MENELISIK NILAI – NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM UPACARA TRADISI LARUNG SESAJI DI TELAGA SARANGAN DESA SARANGAN KECAMATAN PLAOSAN KABUPATEN MAGETAN ANALIZING THE LOCAL WISDOM IN LARUNG SESAJI TRADITIONAL CEREMONY IN SARANGAN LAKE, SARANGAN VILLAGE, PLAOSAN SUBDISTRICT, MAGETAN REGENCY Romadhon, Dicky Reza. 2013. Menelisik Nilai – Nilai Kearifan Lokal Dalam Upacara Tradisi Larung Di Sesaji Telaga Sarangan Desa Sarangan Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan. Skripsi, Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Drs. Suwarno Winarno (II) Yuni Astuti, S.H , M.Pd Romadhon, Dicky Reza. 2013. Analizing the local wisdom in Larung Sesaji Traditional Ceremony in Sarangan Village, Plaosan Subdistrict, Magetan Regency. Thesis, Law and Civil Department, Social Science Faculty, State University of Malang. Advisors: (I) Drs. Suwarno Winarno (II) Yuni Astuti, S.H , M.Pd. ABSTRAK : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang nilai – nilai kearifan lokal dalam upacara tradisi Larung Sesaji di Telaga Sarangan Desa Sarangan Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif. Kehadiran peneliti di lapangan adalah untuk mengumpulkan data dari kasus yang diangkat dengan menggunakan prosedur pengumpulan data yaitu metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: (1) Asal – usul sejarah terjadinya upacara Larung Sesaji adalah Putri dari Raja Surakarta Hadiningrat yang bernama Kusumo Werdi Ningsih hilang di Telaga Sarangan baik jasmani maupun rohaninya. Semenjak kejadian itu Raja Surakarta Hadiningrat memerintahkan masyarakat melakukan Larung Sesaji untuk mendoakan putri Raja tersebut. (2) tujuan diadakannya upacara Larung Sesaji adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas kehadirat Tuhan YME berkat limpahan nikmat yang telah diterima berupa telaga Sarangan. (3). Pelaksanaan upacara Larung Sesaji adalah upacara Larung Sesaji dilakukan setahun sekali pada bulan Ruwah Jumat Pon menjelang bulan Ramadhan. (4) nilai – nilai kearifan lokal yang terkandung dalam upacara Larung Sesaji adalah nilai religi, nilai kekerabatan, nilai rendah hati, nilai keindahan dan nilai simbolik. (5) kendala yang dihadapi saat pelaksanaan Larung Sesaji adalah kendala kecil tentang kurang tersedianya lahan parkir untuk menampung kendaraan para pengunjung. Kata kunci : larung sesaji, kearifan lokal, telaga sarangan ABSTRACT : This study is aimed to know the understanding the value of local wisdom in Larung Sesaji Traditional Ceremony in Sarangan Lake, Sarangan Village, Plaosan Subdistrict, Magetan Regency. This reaserch used descriptive qualitative design. The presence of the researcher is to collect the data from the cases arise used collecting data
prosedure which is interview, observation, and documentation. The summary of the research result are as follows: (1) the history of Larung Sesaji Sarangan lake are daughter from Raja Surakarta Hadinigrat named Kusumo Werdi Ningsih was lost in Sarangan lake. Since the tragedy, Raja Surakarta Hadinigrat asked people to do Larung Sesaji pray for her daughter (2) the objectives of Larung Sesaji Sarangan lake are Larung Sesaji ceremony was aimed show thankful to the God through the existance of Sarangan lake (3) ) the implementation of Larung Sesaji Sarangan lake ceremony are Larung sesaji ceremony was held once a year on Friday Pon Ruwah month before Ramadhan. (4) the value of local wisdom in Larung Sesaji Sarangan lake are religious value, kinship value, humble value, beautufication value and symbolic value. (5) the problems in doing larung sesaji sarangan lake ceremony are no big problem about parking area is no enough parking area for the visitors. Key words: larung sesaji, local wisdom, sarangan lake
