BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa tujuan dari dibentuknya negara Indonesia adalah: “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..”.1 Wilayah Indonesia yang sangat luas, dan berbagai macam suku dengan keberagaman budaya, menjadi tantangan yang dihadapi oleh para pemegang kekuasaan untuk mewujudkan tujuan negara tersebut. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan, wilayah Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi menjadi daerah kabupaten dan kota, yang masingmasing daerah itu memiliki pemerintahan daerah.2 Pada masing-masing pemerintahan diberikan hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.3 Pemberian kewenangan ini dimaksudkan untuk terwujudnya tujuan negara secara merata pada setiap daerah di Indonesia. Pada masa kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, pelaksanaan sistem pemerintahan daerah mengalami perubahan. Hal ini disertai dengan beberapa kali 1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan alinea keempat. 2 Ibid., Pasal 18 ayat (1). 3 Ibid., Pasal 18 ayat (2).
1
2
pergantian undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Diawali dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah hingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang. Selama itu, sistem pemerintahan daerah yang dianut oleh Indonesia pada prinsipnya adalah memberikan otonomi kepada daerah untuk menjalankan pemerintahannya sendiri, tetapi dikarenakan model kepemimpinan yang berganti maka hal tersebut mempengaruhi pula penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dianut. Sebagaimana digambarkan oleh Syaukani melalui tabel di bawah ini:4 Periodisasi Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949) Pasca Kemerdekaan (1950-1959) Demokrasi Terpimpin (19591965) Orde Baru (19651998) Pasca Orde Baru (1998-sekarang)
Konfigurasi Politik Demokrasi
UU Otonomi UU No. 1 Tahun 1945 UU No. 22 Tahun 1948
Pelaksanaan Otonomi Luas
Demokrasi
UU No. 1 Tahun 1957
Otonomi Luas
Otoritarian
Penpres No. 6 Tahun 1959 UU No. 18 Tahun 1965
Otonomi Terbatas
Otoritarian
UU No. 5 Tahun 1974
Sentralisasi
Demokrasi
UU No. 22 Tahun 1999 UU No. 32 Tahun 2004
Otonomi Luas
Salah satu yang menjadi pusat perhatian dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia adalah penyelenggaraan otonomi daerah pada masa orde baru yang 4
Syaukani, et. al., 2005, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Cet. Ke-4, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 118.
3
dilaksanakan secara sentralistik. Artinya, penyelenggaraan otonomi daerah pada masa orde baru pemerintah pusat yang memegang kendali atas penyelenggaraan pemerintah daerah sehingga mengakibatkan timbulnya ketimpangan dalam pembangunan di daerah. Dengan kata lain, rezim orde baru mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat, bukan daerah.5 Daerah yang kaya akan sumber daya alam, ditarik keuntungan produksinya dan dibagi-bagi di antara elite penguasa, alih-alih diinvestasikan untuk pembangunan daerah. Akibatnya, pembangunan antara di daerah dengan di pusat pemerintahan menjadi timpang. B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden pasca-orde baru membuat kebijakan politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan terbitnya undangundang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti Aceh, Riau dan Papua menuntut merdeka dan ingin berpisah dari Indonesia.6 Pada masa awal reformasi, selain adanya keinginan sebagian daerah untuk memisahkan diri dari Indonesia, juga bermunculan aspirasi dari berbagai daerah yang menginginkan dilakukannya pemekaran provinsi maupun kabupaten. Dalam upaya pembentukan provinsi dan kabupaten baru ini, tarik-menarik antara kelompok yang setuju dan tidak setuju terhadap pemekaran daerah sebagai akibat 5
Michael Malley, 2001, Daerah, Sentralisasi dan Perlawanan” dalam Donald K. Emmerson (ed.), Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, PT Gramedia, Jakarta, hlm. 122-181. 6 Budi Agustono, 2005, “Otonomi Daerah dan Dinamika Politik Lokal: Studi Kasus di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara” dalam Jamil Gunawan ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal, LP3ES, Jakarta, hlm.163.
