BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sejalan dengan amanat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas serta tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta turut secara aktif memelihara perdamaian dunia. Oleh sebab itu, pemerintah wajib memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri. Hal tersebut merupakan tujuan pembangunan nasional. Mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan atas segala tindak pidana yang mengancam NKRI. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Peran serta Indonesia dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, Indonesia mendukung upaya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Komite Ad Hoc/Komite VI yang dibentuk berdasarkan resolusi 51/210 tentang dua konvensi pemberantasan kejahatan
Universitas Sumatera Utara
terorisme. 1 Dua konvensi tersebut adalah International Convention for The Suppression
of
Terrorist
Bombings
tahun
1997
(Konvensi
Internasional
Pemberantasan Pengeboman Oleh Teroris, 1997) diratifikasi tanggal 5 April 2006 dan International Convention for The Suppression Financing of Terrorism tahun 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999) diratifikasi tanggal 5 April 2006. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama. 2 Oleh sebab itu, perang melawan terorisme menjadi komitmen semua negara dan semua agama di dunia. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama satu sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung. Pemerintah Indonesia telah membangun pusat pelatihan Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation pada tanggal 3 Juli 2004 dapat difungsikan sebagai wadah kerja sama dan saling tukar pengalaman dalam rangka meningkatkan kemampuan negara-negara memberantas kejahatan lintas negara, termasuk terorisme. Tantangan dan ancaman bagi NKRI biasanya oleh kelompok ekstrim dan radikal. Tindakan ektrim dan radikal dari sekelompok orang inilah yang menurut Ali
1
http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=6080, diakses tanggal 25 Desember 2010. 2 Moch. Faisal Salam., Motivasi Tindakan Terorisme, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
Masyhar dinamakan dengan istilah teror atau terorisme. 3 Munculnya kelompokkelompok radikalisme dan ekstrimisme disebabkan oleh paham yang dianut bahwa “negara yang tidak adil dan menyebabkan kekecewaan terhadap penguasa (negara)”. 4 Hal tersebut senada pula disebutkan oleh Poltak Partogi Nainggolan, bahwa “praktikpraktik kapitalisme ekonomi semakin rentan memunculkan aksi-aksi terorisme sebab diperlukan toleransi dan kompromistik yang dinilai justru sangat merugikan kelompok radikalisme dan ekstrimisme”. 5 Terorisme, bukan saja mengancam negara-negara maju bahkan juga terjadi di negera-negara yang sedang berkembang misalnya di Indonesia. Terorisme di NKRI, berkali-kali telah telah terjadi. Hal tersebut senada dengan yang disebutkan oleh Nasir Abas dalam bukunya berjudul “Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M. Top”, yaitu “terorisme ternyata belum mati di Indonesia”. 6 Pemikiran yang menyatakan bahwa terorisme belum mati di Indonesia karena telah terjadi beberapa peristiwa teror misalnya: peristiwa Bom di Mesjid Istiqlal pada tanggal 19 April 1999, Bom Malam Natal pada tanggal 24 Desember 2000, Bom di Bursa Efek Jakarta pada bulan September 2000, penyanderaan dan pendudukan Perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 2000, peristiwa Bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002 terjadi di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta,
3
Ali Masyhar., Baya Indonesia Menghadang Terorisme, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal.
2. 4
Republika., Tanggal 15 Oktober 2002, hal. 5. Poltak Partogi Nainggolan., Terorisme dan Tata Dunia Baru, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, 2002), hal. 15. 6 Nasir Abas., Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M. Top, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2009), hal. 13. 5
Universitas Sumatera Utara
Bali, peledakan bom di JW Marriot pada tahun 2003, bom di depan Kantor Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004, bom Bali II pada tahun 2005, dan sekelompok pelatihan teroris di Nangro Aceh Darussalam. Hingga kemudian Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menembak mati Noordin M. Top di Temanggung tanggal 8 Agusutus 2009. 7 NKRI kembali diancam dengan aksi peledakan bom yang mengguncang dua hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada tanggal 17 Juli 2009 di Kawasan Bisnis Kuningan Jakarta. 8 Hingga pada akhirnya pada tahun 2010 terjadi peristiwa perampokan terhadap Bank CIMB Niaga di Sumatera Utara pada tanggal 18 Agustus 2010 dimana bahwa pelaku perampokan bank tersebut terkait dengan jaringan organisasi terorisme dalam hal pendanaan operasional terorisme. 9 Berdasarkan rangkaian peristiwa pemboman dan aksi-aksi teroris yang terjadi di wilayah NKRI telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban. Maksudnya korban dari peledakan bom tidak memandang suku, agama, ras kewarganegaraan, semuanya menjadi sasaran sebab umumnya teroris meledakkan bom tersebut di tempat-tempat keramaian bahkan bom juga diledakkan di dalam dalam Mesjid ketika melaksanakan ibadah sholat jum’at di lingkungan Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat tanggal 15 April 2011. 10
