I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ketergantungan pada beras menimbulkan masalah baru bagi pemerintah daerah karena harus menyediakan dana untuk subsidi biaya transportasi ke wilayah-wilayah terpencil. Peran sektor swasta dalam pengadaan dan pendistribusian bahan pangan ini sangat kurang, karena selain biaya operasional tinggi juga daya beli masyarakat sangat rendah. Untuk menghindari masalah ini secara berlanjut, diperlukan upaya untuk mengembalikan pemanfaatan sumber pangan lokal. Namun, kebijakan pemerintah dalam mendukung pemanfaatan pangan lokal tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan (Rauf dan Lestari, 2009). Pangan lokal merupakan produk pangan yang telah lama diproduksi, berkembang dan dikonsumsi di suatu daerah atau suatu kelompok masyarakat lokal tertentu. Umumnya produk pangan lokal diolah dari bahan baku lokal, teknologi lokal, dan pengetahuan lokal pula. Di samping itu, produk pangan lokal biasanya dikembangkan sesuai dengan preferensi konsumen lokal pula. Sehingga produk pangan lokal ini berkaitan erat dengan budaya lokal setempat. Karena itu, produk ini sering kali menggunakan nama daerah, seperti gudeg jogja, dodol garut, jenang kudus, beras cianjur, dan sebagainya (Hariyadi, 2010). Produk pangan lokal di Indonesia sangat melimpah. Biasanya, produk pangan lokal ini berkaitan erat dengan budaya masyarakat setempat. Beranekaragam dan jumlah yang sangat besar dari produk pangan lokal tersebut, tentu sangat potensi dalam mewujudkan kemandirian pangan bagi wilayah tersebut. Terwujudnya kemandirian pangan suatu daerah atau negara, dengan sendirinya akan mempercepat tercapainya ketahanan pangan nasional. Di sisi lain, pangan lokal atau pangan tradisional dapat berperan sebagai survival strategi bagi masyarakat golongan ekonomi lemah dalam sistem ketahanan pangan. Pola pangan tradisional dapat menjadi pelengkap makanan pokok selain beras. Adanya penggunaan bahan lokal yang biasanya lebih terjamin ketersediaanya sebagai makanan pokok yang murah dan dapat dijangkau oleh masyarakat setempat, berdampak pada penambahan pendapatan riil rumah tangga (Puji dkk, 2007). Pangan lokal mempunyai kandungan karbohidrat yang tidak kalah dengan beras. Umbi-umbian ini sebenarnya
1
sudah lama menjadi bahan pangan. Namun demikian pangan lokal ini belum dimanfaatkan secara optimal. Perbincangan ketahanan pangan menjadi isu yang menarik baik di tingkat nasional maupun daerah termasuk di DIY. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) Provinsi DIY (2010) menyebutkan bahwa di Yogyakarta masih memiliki daerah rawan pangan di 86 desa pada pertengahan tahun 2010. Hal ini terjadi karena ancaman krisis pangan akibat konsumsi beras yang tinggi. Ada beberapa faktor penyebab rawan pangan ini, yaitu adanya bencana alam seperti gunung meletus, banjir, kekeringan, gempa bumi, dan adanya sumbatan distribusi. Faktor-faktor tersebut termasuk pada faktor rawan pangan transien, yaitu faktor yang tidak terprediksi. Selain itu, rawan pangan juga bisa terjadi akibat serangan hama dan penyakit yang mengakibatkan gagal panen. Kabupaten Bantul termasuk dalam wilayah rawan pangan ketiga setelah Gunungkidul dan Kulon Progo di wilayah Provinsi DIY (BKPPP DIY, 2010). Salah satu langkah tepat yang dijalankan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras adalah kebijakan tentang pengembangan pangan lokal. Kabupaten Bantul dalam hal ini menjadi satu contoh yang patut untuk diperhatikan dalam implementasi kebijakan tersebut. Untuk mengatasi kondisi rawan pangan, pemerintah Kabupaten Bantul memiliki beberapa kebijakan, diantaranya yakni dengan mengeluarkan Deklarasi Pengutamaan Pangan Lokal Kabupaten Bantul oleh BKP3 Kabupaten Bantul yang berisi dukungan sepenuhnya penggunaan produk-produk olahan berbahan baku lokal, mendorong masyarakat untuk mengembangkan potensi pangan lokal demi terwujudnya ketahanan pangan nasional (Wastutiningsih dkk, 2011). Kebijakan yang lain yaitu dengan mewajibkan pertemuan-pertemuan yang diadakan di tingkat Rukun Tetangga (RT) hingga tingkat kabupaten minimal 75% dari seluruh jenis pangan yang disajikan harus berupa pangan lokal. Hal ini diperkuat dengan adanya surat edaran Bupati Bantul yang berisi himbauan kepada seluruh pejabat di seluruh satuan kerja perangkat daerah Kabupaten Bantul, tokoh masyarakat, organisasi
kemasyarakatan
dan
segenap
warga
Kabupaten
Bantul
untuk
memprioritaskan bahan pangan lokal dan meminimalisir penggunaan bahan pangan impor (seperti gandum/terigu, buah-buahan impor), dalam pengadaan konsumsi untuk
2
