1
PENDAHULUAN
Masa sekarang ini banyak dijumpai secara luas sebuah fenomena yang menyedihkan didunia pendidikan, yaitu perilaku ketidakjujuran akademik (academic dishonesty). McCabe (2009), menyebutkan bahwa ketidakjujuran akademik baik dalam bentuk plagiat dan kecurangan pada tes telah mendapatkan perhatian lagi karena penggunaan internet yang banyak dan kemerosotan moral pada mahasiswa generasi saat ini yang menyebabkan banyak peneliti menyimpulkan bahwa ketidakjujuran akademik menjangkau proporsi yang epidemik (mewabah). Dalam penelitiannya tersebut juga memaparkan data empiris dan mendukung kesimpulan bahwa ketidakjujuran akademik adalah kasus yang penting yang mencuat dalam banyak jurusan kuliah. Selanjutnya, Lambert, Hogan, dan Barton (2003) mengungkapkan bahwa perilaku ketidakjujuran akademik merupakan ancaman serius bagi sebagian besar perguruan tinggi yang dapat menggagalkan tujuan pendidikan tinggi dan proses pencarian ilmu. Dalam dunia pendidikan tinggi, berbagai laporan secara konsisten mendukung temuan bahwa sejumlah besar mahasiswa terlibat perilaku curang dalam kegiatan akademik (Austin, Collins, Remillard, Kelcher dan Chuia, 2006). Perilaku ketidakjujuran akademik menunjukkan kecenderungan peningkatan secara tajam, yang tersebar luas diberbagai tempat, sebagaimana yang diungkapkan dalam berbagai penelitian yang dilakukan oleh McCabe (2000), Ercegovac dan Richardson (2004), Harding, Donald, Carpenter, Susan &
1
2
Nicholas, (2001), serta Rabi & Zgarrick (2006). Bahkan Lanier (2006) mengistilahkan ketidakjujuran akademik sebagai wabah kampus. Berbagai perilaku yang dikategorikan dalam perilaku ketidakjujuran akademik tersebut diantaranya menyontek (cheating), menjiplak (plagiarism), pemalsuan data (fabrication), dan sabotase tugas orang lain. Menyontek dijumpai ketika para mahasiswa mengerjakan ujian, menjiplak terlihat dalam pengerjaan tugas-tugas rumah, dan pemalsuan data dapat kita temui dalam kegiatan penelitian. Peningkatan sebaran perilaku ketidakjujuran akademik dapat dilihat dalam tabel 1. Tabel 1. Tren Peningkatan Perilaku Ketidakjujuran Akademik Berdasar Temuan Riset Peneliti McCabe dan Trevino
Tahun 2000
Perilaku Ketidakjujuran Akademik (%) 67%
Harding, dkk
2001
69%
Ercegovac dan Richardson
2004
72%
Lanier
2006
75%
Strom
2007
83%
McCabe, Feghali, dan Abdallah
2008
85%
McCabe
2009
88%
Tabel 1 tampak jelas bahwa perilaku ketidakjujuran akademik merupakan suatu epidemik, yang angkanya terus meningkat dari waktu kewaktu dan terus menyebar secara luas. Fenomena perilaku ketidakjujuran akademik ini juga telah banyak dijumpai di Indonesia, bahkan perilaku ketidakjujuran akademik tidak hanya terjadi di perguruan tinggi namun juga telah terjadi pada dunia pendidikan dasar dan menengah. Berita-berita tentang tertangkapnya perilaku ketidakjujuran akademik di sekolah dasar dan menengah biasanya marak menjelang akhir tahun pelajaran
3
atau ketika musim ujian tiba. Upaya-upaya “kerjasama” yang semestinya tidak terjadipun ikut menodai citra pendidikan. Kasus-kasus yang pernah diberitakan di koran antara lain, guru yang mencuri soal UN sebelum UN dilaksanakan, guru yang memberikan bocoran jawaban UN pada siswa, pembelian bocoran jawaban soal ujian oleh anak yang didukung orangtuanya, pemanfaat teknologi IT untuk menyontek, bahkan pula muncul kasus perjokian. Kasus-kasus tersebut memberikan gambaran bahwa orientasi terhadap skor hasil ujian menduduki tempat yang demikian penting bagi sebagian orang, bahkan nilai-nilai moral yang seharusnya ditegakkan dalam pelaksanaan ujian tidak diindahkan lagi. Maraknya kasus ketidakjujuran akademik ternyata juga sudah merambah dikabupaten Ngawi, Menurut DR selaku guru Bimbingan Konseling disalah satu MTsN dikabupaten Ngawi, terdapat peningkatan jumlah siswa yang melakukan ketidakjujuran akademik pada saat ujian ataupun tugas-tugas akademik. Selain itu peneliti juga telah melakukan survei pendahuluan pada bulan November 2014 dengan memberikan 80 kuesioner terbuka tentang perilaku ketidakjujuran akademik kepada siswa kelas 7,8,9 di salah satu MTsN tersebut. Tabel 2. Persentase bentuk-bentuk perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa salah satu MTsN di Kabupaten Ngawi Bentuk Perilaku Ketidakjujuran Akademik Jumlah (%) Bertanya pada teman saat ujian
