1985: 5).
1
2
Kesenjangan ini akan sangat terlihat dan sulit diatasi apabila yang dibahas adalah karya seni kuna, tentu saja dengan rentang waktu tertentu yang dianggap jauh dari masa sekarang. Seperti halnya menginterpretasikan sebuah karya seni, tidak jarang ditemukan bias dalam menginterpretasi data arkeologis. Bias ini tentunya tidak lepas dari penggunaan sudut pandang berupa kerangka pikir dan landasan teori yang digunakan seorang peneliti dalam menginterpretasi suatu data arkeologis. Dalam kajian mengenai kebudayaan, arkeologi memiliki peran besar karena studinya yang mengungkap dan merekonstruksi kehidupan maupun kebudayaan manusia masa lalu melalui tinggalan budaya materinya (Sharer & Ashmore 2003: 15). Karya seni sebagai salah satu artefak dari kebudayaan merupakan sumber data yang penting bagi ilmu arkeologi, terutama karya seni yang bersifat tangible dan kuna. Sisa-sisa keindahan dan corak seni masa lalu yang masih terawetkan dengan cukup baik hingga kini adalah artefak monumental berupa candi. Salah satu candi yang masih terawat dengan baik dan memiliki nilai estetika dan seni yang tinggi adalah candi Borobudur. Candi Borobudur terletak di desa Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Secara umum, tubuh Borobudur terbagi ke dalam tiga tingkatan yang di tiap tingkatannya mengandung konsep Tridhatu1 dalam Buddhisme (Adams, 1990: 20). Jika Borobudur dilihat tampak atas, menurut Stutterheim (1933) mengadaptasi dari bentuk suatu diagram dalam filosofi ajaran Buddha, yaitu Mandala (Casparis, 1990: 31-32).
3
Pada seluruh bagian tubuh candi dipahatkan bermacam ornamen, baik itu ornamen yang bersifat menambah nilai estetika maupun ornamen yang dibuat untuk tujuan lain, salah satunya adalah ornamen berupa relief. Di samping relief yang bersifat dekoratif, pada teras berdenah persegi Borobudur, terdapat relief naratif yang mengandung cerita dari ajaran Buddhisme yang di antaranya sebagai berikut (Kempers, 1976: 87-141; Adams, 1991: 22-30; lihat juga Lampiran 1): a. Relief cerita Karmavibhangga, berisi kisah-kisah yang menunjukkan hukum sebab-akibat yang dilakukan oleh manusia di dunia b. Relief cerita Lalitāvistara, berkisah tentang kehidupan Siddharta Gautama semasa hidupnya c. Relief cerita Jataka, menceritakan tentang kehidupan Buddha terdahulu; (d) Relief cerita Avadana, menceritakan tentang kepahlawanan dan pengorbanan orang-orang suci d. Relief cerita Gandavyuha dan Bhadracari yang berkisah tentang perjalanan seorang Pangeran Sudhana yang mencari kearifan tertinggi Dalam kajian-kajian mengenai Candi Borobudur, terdapat satu bahasan yang secara khusus merujuk kepada relief di dalamnya, yaitu mengenai gaya seni yang mempengaruhi unsur-unsur dalam reliefnya. Pendapat mengenai gaya seni yang mempengaruhi pembuatan relief Candi Borobudur dikemukakan oleh Jean Philippe Vogel (1925), yaitu gaya seni yang terdapat dalam seni patung Borobudur memiliki ciri yang natural, plastis, detil dan agung yang dimiliki oleh gaya seni Buddhis India yang disebut sebagai Gandhāra yang berakar pada kesenian Hellenistik (Holt, 2000: 48-49).
