BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Perkembangan wilayah tidak hanya mengakomodasikan pertumbuhan
populasi dan pembangunan infrastruktur, tetapi juga menyangkut perkembangan aspek yang mengiringinya (Marans, 2014). Aspek yang dimaksud dapat berupa penyempurnaan dan pengembangan berbagai kebutuhan-kebutuhan mendasar bagi masyarakatnya. Salah satu kebutuhan mendasar yang perlu dikembangkan seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk adalah kebutuhan akan pemenuhan aspek pendidikan. Perkembangan pendidikan masyarakat penting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat yang juga menjadi salah satu indikator sejauh apa suatu wilayah dapat berkembang. Perkembangan pendidikan menentukan kualitas penduduknya. Perkembangan pendidikan juga secara otomatis meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia ini pula yang akan dibutuhkan dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan. Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan “…Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa….” Kalimat ini cukup jelas menggambarkan cita-cita bangsa untuk memenuhi aspek pendidikan masyarakat sebagai pilar penting dalam sebuah pengembangan wilayah. Perwujudan dari pendidikan yang bermutu dan berkualitas memerlukan peran pemerintah dan bahkan peran masyarakat itu sendiri. Ada aspek lain yang dibutuhkan pemerintah dan masyarakat untuk melatarbelakangi proses penguatan dan pengembangan kualitas pendidikan dalam sebuah wilayah tertentu. Aspek ini dapat berupa nilai budaya yang berkembang di tengah-tengah lingkungan daerah yang menyatupadukan tujuan dan motivasi masyarakat dan pemerintah.
1
Indonesia ialah negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan bahasa yang tersebar di seluruh kawasannya. Keanekaragaman budaya menciptakan suasana yang berbeda di daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Kebudayaan bersifat unik dan khas, tergantung pada daerah tempat budaya itu berkembang oleh sekelompok tertentu. Budaya sendiri sudah memiliki cakupan khusus di ranah geografi. Lingkungan geografi terdiri dari biotik, abiotik, dan kultural atau kebudayaan. Sebuah wilayah dapat dengan mudah dikenali melalui karakteristik budaya yang tergambar di berbagai bidang kehidupan di wilayah tersebut.
Budaya lokal membentuk pola aktifitas masyarakat, karakteristik
infrastruktur dan bangunan, bahkan membentuk pola organisasi masyarakat dan birokrasinya. Kemauan belajar masyarakat menjadi modal awal perkembangan pendidikan dalam sebuah wilayah. Motivasi untuk mengecap jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi tergambar pada pola pikir manusia sebagai anggota masyarakat. Pola pikir atau pandangan hidup masyarakat cenderung dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Oleh karena itu, peran budaya lokal dalam perkembangan kesejahteraan masyarakat di bidang pendidikan menarik untuk diteliti. Budaya lokal dapat menghadirkan pemikiran-pemikiran yang unik terkait kehidupan masyarakatnya dan berbagai peristiwa yang mereka alami. Budaya lokal juga ambil andil dalam menumbuhkan minat dan kemauan belajar masyarakatnya. Banyak petuah-petuah tradisional hasil dari kebudayaan lokal yang dapat dijadikan motivasi dalam menuntut ilmu, seperti yang ada pada Kebudayaan Batak Toba yang berkembang di Kecamatan Tarutung. Kecamatan Tarutung adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara. Daerah ini terdiri dari 31 desa/kelurahan yang masih sarat dengan kebudayaan Batak Toba. Umumnya, sebuah kebudayaan yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu akan mempengaruhi pandangan hidup mereka. Pandangan hidup ini melatarbelakangi pola pikir manusia dalam memandang
2
kehidupan dan membangun konsep tertentu tentang kehidupan. Kebudayaan Batak Toba adalah salah satu kebudayaan yang tua, sehingga dalam perkembangannya telah banyak menghasilkan nilai-nilai budaya yang sampai saat ini masih ditaati oleh sukunya. Beberapa nilai budaya yang kerap dijadikan pandangan hidup, yaitu: hagabeon (diberkati karena keturunan), hamoraon (kaya), dan hasangapon (prestis). Ketiga pandangan hidup tersebut hingga kini masih dipercaya mampu memberi kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Hagabeon, hamoraon, dan hasangapon saling berkaitan satu sama lain, sehingga tidak ada yang diprioritaskan. Salah satu langkah yang paling tepat dalam mewujudkan ketiganya adalah mengenyam pendidikan. Semakin berpendidikan masyarakat, maka kemungkinan untuk mewujudkan pandangan hidupnya akan semakin tinggi. Pandangan lain yang tidak kalah pentingnya bagi masyarakat Batak Toba ialah sebuah slogan yang berbunyi anakkon hi do hamoraon di ahu. Secara harafiah, kalimat itu dapat diartikan sebagai anakkulah kekayaanku. Namun makna yang terkandung sebenarnya ialah masyarakat budaya Batak Toba memiliki prinsip bahwa anak adalah segalanya, harta yang sangat berharga. Istilah di atas membentuk sebuah nilai budaya yang khas, yakni orang tua dengan berbagai cara akan menyekolahkan anaknya sampai jenjang yang lebih tinggi lagi. Ini mengindikasikan bahwa kebudayaan, dalam konteks ini budaya Batak Toba, memiliki peran dalam memicu peningkatan kemauan masyarakat dalam mengeyam pendidikan yang lebih baik. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengetahui peran kebudayaan Batak Toba, khususnya nilai budayanya dalam pendidikan masyarakat yang masih menjalankan Budaya Batak Toba itu sendiri. 1.2.
Perumusan Masalah Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan yang layak. Namun tidak banyak warga Negara Indonesia yang mengetahui kewajibannya untuk mengikuti pendidikan minimal pendidikan
3
dasar. Sementara itu untuk memenuhi tujuan pembangunan pendidikan nasional, perlu adanya peran pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Artinya, masyarakat tidak hanya terpaku pada haknya, tetapi memiliki kewajiban penuh untuk turut menyelenggarakan dan mengendalikan mutu pelayanan pendidikan. Masyarakat tidak hanya menuntut haknya tetapi juga haru memiliki kemauan untuk memperoleh pendidikan dan motivasi untuk mengembangkan kreativitas sebagai bagian dalam proses pembelajaran. Nilai budaya mengambil peran penting dalam mendorong masyarakat untuk mengenyam pendidikan yang berkelanjutan. Budaya Batak Toba yang melekat dalam keseharian masyarakat di Kecamatan Tarutung melatarbelakangi berbagai pandangan hidup masyarakat. Slogan anakkonhi do hamoraon di ahu menjadi motivasi besar bagi masyarakat untuk mengedepankan pendidikan bagi anggota keluarganya. Nilai budaya yang ditanamkan orangtua Batak terhadap anak-anaknya menjadi keunikan sendiri bagi keluarga Batak, sehingga banyak orangtua yang menyekolahkan anaknya hingga keluar daerah. Kemungkinan bahwa budaya dapat dikaitkan dengan bidang pendidikan yang memicu pengembangan wilayah menjadi inti dari penelitian ini. Penelitian ini dimulai dari pemahaman fenomena budaya di lapangan (Kecamatan Tarutung) yang sudah mulai mengarah pada sasaran yang akan dituju. Masyarakat di Kecamatan Tarutung memiliki pandangan hidup yang dapat mengarahkan masyarakat pada makna pendidikan yang lebih dalam sehingga meningkatkan kesejahteraan yang menjadi inti dari sebuah pembangunan wilayah. Hal ini dapat didukung oleh pendapat Tylor (1929 dalam Supriyoko, 2003) yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan, tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa adanya pendidikan. Mengungkap peran nilai budaya Batak Toba terhadap pendidikan masyarakat Kecamatan Tarutung merupakan inti dari
4
penelitian ini. Rumusan masalah tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Seperti apa kondisi pendidikan di Kecamatan Tarutung? 2. Seperti apa peran kebudayaan Batak Toba terhadap pendidikan masyarakat Kecamatan Tarutung? 1.3.