16
20
Menyalin jawaban teman saat ujian
14
18
Membuka buku secara sembunyi pada saat ujian
13
16
Membuat catatan-catatan dikertas kecil sebelum
10
12
Memberikan jawaban pada teman
6
8
Menggunakan kode/isyarat pada teman saat ujian
6
8
Menyalin PR teman
5
6
ujian berlangsung untuk dibuka saat ujian
4
Memberitahukan soal ujian yang keluar pada kelas
5
6
Menyajikan data palsu dalam pengumpulan tugas
3
4
Memalsukan daftar pustaka
2
2
lain yang belum ujian
Tabel 2 menunjukkan persentase hasil dari skala terbuka tentang bentukbentuk perilaku ketidakjujuran akademik terhadap 80 siswa pada salah satu MTsN di Kabupaten Ngawi. Bertanya jawaban pada teman saat ujian menduduki tempat yang paling tinggi dalam perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa. Hal ini memberikan gambaran bahwa orientasi terhadap skor hasil ujian menduduki tempat yang demikian penting bagi sebagian siswa, bahkan nilai-nilai ajaran Agama Islam yang seharusnya ditegakkan dalam pelaksanaan ujian seperti kejujuran, bekerja keras dan bersikap terbuka dalam menerima hasil ujian tidak diindahkan oleh para siswa MTsN tersebut. Seperti diketahui bahwa Madrasah adalah sekolah yang berdasar ajaran Agama Islam, siswa Madrasah selalu dianggap memiliki nilai lebih dalam hal agama, tentu saja nilai keagamaan tersebut seharusnya tercermin dalam perilaku para siswa Madrasah,
adanya
perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa madrasah ini membawa kontraversi tersendiri karena perilaku ketidakjujuran akademik jelas bertentangan dengan ajaran Agama Islam. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menggunakan mahasiswa sebagai responden diantaranya; Penelitian oleh Iyer dan Eastman (2006), subjek penelitiannya adalah mahasiswa Valdostan State University, Valdosta, Georgia meneliti tentang bagaimana mahasiswa jurusan bisnis melakukan ketidakjujuran akademik dibandingkan dengan mahasiswa jurusan
5
lain. Selanjutnya McCabe, Feghali, dan Abdallah (2008) melakukan penelitian dengan menggunakan sebuah sampel dari 3 universitas swasta di Lebanon, dan membandingkan hasil-hasilnya dengan sebuah sampel dari 7 universitas besar di AS. Selanjutnya penelitian McCabe (2009) menyebutkan bahwa perilaku ketidakjujuran akademik juga terjadi pada mahasiswa keperawatan. Beberapa penelitian tersebut menggunakan subjek penelitian mahasiswa diberbagai jurusan dari universitas umum, sedangkan dalam penelitian ini peneliti mengangkat fenomena tentang perilaku ketidakjujuran akademik pada tingkat sekolah menengah pertama yang terjadi di salah satu Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di kabupaten Ngawi. Adanya perilaku ketidakjujuran akademik pada Madrasah yang notabene berbasis ajaran Agama Islam ini membuat peneliti tertarik untuk mengungkapnya dengan pengujian secara empirik. Ketidakjujuran akademik merupakan masalah etika dan karakter moral (Bjorklund dan Wenestam, 2000). Lebih lanjut Alhadza (2005) mengungkapkan bahwa meskipun tidak separah yang dikhawatirkan sebagian orang, apabila dibiarkan akan merusak kepribadian seseorang dan mengaburkan nilai-nilai moral dalam masyarakat. Menurut Tibbetts (dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003), academic dishonesty is the intension of person engagin in the dishonest behavior, yang maknanya adalah kesengajaan seseorang untuk terlibat dalam tindakan tidak jujur.
