BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan hakikatnya adalah upaya mewujudkan tujuan nasional bangsa Indonesia yang maju, mandiri, sejahtera, berkeadilan, berdasarkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sesuai tujuan yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa hakikat pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi. 1 Pemerintah sebagai penyelenggara negara adalah penggerak (fasilitator dan dinamisator) perwujudan tujuan nasional itu. Pemerintah sebagai penyelenggara proses pembangunan, maka
pemerintah bertindak mewakili kepentingan seluruh
lapisan bangsa. Pembangunan dilaksanakan langsung oleh pemerintah dan masyarakat yang terdiri dari: tingkat mikro individu atau pribadi rakyat; tingkat agregat-nasional kecamatan,
dimulai
di
kabupaten-kota,
tingkat propinsi
kelompok sampai
masyarakat,
nasional,
dan
desa-kelurahan, tingkat
global
internasional pembangunan antar negara bangsa.2 Kita tidak dapat mengelak bahwa pembangunan yang kita laksanakan sekarang ini berada pada era globalisasi membawa dampak positif dan negatif
1 2
Bapennas.Go.id, pokok – pokok penyelenggaraan Pembangunan Nasional, Diakses 9 februari 2012
Ibid
Universitas Sumatera Utara
terhadap kehidupan suatu bangsa. Banyak efek positif dan negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan masa globalisasi tersebut, sehingga akses ke seluruh dunia mudah diterima dan memberikan pengaruh terhadap kehidupan kita yang pada akhirnya berpengaruh terhadap nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa. Keadaan itu menuntut peran kita sebagai manusia untuk dapat memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk. Peran ideologi Pancasila sangat
penting digunakan sebagai filter
terhadap berbagai pengaruh yang datang dari luar tentu saja yang sesuai dengan kepribadian bangsa .3 Kita sebagai manusia dalam hidup ini dibekali akal dan budi atau perasaan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Sepanjang sejarah peradaban umat manusia , yakni sejak jaman manusia ada di bumi hingga sekarang ini tidak pernah luput dari berbagai tantangan yang senantiasa menghampiri dirinya maupun kelompoknya.4 Pembangunan yang sangat penting harus dilaksanakan saat ini adalah pembangunan di bidang hukum. Pembangunan hukum nasional itu bertujuan untuk mewujudkan sistem hukum dan pemerintahan agar lebih baik, transparan, dan tanggap terhadap peran publik yang dimilikinya dalam pengambilan keputusan atau kebijakan. Agenda pembangunan nasional yang dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang program pembangunan Nasional telah merumuskan visi bangsa Indonesia yang salah satunya menginginkan terwujudnya sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supermasi hukum dan hak asasi manusia
3
4
Ibid Abdul Marif, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, ( Medan : Bartorang Jaya, , 2008 ), hal.7
Universitas Sumatera Utara
berlandaskan keadilan dan kebenaran, untuk mewujudkan aparatur negara yang berfungsi melayani masyarakat, professional, berdaya guna, produktif, transparan, dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. 5 Penegakan hukum seperti yang di cita-citakan diatas selalu melibatkan manusia di dalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusia. Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum tidak mampu mewujudkan sendiri janji – janji serta kehendak – kehendak yang tercantum dalam ( peraturan – peraturan ) hukum. 6 Penegakan hukum tidak terlepas dari beberapa masalah yang harus mendapat perhatian agar cita – cita kita untuk meningkatkan kualitas penegakan hukum kita dapat segera tercapai adalah : 7 1. Masalah kualitas SDM calon penegak Hukum 2. Masalah Kualitas penegak hukum “ in abstracto” ( proses pembuatan produk perundang – undangan ) 3. Masalah kualitas penegak Hukum “ in concreto”, dan 4. Masalah kualitas budaya hukum ( pengetahuan dan kesadaran hukum ) masyarakat. Tindak pidana apapun bentuknya akan menyebabkan kerugian bagi individu, masyarakat, bangsa, maupun negara, maka harus dapat diberantas semaksimal
5
Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Reformasi Hukum, 2010, hal.3 Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, ( Semarang : Genta, 2009 ), hal.7 7 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005 6
), hal 18
Universitas Sumatera Utara
mungkin tidak terkecuali permasalahan narkotika. Masalah narkotika merupakan masalah nasional dan internasional, karena penyalahgunaannya akan berdampak negatif terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal yang dirasakan di Indonesia dimana hampir setiap hari peredaran narkotika dan penyalahgunaannya, mulai dari tertangkapnya pengedar ataupun ditemukannya pabrik-pabrik narkotika hingga berita generasi muda yang tewas karena mengkonsumsi narkotika, tiada henti-hentinya diberitakan di media cetak maupun media elektronik. 8 Perkembangan
penyalahgunaan
narkotika
dari
waktu
ke
waktu
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan kasus-kasus yang terungkap oleh jajaran kepolisian RI hanyalah fenomena gunung es, yang hanya sebagian kecil saja yang tampak di permukaan sedangkan kedalamannya tidak terukur. Penyalahgunaan narkotika merupakan masalah nasional dan Internasional karena berdampak negatif yang dapat merusak serta mengancam berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara serta dapat menghambat proses pembangunan nasional. 9 Direktur Advokasi Deputi Pencegahan Badan Narkotika Nasional (BNN) Brigjen Pol Anang Iskandar mengungkapkan, intensitas peredaran gelap narkotika saat ini meningkat, baik untuk tingkat pendidikan, status sosial, ekonomi, maupun usia. Hasil survei BNN dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia 8
http://www.komnasham.go.id, pendidikan-dan-penyuluhan, diakses 5 Februari 2012 Elizabeth siahaan, Peranan penyidik polri dalam Penanganan Tindak Pidana Narkotika di Sumatra Utara, Tesis, ( Medan : Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, 2009 ). Hal 24 9
Universitas Sumatera Utara
pada tahun 2010 menemukan, prevalensi penyalahgunaan narkotika di Indonesia diproyeksikan naik 2,21 persen dari 1,99 persen di tahun 2008, bila tidak dilakukan upaya-upaya penanggulangan yang komprehensif, ini akan meningkat lagi menjadi 2,8 persen atau setara dengan 5,1 juta orang pada tahun 2015 .10 Kasus penyalahgunaan narkotika berikut ini merupakan bukti bagaimana narkotika sudah begitu hebat menyusup ke semua lapisan masyarakat . Seorang pilot Lion Air berinisial HA ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) di sebuah karaoke Hotel Grand Clarion, Makassar, Sulawesi Selatan. Selasa (9 Januari 2012), pukul 23.30 WIB. Saat melakukan pesta narkoba, dia tak sendiri. HA bersama 5 orang temannya di kamar 308 karaoke Hotel Grand Clarion. BNN juga menemukan sejumlah barang bukti salah satunya di dalam kantong celana pilot tersebut ditemukan shabu - shabu seberat 0,3 gram. 11 Satuan narkotika Polres Jakarta Utara menangkap dua oknum pegawai Badan Narkotika Nasional (BNN) yang kedapatan menjual narkotika. Keduanya ditangkap dengan barang bukti disita 67,9 gram sabu, 11 butir ekstasi dan sepucuk senjata api berikut satu butir peluru. Kedua oknum PNS BNN yakni, Ade Setiawan (25) dan Tayep Taher (36). Keduanya berhasil ditangkap setelah sebelumnya, Edihamsah tertangkap saat menjual shabu - shabu kepada polisi narkotika yang melakukan penyamaran.