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kondisi pendidikan Kecamatan Tarutung 2. Mengetahui peran budaya Batak Toba terhadap pendidikan masyarakat Kecamatan Tarutung
1.4.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini adalah salah satu upaya untuk mengetahui peran budaya Batak
Toba terhadap perkembangan wilayah khususnya dalam mengingkatkan kesejahteraan masyarakat di ranah pendidikan, Adapun manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah: 1. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal geografi budaya khusunya dalam wacana mengetahui peran budaya lokal terhadap pendidikan di sebuah daerah. 2. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi pemerintah dalam menimbang untuk memanfaatkan budaya lokal sebagai alat dalam program yang sesuai guna untuk pengembangan wilayah. 3. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi masyarakat untuk mengetahui pentingnya menjaga kebudayaan lokal karena dengan menjaga eksistensi budaya lokal dapat pula meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. 1.5.
Keaslian Penelitian Penelitian Peran Nilai Budaya Batak Toba terhadap Pendidikan Masyarakat
Kecamatan Tarutung adalah suatu upaya untuk mengungkapkan adanya keterlibatan nilai budaya lokal dalam menyadarkan masyarakat terkait betapa pentingnya memperoleh pendidikan itu. Penelitian ini memberi gambaran bahwa
5
nilai budaya bukan hanya milik masyarakat saja tetapi bila dimanfaatkan dengan bijak maka dapat dijadikan pondasi program pemerintah dalam pembangunan wilayah terutama dalam era otonomi daerah seperti saat ini. Ada beberapa penelitian yang menekankan keterkaitan nilai budaya terhadap aspek-aspek kehidupan masyarakat seperti yang terperinci dalam Tabel 1.1. Penelitian ini dipakai penulis sebagai bahan referensi. Damanik, Thoha dan Suharyanto (2005) dalam penelitian yang berjudul Kultur Batak dalam Birokrasi Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Simalungun menyampaikan bahwa nilai budaya kekerabatan yang berupa dalihan na tolu secara kondusif dan dominan mempengaruhi perilaku dan mental dalam birokrasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan unit analisis adalah BKD Simalungun. Penelitian oleh Hribar, Bole, dan Pipan (2015) berjudul Sustainable Heritage Management: Social, Economic and other Potentials of Culture in Local Development. Penelitian ini menggunakan pendekatan partisipatori dengan masyarakat lokal di Crni Vrh. Warisan atau peninggalan yang dapat berupa benda, bangunan, dan nilai budaya dapat dijadikan instrumen pembangunan berkelanjutan dengan catatan agar dilengkapi dengan manajemen yang baik. Fungsi nilai budaya di Crni Vrh sendiri dalam bidang pendidikan adalah dalam proses transfer ilmu pengetahuan, model pendidikan, dan perkembangan ilmu pengetahuan baru (inovasi). Salah satu tokoh yang giat menguhubungkan kebudayaan dan pendidikan adalah Tilaar.
Syafti (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Pendidikan
Berbasis Budaya (Studi atas Pemikiran Tilaar) menelaah berbagai pemikiran Tilaar dan beberapa tokoh lainnya. Penelitian ini bersifat library research dengan menggunakan analisis kualitatif. Studi literatur yang dilakukan Syafti menunjukkan adanya pemikiran dari berbagai tokoh pendidikan bahwa kebudayaan amat baik dijadikan dasar pembangunan p endidikan nasional. Penulis sendiri juga mengampu beberapa pemikiran Tilaar dalam penulisan penelitian peran nilai budaya Batak Toba terhadap pendidikan masyarakat ini.
6
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No.
Nama Peneliti
Judul
Tujuan
Metode Penelitian
Hasil
(tahun) Jon 1.
Damanik, Thoha,
Mendeskripsikan
Rismatuah Miftah dan
H.
Suharyanto (2005)
Kultur
Batak
Birokrasi Kepegawaian (BKD) Simalungun
dalam keterkaitan Naturalistik Kualitatif nilai-nilai Badan budaya Batak dengan Daerah perilaku birokrasi dalam
Kabupaten menyelenggarakan pelayanan
administrasi
kepegawaian
dalam
birokrasi
Badan
Kepegawaian
Daerah
(BKD) Kab. Simalungun
1. Nilai budaya lokal Dalihan Na Tolu memberi dampak positif dan negative terhadap perilaku birokrasi sehingga menciptakan budaya birokrasi yang dilandaskan kultur masyarakat lokal. Namun karena sistem kekerabatan yang kental, maka menghasilkan budaya birokrasi yang jauh dari konsep tataran birokrasi ideal. 2. Nilai budaya lokal yang juga mempengaruhi peerilaku dan karakteristik birokrasi BKD Simalungun iala nilai kebersamaan (sadama hamu) dan nilai gotong royonh (marhobas).
7
Lanjutan Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No.
Nama (Tahun) Mateja
2.
Smid
Hribar, David Bole, Primoz Pipan (2015)
Judul Sustainable
Tujuan
Metode Penelitian
Hasil
heritage
1.Mengidentifikasi warisan 1. Mengidentifikasi nilai budaya 1. Nilai budaya memiliki peran yang berarti lokal yang memiliki potensi budaya dan nilai budaya management: social, economic dalam pembangunan berkelanjutan di Crni dalam pembangunan ekonomi, yang memiliki potensi and other potentials of culture sosial, dan ekologi melalui Vrh. Khususnya dalam bidang pendidikan, sebagai instrument studi literatur. observasi in local development nilai budaya dan warisan budaya memiliki pembangunan lapangan, dan melakukan skala prioritas. peran dalam proses transfer ilmu berkelanjutan di Crni Vrh. 2. Wawancara mendalam kepada 2.Mengidentifikasi pengetahuan, model pendidikan, dan stakeholder, seperti anggota stakeholder yang sesuai masyarakat, organisasi perkembangan ilmu pengetahuan baru untuk mengelola warisan masyarakat, dan pemerintah. (inovasi). budaya dan nilai budaya. 3. Melakukan pendekatan pasrtisipasi masyarakat untuk 2. Warisan budaya (nilai budaya) dan 3.Melibatkan masyarakat menghubungkan masyarakat dalam pengelolaan warisan pembangunan memiliki konsep yang dengan proses pengelolaan budaya dan nilai budaya warisan budaya. bertolakbelakang namun saling dengan menggunakan melengkapi satu sama lain. Keduanya participatory approach. dipertemukan dalam manajemen yang baik, salah satu cara pemanfaatannya dengan
menggunakan
participatory
approach.
