PENCITRAAN PADA STROKE
Yuyun Yueniwati
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan dan barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait, sebagaimana dimaksud ayat (1) dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PENCITRAAN PADA STROKE
Yuyun Yueniwati
UB
Press
2016
PENCITRAAN PADA STROKE © 2016 UB Press Cetakan Pertama, Februari 2016 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Right Reserved Penulis : Dr. dr. Yuyun Yueniwati P.W., M.Kes. Sp.Rad. Editor : Ruri Erlangga Perancang Sampul : Jerry Katon Penata Letak : Jerry Katon Pracetak dan Produksi : Tim UB Press Penerbit:
UB
Press
Universitas Brawijaya Press (UB Press) Penerbit Elektronik Pertama dan Terbesar di Indonesia Anggota IKAPI Jl. Veteran 10-11, Malang 65114 Indonesia Gedung INBIS Lt. 3 Telp : +62341-554357 Fax : 554357 (call) e-Mail :
[email protected];
[email protected] ISBN: 978-602-203-923-5 xxviii + 360 hlm, 15,5 cm x 23,5 cm
Dilarang keras memfoto kopi atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit
Kata Pengantar Ahli
P
uji syukur kami panjatkan ke hadirat Alloh Tuhan Yang Maha Esa atas diterbitkannya buku yang berjudul “Pencitraan pada Stroke” ini. Sebuah buku yang diharapkan berguna bagi kita semua. Dari tahun ke tahun angka kematian akibat stroke semakin meningkat dan cenderung terjadi pada usia lebih muda. Sekitar 2 dari 10 orang yang mengalami stroke akut akan meninggal dalam satu bulan pertama dan 3 dari 10 orang meninggal dalam satu tahun. Penulisan buku ini memang sangat tepat untuk ikut serta menurunkan angka kematian akibat stroke. Dalam buku ini dibahas berbagai macam metode pencitraan dan semua hal yang terkait dengan masing-masing pencitraan, mulai dari pencitraan yang menggunakan CT scan sebagai deteksi stroke awal kemudian berkembang menggunakan teknik MRI yang dapat mendeteksi terjadinya stroke lebih cepat. Seiring dengan kemajuan teknologi maka berkembang pula teknik pencitraan vaskular mulai dari CTA, MRA, DSA, sampai dengan TCD. Semua teknik pencitraan ini sangat penting diketahui oleh praktisi kesehatan terkait dalam menangani penderita stroke. Dengan teknik dan metode pencitraan yang benar, seorang praktisi dapat menentukan jenis stroke yang diderita pasien. Hal ini sangat penting dipahami karena penanganan penderita stroke hemoragik berbeda dengan stroke iskemia. Semoga semua apa yang dituliskan di buku ini dapat dipahami dengan baik dan dapat menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi kita semua, tidak hanya oleh praktisi kesehatan, tapi juga oleh para mahasiswa, para peneliti, dan masyarakat umum yang peduli terhadap penanggulangan penyakit stroke.
Malang, Maret 2015
Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes.
Dekan Fakutas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
v
vi
Kata Pengantar Ahli
S
ebuah ilmu memang harus diamal kan dan dibagi sehing ga manfaatnya dapat dirasakan oleh kalangan terkait khususnya dan oleh masyarakat pada umumnya. Saya sangat mengapresiasi atas penulisan buku yang berjudul “Pencitraan pada Stroke” ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada penulis atas kontribusinya dalam memberikan panduan, khususnya kepada tenaga kesehatan terkait sehingga dapat melakukan prosedur pencitraan yang tepat dan benar terkait penyakit stroke. Kita semua tahu bahwa sebagian penyakit stroke bersifat fatal dan yang lain menyebabkan cacat tetap atau sementara. Peran radiolog dalam melakukan pencitraan sangat penting untuk menentukan jenis stroke. Sampai saat ini, telah ditemukan berbagai macam teknik pencitraan otak mulai dari CT scan, MRI, dan pencitraan vaskular yang meliputi CTA, MRA, dan DSA. Selain itu, juga ditemukan terobosan baru di bidang ultrasonografi yaitu TCD. Semua alat mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui semua hal terkait alat-alat tersebut sehubungan dengan pendeteksian penyakit stroke. Dengan demikian, diharapkan dapat menemukan jenis stroke yang diderita kemudian menentukan jenis terapi yang tepat. Dan pada akhirnya, dapat mengurangi risiko terjadinya stroke. Semoga buku ini dapat memberikan jawaban terkait permasalahan stroke di Indonesia. Saya berharap buku ini sangat berguna bagi banyak kalangan, mulai dari praktisi kesehatan terkait, para peneliti, para mahasiswa, dan pengampu kebijakan berkaitan dengan penatalaksanaan stroke. Semoga penulis terus dapat berkarya untuk menularkan ilmunya kepada kita semua.
Malang, 11 Maret 2015
Dr. dr. Aziza Ghanie Icksan, Sp.Rad.(K)
Ketua Kolegium Radiologi Indonesia
vii
viii
Kata Pengantar Penulis
S
iapa yang tidak tahu penyakit stroke. Penyakit ini mengancam semua kalangan usia dan menjadi penyebab kematian terbanyak nomor tiga di dunia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli medis internasional, mereka menyebutkan bahwa peluang sembuh total yang dapat diperoleh para penderita stroke hanya sebesar 15% dan 65% penderita stroke berujung dengan kematian. Sementara itu, sisanya 20% menjalani sisa hidupnya dengan kelumpuhan. Permasalahan inilah yang menjadi latar belakang mengapa saya menulis buku ini. Bahaya stroke yang mengancam kita tidak akan terjadi jika terdapat penangan awal yang cepat, tepat, dan benar. Berbagai macam teknik pencitraan diciptakan untuk mendeteksi terjadinya stroke, mulai dari teknologi yang standar sampai teknologi yang super canggih. Buku ini mengulas berbagai macam modalitas pencitraan yang berperan untuk mendeteksi terjadinya stroke lebih awal. Mulai dari penggunaan CT scan dan MRI yang sudah tersedia di bagian gawat darurat dan sudah merupakan prasyarat untuk perawatan pasien stroke akut sampai penggunaan teknologi pencitraan vaskular. Pada saat ini, pencitraan vaskular yang sudah berkembang antara lain digital subtraction angiography (DSA), computed tomography angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA), dan transcranial color doppler (TCD). Setiap modalitas mempunyai kelebihan dan keterbatasan tertentu. Seorang radiolog berperan besar dalam manajemen pasien dengan stroke sehingga pengetahuan tentang anatomi dasar vaskular otak, manifestasi klinis, berbagai macam modalitas, dan gambaran radiologisnya sangat penting. Buku yang berjudul "Pencitraan pada Stroke" ini merupakan jenis buku ajar yang sangat membantu untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan kepada para kalangan kesehatan yaitu kedokteran, baik untuk peserta didik maupun praktisi di bidang radiologi, khususnya bidang pencitraan terkait penyakit stroke. Puji syukur alhamdulillah atas peran serta banyak pihak sehingga pada akhirnya buku ajar ini dapat selesai ditulis. Ucapan terima kasih tak terhingga kepada ayah anak-anakku, suamiku tercinta atas sharing dan dukungannya sehingga buku ini dapat hadir di tengah-tengah kita. Saya juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat pada Program Hibah Penulisan Buku Ajar Perguruan Tinggi Tahun 2015 yang telah memberikan kepercayaan kepada saya. Kepada Ibu ix
dr. Isnani A. Suryono, M.S. dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagai pendamping yang telah memberikan masukan sehingga buku ini tampil lebih baik, saya ucapkan banyak terima kasih. Terima kasih juga kepada editor dan semua pihak yang terkait dalam penyelesaian buku ini. Kepada UB Press terima kasih banyak atas diberikannya kesempatan kepada saya untuk menerbitkan buku ini. Semoga semua ilmu yang kami sampaikan dalam buku ini dapat dipahami dengan baik dan bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Tiada gading yang tak retak, masukan dan saran apapun demi kebaikan buku ini di kemudian hari sangat saya harapkan. Semoga kita dapat melakukan hal terbaik untuk berusaha bersama dalam mengatasi stroke.
Malang, Maret 2015
Penulis
x
Daftar Isi Kata Pengantar Ahli Dr.dr. Sri Andarini, M.Kes. Dekan Fakutas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang ......... v Kata Pengantar Ahli Dr.dr. Aziza Ghanie Icksan, Sp.Rad.(K) Ketua Kolegium Radiologi Indonesia . ....................................... vii Kata Pengantar Penulis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ ix Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ xi Daftar Tabel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... xv Daftar Gambar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... xvii Daftar Arti Singkatan/Istilah . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... xxviii
Bab 1
Peran Penting Modalitas Radiologi terhadap Stroke .....................................................................................
1
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................
3
Bab 2
5
Mengenal Lebih Jauh tentang Stroke
..................................
2.1 Apakah Stroke Itu? . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 5 2.2 Bagaimana Epidemiologi Stroke Terjadi? . ............................ 7 2.3 Bagaimana Stroke Diklasifikasikan? . ................................... 8 2.4 Mengetahui Faktor Risiko Stroke . ........................................ 9 2.5 Perbaikan Stroke . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 9 2.6 Bagaimana Diagnosis Stroke Dapat Ditegakkan? . ................ 10 Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 11
Bab 3 Memahami Stroke Iskemia ................................................... 13 3.1 Definisi Stroke Iskemia . . . . . . . . . . . ............................................ 3.2 Patofisiologi Stroke Iskemia . . . . . ........................................... 3.3 Patogenesis Subtipe Stroke Iskemia . ................................... 3.4 Diagnosis Stroke Iskemia . . . . . . . . ............................................ 3.5 Watershed Infark . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 3.6 Transient Ischemic Attack . . . . . . ............................................ Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................
