26
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI ACADEMIC DISHONESTY DAN SELF EFFICACY DENGAN PERILAKU ACADEMIC DISHONESTY PADA MAHASISWA (Studi pada Mahasiswa Psikologi di Kotamadya Surakarta)
Adnan Ashari, Tuti Hardjajani, Nugraha Arif Karyanta Program Studi Psikologi FK UNS
ABSTRACT Using self-administrated survey method among undergraduate student majoring Psychology in City of Surakarta, we measure empirically the relationship between perceived academic dishonesty, self-efficacy, and academic dishonesty behavior. Peceived academic dishonesty scale, general self-efficacy (GSE) scale, and selfreported academic dishonesty behavior questionare were used in this research. Rusult of Pearson-correlation test found that there is negative correlation between perceived academic dishonesty and academic dishonesty behavior with strong relationship was indicated by correlation coefficient at -0,553. There is negative correlation between self-efficacy and academic dishonesty behavior with weak relationship was indicated by correlation coefficient only at -0,060. Exciting other findings is that all participant (100%) report that they were do the academic dishonesty in varied model and frequencies. This research also find that there is significant difference academic dishonesty behavior between male and female student, where academic dishonesty more frequently do by male student. Then, there is no significant difference academic dishonesty behavior between early level student and end level student. Last but not least, there is no relationship between Grade Passing Academic (GPA) and academic dishonesty behavior, keywords: academic dishonesty perceipt, self-efficacy, and academic dishonesty behavior. A. Latar Belakang Masalah Proses pendidikan merupakan sebuah upaya untuk memfasilitasi aktivitas transfer ilmu, nilai-nilai, keyakinan, serta pembentukan karakter. Proses pendidikan yang dijalani, diharapkan dapat melahirkan individu-individu yang memiliki ilmu pengetahuan dan kompetensi pada bidang dan taraf tertentu dan diharapkan pula dapat menyelesaikan problem yang ada. Satu hal yang tak kalah penting bahwa individu tersebut diharap mampu menjadi sosok yang bijaksana dengan keilmuannya, serta senantiasa mampu melanjutkan proses belajarnya sepanjang rentang waktu kehidupannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Eric Hoffer (dalam nn, 2005) yang mengungkapkan bahwa:
26
27
‘The central task of education is to implant a will and facility for learning; it should produce not learned but learning people. The truly human society is a learning society, where grandparents, parents, and children are students together’. Saat ini banyak siswa didik, orang tua siswa didik, maupun pendidik yang mengalami disorientasi akan makna, hakikat, dan tujuan yang sebenarnya dari proses pendidikan. Hal ini membuat sebagian besar siswa didik berpikir bahwa sekolah yang ditempuh, tugas-tugas akademis yang diberikan, adalah ditujukan sekadar untuk meraih nilai saja. Padahal di balik proses pendidikan, penugasan, dan segenap aktivitas pendidikan lainnya terkandung maksud yang dalam, yang akan memberikan perubahan bagi siswa didik itu sendiri dan bukan sekadar memberikan nilai kuantitatif semata. Disorientasi ini berakibat fatal. Siswa didik cenderung mencari jalan pintas dan berani menerabas aturanaturan akademis yang ada demi mengejar nilai yang tinggi. Satu yang orang tua tahu dan inginkan adalah anak mendapat nilai yang tinggi. Koentjaraningrat (dalam Akung, 2005) beberapa dekade silam telah mensinyalir kecenderungan mentalitas menerabas yang menghinggapi masyarakat modern. Diksi ini barangkali akan sangat tepat untuk menggambarkan terjadinya disorientasi ini, yang berakibat pada menurunnya kualitas ilmu dan kompetensi lulusan pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi kita. Mentalitas menerabas merupakan sebuah kecenderungan yang menghinggapi masyarakat kita untuk mencari jalan pintas dengan perjuangan dan pengorbanan yang seminimal mungkin guna mencapai target yang diinginkannya (Akung, 2005). Pada masa sekarang ini, jamak dijumpai secara luas sebuah fenomena yang menyedihkan di dunia pendidikan, yaitu perilaku academic dishonesty (kecurangan dalam dunia akademis). Lambert, Hogan, dan Barton (2003) mengungkapkan bahwa academic dishonesty merupakan ancaman serius bagi sebagian besar perguruan tinggi yang dapat menggagalkan tujuan pendidikan tinggi dan proses pencarian ilmu. Dalam dunia pendidikan tinggi, berbagai laporan secara konsisten mendukung temuan bahwa sejumlah besar mahasiswa terlibat perilaku curang dalam kegiatan akademis (Austin, Collins, Remillard, Kelcher dan Chuia, 2006). Perilaku academic dishonesty menunjukkan kecenderungan peningkatan secara tajam, yang tersebar luas di berbagai tempat, sebagaimana yang diungkapkan dalam berbagai penelitian yang dilakukan oleh McCabe (2000), Ercegovac dan Richardson (2004), Harding, dkk. (2001), serta Rabi, dkk. (2006). 27
28
Bahkan Adkins, Kenkel, dan Lim (2006) mengistilahkan kecurangan akademis sebagai wabah di kampus. Berbagai perilaku yang dikategorikan dalam perilaku academic dishonesty tersebut di antaranya menyontek (cheating), menjiplak (plagiarism), pemalsuan data (fabrication), dan sabotase tugas orang lain. Menyontek dijumpai ketika para siswa mengerjakan ujian, menjiplak terlihat dalam pengerjaan tugas-tugas rumah, dan pemalsuan data dapat kita temui dalam kegiatan penelitian. Berbagai perilaku curang ini dapat dijumpai dengan kuantitas dan frekuensi yang lebih besar pada pendidikan di Perguruan Tinggi (McCabe, 2000). Peningkatan sebaran perilaku curang dalam dunia akademis dapat dilihat dalam tabel 1. Tabel 1 Dinamika Angka Perilaku Academic Dishonesty Berdasar Temuan Riset TEMUAN RISET
PENELITI
TAHUN (ANGKA PERILAKU ACADEMIC DISHONOESTY)
Drake
1941
23 %
Goldsen, Rosenberg,
1952
38%
William, dan Suchman
1960
49%
1964
64%
Baird
1980
76%
Stern & Havlicek
1986
82%
Hetherington dan Feldman
(diringkas dari rilis berbagai riset dalam laporan Bjorklund & Wenestam, 2000) Dari tabel di atas, tampak jelas bahwa kecurangan akademis merupakan suatu epidemic, yang angkanya terus meningkat dari waktu ke waktu dan menyebar secara luas. Petress (2003) mengungkapkan bahwa penjiplakan adalah pencurian intelektual, sama hinanya dengan pencurian terhadap mobil, uang, atau perhiasan Kenyataan saat ini menunjukkan di mana pencurian intelektual dianggap tidak sama nilainya dengan pencurian bentuk lainnya, demikian pula dengan berbagai bentuk kecurangan akademis 28
29
lainnya masih dianggap remeh. Lebih lanjut Petress mengatakan, menyontek adalah suatu bentuk pola pikir, yang berkembang laksana penyakit kanker. Ketika seorang siswa ’berhasil’ menyontek, hal ini akan memicu tindakan menyontek pada teman-temannya yang lain. Alhadza (2005) mengungkapkan bahwa menyontek (cheating) adalah salah satu fenomena pendidikan yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari-hari, tetapi jarang mendapat pembahasan dalam wacana pendidikan kita di Indonesia. Kurangnya pembahasan mengenai cheating mungkin disebabkan karena kebanyakan pakar menganggap persoalan ini sebagai sesuatu yang sifatnya sepele, padahal masalah cheating sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat mendasar. Direzkia (2006) beropini bahwa kebiasaan menyontek sudah demikian terstruktur dan berjamaah, layaknya korupsi. Academic misconduct bukanlah fenomena baru, akan tetapi merupakan problem yang telah dikenal luas di banyak negara di Eropa dan Amerika. Kecurangan akademis merupakan masalah etika dan karakter moral. Masalah ini menjadi tidak mudah diteliti (Bjorklund & Wenestam, 2000). Lebih lanjut Alhadza (2005) mengungkapkan bahwa meskipun tidak separah yang dikhawatirkan sebagian orang, apabila dibiarkan, cheating dapat merusak kepribadian seseorang dan mengaburkan nilai-nilai moral dalam masyarakat. Moralitas dan etika merupakan nilai penting bagi perilaku kita, dan seringkali menjadi penyebab utama masalah bagi manusia, sebagaimana pernyataan Albert Einstein bahwa: ‘The real problem is in the hearts and minds of man. It is not a problem of physics but of ethics. It is easier to denature plutonium than to denature the evil from the spirit of man’. Perilaku curang bisa berawal dari sikap abai terhadap norma, abai terhadap etika, bahkan abai terhadap peraturan yang ada. Persepsi—dalam hal ini pemahaman—yang salah terhadap perilaku curang pun dimungkinkan mendorong munculnya perbuatan curang. Apabila seorang individu memiliki pemahaman yang baik dan benar mengenai perilaku negatif dan tidak etis, tentu individu akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari perilaku negatif dan tidak etis. Selanjutnya, miskinnya kemampuan (lack of ability) yang dimiliki individu untuk melakukan suatu tugas barangkali pula dapat memunculkan perilaku mencari jalan pintas dan menerabas. Apakah perilaku menerabas 29
30
tersebut memang benar dikarenakan tidak adanya kemampuan (hendaya) atau sekadar pandangan ketidakmampuan diri oleh individu itu sendiri (low self efficacy). Di sisi lain, kecakapan individu dalam mempersepsi berpengaruh pada sikap dan tindakan
yang
diambil.