8
Lanjutan Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No.
Nama (Tahun) Moh.
3.
(2003)
Imam
Judul Syafti
Pendidikan
Tujuan Berbasis
Budaya (Studi atas 1.Untuk menjelaskan Pemikiran H. A. R. landasan Tilaar) konseptual pemikiran H. A. R. Tilaar tentang pendidikan 2.Untuk menjelaskan hubungan antara budaya dan pendidikan menurut H. A. R. Tilaar 3.Untuk menjelaskan konsep pendidikan menurut pandangan H. A. R. Tilaar yang dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pendidikan nasional
Metode Penelitian
Hasil
1. Menggunakan metode library 1. Proses pendidikan merupakan perwujudan dari research yaitu studi pustaka yang nilai-nilai budaya dan moral karena pada relevan dengan pendidikan nasional berbasis budaya dasarnya pendidikan merupakan proses 2. Mendeskripsikan berbagai tulisan pembudayaan. yang diperoleh dari library research secara kualitatif. 2. Pendidikan berbasis budaya terjadi secara 3. Melakukan analisis sintesis untuk interaktif antara pendidik dan peserta didik menelaah secara kritis istilah, pengertian yang dikemukakan oleh melalui pengenalan secara simultan dari para tokoh untuk mengetahui keseluruhan unsur budaya lokal, nasional dan kelebihan dan kekurangannya terkait denganj pendidikan nasional dalam global untuk memunculkan kreasi dan inovasi kurun waktu tertentu. tanpa meninggalkan keaslian budaya dan 4. Mengadakan interpretasi secara hermeneutic terhadap corak dan identitas diri. model konsep pendidikan oleh H. A. 3. Pendidikan nasional harus memenuhi kriteriaR. Tilaar. 5. Melakukan komparasi terhadap kriteria berikut: pentingnya pendidikan sebagai pemikiran H. A. R. Tilaar dengan sarana pembentuk watak yang baik serta tokoh lainnya mengenai hubungan antara kebudayaan dan pendidikan pentingnya pendidikan sebagai proses serta formulasinya untuk pembudayaan dan pendidikan nilai. Kriteria ini pengembangan pendidikan nasional. terpenuhi bila mengedepankan aspek nilai dasar pendidikan, fungsi sosiologis pendidikan, relasi kebudayaan dan pendidikan, pendidikan sebagai the agent of change dan pemerataan kesempatan pendidikan,
9
Lanjutan Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No. 4.
Nama (Tahun)
Judul
Increase
Peran
(2016)
Panjaitan
Tujuan Budaya
Batak
Toba terhadap 1. Mengetahui kondisi Pendidikan Masyarakat pendidikan Kecamatan Tarutung Kecamatan Tarutung 2. Mengetahui peran budaya Batak Toba terhadap pendidikan masyarakat Kecamatan Tarutung
Metode Penelitian
Hasil
Metode penelitian deskriptif kualitatif 1. Perkembangan pendidikan masyarakat di dengan menggunakan teknik Tarutung terus berlangsung seiring dengan wawancara semi terstruktur dan agenda pembangunan pemerintah terkait pengamatan di lapangan. peningkatan kualitas SDM. 2. Nilai budaya anakkon ki do hamoraon di ahu dan nilai budaya hamoraon, hagabeon, dan hasangapon memilki peran bagi pendidikan masyarakat Tarutung dengan cara yang berbeda. a. Nilai budaya anakkon ki do hamoraon di ahu bagi orangtua adalah bentuk kerelaan dan perjuangan serta bentuk cita-cita agar anak memperoleh kehidupan yang lebih baik dari dirinya melalui pendidikan yang bermutu. Bagi anak, nilai budaya ini memberikan motivasi sehingga tetap giat dan serius dalam belajar karena selain bermanfaat untuk kehidupannya, mengenyam pendidikan yang baik merupakan wujud pengabdian anak kepada orangtua. b. Peran nilai budaya yang terkandung dalam nilai budaya hamoraon, hagabeon dan hasangapon ialah memacu kesadaran masyarakat untuk mengenyam pendidikan agar dapat diaukui dan dihormati di kehidupan bermasyarakat dan diperhitungkan dalam kegiatan adat.
10
1.6.
Tinjauan Pustaka Kebudayaan, pendidikan, dan masyarakat merupakan tiga unsur yang
berjalan beriringan dalam sebuah wilayah. Tilaar mengungkapkan bahwa tidak ada suatu proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat, dan sebaliknya tidak ada suatu kebudayaan dalam pengertian suatu proses tanpa pendidikan. Tilaar juga menambahkan bahwa proses kebudayaan dan pendidikan hanya dapat terjadi di dalam hubungan antarmanusia dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, antara kebudayaan dan pendidikan saling memberi peran dalam proses perkembangannya. Kebudayaan
terbentuk
dalam
waktu
yang
relatif
lama
dan
keberlangsungannya dipengaruhi oleh manusia yang menjalankannya. Oleh karena itu, kebudayaan memiliki proses transmisi. Proses transmisi ini ialah transfer kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya, sehingga kebudayaan tidak hilang. Pendidikan adalah salah satu sarana yang tepat dalam proses meneruskan kebudayaan. Inilah yang menjadi peran pendidikan dalam proses perkembangan kebudayaan. Kebudayaan terdiri dari berbagai unsur, salah satunya ialah nilai budaya yang diakui bersama dan diterapkan dalam masyarakat. Oleh masyarakat tertentu, nilai budaya bahkan dijadikan pandangan hidup sehingga mempengaruhi gaya hidup. Kebudayaan bersifat nasional dan lokal. Indonesia memiliki keragaman budaya sehingga nilai budaya yang berkembang di masyarakat akan berbeda di setiap wilayah. Nilai budaya lokal cenderung menghasilkan pandangan hidup yang berbeda dengan daerah lainnya, namun tujuannya tetap sama, yaitu menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Nilai budaya lokal menghasilkan pola dan gaya hidup yang cenderung sama dalam satu daerah namun akan menunjukkan perbedaan dengan masyarakat daerah lainnya. Hal inilah yang menunjukkan adanya peran geografi dalam persebaran budaya di daerah-daerah.