7
Noordin M. Top dikenal sebagai tokoh utama dalam terorisme berhasil ditembak mati pada tanggal 8 Agustus 2009 oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri. 8 Nasir Abas., Loc. cit. 9 http://www.antaranews.com/berita/1284997005/kapolri-perampokan-bank-cimb-niagaterkait-terorisme, diakses tanggal 23 Desember 2010. Lihat juga, Antara News., Tanggal 20 September 2010, hal. 1. 10 http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/04/15/126356/Bom-Bunuh-Diri-di-MasjidPolresta-Cirebon-Puluhan-Terluka, diakses tanggal 20 Juni 2011.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini tentu dapat menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Ketakutan itu bukan saja terjadi pada masyarakat umumnya bahkan terhadap kaum muslimin juga menjadi ancaman. Oleh karena itu, terorisme terkait dengan jaringan internasional, tindakan terorisme ini sebagaimana disebutkan Ali Masyhar merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. 11 Hilangnya nyawa manusia karena tindakan sekelompok orang yang tergabung dalam aksi terorisme, dan apapun alasannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. 12 Sebab hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights). 13 Dengan pengertian lain bahwa hak untuk hidup mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Jadi, hak hidup merupakan hak paling utama dimana setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk menghilangkan hak hidup yang lain melalui tindakan terorisme. Akan tetapi ditentukan sanksi pidana mati (menghilangkan nyawa) pelaku terorisme yang terpidana menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan 11
Ali Masyhar., Op. cit., hal. 3. Nasir Abas., Op. cit., hal. 10. 13 I. Sriyanto., dan Desiree Zuraida., Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri, (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001), hal. 1 12
Universitas Sumatera Utara
Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT) bahwa sanksi pidana mati dalam tindak pidana terorisme dibuat karena tindakan terorisme jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan secara luas, martabat, dan norma agama. Terorisme juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi manusia. 14 Tindakan terorisme erat kaitannya dengan pelanggaran atas hak-hak hidup manusia. Negara Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warga negaranya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut UUPTPT). UUPTPT merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi sebuah UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT). Pada bagian konsideran dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 (UUPTPT) disebutkan bahwa: 15 Untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib, dan aman serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, maka dengan mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan terorisme, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti 14
Abdul Wahid., Sunardi., dan Muhamad Imam Sidik., Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal. 2. 15 Penegasannya terdapat pada bagian konsideran (menimbang) huruf d Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang. Pasal 1 Angka 1 UUPTPT mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme adalah “segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang ini”. Pengertian tersebut menggambarkan bahwa ruang lingkup tindak pidana terorisme menurut UUPTPT sangat luas tidak mencakup pada satu aspek saja melainkan banyak hal yang diatur dalam UUPTPT tersebut. Misalnya setiap perbuatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 UUPTPT yaitu: 1. Terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia; 2. Terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri termasuk tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsuler Republik Indonesia; 3. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah Republik Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu; 4. Untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu; 5. Di atas kapal yang berbendera negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau 6. Oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia. Terorisme sebagai suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain. 16 Terorisme menurut Muladi adalah penggunaan kekausaan secara tidak sah oleh indiviu-individu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, untuk
16
A.C. Manullang., Menguak Tabu Intelijen, Motif dan Rezim, (Jakarta: Panta Rhei, 2001),
hal. 151.
Universitas Sumatera Utara
kepentingan dalam melawan kekuasaan yang ada. 17 Tindakan terorisme adalah sebagai suatu cara penyimpangan politik menggunakan kekerasan dalam merebut kekuasaan. Terorisme menurut Pasal 6 UUPTPT didefinisikan bahwa tindak pidana terorisme adalah: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Objek-objek vital yang strategis dapat berupa infrastruktur berbasis teknologi informasi, dimana berkemungkinan sangat besar peluangnya untuk diserang kelompok teroris melalui teknologi informasi pula. Sehingga kerusakannya lebih cenderung kepada perangkat lunak (software) dan aplikasinya, namun memiliki dampak politis, ekonomis, keamanan, pertahanan dan ketertiban, serta dampak sosial dan psikologis lainnya. 18 Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana yang unik, karena motif dan faktor penyebab dilakukannya tindak pidana terorisme tersebut sangat berbeda dengan motif-motif dari tindak pidana lain. Salahuddin Wahid, menyatakan bahwa terorisme dilakukan dengan berbagai motivasi yaitu karena alasan agama, alasan 17
