BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Manusia adalah makhluk yang terdiri dari berbagai aspek. Salah satu aspek yang
menentukan adalah hasrat. Hasrat ada pada manusia sejak lahir, sehingga hampir tidak mungkin manusia hidup tanpa hasrat. Thomas Aquinus seorang filsuf Eropa berpendapat bahwa ada dua macam hasrat, yaitu hasrat-hasrat fisik manusia dan hasrat-hasrat yang bersifat intelektual (Wattimena, 2012). Manusia mempunyai hasrat/keinginan dikarenakan manusia selalu merasa kekurangan/tidak utuh. Seorang anak yang menginginkan sebuah mainan adalah bentuk bahwa ia akan merasa utuh jika hasratnya dapat terpenuhi. Menurut Lacan manusia selalu berada dalam kondisi Lack/berkekurangan, dan hanya hasrat yang dapat memenuhi kekurangan (lackness) tersebut. Salah satu hasrat intelektual dapat juga dituangkan melalui menulis, dengan merangkai kata-kata yang menghasilkan karya yang indah yang disebut karya sastra. Menghasilkan karya sastra oleh pengarang merupakan manifestasi dari hasrat pengarang. Melalui karya sastra pengarang dapat dengan bebas berbicara tentang kehidupan yang dialami oleh manusia dengan berbagai peraturan dan norma-norma dalam interaksinya dengan lingkungan sehingga dalam karya sastra terdapat makna tertentu tentang kehidupan. Untuk itu, mengapa sastra cukup banyak digemari oleh para penikmatnya, hal ini dikarenakan karya sastra merupakan bentuk penggambaran dari seorang manusia, dalam hal ini sang pengarang. Pengarang itu sendiri merupakan insan yang memiliki keinginan atau hasrat untuk mengungkapkan sesuatu/makna melalui karya sastra agar dapat tersampaikan pada pembaca. Sang pengarang dalam hal ini adalah subjek yang berkekurangan yang mencari keutuhan lewat karyanya. Manusia sebagai subjek yang tak pernah lengkap justru sangat kreatif
12
berkarya dalam rangka memahami jati dirinya dan memenuhi kebutuhan terdalamnya untuk merasa sebagai pribadi yang terintegerasi. Karya seni dapat sejenak memenuhi keinginan terdalam itu (Margawati & Eymeren, 2011:164-165). Dari kekurangan-kekurangan inilah muncul yang disebut sebagai keinginan, dalam bahasa Lacan yaitu Hasrat. Hasrat muncul akibat ketidaksadaran pada diri manusia. Hal ini diperjelas oleh Lacan bahwa keseluruhan eksistensi manusia dipengaruhi dan dikontrol oleh ketidaksadaran. Ketidaksadaran merupakan struktur tersembunyi yang mirip dengan bahasa. Ketidaksadaran muncul dalam bentuk mimpi, kelakar (senda gurau), keseleo lidah, dan gejala. Ketidaksadaran memiliki struktur yang mirip bahasa. Bahkan lacan mengatakan bahasa merupakan kondisi bagi ketidaksadaran, bahwa bahasa menciptakan dan membangkitkan ketidaksadaran. Keinginan atau hasrat adalah gagasan lain yang sukar dan Lacan mengatakan bersifat manusiawi secara unik, sebab keinginan adalah milik bahasa, bahasa adalah milik bersama bukan milik seorang individu siapapun, maka setiap keinginan individual merupakan bagian bahasa. Manusia dan bahasa adalah satu kesatuan, karena manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa, keduanya memiliki hubungan yang melingkar (dan bukan resiprokal) dimana bahasa menempati posisi yang istimewa (Sarup, 2011:9), maksudnya adalah sejak manusia dilahirkan bahasa sudah ada, oleh karenanya manusia dan bahasa saling berhubungan. Bahasa adalah salah satu bentuk komunikasi antar manusia dan tanpa disadari manusia dapat mengerti bahasa dengan sendirinya. Dalam Alam bawah sadar (id) atau ketidaksadaran terdapat keinginan-keinginan yang tak disadari, dan hasrat kerap kali tak disadari dan ditutup tutupi oleh sesuatu yang disebut ego. Lacan berpendapat bahwa ego tidak akan dapat mengendalikan, menggantikan, bahkan mengenyahkan ketidaksadaran karena sesungguhnya ego sendiri merupakan produk ketidaksadaran; otonomi ego adalah ilusi (Lacan, 1977: 6) Ketidaksadaran sebagai bagian dari keseluruhan hidup manusia disini dimaksudkan untuk 13
menjelaskan konsep bahwa aspek-aspek ketidaksadaran inilah yang mengatur faktor eksistensi yang ada pada manusia, dan bahasa merupakan bentuk dari faktor eksistensi yang terstruktur tersebut. Bahasa sebagai bentuk komunikasi antar manusia dapat juga dituangkan melalui karya sastra, salah satunya berupa novel yang tercipta dari alam bawah sadar atau ketidaksadaran sang pengarang. Dalam ketidaksadaran itu hasrat pengarang muncul dan menuangkannya dalam sebuah karya. Begitu pula yang dialami oleh pengarang Vladimir Nabokov, pengarang novel Lolita. Mengkaji karya sastra dalam Lacanian merupakan usaha untuk menemukan kondisi bawah sadar yang dipenuhi rasa kurang dan kehilangan. Novel Lolita merupakan novelnya yang ke 20. Lolita diterbitkan untuk pertama kalinya dalam bahasa Inggris di paris pada tanggal 15 september 1955 dan telah menjadi sebuah kontroversi sejak pertama kali diterbitkan. Karena kontroversi inilah novel ini sempat dilarang beredar selama dua tahun dan ditolak oleh penerbit karena dianggap tema dan isinya tidak senonoh, mengandung unsur pornografi dan melanggar moral masyarakat pada zaman itu (Walsh, 2007:2). Terlepas dari kontroversi yang ada novel ini adalah novel yang paling sukses yang pernah ia ciptakan dan menjadi salah satu karya sastra klasik dunia. Setelah kesuksesan Lolita, Nabokov berhenti dari kegiatan mengajarnya dan pindah ke Montreux, swiss pada tahun 1958 agar dapat berkonsentrasi menulis. Novel Lolita mengisahkan cinta terlarang antara tokoh utama laki-laki bernama Humbert Humbert dan seorang gadis remaja berumur 12 tahun bernama Dolorez Haze atau yang sering ia sebut Lolita. Humbert-Humbert memiliki orientasi seksual yang berbeda, dimana ia memiliki ketertarikan seksual kepada gadis-gadis kecil yang berusia 9-14 tahun yang sering ia sebut sebagai nymphet atau peri asmara. Humbert-Humbert dalam novel Lolita ini dapat diasumsikan memiliki masalah seksual dimana ia menunjukkan tingkah laku 14