McCabe,
Feghali,
dan
Abdallah
(2008)
mengungkapkan
bahwa
ketidakjujuran akademik didefinisikan dalam dua kategori utama yakni: (1) Penipuan akademis, merupakan pembentukan gambaran palsu untuk memperoleh manfaat atau keuntungan yang tidak semestinya. (2) Menjiplak, merupakan
6
penyajian pemikiran atau hasil karya orang lain. Weaver, Davis, Look, Buzzanga, dan Neal (dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003) mendefinisikan perilaku ini sebagai bentuk pelanggaran atas kebijakan institusi tentang masalah kejujuran. Lambert, Hogan, dan Barton (2003) menyimpulkan bahwa Academic dishonesty was broadly defined as any fraudulent actions or attempts by a student to use unauthorized or unacceptable means in any academic work. Bahwa ketidakjujuran akademik didefinisikan secara luas sebagai tindakantindakan curang atau usaha-usaha siswa untuk menggunakan cara, alat, sumbersumber yang tidak diperkenankan atau tidak dapat diterima pada pengerjaan tugas akademis. Bentuk-bentuk ketidakjujuran akademik digolongkan dalam beberapa kategori. Menurut McCabe (2009) ada empat kategori yang terkandung makna dalam ketidakjujuran akademik, yaitu: (1) Menyontek dengan mencontoh jawaban tes teman lain dikelas atau menggunakan barang-barang terlarang pada kegiatan akademis berbentuk apapun seperti penugasan, ujian, dsb. (2) Penjiplakan, mengutip bahan baik sebagian maupun keseluruhan tanpa mencantumkan sumber referensi tersebut. (3) Pemalsuan informasi, referensi, maupun hasil pekerjaan akademik. (4) Membantu siswa lain yang terlibat dalam perilaku ketidakjujuran akademik, seperti memfasilitasi siswa lain menyalin hasil pekerjaannya, mengambil soal ujian, mengingat-ingat dan memberitahukan soal yang keluar dalam ujian, dsb. Perkembangan teknologi, seperti keberadaan internet, juga menambah ragam ketidakjujuran akademik. Internet dapat digunakan oleh siswa untuk
7
mengunduh paper, esai, tulisan, yang merupakan karya orang lain, untuk digunakan dalam pengumpulan tugas atas nama mereka. Ragam berkembang akan tetapi memiliki subtansi yang sama yakni ketidakjujuran akademik yang luas ini barangkali belum dipahami oleh setiap siswa, sehingga dimungkinkan bahwa siswa melakukan salah satu tindakan ketidakjujuran akademik tanpa mereka sadari bahwa hal itu ternyata merupakan suatu perilaku yang tidak diijinkan. Dalam laporannya tahun 2001, McCabe dan Trevino (dalam Storm, 2007) melakukan penelitian terhadap 6000 responden mahasiswa di 31 universitas Amerika dan telah merangkum jenis-jenis ketidakjujuran akademik yang paling sering dilakukan diantara bentuk lainnya sebagaimana dapat dilihat di tabel 3. Tabel 3. Jenis Perilaku Ketidakjujuran Akademik Berdasar Riset McCabe dan Trevino Bentuk Jenis Ketidakjujuran Akademik Ujian / Tes
- Menyontek jawaban teman - Memberikan jawaban pada orang lain - Menggunakan catatan tersembunyi
Tugas Tertulis
- Mengutip tanpa mencantumkan sumbernya - Menyadur karya orang lain - Memalsukan daftar pustaka - Menggunakan bantuan orang lain untuk tugas yang harus dikerjakan secara individual
McCabe dan Trevino (dalam Storm, 2007)
Motif yang mendorong siswa melakukan tindakan tidak jujur tidak diketahui secara pasti, dan diduga cukup kompleks. Penelitian yang dilakukan di Amerika Utara oleh Anderman, Baird, Davis, Hetherington dan Feldman dalam laporan Bjorklund dan Wenestam (2000) menyebutkan bahwa obsesi meraih nilai yang tinggi di sekolah mendorong munculnya tindakan tidak jujur, beban studi yang
8
berlebih juga ditemukan menjadi faktor pendorong ketidakjujuran akademik. Tingkat stres siswa, sikap dari pengajar, dan meningkatnya ketidakpatuhan terhadap aturan akademis merupakan faktor utama pendorong perilaku ketidakjujuran akademik. Secara umum, penjelasan mengenai penyebab perilaku ketidakjujuran akademik dapat diklasifikasikan ke dalam dua faktor, yaitu eksternal dan internal seperti terpapar dalam tabel 4.