Pendahuluan Kebudayaan tidak lepas dari masyarakat, kebudayaan adalah cara dan manifestasi kehidupan mahluk manusia, kebudayaan adalah produk dari manusia. Manusia tidak semata – mata sebagai individu tetapi sebagai anggota kelompok (homo sosial). Masyarakat merupakan wadah dari kebudayaan tempat manusia mengaktualisasikan cipta, karya, rasa dan karsanya. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multi kultural yang memiliki keragaman kebudayaan, contohnya keragaman adat istiadat. Kelestarian kebudayaan ini perlu dijaga dengan baik karena merupakan suatu aset yang sangat berharga dan sangat bernilai tinggi bagi kehidupan masyarakat. Salah satu
kegiatan adat istiadat biasanya tercermin dengan adanya suatu upacara yang dilakukan secara rutin pada waktu tertentu. Salah satu kegiatan dalam adat istiadat adalah ritual. Ritual adalah teknik, cara atau metode membuat suatu kebiasaan menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat sosial dan agama. Ritual bisa pribadi atau kelompok, wujudnya bisa berupa doa, tarian, drama dan sebagainya. Ritual biasanya dilakukan di suatu tempat yang menurut masyarakat itu sendiri merupakan tempat yang dianggap khusus dan dipercaya dapat memberikan suatu berkah bagi mereka. Di dalam satu ritual pasti ada seseorang yang dipercayai untuk memimpin upacara adat atau ritual tersebut. Selain itu terdapat syarat yang harus ada di dalam prosesi ritual, diantaranya dengan membawa sesaji dan hasil bumi sebagai wujud rasa terima kasih terhadap Tuhan. Selain itu dalam satu ritual ada berbagai makna dan nilai – nilai kearifan lokal yang dipegang teguh oleh masyarakat yang menjalankannya. Kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat.
Peristiwa adat seperti itu terjadi di telaga Sarangan desa Sarangan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan Jawa Timur. Selain terkenal dengan telaganya yang indah juga terdapat ritual yang dinamakan Larung Sesaji. Kejadian yang bisa dijadikan objek wisata dan dipercaya dapat memberikan berkah bagi masyarakat yang melakukannya. Menurut data historis yang ada, ritual Larung
Sesaji tersebut merupakan puncak dari upacara adat bersih desa yang dilakukan masyarakat di sekitar Telaga Sarangan menjelang kedatangan bulan suci Ramadhan. Setiap tahun acara selalu digelar pada setiap bulan Ruwah menjelang bulan Ramadhan. Selain untuk bersyukur kepada Tuhan, melalui adat ini, warga sekitar juga memohon berkah agar Telaga Sarangan tetap lestari / indah dan warganya hidup sejahtera, aman, tentram dan damai. Tradisi ini juga dilakukan sebagai penangkal balak agar warga Sarangan terhindar dari marabahaya dan bencana. Upacara pengorbanan dan puji syukur dalam ritual adat ini, Tumpeng Gono Bahu setinggi dua meter lebih diarak kemudian dilarungkan ke dalam Telaga Sarangan di Lereng Gunung Lawu. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui : (1) Asal – usul upacara Larung Sesaji telaga Sarangan, (2) tujuan diadakannya upacara Larung Sesaji telaga Sarangan, (3) pelaksanaan upacara Larung Sesaji telaga Sarangan, (4) nilai – nilai kearifan lokal yang terkandung dalam upacara Larung Sesaji telaga Sarangan, (5) kendala yang dihadapi dalam melakukan upacara Larung Sesaji telaga Sarangan. Metode Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2002:3) metode kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti. Metode ini digunakan untuk mengetahui nilai – nilai kearifan lokal dalam upacara tradisi Larung Sesaji di Telaga Sarangan.