10 11
http://www.gatra.com/hukum, BNN Peredaran Gelap Narkotika Meningkat, diakses 4 februari 2012 http://nasional.vivanews.com, Konsumsi Sabu Pilot Lion Air dibekuk bnn, diakses 3 Februari 2012
Universitas Sumatera Utara
Dari pengakuan Edihamsah yang ditangkap di Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara mengaku 0,25 shabu yang diperoleh Edihamsah dari Ade oknum PNS BNN.12 Kasus 13.500 personel aparat Kepolisian Daerah Aceh, 6,4 persen polisi atau sekitar 800 lebih teridentifikasi terlibat narkotika dan 60 persen di antaranya positif pemakai narkotika setelah dilakukan tes urin. Kepala Polisi Daerah Aceh, Irjen Pol Iskandar Hasan, di Meulaboh mengatakan, sebelum itu 800 lebih personil yang semula terindikasi sebagai pemakai, pengedar bahkan bertindak sebagai backing peredaran narkotika di wilayah Aceh. Aceh memang sejak lama terkenal menjadi salah satu sumber peredaran ganja (Cannabis sativa, L). Dengan topografis dan kondisi alam yang luas dan terpencil, penanaman ganja di ladang-ladang di gununggunung masih marak terjadi. 13 Peristiwa terbaru adalah kasus tabrakan maut dimana Mobil Xenia yang dikemudikan Afriyani yang diduga mengkonsumsi narkotika telah menewaskan 9 orang di Tugu Tani Jakarta. Hal ini harus dijadikan momentum awal untuk membangkitkan kembali gerakan bebas narkotika. Kita jadikan kasus Afriyani menjadi momentum untuk menghidupkan kembali gerakan anti penyalahgunaan narkotika. Jadi diperlukan revitalisasi gerakan anti penyalahgunaan narkotika dengan pola baru dan desain baru. Aparat penegak hukum harus bisa merancang sebuah operasi pembebasan generasi muda dari penyalahgunaan narkotika.14
12
www. Analisadaily.com, Oknum BNN Menjual Narkotika, diakses 3 Februari 2012 www.antaranews.com, Personel Polda Aceh Terlibat Narkotika, diakses 2 Februari 2012 14 www. detikNews.com. Kecelakaan Menewaskan 9 Orang, diakses 2 februari 2012 13
Universitas Sumatera Utara
Bahaya Narkotika di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Penggunaan yang terus meningkat dari tahun ke tahun merupakan sebuah fakta yang menunjukkan bahwa masalah narkotika di Indonesia tak kunjung usai sampai saat ini. Bagaimana bisa usai jika sebagian besar penggunanya adalah generasi muda penerus bangsa. Mereka tidak menyadari apa sesungguhnya resiko / bahaya yang akan mereka terima dari penggunaan narkotika. yang mereka pikirkan hanyalah kepuasan sesaat setelah menggunakan narkotika tersebut.15 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Di satu sisi narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian serta pengawasan yang ketat dan seksama.16 Peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya apabila diadakan dan digunakan untuk tujuan kepentingan medis dan ilmu pengetahuan, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 7 Undang – Undang No 35 Tahun 2009 yang berbunyi : “ Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi “ 15 16
www.komnasham.go.id, Pendidikan-Dan-Penyuluhan, diakses 5 Februari 2012 Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba Dan Musuhi Penyalahgunaannya, ( Esensi : Surabaya, 2009 )
, hal 7
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika hanya melarang penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang. Keadaan yang demikian ini dalam kenyataan di lapangan , penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi jauh dari pada itu, dijadikan ajang bisnis yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini berimbas pada rusaknya fisik maupun psikis mental pemakai narkotika khususnya generasi muda. Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain adalah sebagai berikut : 1. Penyalahgunaan / melebihi dosis 2. Pengedaran narkotika 3. Jual beli narkotika Ketiga bentuk Tindak pidana Narkotika itu adalah merupakan salah satu sebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat, generasi muda, dan terutama bagi si pengguna, Seperti : 17 a. Pembunuhan b. Pencurian c. Penodongan d. Penjamretan e. Pemerasan 17
M.taufik Makaro Cs , Tindak Pidana Narkotika, ( Ghalia Indonesia: Jakarta , 2005) , hal 45
Universitas Sumatera Utara
f. Pemerkosaan g. Penipuan h. Pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas dan lain – lain Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan bahan berbahaya lainnya merupakan suatu kajian yang menjadi masalah dalam lingkup nasional maupun secara internasional. Pada kenyataanya, kejahatan narkotika memang telah menjadi sebuah kejahatan transnasional yang dilakukan oleh kelompok kejahatan terorganisir (organized crime). Masalah ini melibatkan sebuah sistem kompleks yang berpengaruh secara global dan akan berkaitan erat dengan ketahanan nasional sebuah bangsa, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam perkembangannya hingga saat ini penyalahgunaan penggunaan narkotika tersebar secara luas pada berbagai jenjang usia dan berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari jenjang usia muda hingga tua, kelas ekonomi bawah sampai dengan menengah ke atas. Namun yang patut mendapat perhatian lebih adalah adanya kecenderungan peningkatan angka yang signifikan pada lapis usia produktif. 18 Masalah penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkotika) dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir ini bukan saja menjadi masalah nasional dan regional ASEAN tetapi juga menjadi masalah internasional karena itu, upaya penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika dalam negeri harus disenergikan
18
www. ferli1982.wordpress.com, Trend Perkembangan Narkotik Di Indonesia, diakses 7 Februari
2012
Universitas Sumatera Utara
dan diintegrasikan dengan kebijakan penanggulangan masalah narkotika melalui kerjasama regional maupun internasional. Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya dituangkan dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk :19 1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negaranegara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian internasional. 2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan 3. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas
Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut, dan kemudian meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang mengubahnya. Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah untuk menanggulangi kejahatan narkotika di dalam negeri adalah Undang - Undang No. 9
19
www. Ejournal.umm.ac.id, dr. I nyoman nurjana, Penanggulangan Kejahatan Narkotika : Eksekusi Hak Perspektif Sosiologi Hukum , 2010, diakses 20 4 2012
