PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 2 2002
Pengaruh Varietas dan Cara Pengolahan terhadap Mutu Susu Kedelai Erliana Ginting dan Sri Satya Antarlina Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang
ABSTRACT. The Effect of Varieties and Processing Methods on the Quality of Soymilk. Beany flavour detected in soymilk is dictated by soybean cultivar and processing method. This study was performed to obtain suitable varieties and appropriate processing methods in order to produce good quality soymilk. The trial was carried out in the Post Harvest Laboratory of RILET within the period of October 1998 till April 1999. Four improved varieties of soybean seed, viz. Wilis, Local Ponorogo, Burangrang and Bromo and one line of MSC 9102D.1. were processed into soymilk using the wet method (soaking) and the dry method (mechanical dehulling). Factorial RCD was used with 2 factors and 3 replications. The first factor was soybean variety and the second was processing method. Observations included physical and chemical characteristics of soybean seeds, as well as physical, chemical, sensorial and microbiological characteristics of soymilk produced. For organoleptic test purposes, one sample of soymilk available in the market was used as a control. Soybean varieties and processing methods significantly influenced the protein content of soymilk, as well as the total soluble solid, yield recovery and viscosity. Soymilk processed from Bromo variety using the dry method showed the highest protein content (4,89%). The dry method gave the protein content of soymilk 1.5 up to 2-fold higher than that of soymilk processed using the wet method and also the total soluble solid were higher. The colour, odor and taste of soymilk processed from all treatments varied from unacceptable to acceptable, while the intensity of beany flavour varied from very high to moderate. The sensorial attributes of soymilk produced in this study were better than those of the control. They were also safe for human consumption as they met the quality standard requirement for microbiological aspect. Based on the criteria of sensorial attributes, protein content and total soluble solid, soymilk processed from Local Ponorogo variety using the dry method showed the best result among all treatments, followed by Wilis and Bromo varieties which were also processed using the dry method. It appears that the dry method is promising as an appropriate processing method of soymilk. Key words: Soymilk, variety, processing methods, quality. ABSTRAK. Citarasa langu pada susu kedelai dipengaruhi oleh sifat genetis biji kedelai dan cara pengolahannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan varietas kedelai dan cara pengolahan yang tepat guna menghasilkan susu kedelai yang bermutu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen Balitkabi, Malang dari bulan Oktober 1998 sampai April 1999. Varietas unggul Wilis, Lokal Ponorogo, Burangrang, Bromo dan 1 galur MSC 9102D1 diolah menjadi susu kedelai dengan cara basah (dengan perendaman) dan cara kering (pengupasan kulit secara mekanis). Percobaan disusun dengan rancangan acak lengkap faktorial, dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah varietas kedelai dan faktor kedua adalah cara pengolahan susu kedelai. Pengamatan meliputi sifat fisik dan kimia biji kedelai serta sifat fisik, kimia, sensoris dan mikrobiologis susu kedelai yang dihasilkan. Sebagai pembanding, untuk uji sensoris ditambahkan satu contoh susu kedelai yang dijual di pasaran. Varietas kedelai dan cara pengolahan nyata berpengaruh terhadap kadar protein, total padatan terlarut (TPT), rendemen dan viskositas susu kedelai. Kadar protein tertinggi tampak pada susu kedelai varietas Bromo yang diolah dengan cara kering (4,89%). Pengolahan cara kering menghasilkan susu kedelai dengan kadar protein 1,5-2 kali lebih tinggi dibanding cara
48
basah, demikian pula TPTnya. Namun, rendemennya relatif lebih rendah. Penilaian terhadap warna, aroma dan rasa susu kedelai berkisar antara tidak suka sampai suka dan intensitas langu dari langu sampai netral. Dibandingkan dengan contoh susu kedelai yang dijual di pasaran, sifat sensoris susu kedelai yang dihasilkan relatif lebih baik dan layak untuk dikonsumsi karena memenuhi standar mutu dari aspek mikrobiologis. Berdasarkan kriteria sifat sensoris, kadar protein dan TPT susu kedelai dari varietas lokal Ponorogo yang diolah dengan cara kering menunjukkan hasil terbaik, disusul varietas Wilis dan Bromo yang juga diolah dengan cara kering. Pengolahan susu kedelai cara kering tampaknya prospektif untuk dikembangkan. Kata kunci: Susu kedelai, varietas, cara pengolahan, mutu.
