PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ilmu Ortodontik
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari
pertumbuhan struktur jaringan pendukung gigi dan kraniofasial, perkembangan oklusi gigi geligi serta mempelajari cara pencegahan dan perawatan kelainan dentofasial termasuk maloklusi untuk mendapatkan oklusi yang sehat, seimbang, stabil, dan estetik menyenangkan (Dewanto, 1993). Diagnosis dibidang ortodontik dapat didefinisikan sebagai suatu studi dan interpretasi data klinis untuk menetapkan ada tidaknya maloklusi. Diagnosis merupakan suatu langkah dalam bidang ortodontik sebelum merencanakan perawatan ortodontik. Diagnosis ortodontik adalah perkiraan yang sistematik, bersifat sementara, akurat dan ditujukan pada 2 hal, yaitu klasifikasi dan perencanaan tindakan berikutnya (Moyers, 1973). Analisis dengan menggunakan model studi maksila adalah hal penting dalam melakukan diagnosis yang kemudian dapat digunakan untuk membuat rencana perawatan (Budiman dan Suharsini, 2006). Lengkung rahang atas beroklusi dengan lengkung gigi mandibula dan menahan serta mengatur lengkung gigi mandibula ke lateral (Hernandez 1969 sit. Napitupulu, 2003). Ukuran dan bentuk lengkung gigi sangat erat kaitannya dengan bidang kedokteran gigi, khususnya ilmu Ortodontik dan Prosthodontik (Ling and Wong, 2009). Evaluasi lengkung gigi penting untuk diagnosis yang defenitif dan
1
2
perawatan kraniofasial yang optimal. Bentuk lengkung gigi menjadi pertimbangan utama
bagi
peran klinis,
khususnya
dalam
memperkirakan perubahan
pertumbuhan yang akan datang mengingat bahwa estetik yang baik adalah bila terjadi harmonisasi antara lengkung gigi dan morfologi ukuran gigi geligi. Hal yang penting bagi dokter gigi adalah menentukan hubungan normal gigi-gigi dan memperbaiki bentuk lengkung gigi dan membiarkan penyesuaian bentuk secara alami (Dewanto, 1993). Lengkung gigi merupakan lengkung yang dibentuk oleh korona gigi, menggambarkan hubungan antara ukuran-ukuran korona gigi dengan kedudukan dan inklinasi gigi-gigi itu sendiri, juga hubungan antara komponen kekuatan anterior dan kekuatan bibir, pipi serta lidah (Moyers, 1980). Bentuk lengkung gigi yang normal tergantung pada perkembangan lebar dan tinggi lengkung gigi dengan rasio 2:1, artinya jika lebar lengkung gigi meningkat 2 mm maka tinggi lengkung gigi akan berkurang 1 mm (Rakosi dkk., 1993). Lebar dan tinggi lengkung gigi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya usia (Foster dkk., 1977); keturunan, ras, lingkungan, dan jenis kelamin (Mieke, 1993). Penelitian Burris dan Harris (2000) menunjukkan bahwa perbedaan populasi dan jenis kelamin mempengaruhi ukuran dan bentuk lengkung gigi. Ukuran lengkung gigi orang Amerika kulit hitam lebih besar dibandingkan dengan ukuran lengkung gigi orang Amerika kulit putih, dan dibuktikan bahwa ukuran lengkung gigi pada laki-laki lebih besar daripada perempuan. Hal ini didukung oleh penelitian Smith dkk. (2000) membuktikan bahwa lengkung gigi
3
laki-laki pada populasi kulit hitam, Hispanic, dan kulit putih lebih besar daripada perempuan. Kelompok etnik yang berbeda-beda mempunyai kecenderungan untuk memiliki pola bentuk tengkorak dan rahang tertentu, walaupun pola semacam ini seringkali dipengaruhi oleh variasi individu. Perbedaan tersebut
dapat
mempengaruhi perawatan klinis yang akan dilakukan (Harris and Burris, 2000). Faktor keturunan berpengaruh terhadap terjadinya maloklusi. Sering dijumpai pasien dengan gigi geligi yang besar dan rahang yang kecil. Kemungkinan besar ukuran gigi geligi yang besar diwariskan dari ayah dan ukuran rahang diwariskan dari ibu atau sebaliknya (Dewanto, 1993). Menurut Mundiyah (1982), hasil analisis suku yang satu tidak berlaku untuk suku yang lain, merupakan satu faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam perawatan ortodontik. Nilai normal ukuran dan bentuk lengkung gigi pada suatu ras belum tentu merupakan nilai normal bagi ras yang lain sehingga perlu penyesuaian nilai normal ukuran dan bentuk lengkung gigi masing-masing ras. Manusia dibagi menjadi ras-ras yang tersebar luas, diantaranya: Kaukasoid,
Negroid,
Mongoloid,
Austramelanesoid,
dan
Australoid