Muladi., Demokrasi HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2002), hal. 172. 18 Moch. Faisal Salam., Op. cit., hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
ideologi, alasan untuk memperjuangkan kemerdekaan, alasan untuk membebaskan diri dari ketidakadilan, dan karena alasan kepentingan. 19 Pemicu terorisme antara lain adalah pertentangan agama, ideologi, dan etnis, serta semakin melebarnya jurang pemisah antara kaya dan miskin. Selain itu, tersumbatnya komunikasi antara rakyat dengan pemerintah, jumlah penduduk yang tumbuh dan berkembang tajam, semakin meningkatnya jumlah pengangguran, generasi muda semakin banyak frustasi, munculnya orang-orang kesepian, munculnya ideologi fanatisme baru, dan paham paratisme merupakan pemicu munculnya tindakan terorisme. 20 Alasan-alasan di atas, berbeda dengan yang disebutkan Moch Faisal Salam, bahwa pemikiran yang bercorak kosmik dalam agama menjadi salah satu penyebab lahirnya pemikiran teror. 21 Pemikiran kosmik adalah kecenderungan berfikir dalam memahami suatu masalah spesifik dari sudut pandang yang umum, yang melampaui kehidupan spesifik individu tempat masalah tersebut terjadi dan untuk melandaskan pemahaman pada peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat metafisik. 22 Dalam kajian Islam kontemporer, salah satu pemikiran kosmik tersebut, diuraikan oleh Jeurgenmeyer adalah pandangan Sayyid Qutb, seorang ideolog Ikhwanul Muslimin yang dihukum mati pada tahun 1966 karena ajarannya yang
19
Salahuddin Wahid., dalam Abduh Zulfidar Akaha., Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), hal. 46. 20 A.C. Manullang., Loc. cit., hal. 151. 21 Moch. Faisal Salam., Op. cit., hal. 6. 22 Azis., Avyanti., dan Harijanto., ”Sebuah Dialog Untuk Mengakhiri Mata Rantai Kekerasan: Cara Pandang Baru Tentang Terorisme”, Global Jurnal Politik Internasional, Vol. 5 No. 2, Mei 2003, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
memicu teror. Menurut Qutb adalah “perang bukanlah larangan dalam Islam dalam rangka memerangi semua orang musyrik”. 23 Pandangan Qutb ini menjadi semacam legitimasi bagi segelintir kaum Muslimin melakukan tindakan kekerasan, dimana bahwa Qutb juga mencela kaum yang mengaitkan jihad (berjuang atau berperang di jalan Allah) dengan tindakan defensif yaitu melawan apabila diserang. Pemikiran Qutb di atas, jika dikaitkan dengan perkembangan terorisme saat ini dapat terjawab bahwa sebelum teror terjadi, pelakunya tidak mendapat penyerangan, tidak ada penghinaan, tidak disakiti dan lain-lain, akan tetapi pelaku teror itu sendiri yang memulai dan menjadikan suasana menjadi kacau oleh aksi terorismenya. Pemikiran tersebut, membuat segelintir penganut Islam konservatif menaruh kebencian terhadap dunia barat khususnya Amerika Serikat. Inilah menurut Moch. Faisal Salam merupakan suatu kedangkalan pengetahuan tentang jihad dalam Islam. 24 Contoh yang dapat diberikan adalah seperti Asmar Latin Sani (peledakan bom di J.W. Marriot) lulusan Pesantren Nguruki telah memiliki semangat jihad sebelum bertemu dengan Noordin M. Top dan Dr. Azhari, demikian juga Heru Gulun (peledakan bom Kuningan) yang pernah mengikuti pelatihan Negara Islam Indonesia (NII) di Banten jauh sebelum berkenalan dengan Noordin M. Top dan Dr. Azhari. Setelah berjumpa dengan Noordin M. Top dan Dr. Azhari, mereka menganggab
23 24
Jeurgenmeyer., dalam Moch. Faisal Salam., Loc. cit., hal. 6. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bahwa cita-citanya untuk jihad akan tercapai. Hal ini disebabkan karena kedangkalan pemahaman mereka tentang arti jihad yang sebenarnya dalam Islam. 25 Terorisme telah mengalami perkembangan modus operandinya dimana para pelaku teror, telah mahir memanfaatkan Teknologi Informasi (TI). Dalam perkembangannya pelaku terorisme bahkan telah memanfaatkan teknologi melalui media internet sebagai sarana untuk menjalin komunikasi antar sesama teroris yakni situs www.anshar.net yang dibuat oleh Agung Setyadi, dosen salah satu perguruan tinggi di Semarang, dan M. Agung Prabowo Max Fiderman alias Kalingga alias Maxhaser, mahasiswa salah satu universitas di kota Semarang, dipakai untuk menyampaikan informasi terorisme atas pesanan Noordin M. Top sebagai media informasi perjuangannya. 26 Dampak kejahatan terorisme ini sangat besar, dimana teroris dapat memanfaatkan dan menggunakan perkembangan teknologi mutakhir yang sangat maju di bidang alat peralatan, komunikasi, transportasi, bahan peledak dan senjata dalam kegiatan operasinya maka dampak aksi terorisme berskala sangat besar, luas dan kompleks dalam bentuk kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan, baik yang berbentuk fisik maupun non fisik. Dampak yang ditimbulkan tindakan terorisme adalah: 27 1. Bidang politik, hukum, pemerintahan, antara lain: a. Gangguan terhadap kehidupan demokrasi; 25
Nasir Abas., Op. cit., hal. 108. Pengadilan Negeri Semarang dengan Perkara: 84/PID/B/2007 PN SMG.. 27 http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=12&mnorutisi=10, diakses tanggal 26 Desember 2010. 26
Universitas Sumatera Utara
2.
3.
4.
5.