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang - Undang No. 9 Tahun 1976 menjadi pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah kolonial Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Stbl. 1927 No. 278 jo No. 536) yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius. 20 Sidang khusus ke-17 pada bulan Pebruari 1990 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade Againts Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control Programme (UNDCP). Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran narkotika di negara-negara anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika yang bersifat transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the Treament of Offenders pada 27 Agustus-7 September 1990 di Havana, Cuba. Resolusi ketigabelas dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan narkotika dilakukan antara lain dengan : (a) Meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap bahaya narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan pihak sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan bahaya narkotika. (b) Program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan memilah antara pelaku pemakai/pengguna narkotika (drug users) dan pelaku bukan
20
Ibid
Universitas Sumatera Utara
pengguna
(drug-dealers)
melalui
pendekatan
medis,
psikologis,
psikiatris, maupun pendekatan hukum dalam rangka pencegahan.21 Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di tingkat regional Asia Tenggara disepakati dalam ASEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Oktober 1972 di Manila. Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar Negeri negara-negara anggota ASEAN pada tahun 1976. Isi dari deklarasi regional ASEAN ini meliputi kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan : 1. Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan narkotika. 2. Keseragaman peraturan perundang-undangan di bidang narkotika 3. Membentuk badan koordinasi di tingkat nasional; dan 4. Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara bilateral, regional, dan internasional. Dalam rangka ini kemudian dibentuk The ASEAN Senior Officials on Drugs dan satu Forum Kerja Sama Kepolisian antar negara-negara ASEAN (ASEANAPOL) yang antara lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di wilayah ASEAN. Selain itu, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic Boarrd dengan membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan pembinaan, edukasi preventif dan informasi, dan kelompok kerja di bidang penelitian. 21
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1992 dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang menegaskan kembali peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional, regional, maupun internasional. 22 Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN telah menunjukkan sikap yang sama dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, dengan merumuskan kesepakatan untuk mempercepat menjadikan ASEAN bebas narkotika. Untuk mencapai hal tersebut, oleh ACCORD (Asean and China Cooperative Operations in Response to Dangerous Drugs), telah disusun empat pilar sebagai pokok kegiatan sebagai berikut : .23 1. Secara proaktif membangkitkan kesadaran dan mendorong peran masyarakat dalam menangkal penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. 2. Membangun kesepakatan bersama dan bertukar pengalaman terbaik dalam upaya pencegahan. 3. Mempertegas penegakan hukum dan peraturan melalui kerjasama yang lebih baik dalam pengawasan dan peningkatan kerjasama aparat penegak hukum, serta peninjauan pembuatan undang-undang yang berlaku. 4. Menghapus persediaan narkotika gelap dengan mendorong program-program pengembangan alternatif dalam membasmi penanaman gelap narkotika.
22
23
Ibid www. ferli1982.wordpress.com, Trend-Perkembangan-Narkotika-Di-Indonesia, diakses 7 Februari
2012
Universitas Sumatera Utara
Kita sangat mengharapkan operasi pembersihan secara besar-besaran terhadap penyalahgunaan obat yang akan dilancarkan, baik oleh inisiatif berbagai kalangan masyarakat, maupun oleh kepolisian dewasa ini, akan mencapai hasil optimal, paling tidak dapat membatasi meluasnya penyalahgunaannya. Upaya baik berupa pencegahan, pemberantasan maupun penanggulangan permasalahan peredaran gelap narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya telah dilakukan oleh segenap elemen bangsa ini. Sebut saja upaya pembaharuan Undang-Undang tentang Narkotika dari Undang – Undang No 9 tahun 1976 menjadi Undang - Undang Nomor 22 tahun 1997 kemudian diubah lagi menjadi Undang - Undang Nomor 35 tahun 2009.24Menurut Undang - Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika , bahwa peraturan pelaksanaan dari Undang - Undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan /atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang – Undang ini. Dengan berlakunya undang – undang ini maka Undang - Undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ( Lembaran Nagara tahun 1997 nomor 67, tambahan LN nomor 3698 ) dinyatakan tidak berlaku. Undang – Undang No 35 Tahun 2009 berlaku pada tanggal diundangkan 12 Oktober 2009.25 Kebijakan Perubahan Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1997 menjadi Undang - Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah untuk meningkatkan kegiatan guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
24 25
Ibid Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang – Undang Narkotika, ( Rineka Cipta:Jakarta, 2012 ), hal.31
Universitas Sumatera Utara
narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Undang – Undang baru ini bertujuan untuk mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melalui ancaman sanksi pidana, yaitu : pidana penjara, pidana seumur hidup, pidana mati.26 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 diyakini dapat memberikan efek jera yang diiringi harapan semakin berkurangnya jumlah penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya di Indonesia. Pelaksanaan upaya pencegahan juga telah dilakukan baik oleh pihak Kepolisian maupun Badan Narkotika Nasional (BNN) ditingkat pusat sampai dengan Kabupaten melalui upaya-upaya penyuluhan dan sosialisasi tentang bahaya narkotika serta langkah-langkah penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dibantu instansi-instansi terkait lainnya. Berbagai pabrik-pabrik yang memproduksi Narkotika berhasil di ungkap oleh petugas, namun tetap saja bahaya kejahatan ini menjadi sebuah permasalahan yang harus diwaspadai oleh masyarakat.27 Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo menargetkan pada tahun 2015 Indonesia bebas narkotika. Karena Polri adalah bagian dari pemberantas narkotika sehingga diharapkan bisa memberikan bukan hanya penegakan hukum tapi cantumkan 2015 Indonesia bebas narkotika. Begitulah yang diungkapkan Kapolri di Gedung DPR, Rabu 1 Februari 2012. Kapolri juga mengatakan, pemberantasan narkotika bukan hanya tugas Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri saja, namun 26