13 14 16 17 19 19 21
Bab 4 Memahami Stroke Hemoragik ............................................. 23 4.1 4.2 4.3
Apakah Stroke Hemoragik Itu? ........................................... 24 Bagaimana Stroke Hemoragik Diklasifikasikan? . .................. 24 Epidemiologi Stroke Hemoragik . ........................................ 26 xi
4.4 Etiologi Stroke Hemoragik .. . . . . . . . . . . . ...................................... 4.5 Patofisiologi Stroke Hemoragik . . . . . . ...................................... 4.6 Manifestasi Klinis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 4.7 Manifestasi Klinis ICH . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 4.8 Manifestasi Klinis SAH . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 4.9 Letak Perdarahan Stroke Hemoragik . .................................. 4.10 Stroke Hemoragik pada Pediatrik . . ...................................... Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .......................................
Bab 5
Anatomi Otak .. ....................................................................... 45
5.1 Embriologi Otak . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 5.2 Anatomi Otak Secara Keseluruhan . ..................................... 5.3 Cairan Serebrospinal dan Subarachnoid Space .................... 5.4 Anatomi Vaskular Otak . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .......................................
Bab 6
45 50 56 59 76
Memahami Computed Tomography Scan ........................... 77
6.1 Apakah CT Scan itu? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 6.2 Komponen Dasar CT Scan . . . . . . . . . . . . ...................................... 6.3 Bagaimana Prinsip Kerja CT Scan? . .................................... 6.4 Parameter CT Scan .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 6.5 Prosedur Teknik Pemeriksaan CT Scan Kepala ..................... 6.6 Koefisien Atenuasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 6.7 “Windowing” .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 6.8 Anatomi dan Ukuran Normal CT Scan Kepala . .................... Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .......................................
Bab 7
26 32 33 35 36 39 40 41
77 78 81 83 84 85 86 87 93
Mengenal SPECT dan PET .. .................................................. 97
7.1 Mengenal SPECT .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 97 7.2 Mengenal PET .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 101 Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 106
Bab 8 8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 8.6 8.7 xii
Mengenal Magnetic Resonance Imaging .............................. 109 Apakah MRI Itu? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Peranan MRI pada Stroke . . . . . . . . . . . . ....................................... Inilah Komponen MRI .. . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Ada Berapa Macam Tipe MRI? . . . . . ...................................... Bagaimana Cara Kerja MRI? . . . . . . . . . ...................................... Parameter Dasar dan Gambaran Pencitraan MRI . ................ Kelebihan dan Kekurangan MRI .. .......................................
109 110 111 113 114 115 117
8.8 Pemeriksaan MRI Kepala .. . . . . . . ............................................ 8.9 Interpretasi MRI Kepala . . . . . . . . . . ............................................ 8.10 Artefak pada MRI dan Upaya Mengatasinya . ....................... 8.11 Tindakan yang Perlu Dilakukan Bila Terjadi Kecelakaan ....... Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................
Bab 9
119 123 124 125 126
Mengenal Digital Subtraction Angiography ......................... 129
9.1 Definisi Digital Subtraction Angiography (DSA) ................... 9.2 Indikasi dan Kontraindikasi DSA . ........................................ 9.3 Evaluasi Preprosedur Pemeriksaan DSA . ............................. 9.4 Persiapan sebelum dilaksanakan angiogram ........................ 9.5 Peralatan untuk Pemeriksaan DSA . .................................... 9.6 Bahan Kontras . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 9.7 Sedasi/Analgesik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 9.8 Navigasi Kateter . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 9.9 Flushing Ganda . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 9.10 Hand Injection . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 9.11 Pencitraan Angiografi dan Standar Proyeksi Foto . ................ 9.12 Laju Frame Digital Subtraction Angiography . ...................... 9.13 Prosedur Pemeriksaan DSA .. . . . ............................................ 9.14 Komplikasi Pemeriksaan DSA . . ........................................... 9.15 Gambar Hasil DSA . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................
130 131 132 133 135 139 139 140 140 140 141 144 144 152 153 155
Bab 10 Mengenal Computed Tomographic Angiography ............ 159 10.1 Apakah CTA itu? .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 10.2 Inilah Komponen CTA . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 10.3 Apakah Kegunaan CTA? .. . . . . . . . . . ........................................... 10.4 Prinsip Kerja Mesin CTA . . . . . . . . . . ........................................... 10.5 Persiapan Sebelum Pemeriksaan CTA .................................. 10.6 Prosedur Pemeriksaan CTA . . . . ............................................ 10.7 Indikasi dan Kontraindikasi Pemeriksaan CTA ..................... 10.8 Apakah Keuntungan dan Risiko Penggunaan CTA? . ............. Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................
159 160 161 162 164 165 166 167 169
Bab 11 Mengenal Magnetic Resonance Angiography ...................... 171 11.1 11.2 11.3 11.4 11.5
Apakah MRA itu? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... Inilah Komponen Mesin MRA . ............................................ Apakah Kegunaan MRA? . . . . . . . . ............................................ Apakah Keunggulan dan Risiko Penggunaan MRA? . ............ Apa Sajakah Keterbatasan MRA? . .......................................
172 172 174 174 176 xiii
11.6 Persiapan Sebelum Pemeriksaan .. ....................................... 11.7 Prosedur Pemeriksaan MRA .. . . . . . . . . ...................................... 11.8 Kontraindikasi Pemeriksaan MRA . ...................................... 11.9 Unenhanced MRA (teknik MRA tanpa kontras) . .................. 11.10 Contrast-Enhanced MRA . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .......................................
177 179 182 182 187 191
Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler .. ............................... 193 12.1 Definisi Transcranial Color Doppler . ................................... 12.2 Aplikasi Klinis TCD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 12.3 Prinsip Dasar TCD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 12.4 Alat dan Metode pada TCD .. . . . . . . . ....................................... 12.5 Akurasi TCD dan Faktor Fisiologis dalam Pemeriksaan TCD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 12.6 Keterbatasan TCD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .......................................
195 195 196 198 211 214 215
Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia ........................................... 217 13.1 Gambaran CT Scan pada Stroke Iskemia ............................. 13.2 Gambaran MRI pada Stroke Iskemia . .................................. 13.3 Gambaran Patologis DSA pada Stroke Iskemia . ................... 13.4 Gambaran Computed Tomography Angiography pada Stroke Iskemia .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 13.5 Gambaran MRA pada Stroke Iskemia . ................................. 13.6 Gambaran TCD pada Stroke Iskemia . .................................. 13.7 Gambaran Stroke Iskemia Berdasarkan Waktu . ................... Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .......................................
217 220 226 229 230 232 236 253
Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik ....................................... 255 14.1 Gambaran Radiologis ICH .. . . . . . . . . . . . ...................................... 14.2 Gambaran Radiologis SAH .. . . . . . . . . . . ...................................... 14.3 Gambaran Radiologis Etiologi Tertentu . .............................. 14.4 Gambaran Radiologis pada Transformasi Hemoragik . ......... 14.5 Gambaran Stroke Hemoragik pada Pediatrik . ...................... Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .......................................
257 272 283 292 304 313
Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Glosarium ... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... Indeks . . ....... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Riwayat Penulis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .......................................
317 347 353 359
xiv
Daftar Tabel Tabel 3.1
Skor ABCD untuk memprediksi risiko terjadinya stroke . 20
Tabel 4.1
Daftar tumor yang cenderung mengalami perdarahan ... 29
Tabel 4.2
Daftar kontelasi klinis stroke dan skor ROSIER
Tabel 4.3
Sistem skoring Allen . . . . . . . . ............................................
Tabel 4.4 Tabel 4.5
Sistem skoring Siriraj .. . . . . . ............................................ Berbagai skala klinis untuk menilai tingkat keparahan SAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 38
Tabel 5.1
Skema pembagian otak . . . ............................................ 54
Tabel 5.2
Komposisi rongga sisterna . .......................................... 59
Tabel 5.3
Jalur dan cabang-cabang yang berasal dari ICA ............ 63
Tabel 5.4
Sistem vertebro-basilar dan percabangannya ................ 67
Tabel 6.1
Nilai rata-rata HU pada beberapa zat .. ......................... 86
Tabel 7.1
Perbandingan antara SPECT, PET, dan fMRI . ................ 101
Tabel 8.1 Tabel 9.1
116
. ............
Interpretasi dasar pada MRI . ....................................... Posisi angiografi untuk target struktur anatomi secara umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... Tabel 9.2 Tingkat kemungkinan komplikasi dalam neuroangiografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... Tabel 11.1 Perbandingan antara pemeriksaan MRA (non-enhanced MRA & enhanced MRA), CTA, dan DSA . ..................... Tabel 12.1 Depths dan mean velocity arteri intrakranial yang dievaluasi melalui beberapa pendekatan TCD . ............. Tabel 12.2 Kriteria identifikasi pembuluh darah. ............................ Tabel 12.3 Ringkasan kriteria identifikasi pembuluh darah . ........... Tabel 12.4 Pola khas untuk identifikasi arteri serebral . ..................