11
1.6.1. Pendekatan Geografi Geografi merupakan sebuah ilmu tentang gejala dan sifat-sifat permukaan bumi dan penduduk yang mendiaminya yang juga mampu menerangkan hubungan antarsifat tersebut. Geografi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari kaitan sesama antara manusia, ruang, ekologi, kawasan dan perubahan-perubahan yang terjadi akibat dari kaitan sesama tersebut (Bintarto, 1975). Objek kajian geografi secara utuh disebut dengan geosfer. Fenomena geosfer itu sendiri terdiri dari atmosfer, hidrosfer, litosfer, biosfer, pedosfer, dan atmosfer. Berbagai bentuk fenomena inilah yang menyusun sebuah bentanglahan (landscape). Pengenalan bentanglahan mencakup bentang alami (natural landscape) dan bentang budaya (cultural landscape), yang menekankan keterkaitan antara komponen biogeofisik dengan manusia di dalamnya dan segala aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui hubungan keterkaitan tersebut merupakan ciri kajian geografi, yaitu: pendekatan keruangan (spatial approach), kelingkungan (ecological approach) dan kompleks wilayah (regional approach). Pendekatan-pendekatan ini digunakan untuk memahami konsep dan analisis fenomena-fenomena yang berkaitan dengan geografi itu sendirin dan juga sebagai pembeda yang khas dari ilmu-ilmu lain. Pendekatan keruangan (spatial approach) meruapakan pendekatan yang menekankan pada keberadaan ruang sebagai pokok analisisnya. Analisis keruangan mempelajari perbedaan lokasi mengenai sifat-sifat penting atau serangkaian sifatsifat penting (Hagget, 1975 dalam Marhadi, 2014). Bintarto (1975) menjelaskan analisis keruangan merupakan suatu analisis yang memperhatikan faktor-faktor pengaruh terhadap lokasi suatu aktivitas Pendekatan ekologi (ecological approach) merupakan pendekatan yang menekankan keterkaitan antara fenomena geosfer tertentu dengan variable lingkungan. Marhadi (2014) menekankan bahwa analisis ekologi tidak hanya sebagai suatu bentuk hubungan antara makhluk hiduo dengan natural environment saja, tetap harus pula dikaitkan dengan phenomenal environment yang juga mengacu pada natural phenomena serta physical relics of human actions dan 12
behavioural environment. Behavioural environment yang dimaksud meliputi perkembangan ide-ide dan nilai geografis serta kesadaran akan lingkungan. Bintarto (1975) memaknai analisis ekologi sebagai suatu analisis yang memperhatikan interakasi dari faktor-faktor yang menjadi penentu dari timbulnya suatu bventuk kegiatan. Beliau menekankan agar analisis ekologi juga memperhatikan sistem
yang terbentuk oleh faktor-faktor interaksi dan
penganalisaan bagaimana sistem itu berfungsi. Pendekatan kompleks wilayah (region complex approach) lebih sering dikenal sebagai kombinasi antara analisis keruangan dan analisis ekologi. Pendekatan ini erat pemahamannya dengan areal differentiation yang beranggapan bahwa setiap wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Oleh karena itu terjadi perkembanan interaksi antar wilayah. Kunci utama pendekatan ini ialah persebaran lokasi. Pada analisis ini diperhatikan pula mengenai penyebaran fenomena tertentu (analisis keruangan) dan interaksi antara variable manusia dengan lingkungannya untuk kemudian dipelajari kaitannya (analisis ekologi) (Marhadi, 2014). 1.6.2. Pendidikan Pendidikan
merupakan
hak
dasar
bagi
setiap
insan
di
dunia.
Penyelenggaraan pendidikan yang baik dan berkualitas menjadi sasaran bagi perkembangan pendidikan. Indonesia sendiri telah mewadahi hak masyarakat Indonesia dalam mengenyam pendidikan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat 3. Undang-undang ini mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Pendidikan didefinisikan sebagai proses pembentukan kecakapankecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan manusia (Dewey, 1938 dalam Idris, 1986). UU No. 2 Tahun 1989 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
13
bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi bekalnya pada masa yang akan datang. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses pembentukan kecakapankecakapan fundamental, sikap, dan tata laku seseorang secara intelektual dan emosional melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan dengan tujuan agar individu sebagai manusia atau sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan lahir batin yang setinggi-tingginya (Kusumadewi, 2004). Melalui berbagai definisi pendidikan di atas, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan ialah sebuah proses menuju kecakapan intelektual dan emosional yang diterima melalui berbagai pengajaran dan juga pengalaman diri sendiri ataupun orang lain yang dijadikan modal awal dalam mencapai cita-cita dan masa depan. Idris (1994) mengklasifiksikan pendidikan ke dalam 3 bagian, yaitu: 1. Pendidikan formal Pendidikan formal adalah pendidikan di sekolah teratur, sistematis, mempunyai jenjang dan yang dibagi dalam kurun waktu tertentu yang berlangsung di taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. 2. Pendidikan Informal Pendidikan Informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar, pada umumnya tidak teratur dan tidak sistematis, sejak seseorang lahir sampai mati. Seperti di dalam keluarga, tetangga, pekerjaan, hiburan, atau pergaulan sehari-hari. 3. Pendidikan Nonformal Pendidikan nonformal adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib, terarah dan berencana di luar kegiatan persekolahan. Tenaga pengajar, fasilitas, cara penyampaian dan waktu yang dicapai serta komponen-komponen lainnya disesuaikan dengan keadaan peserta atau anak didiknya supaya mendapat hasil yang memuaskan.
14
Tingkat pendidikan adalah taraf kemampuan yang ditentukan dari hasil belajar dari saat masuk sekolah hingga kelas terakhir yang dicapai seseorang dengan mengabaikan waktu jenjang di dalam pendidikannya (Coombs, 1973 dalam Idris, 1998). 1.6.2.1.