27
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
seluruh masyarakat juga ikut bertanggung jawab untuk memberantas narkotika, sehingga peningkatan penegakan hukum yang dilakukan Polri dengan BNN , dapat efektif dilakukan dan dapat menghasilkan efek pemberantasan penyalahgunaan narkotika yang lebih maksimal. 28 Peredaran gelap narkotika dan obat-obatan terlarang ini telah menjadi sebuah bisnis besar yang menghasilkan keuntungan besar bagi para pelaku kejahatan tersebut. Namun dibalik hal itu, ancaman yang diberikan dari penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya ini sungguh teramat berbahaya. Masalah ini bukanlah permasalahan yang harus di atasi oleh pemerintah dan aparatnya, melainkan menjadi sebuah permasalahan yang harus di atasi oleh keseluruhan masyarakat beserta elemen-elemen pendukungnya. 29 Upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh lembaga formal pemerintah ( Dep. Kes, Imigrasi, Bea dan Cukai, Polri, BNN, BNP, dan lain-lain) maupun oleh lembaga swadaya masyarakat lainnya masih belum optimal, kurang terpadu dan cenderung bertindak sendiri-sendiri secara sektoral. Oleh sebab itu masalah penyalahgunaan narkotika ini tidak tertangani secara
maksimal,
sehingga
kasus
penyalahgunaan
narkotika makin
hari
bukannya makin menurun tapi cenderung semkin menigkat baik secara kualitas dan kuantitas.30
28
www. nasional.vivanews.com, Polri-Targetkan-Ri-Bebas-Narkotika-2015, diakses 1 februari 2012 http://ferli1982.wordpress.com, Op.cit. 30 Elizabeth siahaan, Op.Cit
29
Universitas Sumatera Utara
Melihat trend perkembangan peredaran dan penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya saat ini, adalah suatu hal yang mustahil di berantas dan ditanggulangi apabila kita hanya mengandalakan peran pemerintah dan instansi terkait termasuk Badan Narkotika dan Kepolisian semata.31 Berdasarkan resolusi no 42/112 PBB, United Nations On Drugs and Crime (UNODC) menetapkan tanggal 26 Juni sebagai “International Day Against Drug Abuse and Illicit Drug Trafficking” atau yang biasa dikenal dengan “Hari Anti Madat Sedunia”. Sampai dengan hari ini, tanggal 26 Juni dijadikan tonggak untuk memperkuat aksi dan kerjasama dunia internasional untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari penyalahgunaan Narkotika. 32 Masalah dengan narkotika tidak akan pernah bisa diselesaikan bila tidak disertai dengan pemahaman tentang penyakit kecanduan dan regulasi yang tepat. Kebanyakan masyarakat dan pembuat kebijakan masih percaya bahwa penghukuman yang menimbulkan efek jera dapat menjadi senjata yang efektif. Pendekatan seperti ini juga yang selama ini diterapkan dalam kampanye global “War Against Drugs”.33 Pemerintah sampai saat ini belum memiliki data konkrit tentang keefektifan kebijakan narkotika yang selama ini diterapkan. Kebanyakan negara-negara di dunia, (termasuk Indonesia) menerapkan pendekatan “drug prohibition” yang cenderung represif. Bila kita melihat kembali sejarah di Amerika Serikat pada tahun 1972 sampai dengan 1988 – angka penggunaan cocaine justru meningkat 5 kali lipat saat 31
www. ferli1982.wordpress.com, Op.Cit ibid 33 http://banirisset.com, Siaran Pers Forum Korban Narkotika.html, diakses 3 februari 2012
32
Universitas Sumatera Utara
gencarnya kampanye “War Against Drugs”. Kampanye yang dirancang untuk menurunkan prevalensi penggunaan narkotika pada saat itu justru menciptakan efek kebalikannya meningkatkan jumlah penggunaan.34 Pembuat kebijakan seringkali melupakan bahwa permasalahan narkotika tidak akan pernah selesai apabila kita tidak memecahkan masalah utamanya seperti kemiskinan, tingginya angka pengangguran, dan minimnya akses terhadap layanan publik. Langkah menempatkan pengguna narkotika sebagai kriminal tidak tepat, karena sebenarnya yang dibutuhkan adalah akses terhadap layanan-layanan yang dapat membantu mereka pulih dari kecanduannya. Kecanduan adalah sebuah penyakit yang bersifat progresif, merusak biologis, psikologis, sosial dan dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini adalah chronical relapsing disease (penyakit kambuhan). Oleh sebab itu sudah sangat jelas bahwa pecandu adalah Korban.35 Di Indonesia saat ini sudah ada peraturan yang menyebutkan bahwa pengguna narkotika dapat dikirim ke panti rehabilitasi untuk menjalani perawatan sebagai ganti hukuman kurungan. Namun sayangnya, semenjak peraturan tersebut berlaku tahun 1997 ( Undang - Undang No.22 tahun 1997 tentang narkotika ), belum banyak yang dikirim ke panti rehabilitasi atas perintah hakim di pengadilan. Hal ini terjadi terutama karena masih kurangnya batasan antara pengguna dan pengedar di dalam Undang - Undang No 22 tahun 1997 tentang Narkotika tersebut.36
34
Ibid Ibid 36 Ibid 35
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat memang sering menganggap orang yang menyalahgunakan narkotika sebagai sampah masyarakat, ini tidak bisa disalahkan. Karena baru Undang-Undang No 35 Tahun 2009 yang memberikan perlakukan yang berbeda bagi pelaku penyalahgunaan narkotika. Sebelum undang-undang ini berlaku, tidak ada perbedaan perlakuan antara pengguna pengedar, bandar, maupun produsen narkotika, sama-sama dipenjara baik di Lapas umum maupun Lapas khusus narkotika, terdapat perbedaan yang jelas terhadap masing – masing pelaku penyalahgunaan narkotika seperti Bandar adalah orang yang tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai dan menjual narkotika, sedangkan Pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tetapi belum sampai tahap kecanduan, Pecandu adalah orang yang menggunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik fisik maupun psikis. 37 Pecandu narkotika sangat membutuhkan dukungan komunitas. Bagaimanapun juga pecandu adalah warga negara yang memiliki persamaan hak dengan anggota masyarakat lainnya. Tidak dapat dipungkiri kampanye-kampanye yang selama ini dilakukan cenderung menempatkan pengguna narkotika sebagai kelompok yang terisolir, sehingga secara tidak langsung berdampak kepada kesempatan mereka untuk mengakses layananlayanan. 38
37