4
Pernyataan di atas juga sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Stuterheim (dalam Holt 1967: 47), meskipun keduanya menyebutkan hubungan antara gaya seni Gandhāra dengan seni patung Borobudur memiliki jarak waktu yang cukup jauh. Pernyataan berbeda diungkapkan oleh Zimmer (1983: 300) yang berpendapat bahwa gaya seni yang terdapat dalam karya seni patung dan relief di Jawa merupakan impuls dari gaya seni masa Gupta. Gaya seni ini dianggap sebagai “masa keemasan” dari gaya seni di India yang merupakan penyempurnaan dari gaya seni lokal; yaitu memiliki bentuk pemahatan yang bersifat tenang, pemahatan yang halus dan dekorasi yang kaya (Vogel: 1977: 54-56). Pendapat-pendapat yang berbeda mengenai gaya seni asing yang diterapkan pada relief Candi Borobudur juga terjadi di Indonesia. Secara umum, perbedaan pendapat tersebut mengarah pada satu pendapat umum bahwa Candi Borobudur mengadung beberapa ciri dari gaya seni Buddhis yang tumbuh dan berkembang di India. Berdasarakan gaya seni yang diterapkan di India dan Borobudur, relief cerita Lalitāvistara menjadi objek kajian yang signifikan karena penggambaran cerita ini ke dalam suatu panil relief merupakan fenomena yang umum dan terjadi di kedua lokasi. I.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang dan uraian di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan, yaitu: Indikasi gaya seni apa yang terdapat dalam relief Candi Borobudur, khususnya pada relief Lalitāvistara?
5
I.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ciri-ciri gaya seni Buddhis India
dan pengaruhnya terhadap relief Lalitāvistara Candi Borobudur yang ditunjukkan melalui kajian atas komponen-komponen visual relief yang ada. I.4.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan menggunakan relief cerita Lalitāvistara Candi
Borobudur sebagai objek kajian utama. Secara keseluruhan, relief Lalitāvistara Candi Borobudur terdiri dari 120 panel, terletak pada dinding utama lorong pertama deret atas yang menceritakan kisah perjalanan hidup Siddharta Gautama, hingga menjadi Buddha dan menyampaikan khutbah pertamanya di Benares (Adams, 1991: 22; Leber, 2011: 23-24). Tidak seluruh panil digunakan sebagai objek kajian, hanya digunakan delapan buah panil dari keseluruhan relief Lalitāvistara yang mengandung adegan peristiwa penting kehidupan Buddha Gautama. Objek lain digunakan dalam kajian ini sebagai perbandingan, yaitu relief-relief yang berasal dari India, sebagian besar diantaranya mengandung kisah Lalitāvistara. Relief yang digunakan sebagai objek kajian berasal dari masa Dinasti Maurya (321 SM) sampai Dinasti Gupta (320 M-650 M) yang berasal dari: (a) Bhārhut, (b) Sānchī, (c) Mathurā, (d) Amarāvati, (e) Gandhāra dan (f) Sarnath. Pemilihan relief Lalitāvistara sebagai objek utama penelitian adalah penggambaran cerita mengenai Buddha yang berinkarnasi menjadi Siddharta ke dalam relief umum dilakukan di India dan di Indonesia relief cerita ini hanya dijumpai
di
Borobudur;
sehingga
perbandingan
yang
didasarkan
atas
6
penggambaran cerita Lalitāvistara dalam relief sangat mungkin dilakukan. Selain itu, akses data berupa gambar relief Lalitāvistara Candi Borobudur dan di India relative lebih mudah dengan referensi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan relief cerita lainnya. Pembahasan mengenai gaya relief tersebut akan difokuskan pada variasi gaya seni Buddhis yang terjadi di India secara umum, kemudian dijabarkan secara lebih rinci mengenai aspek-aspek yang melekat dan mempengaruhi ragam gaya seni tersebut. Aspek-aspek dari gaya tersebut akan disejajarkan dengan aspekaspek yang terkandung dalam relief Lalitāvistara Candi Borobudur. Gaya yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah yang berkaitan dengan bentuk luar suatu karya seni, bedakan dengan aliran yang lebih berkaitan dengan pandangan atau prinsip yang lebih dalam sifatnya (Soedarso, 1987: 79); sedangkan untuk aspekaspek di atas didapatkan dari analisis terhadap komponen visual relief2 beserta organiasi antarkomponen tersebut. I.5.