tertentu yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Humbert-Humbert yang dikisahkan menjadi seorang pedofilia inilah yang memuat banyak kontroversi dari berbagai kalangan. Karena pada zaman itu (1950-an) tema-tema yang diusung oleh sastrawan berkisah tentang spy (mata-mata) , tentang perang , atau tentang kisah roman remaja pada umumnya. Karena itulah masyarakat belum bisa menerima tema pedofilia yang dianggap tabu. Kontroversi tema ini oleh Nabokov dianggap sebagai tidak adanya kebebasan. Ia menganggap bahwa kebebasan berekspresi tidak ia dapatkan, tidak adanya kebebasan ini yang membuat Nabokov merasa “kurang”. Kekurangan dalam teori Lacanian, akan menyebabkan subjek terus mencari objek hasrat- Lacan menyebut penanda berfungsi sebagai objek hasrat-yang tidak mungkin dan termanifestasikan di dalam karya sastranya. Terlepas dari kontroversi yang ada, novel Lolita justru meraih kesuksesan, hal ini terbukti sejak pertama kali diterbitkan terjual sebanyak lima ribu eksemplar di Prancis, dan di Amerika terjual sebanyak seratus ribu eksemplar pada tiga minggu pertama setelah diterbitkan. Novel Lolita juga masuk dalam daftar seratus novel berbahasa inggris terbaik versi majalah time sejak tahun 1923-2005, selain itu novel Lolita menempati urutan ke-empat di seratus novel terbaik pada abad 20 versi modern library. Hal ini menjadikan novel Lolita sebagai salah satu karya sastra klasik dunia. Kesuksesan dari novel Lolita ini membuat Nabokov memutuskan untuk terus menulis dan menjadikannya seorang yang sukses dalam dunia kesusastraan dengan meninggalkan seluruh kegiatannya dalam mengajar, Nabokov menerima penghargaan the American National Medal for Literature pada tahun 1977. Novel Lolita sebagai bentuk mengalirnya hasrat Nabokov menunjukan bahwa ia adalah subjek yang berkekurangan. Tokoh-tokoh yang dihadirkan/diciptakannya secara implisit maupun eksplisit adalah sebuah manifestasi dari hasrat tersebut sebagai bagian dari ketidaksadarannya. Sebagai subjek yang berkekurangan inilah muncul hasrat pada diri subjek yang terbagi
15
menjadi dua bentuk hasrat yaitu hasrat menjadi dan hasrat memiliki, artinya bagaimana hasrat-hasrat tersebut sebagai identitas dari sang pengarang. 1.2
Rumusan Masalah Subjek manusia selalu merasa kekurangan, terbelah , dan tidak sempurna, dikatakan
hanya saat masih bayilah ia selalu merasa dirinya utuh karena belum mengenal bahasa. Jika subjek manusia merasa dirinya utuh sempurna saat bayi, maka saat subjek manusia mengenal bahasa, saat inilah manusia berada dalam kekurangan (lackness) dan disinilah hasrat berdiam, dan hasrat pulalah yang dapat memenuhi kekurangan tersebut. Karena itulah setiap subjek manusia mempunyai hasrat, bahkan hasrat menentukan seluruh tindakan manusia. Subjek manusia memiliki hasrat dikarenakan mereka selalu merasa bahwa dirinya tidak sempurna atau selalu berkekurangan, tidak pernah utuh dan bulat penuh. Oleh sebab itu, subjek akan senantiasa mencari dan selalu mencari keutuhan bagi dirinya. Hasrat yang muncul akibat kodrat manusia sebagai ‘yang selalu berkekurangan’ (Bracher,2009: xxxvii), Begitu juga dengan Vladimir Nabokov selaku pengarang/ subjek manusia biasa bahwa ia adalah subjek yang berkekurangan dan berhasrat untuk memperoleh keutuhan identitasnya. Karena hasrat (desire) pada dasarnya merupakan keinginan akan kepemilikan identitas. Hasrat pengarang berada dalam ranah ketidaksadaran, dan ketidaksadaran bersifat implisit. Secara implisit pengarang menghadirkan tokoh-tokoh dalam ceritanya yang merupakan bentuk manifestasi dari hasratnya. Hasrat adalah salah satu aspek yang terdapat dalam kehidupan dan hasrat pun bermacam-macam, tentunya setiap subjek manusia mempunyai hasrat yang berbeda-beda dalam pemenuhan hasratnya. Maka, dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui 1. Bagaimana hasrat Vladimir Nabokov dalam novel Lolita sebagai subjek manusia yang berkekurangan (Lackness) 16
2. Apa “hasrat memiliki” dan “hasrat menjadi” Vladimir Nabokov sebagai subjek manusia yang berkekurangan (Lackness) 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
menjelaskan hasrat pengarang Vladimir Nabokov dalam novel Lolita melalui tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam novel dengan menggunakan teori Psikoanalisis Jacques Lacan. Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai hasrat-hasrat subjek berdasarkan pendekatan Psikoanalisis Lacanian. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai pembahasan karya sastra melalui pendekatan psikoanalisis lacanian yang menjelaskan bahwa manusia (subjek) sejak dilahirkan hingga dewasa telah mengalami kekurangan (lack). Dengan demikian, manusia cenderung mencari keinginan-keinginan guna mendapatkan keutuhan yang sesungguhnya tidak pernah ia dapatkan lagi. Dari kekurangan inilah muncul hasrathasrat yang mendekam di alam ketidaksadaran yang tak pernah habis terpuaskan. 1.4
Tinjauan Pustaka Novel Lolita tentunya sudah banyak dikaji di berbagai penelitian-penelitian, yang
berupa skripsi dan tesis diantaranya adalah; berupa skripsi yaitu; skripsi oleh Reza Nurhilman dengan judul skripsi “Analisis Karakter Tokoh Utama dalam Lolita karya Vladimir Nabokov (dengan Pendekatan Psikologi Sastra) yaitu dengan menggunakan teori Deleuze dan Guattari sebuah teori skizoanalisis sebagai teori kajian. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pengaruh kondisi sosial masyarakat yang tergambar dalam novel Lolita terhadap karakter tokoh utama, Humbert Humbert dengan menggunakan teori Deleuze dan Guattari sebuah teori skizoanalisis. Deleuze dan Guattari adalah filsuf dan psikolog yang mengikuti jalur nietzschean. Dalam kerangka nietzschean, Deleuze dan Guattari mengadili rasio dengan 17
