I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber kebutuhan protein hewani yang berasal
dari sapi betina yang telah melahirkan. Produksi susu merupakan salah satu aspek penting dalam usaha peternakan komoditas sapi perah, semakin tinggi produksi susu yang dihasilkan dapat meningkatkan pendapatan bagi peternak. Umumnya sapi perah yang ada di Indonesia adalah jenis Fries Holland dengan produksi susu sapi sekitar 2.500 – 3.500 kg/laktasi, pada kondisi lingkungan aslinya sapi ini mampu berproduksi susu sebesar 6.000 kg/laktasi. Faktor yang mempengaruhi produksi susu adalah faktor genetik dan lingkungan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produksi susu sapi yaitu dengan meningkatkan mutu genetik dari sapi perah yang ada di Indonesia. Perbedaan mutu genetik ini dapat menyebabkan perbedaan produksi susu sapi perah sehingga diperlukan adanya seleksi. Proses seleksi memerlukan pencatatan (Recording) terutama catatan produksi susu yang dicatat setiap hari karena akan menggambarkan produksi susu sebenarnya. Namun di Indonesia pencatatan produksi susu setiap hari masih belum banyak diterapkan terutama pada peternakan rakyat, dikarenakan dapat menyita waktu dan tenaga kerja, oleh karena itu perlu diadakannya pencatatan yang lebih sederhana yaitu menggunakan Test Day (TD). TD yaitu pencatatan produksi susu yang dicatat pada hari hari tertentu dan biasanya dilakukan satu bulan sekali. Catatan TD dapat digunakan dengan melakukan pencatatan satu bulan sekali (Monthly Record) untuk meningkatkan efisiensi usaha. Pencatatan bulanan dapat
2 menghemat waktu dan biaya karena dilakukan pada hari-hari tertentu. Selain itu, pencatatan produksi susu bulanan dapat memberikan kesempatan bagi peternak untuk melengkapi informasi produksi susu ternaknya dengan manajemen biaya yang murah. Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah (BBPTU-SP) Baturraden merupakan balai pemerintah yang memiliki tugas untuk memelihara, produksi bibit sapi perah betina dan melakukan pemuliaan serta penyebaran ternak sapi perah. Balai ini memiliki sistem pencatatan yang lengkap mulai dari produksi susu harian, reproduksi dan silsilah ternak. Pendugaan produksi susu total menggunakan catatan TD bulanan memerlukan adanya kurva produksi. Setelah mendapatkan produksi susu berdasarkan pencatatan bulanan kemudian hasilnya dikorelasikan dengan produksi susu total 305 hari yang terkoreksi. Cara ini dilakukan untuk mempermudah dugaan produksi susu total 305 hari berdasarkan catatan produksi susu bulanan. Hal tersebut menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian tentang Evaluasi Produksi Susu Bulanan Sapi Perah Fries Holland dan Korelasinya dengan Produksi Total 305 Hari di BBPTU - HPT Baturraden.
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang maka dapat dikemukakan identifikasi masalah
sebagai berikut : 1. Berapa produksi susu bulanan sapi perah periode laktasi 1 dan 2 di BBPTU - HPT Baturraden. 2. Berapa besar korelasi antara produksi susu bulanan dengan produksi total 305 hari di BBPTU - HPT Baturraden.
3 1.3
Maksud dan Tujuan 1.
Mengetahui berapa banyak produksi susu bulanan periode laktasi 1 dan 2 di BBPTU - HPT Baturraden.
2.
Mengetahui berapa besar korelasi antara produksi susu bulanan dengan total produksi 305 hari di BBPTU - HPT Baturraden.
1.4
Kegunaan Penelitian Kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tambahan bagi para peneliti dan peternak sapi perah dalam menduga produksi susu total 305 hari berdasarkan catatan produksi bulanan, serta membantu dalam seleksi ternak sapi perah unggul yang ada di BBPTU - HPT Baturraden.