Sumber data dalam penulisan ini adalah (1) sumber data yang berupa kata-kata diperoleh peneliti dari hasil wawancara Sesepuh desa Sarangan, aparat desa Sarangan dan warga desa Sarangan. Sedangkan sumber data yang berupa tindakan diperoleh
dari hasil pengamatan ketika melakukan wawancara dan
sebagai sarana untuk menyamakan hasil wawancara dengan keadaan di lapangan. (2) Dalam penelitian ini sumber data yang dikaji oleh peneliti sebagai bahan tambahan adalah dokumen-dokumen foto kegiatan Larung Sesaji di Telaga Sarangan. Prosedur pengumpulan data penelitian ini adalah: (1) Wawancara, wawancara adalah percakapan antara sumber dan pencari sumber yang tujuannya adalah untuk mengumpulkan informasi yang akan digunakan untuk melengkapi penelitian. Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara kepada Sesepuh desa Sarangan Mbah Sastro Supar (82 tahun) dan Mbah Sunarto (68 tahun), aparat desa Sarangan Bapak Akit Tri ( 40 tahun) dan warga desa Sarangan Bapak Tamin (46 tahun). (2) Observasi, observasi digunakan untuk mengamati secara langsung tentang nilai – nilai kearifan lokal dalam upacara tradisi Larung Sesaji di Telaga Sarangan. (3) dokumentasi, dokumentasi yang berkaitan dengan nilai – nilai kearifan lokal dalam upacara tradisi Larung Sesaji di Telaga Sarangan digunakan untuk bahan acuan untuk memperoleh data. Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan selama dan setelah pengumpulan data. Bogdan dan Taylor (Moleong, 2000:104-105) memberikan prosedur analisis data kualitatif meliputi: (1) membaca dengan teliti catatan di lapangan, (2) memberi kode, (3) menyusun menurut tipologi, (4) membaca kepustakaan yang sesuai. Dalam penulisan ini menggunakan teknik analisis data
(1) mengorganisasikan data (2) memberi kode (3) mencari penjelasan-penjelasan alternatif (4) penyajian data.
Hasil Berdasarkan data yang diperoleh, dianalisis, dan dipaparkan terdapat hasil penelitian sesuai dengan fokus penelitian yang ingin dicapai. Lima temuan penelitian berikut adalah : (1) Asal – usul upacara Larung Sesaji telaga Sarangan, (2) tujuan diadakannya upacara Larung Sesaji telaga Sarangan, (3) pelaksanaan upacara Larung Sesaji telaga Sarangan, (4) nilai – nilai kearifan lokal yang terkandung dalam upacara Larung Sesaji telaga Sarangan, (5) kendala yang dihadapi dalam melakukan upacara Larung Sesaji telaga Sarangan.
Pembahasan Asal – usul Upacara Tradisi Larung Sesaji di Telaga Sarangan Upacara Larung Sesaji merupakan tradisi turun – temurun yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh warga masyarakat desa Sarangan. Upacara Larung Sesaji tidak terlepas dari asal – usul terjadinya Telaga Sarangan. Konon ceritanya ada suami istri yang bernama kyai dan nyai pasir yang berubah menjadi naga setelah makan telur yang ditemukan diladang. Naga itu membuat cekungan besar. Dari cekungan besar itu keluar air yang sangat banyak dan jadilah Telaga Sarangan. Karena merasa sakti Kyai dan Nyai Pasir mempunyai niat jahat untuk menenggelamkan gunung Lawu. Djalilung anak dari Kyai dan Nyai Pasir berdoa kepada sang penguasa agar niat jahat kedua orang tuanya itu diurungkan. Doa Djalilung terkabulkan dan kedua ular naga itu murco (menghilang) di telaga.