Karena
kemampuan
mengidentifikasi
stimulus
dan
mencocokkannya dengan skema yang ada di alam pikir akan digunakan individu dalam mengidentifikasi stimulus tersebut sebagai sesuatu yang dikenal atau tidak dikenal. Apabila cocok dengan skema dalam pikiran maka menjadi stimulus yang dikenal (identified stimuly), kalau tidak cocok dengan skema dalam pikiran makan akan digeneralisasi dan ditarik skema yang berkaitan. Jamak pula kita jumpai institusi pendidikan kurang jelas dan tegas dalam memaparkan dan mengganjar ragam perilaku curang di lingkungan akademis. Hal ini berpotensi menimbulkan kekaburan, bias pandang, dan persepsi yang beragam atas apa-apa yang diijinkan dan apa-apa yang tidak diijinkan dalam menjalani proses pembelajaran. Selanjutnya hal tersebut berpeluang memunculkan tindakan curang dengan intensitas yang beragam. Pengkajian secara empiris perihal kesalahan persepsi atas beragam kecurangan akademis dan hubungannya dengan kemunculan perilaku academic dishonesty perlu dilakukan. Hal ini dapat memberikan paparan empiris, apakah perilaku curang dalam kegiatan akademis dilakukan karena ketidaktahuan atau kesalahan persepsi bahwa perilaku tersebut tidak tergolong dalam kecurangan. Hal menarik lain yang perlu dikaji adalah apakah efikasi diri yang rendah merupakan faktor pencetus dari perilaku curang, dengan logika berpikir bahwa seorang individu merasa dirinya berkemampuan kurang (efikasi diri rendah) sehingga berusaha mencari jalan pintas dan menerabas. Bjorklund & Wenestam (2000) mengemukakan bahwa perilaku academic dishonesty merupakan masalah yang sangat umum di tiap universitas, akan tetapi seringkali tidak setiap perguruan tinggi mengetahui secara pasti prevalensi dan dinamikanya. Dalam penelitian yang melibatkan sekitar 500 profesor universitas, 20 persen melaporkan bahwa mereka mengabaikan untuk mengambil tindakan tegas dan menindaklanjuti kasus kecurangan akademis yang mereka temui. 30
31
B. Perumusan Masalah Belajar di perguruan tinggi merupakan pilihan strategik untuk mencapai tujuan individual bagi mereka yang menyatakan diri untuk belajar melalui jalur formal tersebut (Suwarjono, 2005). Akan tetapi, realitas yang dihadapi oleh dosen dan penyelenggara pendidikan dalam banyak hal, jauh dari harapan. Suwarjono mengamati gejala yang sering dirasakan adalah belajar di perguruan tinggi lebih merupakan kebutuhan sosial daripada kebutuhan pengetahuan dan pengalaman belajar. Di beberapa negara, khususnya negara maju, perbincangan mengenai academic dishonesty menjadi topik hangat dalam kurun waktu terakhir. Penelitian mengenai academic dishonesty telah banyak dilakukan di berbagai negara, akan tetapi dalam wacana pendidikan di Indonesia terhadap masalah ini masih jarang mendapat pembahasan dan pengkajian secara mendalam. Diperlukan pengkajian dan penelitian empiris untuk mengungkap fenomena yang memprihatinkan ini, khususnya di Indonesia. Pengkajian pada masalah ini sangatlah penting untuk memberikan gambaran kepada kita tentang perilaku tidak etis (unethical behaviors) pada dunia pendidikan di Indonesia, khususnya pada strata pendidikan tinggi. Secara spesifik, penelitian ini akan mengungkap questions research yang pertama, adakah hubungan antara persepsi academic dishonesty dengan perilaku academic dishonesty di kalangan mahasiswa? Kemudian yang kedua, adakah hubungan antara efikasi diri (self efficacy) dengan perilaku academic dishonesty? C. LANDASAN TEORI Pengertian Perilaku Academic Dishonesty Diungkapkan oleh Neils (dalam Petress, 2003) bahwa menyontek dan kecurangan akademis lainnya terjadi dalam berbagai bentuk perilaku, yang sebagian sudah dipahami, tapi sebagian lagi belum banyak dipahami sebagai bentuk perilaku curang dalam akademis. Kecurangan akademis (academic dishonesty) masih sulit didefinisikan secara tepat dan seragam. Kibler (dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003) mengemukakan bahwa salah satu masalah penting pada telaah literatur penelitian mengenai academic dishonesty adalah ketiadaan definisi yang berterima umum.
31
32
Menurut Tibbetts (dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003), academic dishonesty is the intentions of person engaging in the dishonest behavior, yang maknanya adalah kesengajaan seseorang untuk terlibat dalam tindakan tidak jujur. Institusi Newcastle University (2004) mengungkapkan bahwa kecurangan akademis didefinisikan dalam dua kategori utama, yakni: (1) Penipuan akademis, merupakan pembentukan gambaran palsu untuk memperoleh manfaat atau keuntungan yang tidak semestinya. (2) Menjiplak, merupakan penyajian pemikiran atau hasil karya orang lain. Weaver, Davis, Look, Buzzanga, dan Neal (dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003) mendifinisikan perilaku ini sebagai bentuk pelanggaran atas kebijakan institusi tentang masalah kejujuran. Lambert, Hogan, dan Barton (2003) menyimpulkan bahwa Academic dishonesty was broadly defined as any fraudulent actions or attempts by a student to use unauthorized or unacceptable means in any academic work. Kecurangan akademis didefinisikan secara luas sebagai tindakan-tindakan curang atau usaha-usaha siswa untuk menggunakan cara, alat, sumber-sumber yang tidak diperkenankan atau tidak dapat diterima pada pengerjaan tugas akademis. Dari berbagai pendapat dan definisi terpapar, dapat disimpulkan bahwa perilaku curang dalam akademis merupakan bentuk perilaku yang tidak jujur dalam melaksanakan tugas-tugas akademis individual dengan menggunakan peralatan atau orang lain yang membantu secara tidak sah. Perilaku ini dapat berkembang model dan bentuknya. Yang jelas, perilaku ini tidak akan diperkenankan apabila diketahui oleh institusi atau pemegang wewenang. Bentuk-bentuk Academic Dishonesty Kecurangan dalam akademis digolongkan dalam beberapa kategori. Menurut Pavela (dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003), ada empat kategori yang terkandung makna academic dishonesty, yaitu: a. Menyontek dengan menggunakan barang-barang terlarang pada kegiatan akademis berbentuk apapun seperti penugasan, ujian, dsb. b. Pemalsuan informasi, referensi, maupun hasil pekerjaan akademis. c. Penjiplakan.