Tabel 4. Faktor Eksternal dan Internal yang mempengaruhi Perilaku Ketidakjujuran Akademik Peneliti Faktor Eksternal Faktor Internal Baird
-
Posisi tempat duduk Arti penting tes yang diujikan Tingkat kesulitan tes Tes yang tidak fair Penjadwalan Pengawasan
- Kemalasan - Kekhawatiran perolehan prestasi dibanding siswa lain - Nilai sebelumnya yang buruk - Kegagalan dimasa lalu - Harapan akan keberhasilan
Davis
- Kelas yang terlalu besar, terlalu ramai - Bentuk soal pilihan ganda - Pertimbangan ekonomis
- Berkeinginan membantu teman
Hetherington & Feldman
- Tingkat kesulitan soal - Lemahnya pengawasan - Pembelajaran yang tidak efektif
- Agar dapat diterima secara sosial
(di ringkas dari berbagai laporan penelitian yang dikutip oleh Bjorklund & wenestam, 2000)
Dalam tabel 4, peneliti memilah faktor pendorong perilaku ketidakjujuran akademik ke dalam dua kelompok, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan faktor- faktor luar individu berupa lingkungan, sistem, situasi dan kondisi. Faktor internal bersumber dari dalam individu dan bersifat psikis terkait dengan persepsi harapan, penerimaan sosial, dan sikap-sikap altruistic atau keinginan untuk membantu orang lain. Sementara penerimaan
9
sosial merupakan upaya individu untuk menyelaraskan diri dan dapat diterima dilingkungannya. Penelitian oleh Alapare dan Onakoya (2002), menyatakan bahwa seringkali para siswa mempelajari perilaku ketidakjujuran akademik dari teman mereka atau ikut-ikutan dan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi dan mendorong perilaku ketidakjujuran akademik adalah adanya konformitas kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat Petress (2003) dan McCabe, Feghali, dan Abdallah (2008) yang menyebutkan bahwa konformitas kelompok sangat berpengaruh terhadap perilaku ketidakjujuran akademik, bahwa semakin tinggi konformitas kelompok semakin tinggi pula perilaku ketidakjujuran akademik yang dilakukan. Menurut Cialdini dan Goldstein (Taylor, Peplau, & Sears, 2009), konformitas kelompok merupakan perubahan perilaku sebagai akibat dari tekanan kelompok, terlihat dari kecenderungan remaja untuk selalu menyamakan perilakunya dengan kelompok sehingga dapat terhindar dari celaan maupun keterasingan. Strang (dalam Mighwar 2006), menyatakan bahwa konformitas kelompok merupakan kecenderungan bertingkah laku yang sesuai dengan norma kelompok, untuk menghindari hukuman, meskipun perilaku tersebut berbeda dengan keyakinannya sendiri. Hal ini senada dengan pendapat Santrock (2003) yang menyatakan bahwa Konformitas kelompok muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan. Konformitas kelompok memiliki aspek-aspek antara lain (1) Kekompakan, yaitu kekuatan yang dimiliki kelompok acuan, menyebabkan remaja tertarik dan
10
ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja dengan kelompok acuan disebabkan oleh perasaan suka antara anggota kelompok serta harapan memperoleh manfaat dari anggotanya. Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka akan semakin kompak kelompok tersebut. Indikator dari kekompakan yaitu
penyesuaian diri dan perhatian terhadap kelompok. (2)
Kesepakatan, Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat sehingga anggota kelompok harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat kelompok. Indikator dari kesepakatan adalah kepercayaan, persamaan pendapat, dan penyimpangan terhadap pendapat kelompok. (3) ketaatan, tekanan akan tuntutan kelompok acuan pada remaja menyebabkan dirinya rela melakukan tindakan walaupun remaja tersebut tidak menginginkannya. Indikator ketaatan meliputi tekanan karena ganjaran, ancaman, hukuman dan harapan orang lain (Sears, 2004). Sears (2004) menyebutkan ada 4 faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok, antara lain ; (a) Rasa takut terhadap celaan sosial, Alasan utama konformitas adalah demi memperoleh persetujuan, disukai atau menghindari celaan kelompok. (b) Rasa takut terhadap penyimpangan, Rasa takut dipandang sebagai individu yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. (c) Kekompakan kelompok, Kekompakan yang tinggi menimbulkan konformitas yang semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat dengan anggota kelompok yang lain, akan semakin menyenangkan