S
usu kedelai merupakan salah satu produk pangan yang memiliki beberapa kelebihan, antara lain lebih murah dibanding susu sapi, bernilai gizi tinggi (susunan asam aminonya lengkap dan serasi), sesuai bagi penderita lactose intolerance dan tidak menyebabkan alergi bagi konsumen. Dilaporkan, protein susu kedelai 80% mutu susu sapi dengan nilai nisbah keefisienan protein (PER) sebesar 2,3 (Winarno 1985). Oleh karena itu, susu kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan. Tingkat konsumsi susu sapi di Indonesia relatif rendah (6 l/kapita/tahun) (Sibuea 1998), demikian pula konsumsi susu kedelai, terutama bila dibandingkan dengan di negara-negara Cina, Filipina atau Thailand karena belum membudaya. Di pasaran dapat ditemukan susu kedelai dalam bentuk segar (dikemas dalam kantong plastik dan karton) dan bubuk. Namun tingkat perkembangan industri pengolahannya tidak sepesat di negara-negara tetangga. Di Malaysia, susu kedelai tidak hanya diproduksi oleh industri besar, tetapi juga oleh koperasi pedesaan dan perorangan/rumah tangga dalam skala kecil (Mahmud dan Kasim 1994). Salah satu penyebab kurang berkembangnya konsumsi susu kedelai adalah karena adanya citarasa langu (beany flavour) yang kurang disukai. Penyebab citarasa langu tersebut adalah senyawa yang mengandung gugus kabonil yang bersifat volatil, seperti n-heksanal. Senyawa ini terbentuk sebagai hasil oksidasi asam lemak tidak jenuh yang terdapat pada biji kedelai (terutama linoleat) akibat aktivitas enzim lipoksigenase. Enzim ini aktif pada saat biji kedelai pecah pada proses pengupasan kulit dan penggilingan karena kontak dengan udara (oksigen). Enzim lipoksigenase (L) yang terdiri atas L1, L2 dan L3 secara genetis
GINTING
DAN A NTARLINA:
VARIETAS, CARA PENGOLAHAN DAN MUTU SUSU KEDELAI
terdapat pada biji kedelai dan L 2 dilaporkan dominan dalam pembentukan heksanal (Nishiba et al. 1995). Menurut Adie (1997), kandungan enzim lipoksigenase bervariasi antarvarietas/galur kedelai. Selain itu, pada biji kedelai juga terdapat senyawa-senyawa penyebab rasa pahit dan sepet yang berasal dari glikosida dan rasa berkapur yang disebabkan oleh isoflavon dan aglikon-aglikonnya (Stauffer 1989 dalam Anonim 1989). Warna dan kandungan protein susu kedelai dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia biji kedelai yang dilaporkan berbeda antarvarietas (Indrasari dan Damardjati 1991, Kusbiantoro 1993). Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu susu kedelai dipengaruhi oleh jenis/ varietas kedelai. Di samping sifat genetis, mutu susu kedelai juga dipengaruhi oleh cara pengolahan. Pengolahan susu kedelai dapat dilakukan dengan cara basah (perendaman biji sebelum penggilingan) yang biasa diterapkan oleh industri skala kecil dan dengan cara kering (pengupasan kulit biji sebelum penggilingan) yang umum dilakukan oleh industri besar. Penghilangan citarasa yang tidak disukai (off-flavour) juga telah diupayakan melalui proses pengolahan, seperti perendaman, pengupasan biji, pemanasan dan pemberian bahan kimia NaOH 0,1% atau NaHCO3 0,25% (Hermana 1985, Winarno 1985, Santosa et al. 1994) sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan rendemen dan kandungan protein susu kedelai. Untuk mendapatkan susu kedelai yang memenuhi standar mutu dan dapat diterima sifat sensorisnya, perlu digunakan bahan dasar dari varietas kedelai yang sesuai, khususnya kedelai lokal, mengingat sejauh ini industri susu kedelai masih menggunakan kedelai impor. Dalam penelitian ini dikaji kesesuaian beberapa varietas kedelai untuk diolah menjadi susu kedelai yang dikombinasikan dengan cara pengolahannya. Diharapkan, informasi ini bermanfaat bagi para pemulia untuk menghasilkan varietas kedelai yang sesuai dengan tujuan penggunaannya dan membantu pengembangan industri susu kedelai dengan menggunakan cara pengolahan yang tepat serta relatif mudah untuk diterapkan.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen Balai Penelitian Tanaman kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang dari bulan Oktober 1998 sampai April 1999. Bahan baku yang digunakan adalah biji dari empat varietas kedelai, yakni Wilis, Lokal Ponorogo, Burangrang dan Bromo serta satu galur MSC 9102 D1. Semua bahan percobaan diperoleh dari Inlitkabi Muneng, Probolinggo, kecuali biji kedelai varietas
Burangrang yang diperoleh dari BPTP Karang Ploso, Malang. Biji kedelai tersebut diolah menjadi susu kedelai dengan cara basah (Gambar 1) dan cara kering (Gambar 2). Percobaan disusun dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial, dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama, adalah empat varietas dan satu galur kedelai, dan faktor kedua adalah cara pengolahan susu kedelai (basah dan kering). Pengamatan meliputi sifat fisik biji kedelai, yakni warna, ukuran (bobot 100 biji) dan kekerasan biji (dengan hardness tester) dan sifat kimianya (mengikuti prosedur AOACat muffle furnance), protein (mikro Kjeldahl) dan lemak (metode Soxhlet). Untuk susu kedelai, diamati rendemen (kg susu kedelai/kg biji) dan viskositasnya (dengan viskosimeter Brookfield), komposisi kimia (air, abu dan protein) mengikuti AOAC (1990), total padatan terlarut/TPT dengan hand refractometer, pH dengan pH meter, sifat mikrobiologis dengan Standard Plate Count Metode Spread (Fardiaz 1984 dalam Santosa et al. 1994) dan sifat sensorisnya (warna, aroma, rasa dan
Biji kedelai
Sortasi
Perendaman dalam NaHCO3 0,5% (suhu kamar, 8 jam) Pencucian
Blansing (air mendidih, 5 menit) Air panas 80 oC (1:8)
Penggilingan (5 menit)
Ekstraksi/penyaringan
Gula 5-7%
Ampas
Filtrat Pemasakan (100o C, 10 menit)
Susu kedelai Gambar 1. Proses pengolahan susu kedelai dengan cara basah. Sumber: Santosa et al. (1994).
49
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 2 2002
intensitas bau langu) dengan skala Hedonik, yaitu 1 (sangat tidak suka) sampai 5 (sangat suka) yang melibatkan 20 panelis. Sebagai pembanding, ditambahkan satu contoh susu kedelai segar yang dijual di pasaran.
Biji kedelai
Sortasi Blansing (suhu air 90oC, 10 menit) Pengeringan oven (40o C, 18 jam)
Pengupasan kulit secara mekanis Air panas 80o C (1:8)
Penggilingan (5 menit)
Ekstraksi/penyaringan
Gula 5-7%
Kulit
Ampas
Filtrat Pemasakan (100o C, 10 menit)
Susu kedelai Gambar 2. Proses pengolahan susu kedelai dengan cara kering. Sumber: Snyder dan Kwon (1987).