32
33
d. Membantu siswa lain yang terlibat dalam tindakan curang akademis, seperti memfasilitasi siswa lain menyalin hasil pekerjaannya, mengambilkan soal ujian, mengingat-ingat dan memberitahukan soal yang keluar dalam ujian, dsb. Sementara itu, dimensi bentuk-bentuk dasar kecurangan yang diidentifikasi dan dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran atas university’s standards of academic integrity oleh Northwestern University (tanpa tahun) dapat dilihat dalam tujuh model, yaitu: 1. Cheating. Penggunaan catatan yang tak diijinkan, bahan pelajaran, maupun informasi dalam pengerjaan ujian; pengubahan nilai hasil ujian yang dibagikan untuk diajukan koreksi; meminta orang lain mengerjakan tugas untuk dirinya, mengumpulkan tugas yang sama pada perkuliahan yang berbeda tanpa seijin dari pengajar perkuliahan. 2. Plagiarism. Mengutip bahan baik sebagian maupun keseluruhan tanpa mencantumkan sumber referensi tersebut. 3. Fabrication. Mengubah atau mengganti informasi, data atau kutipan; menyajikan data tidak sesuai dengan ketentuan standard dalam metodologi dalam kegiatan pengumpulan data. 4. Obtaining an Unfair Advantage. Mencakup: (a) mencuri, mereproduksi, mengedarkan, atau
mempermudah
sepengetahuan/seijin
akses dari
atas penguji;
materi (b)
soal
yang
mencuri,
akan
diujikan
mencacati/merusak,
tanpa atau
menghilangkan lembaran/materi yang ada di perpustakaan dengan tujuan agar tidak dapat digunakan oleh orang lain; (c) pengerjaan secara bersama-sama atas tugas individual perkuliahan; (d) menyimpan, memiliki, menggunakan, atau mengedarkan soal ujian yang seharusnya dikembalikan, di mana soal tersebut akan digunakan kembali pada ujian pada waktu yang lain; (e) mengganggu siswa lain yang sedang mengerjakan tugas akademiknya, atau (f) melakukan tindakan dengan tujuan menyebabkan ketidakadilan atau merugikan penilaian tugas akademik siswa lain. 5. Aiding and Abetting Academic Dishonesty. (a) menyediakan materi, informasi, atau bantuan untuk siswa lain sehingga dapat digunakan siswa lain untuk melakukan kecurangan seperti yang telah disebutkan di atas, atau (b) memberikan informasi yang tidak benar terkait dengan tuntutan academic integrity. 6. Falsification of Records and Official Documents. Merubah dokumen terkait dengan nilai akademis; memalsukan tandatangan atau memalsukan informasi pada dokumen 33
34
administratif
akademis,
transkip
nilai,
surat
ijin,
surat
permohonan,
mengurangi/menambahkan form, kartu identitas, atau segala bentuk dokumen administratif universitas. 7. Unauthorized Access. Mengakses tanpa ijin komputer akademis atau catatan administrative, maupun sistem; melihat atau mengganti catatan di komputer, merubah program komputer, menambah ataupun mengurangi informasi yang tersaji melalui akses tanpa ijin, menimbulkan gangguan pada komputer atau sistem informasi yang tersedia. Dalam laporannya tahun 1996, McCabe dan Trevino (dalam Bjorklund & Wenestam, 2000) merangkum jenis-jenis kecurangan yang paling sering di antara bentuk lainnya sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 2. Tabel 2 Jenis Kecurangan berdasar Riset McCabe dan Trevino BENTUK UJIAN/TES
JENIS KECURANGAN Menyontek jawaban teman Memberikan jawaban pada orang lain Menggunakan catatan tersembunyi
TUGAS TERTULIS
Mengutip tanpa mencantumkan sumbernya dalam referensi Menyadur karya orang lain Memalsukan daftar pustaka Turned in work done by another Menggunakan bantuan orang lain untuk tugas yang harus dikerjakan secara individual
Perkembangan teknologi, seperti keberadaan internet, juga menambah ragam kecurangan. Internet dapat digunakan oleh siswa untuk mengunduh paper, esai, tulisan, yang merupakan karya orang lain, untuk digunakan dalam pengumpulan tugas atas nama mereka. Ragam berkembang akan tetapi memiliki substansi yang sama, yakni ketidakjujuran yang tak diijinkan. Cakupan perilaku academic dishonesty yang luas ini barangkali belum dipahami oleh setiap mahasiswa, sehingga dimungkinkan bahwa 34
35
mahasiswa melakukan salah satu tindakan kecurangan akademis tanpa mereka sadari bahwa hal itu ternyata merupakan suatu tindakan yang tidak diijinkan. Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian Academic dishonesty merupakan segala perbuatan atau cara-cara yang tidak jujur, perilaku tidak terpuji atau perbuatan curang yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik terutama yang terkait dengan evaluasi/ujian hasil belajar. 3. Faktor-faktor Pendorong Academic Dishonesty Motif yang mendorong siswa melakukan tindakan curang tidak diketahui secara pasti, dan diduga cukup kompleks. Penelitian yang dilakukan di Amerika Utara oleh Anderman, beberapa penelitian yang dirilis dalam laporan Bjorklund & Wenestam (2000) menyebutkan bahwa obsesi meraih nilai yang tinggi di sekolah mendorong munculnya tindakan curang, beban studi yang berlebih juga ditemukan menjadi faktor pendorong kecurangan, tingkat stres siswa, sikap dari pengajar, dan meningkatnya ketidakpatuhan terhadap aturan akademis merupakan faktor utama pendorong perilaku curang. Secara umum, penjelasan mengenai penyebab perilaku curang di dunia akademis dapat diklasifikasikan ke dalam dua faktor, yaitu eksternal dan personal individual. Seperti terpapar dalam tabel 3.
35
36
Tabel 3 Faktor & Motif Tindakan Kecurangan Akademis PENELITI Baird
FAKTOR
FAKTOR INTERNAL
EKSTERNAL
(individual)
-
Posisi tempat duduk
-
Kemalasan
-
Arti penting tes yang
-
Kekhawatiran
diujikan
perolehan prestasi
-
Tingkat kesulitan tes
dibanding siswa lain
-
Tes yang tidak fair
-
Penjadwalan
-
Pengawasan
-
Nilai (sebelumnya) yang buruk
-
Kegagalan di masa lalu
-
Harapan akan keberhasilan
Davis et al.
-
Kelas yang terlalu
-
besar, terlalu ramai -
Bentuk soal pilihan
Berkeingingan membantu teman
-
Aversion to teacher
ganda (multiple choice) -
Pertimbangan ekonomis
Hetherington &
-
Feldman -
Tingkat kesulitan
Agar dapat diterima
soal
secara sosial (social
Lemahnya
acceptance)
pengawasan -
Pembelajaran yang tidak efektif (badly organized course)
(diringkas dari berbagai laporan penelitian yang dikutip oleh Bjorklund & Wenestam, 2000)
Dalam tabel 3, peneliti memilah faktor pendorong tindakan curang dalam dunia akademis ke dalam dua kelompok, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor 36
37
eksternal merupakan faktor-faktor luar individu, berupa lingkungan, sistem, situasi, dan kondisi. Faktor internal bersumber dari dalam individu, dan bersifat psikis terkait dengan persepsi, harapan, penerimaan sosial, dan sikap-sikap altruistic atau keinginan untuk membantu orang lain. Sementara penerimaan sosial merupakan upaya individu untuk menyelaraskan diri dan dapat diterima di lingkungannya. Alapare dan Onakoya (2002) menyatakan bahwa, seringkali para mahasiswa mempelajari perilaku curang dari teman mereka atau ikut-ikutan mahasiswa lain, dan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi dan mendorong perilaku menyontek adalah penerimaan komunitas teman sebaya (peer approval and disapproval). Mengenai tindakan mencontoh dari lingkungan sekitar dijelaskan oleh Bandura (1994) dalam Social Learning Theory. Lebih lanjut Alapare dan Onakoya (2002) memaparkan bahwa tingkatan selfesteem juga dapat berpotensi memunculkan tindakan berbohong dan perilaku menyontek. Akan menjadi ‘lumrah’ bagi siswa yang memiliki self-esteem rendah cenderung khawatir akan gagal. Jadi, daripada berusaha kemudian gagal, mereka merasionalisasi diri bahwa kegagalan disebabkan karena minimnya usaha mereka, sehingga mereka melakukan tindakan menyontek. Orang tua juga menekan anak mereka agar berhasil di sekolah, tanpa mempedulikan kemampuan anak. Agar tidak mengecewakan orang tua, atau untuk menghindari hukuman, siswa kemudian menyontek agar nilai mereka bagus. Pada sebagian siswa yang tidak memiliki persepsi bahwa mereka mampu menghadapi berbagai tuntutan dalam studi yang mereka tempuh, mereka cenderung mencari bantuan orang lain untuk membantunya, menyontek juga dipandang sebagai perilaku yang menyimpang (deviant behaviour) karena menimbulkan gangguan dan merupakan sikap abai terhadap peraturan yang ada. (Alapare dan Onakoya, 2002). Sedangkan replikasi yang dilakukan Sujana & Wulan (1994) tidak menemukan hubungan yang positif antara harga diri dengan intensi menyontek, juga tidak menemukan hubungan antara kecenderungan pusat kendali dengan intensi menyontek, serta tidak adanya hubungan antara inteligensi dengan intensi menyontek. Dalam survey yang dilakukan di University of North Carolina at Chapel Hill oleh Allhouse dkk. (1999) sebenarnya menunjukkan bahwa 89% mahasiswa yakin bahwa menyontek merupakan tindakan yang tidak bisa diterima. Jika sebenarnya siswa telah 37
38
mengetahui bahwa menyontek merupakan tindakan yang salah, mengapa perilaku menyontek masih terus saja berlanjut? Salah satu jawaban yang ditemukan adalah karena tekanan teman sebaya. Penelitian yang dilakukan Newstead, Franklyn, dan Armstead pada tahun 1995 (dalam Bjorklund & Wenestam, 2000) menemukan bahwa 21 persen pelaku mengatakan mereka tidak memiliki cukup waktu untuk belajar, 20 persen menyatakan bahwa menyontek dilakukan untuk memperoleh nilai yang lebih baik. Alasan ketiga yang seringkali muncul adalah “orang lain juga melakukannya” (sebesar 16%). Alasan yang dikemukakan selanjutnya adalah keinginan untuk membantu teman (14%) dan malas (10%). Juga pada penelitian maramark dan maline (1993), menemukan penyebab perilaku curang, adalah tingkat stres, kopetisi di dunia kerja, dan (tuntutan) memperoleh beasiswa studi lanjut. Carrell, Malmstrom, dan West (2007) yang melakukan riset mengenai academic cheating di lingkungan pendidikan militer di Amerika Serikat (Air Force, ARMY, dan NAVY) juga menemukan bahwa konformitas dan pengaruh teman sebaya (peer group effect) turut berpengaruh pada pelanggaran norma sosial yang dalam hal ini kecurangan akademis, Hogan dan Jaska (2000) menemukan bahwa perilaku kecurangan akademis lebih banyak terjadi pada mahasiswa tingkat atas, memiliki nilai yang rendah, dan pada jenis kelamin laki-laki. 5. Persepsi Academic Dishonesty Atkinson dkk. (1983) memberikan definisi persepsi sebagai suatu proses di mana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan.