6.
b. Hukum dan tata tertib terganggu; c. Roda Pemerintahan tidak berjalan lancar; d. Pada tahap tertentu isu terjadi vaccum of power; e. Suatu pemerintahan yang lemah bisa jatuh. Bidang ekonomi, antara lain: a. Gangguan terhadap mekanisme ekonomi: kegiatan produksi, distribusi barang dan jasa, harga saham jatuh; b. Investasi/penanaman modal menurun drastis; c. Kehancuran sarana prasarana ekonomi; d. Timbul pengangguran dalam jumlah besar. Bidang psikologi, antara lain: a. Timbul rasa takut dalam masyarakat; b. Akibat trauma, masyarakat bersikap apatis dan bereaksi tidak wajar. Bidang sosial, antara lain: a. Hubungan dalam masyarakat terganggu; b. Bisa menimbulkan perpecahan dalam masyarakat; c. Bisa menyebabkan terjadinya perubahan nilai dan pergeseran norma dalam masyarakat. Bidang keamanan, diantaranya: a. Kemanan dan ketertiban masyarakat terganggu; b. Ruang gerak anggota masyarakat terganggu. Bidang hubungan internasional, yaitu hubungan antar negara bisa terganggu. Dampak terorisme mencakup berbagai aspek kehidupan. Oleh sebab itu,
pemberantasan terorisme telah menjadi prioritas utama pemerintah dalam kebijakan politik dan keamanan secara global dan terorisme digolongkan kepada kejahatan luar buasa (extra ordinary crime) dan penangangannya pun harus dilakukan secara luar biasa pula. Oleh sebab, Pemerintah Indonesia bertekad melakukan perang melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah kebijakan dalam pemberantasan yang serius dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002, Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002. Landasan hukum tersebut di atas diikuti dengan penetapan Skep Menko Polkam Nomor Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang Pembentukan Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Hampir semua negara
Universitas Sumatera Utara
telah menaruh perhatian dan telah memberikan dukungan kongkrit dalam upaya pengungkapan para pelaku teror dan mengajukan para pelaku teror ke sidang pengadilan serta mengungkap jaringannya. Perubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 menjadi undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diperlukan karena tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime) dan dibutuhkan pula penanganan yang luar biasa (extraordinary measures). 28 DalamUUPTPT selain mengatur aspek materil juga diatur mengenai aspek formil. Sehingga, UUPTPT merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karenanya, negara Indonesia harus memberantas tindak pidana terorisme ini melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Kepolisian Republik Indonesia merupakan ujung tombak dalam memberantas pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia, menangkap pelaku, mencegah, melakukan penyelidikan dan penyidikan, bahkan menembak mati para pelaku teror, membentuk Tim Khusus yaitu Densus 88 Antiteror yang berada pada garis terdepan
28
T. Nasrullah., ”Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Makalah Disampaikan Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara”, diselenggarakan: Indonesia Police Watch bekerjasama dengan Polda Metropolitan Jakarta Raya, Selasa, 29 Maret 2007, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
memberantas
terorisme
tersebut.
Dapat
dipastikan,
peranan
Polri
untuk
pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut tidak terlepas dari tiga fungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dimana bahwa Polri harus melindungi masyarakat dari tindakn-tindakan yang mengancam jiwa warga negara Indonesia. Hal ini Polri melalui Densus 88 Antiteror harus berpedoman kepada undang-undang yang mendasari yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonsia (selanjutnya disebut UU Kepolisian). Memberantas pelaku terorisme di Indonesia, Polri mendapat pujian dari masyarakat dunia internasional dan bukan merupakan suatu rekayasa akan tetapi sesuai dengan bukti forensik hasil pengolahan Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang cermat dan penyidikan kriminal secara ilmiah (scientific crime investigation). Bahkan Polisi-Polisi asing datang ke Indonesia setidaknya menjadi saksi bahwa Polri bekerja secara profesional dengan standar internasional. 29 Tugas dan wewenang Polri sebagaimana ketentuan Pasal 13 UU Kepolisian, ditentukan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: 1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. Menegakkan hukum; dan 3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tindak pidana terorisme mengancam stabilitas keamanan masyarakat dan bahkan menjadi tolok ukur bagi negara-negara di dunia untuk menjalin hubungan
29
Wawan H. Purwanto., Kontroversi Seputar Hukuman Mati Amrozi Cs, (Jakarta: Cipta Mandiri Bangsa Press, 2008), hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
internasional dengan negara Indonesia apabila tindakan-tindakan teroris tersebut tidak segera dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Hal tersebut sangat erat kaitannya jika dikaitkan dengan fungsi Kepolisian Negara Indonesia dalam Pasal 2 UU Kepolisian disebutkan bahwa “fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Berdasarkan Pasal 2 UU Kepolisian tersebut, jelas bahwa tindakan terorisme mengancam NKRI dan Polri memiliki tugas dan fungsi serta wewenang memberantas dan menanggulangi terorisme berada pada garda terdepan. Tindak pidana terorisme umumnya memiliki jaringan terorganisir dan dilengkapi dengan persenjataan layaknya alat persenjataan yang dimiliki oleh TNI dan Polri. Apabila tindakan teroris seperti ini dihubungkan dengan peranan Polri merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Karena selain Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polri juga diberikan hak dan wewenang oleh Negara atas persenjataan lengkap untuk menjaga stabilitas keamanan di dalam negara Indonesia termasuk ancaman dari aksi-aksi teroris yang mengancam keselamatan jiwa warga negara Indonesia. 30 oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian tentang ”Peran Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, sebagai judul dalam penelitian ini.
30
Awaloedin Djamin., Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, dari Zaman Kuno Sampai Sekarang, (Jakarta: PTIK Press, 2006), hal. 493.