Pendidikan Nasional Pembukaan Undang-Undang Dasar Indonesia tahun 1945 mengungkapkan
cita-cita Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Usaha dan upaya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa adalah melalui pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. Pendidikan di Indonesia sendiri dilaksanakan dalam bentuk yang bervariasi, seperti sistem persekolahan, madrasah, dan pesantren. Sistem pendidikan nasional selalu diperbaharui untuk mencapai kualitas yang lebih baik. Berbagai strategi pendidikanpun terus diperbaharui sesuai dengan era kepemimpinan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia dinaungi oleh berbagai undang-undang pendidikan sehingga dapat menjamin masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan berkualitas. Undang-undang terkait pendidikan nasional mengalami berbagai revisi sesuai dengan kebutuhan tertentu. Undang-undang ini mengatur dan memuat standar nasional yang menjadi acuan semua daerah di Indonesia. Salah satunya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang merupakan revisi dari UU no. 2 tahun 1989. Undang-undang di atas menjelaskan jenjang pendidikan di Indonesia, yaitu: 1. Pendidikan Dasar Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya Sembilan tahun yang diselenggarakan selama enam tahun di SD dan tiga tahun di SLTP atau satuan pendidikan yang sederajat. 2. Pendidikan Menengah Pendidikan Menengah adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan leingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut 15
dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Lama waktu pendidikan menengah adalah tiga
tahun sesudah pendidikan dasar dan
diselenggarakan di SLTA atau satuan pendidikan sederajat. 3. Pendidikan Tinggi Pendidikan tinggi ialah pendidikan yang dijalankan setelah pendidikan menengah yang ditempuh di fakultas pada universitas atau institute negeri. Pendidikan tinggi diklasifikasikan kembali menjadi S1, S2, S3, dan S0. 1.6.3. Kebudayaan dan Nilai Budaya Ada banyak versi mengenai pengertian kebudayaan. Kebudayaan berasal dari kata buddhayah dalam Bahasa Sanskerta yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang memiliki arti budi atau akal. Selain itu, kebudayaan dikenal pula dengan istilah asing, yaitu culture. Culture berasal dari kata Latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan. Pengertian ini mengembangkan arti culture sebagai segala upaya dan tindakan manusia dalam mengolah dan mengusahakan tanah dan alam. Masyarakat sebagai suatu satuan kehidupan sosial manusia, menempati wilayah tertentu yang keteraturannya dimungkinkan oleh adanya seperangkat pranata sosial yang telah menjadi tradisi dan kebudayaan yang mereka miliki bersama. Masyarakat menjadi agen utama dalam menggerakkan sistem kewilayahan dan juga kebudayaan. Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai perilaku berpola yang ada dalam kelompok tertentu yang anggota-anggotanya memiliki makna yang sama serta simbol yang sama untuk mengkomunikasikan makna tersebut (Colleta, 1987). Kebudayaan
merupakan
kompleks
yang
mencakup
pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan dapat pula berarti sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
16
Koentjaraningrat (1981) mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasana dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil pekertinya. Beliau membagi kebudayaan ke dalam 7 unsur pokok, yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Koentjaraningrat juga membagi kebudayaan sesuai wujudnya, yaitu: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini ialah wujud idel dari kebudayaan yang dapat pula disebut sebagai adat tata-kelakuan atau adat istiadat. Wujud ini bersifat abstrak, berfungsi untuk mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada manusia dalam berbuat dan bertindak dalam masyarakat. Budaya dalam wujud ini dapat pula berupa sistem nilai-budaya, sistem norma dan sistem hokum yang ada dalam sebuah kelompok masyarakat. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan jenis ini berupa sistem sosial yang terdiri dari aktivitas interaksi antarindividu yang mengikuti pola tertentu di setiap waktunya. Perwujudan ini bersifat konkret dan dapat didokumentasikan. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini berbentuk fisik yang merupakan hasil karya manusia. Wujudnya konkret, yaitu benda-benda yang dapat dilihat, diraba dan difoto. 1.6.3.1.Sistem Nilai Budaya Sistem nilai budaya merupakan bagian dari adat-istiadat yang merupakan perwujudan dari kebudayaan. Koentjaraningrat (2009) bahkan mengatakan bahwa sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Lebih lanjut beliau mengartikan nilai budaya merupakan konsepkonsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari 17
masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat tadi. Nilai budaya bersifat tidak konkret dan sulit dijelaskan secara rasional. Perkembangannya tidak dapat dilihat secara fisik karena berada dalam emosi dan pikiran masyarakat. Namun nilai budaya inilah yang menyeragamkan masyarakat dalam konteks pandangan hidup dan ideologi dalam sebuah wilayah sesuai perkembangan nilai budaya yang ada di sana. Hal inilah yang mengasosiasikan antara kebudayaan, masyarakat dan wilayah. Beberapa nilai budaya ada yang saling berkaitan dan pada akhirnya membentuk sebuah sistem, inilah yang disebut dengan sistem nilai budaya. Koentjaraningrat (2009) memahami sistem ini sebagai pedoman dari konsepkonsep ideal dalam kebudayaan yang memberi motivasi kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakat. Koentjaraningrat mendasarkan pendapatnya mengenai pengertian sistem nilai budaya di atas pada seorang ahli antropologi, Kluckhon. Kluckhon menyatakan bahwa bahwa sistem nilai budaya dalam kebudayaan mengandung lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Kelima dasar dalam kehidupan manusia tersebut, yaitu: 1) Masalah hakikat dari hidup manusia 2) Masalah hakikat dari karya manusia 3) Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu 4) Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya 5) Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya Kelima masalah universal ini memberi gambarang singkat tentang kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan atau dihadapi oleh manusia. Pengalaman mengajarkan manusia untuk lebih bijak dan tanggap bila dihadapkan pada persoalan yang sudah pernah terjadi pada dirinya ataupun orang lain. Hal inilah yang coba disampaikan dalam kelima masalah hidup oleh Kluckhon. Masalah hakikat hidup manusia adalah penggambaran masalah mengenai manusia dan kebudayaan dalam memandang kehidupan. Kebudayaan memandang hidup dengan
18
sudut pandang yang berbeda-beda, ada kebudayaan yang memandang hidup sebagai sesuatu yang buruk dan dihindari. Kebudayaan lain menunjukkan hidup sebagai hal yang baik dan pantas untuk diperjuangkan. Masalah kedua ialah hakikat dari karya manusia, yaitu bagaimana kebudayaan menuntun masyarakat dalam memandang karya manusia. Apakah karya itu dijadikan sebagai penentu kedudukan dan kehormatan di tengah masyarakat atau justru karya yang dimaksud dijadikan sebagai penopang hidup karena dijadikan sumber nafkah keluarga. Masalah dasar berikutnya ialah hakikat manusia dalam ruang dan waktu, yang menunjukkan berbagai kebudayaan yang memandang kehidupan yang berporos dalam ruang dan waktu. Kepentingan-kepentingan masyarakat akan masa lalu, masa depan dan masa kini berbeda-beda, sesuai dengan arahan kebudayaan yang dijalankannya. Hakikat manusia dengan alam merupakan gambaran tentang bagaimana masyarakat memandang alam. Ada kebudayaan yang memandang alam sebagai hal yang dahsyat sehingga kodrat manusia hanya bersifat pasrah terhadap alam dan lingkungan. Hakikat ini menunjukkan beberapa kebudayaan dalam menyikapi alam, apakah alam perlu ditaklukkan atau hanya perlu dicari keselarasan antara manusia dengan alam. Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya adalah bentuk-bentuk kebudayaan yang menggambarkan hubungan manusia dengan sesama manusia. Termasuk di dalamnya yaitu sikap masyarakata terhadap pemimpinnya atau kebudayaan yang mempercayai sifat dasar manusia yang amat bergantung pada orang lain. Penjelasan dari kelima masalah dasar di atas dapat dirangkum dalam tabel 1.2.