menghadirkan kembali hasrat ke wacana diskursus. Penghadiran kembali hasrat sebenarnya adalah penegasan terhadap kehadiran hasrat dalam realitas yang selama berlangsungnya sejarah rasionalisasi diabaikan begitu saja. Bagi Deleuze dan Guattari, hasrat ada di manamana. Hal ini terlepas dari esensi hasrat sebagai ruh yang selalu bergerak melampaui ruang dan waktu, juga ruang waktu milik struktur-struktur sosial. Teori ini mengenai konsep tentang identitas sebagai proses “subjektivikasi” yang menyangkut individu, hubungan-hubungan sosial dan berbagai struktur institusional yang membatasi praktek eksistensial maupun bentuk sosiabilitasnya. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa karakter utama yang bernama Humbert memiliki karakter Pedofil, nomad, dan cenderung skizofrenia dan paranoia. Penelitian yang kedua ini masih membahas mengenai tokoh utama laki-laki bernama Humbert yang ditulis oleh Theresia Diah Retno Pratiwi seorang mahasiswi Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) dengan judul “Nilai dan Konflik antar Nilai, Kajian Nilai Polinomik dalam novel Lolita karya Vladimir Nabokov” dengan menggunakan teori nilai Polinomik dari Kelly L. Ross. Teori nilai polinomik Kelly L. Ross ini mempunyai enam domain yaitu; nilai keinginan, nilai orang perorangan, nilai moralitas,nilai etika, nilai kebaikan fenomenal dan nilai kebaikan mutlak. Dan hasil dari penelitian ini bahwa novel Lolita memuat banyak sekali antar nilai yang sesuai dengan teori nilai polinomik Kelly L.Ross. Penelitian ketiga, yaitu tesis dengan judul Pedophilia: Humbert’s psychological problem in Vladimir Nabokov’s Lolita dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud yang ditulis oleh Fanny Masrizal tahun 2010 Universitas Andalas. Skripsi ini menjelaskan tentang analisis masalah psikoanalisis salah satu karakter tokoh utama yang meliputi analisis pikiran dan tindakan tokoh utama Humbert humbert menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Dalam teori Sigmund Freud terdapat tiga zona psikis manusia
18
yang bekerja sama dalam membentuk tingkah laku manusia yang kompleks, yaitu; id, ego dan superego. Tidak berbeda jauh dari penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian keempat ini juga masih membahas karakter tokoh utama Humbert humbert. Sebuah skripsi mahasiswa Universitas Indonesia Stefanus Wishnu Prabowo dengan judul Pedofilia pada tokoh Humbert dalam novel Lolita karya Vladimir Nabokov; sebuah kajian psikoanalisis sastra. Skripsi ini menggunakan teori psikoanalisis dan psikoseksual Sigmund Freud. Teori ini digunakan untuk menemukan penyebab dan ciri-ciri seorang pedofil yang berada dalam tokoh Humbert dan kemudian akan membuktikan bahwa Humbert Humbert adalah seorang pedofilia. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori psikoanalisis Jacques Lacan. Teori psikoanalisis Lacan sudah banyak digunakan oleh para peneleti lainnya, salah satunya yaitu digunakan untuk menganalisis novel trilogi cermin (Cermin Merah, Cermin Bening, Cermin Cinta) karya N.Riantiarno, sebuah tesis yang ditulis oleh mahasiswa UGM (Universitas Gadjah Mada) bernama Ricky Aptifive Manik. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hasrat Nano (pengarang) yang ada dalam trilogi cerminnya tersebut menggunakan teori psikoanalisis Lacan yang berasumsi bahwa hasrat yang berasal dari ketidaksadaran pengarannya. Metode yang digunakan adalah dengan metode metafora dan metonimia karena asumsi teoritik dari psikoanalisis Lacanian ini adalah ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa. penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam novel CB hasrat Nano akan seorang yang jujur, berani, bertanggungjawab, loyal, ulet, konsisiten, pekerja keras, setia dan demokratis diidentifikasi dari citraan ayahnya. hasrat atas identitas seniman, sutradara dan penulis yang dimapankannyadalam novel CB dari citraan ideal identitas tersebut adalah anchoring point dari ketidakmenentuan dan keambiguitasan dari yang ada dalam novel CM. Dalam novel CC terlihat gambaran kehilangan Liyan dan bunuh diri adalah kegelisahan Nano akan kekurangan dirinya. 19
Dari beberapa penelitian yang ditemukan terhadap novel Lolita dan juga teori yang digunakan, yang menarik dari novel Lolita adalah karakter tokoh utama Humbert Humbert, yang dapat dikaji dari berbagai sisi kehidupan sosialnya maupun individu. Teori psikoanalis pun turut digunakan dalam penelitian tersebut, namun teori psikoanalisis Lacan masih jarang ditemukan untuk mengkaji novel Lolita ini. Karena penulis mencoba untuk mengkaji novel Lolita dari pandangan seorang filsuf Jacques Lacan, yang akan membahas mengenai hasrat pengarang Vladimir Nabokov. Dengan melihat bahwa subjek pengarang adalah yang selalu berkekurangan, dan hasratlah yang dapat menjadikan subjek utuh, dan sempurna yang dalam Lacan kembali pada “yang nyata” (Real). Dengan melihat bahasa yang ada dalam novel Lolita, yaitu dengan metode metafora dan metonimia sebagai strategi untuk melihat hasrat Vladimir Nabokov sebagai bentuk dari ketidaksadarannya 1.5
Landasan Teori Psikoanalisis dalam pengertian secara harfiah adalah ilmu yang mengurai tentang