kegiatan/keperluan rapat, pertemuan-pertemuan, acara tasyakuran dan lain sebagainya (Wastutiningsih dkk, 2011). Kebijakan pengembangan pangan lokal ini dapat diwujudkan bila ada dukungan dari berbagai pihak. Salah satu stakeholder yang memiliki peran penting dalam pengembangan pangan lokal adalah dukungan dari perangkat desa sebagai stakeholder yang bertugas sebagai salah satu penentu dalam pengambilan kebijakan dan mampu mempengaruhi masyarakat pada level yang paling bawah. Selain bertugas sebagai pengambilan keputusan, perangkat desa juga bertugas untuk mengawasi dan mengevaluasi kebijakan yang diambil pada tingkat masyarakat. Termasuk pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati Bantul mengenai penganekaragaman pangan. Selain itu umumnya perangkat desa yang memiliki status sosial ekonomi relatif tinggi dengan kepemilikan/akses pada lahan pertanian yang cukup besar dapat memanfaatkan lahan pekarangan untuk penganekaragam pangan. Respons yang tinggi dari para perangkat desa yang mau melestarikan pangan lokal dapat mengatasi permasalahan-permasalahan terhadap ancaman krisis pangan yang terjadi di daerah Bantul. Perangkat desa berusaha memenuhi kebutuhan pangan dengan usaha penganekaragaman pangan dengan menggunakan pangan lokal yang sesuai dengan surat edaran Bupati Bantul. Pangan lokal yang disajikan tidak hanya disajikan dalam bentuk aslinya, tetapi pangan lokal diolah menjadi tepung umbiumbian. Tepung ini bisa diolah kembali menjadi kue basah, kue kering, cake, dsb. Sumber daya alam yang tersedia dimaksimalkan pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berangkat dari hal tersebut penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai respons perangkat desa terhadap penganekaragaman pangan tepung umbiumbian yang berlokasi di Kabupaten Bantul.
B. Perumusan Masalah Pangan lokal merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah krisis pangan di Indonesia. Dengan memaksimalkan potensi yang ada di daerah tersebut. Pemerintah Bantul juga ikut mendukung program penganekaragaman pangan melalui program Percepatan Penganekaragaman Konsumi Pangan (P2KP). Program ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang, aman berbasis pangan lokal.
3
Selain itu juga bertujuan untuk mendorong penurunan konsumsi beras, serta pencapaian Pola Pangan Harapan (PPH). Dengan program ini diharapkan dapat meningkatkan kemandirian desa untuk mencukupi kebutuhan pangan. Sebagian besar perangkat desa di Kabupaten Bantul memiliki respons yang tinggi terhadap program ini. Hal ini ditunjukkan dengan memberi dukungan akan jalannya program, memberikan dukungan penuh terhadap masyarakat yang mau dan mampu untuk melakukan penganekaragaman pangan. Namun untuk
tingkat
kepeduliannya masih kurang. Perangkat desa masih memiliki minat yang kecil untuk membudidayakan pangan lokal sendiri di pekarangannya. Berdasarkan keadaan ini maka dapat diambil perumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana respons perangkat desa terhadap penganekaragaman pangan tepung umbi-umbian di Kabupaten Bantul? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi respons perangkat desa terhadap penganekaragaman pangan tepung umbi-umbian di Kabupaten Bantul? 3. Bagaimana pengaruh respons perangkat desa terhadap proses pengembangan pangan lokal di Kabupaten Bantul? 4. Bagaimana pengaruh proses pengembangan pangan lokal terhadap hasil pengembangan pangan lokal proses di Kabupaten Bantul?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yang berjudul “Respons Perangkat Desa terhadap Penganekaragaman Pangan Tepung Umbi-umbian di Kabupaten Bantul”, yaitu: 1. Mengetahui tingkat respons perangkat desa terhadap penganekaragaman pangan tepung umbi-umbian di Kabupaten Bantul. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi respons perangkat desa terhadap penganekaragaman pangan tepung umbi-umbian di Kabupaten Bantul. 3. Mengetahui pengaruh respons perangkat desa terhadap proses pengembangan pangan lokal di Kabupaten Bantul. 4. Mengetahui pengaruh proses pengembangan pangan lokal terhadap hasil pengembangan pangan lokal proses di Kabupaten Bantul.
4
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini yang berjudul “Respons Perangkat Desa terhadap Penganekaragaman Pangan Tepung Umbi-umbian di Kabupaten Bantul”, yaitu: 1. Bagi instansi terkait, dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang sesuai dengan masalah yang diteliti. 2. Bagi masyarakat dan pihak lain sebagai dasar informasi untuk lebih jauh menggali permasalahan dan pemecahan masalah yang terkait dengan hasil penelitian ini. 3. Bagi peneliti, sebagai pemenuhan syarat dalam mencapai derajat Sarjana Pertanian Strata 1 (S1) di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta serta sebagai mengembangkan kemampuan akademik dan menyumbangkan ilmu pengetahuan dalam bentuk karya ilmiah.
5