19
Tabel 1.2 Kerangka Kluckhon mengenai Lima Masalah Dasar dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia Masalah
Dasar Orientasi Nilai Budaya
dalam Hidup Hakikat
Hidup Hidup itu buruk
Hidup itu baik
(MH)
Hidup itu buruk tetapi
manusia
wajib
berihktiar
supaya hidup itu menjadi baik Hakikat
Karya Karya itu untuk Karya itu untuk Karya itu untuk
(MK)
nafkah hidup
kedudukan,
menambah karya
kehormatan, dsb. Persepsi Manusia Orientasi ke masa Orientasi ke masa Orientasi ke masa tentang
Waktu kini
lalu
depan
(MW) Pandangan
Manusia
tunduk Manusia menjaga Manusia berusaha
Manusia terhadap kepada alam yang keselarasan
menguasai alam
Alam (MA)
dahsyat
dengan alam
Hakikat
Orientasi kolateral Orientasi vertical, Individualisme
Hubungan
(horizontal), rasa rasa
Manusia dengan ketergantungan
ketergantungan
Sesamanya (MM) kepada sesamanya kepada (berjiwa
menilai usaha
tinggi atas
tokoh- kekuatan sendiri
gotong tokoh atasan dan
royong)
berpangkat
Sumber : Koentjaraningrat (2009 : 157) 1.6.3.2. Budaya Batak Toba dan Nilai Budaya Batak Toba Budaya Batak Toba merupakan salah satu bentuk kebudayaan asli Indonesia yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Persebaran budaya Batak Toba meliputi daerah Humbang Hasundutan, Habinsaran Selatan, Silindung (Tarutung), Pahae, sebagian daerah Barus, Muara, Samosir, dan daerah sekitar Danau Toba. Penerapan
20
budaya Batak Toba tercermin dari kehidupan sehari-hari masyarakat, yakni pandangan hidup, bahasa, kesenian, hingga gaya hidupnya. Masyarakat Batak Toba adalah salah satu suku di Indonesia yang memiliki marga, sehingga masyarakat masih sangat disiplin terhadap sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan ini mampu menciptakan nilai gotong royong dan kerjasama di tengah-tengah masyarakat. Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba terangkum dalam sebuah nilai budaya yang disebut dengan dalihan na tolu. Dalihan na tolu membagi masyarakat ke dalam tiga posisi utama dalam bermasyarakat dan dalam kegiatan berdasarkan marga, yaitu hula-hula, dongan tubu dan boru. Budaya Batak Toba memiliki sistem nilai-budaya yang telah berakar kuat dalam kesehariannya. Sistem nilai budaya tersebut terdiri dari konsep yang dianggap sangat bernilai dalam hidup masyarakat. Konsep ini dapat berupa filosofi hidup atau pandangan hidup yang masih dijalankan masyarakat hingga saat ini karena masih relevan dengan kehidupannya. Kebudayaan Batak Toba telah ada sejak tahun-tahun yang lalu oleh karena itu banyak nilai-nilai budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Nilai budaya ini mempengaruhi kehidupan masyarakat, seperti terbentuknya pandangan terhadap kehidupan yang ideal, cita-cita, gaya hidup, cara berkomunikasi, dan lainnya. Peran dan fungsi individu juga dapat diketahui melalui nilai budaya. Beberapa nilai budaya yang masih dijalankan secara baik oleh masyarakat Batak Toba ialah dalihan na tolu, nilai gotong royong atau kerjasama, anakkon ki do hamoraon di ahu, dan hamoraon, hagabeon, dan hasangapon. a. Dalihan Na Tolu Pelaksanaan acara adat, seperti perkawinan, kematian, pesta rakyat, dan kegiatan tertentu lainnya melibatkan banyak pihak. Pemerintah, keluarga, tetangga, teman semarga adalah pihak yang pada umumnya harus terlibat dalam kegiatan itu. Pihak-pihak ini terlibat dan melibatkan diri sesuai dengan fungsinya. Dalihan na tolu adalah nilai budaya yang mengatur dan menentukan fungsi masyarakat sesuai dengan posisinya dalam sistem kekerabatan yang dilihat berdasarkan marganya.
21
Dalihan na tolu secara harafiah diartikan sebagai tiga kaki tungku yang umumnya dipakai untuk menopang kuali untuk memasak dengan menggunakan kayu bakar. Ketiga kaki tungku ini memiliki peranan yang seimbang dan fungsi yang sama dalam menopang kuali. Filosofi inilah yang sering dikaitkan dengan sistem kekerabatan masyarakat. Ada tiga unsur yang membentuk kekerabatan Batak Toba, hula-hula, dongan tubu, dan boru. Ketiga unsur ini diibaratkan tiga kaki tunggu yang sama besar, sama tinggi, dan sama peranannya. Namun, bagi beberapa kelompok masyarakat, dalihan na tolu justru tidak ada kaitannya dengan kaki tungku karena memiliki lebih dari tiga unsur kekerabatan, hula-hula, dongan tubu, dan boru dan dilengkapi dengan unsur sihal-sihal atau ale-ale yang berarti sahabat dan tetangga. Sirait (2006) mengungkapkan bahwa adat Batak itu mencakup hal yang sangat luas, antara lain: tali kekerabatan, etika hidup sehari-hari, etika saling menghormati, pengaturan pembagian dalam struktur masyarakat, dan sebagainya. Dalihan na tolu dapat dijadikan pedoman yang merangkum keseluruhan adat dan aturan Batak Toba. Dalihan na tolu dapat dijadikan simbol Budaya Batak Toba itu sendiri. Dalihan na tolu memuat tiga aturan utama, yaitu: somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru. Somba marhula-hula memiliki arti harafiah sebagai sikap hormat kepada hula-hula. Hula-hula itu sendiri adalah pihak keluarga pemberi perempuan, yaitu pihak semarga ibu. Nilai ini mengisyaratkan setiap anggota masyarakat menaruh hormat kepada hula-hula terutama dalam berbagai kegiatan adat. Hula-hula harus diperlakukan dengan kesantunan yang tinggi karena doa dan berkat dari hula-hula dianggap begitu bernilai terutama dalam pelaksanaan acara adat. Manat mardongan tubu memiliki arti berhati-hati kepada dongan tubu. Dongan tubu ialah pihak semarga. Marga suku Batak amat bervariasi dan pada umumnya sebuah marga dapat berada dalam naungan suatu satuan marga yang lebih besar. Seluruh marga yang berada dalam satu naungan dapat dikatakan sebagai dongan tubu. Bersikap hati-hati yang terkandung dalam nilai manat mardongan tubu ialah perlunya bersikap saling menjaga perasaan dan saling memahami antarsesama marga. Hal ini diperlukan untuk mencegah salah paham
22
dan mereda perselisihan dalam bermasyarakat terutama dalam berbagai acara adat yang memang rumit. Elek marboru artinya membujuk dan mengayomi kepada boru. Boru adalah pihak atau marga perempuan. Pihak boru berorientasi pada marga perempuan sehingga tidak selalu pihak boru adalah seorang peremuan. Bagi seorang pria yang telah menikah akan otomatis sebagai pihak boru di marga istrinya. Nilai budaya elek marboru memiliki makna agar bersikap membujuk, mengarahkan dan mengayomi boru sebagai pihak keluarga anak perempuan. Hal dimaksudkan untuk menciptakan sistem kekeluargaan yang damai di tengah-tengah masyarakat terutama agar boru bersikap ikhlas dalam mendukung pelaksaan acara adat. Pelaksaan acara adat harus dilengkapi dengan pihak hula-hula, dongan tubu, dan boru, biasanya dilengkapi pula dengan ale-ale atau sahabat terdekat dan tetangga. Masing-masing pihak memiliki fungsi vital dalam acara yang dimaksud. Pihak hula-hula misalnya memiliki kedudukan tertinggi dalam berlangsungnya acara, keputusannya diutamakan dan mengatur keberhasilan acara tersebut. Sementara itu, pihak boru adalah pihak yang bertugas dalam melayani kebutuhan dalam acara, seperti ketersediaan jamuan, ulos dan lain sebagainya. Setiap individu sudah pasti menduduki ketiga unsur dalihan na tolu, yakni hula-hula, dongan tubu, dan boru, namun dalam konteks tertentu. Posisi ini akan berotasi sesuai dengan acara apa dan siapa yang menyelenggarakan acara tersebut. Artinya, masing-masing individu akan mendapat perlakuan dan fungsi yang berbeda sesuai dengan kedudukan dan acara yang berbeda, apakah ia sebagai hulahula, dongan tubu, atau boru. Oleh karena itu, seseorang dapat diperlakukan istimewa saat ia menjadi hula-hula, namun dalam kesempatan lain ia dapat bertugas untuk melayani bila ia dalam posisi boru. Dalihan na tolu juga diartikan sebagai pengatur etika dan kesopanan individu dalam bermasyarakat, misalnya dengan menyapa seseorang sesuai dengan sapaan kekerabatan yang tepat. Masyarakat Batak Toba dikenal dengan sapaannya yang unik dan bermacam-macam, seperti tulang, nantulang, amangboru, namboru, ompung, lae, eda, ampara, dan lainnya. Setiap sapaan tidak sembarang dipakai namun diatur dalam tatanan dalihan na tolu.