Keaslian Penelitian Secara umum, penelitian mengenai relief Candi Borobudur sebelumnya
telah banyak dilakukan, seperti dengan menggunakan sudut pandang seni kriya, ikonografi, etnografi, arsitektur, konservasi dan sudut pandang keilmuan lain yang relevan. Terdapat banyak penelitian yang membahas mengenai penggambaran komponen visual berwujud makhluk hidup dalam relief Candi Borobudur, seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Febri Wijanarko mengenai “Pemanfaatan kuda pada masa klasik berdasarkan relief Borobudur” (2009) dan penelitian yang
7
dilakukan oleh Arif Riyanto mengenai “Penggambaran Gajah pada Relief Cerita Di Candi Borobudur” (2000). Selain hewan, penggambaran manusia beserta aktivitasnya dalam relief Candi Borobudur juga menjadi objek kajian oleh beberapa akademisi. Beberapa penelitian dilakukan seperti skripsi mengenai “Pengasuhan Anak Berdasarkan Kajian Relief Candi Borobudur” (2000) yang dilakukan oleh Euis Hadiati pada tahun 2007 serta skripsi karya Widapradnya Hutamasuksma yang berjudul “Penggambaran Aktivitas Bhiksu Masa Jawa Kuna (Kajian Berdasarkan Relief Cerita Candi Borobudur)”. Keberadaan komponen visual relief berupa bentukan lingkungan pendukung seperti bentuk-bentuk bangunan yang digambarkan dalam relief telah dijadikan sebagai objek kajian, seperti penelitian yang dilakukan oleh Pramono Atmadi yang melakukan penelitian mengenai pemodelan arsitektur candi yang digambarkan dalam relief Candi Borobudur (1979). Penelitian serupa juga dilakukan oleh Tjahjono Prasodjo yang berjudul “Gambaran Rumah Jawa pada Abad IX-XVI M berdasarkan penggambaran pada relief Candi di Jawa” (19871988). Komponen visual relief lain juga dikaji oleh beberapa peneliti, seperti yang telah dilakukan oleh Kurnia Prastowo Adi (2008) mengenai “Alat Transportasi pada Masa Jawa Kuna Berdasarkan Relief pada Candi Borobudur”. Selain alat transportasi, benda-benda lain seperti perhiasan dan pakaian yang digunakan oleh makhluk hidup, utamanya manusia juga menjadi objek kajian, seperti penelitian oleh Sri Soejatmi Satari (2009) yang memamparkan mengenai status sosial pada sekitar abad IX-X dengan merefleksikannya pada
8
penggambaran pakaian dan perhiasan, salah satunya penggambaran tersebut dikaji menggunakan relief Candi Borobudur sebagai salah satu objek kajiannya. Penggunaan perhiasan sebagai penanda status sosial juga diteliti oleh Chitra Paramaesti (2014), dengan menggunakan relief Lalitāvistara pada Candi Borobudur sebagai objek kajian utamanya dengan menggunakan pendekatan ikonografi untuk identifikasi perhiasan yang digunakan oleh tokoh. Kajian lain berupa penggambaran wadah dalam relief Candi Borobudur juga dilakukan, seperti yang terdapat pada penelitian berjudul “Perabot Rumah Tangga pada Relief Karmavibhangga di Candi Borobudur: Analisis Jenis, Bentuk dan Fungsi" oleh Dukut Santoso (1985). Penelitian serupa juga dilakukan oleh Jati Kurniawan
yang kemudian
menghasilkan karya
skripsi
yang
berjudul
“Penggambaran Wadah Keramik Pada Relief Karmawibhangga (tinjauan Atas Bentuk dan Fungsinya)” pada tahun 2009.