Sebelum meghilang Kyai dan Nyai Pasir berpesan bahwa mereka dapat ditemui pada bulan Ruwah Jumat Pon setahun sekali. Telaga Sarangan telah ada sekitar tahun 508 Masehi. Asal mula diadakannya Larung Sesaji merupakan pengaruh dari Kraton Surakarta Hadiningrat. Dahulu putri Kraton Surakarta Hadiningrat yang bernama Kusumaning Ayu Werdi Ningsih hilang di Telaga Sarangan baik jasmani maupun rohaninya. Semenjak kejadian itu Surakarta Hadiningrat memerintahkan warga Desa Sarangan setiap bulan Ruwah untuk melakukan Larung Sesaji untuk mendoakan putri Kraton Surakarta Hadiningrat yang bernama Kusumaning Ayu Werdi Ningsih, Selain itu upacara tradisi Larung Sesaji merupakan suatu wujud terima kasih kepada Tuhan atas limpahan rejeki, sekaligus kirim doa untuk menghormati Kyai dan Nyai Pasir yang telah membuka lahan yang sekarang menjadi tempat hidup dan mencari rejeki bagi warga Sarangan. Kemudian upacara Larung Sesaji ini secara turun temurun dilakukan dari dahulu sampai sekarang Tujuan Diadakannya Upacara Tradisi Larung Sesaji di Telaga Sarangan Tujuan yang ingin dicapai dari Upacara Larung Sesaji ini dapat dilihat dalam berbagai konteks kehidupan seperti hubungan antara mahkluk hidup dengan Sang Penciptanya, dengan penunggu Telaga Sarangan maupun antar sesama warga masyarakat. Tradisi Larung Sesaji Telaga Sarangan merupakan tradisi turun temurun dari orang terdahulu mereka. Tujuan diadakannya upacara Larung Sesaji adalah sebagai ucapan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat yang berupa telaga Sarangan yang sekarang menjadi sumber penghidupan bagi warga Sarangan. Selain itu untuk menghormati Kyai dan Nyai Pasir yang telah
menyebabkan terjadinya Telaga Sarangan. Serta kirim do’a kepada putri Kraton Kusumaning Ayu Werdi Ningsih yang menghilang di telaga. Dengan melakukan tradisi Larung Sesaji masyarakat berharap akan terhindar dari berbagai bencana. Selain itu tradisi Larung Sesaji juga menjadi salah satu objek wisata untuk menarik wisatawan. Warga beserta pemkab Magetan bekerja sama mengemas sebagus mungkin acara ini agar banyak pengunjung yang datang untuk melihat acara Larung Sesaji di Telaga Sarangan sehingga dapat meningkatkan penghasilan warga Sarangan.
Pelaksanaan Upacara Tradisi Larung Sesaji di Telaga Sarangan a.
Tahap Persiapan Upacara Larung Sesaji rutin dilakukan setahun sekali pada bulan Ruwah
Jumat Pon. Seminggu sebelum upacara diadakan, warga desa beserta aparat kelurahan membentuk panitia khusus agar pada waktu melakukan persiapan dan jalannya proses upacara berjalan lancar dan tidak ada kekurangan satu apapun. Upacara Larung Sesaji di Telaga Sarangan dilakukan selama empat hari berturut – turut, yaitu pada hari kamis pahing aparat desa menyembelih kambing kendit di tepi Telaga Sarangan Setelah Penyembelihan kambing kendit pukul 16.00 Sesepuh desa, Kepala Desa serta Aparat yang berkepentingan melakukan slamatan di tengah pulau telaga Sarangan.