33 34 35
143 153 175 200 209 210 211 211
Tabel 12.5 Akurasi TCD ultrasonografi dengan indikasi .................. Tabel 13.1 Transcranial Doppler ultrasonography pada pasien dengan tight right middle stenosis serebral arteri . ....... 233 Tabel 13.2 Gambaran MRI pada stroke iskemia . ........................... 236 Tabel 14.1 Sistem skoring SICH . . . . . . . . . ........................................... 260 Tabel 14.2 Nilai duga skoring SICH .. . . ........................................... 261 Tabel 14.3 Kriteria yang lebih kaku untuk spot sign. Kemudian dapat dihitung skor spot sign yang akan dipakai untuk menentukan risiko ekspansi hematoma . ...................... 264 xv
Tabel 14.4 Lima fase perubahan pada stroke hemoragik ................ 269 Tabel 14.5 Skala grading Fisher .. . . . . . . . . . . . ....................................... 275 Tabel 14.6 Sistem grading Spetzler Martin . ................................... 285 Tabel 14.7 Kriteria Boston yang umum digunakan untuk menegakkan diagnosis CA . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 287 Tabel 14.8 Sistem grading TH pada CT scan dan MRI ................... 293
xvi
Daftar Gambar Gambar 1.1
Gambar 2.1
Gambar 2.2 Gambar 2.3
Gambar Gambar Gambar Gambar
3.1 3.2 3.3 4.1
Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 5.1 Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 5.6 Gambar 5.7 Gambar 5.8 Gambar 5.9 Gambar 5.10
Penanganan yang cepat dan tepat terhadap pasien stroke dapat menyelamatkannya dari kecacatan bahkan kematian .. . . . . ............................................ Seseorang yang terkena stroke maka jarigan otaknya akan mati karena terjadi pengurangan aliran darah dan oksigen ke otak . ................................... Sebagian besar penderita stroke akan mengalami kecacatan . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan modalitas radiologi seperti ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui jenis stroke yang diderita pasien .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... Otak yang terkena stoke iskemia . .......................... Jaringan otak yang mati dan daerah penumbra . .... Pencitraan yang menunjukkan watershed infark . ... Pecahnya pembuluh darah di otak pada stroke hemoragik .. . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... Terjadinya intracerebral hemorrhage dan subarachnoid hemorrhage . ................................... Tempat predileksi aneurisma . ............................... Warna xantochromia dibandingkan dengan warna bening air . ..................................... Hasil CT scan kepala tanpa kontras . ..................... Perkembangan embriologi otak mulai hari ke-16 sampai 20 . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... Perkembangan embriologi otak yang menunjukkan terbentuknya prosensefalon, mesensefalon, dan rhombensefalon .. . . . . . . ............................................ Perkembangan embriologi otak yang menunjukkan terbentuknya telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon, dan mielensefalon ................. Skema embriologi otak di akhir perkembangan ...... SCALP dan lapisannya . ........................................ Struktur tulang tengkorak dilihat dari sisi: (a) lateral, (b) frontal, dan (c) inferior .................... Lapisan meningen otak ......................................... Otak dilihat dari irisan: (a) lateral dan (b) sagital ... Sistem ventrikel dilihat dari dari sisi (a) lateral dan (b) kranial . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ Struktur sisterna subarachnoid ..............................
2 6 7
11 14 15 19 24 25 30 37 37 47 48 49 50 51 52 54 55 57 58 xvii
Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
5.11 5.12 5.13 5.14 5.15 5.16
Gambar 5.17 Gambar 5.18 Gambar 5.19 Gambar 5.20 Gambar 5.21
Gambar 5.22
Gambar Gambar Gambar Gambar
5.23 5.24 5.25 5.26
Gambar 5.27 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
5.28 5.29 5.30 5.31 5.32
Gambar 5.33 Gambar 6.1 Gambar 6.2
Gambar 6.3 Gambar 6.4 Gambar 6.5
xviii
Sirkulasi karotis .. . . . . . . . . . . . ....................................... Sirkulasi anterior . . . . . . . . . . . ....................................... Sirkulasi vertebro-basilar . ..................................... Arteriogram sirkulasi posterior . ............................. Sirkulus Wilisi . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... Gambaran normal ICA, ACA, dan MCA: (a) anterior view dan (b) lateral view .................... Ophtalmic artery dan post communicating artery dan anterior choroidal artery ................................ Arteri trigeminal yang persisten ............................. a-d Sirkulasi anterior . . . . . . ...................................... MCA dan PCA normal dan duplikasi middle cerebral artery kiri . . . . . . . . . ...................................... Vertebral artery kiri dengan opasifikasi BA, cerebellar arteries, dan PCA dan sirkulasi posterior dan inferior cerebellar artery kiri normal yang berasal dari VA kiri . . . . . . . . ....................................... Sirkulasi posterior, anterior inferior cerebellar artery dan superior cerebellar artery normal dan penestrasi segmen proksimal arteri basilar . ........... Sirkulus Wilisi normal .. . . . ...................................... Skema sirkulus Wilisi . . . . ....................................... Skema arteri carotis interna . ................................. Variasi normal sirkulus Wilisi. Agenesis anterior communicating artery dan posterior communicating artery . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... Variasi normal sirkulus Wilisi: (a) agenesis segmen A1 kanan ACA dan (b) segmen P1 kiri PCA . ......... Sistem drainase vena serebri . ............................... Angiografi serebri . . . . . . . . . . . ...................................... Angiografi serebri . . . . . . . . . . . ...................................... Sistem vena profunda . . . . . ...................................... Angiografi serebri (a) Venous phase dan sistem vena serebri superfisial dan profunda . ........................... Sinus venosus serebral pandangan superior . ......... Pesawat CT beserta pasien yang sudah siap diperiksa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Scan unit yang terdapat di dalam ruang pemeriksaan dan operator konsul di ruang terpisah pada sistem CT scan .. . . . . . . . . . . . ....................................... Bagian-bagian mesin CT scan ............................... Sistem CT scan secara lengkap ............................. Contoh window pada CT scan: (a) brain window dan (b) bone window .. . . . . ......................................
60 60 61 61 62 63 64 64 65 66
66 67 68 68 69 70 70 71 72 72 73 73 75 78 79 80 82 86
Gambar 6.6
Gambar 6.7
Gambar 6.8 Gambar 6.9 Gambar 6.10 Gambar 6.11 Gambar 6.12
Gambar 6.13 Gambar 6.14
Gambar 7.1 Gambar 7.2
Gambar 7.3 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
7.4 8.1 8.2 8.3 8.4 8.5
Gambar 8.6 Gambar 8.7 Gambar 8.8 Gambar 8.9 Gambar 8.10
Gambaran CT kepala normal: daerah fossa posterior dan gambaran CT kepala normal daerah serebellum . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ Gambaran CT kepala normal daerah korona radiata dan gambaran CT kepala normal daerah sentrum semiovale . . . . ........................................... Gambaran anatomi CT kepala secara keseluruhan . Cara mengukur indeks cella media . ...................... Ukuran CT kepala. Ukuran ventrikel lateral dan ukuran ventrikel III . . . . ........................................... Ukuran normal lebar vena optalmika . ................... (a) Ketebalan nervus optikus normal pada segmen retrobular dan (b) ketebalan nervus optikus terpendek (normal) pada pertengahan orbita . ........ Posisi normal bola mata dibandingkan arkus interzigomatikus . . . . . . . ............................................ Potongan koronal: (1a) tinggi kelenjar hipofisis, (1b) lebar kelenjar hipofisis, (2a) lebar chiasma optikus, (2b) tinggi chiasma optikus, dan (3) tangkai hipofisis .. ............................................ Kamera gamma yang memancarkan sinar gamma pada mesin SPECT .. . . ........................................... Mesin SPECT dengan sepasang kamera gamma berputar mengelilingi pasien yang ditempatkan di atas meja untuk mengambil gambar pada organ dalam dan struktur lainnya yang disorot oleh tracer radioaktif dalam tubuh pasien ..................... Ruang komputer terletak pada ruang berbeda yang memproses informasi pencitraan . ................. Skema mesin PET dengan detektor gammanya . .... Mesin MRI yang siap digunakan . .......................... Komponen MRI . . . . . . . . ............................................ Sistem MRI . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... MRI terbuka dan MRI tertutup .............................. Atom hidrogen yang semula acak, akan mensejajarkan diri setelah pemberian medan magnet luar .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... Fungsi saling melengkapi antara CT scan dan MRI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... Penggunaan head coil untuk pemeriksaan kepala.. Scout potongan aksial standar untuk otak ............. Scout potongan koronal standar untuk otak dan scout potongan sagital untuk otak . ....................... Irisan aksial T1WI, T2WI, dan scoutnya . ..............