Penelitian lain mengenai
penggambaran wadah dalam relief juga dilakukan oleh Annur Suryani (2000) yang membahas mengenai “Purnakalasa Dalam Relief Cerita di Candi Borobudur: Kajian Atas Variasi Penggambaran, Fungsi, dan Peranannya”. Secara khusus, penelitian mengenai gaya seni pada relief Candi Borobudur masih sedikit dilakukan dan belum dibahas secara mendalam. Sejauh ini analisis mengenai gaya seni seperti penelitian Rr. Ratna Arum Widyati mengenai “Ragam Hias Arca dan Relief Singa pada Bangunan Candi Masa Jawa Tengah Abad VIIIX Masehi: Studi tentang Bentuk dan Gaya Seni Hiasnya” tahun 1995. Penelitian ini menghasilkan pembagian tipologi relief dan arca singa pada candi-candi Abad VIII-X M dan faktor-faktor yang menyebabkan variasi tersebut.
9
Pembahasan secara langsung mengenai gaya seni dalam Candi Borobudur sejauh ini masih belum ada, hanya terdapat tulisan yang dibuat oleh Agus Aris Munandar mengenai “Pengaruh Hellenisme dalam Gaya Seni Arca Masa Klasik Tua di Jawa (abad ke-8–10 M)”. Tulisan ini membahas mengenai paham Hellenisme yang mempengaruhi Gandhāra Art dan ciri-ciri gaya seni Hellenisme yang kemudian dihubungkan dengan tinggalan artefaktual berupa arca dan relief dari abad VIII-X M, salah satunya dalam relief Karmawibhangga dan relief Lalitāvistara Candi Borobudur. Namun di dalamnya tidak disebutkan secara spesifik mengenai bagian mana saja yang menunjukkan sisi Hellenistik dari tinggalan arca dan relief tersebut. Pendapat serupa diungkapkan oleh Sutjipto Wirjosuparto dalam “Sedjarah Kebudajaan India” yang menyataan bahwa awalnya memang dipelopori oleh Gandhāra, namun terjadi pengayaan pada gaya tersebut kemudian menyebar ke berbagai tempat, termasuk Indonesia. (1952: 108-109). Detil mengenai gaya seni yang mengalami pengayaan tersebut juga tidak dijelaskan secara detil. Pendapat mengenai gaya lain diungkapkan Sedyawati dalam beberapa tulisannya, seperti “Pengaruh India Pada Kesenian Jawa” (dalam Soedarsono dkk, 1985: 5) dan “Hinduism & Buddhism Influences in Indonesia” (Soemantri, 1998: 12); di dalamnya disebutkan bahwa seni pahat dan patung (sculpture art) yang ada di Indonesia sebagian besar mendapat pengaruh dari Gupta, seperti yang sebelumnya dipaparkan oleh Zimmer dalam latar belakang, namun hanya sebatas itu dan tidak ada paparan mengenai bagian mana saja yang menunjukkan gaya seni Gupta secara detil.
10
I.6.
Kajian Pustaka Relief termasuk ke dalam sculpture art, yaitu seni pahat atau patung,
(Butcher (ed.), 2001: 222). Hal ini membuat relief ditempatkan ke dalam dua jenis seni, yaitu jika dilihat dari prosesnya, maka relief termasuk ke dalam karya seni kriya yang mengutamakan pengerjaan berupa pemahatan yang halus, rumit, presisi, filosofis dan bernilai budaya tinggi (Gustami dalam Guntur 2009). Seni kriya merupakan percabangan dari seni rupa yang di dalam praktiknya memerlukan craftsmanship tinggi sehingga curahan ekspresi dari dalam seniman yang terdapat pada karyanya terkesan dipinggirkan (Soedarso, 1987: 14). Berdasarkan dari hasil yang dicapai, relief juga dikategorikan ke dalam karya seni patung karena media yang digunakan dan penggambarannya yang tiga dimensi, seperti patung pada umumnya. Meski berwujud tiga dimensi, relief masih memerlukan perspektif, seperti dilihat secara frontal dan diagonal, tidak seperti patung berwujud tiga dimensional lainnya yang dapat dilihat secara memutar (Soedarso, 1987: 11-12 dan Butcher (ed.), 