Malam hari pada pukul 19.00 seluruh warga Sarangan mengadakan slamatan di depan Kepunden. Acara itu diisi dengan malam tirakatan kirim doa yang dipimpin oleh Sesepuh desa. Pada acara malam tirakatan Kepala Desa Sarangan Bapak Tumiran memberikan sambutan singkat yang inti dari sambutannya adalah : Ucapan terima kasih atas kedatangan warga desa Sarangan pada malam tirakatan ini. Tradisi malam tirakatan ini harus tetap dilakukan karena kegiatan ini adalah kegiatan yang sakral dari bersih desa telaga Sarangan, selain itu kegiatan seperti ini bukanlah kegiatan yang musrik karena pada awal tujuan dilakukan ini untuk mendoakan para leluhur desa Sarangan. Setelah kirim doa dan sambutan acara dilanjutkan dengan makan bersama di depan Kepunden serta acara hiburan musik yang telah disediakan oleh panitia. Pada pukul 24.00 acara dilanjutkan dengan Pagar Desa. Kegiatan Pagar Desa yaitu menanam kepala serta kaki kambing kendit yang disembelih. Kepala kambing di tanam di Kepunden sedangkan 4 kaki kambing ditanam di pojok desa, 4 kaki itu masing – masing di tanam di Sarangan, Ngluweng, Mandoran serta Singolangu. Pada hari Jumat Pon pagi seluruh warga desa Sarangan melakukan kegiatan kebersihan massal di sekitar telaga Sarangan, Sarangan, Ngluweng, Mandoran serta Singolangu. Setelah acara bersih desa selesai acara dilanjutkan dengan gladi bersih untuk persiapan hari minggu. Pada hari Sabtu semua keperluan – keperluan untuk Larung Sesaji dipersiapkan. Termasuk pembuatan tumpeng Gono bahu serta hasil bumi. Dalam
pembuatan tumpeng setinggi kurang lebih 2meter ini menghabiskan beras sekitar 50kg dan biaya lebih dari 2 juta rupiah. b. Tahap Pelaksanaan Pada hari minggu tanggal 30 Juni merupakan puncak dari kegiatan bersih desa, yaitu upacara adat Larung Sesaji. Acara dimulai pada pukul 07.00 WIB dengan mempersiapkan prosesi Sesaji Agung “Labuh Tumpeng Gono Bahu”. Selain Tumpeng Gono bahu dan sesaji hasil bumi, ada juga iring – iringan pasukan yang mengikuti kirab. Dalam Acara Larung Sesaji di Telaga Sarangan, untuk pakaian tidak ada ketentuan khusus pakaian yang harus dikenakan pada setiap rangkaian kegiatan sejak mulai persiapan, maupun pelaksanaan. Artinya, bahwa tidak ada keharusan untuk memakai pakaian tertentu dalam pelaksanaan ritual tersebut. Walaupun demikian, dari tradisi pelaksanaan ritus yang sudah berjalan dari tahun ke tahun nampaknya memunculkan kebiasaan mengenai jenis pakaian yang sering digunakan dalam pelaksanaan Ritual Larung Sesaji di Telaga Sarangan. Setelah prosesi sesaji dipersiapkan, acara pemberangkatan prosesi dilakukan pada pukul 09.00 di depan Kantor Kelurahan melewati jalan protokol menuju Kepunden Telaga Sarangan yang tempat sesaji. Dalam iring – iringan pasukan kirab yang paling depan adalah pasukan berkuda yang berjumlah empat orang, subomanggolo atau cucok laku, pembawa penurung, sesepuh desa Sarangan Sastro Supar , pengapit sesepuh desa, kepala desa serta ibu, pengapit kepala desa, pembawa sosong agung, unit kejawen, unit perangkat RT/RW, pembawa tumpeng agung, pembawa sesaji hasil bumi, domas putra dan putri , serta unit kesenian. Tumpeng Gono Bahu serta sesaji hasil bumi
masing – masing dipikul oleh empat orang. Semua prosesi berjalan melewati jalan protocol menuju Kepunden yang jaraknya sekitar 500m dari Kantor Kelurahan. Upacara Labuh Sesaji dipusatkan di Kepunden tepatnya sebelah timur telaga, di tempat inilah para pejabat Kabupaten, Muspika, para perangkat desa, sesepuh, dan tokoh masyarakat serta para warga masyarakat berkumpul untuk mengadakan upacara Larung Sesaji. Setelah semua peserta prosesi sampai di depan Kepunden, Sesepuh desa Sarangan melakukan serah terima sesaji kepada Bupati Magetan yaitu Bapak Sumantri. Setelah serah terima sesaji, sesaji disemayamkan sebentar di Kepunden. Kemudian acara dimulai pada pukul 09.30. Sedangkan susunan acaranya sebagai berikut : (1) Pembukaan, (2) Pembacaan Singkat tentang terjadinya Telaga Sarangan. (3) Sendratari terjadinya Telaga Sarangan, (4) Sambutan dari Bupati Magetan, (5) Pembacaan Do’a, (6) Pelaksanaan Larung Sesaji. (7) makan bersama, (8) hiburan. Dengan dilarungkannya sesaji tersebut warga sarangan dan semua warga magetan berharap dapat dijauhkan dari segala musibah dan balak, serta kehidupan masyarakat akan lebih baik. Nilai – nilai Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Upacara Tradisi Larung Sesaji di Telaga Sarangan Kebudayaan daerah seperti Upacara Larung Sesaji mempunyai berbagai makna dan nilai – nilai kearifan yang dipegang teguh oleh masyarakat yang menjalankannya. Begitu pula dengan pelaksanaan Upacara Larung Sesaji di Telaga Sarangan. Makna serta nilai – nilai kearifan yang terkandung dapat dilihat
dari awal prosesi persiapan dalam upacara Larung Sesaji sampai pada saat pelaksanaan upacara Larung Sesaji tersebut. Kemudian inti dari nilai - nilai kearifan dalam upacara Larung Sesaji antara lain sebagai berikut :
a.