89 89 90 91 91 92 92 92
93 98
99 103 104 110 112 113 113 115 118 120 121 121 122 xix
Gambar Gambar Gambar Gambar
8.11 8.12 8.13 8.14
Gambar 8.15
Gambar 8.16
Gambar 8.17
Gambar 9.1 Gambar 9.2 Gambar 9.3 Gambar 9.4 Gambar Gambar Gambar Gambar
9.5 9.6 9.7 9.8
Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
9.9 9.10 9.11 9.12 9.13 9.14 9.15 10.1
Gambar Gambar Gambar Gambar
10.2 10.3 10.4 10.5
xx
Irisan sagital T1WI, T2WI, dan scoutnya . ............. Irisan koronal T2WI dan scoutnya ......................... Irisan aksial proton densitiy dan scoutnya. ............ Pada kasus kecurigaan infark akut A: (T2-weighted image irisan aksial) tampak area hiperintens pada sentrum semiovale kiri. B: (diffusion weighted image irisan aksial) tampak hiperintens . ............... Arah kiri ke kanan adalah fase encoding yang telah dipilih untuk sebuah penelitian pada kepala bagian aksial sehingga artefak gerakan orbital tidak melampaui batas ke otak. ................. Sebuah artefak sinyal tinggi di ruang Csf karena efek para magnetik akibat menghirup oksigen, "Pseudo SAH" .. . . . . . . . . . . . . . . ....................................... Emergency run down unit sederhana. Anda harus membuka kotak plastik dan melepaskan penutup tombol untuk memulai. Pemadaman magnet akan terjadi dalam waktu 2 menit ................................. Pesawat DSA yang mempunyai struktur lengan berbentuk huruf C (a) atau U (b) ........................... Citra mask dan citra live (citra kontras) pada pencitraan DSA . . . . . . . . . . . . . ....................................... Skema protokol penggunaan bahan kontras untuk radiologi intervensi . . . . . . . . . ...................................... Jarum akses yang umum digunakan untuk angiografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... Kawat pemandu (guidewire) ................................ Dilator pembuluh darah .. ...................................... Kateter diagnostik yang direkomendasikan . ........... Typical hemostatic sheath. Ukuran French dari sheaths menunjukkan diameter dalamnya . ........... Pedang pendek Romawi . ...................................... Cara memegang alat suntik . ................................. Proyeksi PA standar dan lateral ............................ Teknik Seldinger . . . . . . . . . . . . ....................................... Teknik untuk melokalisasi denyut arteri femoralis. .. Kateter angiogram yang diperoleh secara digital . ... Gambaran normal otak angiogram DSA ................ Pesawat CT scan yang digunakan untuk pemeriksaan CTA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Bagian-bagian mesin CT scan ............................... Gambaran normal arteri otak dengan CTA . ............ Bagan prinsip kerja CT scanner . ........................... Collimator dan detektor . . ......................................
122 122 122
123
124 125
126 130 131 134 135 136 137 138 138 140 141 142 145 147 154 155 160 161 161 162 163
Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
Gambar Gambar Gambar Gambar
Gambar Gambar Gambar
Gambar
Gambar Gambar
Gambar Gambar Gambar
Proses pembentukan citra. .................................... 163 CTA 3D volume-rendered . .................................... 167 MRI yang digunakan untuk pemeriksaan MRA . ..... 172 Komponen MRI yang digunakan sebagai alat pemeriksaan MRA . . . . . ........................................... 173 11.3 Komputer berperan untuk menghasilkan gambar dari serangkaian proses pencitraan . ...................... 180 11.4 Diagram skematik yang menggambarkan prinsip utama CE‑MRA . . . . . . . ............................................ 181 11.5 Hasil TOF-MRA 3D menunjukkan aneurisme setebal 6 mm yang muncul dari ujung arteri basillaris (proyeksi anterior) . ................................. 184 11.6 Hasil TOF-MRA 3D sirkulus Willisi ...................... 185 11.7 Hasil pencitraan CEMRA: arteriogram karotis interna, proyeksi lateral, fase arteri . ...................... 188 11.8 Arteriogram karotis interna: proyeksi AP, fase arteri .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 189 12.1 Probe ultrasound: (a) panah hitam Transcranial Doppler, panah putih yaitu Transcranial colorcoded sonography. (b) (Ophthalmic), (c) (suboksipital), (d) (temporal) yang menggambarkan berbagai transcranial akustik window dan arah pemeriksaan selama TCD . .................................... 194 12.2 Pemeriksaan TCD pada kepala dan hasil pencitraannya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 196 12.3 Peralatan yang digunakan untuk pemeriksaan TCD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 198 12.4 Prinsip kerja transducer pada TCD adalah dengan memberikan suatu gelombang bunyi ke tubuh manusia dengan menggunakan media transmiter. .. 198 12.5 Posisi transduser yang dipakai untuk window TCD. (A) Transtemporal, (B) transorbital, (C) suboccipital, dan (D) submandibular ....................................... 199 12.6 Skema sirkulus Willisi yang tervisualisasi pada window transtemporal . ......................................... 201 12.7 Sirkulus Willisi pada window transtemporal. Arteri serebri media (MCA); arteri serebri anterior (ACA), dan arteri serebri posterior (PCA) . ......................... 202 12.8 Tampilan sirkulus Willisi dari window transtemporal dengan power Doppler . .......................... 202 12.9 Sinyal Doppler dari a. serebri media (MCA) dengan mean velocity 56 cm/sec .......................... 203 12.10 Diagram arteri serebri anterior (A), arteri karotis interna terminal (B), dan arteri serebri posterior (C). .. 203
10.6 10.7 11.1 11.2
xxi
Gambar 12.11 Gelombang low-resistance PMD flow normal pada vaskular sirkulasi posterior .................................... Gambar 12.12 (Kiri) Arteri ophthalmica dan (kanan) carotid siphon .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Gambar 12.13 Kompresi arteri karotis kommunis. ........................ Gambar 13.1 Infark pada wilayah arteri ACA, arteri serebri media (MCA) dan arteri serebri posterior . .............. Gambar 13.2 Stroke akut (6 jam evolusi) pada wanita 46 tahun dengan hemiplegia kiri . . . ...................................... Gambar 13.3 Nilai diffusion weighted imaging pada perdarahan akut . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Gambar 13.4 Perdarahan infark akut pada CT vs MRI . ............... Gambar 13.5 Infark iskemia dari kortikal dan subkortikal sebelah kanan (hari ke-3). Pada serangkaian pencitraan T2WI (a) dan FLAIR (b) . ...................................... Gambar 13.6 Iskemia akut pada genu korpus kallosum kanan (24 jam setelah serangan iskemia) . ...................... Gambar 13.7 Iskemia akut di cabang terminal dari arteri serebri kiri tengah saat 12 jam setelah onset . .................. Gambar 13.8 Skala grading Qureshi . . . ....................................... Gambar 13.9 Gambaran DSA pada kasus stroke iskemia ............ Gambar 13.10 Gambaran Stroke akut pada wanita 43 tahun yang telah kehilangan kesadaran . ................................. Gambar 13.11 Pemeriksaan CT angiografi ................................... Gambar 13.12 Trombosis arteri serebral tengah kanan pada TOF MRA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... Gambar 13.13 MRI dengan sekuens time of flight (MRA) . ........... Gambar 13.14 Concordant lesion pada MRA . .............................. Gambar 13.15 Gelombang velocity yang tergambar dari TCD pada pasien dengan stenosis arteri serebri media yang berat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Gambar 13.16 Tingkat aliran TBI (0–5) . . . ....................................... Gambar 13.17 Angiografi pada pasien yang sama (contoh kasus di atas) menunjukkan filling defek/stenosis pada arteri serebri media kanan . ................................... Gambar 13.18 Oklusi akut intrakranial .. ....................................... Gambar 13.19 Deteksi M-mode TCD terhadap rekanalisasi komplit dari MCA stem . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... Gambar 13.20 Stenosis MCA: velocity meningkat dengan “musical murmur” yang mengindikasikan stenosis berat, pada depth 45 mm pada MCA kiri . .................................. Gambar 13.21 CT infark hiperakut-subakut .................................. Gambar 13.22 Gambaran yang menunjukkan hilangnya normal cortical ribbon . . . . . . . . . . . . . . ....................................... xxii
205 208 209 218 219 222 222 224 225 226 227 228 229 230 231 231 231 232 233 234 234 235 236 237 238
Gambar 13.23 Tampak gambaran insula kanan yang menghilang (insula ribbon sign) . . ............................................ Gambar 13.24 Akut infark pada basal ganglia . ............................. Gambar 13.25 Penggunaan irisan tipis ......................................... Gambar 13.26 Computed tomography angiography (CTA) dalam mendeteksi infark hiperakut. ................................. Gambar 13.27 Infark hiperakut yang menunjukkan penggunaan computed tomography (CT) lebih baik daripada FLAIR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... Gambar 13.28 Multimodal computed tomography (CT) dalam penilaian infark akut .. ........................................... Gambar 13.29 Insufisiensi vaskular pada MRI . ............................ Gambar 13.30 Infark emboli hiperakut: CT pada 3 jam, MRI pada 3 jam 30 menit .. . . . . . . ............................................ Gambar 13.31 Infark hiperakut. Gambaran Computed tomography (CT) lebih baik daripada FLAIR ............................ Gambar 13.32 Difusion-weighted imaging (DWI) infark akut yang negatif . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ Gambar 13.33 Infark akut luas korteks subcortex lobus frontotemporoparietooccipital . ...................................... Gambar 13.34 Infark akut luas di lobus frontotemporoparietooccipital kanan suspek emboli MCA kanan . .......... Gambar 13.35 Infark lakunar akut di hemisfere serebellum kiri pada MRI T1WI, T2WI dan FLAIR . ....................... Gambar 13.36 Infark akut (24 jam) pada MRI . ............................ Gambar 13.37 Infark akut pada white matter . ............................. Gambar 13.38 Infark akut dengan transformasi hemoragik . .......... Gambar 13.39 Akhir infark subakut infark pada CT dan MRI . ....... Gambar 13.40 Infark subakut di beberapa bagian . ....................... Gambar 13.41 Infark kronis pada CT scan dan MRI . ................... Gambar 13.42 Infark kronis di lobus frontotemporal kanan, nukleus kaudatus kanan, korona radiata kanan. Senile brain atrophy . ........................................... Gambar 13.43 Infark kronis dengan degenerasi wallerian . ............ Gambar 14.1 Fungsi saling melengkapi antara CT scan dan MRI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ Gambar 14.2 CT scan kepala tanpa kontras serial menunjukkan ICH pada thalamus kanan pada fase akut dengan atenuasi 65 HU (A), 8 hari kemudian (B) dengan atenuasi 45 HU, 13 hari kemudian (C), dan 5 bulan kemudian (D) . . ........................................... Gambar 14.3 CT scan kepala tanpa kontras menunjukkan ICH akut pada pasien tanpa riwayat koagulopati . ......... Gambar 14.4 CT scan kepala tanpa kontras . ..............................