23
Panggabean (2006) menyimpulkan bahwa Dalihan na Tolu adalah rangkuman nilai moral budaya yang diyakini warga Batak memuat doktrin tata hidup yang dapat berperan menghantar setiap warga Batak mencapai derajat keberkatan insani. b. Nilai Gotong Royong atau Kerja Sama Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat yang terikat dengan sistem kekerabatan marga yang besar. Setiap marga berasal dari satu sumber artinya semua marga memiliki nenek moyang yang sama sehingga ikatan antarmasyarakat begitu erat sekalipun memiliki marga yang berbeda-beda. Masyarakat Batak Toba sangat menjunjung nilai gotong royong dan bekerja sama dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam urusan peradatan. Nilai kebersamaan ini membuat masyarakat menjadi lebih terbuka dalam menjalin hubungan bermasyarakat, tidak saling mencurigai dan saling mendukung. Nilai ini pula yang menuntun masyarakat selalu mempertimbangkan pendapat orang lain untuk mendapatkan kesepakatan yang adil. Salah satu umpasa (perumpumaan) yang dimiliki Suku Batak Toba berbunyi, Aek godang do aek laut Dos ni roha ma na saut Umpasa ini berisi nasihat agar setiap orang memiliki hak yang sama untuk mengungkapkan pendapatnya, karena keputusan akan semakin baik dan mudah didapatkan bila sudah ada kesepakatan yang adil dan disetujui oleh setiap anggota bermasyarakat. Nilai gotong royong dan kerja sama semakin didukung dengan adanya kelompok-kelompok masyarakat. Kelompok marga adalah salah satu kelompok yang paling umum ditemukan di masyarakat Batak Toba. Kelompok marga ini memiliki kegiatan rutin setiap tahunnya, seperti pengadaan kebaktian dan pertemuan-pertemuan
tertentu.
Kelompok
marga
ini
seperti
kelompok
24
persaudaraan yang saling membantu. Setiap anggota kelompok saling turut bekerja dan ambil bagian dalam pelaksanaan kegiataan atau acara adat sesama anggotanya. Kelompok gotong royong yang berikutnya ialah serikat tolong menolong (STM) yang lebih dikenal dengan istilah parsahutaon. Parsahutaon berasal dari kata huta yang artinya kampung atau tempat tinggal. Kelompok ini adalah kelompok sosial lingkungan tempat tinggal, artinya anggota kelompok ini adalah beberapa rumah tangga yang bertetangga di lingkungan tempat tinggal tertentu. Parsahutaon bermanfaat untuk menjaga kerukunan lingkungan rumah. Meskipun tidak berasaskan marga, kelompok ini juga sangat berperan dalam pelaksanaan acara adat tertentu. Misal, pelaksanaan acara adat di rumah tertentu maka tetangganya turut membantu seperti menyiapkan tempat dan ikut memasak jamuan makanannya. Sianipar (1991) mengatakan bahwa parsahutaon akan turut memikul sebagian keperluan dan biaya pesta adat dengan beberapa ketentuan yang telah disepakati parsahutaon itu. Dan apa yang dilakukan parsahutaon melalui anggotanya akan tetap dibayar pada waktunya jika yang lain melaksanakan pesta. c. Anakkonki do Hamoraon di Ahu Anakkonki do hamoraon di ahu adalah nilai budaya yang populer di kalangan masyarakat Batak Toba. Anakkonki do hamoraon di ahu secara harafiah berarti anakku adalah kekayaanku. Nilai ini menempatkan anak sebagai harta yang dimiliki setiap orangtua Batak dan wajib untuk diperjuangkan. Nilai budaya ini sudah menjadi slogan bagi masyarakat dalam ranah pendidikan. Nahum Situmorang bahkan mengangkat nilai budaya anakkonki do hamoraon di ahu dalam sebuah karya seni berupa lagu. Salah satu penggalan lirik beliau mengatakan hu gogo pe mansari arian nang bodari laho pasikolahon gelleng hi (aku akan gigih mencari nafkah siang dan malam untuk menyekolahkan anakanakku). Aikkon marsikola do satimbo-timbo na, sittap ni na tolap gogo hi (Mareka harus bersekolah setinggi-tingginya sampai titik kemampuan dan tenagaku).