2001: 222). Lebih lanjut disebutkan bahwa relief sebagai sculpture art/seni pahatan termasuk ke dalam kategori plastic art/seni plastis kategori three-dimentional art di samping arsitektur, keramik dan patung (Butcher (ed.), 2001: 5). Berdasarkan cara dibuatnya, maka relief sebagai three-dimentional art menggunakan teknik substraksi/substraction3 (Butcher (ed.), 2001: 231). Selain itu berdasarkan tujuan dibuatnya, maka relief dikategorikan menjadi dua, yaitu pertama adalah relief naratif yang dibuat berdasarkan cerita tertentu dan memiliki alur baca tertentu. Kedua adalah relief dekoratif yang dibuat tanpa landasan cerita
11
tertentu, umumnya berkaitan penggambaran objek, tokoh tertentu, simbol, maupun ragam hias (Holt, 1967: 39). Relief merupakan salah satu wujud dari karya seni kriya tiga dimensi yang dibuat berdasarkan ide dan konsep yang dimiliki seniman. Ide dan konsep yang tercurahkan dalam suatu karya seni, khususnya seni kriya dipengaruhi oleh faktorfaktor tertentu, yaitu faktor internal seniman yang terdiri dari penghayatan, kreativitas, keterampilan, selera, kepribadian dan karakter serta faktor eksternal yang teridiri dari kondisi ruang, waktu, kebudayaan dan ketersediaan media penciptaan karya seni (Kusen, 1985:6). Berangkat dari konsep di atas, dapat diperoleh pengertian bahwa secara intern, relief candi yang dibuat dan masih ada hingga sekarang merupakan salah satu bentuk dari penglihatan seniman masa lalu terhadap kehidupan aktualnya, atau dengan kata lain ide dan ekspresi yang dituangkan ke dalam relief dipengaruhi oleh pengalaman seniman dan apa yang dilihatnya pada kehidupan aktualnya (Prasodjo, 1987-1988: 4-6). Secara eksternal, relief candi yang dibuat dibuat berdasarkan situasi budaya yang terjadi di masa seniman pembuatnya seperti ideologi yang dianut masyarakat, perubahan tatanan dan nilai ekonomi, poitik, sosial dan budaya serta pengaruh luar yang masuk. Kondisi-kondisi di atas yang kemudian menjadi referen bagi seorang seniman untuk menciptakan sebuah karya seni. Referen yang dirujuk ini kemudian mempengaruhi ideologi, gaya dan pola yang dianut oleh sang seniman. Salah satu referen bagi seorang seniman yang dijadikan dasar dalam membuat suatu karya salah satunya adalah gaya, dalam hal ini adalah gaya seni.
12
Gaya merupakan bentuk yang tetap atau konstan yang dimiliki seseorang maupun kelompok sebagai ciri pada suatu waktu/kurun waktu tertentu (Soekiman 2000, 81); sedangkan gaya seni merupakan suatu tata cara khas yang menjadikan suatu karya seni memiliki ketetapan bentuk dan kekhasan ciri artisitik sekaligus mencerminkan identitas dan karakter seseorang, kelompok, gerakan, budaya, serta peradaban dalam masa tertentu (Butcher, 2001: 5). Lebih lanjut menurut Henk Baren (dalam Soekiman, 2000: 82-83) dikatakan, gaya dibagi menjadi 4, yaitu: a. Gaya objektif, yaitu ciri yang melekat pada benda itu sendiri. b. Gaya personal, yaitu ciri yang melekat dalam diri seniman dan karya buatannya sebagai penanda dari cirinya. c. Gaya bangsa atau nasional, yaitu ciri yang menjadi identitas suatu Negara atau bangsa d. Gaya khusus atau gaya teknis, yaitu ciri yang melekat pada pemakaian suatu teknik dalam pemanfaatan material/bahan yang digunakan sebagai media. Dalam ilmu arkeologi, kajian mengenai gaya seni tentunya sangat relevan, terutama jika dihubungkan dengan artefak yang menjadi objek kajiannya. Dikatakan demikian karena keempat gaya yang disebutkan di atas bermuara ke satu titik, yaitu gaya suatu zaman, dalam arkeologi keberadaan artefak juga merepresentasikan gaya suatu zaman. Syarat diperolehnya suatu gaya pada suatu artefak mencakup tiga aspek: yaitu (a) bentuk/form, (b) hiasan/ornament, dan (c) keselarasan/harmony (Soekiman, 2000). Berdasarkan syarat-sayarat tersebut diketahui pengaruh gaya seni tertentu dalam suatu artefak yang berasal dari individu, kelompok, atau bangsa tertentu,