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik dan Kimia Biji Kedelai Kulit biji kedelai umumnya berwarna kuning walau terdapat sedikit perbedaan antarvarietas, seperti Wilis berwarna kuning kehijauan. Di antara kelima varietas kedelai, Burangrang memiliki warna biji paling kuning. Ukuran biji kedelai tergolong kecil apabila memiliki bobot 8-10 g/100 biji, tergolong sedang jika bobotnya 10-13 g/100 biji dan tergolong besar bila lebih dari 13 g/100 biji (Susanto dan Saneto 1994). Berdasarkan kriteria tersebut, varietas Burangrang, Bromo dan galur MSC 9102D1 termasuk berbiji besar, sedangkan varietas Wilis dan Lokal Ponorogo tergolong berbiji sedang (Tabel 1). Varietas Burangrang memiliki ukuran biji terbesar, lebih besar varietas Bromo (sebelumnya dikenal dengan nama Manchuria) yang selama ini dipasok oleh petani di daerah Pasuruan untuk bahan baku industri susu kedelai (Nestle). Galur MSC9102D1 dan varietas Bromo menunjukkan tingkat kekerasan biji tertinggi, diikuti Wilis, Lokal Ponorogo dan Burangrang . Tingkat kekerasan biji berpengaruh terhadap kemudahan proses pemisahan kulit biji kedelai secara mekanis. Semakin tinggi tingkat kekerasan biji semakin banyak jumlah biji yang utuh terkupas (Ginting dan Antarlina 1998). Kadar air biji kedelai berkisar antara 6,65-8,13%, sementara kadar abu 5,32-6,34% bk. Varietas Burangrang menunjukkan kadar abu biji tertinggi, sementara Bromo terendah. Kadar protein biji varietas Burangrang paling tinggi (37,73% bk), sedangkan galur MSC 9102D1 memiliki kadar protein terendah (31,15% bk). Kadar lemak biji relatif tidak berbeda antarvarietas berkisar antara 18,93-19,92% bk. Pengamatan tersebut menunjukkan bahwa keragaman sifat fisik dan kimia biji kedelai dipengaruhi oleh varietas, seperti yang juga dilaporkan oleh Indrasari dan Damardjati (1991) serta Kusbiantoro (1993). Menurut Susanto dan Saneto (1994), komposisi kimia biji kedelai ditentukan oleh varietas, kesuburan
Tabel 1. Sifat fisik dan kimia biji beberapa varietas/galur kedelai. Varietas/galur
Bobot 100 biji (g)
Kekerasan biji (kg/biji)
Kadar air (%)
Kadar abu (% bk)
Kadar protein (% bk)
Kadar lemak (% bk)
Bromo Burangrang Wilis Lokal Ponorogo MSC9102D1
14,6 b 16,2 a 10,2 d 9,4 e 12,9 c
5,49 ab 4,66 c 5,19 bc 5,02 bc 5,97 a
7,85 b 6,65 d 6,99 c 8,13 a 6,66 d
5,32 d 6,34 a 5,86 c 6,04 b 5,96 bc
36,33 c 39,66 a 37,73 b 33,92 d 31,15 e
18,93 19,08 18,99 19,18 19,92
KK (%)
1,51
5,98
0,50
1,22
1,09
2,06
Angka selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT.
50
GINTING
DAN A NTARLINA:
VARIETAS, CARA PENGOLAHAN DAN MUTU SUSU KEDELAI
tanah dan kondisi iklim serta cara pemupukan dan pengairan (Kuntyastuti et al. 1999). Sifat Kimia Susu Kedelai Kadar Air Hasil analisis sidik ragam menunjukkan cara pengolahan berpengaruh nyata (P= 0,05) terhadap kadar air susu kedelai, sedangkan varietas dan interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh. Hal ini disebabkan oleh kadar air awal biji kedelai yang relatif tidak ber- beda, sehingga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata setelah diolah dengan cara yang sama. Cara pengolahan berpengaruh karena adanya proses pe- rendaman pada cara basah yang mengakibatkan me- ningkatnya kadar air susu kedelai. Menurut Watanabe (1962), setelah perendaman, kedelai akan mempunyai bobot 2,2 kali berat keringnya. Rata-rata kadar air susu kedelai yang diolah dengan cara basah berkisar antara 91,1-94,0%, sedangkan yang diolah dengan cara kering berkisar antara 88,7-91,2% (Gambar 3). Dengan cara pengolahan basah, Hermana (1985) memperoleh kadar air susu kedelai sebesar 91,0%. Nisbah antara jumlah air dan biji kedelai serta lama perendaman berpengaruh terhadap kadar air susu kedelai yang dihasilkan. Kadar Abu Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa varietas dan cara pembuatan berpengaruh nyata (P=0,05)
terhadap kadar abu susu kedelai tetapi tidak terdapat interaksi antara keduanya. Susu kedelai dari varietas Burangrang memiliki kadar abu tertinggi (0,56%), sedangkan dari varietas Bromo terendah (0,50%) (Gambar 4). Hal ini berkaitan dengan kadar abu biji kedelai yang juga tertinggi pada varietas Burangrang dan terendah pada varietas Bromo (Tabel 1). Kadar abu ditentukan oleh kadar mineral biji kedelai. Smith d a n C i r c l e ( 1 9 7 8 ) dalam Kusbiantoro (1993) mengemuka- kan bahwa varietas, iklim, dan kondisi tanah mem- pengaruhi kadar mineral biji-bijian. Saxena dan Singh (1997) juga melaporkan bahwa kandungan mineral seperti kalsium, fosfat dan besi (Fe) bervariasi antar- varietas kedelai. Susu kedelai yang diolah dengan cara kering memiliki kadar abu (rata-rata 0,61%) lebih tinggi daripada cara basah (rata-rata 0,45%). Hal ini erat kaitannya dengan kandungan mineral protein susu kedelai, terutama globulin yang mengandung 0,2% senyawa fosfor (Nash et al. 1967). Kadar protein susu kedelai yang diolah dengan cara kering lebih tinggi dibanding cara basah (Tabel 2). Dengan demikian, fosfor yang terikat pada protein juga lebih banyak, sehingga kadar abunya menjadi lebih tinggi. Selain itu, saat perendaman biji pada cara basah, sebagian mineral yang bersifat larut dalam air ikut terbuang bersama air rendaman. Salah satunya adalah fosfor yang merupakan komponen utama senyawa asam fitat (Reddy e t a l. 1989). Konsekuensinya, kadar abu susu kedelai yang diolah dengan cara basah relatif lebih rendah dibanding cara kering. Rata-rata kadar abu susu kedelai pada penelitian ini 0,53%, berbeda dengan hasil penelitian Hermana
95 Cara basah
Cara kering
Kadar air (%)
93 91
89
87
85 Bromo
Burangrang
Wilis
L. Ponorogo
MSC9102D1
Varietas kedelai
Gambar 3. Kadar air susu kedelai dari beberapa varietas/galur kedelai yang diolah dengan cara basah dan kering.