4
dari otonomi daerah meningkatkan suhu politik lokal.7 Indikasi ini tercermin dari munculnya ancaman dari masing-masing kelompok yang berada di luar pemerintahan terhadap terbentuknya daerah baru, mobilisasi massa dengan sentimen kesukuan, bahkan sampai ancaman pembunuhan.8 Aspirasi dan keinginan masyarakat untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah semakin membara dengan banyaknya pemekaran daerah baru baik di tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota dengan berbagai macam alasan antara lain untuk mendekatkan pelayanan, sejarah wilayah, kebudayaan, ekonomi, anggaran pemerintah, hingga alasan keadilan.9 Demokrasi merupakan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.10 Adanya keterlibatan masyarakat dalam mendorong pembentukan daerah baru itu merupakan gambaran pelaksanaan prinsip demokrasi karena pembentukan daerah merupakan salah satu cara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui prinsip desentralisasi. Oleh karena itu, pelaksanaan prinsip demokrasi tidak hanya dimaknai dalam pemilihan umum, baik pemilihan kepala daerah, perwakilan rakyat di DPRD, DPR dan DPD, serta Presiden dan wakil presiden, tetapi juga dalam pengambilan suatu kebijakan, termasuk dalam pembentukan daerah otonom baru.11 Pembentukan daerah otonom baru selanjutnya diatur oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan 7
Ibid., hlm. 164. Ibid., hlm.165. 9 Ibid., hlm. 55. 10 Siswanto Sunarno, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet. Ke- 3, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 10. 11 Tri Ratnawati, 2009, Pemekaran Daerah; Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 7. 8
5
Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Pada tahun 2004 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dianggap sudah tidak relevan lagi sehingga undang-undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pengaturan mengenai pembentukan daerah otonom baru tidak serta merta diubah. Pada tahun 2007, Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Selama diberlakukannya undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri jumlah daerah otonom baru sejak tahun 1999 hingga tahun 2009 berjumlah 205 daerah otonom baru yang terdiri atas 7 (tujuh) provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota.12 Pada tahun 2014, jumlah daerah otonom bertambah 12 daerah otonom baru yakni 1 (satu) provinsi, 11 kabupaten. Sehingga daerah otonom di Indonesia berjumlah 542, yang terdiri atas 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.13 Namun, jumlah daerah otonom tersebut masih mungkin bertambah.14
12
Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Daftar Daerah Otonom Baru Tahun 1999-2009, Juni 2009, http://www.kemendagri.go.id, diakses 10 November 2014, pukul: 20.10 WIB. 13 “Daerah Otonom (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) di Indonesia Per Desember 2014”, http://www.otda.kemendagri.go.id/images/file/data2014/file_konten/jumlah_daerah_otonom_ri.pd f, diakses pada 9 Januari 2014, pukul: 22.00 WIB. 14 Pada masa rapat paripurna DPR tahun 2004-2009 diketahui ada 65 calon daerah otonom baru yang disetujui oleh DPR dan kemudian diusulkan kepada Pemerintah, ditambah dengan 22 usulan pembentukan daerah otonom baru yang belum dibahas oleh DPR dan Pemerintah.. “Aspirasi Pemekaran Mengalir Lagi, Kementerian masih godok PP”,
6
Selama 15 tahun pelaksanaan otonomi daerah masih dirasa belum mewujudkan kesejahteraan rakyat secara merata walaupun pertumbuhan jumlah daerah otonom sangat pesat, sehingga menjadi salah satu fokus pergantian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.15 Dalam Naskah Akademik yang disusun oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia pada tahun 2011 diketahui bahwa pembentukan dan penataan daerah menjadi isu strategis dalam perbaikan undang-undang tersebut. Hal ini kemudian menjadi bagian dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Apabila dicermati, syarat dan mekanisme pembentukan daerah otonom baru, mengalami perubahan pada setiap pergantian undang-undang tentang pemerintahan daerah. Salah satu perubahannya ialah pengaturan mengenai bukti keinginan dari pemerintah daerah dan masyarakat daerah untuk menjadi cakupan wilayah daerah otonom baru. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, disebutkan pada Pasal 16 huruf a bahwa pembentukan atau pemekaran daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota, harus didasari kemauan politik dari pemerintahan daerah dan masyarakat yang bersangkutan.16
http://www.jpnn.com/read/2014/12/13/275262/Aspirasi-Pemekaran-Mengalir-Lagi,-KemendagriMasih-Godok-PP-#, diakses pada 10 Januari 2015, pukul: 19.00 WIB. 15 Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, 2011. Naskah Akademik RUU tentang Pemerintahan Daerah, hlm. 54. 16 Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 233. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4036), Pasal 16 huruf a.