25
Kalimat di atas menggambarkan kegigihan orangtua Batak untuk memberikan pendidikan yang terbaik buat anak-anaknya. Nilai budaya anakkon ki do hamoraon di ahu dipandang sebagai bentuk kerja keras orangtua untuk mengutamakan pendidikan anak-anaknya dari kebutuhan lainnya. Nilai ini mengandung sikap kebanggaan bagi orangtua bila anak-anaknya sukses dan berhasil. Semakin anaknya berhasil, maka orangtua dianggap akan semakin kaya (memiliki hamoraon). d. Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon Hamoraon, hagabeon, dan hasangapon adalah trio- cita-cita yang selalu dipadupadankan karea bila salah satunya dapat dicapai, maka yang lainnya akan mengikuti. Oleh karena itu, masyarakat selalu menyebutkannya dengan tidak terpisah. Nilai budaya ini sering disingkat dengan 3 H. Nahum Situmorang menyisipkan hamoraon, hagabeon, dan hasangapon dalam beberapa karyanya, salah satunya sebuah lagu yang berjudul Alusi Ahu. Beliau menyebutkan bahwa hamoraon, hagabeon, hasangapon ido dilului na deba. Kalimat ini memiliki arti bahwa hamoraon, hagabeon, dan hasangapon adalah hal yang dicari-cari orang pada umumnya. Hamoraon memiliki kata dasar mora yang berarti kaya. Hamoraon adalah kekayaan dan banyak harta benda. Cita-cita masyarakat Batak Toba untuk memiliki harta dan kekayaan memberi motivasi untuk bekerja keras dan jujur. Nilai budaya hamoraon menempa masyarakat menjadi masyarakat pekerja keras dan ulet. Hagabeon berarti berketurunan. Masyarakat Batak Toba memiliki dambaan untuk memiliki keuturunan. Sinaga (2006) hagabeon adalah dambaan orang Batak untuk, maranak marboru (memiliki anak laki-laki dan anak perempuan) melalui proses pernikahan yang sah. Suku Batak Toba adalah suku yang menganut sistem patriarhat, yaitu garis keturunan berada pada anak laki-laki dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, sebagian orang Batak sangat berharap memiliki anak laki-laki untuk meneruskan marga. Napupur tu angina, na maup tu alogo adalah sebuah istilah khas yang digunakan orang Batak bagi mereka yang tidak memiliki anak laki-laki dalam
26
keluarganya. Istilah ini memiliki arti bahwa bila tidak memiliki anak laki-laki maka terputuslah tali silsilahnya karena anak perempuan akan mengikuti marga suaminya. Bila dahulu pemahaman hagabeon ditujukan kepada masyarakat yang memiliki anak laki-laki, namun kini pemahaman itu tidak seketat dahulu. Hagabeon kini disematkan pada orang-orang Batak yang mampu mengurus dan memelihara anak-anaknya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Sangap artinya, terhormat, mulia, dan disegani. Hasangapon secara harafiah berarti memiliki kehormatan, dimuliakan dan disegani.
Hasangapon
adalah puncak pencapaian 3 H. Hal ini tidak dapat diraih begitu saja karena hasangapon adalah simbol kemuliaan, keberhasilan, dan penghormatan yang diberikan kepada seseorang oleh orang lain. Hasangapon adalah bentuk pengakuan dari orang lain atas usaha dan pencapaian yang diperoleh seseorang. Artinya, seseorang tidak dapat mengklaim dirinya sendiri. Oleh karena itu, hasangapon selalu dikaitkan dengan karakter seseorang. Sekalipun dia telah mencapai hamoraon dan hagabeon namun tidak memiliki moral dan karakter yang baik, maka orang lain belum tentu mengakui dia sangap. 1.7.
Kerangka Pemikiran Wilayah terbentuk dari berbagai komposisi yang beragam. Penelitian ini
membahas wilayah melalui tiga tema besar, yaitu pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat. Masyarakat, pendidikan dan kebudayaan adalah beberapa dari sekian banyak komponen penyusun wilayah. Ketiganya merupakan pembentuk aspek sosial sebuah wilayah.
Penelitian ini menarik menarik garis imajiner yang
menghubungkan masyarakat, pendidikan dan kebudayaan yang berada di wilayah Kecamatan Tarutung. Kebudayaan memiliki turunan berupa nilai budaya yang diemban oleh masyarakat di wilayah Tarutung sebagai dasar dan acuan dalam bersikap dan mempengaruhi pola pikir mereka. Nilai budaya Batak Toba memiliki andil besar dalam mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan masyarakat dalam mengambil keputusan dalam kehidupan, demikian pula dalam mempengaruhi masyarakat
27
dalam memperioritaskan kepentingan-kepentingan tertentu. Pendidikan adalah hal yang amat berharga dan penting bagi masyarakat Tarutung. Pandangan ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa nilai budaya Batak Toba. Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa penelitian ini mencoba mengulas nilai budaya anakkon hi do hamoraon di ahu sebagai salah satu nilai budaya yang mendorong masyarakat Tarutung untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas. Nilai budaya ini menanamkan prinsip agar setiap orangtua menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya. Nilai budaya hamoraon, hagabeon, dan hasangapon adalah wujud kesuksesan dalam kehidupan masyarakat yang dapat diperoleh melalui pendidikan. Nilai budaya inilah yang menghubungkan pendidikan dan kebudayaan Batak Toba. Kondisi sosial pendidikan masyarakat diselenggarakan oleh pemerintah yakni Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tapanuli Utara. Segala program pendidikan di daerah sepenuhnya masih mengikuti Standar nasional pendidikan yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, adanya desentralisasi pendidikan memungkinkan pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan sesuai dengan potensi daerahnya. Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara memanfaatkan desentralisasi pendidikan dalam bentuk mata pelajaran muatan lokal dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah. Mata pelajaran ini ditujukan agar masyarakat lebih mengenal budaya lokal secara formal dan dimanfaatkan sebagai salah satu cara dalam melestarikan kebudayaan lokal. Kebudayaan Batak Toba tidak lepas dari hubungan antarmarga yang diatur dalam nilai budaya dalihan natolu. Masyarakat Tarutung terbiasa dengan mengikuti berbagai kelompok adat seperti kelompok marga dan kelompok lingkungan rumah (Serikat tolong menolong). Kelompok ini tidak hanya berperan dalam kegiatan peradatan saja melainkan turut mendukung anggota kelompoknya dalam menempuh pendidikan, salah satunya dengan memberi dukungan berupa beasiswa kepada anak-anak anggota kelompok yang berprestasi.
28
Nilai budaya Batak Toba memberi dorongan yang kuat agar pendidikan dijadikan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi bagi masyarakat Tarutung. Dorongan ini bahkan menjadi obsesi bagi masyarakat untuk memiliki pendidikan yang baik dan berkualitas. Inilah yang harus dimanfaatkan pemerintah dalam menyusun program dan kebijakan baru terkait pendidikan masyarakat. Pada akhirnya, penelitian ini mengungkapkan peran budaya lokal terhadap pendidikan masyarakat yang hasilnya dapat dijadikan masukan dalam melanjutkan desentralisasi pendidikan di Kecamatan Tarutung.
29
Pembangunan Wilayah
Pendidikan
Pemerintahan/ Dinas Terkait
Gambaran Pendidikan Secara Umum
Program Pendidikan dan Kebudayaan
Masyarakat
Kebudayaan
Nilai Budaya
Anakkon hi do Hamoraon di Ahu
Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon
Dalihan Natolu
Kelompok Marga dan STM
Kebutuhan Pendidikan Masyarakat
Posisi Anak/ Keturunan dalam Budaya dan Pendidikan
Peran Nilai Budaya terhadap Pendidikan Masyarakat Gambar 1.1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran
30