“diri” manusia. Gagasan tentang diri menurut kaum humanis barat di definisikan dengan beroperasinya kesadaran (seperti berfikir, kehendak bebas, tindakan dan sebagainya) akan tetapi menurut Freud dengan psikoanalisisnya menyatakan bahwa konsep tentang diri (kesadaran) dideterminasi atau dipengaruhi oleh ketaksadaran dan berbagai dorongan dan hasratnya sehingga ia membagi dua wilayah kesadaran dan ketaksadaran itu menjadi sesuatu yang radikal. Ilmu yang mengurai tentang diri manusia merupakan aliran dari psikologi modern, bapak pendirinya yaitu Sigmund Freud. Freud mengatakan bahwa manusia memiliki tiga struktur psikis, yaitu: Kesadaran (Conciousness), Prakesadaran (Preconciousness) dan ketidaksadaran (unconciousness). Kesadaran berisi segala sesuatu yang masih dapat diingat, prakesadaran meliputi apa yang dilupakan tetapi mudah diingat kembali, sedangkan ketidaksadaran meliputi dorongan asal yang dibawa sejak lahir (tidak disadari) dan dorongan-
20
dorongan yang telah dilupakan (pernah disadari tetapi kemudian dilupakan), (Rufaedah, 2012:23-24) Gagasan-gagasan Freud inilah yang kemudian berkembang menjadi suatu aliran dalam psikologi modern, sehingga di Prancis Jaques Lacan yang berprofesi sebagai psikoanalisis pada tahun 1950 mengembangkan pandangan Psikoanalisisnya dengan didasarkan pada berbagai gagasan yang diartikulasikan dalam antropologi dan linguistik strukturalis. Lacan terinspirasi dari tokoh-tokoh seperti Freud dan Saussure, dan kemudian ia mencoba untuk menggabungkannya, bahkan Lacan juga dipengaruhi oleh pemikiranpemikiran filsafat Heidegger, Levi Strauss dan Derrida. Dari hasil “perenungan” Lacan tentang Psikoanalisis dia menginterpretasikan Freud menggunakan teori strukturalis dan postrukturalis, Lacan kemudian mengalihkan psikoanalisis yang secara hakikatnya bersifat humanis menjadi teori atau filsafat psikoanalisis. Barry dalam bukunya Beginning Theory (2010:127) menyebutkan bahwa Jacques Lacan (1901-`1981) adalah psikoanalisis prancis yang karyanya memiliki pengaruh luar biasa pada banyak aspek dalam teori sastra belakangan ini. Lacan memulai karirnya dengan mendapat gelar di bidang kedokteran dan kemudian menjalani pelatihan psikiatri di tahun 1920an. Lacan terkenal dengan teorinya struktur ketidaksadaran manusia yang menyerupai bahasa. Ia dianggap sebagai salah satu ahli psikologi dan filsafat yang paling kontroversial setelah kematian Freud. Ia melihat bahwa realita/kenyataan dapat diungkap dari penggunaan bahasa. Teorinya mengenai psikologi ini merupakan bentuk pengembangan diri dari teori Freud yang sebelumnya terkonsentrasi pada aspek ketidaksadaran manusia.
1.5.1
Hasrat Dalam Lacan
21
Hasrat berdiam seiring dengan perkembangan manusia, baik perkembangan secara psikis maupun seksual. Dalam perkembangan manusia menurut Freud tiga tahapan itu dinamakan phallic stage, yaitu: fase oral, fase anal dan fase phallus. Fase oral/fase mulut adalah dimana hasrat seorang bayi terpusat pada mulutnya. Selama periode ini sensasi pada mulut sangat penting. Dan pada masa ini juga seorang anak tergantung sepenuhnya pada orang lain, segala sesuatu disuapkan padanya. ia belum bisa melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Pada tahap kedua perkembangan manusia terjadi ketika bayi pertama kali menyadari aktifitas tubuhnya terkait dengan fungsi eliminasi, yakni; ketika bayi menganggap kotoran tubuhnya sebagai hadiah bagi ibunya, yang dipertahankannya dengan keras kepala dan kemarahan dengan menyakiti ibunya. Dalam tahap ini akan menunjukan karakteristik anal, kikir, keras kepala dan tak jarang memiliki kecenderungan untuk menyakiti orang-orang yang mereka cintai. Tahap ketiga perkembangan manusia dikenal dengan fase genital/phallus seiring dengan usia remaja, ketika hasrat seksual terlokalisir pada organ-organ reproduksi. (Baker,2007:115-116) Dalam teori phalic stage yang digagaskan oleh Freud kita melihat bagaimana perkembangan psikologi manusia berkembang seiring dengan berkembangnya seksualitas dari manusia tersebut. Lacan kemudian merangkumkan hal serupa, namun dengan menggunakan konsep yang berbeda. Teori Pembentukkan diri dari Lacan ini hampir mirip dengan apa yang dirumuskan oleh Freud, menurut Lacan, pengalaman perkembangan manusia ada pada tahap-tahap tertentu yang dikenal dengan tripartite model, yaitu; ‘yang nyata’ (the real), ‘yang imajiner (the imajinary)’, dan ‘yang simbolik (the symbolic)’, lintasan fase-fase ini oleh Lacan dipertemukan dengan konsep kebutuhan (need), permintaan (demand) dan hasrat (desire).
22
“Yang nyata” bukanlah cerita tentang realitas atau dunia objektif, melainkan semacam kemustahilan yang kembali lagi dan lagi kembalinya yang tertekan. “yang nyata” bagi Lacan adalah yang mustahil dikatakan atau yang mustahil dibayangkan” (Hill, 2002:41). Artinya bahwa realitas tidak pernah dapat diketahui. Pada tahap ini seorang bayi belum memiliki keterpisahan dengan ‘yang lain’, dimana pada tahap ini bayi tidak merasakan kekurangan dan kehilangan. Dalam tahap ini Lacan mempertemukan dengan fase kebutuhan (need).
Kebutuhan (need) secara sederhana dapat diartikan sebagai kebutuhan secara fisiologis atau dalam makna lain sebagai kebutuhan fisiologis yang dapat tercukupi. Kebutuhan adalah sesuatu yang bersifat fisiologis seperti misalnya kebutuhan akan makanan atau akan kehangatan (Hill, 2002: 61). Pada bayi manusia, kebutuhan-kebutuhan fisiologis, melalui peran orang-orang terdekat terutama ibu akan senantiasa dapat tercukupi dengan mudah: saat lapar bayi memperoleh ASI, ketika membutuhkan kehangatan bayi mendapat pelukan, dll. Artinya bayi selalu merasakan sesuatu yang penuh, utuh atau tanpa kekurangan, kehilangan dan kekosongan. Pada fase ini bayi belum mengenal bahasa dan belum dapat membedakan antara diri dengan yang liyan (yang lain): bayi masih merasakan bahwa dirinya dan seluruh yang liyan merupakan satu kesatuan. Fase kebutuhan (need) ini berdiam dalam ‘yang nyata’ yang merupakan “fase pra-oedipal.” Atau yang disebut dengan fase bayi. Pada fase ini bayi dan ibu masih dilihat sebagai satu keutuhan, dimana tidak terdapat batasan pemisah yang jelas antara ibu dengan sang bayi.