51
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 2 2002
0.6
Cara basah
Cara kering
Kadar abu (%)
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 Bromo
Burangrang
Wilis
L. Ponorogo MSC9102D1
Varietas kedelai Gambar 4. Kadar abu susu kedelai dari beberapa varietas/galur kedelai yang diolah dengan cara basah dan kering
(1985) dan Santosa et al. (1994) masing-masing 0,7% dan 0,38%. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan varietas kedelai dan cara pengolahan yang digunakan pada masing-masing penelitian.
Tabel 2. Kadar protein dan total padatan terlarut (TPT) pada tingkat kadar air 90% serta nilai pH susu kedelai. Varietas
Cara pengolahan
Kadar protein (%)
TPT (%)
Kadar Protein
Bromo
Interaksi varietas kedelai dengan cara pengolahan berpengaruh nyata (P=0,05) terhadap kadar protein susu kedelai (Tabel 2). Susu kedelai dari varietas Bromo yang diolah dengan cara kering mempunyai kadar protein tertinggi (4,89%). Kadar protein terendah (1,97%) terdapat pada susu kedelai dari varietas Wilis yang diolah dengan cara basah, walaupun tidak berbeda nyata dengan susu kedelai dari varietas Burangrang (2,19%) dan Bromo (2,24%) yang diolah dengan cara yang sama. Susu kedelai dari varietas Bromo yang diolah dengan cara kering lebih baik ditinjau dari kandungan protein. Perbedaan kadar protein susu kedelai antarperlakuan dipengaruhi oleh tingkat kelarutan protein pada proses ekstraksi. Hal ini terutama ditentukan oleh kadar globulin biji, yakni fraksi protein kedelai yang bersifat larut dalam air yang dilaporkan bervariasi antarvarietas (Kusbiantoro 1993). Selain itu, tingkat kelarutan protein kedelai juga bervariasi menurut pH. Pada kisaran pH 6,4-6,6, sekitar 85% protein dapat terekstrak (Snyder and Kwon 1987). Pada penelitian ini, pH susu kedelai berkisar antara 6,53-6,77 (Tabel 2), berarti jumlah protein terekstrak diharapkan optimum untuk semua perlakuan. Namun, pengolahan cara kering menghasilkan susu kedelai dengan rata-rata kadar
Burangrang
Basah Kering Basah Kering Basah Kering Basah Kering Basah Kering
2,24 ef 4,89 a 2,19 ef 4,13 b 1,97 f 4,00 bc 2,47 e 3,74 c 2,09 f 3,31 d
6,44 c 10,60 a 6,53 bc 10,67 a 5,57 d 10,60 a 6,68 b 10,60 a 5,64 d 10,60 a
6,77 6,58 6,70 6,57 6,70 6,63 6,73 6,53 6,65 6,63
6,12
1,44
1,17
52
Wilis Lokal Ponorogo MSC9102.D.1 KK (%)
pH
Angka selajur yang diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT.
protein (4,02% pada tingkat kadar air 90%) lebih tinggi dibandingkan dengan cara basah (2,19%). Perbedaan ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah padatan terekstrak selama proses perendaman yang dilakukan pada cara basah. Menurut Steinkraus et al. (1965), sebanyak 1,6% padatan hilang selama perendaman, termasuk protein yang larut dalam air, sehingga berpengaruh terhadap kadar protein akhir susu kedelai. Secara umum, kadar protein susu kedelai yang dihasilkan dengan cara basah maupun kering masih memenuhi kriteria standar mutu susu kedelai, minimum 2% (SNI 1995). Bila fasilitas alat pengupas biji mekanis tersedia, maka cara pengolahan kering prospektif di-
GINTING
DAN A NTARLINA:
VARIETAS, CARA PENGOLAHAN DAN MUTU SUSU KEDELAI
kembangkan ditinjau dari kadar protein susu kedelai yang dihasilkan. Total Padatan Terlarut (TPT) Interaksi varietas kedelai dengan cara pengolahan berpengaruh nyata (P=0,05) terhadap TPT susu kedelai (Tabel 2). Susu kedelai dari varietas Burangrang yang diolah dengan cara kering memiliki TPT tertinggi (10,67), walaupun tidak berbeda nyata dengan susu kedelai dari varietas Bromo, Wilis, Lokal Ponorogo, dan galur MSC9102D1 yang diolah dengan cara yang sama. TPT terendah terdapat pada susu kedelai dari varietas Wilis yang diolah dengan cara basah (5,57%), namun tidak berbeda nyata dengan galur MSC9102D1 yang diolah dengan cara yang sama. TPT susu kedelai ditentukan oleh komponen terlarut biji, yakni karbohidrat dan protein, terutama globulin yang ternyata bervariasi antarvarietas (Kusbiantoro 1993). Perbedaan TPT susu kedelai antarvarietas juga dilaporkan oleh Saxena dan Singh (1997). Selain itu, hilangnya sebagian padatan terlarut pada cara basah mengakibatkan TPT susu kedelai juga lebih rendah (5,57-6,68%) dibanding- kan dengan cara kering (10,60-10,67%) (Tabel 2). Batas minimum TPT menurut standar mutu susu kedelai adalah 11,5% (SNI 1995), sedangkan di luar negeri ditetapkan 10% (Winarno 1985). TPT susu kedelai yang diolah dengan cara kering mendekati nilai standar tersebut, sedangkan yang diolah dengan cara basah, nilainya jauh di bawah nilai standar tersebut. Nilai pH Cara pengolahan berpengaruh nyata (P=0,05) terhadap pH susu kedelai, namun varietas dan interaksi antarkedua perlakuan tidak berpengaruh. Proses perendaman dalam larutan basa (0,5% NaHCO3) dengan pengolahan cara basah mengakibatkan pH susu kedelai rata-rata lebih tinggi (6,71) daripada cara kering (6,59). Nilai pH rata-rata susu kedelai berkisar antara 6,53-6,77 (Tabel 2), sesuai dengan standar mutu susu kedelai yang mensyaratkan pH antara 6,5-7,0 (SNI 1995).