Hasil wawancara dengan Fitri Yanti, S.Sos (divisi jaringan & komunikasi) Primansu, dilakukan tanggal 5 7 2012 38 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusianya. Sebaliknya paradigma hukum positivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif justru hukum yang boleh dimarjinalkan untuk mendukung eksistensialitas kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. Penegakan hukum terutama bidang penganggulangan penyalahgunaan narkotika ini memang harus terus menerus berada pada status membangun diri. Lihat saja bahwa perubahan sosial terkait dengan semangat menegakkan hukum bagi pecandu narkotika dengan dukungan sosial engineering by law tujuan hukum progresifnya yakni kesejahteraan manusia. Pengalaman di berbagai belahan dunia ini bahwa telah berkembang stigma pecandu hingga menjadi keyakinan masyarakat bahwa pecandu narkotika adalah jahat. Stigma ini hanya membuat kian terpuruknya pecandu. Lahirnya UndangUndang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika memberikan angin segar terhadap pergeseran perlakuan pecandu narkotika. Mereka adalah korban yang wajib disembuhkan dengan dukungan kasih sayang. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2010 dan diperkuat dengan SEMA Nomor 3 Tahun 2011 menegaskan bahwa pecandu Narkotika yang tertangkap tangan oleh aparat berwenang, dan terbukti sebagai pengguna maka hakim dapat menjatuhkan hukuman
Universitas Sumatera Utara
pidana untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial pada tempat rehabilitasi yang telah ditentukan.39 Implementasi Undang-Undang Nomor 22/1997 tentang Narkotika, meski pecandu dikriminalisasi toh terlihat bagai tiada efek jera. Kondisi secara nasional sangat memprihatinkan. Jumlah pemakai Narkotika pada tahun 1998 adalah 1,3 juta orang dan tahun 2001 menjadi 4 juta orang atau (2% dari jumlah penduduk). Dalam kurun waktu 3 tahun pemakai Narkotika meningkat 300%. Dari jumlah pemakai tersebut 80-90% adalah pada usia produktif yaitu 15-25 tahun. Data BNN tahun 2008, jumlah kasus Kejahatan Narkotika dalam 4 tahun terakhir (2005-2008) tercatat sebesar 85.596 kasus dengan angka peningkatan rata-rata 22,3% per tahun. Jumlah tersangka yang ditangkap dalam kurun waktu tersebut sebanyak 135.278 orang dengan rata-rata peningkatan per tahun 25,6%, dan sekitar 76,5 % pelaku adalah usia produktif (16-40 tahun). 40 Barang bukti narkotika yang disita, periode 2005-2008, antara lain : jenis narkotika, daun Ganja 206.927.300,1 gram, Pohon Ganja 3.633.761 batang, Hashish 5.761,4 gram, Heroin 65.638 kg, Kokain 2.902 gram. Jenis Psikotropika, Ekstasi 2.988.498 tablet, Shabu 3.370.660,7 gram, dan Daftar G 11.800.972 tablet. Kejahatan narkotika telah menjadi lahan bisnis sindikat dunia dan tak terpisahkan dari kejahatan internasional. Para pelaku seakan tak mengalami efek jera. Secara keseluruhan
39
www. kadarmanta.blogspot.com, A. Kadarmanta , Penegakan Hukum bagi Pecandu Narkoba Paradigma Undang - Undang N0. 35 Tahun 2009, di akses 28 1 2011. 40 Ibid
Universitas Sumatera Utara
jumlah terpidana mati kasus narkotika di Indonesia adalah 72 orang yang divonis oleh berbagai Pengadilan Negeri (PN).41 Meningkatnya penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun tidak terlepas dari putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Sehubungan dengan itu, ada baiknya penulis menggambarkan kasus narkotika yang diputus oleh Pengadilan Negeri yang menjadi bahan penelitian penulis.
Tabel Kasus Narkotika Pengadilan Negeri Medan NO
Tahun
Jumlah Kasus
1 2 3
2009 2010 2011
672 899 421
Hukuman Penjara Rehabilitasi 672 -----897 2 421 -----
Sumber : Pengadilan Negeri Medan ( Maret 2012 ) Dari tabel kasus narkotika di atas, terlihat adanya penerapan hukuman pada kasus penyalahgunaan narkotika terdapat 2 ( dua ) sanksi pidana yang dapat diputuskan oleh hakim yaitu sanksi pidana penjara bahkan hukuman mati dan sanksi tindakan berupa rehabilitasi bagi para penyalahguna narkotika, dan putusan yang dijatuhkan kepada penyalahguna narkotika yang juga seorang pecandu terkesan masih jauh dari yang diharapkan oleh ketentuan perundang-undangan tentang Narkotika,
41
www. Viva News. com, Selama 2009, BNN Tangani 28.382 Kasus Narkotika, diakses 5 mei 2010
Universitas Sumatera Utara
seharusnya hakim dalam menjatuhkan putusan harus memperhatikan 3 (tiga) unsur yang penting yaitu: keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Lahirnya undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang terbaru ini cenderung lebih bersifat humanis/manusiawi dalam memandang korban penyalahgunaan narkotika namun sangat keras terhadap para pengedar, importir dan produsen narkotika itu sendiri. Selain itu, dalam undang-undang ini juga ditegaskan bagi para pecandu yang sudah cukup umur maupun orang tua / wali dari pecandu yang belum cukup umur wajib untuk melapor kepada puskesmas, rumah sakit atau lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang ditunjuk pemerintah, untuk mendapatkan pemulihan atau rehabilitasi. 42 Menurut Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di pusat rehabilitasi ketergantungan narkotika. Dengan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial pecandu, dengan tujuan akhir dengan sembuhnya pecandu dari belenggu ketergantungan narkotika, maka cara ini akan menjadi alat pemutus rantai siklus peredaran gelap narkotika (bertolak pada permintaan dan penawaran) yang belakangan ini meningkat.43
42
www. id-id.facebook.com/, Perlindungan Hukum Pecandu/Pemakai Narkotika, diakses 20 4 2012 www. Abhymaulana initulisanku.blogspot, Tindak Pidana Narkotika; Penyalahguna Dan Pecandu Narkotika (Penjatuhan Tindakan Rehabilitasi), diakses 19 4 2012 43
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang
No. 35 Tahun
2009
tentang
Narkotika Pasal
103
menyebutkan: (1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.. (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan: (1) Setiap Penyalah Guna: 1. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; 2. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan 3. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pengaturan mengenai penerapan tindakan rehabilitasi dalam Undang-Undang Narkotika ini terkandung pada Pasal 54, 103, dan 127 sebagaimana disebutkan diatas. Disamping itu, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 2010 mengatur mengenai Penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan pecandu narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, yang di dalamnya juga
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan hal-hal yang dapat menjadi pertimbangan Hakim dalam memutuskan Terdakwa penyalahguna narkotika untuk mendapat tindakan Rehabilitasi. Apabila dihitung sejak 12 Oktober 2009 diberlakukannya Undang-Undang No 35 Tahun 2009, apakah Undang-Undang ini dapat mempermudah hakim dalam menerapkan tindakan rehabilitasi terhadap penyalahguna dan pecandu narkotika. Dan apakah peraturan perundang-undangan ini sudah dapat melindungi hak rehabilitasi para pecandu.