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga pokok permasalahan, yaitu: 1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana terorisme menurut Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme? 2. Bagaimanakah peran Polri dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana terorisme? 3. Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan bagaimana solusi mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan mendalami peranan Polri dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana terorisme. 2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan bagaimana
solusi
mengatasi
hambatan-hambatan
dalam
melakukan
pemberantasan tindak pidana terorisme. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam
memahami
dan
mendalami
permasalahan
hukum
khususnya
pemahaman tentang sejauhmana peranan Polri dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti selanjutannya serta dapat memperkaya khazanah
ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga
sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia; 2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum khususnya aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri), agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang peranan lembaga Kepolisian sebagai institusi yang diharapkan berada pada garda terdepan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Peranan Polri tersebut meliputi pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam praktik di lapangan. E. Keaslian Penulisan Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU. Hasil penelusuran ditemukan judul tesis: “Kedudukan Pembuktian Kode Wibe Site Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Oleh: Symon Morrys, NIM: 077005122, dengan topik pembahasannya adalah: Pertama,
Universitas Sumatera Utara
kedudukan alat bukti berupa informasi elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia, Kedua, kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana teorisme, Ketiga, kendala-kendala dalam pembuktian kode wibe site dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme. Judul penelitian di atas jika dibandingkan dengan judul dalam penelitian ini, jauh berbeda baik dari judul maupun dari permasalahan yang dibahas, dimana fokus pembahasan dalam penelitian ini dititikberatkan pada: “Peranan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme”. Oleh karena itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dapat dikatakan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis pihak lain. F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Pemberantasan tindak pidana terorisme melalui optimalisasi peranan Polri merupakan suatu kebijakan. 31 Oleh sebab itu, teori-teori mengenai kebijakan hukum pidana sangatlah relevan untuk dijadikan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana terorisme di Indonesia termasuk tindak pidana khusus, dimana bahwa pengaturannya berbeda dengan tindak pidana pada umumnya, terdapat hal-hal yang dikecualikan misalnya pidana mati bagi pelaku,
31
Ali Masyhar., Baya Indonesia Menghadang Terorisme, Op. cit., hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
pembuktian alat-alat bukti, bahkan Polri membentuk tim khusus pemberantasan tindak pidana terorisme yaitu Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Pemerintah Indonesia bertekad melakukan perang melawan terorisme dan mengambil kebijakan dalam pemberantasan dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002, Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002. Landasan hukum tersebut di atas diikuti dengan penetapan Skep Menko Polkam Nomor Kep26/Menko/Polkam/11/2002
tentang
Pembentukan
Koordinasi
Pemberantasan
Terorisme. Kemudian Perpu Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002 telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT). Pembentukan Densus 88 dan tekad pemerintah mengundangkan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut merupakan langkah-langkah atau kebijakan penanggulangan kejahatan terorisme. Menurut Amara Raksasataya, kebijakan (policy) adalah sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Taktik atau strategi menurut Andi Hamzah diartikan sebagai suatu metode, rencana untuk mencapai tujuan tertentu. 32 Penanggulangan kejahatan terorisme, diperlukan taktik atau strategi dan kebijakan tertentu untuk dapat memberantas
32
Andi Hamzah., Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 550.
Universitas Sumatera Utara
terorisme, setidaknya dapat mengurangi dan menghambat perkembangannya. Suatu kebijakan (policy) memuat tiga elemen penting yaitu: 33 1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai; 2. Taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan; dan 3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi. Kejahatan merupakan perilaku menyimpang yang akan senantiasa ada dan melekat pada setiap individu dalam masyarakat . 34 kejahatan senantiasa membayangi kehidupan manusia karena kejahatan tersebut merupakan masalah sosial dan akan tetap menjadi urusan manusia sepanjang masa. Sebagai masalah sosial, kejahatan merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang dinamis yang selalu tumbuh dan terkait dengan fenomena dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks. Oleh sebab itu, kejahatan harus ditanggulangi dan diberantas karena apabila tidak ditanggulangi dan diberantas, kejahatan tersebut dapat membawa akibat-akibat sebagai berikut: 35 1. Mengganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional; dan 2. Mencegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional. Upaya strategis yang dilakukan dalam penanggulangan dan pemberantasan kejahatan adalah upaya membuat kebijakan hukum. Meskipun senantiasa digunakan sebagai sarana untuk mengatur kehidupan sosial, namun satu hal yang menarik adalah 33
Amara Raksasataya., dalam M. Islam Irfany., Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 2002), hal 17-18. 34 Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 148. 35 Barda Nawawi Arief., Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
bahwa hukum itu selalu tertinggal di belakang obyek yang diaturnya. 36 Hukum dimaksud dalam arti hukum positif. Hukum selalu tertinggal jauh dibelakang obyek yang diaturnya, maka sangat diperlukan kebijakan membuat pengaturan-pengaturan baru/ulang dalam menanggulangi kejahatan. Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial, termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. 37 Sebagai masalah kebijakan secara politis, maka penggunaan hukum pidana untuk mengatasi masalah sosial tidak dapat dilakukan secara absolut. Tidak ada absolutisme dalam membuat kebijakan, karena pada hakikatnya, orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. 38 Karena memang politik hukum dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu politik hukum dan politik kriminal. Politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. 39 Politik hukum itu sendiri merupakan kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan dalam masyarakat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. 40 Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang lebih efektif dalam usaha penanggulangan dan
36
Satjipto Rahardjo., Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hal. 99. Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Op. cit., hal. 149. 38 Ibid. 39 Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., (Bandung: Alumni, 1981), hal. 159. 40 Soedarto., Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 93. 37
Universitas Sumatera Utara
pemberantasan kejahatan, 41 tidak hanya disesuaikan dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu, namun juga untuk masa-masa yang akan datang. 42 Soedarto, mendefinisikan kebijakan kriminal dalam tiga pengertian yaitu: 43 1. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari rekasi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 2. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara-cara dari pengadilan dan Polisi; dan 3. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk mengeakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Menurut Soedarto, kebijakan kriminal (politik kriminal) adalah usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan. 44 Kebijakan kriminal dapat diaplikasikan melalui dua jalur yaitu jalur penal dan nonpenal. 45 A. Mulder,
menyebutkan bahwa politik hukum pidana atau
strafrechtspoliiek adalah garis kebijakan untuk menentukan: 46 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui; 2. Apa yang perlu diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan 3. Dengan cara bagaimana penyidikan, penyelidikan, penuntutatan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilakukan.