ngan cara kering (8,30 cps), namun tidak berbeda dengan susu kedelai dari varietas lokal Ponorogo yang diolah dengan cara yang sama. Sementara nilai terendah (4,20 cps) terdapat pada susu kedelai dari varietas Bromo yang diolah dengan cara basah. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan TPT susu kedelai yang dipengaruhi oleh kadar karbohidrat dan proteinnya yang bervariasi antarvarietas (Kusbiantoro 1993). Selain itu, hilangnya sebagian padatan terlarut pada cara pengolahan basah menghasilkan susu kedelai yang nilai viskositasnya lebih rendah dibandingkan dengan cara kering. Menurut Koswara (1992), susu kedelai akan lebih kental dan membentuk gumpalan saat dipanaskan bila kadar proteinnya > 7%, sehingga kurang disukai. Nilai viskositas susu kedelai dari semua perlakuan relatif dapat diterima karena kadar proteinnya hanya berkisar antara 1,97-4,89% (Tabel 2). Rendemen Rendemen susu kedelai nyata (P=0,05) dipengaruhi oleh interaksi antarvarietas kedelai dengan cara pengolahan (Tabel 3). Rendemen susu kedelai berkisar antara 428-631%. Perlakuan varietas lokal Ponorogo dan Burangrang dengan cara basah menghasilkan rendemen tertinggi, sedangkan penggunaan varietas Bromo dengan cara pengolahan kering rendemen paling rendah. Perbedaan kadar air biji, tingkat kelarutan komponen biji dalam air, dan kemudahan ekstraksinya mempengaruhi nilai rendemen susu kedelai (Lim et al. 1990). Pengolahan dengan cara basah memberikan rendemen lebih tinggi dibanding cara kering (Tabel 3). Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar air biji kedelai akibat perlakuan perendaman, sehingga berat akhir Tabel 3. Nilai viskositas, rendemen dan total koloni mikroba susu kedelai.
Varietas
Cara pengolahan
Viskositas (cps)
Bromo
Basah Kering Basah Kering Basah Kering Basah Kering Basah Kering
4,20 f 6,57 c 4,87 e 6,57 c 5,50 d 8,30 a 7,57 b 8,27 a 4,37 f 7,50 b
Burangrang
Sifat Fisik Susu Kedelai Wilis
Viskositas
Lokal Ponorogo
Interaksi varietas kedelai dan cara pengolahan berpengaruh nyata (P=0,05) terhadap viskositas susu kedelai (Tabel 3). Nilai viskositas tertinggi ditunjukkan oleh susu kedelai dari varietas Wilis yang diolah de-
MSC9102D1 KK (%)
2,23
Rendemen (%)
Total mikroba (cfu/g)
585 ab 428 d 620 a 566 b 589 ab 469 cd 631 a 495 c 571 b 510 c
46 18 410 170 17 59 32 23 2 1
4,63
-
Angka selajur yang diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT.
53
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 2 2002
susu kedelai meningkat. Perbedaan rendemen antarvarietas pada cara pengolahan yang sama disebabkan oleh perbedaan kadar protein biji, terutama globulin (Kusbiantoro 1993). Biji varietas Wilis mengandung 29% globulin, sedangkan kadar globulin varietas/galur lainnya belum diteliti. Keragaman rendemen susu kedelai antarvarietas juga dilaporkan oleh Saxena dan Singh (1997). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rendemen susu kedelai berkorelasi negatif dengan kadar protein dengan nilai r = 0,84 (Gambar 5). Hal ini sesuai dengan penelitian Kusbiantoro (1993) yang menyatakan bahwa peningkatan rendemen yang diikuti dengan peningkatan berat susu kedelai akan menurunkan kadar proteinnya per satuan berat. Secara ekonomis, susu kedelai yang dibuat dengan cara basah lebih menguntungkan daripada cara kering karena rendemennya lebih tinggi. Namun ditinjau dari nilai gizinya, susu kedelai yang dibuat dengan cara kering memiliki kadar protein hampir dua kali lebih tinggi dibanding cara basah (Tabel 2). Oleh karena itu, bila diterapkan dalam industri pangan, susu kedelai yang diolah dengan cara kering dapat dijual dengan harga lebih tinggi. Sifat Mikrobiologis Susu Kedelai Analisis jumlah mikroba dilakukan untuk mengetahui apakah susu kedelai aman untuk dikonsumsi. Di Indonesia, total koloni mikroba yang diijinkan untuk susu kedelai adalah 200/ml (SNI 1995), sementara di luar negeri batas toleransinya 300/g (Winarno 1985). Proses pemasakan filtrat pada pengolahan susu ke-
delai diharapkan dapat membunuh mikroorganisme patogen dan organisme nonpatogen. Pada penelitian ini, cara pengolahan dianggap lebih berpengaruh terhadap jumlah mikroba dibanding varietas. Namun, hasil uji t menunjukkan bahwa total koloni mikroba susu kedelai yang diolah dengan cara basah (101 cfu/g) tidak berbeda nyata dengan cara kering (54 cfu/g). Kecenderungan lebih tingginya jumlah koloni mikroba pada cara basah kemungkinan disebabkan oleh adanya kontaminasi yang berasal dari air rendaman. Secara umum tampak bahwa jumlah koloni mikroba tiap perlakuan (Tabel 3) masih berada di bawah nilai maksimum standar mutu susu kedelai. Jumlah koloni mikroba ini juga relatif lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Santosa et al. (1994), yaitu 320 cfu/g susu kedelai. Sifat Sensoris Susu Kedelai Warna Skor penilaian warna susu kedelai bervariasi dari 2,8 (netral) hingga 4,2 (suka) (Tabel 4). Skor tertinggi tampak pada galur MSC9102D1 yang diolah dengan cara basah maupun kering dan Wilis dengan pengolahan cara kering. Sementara kontrol (salah satu contoh susu kedelai yang dijual di pasaran) paling tidak disukai warnanya. Perbedaan penilaian ini tampak dipengaruhi oleh warna biji masing-masing varietas kedelai. Selain itu, penilaian juga dapat pengaruhi oleh kebiasaan panelis yang membandingkan warna susu kedelai dengan susu sapi yang berwarna putih, sehingga tingkat penerimaannya didasarkan pada warna
6
Kadar protein (%)
5 4 3 2
y = -0.0129x + 10.149 r = 0.84
1 0 400
450
500
550
600
650
Rendemen (%) Gambar 5. Hubungan antara kadar protein dengan rendeman susu kedelai.