11
bagi mereka untuk mengakui. (d) Keterikatan penilaian bebas, Keterikatan sebagai kekuatan total yang membuat seseorang mengalami kesulitan untuk melepaskan suatu pendapat. Orang yang secara terbuka dan bersungguh-sungguh terikat suatu penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap penilaian kelompok yang berlawanan. Alapare dan Onakoya (2002) juga memaparkan bahwa tingkatan harga diri juga dapat berpotensi memunculkan perilaku ketidakjujuran akademik. Akan menjadi wajar bagi siswa yang memiliki harga diri rendah cenderung khawatir akan gagal. Jadi, daripada berusaha kemudian gagal, mereka merasionalisasi diri bahwa kegagalan disebabkan karena minimnya usaha mereka, sehingga mereka melakukan perilaku ketidakjujuran akademik. Sejalan dengan ini penelitian yang dilakukan oleh
Iyer dan Eastman (2006) menyebutkan bahwa secara umum
mahasiswa yang memiliki harga diri yang rendah biasanya melakukan ketidakjujuran yang lebih tinggi. Harga diri dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu pengertian. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya; Baron dan Byrne (dalam Hurlock, 2005) menyebut harga diri sebagai penilaian terhadap diri sendiri yang dibuat individu dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain dalam menjadi pembanding. Sedangkan Monks (2002) harga diri adalah penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan dan penerimaan orang lain terhadap individu. Santrock (2003) mengungkapkan bahwa harga diri merupakan evaluasi positif dan dan negatif tentang diri sendiri. Gecas dan Rosenberg (dalam
12
Hurlock, 2005) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi positif yang menyeluruh tentang dirinya. Beberapa aspek harga diri menurut Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) antara lain pertama yaitu, Proses belajar, proses belajar merupakan istilah yang digunakan oleh Coopersmith untuk menggambarkan bagaimana individu menilai keadaan dirinya berdasarkan nilai-nilai pribadi yang diamatinya. Kedua, Penghargaan, harga diri mempunyai hubungan dengan bagaimana corak dasar remaja dalam menghadapi lingkungan. Ketiga, Penerimaan, keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Penerimaan keluarga yang positif akan sangat berpengaruh pada perkembangan harga diri anak pada masa dewasa kelak dan cara orangtua memperlakukan anak sangat mempengaruhi pembentukan harga diri. Keempat, interaksi dengan lingkungan, remaja dengan harga diri yang tinggi memiliki sejumlah karakteristik kepribadian yang dapat mengarah pada kemandirian sosial dan kreativitas yang tinggi. Monks (2002) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang, yang pertama yaitu Lingkungan keluarga, lingkungan keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak, perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang demokratis di dapat pada anak yang memiliki harga diri yang tinggi dan kedua, Lingkungan Sosial, lingkungan sosial tempat individu mempengaruhi pembentukan harga diri. Individu mulai menyadari bahwa dirinya berharga sebagai individu dengan lingkungannya. Kehilangan kasih sayang, penghinaan, dan dijauhi teman sebaya
13
akan menurunkan harga diri, sebaliknya pengalaman, keberhasilan, persahabatan akan meningkatkan harga diri. Selanjutnya, rendahnya kemampuan yang dimiliki individu (efikasi diri rendah) untuk melakukan suatu tugas juga dapat memunculkan perilaku mencari jalan pintas dan menerabas. Analisis yang dilakukan terhadap 128 penelitian yang berlangsung pada tahun 1990-an membawa pada temuan adanya hubungan antara efikasi diri, konsep diri, dan prestasi akademis. Pajares dan Schunk (2001) melakukan penelitian untuk menguji hubungan antara persepsi efikasi diri, proses belajar akademis dan prestasi akademis. Ditemukan bahwa efikasi diri berpengaruh terhadap self regulatory processes seperti penetapan tujuan, monitor, evaluasi diri, dan strategi yang