Nilai Religi Secara vertikal makna ritual larung sesaji di Telaga Sarangan mengandung maksud untuk memohon keselamatan, memohon rezeki kepada Tuhan dan menghormati para leluhur (Kyai dan Nyai Pasir). Nilai religi dapat diketahui dari mitos Kyai dan Nyai Pasir yang telah bertahun – tahun hidup berdampingan namun belum dikaruniai anak, akhirnya mereka berdua bersemedi meminta kepada Hyang Widhi agar diberi keturunan dan Alhamdulillah dikaruniai seorang anak. Dalam hal ini nilai yang dapat dipetik adalah jika kita mempunyai suatu keinginan dan kita meminta dengan bersungguh – sungguh insyaallah akan diberi jalan.
b.
Nilai Kekerabatan Dilihat dari sisi mitos terjadinya Telaga Sarangan dimana Kyai dan Nyai Pasir untuk mencukupi kebutuhan hidupnya mereka bersama – sama mengolah ladang, berburu dan kadang kala harus melawan maut binatang buas dan ganasnya alam. Dari mitos itu dapat disimpulkan bahwa Kyai dan Nyai Pasir saling membantu untuk mencukupi kebutuhan mereka, dan itu juga terlihat pada kekompakan masyarakat dalam melakukan prosesi Larung Sesaji. Dalam kegiatan ini tak ada perbedaan status dan kasta
antara si kaya dan si miskin. Semua bekerja sama melakukan ritual larung sesaji yang dianggap sakral oleh masyarakat daerah setempat tersebut. c.
Nilai Rendah Hati Mitos terjadinya Telaga Sarangan tentang Kyai dan Nyai Pasir yang muncul sifat angkara murkanya setelah mereka menjadi naga besar yang mempunyai kemampuan luar biasa sehingga mampu membuat Telaga, memberi suatu nilai moral bahwa jika manusia mempunyai suatu kelebihan jangan terlalu menyombongkan diri atas apa yang mereka punya.
d.
Nilai Keindahan Nilai ini tercermin dalam pembuatan sesaji dari hasil bumi yang disusun rapi dan menimbulkan suatu kesan keindahan tersendiri dan busana yang dikenakan peserta kirab yang mampu menyuguhkan daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
e.
Nilai Simbolik Setiap isi dari persembahan sesaji mempunyai makna dan tujuan tersendiri, seperti Sekar telon gondo wangi, yang terdiri dari tiga macam bunga yaitu bunga melati, bunga kanthil, dan bunga kenanga. Sekar telon gondo wangi melambangkan asal manusia yaitu dari tri tunggal yang maksudnya bersatunya (manunggaling) Tuhan, bapak dan ibu. Juga melambangkan kehidupan manusia, berkenaan dengan sifat hidup dan kodrat menghidupi, yang membuat hidup. Adapun kodrat manusia terdiri dari tiga yaitu lahir, berkembang biak dan mati.
Kendala yang Dihadapi Pada Saat Pelaksanaan Upacara Tradisi Larung Sesaji di Telaga Sarangan Pada saat pelaksanaan tidak ada suatu kendala yang berarti, namun ada kendala kecil yang saat ini butuh kesadaran dari para warga Desa Sarangan dan Pemkab Magetan, yaitu tentang lahan parkir. Pada saat membludaknya pengunjung di Sarangan, lahan parkir yang ada tidak cukup untuk menampung kendaraan para pengunjung, sehingga banyak kendaraan yang parkir di tepi telaga yang menimbulkan kesan semrawut dan mengganggu jalannya prosesi Larung Sesaji.