54
GINTING
DAN A NTARLINA:
VARIETAS, CARA PENGOLAHAN DAN MUTU SUSU KEDELAI
yang paling mendekati susu sapi. Hasil penelitian Saxena dan Singh (1997) juga melaporkan bahwa susu kedelai yang diolah dari varietas PK-472 paling disukai karena warnanya paling putih dan tidak terdeteksi citarasa langu. Aroma Skor penilaian aroma susu kedelai berkisar dari 2,2 (tidak suka) hingga 3,7 (suka) (Tabel 4). Skor aroma tertinggi ditunjukkan oleh susu kedelai dari varietas MSC9102D1 dan lokal Ponorogo yang diolah dengan cara basah dan kering, diikuti varietas Bromo dan Wilis. Skor terendah tampak pada susu kedelai kontrol. Perbedaan varietas dan cara pengolahan dapat menyebabkan perbedaan skor aroma. Tabel 4 memberi gambaran bahwa varietas kedelai lebih berpengaruh terhadap penilaian aroma susu kedelai dibanding cara pengolahan. Hal ini tampak dari skor aroma yang sama untuk kedua cara pengolahan pada varietas kedelai yang sama. Pengolahan cara kering tampak mempunyai efektivitas yang sama dalam mengurangi aroma langu dengan cara basah, walaupun tanpa proses perendaman dalam NaHCO3. Diduga, cara kering akan menjadi lebih efektif bila dikombinasikan dengan penggunaan NaHCO3. Menurut Bourne et al. (1976) dalam Santosa et al. (1994), ion Na efektif memperbaiki citarasa susu kedelai, meski mekanismenya belum jelas. Cara ini dapat dilakukan pada saat blansing, di mana air yang digunakan sebagai media blansing diganti dengan larutan 0,5% NAHCO3, seperti yang dilakukan oleh Johnson dan Snyder (1978). Rasa
Tabel 4. Tingkat kesukaan terhadap warna, aroma, rasa dan intensitas langu susu kedelai. Skor kesukaan Varietas Bromo Burangrang Wilis Lokal Pomorogo MSC9012.D.1 Kontrol
Cara Warna pengolahan Basah Kering Basah Kering Basah Kering Basah Kering Basah Kering Basah
3,1 3,0 3,7 3,5 3,7 4,1 3,8 3,9 4,2 4,1 2,8
Aroma 3,4 3,6 3,0 2,8 3,5 3,1 3,7 3,6 3,7 3,6 2,2
Rasa Intensitas langu 3,5 3,6 2,8 2,4 3,4 3,8 3,2 4,0 3,6 3,6 2,8
3,6 2,9 3,1 2,6 3,4 3,0 3,3 3,5 3,0 2,8 1,9
Skor penilaian warna, aroma dan rasa mulai dari 1 (sangat tidak suka) sampai 5 (sangat suka), sedang untuk intensitas langu mulai dari 1 (sangat langu) sampai 5 (tidak langu).