41
Soedarto., Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 114. Soedarto., Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Loc. cit., hal. 93 43 Soedarto., Kapita Selekta Hukum Pidana, Op. cit., hal. 113-114. 44 Ibid. 45 G. Peter Hoefnagels., The Other Side Of Criminology, (Holland: Klower-Deventer, 1969), hal. 57. 46 A. Mulder., dalam Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 25-26. 42
Universitas Sumatera Utara
Definisi Mulder di atas bertolak dari Marc Ancel mengenai sistem hukum pidana yang menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: 47 1. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya; 2. Suatu prosedur hukum pidana; dan 3. Suatu mekanisme pelaksanaan hukum pidana. Barda, menyebutkan bahwa operasionalisasi dan fungsionalisasi dari kebijakan hukum pidana (penal policiy) dilaksanakan melalui tiga tahap pertama tahap kebijakan formulatif, yaitu penetapan atau perumusan hukum oleh badan pembuat undang-undang, atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto; kedua tahap kebijakan aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat pengak hukum mulai dari Kepolisian sampai kepada Pengadilan; ketiga tahap kebijakan eksekutif, yaitu pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksanaieksekusi pidana. 48 Keseluruhan proses tahap penegakan hukum pidana, maka tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling penting strategis dari keseluruhan kebijakan untuk mengoperasionalisasikan sanksi pidana. 49 Hal ini karena pada tahap legislasi inilah dirumuskan konsep atau asas yang menjadi garis besar dan dasar recana di
47
Ibid., hal. 26 Barda Nawawi Arief., Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 75. 49 Ibid. 48
Universitas Sumatera Utara
dalam penegakan hukum, 50 sekaligus menurut Barda, menjadi landasan legalitas bagi dua tahap berikutnya. 51 Kebijakan legislatif (formulatif) dalam penanggulangan kejahatan meliputi: 52 1. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan; 2. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapannya; dan 3. Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana. Barda, menyebutkan bahwa kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), berpusat pada dua masalah sentral yaitu masalah penentuan: 53 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau digunakan kepada si pelanggar. Membicarakan teori-teori mengenai kebijakan kriminal khususnya melalui upaya penal, dengan sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi, yang mengatur baik ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum (actus reus), pertanggungjawaban pidana (mens rea), maupun sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment). 54 Soedarto, menyebutkan
50
Nyoman Serikat Putra Jaya., Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2001), hal. 49. 51 Barda Nawawi Arief., Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Op. cit., hal. 3. 52 Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 158. 53 Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 29. 54 Muladi., “Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional: Strategi Penanggulangan Kejahatan Dalam Bidang Telematika Diselenggarakan oleh Universias Semarang Bekerjsa Sama Dengan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan RI, Semarang Tanggal 23 Juli 2002, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
bahwa ada 4 (empat) hal yang harus diperhatikan sebelum memberi ancaman pidana (kriminalisasi) tersebut yaitu: 55 1. Tujuan hukum pidana; 2. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki; 3. Perbandingan antara sarana dan hasil; dan 4. Kemampuan badan-badan penegak hukum. Penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana merupakan suatu kebijakan, maka upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan kebijakan tersebut mengandung arti adanya keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial melalui upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan nonpenal. Soedarto, menekankan bahwa apabila hukum pidana digunakan, perlu dilihat berdasarkan politik kriminalnya sebagai bagian terintegral dari rencana pembangunan nasional. 56 Menurut Barda, hukum pidana memiliki keterbatasan dalam menanggulangi kejahatan, misalnya sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal tidak bersifat struktural/fungsional, keterbatasan jenis sanksi pidana, sarana pendukung yang bervariasi menuntut biaya tinggi, dan lain-lain. 57 Karena keterbatasan hukum pidana tersebut, maka dalam rangka penanggulangannya secara terpadu, pendekatan penal bukanlah satu-satunya pendekatan yang dapat dipakai
55
Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., Op. cit., hal. 44-48. Ibid., hal. 104. 57 Barda Nawawi Arief., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 46-47. 56
Universitas Sumatera Utara
untuk
menanggulangi
kejahatan.
G.P.