Karena hingga akhir
tahun 2010,
Badan Narkotika Nasional hanya
mencatat sebanyak 16 pecandu yang telah divonis hakim berdasarkan rujukan SEMA untuk menjalani perehabilitasian.44 Pemaparan yang ada dalam Pasal 103 dan Pasal 127 Undang - Undang No 35 Tahun 2009 menjelaskan bahwa untuk penyalahguna narkotika dapat dihukum pidana maupun hukuman rehabilitasi. Dengan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang hal tersebut sehingga penulis memilih judul dalam tesis ini “Sistem Penghukuman Bagi Pecandu Narkotika Pada Undang – Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”
44
www. BNN.co.id, Data Residen 2010, Unit Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, diakses
10 Maret 2012
Universitas Sumatera Utara
B. Permasalahan Dari Uraian seperti yang tersebut diatas maka dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan yaitu : 1. Bagaimanakah seorang penyalahguna narkotika dapat dikatakan sebagai seorang pecandu narkotika? 2. Bagaimana sistem penghukuman bagi pecandu narkotika menurut Undang Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ? 3. Bagaimanakah
peranan
Badan
Narkotika
Nasional
dalam
Sistem
Penghukuman bagi pecandu narkotika ?
C. Tujuan Penelitian Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari pemahaman tentang masalahmasalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana seorang penyalahguna Narkotika dapat dikatakan sebagai pecandu narkotika menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika b. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana sistem penghukuman bagi pecandu narkotika menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Universitas Sumatera Utara
c. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana Peranan Badan Narkotika Nasional dalam Sistem Penghukuman Bagi pecandu narkotika.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut: a. Memberi masukan dan sumbangan pemikiran tentang bagaimana seorang penyalahguna Narkotika dapat dikatakan sebagai pecandu narkotika menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika b. Memberi sumbangan pemikiran bagaimana sistem penghukuman bagi pecandu narkotika menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika c. Memberi sumbangan pemikiran bagi peningkatan Peranan Badan Narkotika Nasional dalam Sistem Penghukuman Bagi pecandu narkotika d. Memberi sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang hukum pidana, khususnya permasalahan tentang narkotika.
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berpikir dan cara bertindak para penegak hukum dalam mengambil keputusan guna mewujudkan tujuan hukum.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa penelitian tentang “Sistem Penghukuman Bagi Pecandu Narkotika Pada Undang – Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”, belum pernah dilakukan di dalam permasalahan dan pendekatan yang digunakan. Walaupun ada beberapa hasil penelitian di perpustakaan Universitas Sumatera Utara yang membahas tentang tindak pidana Narkotika, namun permasalahan dan pendekatan yang digunakan adalah berbeda. Jadi penelitian ini asli dan belum pernah ditulis oleh peneliti lain sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,tesis, si penulis mengenai sesuatu ataupun permasalahan , problem , yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan pasangan teoritis, yang mungkin disetujui maupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca. 45 Teori dan penelitian harus secara bersama berfungsi menambah pengetahuan ilmiah seorang peneliti ilmu hukum tidak boleh menilai teori terlepas dari kenyataan, fakta – fakta hukum yang ada ditengah - tengah masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan penelitian, seorang peneliti ilmu hukum harus senantiasa mendasarkan 45
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian , ( Bandung: Mandar Maju, 1994 ), hal 80
Universitas Sumatera Utara
diri pada teori yang ada, kemudian hasil penelitian yang dilakukan dapat mendukung, memperluas atau mengkoreksi teori tersebut.46 Kerangka teori adalah bagian penting dalam sebuah penelitian terutama pada penelitian yang menggunakan pendekatan keharmonisan antara teori atau doktrin dengan data yang dikumpulkan. Maka kerangka teori ini sangat penting untuk dirumuskan secara tepat karena kerangka teori ini merupakan pisau analisis bagi peneliti untuk memecahkan permasalahan – permasalahan yang telah dirumuskan.47 Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaats), maka setiap tindak pidana yang terjadi seharusnya diproses melalui jalur hukum, jadi hukum dipandang sebagai satu-satunya sarana bagi penyelesaian terhadap suatu tindak pidana. Dalam alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 mengandung konsep tujuan negara baik secara khusus maupun umum. Secara khusus, tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan secara umum adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Menurut Lawrence M. Friedman hukum sebagai suatu sistem atau subsistem dari sistem kemasyarakatan
akan
berperan
dengan
baik
jika
instrument
pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan – kewenangan di bidang penegakan hukum maka sistem hukum ini tersusun dari beberapa subsistem yang mencakup,
46 47
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, ( Jambi : Mandar Maju, 2008 ), hal 139 Pedoman Penulisan Tesis Program Studi Ilmu Hukum SPS USU, hal 4
Universitas Sumatera Utara
struktur hukum (structure), substansi hukum (substance) dan budaya hukum (legal culture). 48 Ketiga unsur sistem hukum inilah yang nantinya akan sangat menentukan apakah suatu sistem hukum berjalan atau tidak. Substansi hukum biasanya terdiri dari peraturan perundang – undangan. Sedangkan struktur hukum adalah aparat, sarana dan prasarana hukum. Adapun budaya hukum adalah berupa perilaku dari anggota masyarakat itu sendiri. 49 Cara lain menggambarkan tiga unsur hukum itu adalah dengan mengibaratkan “struktur” hukum sebagai mesin. Substansi hukum adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. 50 Max Weber dalam teori paksaan (dwang theory) mengemukakan bahwa penguasa mempunyai monopoli terhadap sarana-sarana paksaan secara fisik yang merupakan dasar bagi tujuan hukum untuk mencapai tata tertib dan ketertiban. Paksaan dimaksudkan hanya dapat dilakukan oleh kelompok orang-orang yang mempunyai wewenang untuk berbuat demikian (dalam hal ini seperti kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan).51
48
M. Hatta, Beberapa masalah penegakan Hukum Pidana Umum Dan Pidana Khusus, Yogyakarta: Liberti, 2009, hal 1. 49 Ibid 50 Lawrence Friedman, America Law An Introduction, Sebagaimana Diterjemahkan Oleh Wisnu Basuki , Jakarta: PT Tatanusa, 1984, hal. 8. 51 Sudjono Dirjosiswono, Pengantar tentang Psikologi Hukum, Bandung: Alumni, 1983, hal. 73.