239 239 240 240 241 242 243 244 245 245 246 247 247 248 249 249 250 251 252 252 252 256
257 258 258 xxiii
Gambar 14.5 Gambar 14.6 Gambar 14.7
Gambar 14.8 Gambar 14.9 Gambar 14.10 Gambar 14.11 Gambar 14.12 Gambar 14.13 Gambar 14.14 Gambar 14.15 Gambar 14.16 Gambar 14.17 Gambar 14.18 Gambar 14.19 Gambar 14.20
Gambar 14.21
Gambar 14.22 Gambar 14.23 Gambar 14.24 Gambar 14.25 Gambar 14.26 Gambar 14.27 Gambar 14.28 xxiv
CT scan dengan kontras . ...................................... ICH pada thalamus disertai ekstensi IVH . ............. Area khas untuk ICH yang disebabkan oleh hipertensi: thalamus (A), batang otak (B), dan nukleus lentiformis (C) . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... CT scan kepala tanpa kontras dari seorang wanita berumur 59 tahun .. . . . . . . . ....................................... CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria berumur 27 tahun .. . . . . . . . ....................................... CT scan kepala tanpa kontras dr seorang wanita berumur 59 tahun .. . . . . . . . ....................................... CTA dari seorang pasien dengan ICH . ................... CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria berusia 85 tahun .. . . . . . . . . . ....................................... CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria berumur 44 tahun .. . . . . . . . ....................................... CT scan kepala tanpa kontras dari seorang wanita berumur 98 tahun .. . . . . . . . ....................................... CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien pria berumur 16 tahun . . . ...................................... Pencitraan PET dari seorang pasien dengan ICH . .. 18F-fluorodeoxyglucose PET dari seorang pasien dengan ICH .. . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... Perbandingan ICH akut pada MRI sekuens T1 (A), T2 (B), dan Gradient Recalled Echo (GRE ) (C) . ... Pencitraan menyajikan ICH dengan IVE dan DSA yang menunjukkan MMD bilateral . ....................... Pencitraan menunjukkan PIVH dan DSA pada MMD bilateral dengan circulation affection posterior . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Pencitraan ICH dan DSA yang menunjukkan MMD sisi kiri unilateral yang berasosiasi dengan aneurisme MCA proksimal kanan .......................... TCD pada AVM (arteriovenous malformation) . ...... Gambaran CT scan tanpa kontras pada SAH . ........ SAH mengisi sisterna basalis, sisterna perimesensephalic, dan fissura sylvii . ................................... Angiografi konvensional menunjukkan aneurisma pada AcomA (A) dan ujung distal PCA (B) . ........... Pasien dengan edema serebri difus menunjukkan pseudo-SAH pada sisterna basalis . ....................... Perdarahan subarachnoid yang mengisi sisterna suprasellar (A) dan fissura sylvii (B) . ..................... Hasil SPECT dari seorang pasien dengan SAH .......
259 260 260 262 262 263 263 265 265 266 267 268 268 270 270 271 271 272 273 273 275 276 276 277
Gambar 14.29 PET dari seorang pasien dengan perburukan neurologis . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ Gambar 14.30 Gambaran SAH pada CT, dan MRI berbagai sekuens: T1, T2, GRE, dan FLAIR . ....................... Gambar 14.31 Gambaran SAH pada CT (A) dan MRI berbagai sekuens: T1 (B), T2 (B), FLAIR (D), dan GRE (E) . .. Gambar 14.32 Seorang wanita berumur 56 tahun dengan SAH . ... Gambar 14.33 Gambaran TCD SAH pada seorang pria 66 tahun yang menjalani embolisasi koil . ............................ Gambar 14.34 Kavernoma multipel . . ........................................... Gambar 14.35 Gambaran MRI sekuen GRE dari pasien dengan kavernoma multipel .. ............................................ Gambar 14.36 Scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien wanita berusia 59 tahun. ...................................... Gambar 14.37 Potongan aksial MRI sekuens T2. .......................... Gambar 14.38 CT scan kepala tanpa kontras pada seorang pasien pria berusia 42 tahun ........................................... Gambar 14.39 CT scan kepala tanpa kepala kontras . ................... Gambar 14.40 Potongan koronal CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien wanita berusia 21 tahun . ....... Gambar 14.41 Hasil CT scan kepala tanpa pemberian kontras dan paska pemberian kontras . .............................. Gambar 14.42 Contoh khas SAH perimesensephalik non-aneurisma pada pencitraan CT scan tanpa kontras (A). Angiografi membuktikan ketiadaan aneurisma (B) . ... Gambar 14.43 Stroke hemoragik pada pasien hamil/nifas . ........... Gambar 14.44 TH terdeteksi menggunaan MRI sekuens GRE (mata panah hitam) dan DWI sebagai lesi hipointens dikelilingi oleh area hiperintens (mata panah putih). Hal ini tidak tampak di CT scan ................. Gambar 14.45 Gambaran TH pada MRI. ...................................... Gambar 14.46 CT scan dari seorang pasien pria berumur 75 tahun yang menderita stroke emboli sesuai teritori MCA kanan . . . . . . . . . . . . . . ............................................ Gambar 14.47 CT scan dengan kontras dari seorang pasien 24 jam setelah serangan stroke iskemia teritori MCA kanan. Tampak ekstravasasi kontras, membuktikan kerusakan BBB .. ............................................ Gambar 14.48 TH pada pasien yang menerima trombolitik. TH terjadi pada hari kedua paska onset stroke emboli pada teritori MCA kanan ....................................... Gambar 14.49 CT kepala tanpa kontras . ...................................... Gambar 14.50 Kesepuluh segmen MCA yang dilibatkan dalam ASPECTS . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...........................................
278 280 280 281 282 284 284 286 287 288 289 289 290 291 292
293 294 294
295 295 296 298 xxv
Gambar 14.51 CT scan kepala tanpa kontras pada pasien wanita berusia 65 tahun .. . . . . . . . . . ....................................... Gambar 14.52 CT scan kepala tanpa kontras pada pasien pria berumur 68 tahun .. . . . . . . . ....................................... Gambar 14.53 CT scan kepala tanpa kontras pada seorang pasien wanita berusia 79 tahun ............................ Gambar 14.54 Gambar yang menunjukkan kegunaan CTP dalam menduga risiko terjadinya TH pada pasien dengan stroke iskemia . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Gambar 14.55 Infark akut dengan transformasi hemoragik . .......... Gambar 14.56 Infark subakut dengan transformasi hemoragik . .... Gambar 14.57 Infark subakut pada korteks subkorteks lobus temporoparietal kanan dengan kecurigaan transformasi hemoragik .. . . . . . . . . . . . ....................................... Gambar 14.58 Malignant infark subakut CT scan pada 40 jam setelah timbulnya gejala . ..................................... Gambar 14.59 MRI infark subakut awal hingga kronis . ................ Gambar 14.60 Pemeriksaan USG pada seorang anak dengan usia gestasi 25 minggu .. . . . . . . . ....................................... Gambar 14.61 MRI (baris atas dan tengah) dari seorang bayi dengan usia gestasi 38 minggu dan follow up setelah 3 bulan (baris bawah) . ............................. Gambar 14.62 MRI (baris atas dan tengah) dari neonatus cukup bulan dengan kesulitan minum dan apneu episodik dan follow up setelah 2 tahun . ............................. Gambar 12.63 MRI pada seorang bayi .. . ...................................... Gambar 14.64 MRI dari seorang bayi berusia 7 bulan . ................. Gambar 14.65 Seorang neonatus dengan usia gestasi 38 minggu. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... Gambar 14.66 Pencitraan USG baseline pada neonatus dengan usia gestasi 38 minggu . . ...................................... Gambar 14.67 CT scan tanpa kontras menunjukkan SDH pada seorang bayi dengan acquired prothrombin complex deficiency . . . . . . . ....................................... Gambar 14.68 Seorang neonatus prematur lahir per abdominam. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... Gambar 14.69 CT scan dari neonatus umur 1 hari post natal dengan kejang menunjukkan ICH periventrikular dan subkortikal pada lobus frontal, parietal, dan oksipital bilateral . . . . . . . . . . . . ...................................... Gambar 14.70 CT scan (A) dari neonatus umur 1 jam post natal dan (B) setelah 10 hari . ....................................... Gambar 14.71 Hasil USG kepala pada neonatus . .........................