13
dari situ kemudian diketahui kualitas budaya pendukung artefak tersebut. Secara khusus, gaya yang menandai suatu artefak merupakan cara ungkap atau pencitraan dari pembuatnya dengan berbagai idiom bentuk yang khas sehingga berciri khusus (Setyawan, 2004: 21). Pada penjelasan sebelumnya mengenai aspek-aspek dalam gaya, lebih lanjut dipaparkan beberapa analisis oleh para peneliti lain mengenai unsur dan aspke yang dapat dikaji dalam suatu gaya seni. Beberapa kajian peneliti akan digunakan untuk analisis gaya seni pada tulisan ini yaitu Vernon James Knight Jr., Inés Domingo Sanz dan Dánae Fiore, Marijke J. Klokke serta Kusen. Beberapa kajian dari peneliti tersebut tidak secara langsung mengarah kepada gaya seni, namun kajian di dalamnya memiliki unsur dan aspek umum yang sama mengenai analisis gaya seni. Pada Bab III akan dipaparkan mengenai hal tersebut. I.7.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui indikasi jenis gaya seni India
dalam relief Lalitāvistara Candi Borobudur, untuk itu diperlukan deskripsi yang sistemastis terhadap data-data yang berkaitan dengan relief dan gaya seni tersebut sehingga dapat dirumuskan generalisasi empiris (Kusumohartono, 1987: 18-19). Jika dilihat dari hasil yang akan dicapai, yaitu menyimpulkan suatu generalisasi empiris, maka digunakan penalaran induktif (Mundardjito, 1986: 198). Tahap kerja penelitian ini akan dirumuskan sebagai berikut: 1. Pengumpulan data Dalam tahap ini, dilakukan pengumpulan data-data primer berupa observasi terhadap relief Lalitāvistara Candi Borobudur, hasil yang didapat
14
adalah deskripsi berdasarkan pengamatan penulis serta foto relief terbaru yang dibutuhkan. Untuk memperkuat data tersebut, dilakukan pengumpulan data sekunder berupa kepustakaan yang berkaitan dengan relief Lalitāvistara Candi Borobudur seperti deskripsi dan analisis dari penelitian sebelumnya beserta foto-foto hasil dokumentasi lalu untuk mendukung visualisasi dari deskripsi sekaligus untuk mendukung analisis secara visual nantinya. Selain itu, dikumpulkan juga data mengenai deskripsi gaya seni Buddhis yang berasal dari India beserta foto-foto relief maupun karya seni patung lain dari sumber pustaka yang relevan. Secara lebih khusus, akan diambil relief atau karya lain yang menceritakan kisah Lalitāvistara maupun yang masih berhubungan dengan gaya seni di India. Deskripsi di atas dilakukan terhadap komponen-komponen visual yang terdapat relief, seperti figur manusia, antromorfis, flora, fauna, peralatan, dan lingkungan pendukung beserta organisasi yang diterapkan di dalamnya. 2. Pengolahan dan Analisis Data Sebelum mengolah data, terlebih dahulu dirumuskan suatu model dari deskripsi yang sudah ada dan berasal dari hasil pengamatan dapat lebih sistematis sehingga mempermudah dalam analisis. Analisis dan pemodelan yang dilakukan berdasarkan modifikasi penulis terhadap teori dan konsep mengenai analisis gaya seni yang telah dirumuskan lebih dahulu oleh peneliti lain; baik itu analisis terhadap gaya seni relief maupun karya seni rupa lain yang masih berkaitan. Secara umum, analisis akan dilakukan dengan