Skor penilaian rasa susu kedelai berkisar dari 2,4 (tidak suka) hingga 4,0 (suka) (Tabel 4). Skor rasa tertinggi tampak pada susu kedelai dari varietas lokal Ponorogo yang diolah dengan cara kering, diikuti oleh varietas Bromo baik dengan cara kering maupun basah. Skor terendah ditunjukkan oleh varietas Burangrang yang diolah dengan cara kering, diikuti kontrol. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh masih terdeteksinya citarasa langu pada susu kedelai, meskipun bila dibandingkan dengan kontrol sudah jauh lebih baik. Selain itu, sebagian besar panelis mengomentari adanya rasa ikutan (after taste) pahit, sehingga mempengaruhi skor penilaian. Rasa pahit ini dapat disebabkan oleh senyawa saponin yang terdapat pada biji kedelai yang relatif tahan panas (Iyer et al. 1989), sehingga tidak seluruhnya dapat dihilangkan pada saat pemasakan susu kedelai. Kombinasi perendaman dan pemanasan dilaporkan lebih efektif menghilangkan senyawa tersebut. Pengolahan susu kedelai cara kering (tanpa perendaman) memberi skor penilaian rasa yang relatif sama dengan cara basah pada varietas yang sama. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya penghilangan kulit biji pada cara pengolahan kering. Dilaporkan, kulit biji kedelai mengandung 27% saponin A (Stauffer 1989 dalam Anonim 1989). Selain itu, rasa pahit dan berkapur (chalky) sebagai rasa ikutan (after taste) dapat juga disebabkan oleh senyawa isoflavon, bentuk dominan senyawa fenol dalam biji kedelai. Daidzein dan genestein merupakan komponen utama isoflavon yang dihasilkan oleh aktivitas enzim beta galaktosidase, terutama pada saat perendaman biji kedelai (Matsuura et al. 1989). Penambahan senyawa GDL (glucono delta lactone) 0,15% pada air rendaman dapat mengurangi 10-20% senyawa fenol yang ikut terekstrak dalam susu kedelai karena dapat menghambat kerja enzim beta galaktosidase (Saxena and Singh 1997). Meski pengaruh penambahan GDL tidak diamati dalam penelitian ini, tetapi penggunaannya dipertimbangkan untuk memperbaiki citarasa susu kedelai. Intensitas Langu Skor intensitas langu susu kedelai berkisar dari 1,9 (langu) hingga 3,6 (netral) (Tabel 4). Susu kedelai dari varietas Bromo (cara basah) memberikan intensitas langu terendah, diikuti lokal Ponorogo (cara kering), sedangkan kontrol paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan dengan perendaman dan/ atau pemanasan dapat memperbaiki citarasa susu kedelai, tetapi tidak sepenuhnya dapat menghilangkan citarasa langu. Varietas kedelai yang defisit enzim lipoksigenase L1, L2 atau L3 merupakan salah satu solusi 55
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 2 2002 Tabel 5. Skor masing-masing perlakuan untuk pemilihan perlakuan terbaik. Varietas
Cara Sifat pengolahan sensoris
Bromo Burangrang Wilis Lokal Ponorogo MSC9012D1
Basah Kering Basah Kering Basah Kering Basah Kering Basah Kering
6,80 6,55 6,30 5,65 7,00 7,00 7,15 7,50 7,10 6,40
Protein
TPT
Total skor
0,56 1,22 0,55 1,03 0,49 1,00 0,62 0,94 0,52 0,83
1,61 2,65 1,63 2,67 1,39 2,65 1,67 2,65 1,41 2,65
8,97 10,42 8,48 9,35 8,88 10,65 9,44 11,09 9,03 9,88
untuk menghilangkan citarasa langu pada susu kedelai (Kitamura et al. 1995 dalam Adie 1997). Hasil evaluasi beberapa koleksi kedelai di Indonesia menunjukkan, bahwa tidak satupun varietas/galur yang bebas enzim lipoksigenase (Adie 1997). Disisi lain, banyak konsumen di Cina dan Thailand menyukai citarasa langu tersebut karena merupakan ciri khas susu kedelai. Oleh karena itu, pengembangan pengolahan susu kedelai harus disesuaikan dengan preferensi konsumennya. Secara umum, skor penilaian panelis terhadap warna, aroma dan citarasa susu kedelai masih rendah. Hal ini tampaknya mewakili konsumen Indonesia yang belum terbiasa mengkonsumsi susu kedelai. Namun bila dibandingkan dengan kontrol, susu kedelai hasil penelitian ini lebih disukai sifat sensorisnya. Hal ini menunjukkan bahwa varietas dan cara pengolahan yang digunakan relatif lebih baik dibandingkan dengan contoh susu kedelai yang ada di pasaran sehingga memberi peluang untuk memperbaikinya. Pemilihan Perlakuan Terbaik Pemilihan perlakuan terbaik didasarkan pada total skor tertinggi parameter yang dianggap penting dalam pengolahan susu kedelai. Standar mutu susu kedelai (SNI 1995) hanya menentukan kriteria sifat kimia (kandungan protein dan TPT) dan mikrobiologis, sementara sifat sensoris yang sangat penting dalam menentukan penerimaan konsumen tidak tercantum di dalamnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini sifat sensoris digunakan sebagai kriteria utama dengan bobot penilaian 50%, diikuti oleh kriteria kandungan protein 25% dan TPT 25%. Kriteria jumlah koloni mikroba tidak dimasukkan dalam perhitungan skor karena tidak terdapat perbedaan antarperlakuan.
56
Berdasarkan kriteria tersebut, skor masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 5. Total skor tertinggi tampak pada susu kedelai dari varietas lokal Ponorogo yang diolah dengan cara kering, diikuti varietas Wilis dan Bromo yang juga diolah dengan cara kering. Varietas lokal Ponorogo lebih baik ditinjau dari sifat sensorisnya, sementara varietas Bromo dan Wilis lebih baik ditinjau dari kadar protein. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Adie (1997) yang melaporkan bahwa kandungan enzim lipoksigenase relatif lebih rendah pada biji kedelai varietas lokal Ponorogo dibanding varietas Wilis. Varietas Burangrang, memiliki kandungan protein dan TPT yang lebih baik, namun masih perlu diperbaiki sifat sensorisnya. Pengolahan susu kedelai cara kering juga memiliki kadar protein dan TPT yang lebih baik dibanding cara basah, sehingga prospektif untuk diterapkan, khususnya di tingkat industri skala kecil.
KESIMPULAN 1. Biji kedelai varietas lokal Ponorogo yang diolah dengan cara kering menghasilkan susu kedelai yang paling baik mutunya berdasarkan sifat sensoris, kadar protein dan total padatan terlarut (TPT), diikuti oleh varietas Wilis dan Bromo yang juga diolah dengan cara kering. 2. Pengolahan susu kedelai dengan cara kering tampaknya prospektif diterapkan karena menghasilkan susu kedelai dengan kadar protein dan TPT 1,5-2 kali lebih tinggi dibanding cara basah. Sifat sensorisnya juga relatif sama, namun rendemennya lebih rendah dibanding cara basah. 3. Susu kedelai yang ada di pasaran memiliki peluang untuk diperbaiki mutunya melalui pemilihan varietas kedelai dan teknologi pengolahan yang sesuai, sehingga warna, aroma dan rasanya lebih disukai.