Studi tentang
persepsi sangat berkaitan dengan studi tentang proses kognitif, seperti ingatan dan berpikir. Neisser (dalam Atkinson dkk., 1983) memandang persepsi sebagai proses aktif yang menguji hipotesis yang dipengaruhi konteks dan pengalaman lampau yang biasa disebut sebagai “analisis dengan sintesis”. Menurut teori ini, penghayat menggunakan ciri benda, konteks, dan pengalaman lampau untuk mendapatkan “tekanan yang jitu” tentang apa yang dilihat. Analisis sintesis mengandung arti penghayat menganalisis stimulus sampai pada cirinya kemudian menggunakan ciri tersebut untuk mensintesiskannya (atau membentuk) menjadi suatu penghayatan yang dengan tepat sesuai dengan semua informasi masukan sensorik, konteks, dan pengalaman lampau. Analisis dengan sintesis berasumsi bahwa 38
39
pengamat telah menyimpan suatu skema dalam ingatannya untuk setiap stimulus yang dipersepsi. Bagan analisis dengan sintesis dapat dilihat dalam gambar 1.
masukan stimulus
Menggeneralisasikan hipotesis dan menarik skema yang berkaitan dengan ingatan
Mengambil ciri-ciri dari masukan stimulus dan membandingkannya dengan skema
Apakah cocok?
stimulus yang dikenal
Gambar 1. Analisis dengan Sintesis (Atkinson, dkk.,1983) Riset dan teori reasoned action and planned behavior juga mengungkapkan bahwa beliefs & attitude merupakan prediktor untuk perilaku dan intensitasnya (Ajzen, dalam Nonis & Swift, 2001). Apabila kita kaji persepesi academic dishonesty dengan menggunakan bagan analisis dengan sintesis, dapat diterangkan bahwa sebagai masukan stimulus adalah sejumlah model tindakan curang dalam akademis. Masukan stimulus 39
40
tersebut digeneralisasi dan ditarik skema sesuai dengan ingatan yang dimiliki. Kemudian diambillah ciri-ciri dari beragam model tindakan curang dalam dunia akademis tersebut untuk dikomparasikan dengan skema yang dimiliki, selanjutnya dicocokkan. Kalau cocok dengan skema dan ingatan yang dimiliki atas serangkaian ciri tersebut, maka individu akan mengenali stimulus sebagai model tindakan curang atau bukan tindakan curang. Cakupan perilaku academic dishonesty cukup luas dan beragam. Persepsi academic dishonesty merupakan bagaimana siswa melihat bentuk-bentuk kejadian academic dishonesty, diolah dalam proses pikir, selanjutnya dikategorikan apakah stimulus tersebut merupakan bentuk perilaku academic dishonesty atau bukan. Cakupan perilaku academic dishonesty yang luas dan beragam ini barangkali belum dipahami oleh setiap siswa, sehingga dimungkinkan bahwa siswa melakukan salah satu tindakan kecurangan akademis tanpa mereka sadari bahwa hal tersebut ternyata merupakan suatu tindakan yang tidak diijinkan. Pemahaman bahwa suatu perilaku dikategorikan sebagai suatu tindakan curang secara akademis selanjutnya diistilahkan dengan persepsi academic dihonesty. 6. Pengertian Efikasi Diri Pengertian dari efikasi diri oleh Bandura (1986) adalah sebagai berikut: “beliefs in one’s capacity to organize and execute the courses of action required to produce given attainments” keyakinan seseorang akan kemampuan untuk mengorganisasikan dan melakukan sejumlah tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan. Lebih lanjut Bandura mengungkapkan bahwa anak dan orang dewasa dengan efikasi diri yang kuat lebih gigih, sehat dan lebih sukses secara akademik. Penilaian tentang efikasi diri merupakan suatu hal yang terkait dengan tindakan yang dipilih oleh seseorang, akan tetapi sejumlah faktor dapat mempengaruhi kuat-lemahnya hubungan keterkaitan antara efikasi dan tindakan yang dipilih. (Bandura, 1986). Efikasi diri berkaitan dengan bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal (Myers, 2007). Sejak tahun 1960-an penelitian mengenai efikasi diri sudah mulai marak dilakukan. Penelitian dilakukan terkait dengan hubungan antara efikasi diri dengan kesehatan, konsep diri, pencapaian diri, dan prestasi akademis seseorang.
40
41
Istilah efikasi diri (self-efficacy) seringkali dipertukarkan dan dipersamakan dengan istilah self-concept atau self-esteem. Dan perbedaan istilah ini terkadang tidak terungkap secara jelas pada berbagai penelitian. Sebagian peneliti menyebutkan bahwa self-concept merupakan bentuk umum dari dari self-efficacy. Efikasi diri merupakan elemen dari konsep diri. Berikut petikan penjelasan Pajares dan Schunk (2001): “Self-efficacy is a judgment of the confidence that one has in one's abilities; self-concept is a description of one's own perceived self accompanied by an evaluative judgment of selfworth. Because self-concept beliefs involve evaluations of self-worth, self-concept is particularly dependent on how a culture or social structure values the attributes on which the individual bases those feelings of self-worth. Self-efficacy beliefs are not as tightly bounded by cultural considerations.” Dapat kita simpulkan bahwa efikasi diri merupakan keyakinan terhadap kemampuan diri, sedang konsep diri merupakan persepsi atas keadaan diri secara umum, dan konsep diri terikat dengan budaya dan nilai-nilai struktur sosial yang ada. Bandura (dalam Hoy, 2004) mengidentifikasi empat faktor yang dapat meningkatkan ekspektasi seseorang atas efikasi, yaitu: mastery experience, psychological & emotional states, vicarious experience, dan social persuasion. Dan persepsi akan kemampuan ini dalam melakukan pekerjaan yang telah diyakini kemampuannya sebelumnya, meski sebenarnya pekerjaan itu sangat berat. Demikian pula sebaliknya. 7. Faktor-faktor Efikasi Diri Bandura (1994) mengemukakan bahwa derajat efikasi diri seseorang dapat dikembangkan dari empat sumber utama efikasi diri. Faktor-faktor tersebut dapat dikembangkan dalam rangka meningkatkan keyakinan atas kemampuan diri. Keempat sumber peningkatan efikasi diri tersebut dijabarkan sebagai berikut: a. Sumber pertama dan yang paling efektif dalam meningkatkan derajat efikasi diri adalah dengan “pengalaman berhasil”. Keberhasilan akan meningkatkan keyakinan akan kemampuan diri. Sebaliknya, kegagalan dapat menurunkan keyakinan akan kemampuan diri, terlebih bila efikasi diri belum terbentuk dengan mantap. Keberhasilan yang pernah dicapai dan prestasi yang pernah diraih dapat membuat seseorang merasa (semakin) yakin bahwa dia akan mampu menyelesaikan tugas ataupun mengatasi hambatan yang muncul.