xxvi
298 299 300 300 301 302 302 302 303 306 307 308 308 309 309 310 310 311
312 312 312
Daftar Arti Singkatan/Istilah
ACA : Anterior Cerebral Artery ACAS : The Asymptomatic Carotid Atherosclerosis Study AchA : Anterior Choroidal Artery ACoA : Anterior Communicating Artery ADC : Apparent Diffusion Coefficients AHA : American Heart Association AICA : Anterior Inferior Cerebelli Artery ALARA : As Low as Reasonably Achievable APTT : Activated Partial Thromboplastin Time ASA : Anterior Spinal Artery ASPECTS : Alberta Stroke Program Early Computed Tomography Score AVM : Arterio Venosa Marformation CA : Cerebral Amyloidosis CBF : Cerebral Blood Flow CBV : Cerebral Blood Volume CEMRA : Contrast Enhanced Magnetic Resonance Angiography CMRO2 : Cerebral Metabolism Rate for Oxygen CSF : Cerebro Spinal Fluid CT scan : Computed Tomography scan CTA : Computed Tomography Angiography DIC : Disseminated Intravascular Coagulation DSA : Digital Subtraction Angiography DWI : Diffusion-Weighted Imaging ECASS : European Cooperative Acute Stroke Study ECD : Extracranial Doppler EMCO : Extra Corporal Membrane Oxygenation EPAR : Endovascular Photoacoustic Recanalization FLAIR : Fluid Attenuated Inversion Recovery FOV : Field of View FV : Flow Velocity FORS : Functional Outcome Risk Stratification GCS : Glasgow Coma Scale GMH-IVH : Germinal Matrix Hemorrhage-IntraVentricular Hemorrhage HU : Houndsfield Unit ICA : Internal Carotid Artery ICH : Intracerebral Hemorrhage INR : International Normalized Ratio ISAT : International Subarachnoid Aneurysm Trial ISS : Inferior Sagittal Sinus ITP : Idopathic Trombocytopenic Purpura xxvii
MAP : Mean Arterial Pressure MCA : Middle Cerebral Artery MRA : Magnetic Resonance Angiography MRI : Magnetic Resonance Imaging NINDS : National Institute of Neurological Disorders and Stroke OA : Ophtalmic Artery OEF : Oxygen Extraction Fraction PA : Postero Anterior PC : Phase Contrast PCA : Posterior Cerebral Artery PCoA : Posterior Communicating Artery PET : Positron Emission Tomography PI : Pulsatility Index PICA : Posterior Inferior Cerebelli Artery PT : Protrombin Time PVHI : Peri-Ventricular Hemorrhagic Infarction PWI : Perfussion-Weighted-Imaging SAH : Subarachnoid Hemorrhage SCA : Superior Cerebelli Artery SCD : Sickle Cell Disease SDH : Subdural Hemorrhage SPECT : Single Photon Emission Computed Tomography SPTA : Spasial Peak Temporal Average SSS : Superior Sagittal Sinus TCD : Transcranial Color Doppler TIK : Tekanan Intrakranial TICA : Terminal-Internal Carotid TGC : Times Gain Compensation TH : Transformasi Hemoragik TIA : Transient Ischemic Attacks TICA : Terminal Interna Carotid Artery TOF : Time-of-Flight TS : Transverse Sinus USG : Ultrasonografi VA : Vertebral Artery VCD : Vascular Closure Devices WFNS : World Federation of Neurological Surgeon
xxviii
Bab 1 Peran Penting Modalitas Radiologi terhadap Stroke
K
ejadian stroke menyebabkan berkurangnya atau terhentinya aliran darah yang mengakibatkan kematian sel-sel otak. Hal ini menjadikan serangan stroke sebagai keadaan darurat medis. Seseorang yang diperkirakan mendapat serangan stroke sebaiknya segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan evaluasi dan penanganan secepatnya. Dengan demikian, kematian sel saraf otak yang lebih banyak dapat dihindari. Pada saat mendapatkan penanganan medis, awalnya dokter akan melakukan wawancara untuk mengetahui riwayat penyakit serta melakukan pemeriksaan fisik kepada pasien. Setelah itu, dokter akan melakukan pencitraan otak, dapat melalui CT scan, MRI, dan beberapa pencitraan vaskular untuk memastikan jenis stroke 1
yang diderita pasien. Pada saat ini, pencitraan vaskular yang sudah berkembang antara lain digital subtraction angiography (DSA), computed tomography angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA), dan transcranial color doppler (TCD). Di sinilah peran modalitas radiologi dan seorang radiolog sangat diperlukan (Williandry, 2014).
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 1.1 Penanganan yang cepat dan tepat terhadap pasien stroke dapat menyelamatkannya dari kecacatan bahkan kematian. Seorang radiolog berperan besar dalam manajemen pasien dengan stroke sehingga pengetahuan tentang anatomi dasar vaskular otak, manifestasi klinis, dan gambaran radiologisnya sangat penting. CT scan non kontras sudah tersedia di bagian gawat darurat dan sudah merupakan prasyarat untuk perawatan pasien stroke akut di era terapi trombolitik. Computed tomography (CT) scan adalah suatu pemeriksaan pencitraan canggih menggunakan sinar-X yang dapat mengevaluasi kondisi otak. CT scan dapat dilakukan dengan cepat serta peka dalam menilai adanya perdarahan otak sehingga dokter dapat segera membedakan jenis stroke yang dialami pasien. Namun, pada banyak kasus stroke iskemia awal (beberapa jam setelah serangan), CT scan tidak menunjukkan adanya kelainan (Williandry, 2014). Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan suatu pemeriksaan pencitraan canggih yang menggunakan gelombang elektromagnetik untuk mengevaluasi otak. Dengan perkembangan teknologi, teknik pemeriksaan MRI semakin maju. Adanya teknik yang canggih pada MRI ini mampu mendeteksi kondisi iskemia di otak kurang dari 6 jam setelah terjadinya serangan stroke. Sementara itu, kelainan ini baru bisa terlihat 24 jam
2
Pencitraan pada Stroke
setelah serangan jika menggunakan teknik MRI konvensional maupun CT scan (Williandry, 2014). Pada keadaan tertentu, misalnya dicurigai terdapatnya kelainan pembuluh darah seperti aneurisma atau AVM maka dapat dilakukan pencitraan menggunakan DSA (digital subtraction angiography). Tujuan penggunaan DSA pada kasus dengan kecurigaan kelainan pembuluh darah yaitu untuk memberikan informasi tambahan secara lebih detail terhadap adanya gangguan pembuluh darah tersebut sebelum dilakukan operasi atau dekompresi. Jika terdapat aneurisma atau AVM maka tindakan DSA akan dilanjutkan dengan embolisasi. CTA dan MRA merupakan alat pencitraan tiga dimensi yang dibuat dari irisan-irisan tipis, menghasilkan data volumetrik yang dapat dinilai dari berbagai perspektif, baik secara grafis dan kuantitatif. Bila teknologi ini dapat dikombinasikan dengan tanpa menggunakan injeksi arterial, maka CTA dan MRA dapat digolongkan ke dalam teknik pencitraan yang non invasif. Kemajuan teknologi ultrasonografi terbaru saat ini telah memberikan kemudahan bagi kita untuk mengevaluasi sistem arterial intrakranial dengan menggunakan transcranial color doppler (TCD), sebagai deteksi kondisi patologis vaskular pada pasien berisiko. Semua pemeriksaan pencitraan yang telah disebutkan di atas berperan penting dalam menangani pasien stroke karena adanya perbedaan dalam jenis terapi untuk jenis stroke yang berbeda. Dengan adanya pemeriksaan penunjang mulai dari CT sampai TCD diharapkan dapat meminimalisasi risiko kecacatan dan kematian yang ditimbulkan oleh stroke.
Rangkuman 1. Kejadian stroke menyebabkan berkurangnya atau terhentinya aliran darah yang mengakibatkan kematian sel-sel otak. Hal ini menjadikan serangan stroke sebagai keadaan darurat medis. 2. Setelah pasien stroke mendapatkan penananganan medis awal, dokter akan melakukan pencitraan otak, dapat melalui CT scan, MRI, dan beberapa pencitraan vaskular untuk memastikan jenis stroke yang diderita pasien. 3. Pada saat ini, pencitraan vaskular yang sudah berkembang antara lain digital subtraction angiography (DSA), computed tomography angiography (CTA), magnetic resonance angio graphy (MRA), dan transcranial color doppler (TCD).
Bab 1 – Peran Penting Modalitas Radiologi terhadap Stroke
3
4
Pencitraan pada Stroke
Bab 2 Mengenal Lebih Jauh tentang Stroke
M
endengar namanya, tidak salah jika orang langsung membayang kannya sebagai sebuah penyakit yang menimbulkan kecacatan, bahkan kematian. Saat ini, penyakit ini merupakan penyebab kematian dan kecacatan nomor 1 di Indonesia. Itulah stroke. Kecacatan fisik yang dideritanya menyebabkan ia tidak mampu mandiri dan dapat menjadi beban keluarganya. Apakah stroke itu sebenarnya?
2.1 Apakah Stroke Itu? Menurut World Health Organization (WHO) stroke didefinisikan sebagai suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak 5
dengan tanda dan gejala klinik, baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (Victor, M. dan Ropper, A.H., 2001). Chandra B. pada tahun 1996 menjelaskan bahwa stroke adalah gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan karena gangguan peredaran darah otak yang disertai dengan timbulnya gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal pada otak yang terganggu, baik yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) (Noerjanto M., 2002). Stroke termasuk penyakit serebrovaskular yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak.
Bekuan darah menyumbat arteri serebral sehingga menyebabkan stroke Bekuan darah memutuskan aliran darah Arteri karotis yang tidak normal
Arteri karotis normal
Sumber: Mayo Clinic, 2015
Gambar 2.1 Seseorang yang terkena stroke maka jarigan otaknya akan mati karena terjadi pengurangan aliran darah dan oksigen ke otak. Istilah stroke memang banyak digunakan, namun bukan merupakan istilah yang tepat untuk definisi awal dari defisit neurologis secara tibatiba. Secara klinis, kondisi ini sering disebut cerebrovascular accident. Stroke atau cerebrovascular accident adalah gangguan pasokan darah otak yang dapat terjadi karena beberapa kondisi patologis termasuk aterosklerosis, trombosis, emboli, hipoperfusi, vaskulitis dan stasis vena yang dapat mempengaruhi pembuluh otak dan menyebabkan stroke (Turanjanin et. al., 2012).