Dalam fase kebutuhan adalah sesuatu yang bersifat fisiologis dan sesuatu yang dapat dipuaskan sepenuhnya. Ketika bayi masih menjadi bayi maka si ibu/pengasuh akan memenuhi segala kebutuhannya, namun seiring pertumbuhannya menjadi besar pengasuh tidak hanya memberikan kebutuhan secara fisiologis namun memberikan asupan berupa katakata. Saat inilah anak mulai mendapatkan sederetan masalah diantaranya adalah ia mulai
23
menyadari bahwa ia mulai terpisah dari si pengasuh dan pengasuh tidak dapat sepenuhnya memberikan kebutuhannya yang masuk pada fase cermin dalam tahap ‘yang imajiner’.
Pada tahap ‘yang imajiner/fase cermin’ yaitu ketika bayi mulai dapat membedakan dirinya dengan yang selain dirinya meskipun pada fase awal ini bayi tetaplah belum memiliki konsep tentang yang liyan secara utuh; bayi belum memiliki kemampuan membedakan secara biner antara diri dan liyan, bayi mulai memasuki tahapan baru, yakni permintaan (demand). Permintaan adalah sesuatu yang tidak dapat atau tidak mungkin terpenuhi. Itulah esensi utama dari permintaan; kembali pada keutuhan. Hal tersebut tentulah mustahil, karena perlahan keliyanan semakin menunjukkan diri dihadapan sang bayi. Bayi akhirnya memulai fase yang imajiner.
Dalam Yang Imajiner terjadi fase cermin (the mirror stage). Bayi suatu ketika akan menyaksikan bayangan dirinya dalam cermin. Bayangan tersebut, oleh bayi, dikonfrontir dengan keberadaan yang lain seperti ibu atau pengasuh lainnya. Bayi akan melihat citra dalam cermin kemudian melihat ke arah yang lain. Saat itulah bayi mulai menyadari bahwa dirinya adalah eksis dan terpisah dari yang lain, bahkan ibu. Itulah Individuasi. Tapi bayi mengira dirinya yang berada dalam cermin adalah benar-benar dirinya. Citra tersebutlah yang akhirnya diakui sebagai “aku” atau ego.
We have only to understand the mirror stage as an identification, in the full sense that analysis gives to the term; namely, the transformation that takes place in thesubject when he assumes an image – whose predestination to this phase-effect is sufficiently indicated by the use, in analytic theory, of the ancient term imago (Lacan, 1977:2)
Namun, sebenarnya hal tersebut bukanlah dirinya, yang terlihat pada cermin hanyalah gambaran pantulan dirinya. Jadi “aku” atau ego terbentuk dari kesalahan mempersepsi citra cerminal sebagai aku. Citra tersebut dalam bahasa psikoanalisa disebut sebagai ego ideal.
24
Sebagai citra cerminal, ego ideal tidak akan pernah cocok dengan keadaan individu yang sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep imajiner tentang diri yang utuh, sempurna, nirkekurangan dan tanpa keyakinan adanya kekurangan di dalamnya. Ego atau aku tersebut akan selalu menjadi “liyan”, tidak setara dengan bahkan bukan aku yang sebenarnya.
Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan alieniasi. Alieniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, bayi dan liyan. Bayi adalah yang selalu kalah. Alienasi pertama bayi manusia adalah ketika terjadi kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri.
Pada perkembangan manusia tahap ketiga yaitu dalam tahap ‘yang simbolik’. Tahap ‘yang simbolik’ ini adalah ketika bayi semakin dapat melakukan pembedaan dan proyeksi ide-ide tentang keliyanan, tataran yang simbolik dimulai. Bersamaan dengan itu terjadilah akuisisi bahasa. Yang simbolik adalah keberadaan “aku” dalam struktur bahasa. Keadaan dimana aku dinyatakan melalui bahasa. Hanya saja keberadaan antara yang imajiner dan yang simbolik tidak memiliki batas yang jelas. Keduanya saling tumpang tindih. Di dalam tataran inilah hasrat (desire) berdiam.
Menurut Lacan manusia selalu berada dalam kondisi lack / berkekurangan, dan hanya hasrat yang dapat memenuhi kekurangan (lackness) tersebut. Hasrat (desire) pada dasarnya merupakan keinginan akan kepemilikan identitas. Pada tataran simbolik bayi berkeinginan untuk memiliki identitas lengkap yang disebut “aku”. Ketika masuk ke dalam dunia bahasa, bayi, mau tidak mau harus tunduk pada aturan sistem penandaan di ruang bahasa. Tetapi, sebuah penanda tidak serta merta menunjuk petanda tertentu, melainkan penanda yang lain. Penanda “ibu” tidak semata menunjukkan adanya ibu -sebagai petanda- melainkan secara berbeda menunjuk adanya yang lain. Hasilnya, identitas hanyalah kesemuan yang disebabkan adanya efek penandaan; identitas adalah karya penandan. Mengenai kekurangan (lack), 25
secara eksistensial manusia dikendalikan oleh pelbagai rasa kehilangan dan kekurangan. Kehidupan manusia bagai ajang pencarian pemenuhan akan sesuatu yang kurang. Kekurangan dalam makna yang eksistensial ini tentu tidak akan pernah menjadi penuh atau dapat terpenuhi. Lacan menegaskan bahwa tidak mungkin kembali pada yang nyata. Hal ini sangatlah wajar dengan mengingat sumber rasa kekurangan pada manusia. Sumber kekurangan adalah kehilangan “kepenuhan” dalam tataran yang nyata, sementara didalamnya tidak berdiam bahasa yang mungkin digunakan untuk mengenali kepenuhan tersebut. Bahasa yang muncul setelahnya, tidak dapat menjangkau ruang yang nyata, sehingga manusia dengan bahasa seperti mengejar “kepenuhan” yang tidak dikenali sama sekali.
1.5.2
Hasrat Memiliki dan Hasrat Menjadi Apa yang sesungguhnya menggairahkan dalam kehidupan ini? Lacan menjawabnya
dengan yakin yaitu hasrat. Yang dimaksud Lacan dengan hasrat (desire) berasal dari Hegel, bahwa hasrat selalu menampakan diri pada individu sebagai hasratnya, dan untuk mengungkapkan hasrat ini ia harus menggunakan kata “saya”. Hasrat membuat gelisah dan menggerakkan kita untuk bertindak. Tindakan cenderung memuaskan hasrat. Namun, pemuasan itu hanya dapat terjadi melalui “negasi”, penghancuran atau sekurang-kurangnya transformasi objek hasrat: untuk memuaskan rasa lapar, misalnya, makanan harus dilumatkan atau ditransformasi. Dengan demikian, semua tindakan merupakan negasi. Orang yang makan menciptakan dan mempertahankan realitasnya sendiri dengan menghancurkan realitas lain yang bukan miliknya, melalui proses “transformasi” realitas asing ke dalam realitasnya sendiri, melalui asimilasi dan internalisasi realitas eksternal. Secara umum saya-nya hasrat adalah kekosongan yang baru akan mendapatkan sisi positif yang nyata melalui tindakan menegasi yang memuaskan hasrat melalui penghancuran, transformasi dan asimilasi non saya yang dihasrati (desired).