Hoefnagels,
mengatakan
upaya
penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan: 58 1. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan melalui media massa; 2. Penerapan hukum pidana; dan 3. Pencegahan tanpa pidana. Pendekatan kebijakan secara non penal sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan saran lain selain hukum pidana. Dikategorikan dalam pendekatan non penal ini adalah pendidikan, pengajian atau kerohaniaan, dan lainlain yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan melalui penal lebih menitikberatkan pada sifat pemberantasan (repressive) sedangkan non penal lebih menitikberatkan pencegahan atau penangkalan (preventive). 59 Upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan dengan cara non penal merupakan penanggulangan yang bersifat mendasar. Karena pencegahan atau penanggulangan terhadap kejahatan tidak menjadi optimal dan tidak menyelesaikan akar masalah, apabila tanpa diiringi dengan menghapus hal-hal yang menjadi penyebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan, namun hal ini bukan berarti upaya penal tidak penting dapat dikesampingkan begitu saja.
58 59
G.P. Hoefnagels., dalam Ali Masyhar., Op. cit., hal. 28. Ibid., hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
Upaya penal merupakan sarana sangat vital dalam proses penegakan hukum (law inforcement) dalam menanggulangi kejahatan. Muladi dan Barda menyebutkan bahwa, ”Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat pidana tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat”. 60 Penggunaan jalur penal seharusnya hanya sebagai alternatif terakhir setelah alternatif-alternatif lain telah ditempuh. Hal ini berarti bahwa setelah upaya preventif/pencegahan (nonpenal) tidak berhasil maka tumpuan terakhir atau social defence adalah hukum pidana. Menurut Muladi, jenis-jenis tindakan pencegahan tindak pidana tersebut dapat berupa: 61 1. Pencegahan primer, yaitu diarahkan kepada masyarakat sebagai korban potensial maupun kepada para pelaku kejahatan yang masih belum tertangkap atau pelaku masih potensial. Kegiatan dalam hal ini dapat berupa penyehatan mental masyarakat yang bersifat abstrak dan dapat pula bersifat fisik serta teknologis; 2. Pencegahan sekunder, yaitu tindakan diarahkan kepada kelompok pelaku atau pelaku potensial atau sekelompok korban potensial tertentu. Sebagai contoh dalam kaitannya dengan korban kejahatan perampokan nasabah bank, kejahatan perbankan, kejahatan pencurian kenderaan bermotor, dan lain-lain. Dalam hal ini bentuk-bentuk prevensi baik abstrak seperti penamaan etika profesi bagi tenaga-tenaga profesional maupun fisik dan teknologis juga dapat dilakukan; dan 3. Pencegahan tertier, pencegahan diarahkan kepada jenis pelaku tindak pidana tertentu dan juga korban tindak pidana tertentu, misalnya pelaku residivis, pelaku kejahatan yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime) yang memakan banayk korban jiwa, dan lain-lain.
60
Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Op. cit., hal. 92. Muladi., Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Undip, 2002), hal. 100. 61
Universitas Sumatera Utara
Jenis pencegahan dalam bentuk lain, dapat pula dirumuskan sebagai berikut: Pencegahan individual, yaitu bentuknya antara lain dapat membuat alarm keenderaan, alarm rumah, pengawal pribadi, dan lain-lain; dan Pencegahan masyarakat, dapat berupa siskamling, siskamtibmas swakarsa sebagaimana dikembangkan oleh Polri, dan lain-lain. Pendekatan kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, maka pendekatan kebijakan non penal merupakan pendekatan kebijakan yang mendasar, karena diorientasikan pada upaya penanggulangan faktor-faktor kondusif penyebab kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan itu sendiri. 62 Faktor-faktor
kondusif
yang
menimbulkan
kejahatan
oleh
Kongres
Perserikatan Bangsa-Bangsa (Kongres PBB) ke-8 dalam dokumen A/CONF.144/L.3 mengidentifikasikannya sebagai berikut: 63 1. Kemiskinan, pengangguran, buta huruf (kebodohan), ketiadaaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi; 2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimbanganketimbangan sosial; 3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga; 4. Keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; 5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan; 62 63
Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 42. Ibid., hal. 45-46.