6
Pencitraan pada Stroke
2.2 Bagaimana Epidemiologi Stroke Terjadi? Stroke memiliki tingkat mortalitas yang tinggi sebagai penyakit terbanyak ketiga yang menyebabkan kematian di dunia (Price S.A., 2005; Robbins, 2007; Ralph L., et al., 2006). Persentase orang yang meninggal akibat kejadian stroke pertama kali adalah 18% hingga 37% dan 62% untuk kejadian stroke berulang (Siswanto Y., 2010). Data International Classification of Disease yang diambil dari National Vital Statistics Reports Amerika Serikat untuk tahun 2011 menunjukkan rata-rata kematian akibat stroke adalah 41,4% dari 100.000 penderita (Hoyert D.L., Xu J., 2012). Selain itu, kejadian stroke memiliki tingkat morbiditas yang tinggi dalam menyebabkan kecacatan. Menurut World Health Organization (WHO) terdapat 15 juta orang menderita stroke setiap tahun. Sekitar 5 juta dari mereka meninggal dan 5 juta orang lainnya akan menderita cacat permanen. Secara keseluruhan, insiden stroke per 1.000 orang yang berusia di atas 55 tahun berkisar antara 4,2–6,5. Terdapat perbedaan prevalensi stroke di beberapa negara di dunia dan hal itu mencerminkan pengaruh faktor genetik dan lingkungan (Liebeskind, 2014).
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 2.2 Sebagian besar penderita stroke akan mengalami kecacatan. Stroke merupakan penyebab kematian yang ketiga terbanyak di Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker dan juga di berbagai negara di dunia. Setiap tahunnya, 700.000 orang akan mengalami stroke baru atau berulang. Diperkirakan 500.000 merupakan serangan pertama dan 200.000 merupakan serangan ulang (Hacke dkk, 2003; William, 2000). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan stroke merupakan penyebab kematian utama di Indonesia dan merupakan Bab 2 – Mengenal Lebih Jauh tentang Stroke
7
pembunuh nomor 1 di RS pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), terdapat peningkatan yang dramatis kejadian stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke per tahun (Depkes RI, 2012). Prevalensi stroke di Indonesia mencapai 8,3 dari 1000 populasi. Angka prevalensi ini meningkat dengan meningkatnya usia. Data nasional Indonesia menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian tertinggi, yaitu 15,4% (Stroke Association, 2013). Didapatkan sekitar 750.000 insiden stroke per tahun di Indonesia dan 200.000 di antaranya merupakan stroke berulang (Price S.A., Wilson L.M., 2005). Data statistik dari Stroke Association di Eropa, menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya stroke berulang adalah 3,1% dalam 30 hari, 11,1% dalam satu tahun, 26,4% dalam lima tahun, dan 39,2% dalam waktu 10 tahun (Stroke Association, 2013). Dalam penelitian lain disebutkan bahwa 40% kejadian stroke akan berulang dalam rentang waktu 10 tahun (Hardie K., 2004). Penelitian epidemiologi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia didapatkan bahwa 19,9% kejadian stroke merupakan kejadian stroke berulang (Soertidewi L., Misbach J., 2007). Stroke juga merupakan penyebab utama gangguan fungsional dengan 20% penderita yang masih bertahan hidup membutuhkan perawatan institusi setelah 3 bulan dan 15–30% menjadi cacat permanen. Stroke juga merupakan kejadian yang dapat merubah kehidupan, bukan hanya mengenai seseorang yang dapat menjadi cacat, tetapi juga kepada seluruh anggota keluarga dan pengasuh yang lain (Goldstein dkk., 2006).
2.3 Bagaimana Stroke Diklasifikasikan? Para ahli mengklasifikasikan stroke menjadi beberapa macam. Pengklasifikasian tersebut ada yang berdasarkan gambaran klinis, patologi anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya. Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu karena setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosis yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa (Victor M. Dan Ropper A.H., 2001). Klasifikasi modifikasi Marshall untuk stroke adalah sebagai berikut. ~~ Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya: 1. Stroke Iskemia a. Transient Ischemic Attack (TIA) b. Trombosit serebri c. Emboli serebri 2. Stroke Hemoragik a. Perdarahan intraserebral b. Perdarahan subarakhnoid ~~ Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu: 8
Pencitraan pada Stroke
1. Transient Ischemic Attack (TIA) 2. Stroke-in-evolution 3. Completed stroke ~~ Berdasarkan sistem pembuluh darah: 1. Sistem karotis 2. Sistem vertebro-basiler
2.4 Mengetahui Faktor Risiko Stroke Faktor risiko stroke adalah faktor yang memperbesar kemungkinan seseorang untuk menderita stroke. Ada 2 kelompok utama faktor risiko stroke. Kelompok pertama ditentukan secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang termasuk kelompok ini adalah usia, jenis kelamin, ras, riwayat stroke dalam keluarga, dan serangan Transient Ischemic Attack atau stroke sebelumnya. Kelompok yang kedua merupakan akibat dari gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi. Faktor risiko utama yang termasuk kelompok kedua adalah hipertensi, diabetes mellitus, merokok, hiperlipidemia, dan intoksikasi alkohol (Bounameaux, et al., 1999). Adanya faktor risiko stroke ini membuktikan bahwa stroke adalah suatu penyakit yang dapat diramalkan sebelumnya dan bukan merupakan suatu hal yang terjadi begitu saja sehingga istilah cerebrovascular accident telah ditinggalkan. Penelitian epidemiologis membuktikan bahwa pengendalian faktor risiko dapat menurunkan risiko seseorang untuk menderita stroke (Hankey, 2002).
2.5 Perbaikan Stroke Data statistik menunjukkan bahwa begitu banyaknya masyarakat menderita karena stroke, akibat kecacatan yang ditimbulkannya dan pengaruhnya terhadap berbagai aspek kehidupan. Masih banyak yang tidak diketahui tentang bagaimana kompensasi otak terhadap kerusakan yang disebabkan oleh stroke. Pada beberapa sel otak kerusakan dapat bersifat sementara, tidak mengakibatkan kematian sel, dan hanya mengakibatkan berkurangnya fungsi otak. Secara umum, perbaikan stroke dapat digambarkan seperti penjelasan berikut ini (Duncan P.W., 1998 dan Brandstater M.E. 1996). 1. Sebesar 10% penderita stroke mengalami pemulihan hampir sempurna. 2. Sebesar 25% pulih dengan kelemahan minimum. 3. Sebesar 40% mengalami pemulihan sedang sampai berat dan membutuhkan perawatan khusus. 4. Sebesar 10% membutuhkan perawatan oleh perawat pribadi di rumah atau fasilitas perawatan jangka panjang lainnya. 5. Sebesar 15% langsung meninggal setelah serangan stroke. Bab 2 – Mengenal Lebih Jauh tentang Stroke
9
Terdapat dua tipe perbaikan stroke yang mempengaruhi perilaku aktifitas kehidupan sehari-hari yaitu tingkat defisit neurologis dan tingkat fungsional. Perbaikan neurologis merujuk adanya peningkatan hubungan spesifik antara stroke dengan defisit neurologis seperti defisit motorik, sensorik, visual, atau bahasa. Perbaikan fungsional merujuk adanya peningkatan pada aktifitas perawatan diri sendiri dan mobilitas yang dapat terjadi sebagai konsekuensi dari perbaikan neurologis. Perbaikan paling sering melibatkan beberapa kombinasi dari peningkatan neurologis dan fungsional. Pengelolaan stroke dibagi dalam 3 tahap yaitu: (1) akut, (2) rehabilitasi aktif, (3) adaptasi terhadap lingkungan/sosialisasi (Ryerson S.D., 1995). Pada fase akut, pasien stroke menjalani pena nganan medikamentosa yang intensif, pengendalian tekanan darah, gula darah, dan rehabilitasi pasif. Setelah fase akut terlewati, baru pasien ditangani rehabilitasi aktif, di samping itu juga beradaptasi dengan lingkungannya. Adanya pengurangan defisit neurologis pada pasien stroke terjadi karena hal berikut ini: (1) hilangnya edema serebri, (2) perbaikan sel saraf yang rusak, (3) adanya kolateral, dan (4) “retraining” (plastisitas otak). Secara umum, impairment yang disebabkan oleh stroke adalah hemiplagi atau hemiparesis yaitu sebesar 73%-88% pada stroke akut (Kauhanen M.L., 1999). Perbaikan fungsi motorik pada pasien stroke berhubungan dengan beratnya defisit motorik saat serangan stroke akut. Pasien dengan defisit motorik ringan akan lebih banyak kemungkinan untuk mengalami perbaikan dibandingkan dengan defisit motorik yang berat (Chemerinski E., et al., 2001 dan Kotilla M., et al., 1998). Pengaruh umur dan jenis kelamin terhadap perbaikan fungsi neurologis masih belum ada kesamaan pendapat dari beberapa peneliti (Chemerinski E., et al., 2001; Denis M., et al., 2000; Lai S.M., et al., 2002). Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa perbaikan status fungsional tampak nyata pada 3 bulan pertama dan mencapai tingkat maksimal dalam 6 bulan post stroke. Duncan, P.W. (1993) dalam penelitiannya melaporkan bahwa perbaikan fungsi motorik dan defisit neurologis terjadi paling cepat dalam 30 hari pertama setelah stroke iskemia dan menetap setelah 3-6 bulan, meskipun selanjutnya perbaikan masih mungkin terjadi (Duncan, P.W., 1998). Sementara itu, peneliti lain mendapatkan 50% pasien mengalami perbaikan fungsional paling cepat dalam 2 minggu pertama (Stroke, 2001).