26
Psikoanalisis-struktural Jaques Lacan menghasilkan tiga kesimpulan seputar kodrat hasrat pertama; Hasrat adalah sesuatu yang melampaui biologi, ia bekerja saat kekurangan biologis tercukupi. Kedua Hasrat jauh dari ego cogito, ia adalah syarat yang memungkinkan formasi ego itu sendiri. Ketiga Hasrat dipacu oleh kodrat manusia sebagai mahluk yang berkekurangan secara eksistensial. Kekurangan eksistensial ini memicu dua jenis hasrat yaitu : hasrat untuk memiliki dan hasrat untuk Menjadi. Hasrat untuk memiliki (identitas, hasrat ini berkerja pada pengalaman imajiner dan simbolik). Ranah pengalaman yang memberi rasa keutuhan pada kekurangan primordial yang selalu membayangi sang subjek. Hasrat memiliki adalah hasrat memiliki Liyan (materi, benda, orang, kekuasaan, posisi) sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan diri. Ia mengambil bentuk pada cara mendapatkan kesenangan yang bertentangan dengan diri dan orang lain -anaclictic desire. Hasrat memiliki merupakan fondasi masyarakat posmodern, yang dilembagakan lewat sistem kapitalisme global. Di dalamnya, orang dikonstruksi secara sosial untuk menginginkan serentetan benda yang sebetulnya secara hakiki tidak mereka butuhkan. Di sini kapitalisme global mengubah .keinginan. (want) menjadi kebutuhan (need). Artinya, kebutuhan tersebut diciptakan. Kapitalisme tidak hanya memproduksi barang-barang, tapi juga memproduksi kebutuhan dan dorongan hasrat di baliknya untuk keberlanjutan produksi. Hasrat untuk menjadi, hasrat ini bekerja pada ranah ranah pengalaman yang nyata, Praideologis dan non makna. Ia adalah potensi resistensi yang selalu mengganjal hasrat memiliki dan menunaikan hasratnya yang berujung pada simbolisasi. Hasrat menjadi adalah hasrat yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk cinta dan identifikasi. Dalam hal ini hasrat menjadi objek cinta -kekaguman, idealisasi, pemujaan, penghargaan- Liyan (the others). Orang merasa menjadi objek cinta sang lain (penonton, fans, rakyat), oleh sebab itu ia akan bertingkah-laku dan menciptakan citra (image) dirinya sedemikian rupa agar 27
ia tetap dicintai -narcissistic desire. Inilah, misalnya, orang-orang yang memperlihatkan eksistensi dirinya lewat tanda-tanda dan gaya hidup: mobil mewah, rumah megah, fashion eksklusif, parfum mahal, dsb. Terdapat empat macam hasrat, yaitu; 1.
Hasrat narsistik pasif. Seseorang bisa berhasrat untuk menjadi objek cinta dari liyan (atau kekaguman, atau idealisasi, atau pengakuan).
2.
Hasrat narsistik aktif. Seseorangbisa berhasrat untuk menjadi liyan – hasrat dimana identifikasi merupakan satu bentuk tertentu, sedangkan cinta atau pemujaan merupakan bentuk liyan lagi.
3.
Hasrat anaklitik aktif. Seseorang bisa berhasrat untuk memiliki liyan sebagai cara untuk mendapatkan kepuasan.
4.
Hasrat anaklitik pasif. Seseorang bisa berhasrat untuk menjadi hasrat orang lain atau dimiliki Liyan sebagai objek dari sumber kepuasan liyan.
Hasrat pada dasarnya adalah hasrat kepemilikan identitas yaitu melalui proses identifikasi. Identifikasi merupakan salah satu cara penting dilakukan pada subjek untuk mendapatkan pertanyaan dan mengalami perubahan melalui diskursus. Berdasarkan adanya hubungan antara hasrat dan identifikasi ini, maka diputuskan identifikasi sebagai satu modus bekerjanya hasrat, aspek identifikasi ini melalui Penanda utama, Citraan dan Fantasi. 1.5.3
Penanda Utama, Citraan dan Fantasi Dalam tataran yang simbolik, penanda utama adalah penanda pembawa identitas.
Lacan menyebutkan kata-kata pembawa identitas ini sebagai “Penanda Utama” (Master signifiers). Cara penanda-penanda itu berfungsi sebagai pembawa identitas kita agar bisa denganmudah dilihat darireaksi kita saat seseorang mencoba untuk merusak salahsatu penanda pembawa identitas kita. Maka penanda utama adalah salah satu unsur utama yang membuat suatu diskursus berminat pada suatu subjek. Karena penanda utama adalah penanda yangdiletakkan subjek pada identitasnya. Identifikasi subyek pada otoritas penanda utama 28
membangkitkan hasrat menjadi obyek “yang diinginkan” penanda utama tersebut. laki-laki, perempuan, mahasiswa, dosen, intelektual, awam, buruh, majikan, kafir, muslim, dan sebagainya merupakan beberapa diantara penanda utama. Identifikasi subjek pada penanda-penanda utama ini mendorongnya untuk menjadi apa yang diinginkan oleh liyan yang simbolik tersebut. Seorang laki-laki, misalnya, akan berupaya melepaskan semua hal yang bakal membuatnya menjadi perempuan. Ia akan bereaksi ketika ada orang yang mencoba merusak atau menghilangkan penanda itu darinya. Ini begitu pentingnya sehingga melahirkan rasa aman eksistensial. Identitas yang dibentuk penanda simbolik membuatnya dapat mengenal dirinya sendiri dan dikenal orang lain. Hasrat untuk
diinginkan
oleh
liyan
simbolik
pada
giliranya
menuntut
hasrat
untuk
mengidentikasikan diri dengan liyan. Relasi penandaan yang bekerja tatanan simbolik adalah penanda utama/hubungan paradigmatik. Hubungan paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan tanda yang lain. Tanda yang bisa berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas atau satu sistem. Kata “perempuan” mempunyai hubungan paradigmatik dengan misalnya “cantik”,
“lemah-lembut”,
dan”feminin”.