dipergunakan dalam belajar. hal ini juga sejalan dengan Papalia, Olds, dan Feldman (2009) yang menyatakan bahwa siswa yang memiliki efikasi diri tinggi percaya bahwa mereka dapat menguasai tugas-tugas dan meregulasi cara belajar mereka sendiri, serta paling mungkin mencapai prestasi akademik yang baik disekolah. Chemers (dalam Elias, 2009) menyatakan bahwa tuntutan eksternal lingkungan dapat dilihat sebagai tantangan atau ancaman, individu dengan efikasi diri tinggi akan menganggab bahwa tugas-tugas tersebut sebagai tantangan daripada sebagai ancaman. Berpijak pada hal ini, peneliti menduga perilaku ketidakjujuran akademik akan rendah pada diri siswa yang memiliki efikasi diri tinggi. Efikasi diri adalah penilaian seseorang tentang kemampuannya sendiri untuk menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan tertentu (Ormrod, 2009). Baron dan Byrne (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) menjelaskan bahwa efikasi
14
diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Efikasi diri oleh Bandura (1994) adalah keyakinan seseorang akan kemampuan untuk mengorganisasikan dan melakukan sejumlah tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan. Menurut Myers (2007) efikasi diri berkaitan dengan bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal. Menurut Pajares dan Schunk (2001) efikasi diri merupakan keyakinan terhadap kemampuan diri. Amalia dan Basuki (2008) menyatakan bahwa siswa dengan kemampuan dan keyakinan diri yang lebih, mampu mengatasi kejenuhan dengan sekejab dan cara yang baik, sebaliknya siswa dengan kemampuan yang sedang dan memiliki keyakinan yang kurang, lebih cenderung santai dan membiarkan masalahnya. Efikasi
diri
memiliki
aspek-aspek
antara
lain
(1)
Tingkatan
(Magnitude/level), aspek ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu merasa mampu untuk melakukannya, individu akan melakukan tindakan yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan menghindari tugas-tugas yang berada dibawah kemampuan yang dimilikinya. (2) kekuatan (strenght), aspek ini berkaitan
dengan
tingkat
kekuatan
dari
keyakinan
individu
mengenai
kemampuannya. Tingkat efikasi diri yang lebih rendah mudah digoyangkan oleh pengalaman-pengalaman yang memperlemahkannya, sedangkan seseorang yang memiliki efikasi diri yang kuat akan tekun dalam meningkatkan usahanya meskipun dijumpai pengalaman yang memperlemahkannya. (3) Keluasan (Generality), aspek ini berkaitan dengan luasnya bidang tingkah laku, dimana
15
individu merasa yakin akan kemampuannya. Individu merasa yakin terhadap kemampuan dirinya, apakah terbatas pada suatu aktifitas dan situasi tertentu ataukah pada serangkaian aktifitas dan situasi yang bervariasi. (Bandura, 1997). Menurut Bandura (1994), ada empat faktor yang mempengaruhi Efikasi diri, yang pertama adalah Pengalaman berhasil, Keberhasilan akan meningkatkan keyakinan akan kemampuan diri, sebaliknya kegagalan dapat menurunkan keyakinan akan kemampuan diri. Keberhasilan yang pernah dicapai dan prestasi yang pernah diraih dapat membuat seseorang merasa yakin bahwa dia akan mampu menyelesaikan tugas ataupun mengatasi hambatan yang muncul. Kedua, Pengalaman orang lain, orang-orang yang ada dilingkungan sosial dapat dijadikan model atau contoh yang dapat menguatkan efikasi diri dengan membandingkan usaha yang mampu dilakukan orang lain, prestasi yang mampu dicapai orang lain, akan memberikan keyakinan untuk berusaha mencapai suatu prestasi tertentu. Ketiga, Persuasi sosial, orang yang menerima persuasi verbal bahwa dia memiliki kemampuan melakukan dan mencapai sesuatu akan mendorong munculnya usaha yang lebih besar dari sebelumnya. Persuasi ini akan memompa usaha lebih keras dalam meraih suatu capaian tertentu. Keempat, Kondisi fisik dan emosi, orang yang merasa tertekan dan berada dalam keadaan stres akan berpikir memiliki kemampuan yang rendah, suasana hati juga turut berperan bagi derajat efikasi diri. Suasana hati yang sedang baik akan meningkatkan keyakinan atas kemampuan diri, sebaliknya suasana hati yang buruk akan menurunkan efikasi diri .