41
42
b. Sumber kedua yang dapat menguatkan keyakinan atas kemampuan diri adalah pengalaman orang lain. Orang-orang yang ada di lingkungan sosial dapat dijadikan model atau contoh yang dapat menguatkan efikasi diri. Dengan membandingkan usaha yang mampu dilakukan orang lain, prestasi yang mampu dicapai orang lain, akan memberikan keyakinan untuk berusaha mencapai suatu prestasi tertentu. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori belajar sosial, bahwa orang membandingkan kemiripan dirinya dengan orang lain yang menjadi model bagi dirinya. Jika seseorang melihat dirinya (cukup) berbeda dengan model atau figur contohnya, maka pengaruh terhadap efikasi dirinya tidak akan banyak terpengaruh oleh tindakan dan keberhasilan dari model. c. Faktor ketiga penguat efikasi diri adalah persuasi sosial. Orang yang menerima persuasi verbal bahwa dia memiliki kemampuan melakukan dan mencapai sesuatu, akan mendorong munculnya usaha yang lebih besar dari sebelumnya. Persuasi ini akan memompa usaha lebih keras dalam meraih suatu capaian tertentu. d. Faktor keempat yang berpengaruh terhadap efikasi diri adalah kondisi fisik dan emosi (somatic & emotional). Orang yang merasa tertekan dan berada dalam keadaan stres akan berpikir memiliki kemampuan yang rendah (poor performance). Suasana hati (mood) juga turut berperan bagi derajat efikasi diri. Suasana hati yang sedang baik akan meningkatkan keyakinan atas kemampuan diri, sebaliknya mood yang buruk akan menurunkan efikasi diri. Bertolak dari hal ini, cara keempat yang dapat digunakan untuk ‘memodifikasi’ efikasi diri adalah dengan mengurangi reaksi stres dan merubah keecenderungan emosi negatif dan berbagai gangguan fisik yang ada. Pemahaman bahwa suatu perilaku dikategorikan sebagai suatu tindakan curang secara akademis selanjutnya diistilahkan dengan persepsi academic dihonesty. Cakupan perilaku academic dishonesty yang luas ini barangkali belum dipahami oleh setiap mahasiswa, sehingga dimungkinkan bahwa mahasiswa melakukan salah satu tindakan kecurangan akademis tanpa mereka sadari bahwa hal itu ternyata merupakan suatu tindakan yang tidak diijinkan. Hubungan antara persepsi academic dishonesty yang baik dengan perilaku academic dishonesty yang rendah berpotensi ada dan kuat derajat hubungannya, mengingat Nonis dan Swift (2001) pernah melakukan studi hubungan perilaku curang di kampus dan perilaku curang di dunia kerja, dan hubungan antara beliefs about dishonest dengan 42
43
kecenderungan berlaku curang menemukan ada hubungan positif di antara keduanya. Bahwa mahasiswa yang memiliki keyakinan suatu kecurangan akademis itu dapat diterima oleh lingkungan cenderung melakukan kecurangan akademis. Temuan Austin, Collins, Remillard, Kelcher, dan Chuia (2006) secara umum juga menggambarkan beberapa pandangan terkait academic dishonesty juga berkorelasi dengan intensitas perilaku curang. Penelitian yang dilakukan Rabi, Patton, Fjortoft, Zgarrick (2006) juga mengukur persepsi mahasiswa atas kecurangan akademis, menemukan tingginya angka kejadian kecurangan akademis, namun tidak melakukan pengujian hubungan di antara keduanya, meskipun secara data tampak linier ukuran dan arahnya. Bandura (1986) mengungkapkan bahwa persepsi seseorang akan efikasi diri berkontribusi terhadap peningkatan subskills, dan akan membentuk suatu perilaku baru. Pajares dan Schunk (2001) mengemukakan bahwa ada pengaruh positif, bagi prestasi akademis atas efikasi diri dan konsep diri seseorang. Lebih lanjut Pajares dan Schunk menyatakan bahwa banyak penelitian dilakukan untuk meneliti keterkaitan efikasi diri dan konsep diri dengan prestasi akademis. Efikasi diri juga membantu meningkatkan ekspektasi seseorang atas keberhasilan dalam melakukan sesuatu. Analisis yang dilakukan terhadap 128 penelitian yang berlangsung pada tahun 1970-an membawa pada temuan adanya hubungan antara efikasi diri, konsep diri, dan prestasi akademis dengan nilai hubungan yang beragam. Pada tahun 1989, Zimmerman dkk. (dalam Pajares dan Schunk, 2001) melakukan penelitian untuk menguji hubungan antara persepsi efikasi diri, proses belajar akademis, dan prestasi akademis. Ditemukan bahwa efikasi diri berpengaruh terhadap self-regulatory processes seperti penetapan tujuan (goal setting), monitor dan evaluasi diri (monitoring & self-evaluation), dan strategi yang dipergunakan dalam belajar. Berpijak pada hal ini, peneliti menduga perilaku academic dishonesty akan rendah pada individu yang memiliki self efficacy yang tinggi. Pada tahun 1991, Bouffard, Bouchard, Parent, & Larivee (dalam Pajares dan Schunk, 2001) menemukan bahwa siswa dengan tingkat efikasi yang tinggi juga menunjukkan tingginya tingkat pengaturan strategi diri, serta peningkatan kemampuan mengingat. Penelitian lebih lanjut terhadap mahasiswa perguruan tinggi di jurusan teknik dan ilmu pengetahuan menunjukkan adanya pengaruh efikasi diri atas kegigihan dalam belajar yang selanjutnya dapat menunjang prestasi akademis. Asumsi yang muncul 43
44
selanjutnya, ketika seorang siswa dengan efikasi diri yang baik mampu mengeluarkan usaha yang sistematis, terprogram, dan meksimal dalam belajar dan berprestasi, maka perilaku academic dishonesty tidak akan ada pada diri siswa yang berefikasi diri tinggi. Dari berbagai teori dan temuan terpapar, diduga kuat akan ada hubungan antara tingkat efikasi diri seseorang dan perilaku academic dishonesty. Diperkirakan bahwa mahasiswa yang memiliki tingkat efikasi diri yang tinggi tidak akan melakukan perilaku academic dishonesty. Dengan tingkat efikasi diri yang tinggi, mahasiswa diduga akan melakukan aktivitas belajar dengan gigih dan menghindari tindakan tidak sportif. D. Hipotesis Berpijak pada logika berpikir dan berbagai temuan empiris yang dipaparkan, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Ha1
: persepsi academic dishonesty berhubungan negatif dengan perilaku academic dishonesty
Ha2
: efikasi diri berhubungan negatif dengan perilaku academic dishonesty.
E. Metode Penelitian 1. Efikasi Diri Mahasiswa Perguruan Tinggi Pengukuran atas self-image juga komponen maupun turunannya seperti: self efficacy dan self esteem memang masih memilki kendala, yang terbesar adalah cultural influence, selanjutnya memberikan masalah pada validitas konstruk dan pengukurannya (Robson, 1988). Dengan tujuan menghindari kelemahan alat ukur, peneliti menggunakan instrumen ukur yang telah terstandar dan benar-benar valid dan teruji secara psikometris untuk beragam budaya sehingga mempertinggi kemantapan hasil pengukuran efikasi diri dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini variabel akan diadaptasi berdasarkan aspek-aspek efikasi diri yang dikemukakan oleh Bandura (1977), Efikasi diri mahasiswa perguruan tinggi akan diukur dengan menggunakan General Perceived Self-Efficacy Scale (GSE) yang dirancang oleh Jerusalem dan Schwarzer (1981) yang telah diadaptasikan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Born, Schwarzer dan Jerusalem (1995). GSE merupakan skala efikasi diri yang telah diadaptasikan ke dalam 14 budaya dan 13 bahasa. Pengukurannya dikembangankan dari konstruk efikasi diri Bandura, yang mewakili aspek utama dari teori kognisi sosial 44
45
(Bandura, 1977, 1997). Dalam GSE terdapat sepuluh (10) elemen pengukuran yang dikembangkan melalui dimensions dari construct efikasi diri. Metode penskalaan yang digunakan dalam menyusun angket skala efikasi diri dalam GSE digunakan model Likert, yaitu merupakan metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek penelitian, mengindikasikan semakin tinggi pula tingkat efikasi diri yang dimilikinya. Semakin rendah skor yang diperoleh subjek penelitian, maka mengindikasikan semakin rendah pula tingkat efikasi diri yang dimiliki subjek penelitian.Sistem penilaian skala efikasi diri menggunakan pengukuran dengan empat alternatif jawaban. Penilaian jawaban dimulai dari angka satu sampai angka empat. Skor tersebut adalah: “sangat sesuai = 4”, “sesuai = 3”, , “tidak sesuai = 2”, dan “ sangat tidak sesuai = 1”. 2. Persepsi Academic Dishonesty Merupakan penilaian atau persepsi mahasiswa perguruan tinggi atas berbagai tindakan curang dalam dunia akademis kemudian menggolongkannya dalam perilaku academic dishonesty atau bukan. Konsep mengenai academic dishonesty dapat langsung dipecah dan ditemukan elemen-elemen perilaku yang dapat diukurnya. Pada penelitian ini digunakan kuesioner yang akan menggali persepsi dan pemahaman mahasiswa perguruan tinggi terhadap perilaku curang dalam akademis. Peneliti mengembangkan kuesioner dengan mengacu dan menyesuaikan elemen-elemen academic dishonesty yang telah banyak digunakan peneliti di berbagai negara, seperti oleh Rabi, dkk. (2006) dan Austin, Collins, Remillard, Kelcher, dan Chui (2006), juga cakupan elemen academic dishonesty yang dijabarkan oleh Northwestern University dengan pengadaptasian ke dalam Bahasa Indonesia. 3. Perilaku Academic Dishonesty Konsep mengenai perilaku academic dishonesty juga dapat langsung dipecah dan ditemukan elemen-elemen perilaku yang dapat diukurnya. Pada penelitian ini digunakan angket self-reported behavior yang akan menggali frekuensi perilaku academic dishonesty yang pernah dilakukan oleh subjek penelitian. Peneliti mengembangkan angket dengan mengacu dan menyesuaikan elemenelemen academic dishonesty yang telah banyak digunakan peneliti di berbagai negara, 45
46
seperti oleh Rabi, dkk. (2006) dan Austin, Collins, Remillard, Kelcher, dan Chui (2006), juga cakupan elemen academic dishonesty yang dijabarkan oleh Northwestern University dengan pengadaptasian ke dalam Bahasa Indonesia. F. Populasi, Sampel dan Sampling Populasi target dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Psikologi dari Perguruan Tinggi di Kotamadya Surakarta. Adapun perguruan tinggi di Kotamadya Surakarta yang memiliki Program Studi Psikologi adalah sebagai berikut: a. Universitas Sebelas Maret b. Universitas Setia Budi Surakarta c. Universitas Sahid Surakarta Sampel penelitian adalah cuplikan mahasiswa program studi psikologi pada perguruan tinggi di Kotamadya Surakarta. Dalam penelitian ini digunakan teknik proportional cluster sampling. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dari populasi dengan mengambil perwakilan dari kelompok-kelompok yang ada pada populasi, dalam hal ini tingkatan semester mahasiswa, secara proporsional.
G. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Hasil Seleksi Sampel Penelitian ini menggunakan data primer. Data primer merupakan data yang bersumber dan digali dari subjek penelitian untuk diinterpretasi secara langsung, sementara data sekunder adalah data yang diambil bukan dari subjek penelitian langsung melainkan dari pihak ketiga yang telah menggali dan menyajikannya. Data digali melalui metode selfadministrated survey dan self-behavior report. Peneliti telah menyebar kuesioner pada sejumlah responden yang relevan dan representatif dengan tujuan penelitian. Deskripsi mengenai sebaran kuesioner adalah sebagai berikut. Tabel 4 Penyebaran Kuesioner PERKIRAAN JUMLAH POPULASI
355 ORG
TARGET Kuesioner tersebar pada responden 46
115 eks
32,39 %
47
Kuesioner tidak lengkap Kuesioner yang dapat diolah
4 eks
1,74 %
111 eks
96,52 %
Sampel diambil dari populasi berupa mahasiswa Program Studi Psikologi di Kotamadya Surakarta. Ada tiga perguruan tinggi di Kotamadya Surakarta, yang memiliki Program Studi Psikologi, yakni: Universitas Sebelas Maret, Universitas Setia Budi Surakarta, dan Universitas Sahid Surakarta. Sedangkan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tidak diikutsertakan dalam populasi target karena secara administratif berada di Kabupaten Sukoharjo. Perkiraan jumlah mahasiswa psikologi dari ketiga perguruan tinggi yang mejadi populasi target penelitian ini adalah sebesar 355 orang. Sampel yang dapat diambil dalam penelitian ini berjumlah 115 orang atau sebesar 32,39 % dari perkiraan jumlah populasi target. Terdapat 4 eksemplar kuesioner (1,74%) yang tidak lengkap dan tidak memenuhi kaidah untuk dilakukan analisis data, sehingga diperoleh sampel akhir sebesar 111 eksemplar atau sebesar 96,52% dari kuesioner terkumpul. 2. Profil Responden Data demografi berikut menyajikan beberapa informasi umum mengenai kondisi responden. Bagian ini menyajikan data mengenai jenis kelamin, usia, tingkat semester, dan indeks prestasi dari responden. Jenis Kelamin Pada tabel 5 berikut ini disajikan data subjek penelitian berdasar jenis kelamin. Diperoleh 22 orang responden laki-laki dan 89 orang responden perempuan. Jadi, responden yang paling banyak berpartisipasi pada penelitian ini adalah perempuan, ekivalen dengan proporsi mahasiswi terhadap mahasiswa pada program studi psikologi. Tabel 5 Jenis Kelamin Responden Jenis
Jumlah
Persentase
Laki-laki
22 orang
19,47 %
Perempuan
89 orang
78,76 %
Kelamin
Sumber: Data primer yang diolah
47
48
Usia Dari 111 orang sampel, sebanyak 28,8% berusia kurang dari 20 tahun, 55% berusia 20 hingga 21 tahun, 11,7% berusia 22 hingga 23 tahun, dan hanya 4,5% di antaranya yang berusia di atas 23 tahun. Peta usia dari subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 6 berikut. Tabel 6 Usia Responden Usia
Jumlah
Persentase
> 23 tahun
5
4,5 %
22 – 23
13
11,7 %
61
55,0 %
32
28,8 %
tahun 20 – 21 tahun < 20 tahun
Sumber: Data primer yang diolah
Tingkat Semester Peta tingkat studi atau kedudukan semester dari subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 7 berikut. Dari 111 sampel, 56 orang duduk di semester dua hingga empat, 50 orang duduk di semester enam hingga delapan, dan hanya 5 orang yang duduk di atas semester delapan. Tabel 7 Tingkat Semester Responden Semester
Jumlah
Persentase
>8
5
4,50 %
6–8
50
45,05 %
2–4
56
54,45 %
Sumber: Data primer yang diolah Indeks Prestasi Potret nilai akademis subjek penelitian yang tercermin dari indeks prestasi (IP) dilihat pada tabel 8 berikut. Dari 111 orang sampel, tiga orang memiliki IP 48
49
kurang dari 2,51; 33 orang memiliki IP antara 2,51 s.d. 3,00; 66 orang memiliki IP antara 3,01 s.d. 3,50; dan sembilan orang memiliki IP di atas 3,50. Tabel 8 Indeks Prestasi Responden IP
Jumlah
Persentase
> 3,50
9
8,11 %
3,01 – 3,50
66
59,46 %
2,51 – 3,00
33
29,73 %
< 2,51
3
2,70 %
Sumber: Data primer yang diolah
Gambaran persepsi responden atas academic dishonesty dan perilaku academic dishonesty dapat dilihat dalam tabel 9 berikut. Dalam tabel 9 dipaparkan sebaran kuantitatif responden dalam mengungkap persepsi dan perilaku academic dishonesty subjek penelitian yang disajikan dalam kuesioner persepsi academic dishonesty. Tabel 9 Sebaran Kuantitatif Persepsi dan Perilaku Academic Dishonesty Responden PERSEPSI AD
PERILAKU AD Pernah
NO. ITEM
Bukan AD
AD
AD
AD
Belum
Ringan Sedang Berat
Pernah
Pernah Pernah 1x
2x
3x atau lebih
1
2%
9%
31%
59%
50%
23%
7%
19%
2
1%
36%
37%
26%
18%
26%
15%
41%
3
21%
35%
27%
17%
89%
5%
3%
4%
4
3%
7%
12%
78%
93%
4%
3%
1%
5
0%
1%
2%
97%
97%
2%
1%
0%
6
15%
23%
36%
25%
79%
14%
5%
1%
7
7%
22%
30%
41%
45%
31%
14%
10%
8
14%
28%
39%
20%
53%
29%
8%
10%
49
50
9
45%
9%
19%
27%
48%
25%
10%
17%
10
5%
19%
27%
49%
82%
12%
3%
4%
11
40%
31%
23%
7%
27%
32%
14%
27%
12
4%
12%
26%
59%
87%
8%
3%
2%
13
1%
4%
15%
80%
95%
3%
1%
1%
14
64%
27%
8%
1%
11%
23%
20%
47%
15
9%
42%
23%
25%
72%
16%
4%
8%
16
11%
40%
39%
11%
66%
17%
9%
8%
17
17%
31%
27%
25%
77%
14%
4%
5%
18
3%
6%
15%
76%
98%
0%
1%
1%
19
3%
26%
32%
40%
77%
11%
5%
6%
20
2%
2%
11%
86%
97%
1%
1%
1%
21
13%
44%
28%
15%
41%
19%
14%
25%
22
0%
3%
9%
88%
97%
1%
1%
1%
23
3%
5%
15%
77%
98%
0%
1%
1%
Dari tabel 9 terpapar, dapat kita amati secara jelas persentase persepsi dan perilaku curang dalam dunia akademis atas tiap butir item perilaku curang yang dituangkan secara simultan berdampingan. Secara kasar terlihat tindakan academic dishonesty yang diidentifikasi secara jelas sebagai suatu bentuk kecurangan memiliki prevalensi perilaku yang rendah pada subjek penelitian. H. Hasil Penelitian Besar hubungan antara persepsi academic dishonesty dan perilaku academic dishonesty ditunjukkan koefisien korelasi sebesar -0,553 dengan p value 0,000. Jadi, antara persepsi academic dishonesty dan perilaku academic dishonesty memiliki hubungan yang siginifikan, dan bersifat terbalik. Besar hubungan antara self efficacy dan perilaku academic dishonesty ditunjukkan koefisien korelasi sebesar -0,060 dengan p value 0,265. Jadi, antara self efficacy dan perilaku academic dishonesty tidak memiliki hubungan yang kuat, meskipun sudah menunjukkan hubungan yang terbalik. Rata-rata skor persepsi academic dishonesty adalah sebesar 65,27 dengan standar deviasi sebesar 9,25. sedangkan rata-rata skor perilaku academic dishonesty adalah 13,40 50
51
dengan SD=8,49. di antara persepsi dan perilaku academic dishonesty memiliki standar deviasi yang tidak berbeda terlalu jauh. Standar deviasi yang relatif kecil dijumpai pada skor self-efficacy yang menunjukkan kecilnya derajat variasi penyimpangan dengan nilai rata-ratanya. Dalam perjalanan penelitian, dari data yang berhasil dihimpun peneliti, dilakukanlah pengujian tambahan untuk melengkapi informasi kajian mengenai academic dishonesty. Peneliti membandingkan secara statistik perbedaan perilaku academic dishonesty pada mahasiswa laki-laki dengan perempuan, dan antara mahasiswa tingkat awal dengan mahasiswa tingkat atas. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 10 dan tabel 11. Tabel 10 Perbedaan Skor Perilaku Academic Dishonesty pada Mahasiswa Psikologi SKOR PERILAKU ACADEMIC DISHONESTY
RESPONDEN
Min.
Max.
Rerata
Laki-Laki
1
46
19,55
Perempuan
2
39
11,67
Awal
1
35
12,09
Atas
2
46
14,40
Uji Beda Rata2 Nilai-t
p-value
4,052
0,000
-0,165
0,102
Jenis Kelamin
Tingkat Semester
Sumber: Data primer yang diolah Tabel 11 Hubungan Indeks Prestasi dengan Perilaku Academic Dishonesty Perilaku Pearson Correlation AD IP
Correlation coefficient Sig.