Kesimpulan (1) Upacara Larung Sesaji tidak terlepas dari asal – usul terjadinya Telaga Sarangan. Konon ceritanya ada suami istri yang bernama kyai dan nyai pasir yang berubah menjadi naga setelah makan telur yang ditemukan diladang. Kemudian naga itu membuat cekungan besar. Dari cekungan besar itu keluar air yang sangat banyak dan membuat genangan air yang luas. Melihat kejadian tidak wajar itu Djalilung melakukan semedi, didalam semedi diterima wangsit kalau orang tuanya telah menjadi naga yang menyebabkan genangan air tadi serta niat jahat kedua orang tuanya untuk menenggelamkan gunung lawu. Kemudian Djalilung berdoa kepada sang penguasa agar niat jahat kedua orang tuanya itu diuurungkan. Doa djalilung terkabulkan dan kedua ular naga itu murco (menghilang) di telaga. Asal mula diadakannya Larung Sesaji merupakan pengaruh dari Kraton Surakarta Hadiningrat. Dahulu putri Kraton Surakarta Hadiningrat yang bernama Kusumaning Ayu Werdi Ningsih hilang di Telaga Sarangan baik jasmani maupun
rohaninya. Semenjak kejadian itu Surakarta Hadiningrat memerintahkan warga Desa Sarangan setiap bulan Ruwah untuk melakukan Larung Sesaji untuk mendoakan putri Kraton Surakarta Hadiningrat yang bernama Kusumaning Ayu Werdi Ningsih, Selain itu upacara tradisi Larung Sesaji merupakan suatu wujud terima kasih kepada Tuhan atas limpahan rejeki, sekaligus kirim doa untuk menghormati Kyai dan Nyai Pasir yang telah membuka lahan yang sekarang menjadi tempat hidup dan mencari rejeki bagi warga Sarangan. Kemudian upacara Larung Sesaji ini secara turun temurun dilakukan dari dahulu sampai sekarang. (2) Upacara Larung Sesaji merupakan suatu tradisi yang turun – temurun dari nenek moyang kita. Tujuan diadakannya Upacara Larung Sesaji adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas segala nikmat yang telah diberikan. Selain itu untuk menghormati para leluhur yaitu Kyai dan Nyai Pasir yang konon ceritanya adalah penunggu Telaga Sarangan. Sebagian masyarakat percaya marahnya penunggu telaga apabila tidak diadakannya Larung Sesaji yang mengakibatkan terjadinya bencana alam. Upacara Larung Sesaji juga dijadikan sebagai objek wisata andalan sebagai pendongkrak wisatawan untuk berkunjung. (3) Upacara Larung Sesaji rutin dilakukan setahun sekali pada bulan Ruwah Jumat Pon. Pada hari Kamis Pahing pagi diadakan penyembelihan kambing kendit di depan Kepunden, pada sore hari jam 16.00 diadakan slamatan di tengah pulau telaga Sarangan, pada malam hari pukul 19.00 diadakan malam tirakatan dan pada pukul 24.00 dilakukan pagar desa dengan menanam kepala kambing di kepunden dan kaki kambing di 4 desa yaitu Sarangan, Ngluweng, Mandoran dan Singolangu. Pada hari jum’at pon diadakan kebersihan massal di sekitar telaga Sarangan, Sarangan, Ngluweng, Mandoran dan Singolangu. Minggu pagi seluruh