Universitas Sumatera Utara
a. Teori Pemidanaan Pada pokoknya, Herbert L Packer mengemukakan ada 4 teori yang berusaha memberikan pembenaran pidana ( Justification for criminal punishment ), yaitu : 1. Retribution ( Teori Absolut ) Teori absolut adalah teori tertua, setua sejarah manusia. Teori ini memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Meskipun cenderung untuk membalas ini pada prinsipnya adalah suatu gejala normal, akan tetapi pembalasan tersebut harus dilihat sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emisional dan karena itu irrasional.52 Pandangan ini didasarkan atas gagasan bahwa terhadap kejahatan dapat dibenarkan
untuk
dipidana,
sebab
manusia
bertanggung
jawab
atas
perbuatannya.Untuk itu, pelaku harus menerima ganjaran yang selayaknya. Pandangan ini dibagi dua yaitu: a) Teori Pembalasan (revenge theory); pidana dianggap sebagai pembalasan mutlak
atas
perbuatan
jahat
yang
telah
dilakukan
atas
dasar
pertanggungjawaban penuh dari individu pelakunya, dilaksanakan misalnya melalui lembaga lex talionis dimana penganiayaan terhadap mata dibalas secara setimpal dengan pidana atas mata yang serupa, mati dibalas mati, dan seterusnya.
52
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Kota besar: Raja Grafindo Persada, 2002, hal.34
Universitas Sumatera Utara
b) Teori penderitaan dan penebusan Dosa. Dalam teori ini pembalasan dilakukan dengan cara membuat sipelaku kejahatan mengalami penderitaan tertentu sehingga ia merasa terbebas dari perasaan bersalah dan berdosa.53 Teori Retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan.54 2. Utilitarian Prevention: Deterrence ( Teori Relatif )
Teori relatif berporos pada tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu: prefentif, deterrence dan reformatif. Tujuan prevention dalam pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Dalam kepustakaan pemidanaan, hal ini disebut incapacitation. 55 Pandangan ini dapat dianggap sebagai reaksi terhadap pandangan klasik yang bersifat retributif. Pandangan ini melihat punishment sebagai sarana untuk mencegah atau mengurangi kejahatan. Menurut pandangan tersebut bahwa pemidanaan sebagai tindakan yang menyebabkan derita bagi si terpidana hanya dapat dianggap sah apabila terbukti bahwa dijatuhkannya pidana penderitaan itu
53
Marlina, Hukum Penitensier, Medan : Aditama, 2011, hal 78 Mahmud Mulyadi, Bahan Kuliah pembaharuan Hukum pidana, Pascasarjana USU. 55 Sholehuddin, Op.cit, hal.41
54
Universitas Sumatera Utara
memang menimbulkan akibat lebih baik daripada tidak dijatuhkannya pidana, khususnya dalam rangka menimbulkan efek pencegahan terhadap pihak – pihak terkait.56 Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan adalah untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan.57 Terdapat dua versi tentang pencegahan yaitu pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum didasarkan pada asumsi bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana secara individu akan menjadi contoh bagi individu yang lain sehingga mereka tidak akan berbuat tindak pidana yang sama. Pencegahan umum ini menggunakan pengaruh pemidanaan untuk ditujukan kepada masyarakat umum, artinya pencegahan tindak pidana ingin dicapai melalui pemidanaan dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana melalui pembentukan Undangundang yang bersifat represif terhadap tindak pidana tertentu. Sedangkan pencegahan khusus didasarkan pada asumsi bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana akan menimbulkan efek jera kepada pelaku untuk tidak mengulangi tindak pidananya di masa yang akan datang. Pencegahan khusus ini mengarahkan secara langsung pengaruh pemidanaan kepada pribadi terpidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi dengan menghukum terpidana selamalamanya di penjara. Sebagai contoh, penjatuhan pidana yang berat kepada pelaku – pelaku tindak pidana di bidang narkotika.58
56
Marlina, Hukum Penitensier, Op.cit Sholehuddin, Op.cit, hal.41 58 Bambang Hariyono, Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Indonesia, ( Tesis, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2009 ) 57
Universitas Sumatera Utara
Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul Dei Delitti e Delle Pene ( 1764 ) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana pembalasan masyarakat.59 3. Special Deterence atau Intimidation Menurut pandangan ini, efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharap tidak setelah pemidanaan dilakukan ( after the fact inhibition ) sehingga terpidana tidak akan lagi melakukan kejahatan serupa di masa datang, karena teori ini dapat juga disebut sebagai teori penjeraan, yang bermaksud agar si pelanggar menjadi jera. Teori ini memandang bahwa pemidanaan itu merupakan sasaran untuk mengintimidasi mental si terpidana agar merasa jera untuk melakukan perbuatan pidana lagi. 4. Behavioral Prevention : In Capacitation Menurut pandangan ini pidana dilihat sebagai suatu yang harus dilakukan agar yang bersangkutan tak dapat lagi melakukan atau meneruskan perbuatan anti sosial yang dilakukannya, artinya dengan dijatuhkannya pidana maka yang bersangkutan tidak lagi berada dalam kapasitas untuk melakukan kejahatan. Robert D Pursley menggunakan istilah isolation. Menurutnya masyarakat juga menganut gagasan bahwa pelanggar harus diisolasi dari anggota yang sah agar tidak mengotori masyarakat.60
59 60
Mahmud Mulyadi, Bahan Kuliah pembaharuan Hukum pidana, Op.cit Marlina, Hukum Penitensier, ( Medan : Aditama, 2011 ), hal 78
Universitas Sumatera Utara
Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.61 5. Behavior Prevention : Rehabilitation ( Teori Treatment ) Pandangan rehabilitation mengatakan bahwa pemidanaan dilakukan untuk memudahkan
dilakukannya
pemberian
pemidanaan
itu
sendiri
guna
merehabilitasikan si terpidana sehingga ia dapat merubah kepribadiannya, agar dapat diharapkan menjadi orang baik yang taat pada hukum di kemudian hari.62 Pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan ( Treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran ini dilandaskan pada alas an bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan perawatan ( treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ).63 Doubel track sistem merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain. Doubel track sistem tidak sepenuhnya memakai satu diantara dua jenis sanksi itu. Sistem dua jalur ini menempatkan dua jenis sanksi tersebut dalam kedudukan yang setara. Penekanan dalam kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track sistem, sesungguhnya terkait dengan fakta bahwa unsur pencelaan / penderitaan ( lewat sanksi pidana ) dan unsure pembinaan ( lewat sanksi tindakan ) sama – sama
61
Sholehuddin, Op.cit, hal.41 Marlina, Hukum Penitensier, Op cit. 63 Mahmud Mulyadi, Bahan Kuliah pembaharuan Hukum pidana, Pascasarjana USU, 2011
62
Universitas Sumatera Utara