-0,140 0,142
N
111 51
52
Temuan lain yang menarik dalam perjalanan penelitian adalah bahwa seluruh responden (100%) menyatakan pernah melakukan kecurangan akademis pada jenis kecurangan dan frekuensi yang beragam. Penelitian ini juga menemukan adanya perbedaan yang bermakna perilaku academic dishonesty pada mahasiswa laki-laki dan perempuan dengan nilai p sebesar 0,000. Perilaku curang dalam dunia akademis lebih banyak dijumpai pada mahasiswa laki-laki dibandingkan mahasiswa perempuan. Selanjutnya, antara mahasiswa tingkat awal (semester 2 & 4) dengan mahasiswa tingkat atas (semester 6 ke atas) tidak ditemui perbedaan yang bermakna atas tindakan curang dalam dunia akademis yang ditunjukan dengan p-value sebesar 0,102. Terakhir, tidak ada hubungan yang bermakna antara indeks prestasi dengan perilaku curang dalam dunia akademis dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,149. I. Diskusi 1. Hubungan Persepsi Academic Dishonesty dan Perilaku Academic Dishonesty Pengujian hipotesis alternatif pertama (Ha1) dilakukan dengan mencari nilai koefisien korelasi antara variabel persepsi academic dishonesty dan perilaku academic dishonesty. Diperoleh skor koefisien korelasi sebesar -0,553, yang menunjukkan bahwa antara kedua variabel yang diuji memiliki hubungan linier negatif yang sangat erat. Signifikansi keeratan hubungan tampak dari nilai p value (sebesar 0,000) yang jauh lebih kecil dari α yang ditetapkan dalam pengujian statistik penelitian ini. Hal ini berarti bahwa jika mahasiswa memiliki persepsi academic dishonesty yang baik, akan berkorelasi dengan kecilnya perilaku academic dishonesty. Sehubungan dengan hasil pengujian, Ha1 yang diajukan bahwa persepsi academic dishonesty berhubungan negatif dengan perilaku academic dishonesty telah terbukti secara empiris dan dapat diterima. Temuan ini mendukung temuan yang diperoleh Nonis & Swift (2001), bahwa mahasiswa yang memiliki keyakinan suatu kecurangan akademis itu dapat diterima oleh lingkungan cenderung melakukan kecurangan akademis. Temuan Austin, Collins, Remillard, Kelcher, dan Chuia (2006) secara umum juga menggambarkan beberapa pandangan terkait academic dishonesty juga berkorelasi dengan intensitas perilaku curang. Neisser (dalam Atkinson dkk., 1983) memandang persepsi sebagai proses aktif yang menguji hipotesis yang dipengaruhi konteks dan pengalaman lampau yang biasa 52
53
disebut sebagai “analisis dengan sintesis”. Menurut teori ini, penghayat menggunakan ciri benda, konteks, dan pengalaman lampau untuk mendapatkan “tekanan yang jitu” tentang apa yang dilihat. Analisis sintesis mengandung arti penghayat menganalisis stimulus sampai pada cirinya kemudian menggunakan ciri tersebut untuk mensintesiskannya (atau membentuk) menjadi suatu penghayatan yang dengan tepat sesuai dengan semua informasi masukan sensorik, konteks, dan pengalaman lampau. Analisis dengan sintesis berasumsi bahwa pengamat telah menyimpan suatu skema dalam ingatannya untuk setiap stimulus yang dipersepsi. Teori analisis dengan sintesis kembali dapat menjelaskan penelitian empiris yang dilakukan, bahwa penghayatan yang baik dalam mengenali bentuk-bentuk tindakan curang dalam dunia akademis berkorelasi dengan sedikitnya kemunculan perilaku curang dalam dunia akademis oleh subjek yang diteliti. Terlalu dini bagi kita untuk menyimpulkan bahwa persepsi academic dishonesty merupakan sufficient cause rendahnya frekuensi perilaku academic dishonesty. Akan tetapi, setidak-tidaknya kita dapat melihat persepsi academic dishonesty sebagai necessary cause rendahnya frekuensi perilaku academic dishonesty. Bila suatu penyebab merupakan satu-satunya faktor yang menimbulkan efek disebut sufficient cause lihat dalam Arief T.Q. (2003). Persepsi yang baik atas perilaku academic dishonesty yang luas ini mendorong mahasiswa menghindari tindakan kecurangan akademis sedapat mungkin. Demikian juga sebaliknya, persepsi academic dishonesty yang buruk akan sebanding dengan peningkatan tindakan curang dalam dunia akademis. Clos (2002) mengemukakan bahwa ketidakjujuran dalam dunia kampus terjadi juga karena kelalaian kita. Kita masih saja menjalankan kebijakan-kebijakan lama dan kurang relevan, yang menyebabkan hukuman atas kecurangan tidak bisa tegas ditegakkan. Ini akan menyebabkan kekaburan padang atas tindakan-tindakan curang dalam dunia akademis, sehingga kian meluas dan membudaya. Burke (dalam Ercegovac
dan
Richardson Jr., 2004) dalam disertasi doktoralnya melakukan survei pada 724 orang civitas akademika di kampus, mengkaji persepsi, tanggung jawab, dan tindakan atas perilaku
academic
dishonesty
menyimpulkan
bahwa
kalangan
fakultas
tidak
mempersepsikan academic dishonesty sebagai persoalan serius. Tidaklah mengherankan apabila perilaku academic dishonesty tumbuh subur di kampus-kampus kita, dikarenakan
53
54
berbagai peraturan dan kebijakan tidak dapat diimplementasikan dengan baik karena ketiadaan persamaan persepsi pada berbagai kalangan civitas akademika di kampus. Diungkapkan oleh Harding dkk. (2001) bahwa seluruh peneliti academic dishonesty menemukan bahwa kecurangan akademis merupakan problem yang telah meluas pada tingkatan kronis. Sehingga, tidak mengherankan bila mayoritas (85%) siswa merasa bahwa menyontek merupakan sesuatu hal yang biasa dan wajar dalam hidup ini. Harding juga memaparkan bahwa 95% siswa yakin bahwa teman-teman mereka melakukan kecurangan akademis lebih banyak daripada mereka. Keyakinan ini membuat mereka masih senantiasa melakukan tindakan academic dishonesty.
2. Hubungan Self Efficacy dan Perilaku Academic Dishonesty Pengujian hipotesis alternatif kedua (Ha2)
dilakukan dengan mencari nilai
koefisien korelasi antara variabel efikasi diri dan perilaku academic dishonesty. Diperoleh skor koefisien korelasi sebesar -0,060, yang menunjukkan bahwa antara kedua variabel yang diuji memiliki hubungan linier negatif akan tetapi sangat lemah. Kekurangeratan hubungan tampak dari nilai p value (sebesar 0,265) yang lebih besar dari α dalam pengujian statistik penelitian ini. Hal ini memberikan makna bahwa apabila mahasiswa memiliki efikasi diri yang baik, tidak serta-merta berkorelasi dengan perilaku academic dishonesty yang rendah. Sehubungan hasil pengujian, Ha2 yang diajukan bahwa persepsi academic dishonesty berhubungan negatif dengan perilaku academic dishonesty tidak dapat diterima. Replikasi penelitian yang dilakukan oleh Sujana & Wulan (1994) juga tidak menemukan hubungan yang positif antara harga diri dengan intensi menyontek, juga tidak menemukan hubungan antara kecenderungan pusat kendali dengan intensi menyontek. Pengukuran atas self-image juga komponen maupun turunannya seperti: self efficacy dan self esteem memang masih memilki kendala, yang terbesar adalah cultural influence (Robson, 1988). Peneliti telah sedapat mungkin menghindari kelemahan pengukuran efikasi diri dengan menggunakan instrumen ukur yang telah terstandar dan teruji secara psikometris untuk beragam budaya sehingga mengurangi keraguan hasil pengukuran atas efikasi diri dalam penelitian ini. Dengan langkah ini, hubungan yang 54
55
lemah antara efikasi diri dengan perilaku academic dishonesty dapat dipandang bukan karena kekuatan alat ukur yang kurang. Penjelasan atas hubungan sangat lemah antara efikasi diri dengan perilaku academic dishonesty dapat diberikan sebagaimana paparan dan temuan Alarape dan Onakoya (2002) yang meneliti hubungan antara self-esteem—yang serumpun dengan self efficacy dalam domain self image—dengan perilaku curang dalam dunia akademis. Dijelaskan bahwa tingginya derajat self esteem individu justru menguatkan tindakannya— bahkan dengan berbohong dan mencontek—dalam rangka meraih sukses dan menghindari kegagalan. Daripada gagal dan menyesali usaha belajar yang kurang maksimal, siswa dengan self-esteem yang tinggi lebih memilih berbuat curang agar berhasil dalam studinya. Penelitian Alarape dan Onakoya membuktikan secara empiris hubungan positif yang siginifikan antara self esteem dengan perilaku academic dishonesty, yang mana temuan ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakuakn oleh Harper dan Marshal, Downs dan Rose (lihat Alarape dan Onakoya, 2002). Penelitian lain menunjukkan bahwa siswa dengan self esteem yang tinggi, karena tingginya keinginan untuk diakui (need for approval) yang ada akan mendorong mereka berlaku curang dalam dunia akademis sehingga berhasil dan memperoleh approval dari lingkungannya (Jacobson, Berger, dan Millham; juga Crown dan Marlow, dalam Alapare dan Okanoya, 2002). Berdasar pengujian empiris penelitian ini memang dapat ditarik kesimpulan bahwa tigginya kayakinan atas kemampuan diri untuk melakukan sesuatu tidak berhubungan dengan rendahnya perilaku curang dalam dunia akademis. Faktor-faktor lain yang dikemukakan oleh para peneliti dari berbagai penjuru dunia lebih dapat dijadikan prediktor intensitas perilaku mencontek. Faktor-faktor itu di antaranya: peer effect (Carrel, Malmstrom, dan West, 2007), obsesi meraih nilai tinggi, dan kebiasaan mencontek di masa lampau (Lambert, Hogan, dan Barton, 2003). Pengujian yang dilakukan untuk mengukur hubungan antara efikasi diri dengan perilaku academic dishonesty dalam penelitian ini memang tidak menunjukkan hubungan yang kuat antara kedua variabel yang diuji, akan tetapi masih dapat mendukung temuantemuan lain atas tingginya angka perilaku academic dishonesty. 3. Perilaku Academic Dishonesty pada jenis kelamin berbeda, tingkat semester, dan hubungannya dengan indeks Prestasi 55