15
mengacu kepada teori-teori yang dikemukakan oleh James Vernon Knight, Marijke J. Klokke, Sanz dan Fiore, serta Kusen. Untuk pemodelan dalam analisis secara umum diformulasikan untuk mengidentifikasi gaya yang diterapkan pada komponen-komponen visual relief. Pemodelan ini cenerung mengacu kepada model tabel yang telah dibuat oleh Kusen mengenai analisis Komponen relief dan analisis susunan komponen relief. Untuk mengisi lajur dan kolom tabel, diperlukan beberapa kelompok variabel yang diadaptasi dari teori-teori yang telah dikemukakan para peneliti tersebut dan diambil beberapa variabel seperti: (a) bentuk dan penggambaran, (b) perspektif dan ruang dan (c) komposisi. Setelah formulasi dilakukan berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan, tahap berikutnya yaitu membuat sistem tabulasi dari kelompok-kelompok variabel di atas. Berikut ini adalah rancangan tabel yang digunakan dalam analisis:
Komponen Visual
Gaya seni Buddhis Bentuk Perspektif Penggambaran dan dan ruang Pemahatan
Komposisi Relief
Umum Sosok dan figur Lingkungan dan komponen pendukung
Data berupa deskripsi dan gambar kemudian dilakukan analisis terhadap gaya seni berdasarkan variabel-variabel di atas, selanjutnya gaya seni Buddhis India yang dibagi ke dalam tiga fase dan gaya seni relief Lalitāvistara Candi Borobudur. di deskripsi dan gambar dilakukan berdasarkan pemodelan yang dibuat tersebut. Hasil dari pengolahan data ini
16
kemudian dimasukkan ke dalam sistem tabel yang telah diklasifikasikan berdasarkan model yang telah dibuat untuk membantu ketika analisis perbandingan. Perbandingan dilakukan dengan mencocokkan analisis dan tabel yang menunjukkan ciri-ciri gaya seni dari India dengan tabel yang menunjukkan ciri-ciri penggayaan dalam relief Lalitāvistara. 3. Interpretasi dan Penarikan Kesimpulan Dalam tahap ini, tujuan untuk mengetahui indikasi keberadaan gaya seni dalam relief Lalitāvistara akan terjawab dari penjabaran hasil perbandingan ciri-ciri dalam relief Lalitāvistara yang menunjukkan keberadaan ciri gaya seni Buddhis di India berdasarkan interpretasi terhadap analisis di atas. Selanjutnya akan ditarik kesimpulan yang bersifat umum atau generalisasi empiris mengenai beberapa ciri dari gaya seni Buddhis di India yang diterapkan di relief Lalitāvistara Candi Borobudur.
17
CATATAN BAB 1 1
Dalam konsep Buddhisme, Tridhatu dibagi menjadi tiga tingkatan; yaitu Kamadhatu (lingkup hasrat) yang merupakan bagian dasar candi, Rupadhatu (lingkup wujud) yang merupakan bagian tubuh berteras persegi candi dan arupadhatu (lingkup tak berwujud) yang merupakan bagian tubuh berteras lingkar hingga puncak. 2
untuk penyebutan unsur-unsur visual yang terdapat dalam relief, penulis cenderung menggunakan istilah “komponen relief’ yang merujuk kepada penggambaran figur tertentu beserta bentuk-bentuk makhluk hidup maupun benda tak hidup lainnya (lihat Kusen, 1985: 47). Penambahan kata “visual” dilakukan agar komponen yang dirujuk mengarah kepada bentuk-bentuk artistik yang dipahatkan dalam relief; di samping untuk mempertegas istilah yang dimaksud. 3
Substraksi yaitu teknik dalam seni patung dengan mereduksi media pemahatan menjadi suatu bentuk menggunakan alat tertentu, seperti pahat, gergaji, gerinda, kikir dan sebagainya (lihat juga Susanto 2011: 383).