koordinator prosesi sudah bersiap di depan Kantor Kelurahan. Pemberangkatan prosesi di depan Kantor Kelurahan menuju Kepunden yang letaknya di sebelah timur Telaga, Tumpeng Gono Bahu yang kurang lebih berdiameter 3m dan tinggi 2m ini dibawa oleh empat orang diikuti beberapa iring – iringan peserta kirab yang lain. Setelah sampai di depan Kepunden serah terima sesaji kepada Sesepuh desa dan sesaji dibacakan do’a. Kemudian Tumpeng Gono Bahu dan sesaji lainnya dilarung ke tengah telaga diantar Sesepuh Desa beserta tamu undangan menggunakan perahu. Setelah selesai semua peserta kembali ke tempat upacara. (4) Kebudayaan daerah seperti Upacara Larung Sesaji mempunyai berbagai makna dan nilai – nilai kearifan yang dipegang teguh oleh masyarakat yang menjalankannya. Begitu pula dengan pelaksanaan Upacara Larung Sesaji di Telaga Sarangan. Nilai – nilai kearifan lokal dalam upacara Larung Sesaji adalah (a) Nilai Religi, (b) Nilai Kekerabatan, (c) Nilai Rendah Hati, (d) Nilai Keindahan, dan (e) Nilai Simbolik. (5) Pada saat pelaksanaan tidak ada suatu kendala yang berarti, namun ada kendala kecil yang saat ini butuh kesadaran dari para warga Desa Sarangan dan Pemkab Magetan, yaitu tentang lahan parkir. Pada saat membludaknya pengunjung di Sarangan, lahan parkir yang ada tidak cukup untuk menampung kendaraan para pengunjung, sehingga banyak kendaraan yang parkir di tepi telaga yang menimbulkan kesan semrawut dan mengganggu jalannya prosesi Larung Sesaji. Saran Penulisan karya ilmiah tentang Nilai – nilai kearifan lokal dalam upacara larung sesaji Telaga Sarangan Desa Sarangan Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan merupakan sarana bagi pembaca untuk tetap menjaga nilai-nilai kearifan
lokal yang ada. Berdasarkan simpulan diatas, maka saran yang diajukan dirumuskan sebagai berikut . Bagi masyarakat desa Sarangan untuk terus melestarikan kebudayaan – kebudayaan yang ada serta bergotong – royong menjaga kelestarian telaga Sarangan. Bagi Dinas Pariwisata Kabupaten Magetan untuk memperbaiki fasilitas yang ada di telaga Sarangan. Selain itu untuk lebih memfasilitasi segala kegiatan termasuk Upacara Larung Sesaji guna menarik wisatawan untuk berkunjung ke Sarangan. Bagi Fakultas Ilmu Sosial khususnya dosen pengajar mata kuliah ilmu antropolgi hendaknya lebih banyak memberikan pengetahuan tentang keaneka ragaman kebudayaan – kebudayaan yang ada di Indonesia. Karena dengan mempelajari kebudayaan yang ada secara tidak langsung kita ikut melestarikan kebudayaan nenek moyang.
Daftar Rujukan Arikunto, Suharsini. 2006. Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta. Rineka Cipta Koentjaraningrat. 1990. Pengantar ilmu antropologi. Jakarta. Rineka Cipta Koentjaraningrat.1997. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta. BukuObor Kusumohamidjojo, B. 2009. Filsafat Kebudayaan.Yogyakarta. PT. Jalasutra Moleong, L. J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdkarya Mulder, N. 1983. Jawa-Thailand Beberapa perbandingan sosial budaya. Yogyakarta. Gajahmada University Press Nasution, S . 2002. Metode Research. Jakarta. Bumi Aksara Nasution, S. 1998. Metodologi Naturalistik dan Kualitatif. Bandung. Tarsindo Rahyono, F. X. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Yogyakarta. Wedatama Widya Sastra. Soelaeman, M. Munandar. 1995. Ilmu Budaya Dasar. Bandung. PT. Eresco Universitas Negeri Malang. 2004. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang. UM Press Internet __________. 2008. Pengertian kearifan lokal. (Online) (http://antariksaarticle.blogspot.com/2009/08/kearifan-lokal-dalamarsitektur.html) Diakses pada tanggal 25 maret 2013 Teezzi dkk. 2008. Pengertian kearifan lokal. (Online) (http://library.witpress.com/pages/ paperinfo.asp.html) Diakses pada tanggal 25 maret 2013