Interpelasi
subyek
oleh
penanda
utama
membangkitkan hasrat mengidentifikasi diri dengan tanda satu kelas atau satu sistem dalam struktur paradigmatik penanda utama. Hubungan paradigmatik selanjutnya membawa pada asosiasi mental yang disebut dengan hubungan metaforik. Hubungan metaforik muncul karena dengan adanya kekuatan represi suatu penanda diganti dengan penanda baru. Penanda pertama akan berubah menjadi petanda sejauh penanda pengganti
menempati
kedudukan
penanda terganti
dan
merepresentasikanya. Imajinasi asosiatif yang muncul dari pergantian posisi penanda mendorong subyek menuju posisi dan mengidentifikasi ciri, karakter, status, dan imaji yang terhubung dengan satu atau lebih penanda utama pengganti yang mengonstitusi ego idealnya. 29
Karena itulah sebuah penanda adalah sesuatu yang mewakili suatu subjek bagi penanda lainnya. Kata ‘mewakili’ disini bukan ‘representasi’, ‘uraian’, atau ‘penggambaran tentang subjek itu’, melainkan sebagai ‘perwakilan’, ‘pengganti’, atau titisan subjek. Selanjutnya pada tataran yang imajiner adalah tahap dimana diri mulai dibentuk. artinya, pembentukan diri yang terlihat di cermin bahwa pada akhirnya semua yang diserap adalah citra. Dalam kaitannya dengan tataran yang simbolik, citra menyiapkan fondasi kokoh di atas mana tatanan simbolik bekerja dalam diri seseorang. Citra tidak menjadi citra tanpa strukturasi dunia simbolik didalamnya. Jika relasi penandaan yang bekerja pada level tatanan simbolik adalah relasi paradigmatik, dalam dunia citra pada tatanan imajiner ini adalah hubungan sintagmatik. Hubungan sintagmatik dimengerti sebagai hubungan tanda dengan tanda-tanda lainya. Dalam hubungan sintagmatik orang diajak untuk mengimajinasi ke depan atau memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Kesadaran sintagmatik bertujuan untuk menciptakan stuktur dengan jalan mengkombinasikan unsur yang ada. Oleh karena itu identifikasi individu pada liyan tidak cukup hanya melalui hubungan penandaan yang bersifat paradigmatik saja melainkan harus disertai juga oleh hubungan sintagmatik. Sehingga, identifikasi simbolik melalui penanda utama berjalan seiring dan bekerja bersama dengan identifikasi imajiner melalui citra. Fantasi dalam konsepsi Lacan merujuk pada apa yang tersisa dari represi tatanan simbolik. Fantasi berada pada tataran yang nyata. Ia menyebutnya obyek a. sebuah obyek yang berharga atau bahan yang terkait dengan yang nyata. Dorongan ini tersusun dari yang real dari tubuh seorang subyek melalu rantai penanda tidak sadar yang dibentuk oleh tuntutan liyan yang berlangsung simbolik. Hal ini terjadi misalnya ketika kita mengidentifikasikan diri dengan penanda-penanda utama (laki-laki, perempuan, muslim, dsb) demi strukturasi dan interpelasi penanda tersebut dan demi kenyaman eksisitensial kita membedah diri kita dan 30
mematikan bagian-bagianya. Bersamaan dengan itu munculah larangan-larangan yang tak sesuai dengan kehendak penanda yang simbolik. Meskipun demikian, kenikmatan yang dikorbankan tetap bertahan dan tampil dalam berbagai bentuk. Modus-modus hasrat yang direpresi ini tertanam dalam diri subyek membentuk fantasi yang memberikan hasrat terhadap rasa suka cita. Maka, dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan dalam tahap perkembangan manusia antara Freud dan Lacan. Jika Freud menamakan teori perkembangan manusianya dengan sebutan Phallic stage (fase oral, fase anal dan fase genital/phallus) dimana ibu selalu diposisikan sebagai objek yang dapat memenuhi segala hasrat dari bayi tersebut. maka Lacan menamakan teorinya dengan sebutan tripartite model (yang nyata, yang imajiner dan yang simbolik) dengan masing-masing tahapan dipertemukan dengan fase kebutuhan, permintaan dan hasrat . Dalam fase kubutuhan, permintaan, dan hasrat pada perkembangan pembentukan diri pada bayi, Lacan membagi struktur pembentukan diri ini menjadi tiga bagian, yakni: Fase pra-oedipal, fase cermin dan fase oedipal. Pada tahap pertama yaitu ‘yang nyata’atau fase pra-oedipal pada fase ini bayi dan ibu masih dilihat sebagai satu keutuhan, di mana tidak terdapat batasan pemisah yang jelas antara ibu dengan sang bayi. Bayi pada masa ini hanya memiliki satu bentuk pemuasan kebutuhan yang membuatnya tidak mampu membedakan dirinya dengan objek yang memuaskan kebutuhannya. Pada bagian ini bayi sama sekali belum mengenal bahasa, karena bayi belum menyadari akan adanya kehilangan, ketidak terpenuhan, dan kekurangan. Tahapan yang kedua yaitu tahapan imajiner atau yang dikenal sebagai fase cermin, pada tahapan ini bayi mulai berusaha untuk membangun konstruksi dirinya. Proses pembangunan identitas diri pada bayi ini dilakukan dengan mengidentifikasi lewat pencerminan terhadap objek-objek yang dipelajarinya. Tahap ketiga yaitu tahapan simbolik atau fase oedipal, merupakan fase dimana bayi mengalami kartrasi atau pemisahan dengan 31
ibunya. Pada tahapan ini si anak harus menerima kehadiran “ayah simbolik” dan kehilangan objek hasratnya, tapahan ini dianggap sebagai bentuk kehilangan pertama yang di rasakan oleh bayi. Dalam perkembangan pengalaman manusia yang terdapat dalam tahap yang nyata, yang imajiner dan simbolik, ketiga tahapan ini menampilkan dirinya masing-masing dalam penanda utama, citraan dan fantasi. Proses pengembangan kepribadian ini kemudian dihubungkan Lacan dengan penggunaan bahasa, di mana si anak akibat kartrasinya kemudian menyerap bahasa dan penandanya untuk mengikuti apa yang dikehendaki oleh ibunya. Dari penjelasan diatas, kita dapat melihat bahwa teori yang dikukuhkan oleh Lacan ini memang pada dasaranya dilandasi teori-teori Freud yang terlebih dahulu lahir. Hal yang mendasar pada teori Lacan ini mengikuti hubungan langsung antara bayi dan ibu sama seperti apa yang digambarkan Freud dalam phallic stage, di mana ibu selalu diposisikan sebagai objek yang dapat memenuhi segala hasrat dari bayi