penting.64 Pengertian sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu pengenaan derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan (perbuatan pidana) melalui serangkaian proses peradilan oleh kekuasaan ( hukum ) yang secara khusus diberikan untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana lagi.65Sedangkan tindakan diartikan sebagai pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi mendidik, mengayomi. Tindakan dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat, dan memperbaiki pembuat, seperti pendidikan paksa, pengobatan paksa, memasukkan ke dalam rumah sakit dan lainnya. Sanksi tindakan bersifat antisipatif bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis (open system) dan spesifikasi non penderitaan atau perampasan kemerdekaan dengan tujuan untuk pemulihan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban.66 Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan dari masalah nilai, terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya, maka pendekatan humanistik tentu sangat diperlukan. Hal ini penting tidak hanya karena tindak pidana narkotika itu pada hakikatnya masalah kemanusiaan, tetapi juga karena hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Menurut Barda Nawawi Arief, pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan pada
64
hal.28
65 66
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, ( Kota besar: Raja Grafindo Persada, 2002 ), Mahrus Ali, Dasar – Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal 195 M. Sholehuddin, Op.cit, hal 210
Universitas Sumatera Utara
si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab; tetapi juga harus membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat.67
Tujuan hukum dalam pergaulan hidup di negara Pancasila ini tidak sekedar menunjukkan pada dunia luar bahwa negara ini berdasarkan atas hukum, melainkan adanya kesadaran akan fungsi-fungsi yang dimiliki oleh hukum itu sendiri. Sejalan dengan itu Baharuddin Lopa memberikan gambaran berbagai fungsi hukum tersebut yaitu: 1. Hukum sebagai alat perubahan sosial (as a tool of sosial engineering). Jadi hukum adalah kekuatan untuk mengubah masyarakat (change agent). 2. Hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya sesuatu tingkah laku (as a tool of justification). 3. Hukum berfungsi pula sebagai .as a tool of sosial control. yaitu mengontrol pemikiran dan langkah-langkah kita agar kita selalu terpelihara tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. 68 Barda Nawawi Arief, berpendapat, ”Kebijakan atau upaya penanggulangan tindak pidana (narkotika) pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (Sosial Defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (Sosial Welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari
67
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005
), hal. 38. 68
Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1987 ), hal. 32
Universitas Sumatera Utara
politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.69
2. Kerangka Konsepsi Konsep adalah definisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Adapun definisi operasional dari berbagai istilah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : a. Menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009, Pasal 1 ayat 15 : Penyalahguna Narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. b. Menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009, Pasal 1 ayat 13 : Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. c. Sistem Penghukuman adalah menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim. 70 d. Badan Narkotika Nasional adalah lembaga pemerintah non kementerian yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.71
69 70
hal 1
71
Badra Nawawi, Op.cit, hal 28 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan kebijakan pidana, ( Bandung: Alumni, 2005 ), Lihat Perpres No 23 Tahun 2010, Pasal 1 ayat 1
Universitas Sumatera Utara
e. Tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman Pidana oleh undang – undang. 72 Tindak pidana di bidang narkotika antara lain berupa perbuatan-perbuatan seperti memproduksi, atau mengedarkan secara gelap, maupun penyalahgunaan narkotika, merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara.73 f. Kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan sewenangwenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.74 g. Tujuan Hukum adalah ketertiban. Kepatuhan terhadap ketertiban adalah syarat pokok untuk masyarakat yang teratur. Tujuan hukum yang lainnya adalah tercapainya keadilan. Untuk mencapai ketertiban pergaulan antar manusia dalam masyarakat harus ada kepastian hukum. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. 75 h. Keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya.76
72
Jur.Andi Hamzah, Op.Cit, hal 121 Gatot Supramono, Op.Cit, hal 64 74 Sudikno Mertoskusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), ( Yogyarkta: Liberty, 1988 ), hal.
73
58.
75 76
M. Hatta, Op.cit, hal 12 Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, ( Bandung: Refika, 2000), hal.
23
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah yuridis normatif, dengan sifat penelitian adalah deskriptif analitis. Yuridis normatif yaitu difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah – kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika. Penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran dan menganalisis secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta – fakta, serta hubungan fenomena yang diselidiki. 77
2. Sumber Data a. Bahan Hukum Primer Bahan yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Ketiga bahan hukum ini merupakan data sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Norma atau kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Undang-Undang Dasar 1945. 3. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 77
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum , ( Bandung :Mandar Maju, 2008 ), hal 91
Universitas Sumatera Utara
4. Peraturan Presiden No 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional 5. Putusan-Putusan Pengadilan yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika. 6. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Buku-buku hukum. 2. Bahan-bahan kuliah penemuan hukum. 3. Artikel di jurnal hukum. 4. Komentar-komentar atas putusan pengadilan. 5. Tesis, disertasi hukum. 6. Karya dari kalangan hukum yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang pada penelitian ini adalah: 1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia. 2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini. 3. Koran yang memuat tentang kasus narkotika dan putusan pengadilan tentang tindak Pidana Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan berupa studi pengkajian terhadap bahan – bahan hukum, baik badan hukum primer maupun badan hukum skunder, dan didukung dengan wawancara. Data yang diperoleh selanjutnya akan dipilah – pilah guna memperoleh kaidah – kaidah hukum yang kemudian dihubungkan dengan isu
hukum, dan kemudian disistematisasikan sehingga
menghasilkan klasifikasi yang selaras untuk menemukan jawaban untuk masalah hukum dalam penelitian ini. 78
4. Analisis Data Analisis Data dilakukan secara kualitatif, yaitu melakukan analisis secara eksploratif terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah tindak pidana narkotika.79Data yang diperoleh dibuat sistematikanya sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data.80
78
Bahder johan Nasution, Op.cit, hal. 97 M.Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum ( Jakarta: Raja Grafindo Persada , 2007 ) , hal 133 80 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1996 ), hal.66 79
Universitas Sumatera Utara