Universitas Sumatera Utara
6. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga; 7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan kelaurga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya; 8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas; 9. Meluasnya kativitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius, dan penadahan barang-barang curian; 10. Dorongan-dorongan khususnya medua massa mengenai ide-ide dan sikapsikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikapsikap yang tidak toleran. Faktor-faktor kondusif tersebut tidak dapat semata-mata diatasi dengan kebijakan penal (kebijakan kriminal dengan jalur penal), oleh karena itu harus ditunjang dengan kebijakan nonpenal. Upaya non penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat (secara material dan immaterial) dari faktor-faktor kriminogen (faktor-faktor yang mendorong timbulnya tindak pidana). Hal ini berarti, masyarakat dengan sejumlah potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor ”anti kriminogen” yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik kriminal. 64 Kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, nampaknya jalur penal menjadi pilihan utama dari pengambil kebijakan. Jalur penal merupakan langkah maju bila dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya, tetapi jalur penal memiliki keterbatasan, lebih-lebih dalam menghadapi tindak pidana terorisme yang
64
Ibid., hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
notabene merupakan transnational organized crime. Oleh sebab itu, harus ditunjang dengan kebijakan non penal misalnya pendidikan, economic prevention, pendekatan moral, social walfare, dan sebagainya. Berdasarkan sisi sosial makro, maka terorisme muncul justru bersamaan dengan gencarnya isu-isu pembangunan. Jauh sebelum Kongres PBB mengenai The prevention of crime and the treatment of offenders dalam laporannya Sixth UN Congress 1981. 65 Mensinyalir bahwa pembangunan itu sendiri dapat bersifat kriminogen apabila pembangunan itu: pertama, tidak direncanakan secara rasional atau direncenakan secara timpang, tidak memadai/tidak seimbang; kedua, mengebaikan nilai-nilai kultural dan moral; dan ketiga, tindak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang menyeluruh atau tidak terintegral. 2. Landasan Konsepsional Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berkut: 1. Terorisme adalah perwujudan dari sifat perbuatan dalam penggunaan atau upaya kekerasan untuk mengintimidasi atau menyebabkan kepanikan masyarakat dan pemerintah dan mengakibatkan dampak politik. 66
65
Ibid., hal. 47. Bryan A. Graner., Black’s Law Dictionary Eighth Edition, (diterjemahkan oleh Ahmad Zakaria UI 2007), (St. Paul: West Thomson, 2004), hal. 15. 66
Universitas Sumatera Utara
2. Tindak pidana terorisme adalah segala bentuk perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 67 3. Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan barang siapa yang melanggar peraturan-peraturan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. 68 4. Kebijakan hukum pidana adalah suatu upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana dengan memadukan antara politik kriminal dan politik sosial melalui upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan nonpenal. 69 5. Peranan adalah serangkaian tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi tertentu. 70 6. Peranan Kepolisian adalah serangkaian tindakan oleh aparat Kepolisian (Polisi) Republik Indonesia sesuai dengan fungsi dan wewenangnya sebagai institusi negara dalam bidang keamanan dan penegakan hukum berdasarkan undang-undang. 71
67
Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT). 68 Andi Hamzah., Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 53. 69 Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., Loc. cit. 70 Indria Samego., Reformasi Berkelanjutan: Institusi Kepolisian Republik Indonesia, Bidang Sumber Daya Manusia, Kemitraan, (Jakarta: LMUI dan Kepolisian Negara RI, 2006), hal. 7. 71 Sanoesi., Almanak Kepolisian Republik Indonesia, Berdasarkan Kadislitbang Polri No. Pol. B/394/IX/Dislitbang, (Jakarta: PT. Dutarindo ADV, 1987), hal. 342.
Universitas Sumatera Utara
7. Pemberantasan adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan melalui penal dan lebih menitikberatkan pada sifat membasmi, memusnahkan, mematikan, membunuh, menghapus, mempunahkan suatu peristiwa tindak pidana yang sudah terjadi dengan kata lain yakni pemberantasan bersifat repressive. 72 G. Metode Penelitian Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. 73 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. 74 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya. 75 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu. 1. Jenis dan Sifat Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum
72
Ali Masyhar., Op. cit., hal. 28. Soerjono Soekanto., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106. 74 Soerjono Soekanto., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1. 75 Bambang Waluyo., Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6. 73
Universitas Sumatera Utara
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan atau disebut juga sebagai penelitian doktrinal. 76 Alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif ini adalah pertama, didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan; 77 kedua, data yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir; ketiga, sifat dasar dari data yang dianalisis bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic), dimana hal itu menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam (indepth information). 78 Berdasarkan ketiga alasan penggunaan penelitian hukum normatif di atas, maka dalam penelitian ini, alasan yang digunakan adalah alasan yang petama yakni didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.
76
Bismar Nasution., ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1, penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. Penelitian hukum normatif ini bersifat kualitatif. 77 Ibid., hal. 38. 78 Ibid., hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek yang ditelaah dalam penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, karya ilmiah, makalah dan karya lainnya. Data pokok dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi: 1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme (UUPTPT) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia; 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah hasil-hasil seminar atau hasil pertemuan ilmiah lainnya, majalah dan jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar, majalah mingguan, dan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan dalam penelitian ini; 79 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum (ensiklopedia) dan kamus hukum.
79
Ronny Hanitijo Soemitro., Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982),
hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data atau kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam UUPTPT yang mengandung
kaedah-kaedah
hukum
yang
kemudian
dihubungkan
dengan
permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. 80 4. Analisis Data Analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang relevan dengan permasalahan. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deduktif, untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.
80
Bambang Sunggono., Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.
Universitas Sumatera Utara
H. Jadwal Penelitian Waktu yang diperlukan melakukan penelitian ini adalah 8 (delapan) bulan, yaitu dari bulan Nopember 2010 sampai dengan Juni 2011, dengan jadwal sebagaimana tabel sebagai berikut: Uraian
Nop
Des
Pengajuan judul
akhir
awal
Persiapan bahan Pengajuan konsep proposal
teng
Jan
Feb
Kolokium
akhir
Pengajuan konsep tesis
teng
awal
Mei
Jun
akhir teng
tesis
Apr
awal
Bimbingan
Pembuatan/bimbingan
Mar
teng
Seminar hasil penelitian
awal
Ujian tesis/meja hijau
teng
Universitas Sumatera Utara