7
Selanjutnya diuraikan dalam penjelasan pasal tersebut bahwa yang dimaksud dengan adanya kemauan politik tersebut adalah : “..adanya pernyataan-pernyataan masyarakat melalui. LSM-LSM, Organisasi-organisasi politik dan lain-lain, pemyataan Gubernur, Bupati/Walikota yang bersangkutan, yang selanjutnya dituangkan secara resmi dalam bentuk persetujuan tertulis baik melalui Kepala Daerah dan DPRD yang bersangkutan.”17 Pernyataan-pernyataan masyarakat yang dimaksud dalam penjelasan itu kemudian diuraikan secara terperinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, sebagai syarat administratif pembentukan daerah. Syarat administratif untuk pembentukan provinsi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) adalah sebagai berikut: a. Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; b. Keputusan bupat/walikota ditetapkan denagan keputusan bersama bupati/walikota wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; c. Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; d. Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; dan e. Rekomendasi menteri.18 Syarat administratif pembentukan kabupaten/kota diatur dalam Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut: a. Keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan, pembentukan calon kabupatan/kota; b. Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota; c. Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;
17
Ibid., Penjelasan Pasal 16 huruf a. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4791), Pasal 5 ayat (1). 18
8
d. Keputusan gubernur kabupaten/kota; dan e. Rekomendasi menteri.19
tentang
persetujuan
pembentukan
calon
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah menegaskan bahwa pemenuhan persyaratan administratif harus berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sebagaimana bunyi Pasal 5 ayat (3), bahwa “Keputusan DPRD kabupaten /kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a diproses berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat”20. Penjelasan Pasal 5 ayat (3) menguraikan lebih lanjut yang dimaksud dengan “aspirasi sebagaian besar masyarakat setempat adalah: “...aspirasi yang disampaikan secara tertulis yang dituangkan ke dalam Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang dimekarkan. Keputusan tersebut ditanda-tangani oleh Ketua BPD dan Ketua Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain. Jumlah Keputusan Badan Permusyawaratan Desa atau nama lain dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain tersebut harus mencapai lebih 2/3 (dua pertiga)jumlah badan atau forum tersebut yang ada dimasing-masing wilayah yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi atau kabupaten/kota. Keputusan Badan Permusyawaratan Desa atau nama lain dan Keputusan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain adalah sebagai lampiran yang merupakan satu kesatuan dari keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi atau kabupaten/kota”21 Selanjutnya pada Pasal 5 ayat (4) menyebutkan bahwa: “Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang dituangkan dalam keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)”22
19
Ibid., Pasal 5 ayat (2). Ibid., Pasal 5 ayat (3). 21 Ibid., Penjelasan Pasal 5 ayat (3). 22 Ibid., Pasal 5 ayat (4). 20
9
Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat itu merupakan tahapan awal dalam tata cara pembentukan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga apabila tidak terpenuhinya bukti aspirasi dari masyarakat setempat ini maka proses pembentukan daerah otonom baru tidak dapat dilakukan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pembentukan daerah otonom baru merupakan bagian dari penataan daerah sebagai bentuk pelaksanaan desentralisasi.23 Melalui undang-undang tersebut adanya perubahan mekanisme dalam pembentukan daerah otonom baru yang bersifat limitatif24. Perubahan yang dimaksud diantaranya ialah adanya tahapan yang disebut Daerah Persiapan dalam proses pemekaran daerah. 25 Pada pengajuan usulan daerah persiapan ini dilakukan oleh Gubernur kepada Pemerintah Pusat, DPR, atau DPD.26 Pengajuan usulan ini dapat diajukan apabila telah memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif.27 Persyaratan dasar kewilayahan terdiri atas: a. b. c. d.