16
Konformitas Konformitas Kelompok Kelompok
Harga Harga Diri Diri
Perilaku Perilaku Ketidakjujuran Ketidakjujuran Akademik Akademik
Efikasi Efikasi Diri Diri
Gambar 1. Kerangka Penelitian
Berdasarkan uraian diatas disebutkan bahwa perilaku ketidakjujuran akademik merupakan perilaku yang dipengaruhi oleh adanya konformitas kelompok, harga diri, serta efikasi diri pada siswa (lihat gambar 1). Siswa yang memiliki konformitas kelompok tinggi akan berperilaku sama dengan kelompoknya supaya diakui dan terlihat kompak, selain itu siswa tersebut akan segera menyesuaikan diri terhadap kebiasaan kelompoknya termasuk perilaku ketidakjujuran akademik yang dilakukan kelompoknya. Siswa yang mempunyai kepercayaan terhadap pendapat kelompok juga akan dapat meningkatkan ketergantungan individu terhadap kelompoknya. Siswa yang tidak sependapat dengan kebiasaan perilaku ketidakjujuran akademik otomatis akan dianggap menyimpang dari kelompoknya dan dia akan ditolak atau dikucilkan oleh kelompoknya oleh karena itu siswa akan berusaha berperilaku tidak menyimpang dari kesepakatan kelompoknya agar tetap diterima dalam kelompoknya. (Sears, 2004).
17
Kemudian, siswa yang memiliki harga diri yang rendah akan cenderung melakukan ketidakjujuran akademik. Menurut Brown (dalam Santrock, 2003) individu yang merasa tidak yakin atas apa yang dilakukannya akan merasa cemas terhadap apa yang akan terjadi pada dirinya, dalam konteks sekolah seorang siswa yang takut akan kegagalan maka dia akan cemas dengan hasil yang akan diperoleh maka siswa tersebut akan melakukan ketidakjujuran akademik demi keberhasilan mencapai nilai yang tinggi. Harga diri yang tinggi pada siswa dapat menurunkan tingkat perilaku ketidakjujuran akademik. Karakteristik individu yang memiliki harga diri tinggi diantaranya mereka memiliki rasa percaya diri, selalu merasa puas dan bangga dengan dirinya sendiri, dapat menerima kegagalan dan dapat bangkit kembali, optimis, bersikap positif
pada orang lain, dan memiliki
pendirian
terpengaruh
tetap,
sehingga
tidak
mudah
akan
konformitas
kelompoknya. Selanjutnya,
dengan
memiliki
efikasi
diri
yang
tinggi,
perilaku
ketidakjujuran akademik akan rendah pada siswa. Siswa dengan efikasi diri yang tinggi cenderung memilih untuk berupaya mengerjakan tugas yang sulit, gigih dalam berupaya, percaya diri, tenang dan tidak cemas ketika menghadapi tugas, dan mengelola pikiran dalam pola analisis, oleh karena itu pada saat ujian ataupun saat pengerjaan tugas akademik siswa yang memiliki efikasi diri tinggi ini akan mengandalkan kompetensinya dan tidak melakukan ketidakjujuran akademik. Sebaliknya, Siswa yang memiliki efikasi diri rendah akan cenderung melakukan perilaku ketidakjujuran akademik, karena mereka merasa tidak memiliki keyakinan bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas, mudah menyerah ketika
18
menghadapi situasi sulit, cemas dalam pelaksanaan tugas, sering gagal dan tidak bisa berperilaku tenang dan analitis (Bandura 1997). Konformitas kelompok yang rendah, harga diri dan efikasi diri yang tinggi diharapkan akan dapat mengurangi perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa MTsN. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan secara empiris apakah konformitas kelompok, harga diri, dan efikasi diri merupakan prediktor dari perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa MTsN. Hipotesis penelitian ini yaitu konformitas kelompok, harga diri, dan efikasi diri merupakan prediktor dari perilaku ketidakjujuran akademik.