56
Temuan dalam peenlitian ini senada dengan penelitian lain. Hogan dan Jaska (2000) menemukan perbedaan perilaku academic dishonesty, di mana mahasiswa tingkat atas memiliki kuantitas lebih banyak dalam melakukan kecurangan akademis. Penelitian Hogan dan Jaska (2000) juga menyebutkan bahwa tindakan curang dalam dunia akademis juga terjadi merata dan tidak berbeda pada berbagai tinkat indeks prestasi, dan menemukan laki-laki lebih banyak melakukan kecurangan dibandingkan perempuan. Pembuktian secara statistik juga dilakukan oleh Bates dan Davies (2004), yang menemukan bahwa ada perbedaan signifikan perilaku menyontek di kalangan laki-laki dengan perempuan, yang mana laki-laki memiliki kecurangan akademis lebih tinggi daripada perempuan. Keterbatasan dalam penelitian yang telah dilakukan adalah populasi target dalam penelitian ini baru sebatas mahasiswa pada Program Studi Psikologi dan baru dalam lingkup lokal satu kota saja. Penelitian ini belum mampu menjangkau mahasiswa dari semua jurusan dan lingkup area penelitian yang lebih luas lagi. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan waktu dan biaya yang ada pada peneliti. J. Daftar Pustaka 1. Adkins, Joni, Cindy Kenkel, Chi Lo Lim. 2006. Deterrents to Online Academic Dishonesty. 2. Akung, Achmad. 2005. Ijazah Palsu dan Pendidikan Kita. Tersedia dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/05/opi3.htm 3. Alapare, A.I. dan Onakoya, A.Y. 2002. Correlates of Examination Cheating Behaviour Among University Students. Department of Psychology Universityy of Obadan, Nigeria. 4. Alhadza, Abdullah. 2004. Masalah Menyontek (Cheating) Di Dunia Pendidikan. Tersedia dalam http://www.bsi.ac.id/modules.php 5. Allhouse, Ben. Dkk. 1999. The Influence of Peer Pressure on the Reporting of Academic Dishonesty in a Survey. Report of Collaborative Study at University of north Carolina at Chapel Hill Part IV. 6. Arief T.Q., Muchammad. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Klaten: CSGF (The Community of Self Help Group Forum). 7. Atkinson, Rita L., dkk. 1983. Introduction to Psychology ed.terjemahan Pengantar Psikologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. 8. Austin, Zubin., David Collins, Alfred Remillard, Sheila Kelcher, dan Sthephanie Chuia. 2006. Influence of Attitudes Toward Curriculum on dishonest Academic Behavior. American Journal of Pharmaceutical Education Vol.70 (3): 50-June 2006. 9. Bandura, Albert. 1986. Self-Efficacy Beliefs In Human Functioning. Tersedia dalam http://www.des.emory.edu/mfp/self-efficacy.html. 10. Bandura, Albert. 1994. Self-efficacy. In V. S. Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of human behavior (Vol. 4, pp. 71-81). New York: Academic Press.(Reprinted in H. Friedman [Ed.], Encyclopedia of mental health. San Diego: Academic Press, 1998). 11. Bates, I.P. dan Davis, J.P. 2004. Studying Academic Dishonesty. Paper in Educational Development University Of London.
56
57
12. Bjorklund, Mikela & Wenestam, Claes Goran. 2000. Academic Cheating: Frequency, Methods, and Causes. Paper presented at the European Conference on Educational Research, lahti, finland 22-25 September 1999. 13. Born, Aristi., Ralf Schwarzer & Matthias Jerusalem. 1995. Indonesian Adaptation of General Perceived Self-Efficacy Scale. Tersedia dalam http://userpage.fuberlin.de/~health/welcome.html 14. Carrel, Scott E., Frederick V. Malmstrom, dan James E. West. 2007. Peer Effects in Academic Cheating. Paper presented on NBER Higher Education meetings, the Dartmouth College seminar and the Western Economic Association annual meetings. 15. Clos, Karen L. 2002. When Academic Dishonesty Happens on Your Campus. Innovation Abstract November 8, 2002, Vol. XXIV, No. 26, The University of Texas at Austin. 16. Direzkia, Yulia. 2006. Antara Cheating dan White Crimers. Tersedia dalam http://www.acehinstitute.org/opini_yulia.htm 17. Ercegovac, Zorana., dan John V. Richardson Jr. 2004. Academic Dishonesty, Plagiarism Included, in the Digital Age: A Literature Review. College and Research Library, University of California, Los Angles. 18. Guilford, J.P. dan Benjamin Fruchter. 1978. Fundamental Statistics in Psychology and Education. Tokyo: McGraw-Hill-Inc. 19. Harding, Trevor S., Donald D. Carpenter, Susan M. Montgomery, Nicholas H. Steneck. 2001. The Current State of Research on Academic Dishonesty Among Engineering Students. Presented at 31st ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference, October 1013, 2001. 20. Hartono, Jogiyanto. (2004). Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-pengalaman. Yogyakarta: BPFE UGM. 21. Hogan, Patrick T., dan Patrick V. Jaska. 2000. Academic Dishonesty: A Study of CIS Student Cheating Behavior. Journal of Infoffilation Systems Education Vol. 11 (3-4). 22. Hoy, Anita Woolfolk. 2004. Self-Efficacy in College Teaching. Essays on Teaching Excellence Toward the Best in the Academy Vol. 15, No. 7, 2003-2004. tersedia dalam http://gozips.uakron.edu/~mcgurk/number7.htm 23. Jerusalem, Matthias. Dan Ralf Schwarzer. 1981. General Perceived Self Efficacy Scale (GSE). Tersedia dalam http://userpage.fu-berlin.de/~health/ welcome.html 24. Lambert, Eric G., Nancy Lynne Hogan, Shannon M. Barton. 2003. Collegiate Academic Dishonesty Revisited: What Have They Done, How Often Have They Done It, Who Does It, And Why Did They Do It?. Electronic Journal of Sociology Vol 7.4. tersedia dalam http://www.sociology.org/content/vol7.4 /lambert_etal.html. 25.McCabe, Donald L. 2000. New Research on Academic Integrity: The Success of Modified Honor Codes. Issue of Synfax Weekly Report. Tersedia dalam http://www.collegepubs.com. 26. Myers, D.G. 1996. Social Psychology. USA: McGraw-Hill Inc. 27. Newcastle University. 2004. Student Academic Dishonesty Procedure. Newcastle University Australia. 28. nn. 2005. Buku Pedoman Akademik dan Non Akademik Program Doktor Unviersitas Gajdah Mada. Yogyakarta: Program Magister Sains & Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi UGM. 29. Nonis, Sarath dan Swift, Cathy Owens. 2001. An Examination of The Relationship between Academic Dishonesty and Workplace Dishonesty: a Multicampus Investigation. Journal of Education for Business; Nov-Des.2001; 77,2. 30. Petress, Kenneth C. 2003. Academic Dishonesty: A Plageu On Our Profession. Working Paper of University of Maine at Presque Isle.
57
58
31. Pajares, Frank dan Dale H. Schunk. 2001. Self-Beliefs and School Success: Self- Efficacy, Self-Concept, and School Achievement. Chapter in R. Riding & S. Rayner (eds.). London: Ablex Publishing. Tersedia dalam http://www.des.emory.edu/mfp/self-efficacy.html. 32. Rabi, Suzanne M., Lynn R. Patton, Nancy Fjortoft, dan David P. Zgarrick. 2006. Characteristics, Prevalence, Attitudes, and Perceptions of Academic Dishonesty Among Pharmacy Students. American Journal of Pharmaceutical Education Vol. 70 (4)-2006. 33. Robson, P.J. 1988. Self Esteem—A Psychiatric View. Dipublikasikan dalam British Journal of Psychiatry, 153, 6-15. 34. Setyawan, Anton Agus. 2002. Validitas dan Reliabilitas. Termuat dalam Komputer Statistika, Laboratorium Manajemen FE UMS. 35.Sujana, Y.E. & Wulan, Ratna. 1994. Hubungan antara Kecenderungan Pusat Kendali dengan Intensi Menyontek. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada, No. 2, 1-8. 36. Suwardjono. 2005. Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi: Redefinisi Makna Kuliah. Working Paper Universitas Gadjah Mada.
58