tersebut. Kebanyakan teori psikologi memang seringkali melandasi teks teks yang dihasilkan Freud sebagai dasar kajian mereka. Beberapa di antara mereka ada yang mendukung teoriteori Freud, namun juga tidak sedikit yang menolak ide-ide Freud dan kemudian mengembangkan teori yang bertentangan sekali dengan apa yang dijelaskan oleh Freud. Teori dari Lacan ini seringkali dianggap sebagai bentuk penyempurnaan dari teori Freud, meskipun pada beberapa aspek tertentu mereka saling berseberangan antara satu dengan lainnya. Lacan dalam teorinya lebih mengarah kepada pengkajian kebahasaan dengan menyinggung nilai-nilai yang berkaitan dengan psikologi, hal ini menjadikannya sebagai tokoh teoritikus terpandang dalam keilmuan kesusastraan karena teorinya yang sering diaplikasikan dalam penelitian kesusastraan. Hal ini diperjelas oleh Eagleton (2010:237) bahwa karya Lacan merupakan usaha original yang mengejutkan untuk ‘menulis ulang’ Freudinisme dalam cara yang relevan bagi semua orang yang peduli dengan pertanyaan 32
mengenai subjek manusia, tempatnya dalam masyarakat, dan yang terpenting hubungannya dengan bahasa. 1.6
Metode Penelitian Dalam melakukan metode penelitian ini yang pertama dilakukan oleh penulis adalah
menentukan objek material sebagai bahan penelitian yaitu novel Lolita karya Vladimir Nabokov. Setelah menentukan objek material dan pembacaan menyeluruh terhadap novel kemudian menemukan hal-hal yang menarik untuk di teliti, lalu menetukan teori/pisau yang digunakan untuk memecahkan/membedah masalah tsb. Metode dalam penelitian yang akan penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif. Penggunaan metode ini adalah untuk mendapatkan pemahaman tentang fenomena, gejala, gagasan-gagasan,nilai-nilai, norma-norma, atau peristiwa-peristiwa yang ditemukan oleh peneliti. Selain itu, penelitian kualitatif dapatdiartikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2001:3) 1.6.1
Metode Pengumpulan Data Dalam melakukan pengumpulan data, penulis menggunakan buku-buku, artikel,
jurnal, dan hasil penelitian yang relevan, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan data-data kepustakaan yang sesuai yaitu yang berhungan dengan Hasrat Nabokov. Data yang digunakan berupa kata-kata atau kalimat yang menunjukan hasrat Nabokov. Kemudian datadata tersebut diklasifikasikan dan dianalisis kemudian menyusunnya menjadi sebuah laporan penelitian. 1.6.2
Metode Analisis Data
33
Karya sastra merupakan usaha untuk menemukan ketidaksadaran subjek dalam mencari keutuhan/ kepenuhan subjek (pengarang). Oleh karena kondisi ketidaksadaran ini tidak mungkin diakses sepenuhnya, maka untuk dapat memahami karya sastra tersebut adalah dengan cara melihat bahasa karya sastra tersebut, yaitu melalui metafora dan metonimia. Menurut konsep bahasa lacanian, suatu penanda selalu menandakan penanda lain; tidak ada kata yang bebas dari metaforis. Metafora adalah penanda yang menandakan penanda lain. Metode analisis menggunakan metafora dan metonimi, Lacan mengambil dari Saussure mengenai bahasa dan tanda. Metafora, mengandung unsur-unsur yang kadangkadang tidak disebutkan secara eksplisit. Definisi metafora menurut Beekman dan Callow (1974) adalah suatu perbandingan yang implisit. Metafora disebutkan oleh Pradopo (1994:66) merupakan bentuk perbandingan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Metafora dalam istilah Lacan disebut Kondensasi. Metafora yang menurut Lacan merupakan sumber point-de-capiton muncul saat sebuah pemaknaan yang ada pada ketidaksadaran “mengubah, mengatur penggunaan penanda, sampai pada satu titik dimana setiap jenis hubungan leksikal yang sudah ada sebelumnya dipersatukan ( Bracher, 2005:72) Sedangkan metonimia disebut oleh Keraf (1992:142) sebagai bagian dari sinekdoke. Sinekdoke dibagi menjadi dua yaitu pars pro toto: pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek, dan totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian. Metonimi dalam istilah Lacan adalah Penggantian. Diperjelas oleh Faruk dalam buku Pascastrukturalisme bahwa Metafora dipahami lacan sebagai prinsip kondensasi dalam pengertian bahwa didalamnya terjadi penjajaran penanda-penanda sehingga terjadi pergeseran makna, sedangkan metonimi bekerja dengan prinsip “pemlesetan” atau pengalihan yang berfungsi antara lain untuk mengalihkan perhatian sensor (faruk, 2008: 27)
34
Dengan menggunakan metode metafora dan metonomia ini penulis dapat menemukan bagaimana hasrat pengarang (Vladimir Nabokov) yang berada dalam ketidaksadarannya yang dimanifestakan melalui tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam novel Lolita ini. Serta akan ditemukan pula apa yang menjadi “hasrat memiliki” dan “hasrat menjadi” pengarang sebagai subjek manusia yang berkekurangan. 1.6.3
Sistematika Penyajian Dalam penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab satu berisi latar belakang alasan
penulis memilih kajian hasrat pengarang dalam novel Lolita sebagai objek penelitian. Rumusan masalah yang penulis angkat sebagai hal yang menarik untuk dikaji, kemudian tujuan penelitian yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini. Kemudian tinjauan pustaka yang berisi penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan sehingga dapat dijadikan referensi penulis, landasan teori dengan menggunakan teori psikoanalisis Jacques Lacan. Metode penelitian yang berisi cara-cara atau langkah-langkah penulis dalam menyusun laporan penelitian ini. Yang terakhir yaitu sistematika penyajian berisi gambaran dalam setiap bab. Bab dua yaitu berisi tentang latar belakang kehidupan Vladimir Nabokov bab tiga yaitu berisi pembahasan terhadap masalah penelitian yaitu identifikasi hasrat pengarang Vladimir Nabokov. Bab empat yaitu berisi pembahasan mengenai hasrat memiliki dan menjadi Vladimir Nabokov. bab lima yaitu bab terakhir yang berisi kesimpulan dari seluruh isi penelitian.
35