1.5
Kerangka Pemikiran Produksi susu sapi perah dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor
genetik dan faktor lingkungan dan interaksi antara keduannya. Sapi perah yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah sapi perah bangsa Fries Holland (FH), karena Sapi FH mempunyai jumlah produksi susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi perah jenis lainnya, selain itu sapi FH memiliki masa laktasi yang panjang. Umumnya sapi perah memiliki panjang laktasi yaitu 305 hari (10 bulan) dengan pemerahan 2 kali dalam 1 hari dan umur puncak produksi adalah 6 tahun, dengan tingkat persistensi produksi susu setiap bulan adalah sebesar 94-96% dari produksi bulanan (Makin, 2011). Peternakan sapi perah di Indonesia memiliki panjang masa laktasi yang beragam karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti manajemen pemerahan, manajemen reproduksi dan letak geografis dari peternakan itu sendiri. Banyak
4 peternak yang melakukan pemerahan kurang dari 305 hari dan ada pula yang lebih dari 305 hari. Masa laktasi sapi perah di daerah Pangalengan, Lembang dan perusahaan di Surakarta menunjukan lama laktasi yang cukup panjang yaitu 353, 349 dan 250 hari (Subandryo, 1981). Calving interval yang terlalu panjang akan mempengaruhi panjang masa laktasi dari sapi perah sehingga akan mengurangi efisiensi produksi susu yang dihasilkan. Stadarisasi lama laktasi 305 hari didasarkan perhitungan bahwa seekor sapi perah paling optimal dapat melahirkan satu kali dalam satu tahun dengan selang kelahiran 12 bulan dan lama kering kandang 6-8 minggu. Umur dewasa dicapai pada umur 66-72 bulan dan pada umur ini seekor sapi perah diharapkan telah mencapai produksi optimalnya (Hardjosubroto, 1994).
Hal ini merupakan salah satu alasan dibutuhkannya
standarisasi produksi susu berdasarkan lama laktasi 305 hari dan frekuensi pemerahan. Produksi susu sapi perah umumnya diukur pada satu kali masa laktasi selama 305 hari dan dibutuhkan pencatatan produksi susu harian untuk menggambarkan kemampuan daya produksi yang sebenarnya. Namun pencatatan harian ini membutuhkan biaya dan waktu yang lebih lama. Catatan produksi susu kumulatif 305 hari dianggap kurang praktis sehingga digunakan metode catatan TD atau hari uji. Produksi susu TD hanya diukur satu hari (24 jam) pada interval waktu tertentu selama masa laktasi dengan selang waktu antara dua pencatatan bisa sama ataupun tidak (Talib dkk., 2009). Salah satu interval pencatatan produksi susu TD yang sering digunakan untuk meningkatkan efisiensi kerja yaitu dengan melakukan pencatatan produksi susu secara berkala sebulan sekali (monthly record). Catatan sebulan sekali dapat dimanfaatkan untuk menduga produksi susu selama satu masa laktasi. Untuk menduga total produksi susu dapat digunakan beberapa metode yang sudah
5 banyak digunakan yaitu Test Interval Method (TIM) dan (Centering Date Method) (Kurnianto, dkk., 2004). Cara membaca catatan produksi yang diambil hanya satu kali dalam satu bulan adalah dengan pendugaan produksi atas dasar catatan yang ada sehingga untuk dapat menduga produksi nyata dapat hanya dengan menggunakan dua atau tiga bulan catatan produksi saja. Kombinasi catatan yang disarankan adalah kombinasi catatan bulan laktasi ke-4 dan ke-5 atau ke-4 dan ke-6, serta bulan laktasi ke – 1 dan ke – 8, yang dikombinasikan dengan catatan bulan ke – 2, 3, atau 4 (Pallawaruka,1989). Selain itu, penggunakan fungsi Gamma dengan mengkombinasikan catatan bulan ke-3 dan 8 atau 1, 3 dan 8 menghasilkan taksiran dengan penyimpangan paling kecil yaitu sebesar 4,56 – 4,76% (Astuti, 1991). Nilai korelasi yang tinggi antara beberapa fungsi pencatatan bulanan dengan produksi total menunjukan bahwa kemajuan genetik dengan seleksi berdasarkan fungsi tersebut, sama cepatnya dengan seleksi berdasarkan produksi total (Van Vleck dan Henderson, 1961a). Uji korelasi produksi susu berdasarkan catatan produksi pertengahan periode laktasi mempunyai korelasi yang lebih tinggi dengan produksi susu berdasarkan produksi 305 hari, dibandingkan awal dan akhir periode laktasi (Hilmia, 2005). Pengkoreksian untuk menduga produksi 305 hari perlu dilakukan karena lama laktasi, umur melahirkan pertama dan jumlah pemerahan setiap ternak tidak selalu sama sehingga total produksi susu 305 hari dapat diduga berdasarkan catatan produksi susu bulanan.
6 1.6
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 – 23 Mei 2015 di Balai Besar
Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden, Purwokerto, Jawa Tengah.