SARAN Perlu diteliti pengaruh blansing biji kedelai dalam larutan NaHCO3 pada pengolahan susu kedelai cara kering guna memperbaiki sifat sensoris varietas kedelai yang prospektif untuk diolah menjadi susu kedelai, seperti Burangrang dan Bromo yang ukuran bijinya besar dan kadar proteinnya tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH
GINTING
DAN A NTARLINA:
VARIETAS, CARA PENGOLAHAN DAN MUTU SUSU KEDELAI
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Sdr. S. R. Yuni Mulyaningtyas, Suprapto dan Kus Setiarjo yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Penghargaan juga disampaikan kepada Ibu Rodiah (BPTP Karang Ploso) atas pemberian biji kedelai varietas Burangrang dan Ir. Sumartini, MS atas bantuannya menganalisis mikroba susu kedelai.
DAFTAR PUSTAKA Adie, M.M. 1997. Identifiasi enzim lipoksigenase pada beberapa genotipe kedelai. Zuriat 8:78-83. Anonim. 1989. Perkembangan pengolahan produk kedelai di Jepang. Warta Kedelai Gizi II(3):1-8. AOAC. 1990. Official methods of analysis of association of official analytical chemist. AOAC Int. Washington D.C. Ginting, E. dan S.S. Antarlina. 1998. Pengaruh beberapa varietas dan perlakuan pendahuluan terhadap kualitas tepung kedelai. Dalam S. Raharjo, D.W. Marseno dan W. Supartono (Eds). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan dan Gizi. Yogyakarta, 15 Desember 1998. p. 444-453. Hermana. 1985. Pengolahan kedelai menjadi berbagai bahan makanan. Dalam S. Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung dan Yuswadi (Eds). Kedelai. Puslitbangtan. Bogor. p. 441-469. Indrasari, S.D. dan D.S. Damardjati. 1991. Sifat fisik dan kimia varietas kedelai dan hubungannya dengan rendemen dan mutu tahu. Media Penelitian Sukamandi. 9:43-50. Iyer, V., S.S. Kadam dan D.K. Salunkhe. 1989. Cooking. Dalam D.K. Salunkhe dan S.S. Kadam (Eds). CRC handbook of world food legumes: nutritional chemistry, processing technology and utilization. Vol. III. CRC Press, Inc. Boca Raton. Florida. p. 145-162. Johnson, K.W. dan H.E. Snyder. 1978. Soymilk: A comparison of processing methods on yields and composition. J. Food Sci. (43):349-353. Koswara, 1992. Teknologi pengolahan kedelai menjadi makanan bermutu. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Kuntyastuti, H., S.S. Antarlina, E. Ginting. dan J.S. Utomo. 1999. Pengaruh pemupukan dan pengairan terhadap kadar protein dalam biji kedelai. Dalam F.R. Zakaria, M. Astawan, S. Koswara dan M.T. Suhartono (Eds). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Jakarta, 12-13 Oktober 1999. p. 228-236.
Kusbiantoro, B. 1993. Sifat fisikokimia dan karakteristik protein kedelai (Glycine Max (L.) Merril) dalam hubungannya dengan mutu tahu yang dihasilkan. Thesis S2 Program Pascasarjana IPB. Bogor. Lim, B.T., J.M. DeMan and R.I. Buzzel. 1990. Yield and quality of tofu as affected by soybean and soymilk characteristics. Calcium suplhate coagulant. J. Food Sci. 55(4):1088-1092. Mahmud, T.Y.T dan A.A.Kasim. 1994. Processing and marketing of fresh soybean milk for income and employment generation in the Klang Valley, Malaysia. Palawija News 9(1):9-15. Matsuura, M., A. Obata, dan D. Fukushima. 1989. Objectionable flavor of soy milk developed during the soaking of soybeans and its control. J. Food Sci. (54):602-605. Nash, A.M., A.C. Eldridge dan W.J. Wolf. 1967. Fractionation and characterization of the alcohol extractables associated with soybean proteins-non protein components. J. Agr. Food Chem. 15:102-108. Nishiba, Y., S. Furata, M. Hajika, K. igita dan I. Suda. 1995. Hexanal accumulation and DETBA value in homogenate of soybean seeds lacking two or three lipoxygenase isozymes. J. Agric. Food Chem. 33:738-741. Reddy, N.R., S.K. Sathe dan D.K Salunkhe. 1989. Phytates. Dalam D.K. Salunkhe dan S.S. Kadam (Eds). CRC handbook of world food legumes: nutritional chemistry, processing technology and utilization. Vol. I. CRC Press, Inc. Boca Raton. Florida. p. 163-188. Santoso, B.A.S., E.Y. Purwani dan S. Rijanti. 1994. Susu kedelai campuran dan cara penyimpanannya pada suhu rendah. Media Penelitian Sukamandi. 15:12-17. Saxena, S. dan G. Singh. 1997. Suitability of new soybean cultivars in the production of soy milk. J. Food. Sci. Technol. 34(2):150-152. Sibuea, P. 1998. Pilih mana, susu sapi dan susu kedelai. Kompas, 8 Februari 1998. SNI, 1995. Standar nasional Indonesia untuk susu kedelai. SNI 013830-1995. Dewan Standar Nasional. Jakarta. 4 p. Snyder, H.E dan T.W. Kwon. 1987. Soybean utilization. Van Nostrand Reinhold. New York. p. 226. Steinkraus, K.H., C.Y. Lee dan F.A. Buck. 1965. Soybean fermentation by the ontjom mold Neurospora. Food Tech. 19. Susanto, T dan B. Saneto. 1994. Teknologi pengolahan hasil pertanian. Bina Ilmu. Surabaya. Watanabe, T. 1962. Study of water extracted protein of soybean. J. Agr. Chem. Soc. Japan (36):890-895. Winarno, F.G. 1985. Pengolahan kedelai menjadi minyak dan bahanbahan industri. Dalam S. Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung dan Yuswadi (Eds). Kedelai Pulslitbangtan. Bogor. p. 483-508.
57