23
Luas wilayah minimal; Jumlah penduduk minimal; Batas wilayah; Cakupan wilayah;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588), Pasal 31 ayat (3). 24 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengakomodir peraturan pelaksana dari kedua undang-undang sebelum nya. Sehingga UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 dapat dikatakan sebagai undang-undang yang limitatif atau terperinci. 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588), Pasal 33 ayat (2). 26 Ibid., Pasal 38 ayat (1). 27 Ibid., Pasal 38 ayat (2).
10
e. Batas usia minimal daerah provinsi, daerah kabupaten/kota dan kecamatan.28 Persyaratan administratif pembentukan provinsi dengan pembentukan kabupaten atau kota memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah persyaratan administratif pembentukan daerah persiapan adalah: a. Untuk Daerah provinsi meliputi: 1. Persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan bupati/wali kota yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah Persiapan provinsi; dan 2. Persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur Daerah provinsi Induk. b. Untuk Daerah kabupaten/kota meliputi: 1. Keputusan musyawarah Desa yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah kabupaten/kota; 2. Persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/ wali kota Derah induk; dan 3. Persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari Daerah provinsi yang mencakupi Daerah Persiapan kabupaten/kota yang akan dibentuk.29 Dari konstruksi pasal tersebut diketahui bahwa perbedaan yang dimaksud adalah adanya surat keputusan musyawarah desa yang akan menjadi cakupan wilayah daerah kabupaten atau kota, sedangkan pada persyaratan administratif daerah provinsi tidak ada. Ketentuan ini sangat berbeda dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Pengahapusan dan Penggabungan Daerah yang mensyaratkan adanya aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang dibuktikan dengan bentuk Keputusan Badan Perwakilan Desa (BPD) untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan
28 29
Ibid., Pasal 34 ayat (3). Ibid., Pasal 37.
11
atau nama lain untuk kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten atau kota yang akan dimekarkan.30 Persyaratan administratif ini merupakan bukti atas adanya aspirasi sebagian besar masyarakat setempat untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah. Hal tersebut dilaksanakan sebagai proses demokratisasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah secara bottom up maupun top down, sehingga jelaslah bahwa peran serta masyarakat merupakan faktor utama dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Apabila
penyelenggaraan
dicermati
otonomi
pemerintah
daerah
daerah tidak
menegaskan bisa
berjalan
bahwa
dalam
sendiri
tanpa
memperhatikan kondisi masyarakat setempat. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang diteliti adalah: 1. Apakah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah lebih mengakomodir prinsip partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan provinsi melalui pemekaran dibandingkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah? 2. Mengapa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak mensyaratkan adanya keputusan musyawarah desa yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi pada persyaratan administratif pembentukan provinsi. 30
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4791), Pasal 14.
12
C. Tujuan penelitian 1. Mengetahui dan memahami ruang lingkup prinsip partisipasi masyarakat dalam pembentukan provinsi melalui pemekaran dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dibandingkan dengan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan 2. Mengetahui dan memahami mengenai latar belakang adanya perbedaan persyaratan administratif dalam pembentukan provinsi dengan persyaratan administratif dalam pembentukan kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang hendak diperoleh dari hasil penelitian ini terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis, sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis yang diharapkan adalah memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya, dan khususnya hukum pemerintahan daerah terkait muatan prinsip partisipasi masyarakat dalam Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah; 2. Manfaat praktis yang diharapkan adalah dapat memberikan kontribusi pemahaman dalam proses pembentukan provinsi melalui pemekaran daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan memberikan kontribusi pemikiran dalam Peraturan Pemerintah terkait dengan proses pemekaran daerah.
13
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dibuat berdasarkan perubahan prosedur pemekaran daerah terkait dengan unsur keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan daerah dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah diubah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan prosedur ini mulai berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 2 Oktober 2014, sehingga penelitian ini merupakan penelitian yang baru dan belum ada yang meneliti sebelumnya.