(Nesturkh,1982). Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multiras dan multietnis. Bangsa Indonesia berasal dari ras Mongoloid dan Austramelanesoid. Adanya mikroevolusi dan migrasi ras-ras lain ke Indonesia, menimbulkan adanya berbagai kelompok etnis (Jacob, 1990). Suku Jawa dan Bugis berasal dari ras dan sub ras yang sama, namun Sutardjo (2008) mengatakan bahwa setiap manusia secara intra ras memiliki
4
kecepatan dan percepatan pertumbuhan yang berbeda. Suku Jawa termasuk ras Mongoloid dan sub ras Deutro Melayu. Suku Jawa merupakan populasi terbesar di pulau Jawa. Kelompok suku Jawa memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain: bentuk kepala braki-meso-dolikosefali, bentuk wajah euri-meso-leptoprosop, bibir agak tebal, profil hidung konkaf, rambut hitam lurus atau berombak, dan rambut tubuh jarang (Sukadana, 1976). Menurut Daldjoeni (1991), suku Jawa memiliki bentuk kepala brakisefalik dan badan pendek dengan tinggi rata-rata 155-165 cm. Suku Bugis merupakan kelompok etnik yang mendiami sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan, dan tersebar dalam jumlah yang cukup banyak pada dataran pulau Sulawesi, Kalimantan, dan Irian. Ciri fisik yang terdapat pada kelompok etnis Bugis diantaranya adalah bentuk kepala cenderung dolikosefali, tulang pipi menonjol, ukuran gigi lebih lebar dibandingkan dengan suku Jawa dan Bali, tampilan gigi anterior yang lebih banyak, serta memiliki kecenderungan gigi anterior atrisi (Jacob, 1990). Kelompok etnis yang berbeda akan menampilkan pola kraniofasial yang berbeda pula, oleh karena itu setiap suku di Indonesia memiliki ukuran dan bentuk lengkung rahang gigi yang berbeda satu sama lain (Sassouni dan Rickets, 1989).
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang, maka timbul permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat perbedaan tinggi lengkung gigi rahang atas antara suku Jawa dan Bugis?
5
2. Apakah terdapat perbedaan lebar lengkung gigi rahang atas antara suku Jawa dan Bugis? 3. Apakah terdapat perbedaan tinggi lengkung gigi rahang atas antara laki-laki dan perempuan pada suku Jawa dan suku Bugis? 4. Apakah terdapat perbedaan lebar lengkung gigi rahang atas antara laki-laki dan perempuan pada suku Jawa dan suku Bugis?
C. Keaslian Penelitian Rieuwpassa (2012) meneliti mengenai perbedaan ukuran bentuk lengkung gigi antara laki-laki dan perempuan suku Bugis, Makasar, dan Toraja, dalam penelitiannya dikatakan bahwa terdapat perebdaan yang signifikan pada rerata ukuran interpremolar, intermolar, dan panjang lengkung gigi laki-laki dan perempuan serta pada suku Bugis, Makassar, dan Toraja. Napitupulu (2003) meneliti mengenai perbedaan lengkung rahang antara suku Jawa dan suku Batak menggunakan metode Raberin. Napitupulu mengatakan bahwa panjang dan lebar lengkung gigi rahang atas pada suku Batak lebih besar dibandingkan suku Jawa. Hamka (2013) meneliti mengenai perbandingan lebar dan tinggi senyuman antara suku Jawa dan Bugis berdasarkan analisis senyum dinamis. Hamka mengatakan bahwa lebar dan tinggi senyuman pada suku Bugis lebih besar dibandingkan suku Jawa. Penelitian tentang perbedaan tinggi dan lebar lengkung gigi rahang atas antara suku Jawa dan suku Bugis, menurut sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan sebelumnya.
6
D. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk : 1. Mengetahui perbedaan tinggi lengkung gigi rahang atas antara suku Jawa dan Bugis. 2. Mengetahui perbedaan lebar lengkung gigi rahang atas antara suku Jawa dan Bugis. 3. Mengetahui perbedaan tinggi lengkung gigi rahang atas antara laki-laki dan perempuan pada suku Jawa dan suku Bugis. 4. Mengetahui perbedaan lebar lengkung gigi rahang atas antara laki-laki dan perempuan pada suku Jawa dan suku Bugis.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Menambah pengetahuan Ilmu Kedokteran Gigi khususnya dalam Bidang Ortodonsia tentang perbedaan tinggi dan lebar lengkung gigi rahang atas antara suku Jawa dan Bugis. 2. Membantu dalam menetapkan diagnosis dan menentukan perawatan ortodontik pada suku Jawa dan Bugis dengan mempertimbangkan tinggi dan lebar lengkung gigi rahang atas. 3. Membantu para ahli antropologi untuk menambah data antropologi fisik.