2.6 Bagaimana Diagnosis Stroke Dapat Ditegakkan? Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia tahun 1999 mengemukakan bahwa diagnosis stroke dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Bustan, M.N., 2000; Arif, dkk. 2000; Wibowo, S. 2001). 10
Pencitraan pada Stroke
2.6.1 Anamnesis Anamnesis dapat dilakukan pada penderita sendiri dan keluarga yang mengerti tentang penyakit yang diderita. Anamnesis dilakukan dengan mengetahui riwayat perjalanan penyakit, misalnya waktu kejadian, penyakit lain yang diderita, dan faktor-faktor risiko yang menyertai stroke.
2.6.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain pemeriksaan fisik umum (yaitu pemeriksaan tingkat kesadaran, suhu, denyut nadi, anemia, paru, dan jantung), pemeriksaan neurologis dan neurovaskular.
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang Kemajuan teknologi kedok teran memberikan kemudahan untuk memb edak an antara stroke hemoragik dan stroke iskemia dengan ditemukannya berbagai modalitas radiologi, mulai dari computerized tomo graph scanning (CT Scan), cerebral angiografi, elektro ensefalografi (EEG), magnetic reson ance imaging (MRI), elektrokardiografi (EKG), peme riksaan labo r atorium dan lainnya.
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 2.3 Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan modalitas radiologi seperti ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui jenis stroke yang diderita pasien.
Rangkuman 1. Menurut World Health Organization (WHO) stroke didefinisikan sebagai suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik, baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.
Bab 2 – Mengenal Lebih Jauh tentang Stroke
11
2. Stroke memiliki tingkat mortalitas yang tinggi sebagai penyakit terbanyak ketiga yang menyebabkan kematian di dunia. 3. Menurut World Health Organization (WHO) terdapat 15 juta orang menderita stroke setiap tahun. Sekitar 5 juta dari mereka meninggal dan 5 juta orang lainnya akan menderita cacat permanen. 4. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke per tahun (Depkes RI, 2012). Prevalensi stroke di Indonesia mencapai 8,3 dari 1000 populasi. 5. Stroke diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis, patologi anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya. 6. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya, stroke dibeda kan menjadi stroke iskemia dan hemoragik. 7. Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu, stroke dibedakan menjadi transient ischemic attack (TIA), stroke-in-evolution, dan completed stroke. 8. Berdasarkan sistem pembuluh darah, stroke dibedakan menjadi sistem karotis dan sistem vertebro-basiler. 9. Faktor risiko stroke dibedakan menjadi pertama, faktor risiko yang ditentukan secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat dimodifikasi, contohnya faktor usia, jenis kelamin, ras, riwayat stroke dalam keluarga, dan serangan transient ischemic attack atau stroke sebelumnya. Faktor risiko kedua merupakan akibat dari gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi, misalnya hipertensi, diabetes mellitus, merokok, hiperlipidemia, dan intoksikasi alkohol. 10. Secara umum, perbaikan stroke dapat digambarkan seperti berikut: - Sebesar 10% penderita stroke mengalami pemulihan hampir sempurna. - Sebesar 25% pulih dengan kelemahan minimum - Sebesar 40% mengalami pemulihan sedang sampai berat dan membutuhkan perawatan khusus. - Sebesar 10% membutuhkan perawatan oleh perawat pribadi di rumah atau fasilitas perawatan jangka panjang lainnya. - Sebesar 15% langsung meninggal setelah serangan stroke. 11. Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia tahun 1999 mengemukakan bahwa diagnosis stroke dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan peme riksaan penunjang.
12
Pencitraan pada Stroke
Bab 3 Memahami Stroke Iskemia
S
troke iskemia atau yang dikenal juga dengan stroke non-hemoragik merupakan jenis stroke yang paling banyak yang diderita orang. Oleh karena itu, kita sangat perlu untuk memahami apakah stroke iskemia itu dan berbagai hal terkait dengannya.
3.1 Definisi Stroke Iskemia Stroke iskemia yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebab kan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Stroke iskemia secara umum diakibatkan oleh aterotrombosis pembuluh darah serebral, baik yang besar maupun yang kecil. Pada stroke iskemia, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang 13
menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung. Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap pembuluh darah arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil (ASA, 2011, Miscbach and Kalim, 2011). Embolus (gumpalan darah) pada arteri serebral menghalangi aliran darah menuju ke otak Lokasi jaringan otak yang mati Otak
Gumpalan darah terpisah dari tumpukan plak pada arteri karotis di leher
Embolus menghalangi aliran darah
Arteri serebral dalam otak
Jaringan otak mati
Arah aliran darah Sumber: Neuroscience, 2012
Gambar 3.1 Otak yang terkena stoke iskemia. Stroke iskemia akut memegang peranan sekitar 80% dari semua stroke dan merupakan penyebab penting morbiditas dan kematian di Amerika Serikat (Srinivasan et al., 2006). Beberapa faktor risiko yang sering menjadi penyebab stroke iskemia, baik pada usia muda maupun tua yaitu diabetes melitus, hipertensi, dan dislipidemia (Turanjanin et al., 2012).
3.2 Patofisiologi Stroke Iskemia Metode neuroimaging selalu memainkan peranan penting pada diagnosis stroke, termasuk dalam mengeksklusi patologi otak atau dalam estimasi lesi yang dapat diakses melalui pembedahan (Kornienko dan Pronin, 2009).
14
Pencitraan pada Stroke
Sebuah pemahaman patofisiologi yang jelas tentang latar belakang pengurangan aliran darah otak merupakan poin penting dari setiap diagnosa iskemia pada otak. Konsekuensi iskemia fokal akut dan tingkat pengaruh yang merusak tergantung pada tingkat keparahan dan durasi penurunan aliran darah. Secara umum, hilangnya fungsi daerah otak yang rusak terjadi ketika aliran darah otak menurun ke level 15–20 ml/100 g/menit. Penurunan aliran darah ke level 70–80% dari tingkat normal (di bawah 50 ml/100 g per menit) akan disertai dengan reaksi sintesis penghambatan albumin. Tingkat ini dianggap sebagai tingkat kritis pertama iskemia otak. Selanjutnya, penurunan aliran darah sampai 50% dari tingkat normal (sekitar 35 ml/100 g/menit) akan menyebabkan aktivasi glikolisis anaerob dan peningkatan konsentrasi laktat, asidosis laktat, dan edema sitotoksik. Terjadinya iskemia otak progresif dan penurunan aliran darah lebih lanjut (20 ml/100 g/menit) disertai dengan penurunan sintesis ATP, pengembangan insufisiensi energi, destabilisasi membran sel, pelepasan pemancar acidergic amino, dan penurunan fungsi aktif transportasi kanal ion. Saat aliran darah menurun di bawah tingkat kritis 10 ml/100 g/menit mengarah ke sel depolarisasi membran, hal ini dianggap sebagai kriteria utama kerusakan sel yang ireversibel (Kornienko dan Pronin, 2009). Daerah perifer yang mengalami iskemia, tetapi masih hidup disebut daerah penumbra. Daerah ini mempertahankan terjadinya metabolisme energi dan hanya memiliki perubahan fungsional. Pengembangan lebih lanjut karena terjadinya iskemia menyebabkan habisnya cadangan perfusi lokal dan neuron menjadi sangat sensitif terhadap penurunan aliran darah lebih lanjut. Inti dapat mengalami perubahan struktural ireversibel karena hal ini. Penumbra dapat diselamatkan oleh restorasi aliran darah dan penggunaan agen pelindung saraf. Penumbra merupakan target utama untuk diagnosis dini dengan penggunaan metode neuroradiologi modern dan pengobatan dini (Kornienko dan Pronin, 2009).
Jaringan yang mati
Sumber: Thurnher, M., 2008
Gambar 3.2 Jaringan otak yang mati dan daerah penumbra. Bab 3 – Memahami Stroke Iskemia
15
Pemeriksaan mikroskopis dapat mendeteksi perubahan saraf seperti pembengkakan mitokondria dan disorganisasi (neuron lebih sensitif terhadap iskemia daripada astrosit dan oligodendroglia) yang terlihat 20 menit setelah onset iskemia. Perubahan tersebut dapat menjadi satusatunya tanda iskemia selama 6 jam pertama. Waktu ekspresi maksimum edema otak yang merupakan sitotoksik edema yaitu berada di interval antara 24 hingga 48 jam. Hal ini menyebabkan gyri otak menebal dan sulitnya membedakan antara grey dan white matter. Durasi iskemia akut yaitu pada 2 hari pertama. Setelah itu, subakut fase infark dimulai. Periode ini berlangsung antara 7–10 hari (setelah onset stroke). Edema otak pada daerah iskemia maksimal muncul pada 3–5 hari setelah onset stroke. Pada tahap ini, edema vasogenik dan sitotoksik edema otak berlangsung (Kornienko dan Pronin, 2009). Fase kronis dapat terjadi sampai beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan. Pada periode ini, jaringan nekrotik rusak dan diserap kembali sehingga terjadi pembentukan encephalomalacia. Gyri yang keriput dan dilatasi pada bagian yang berdekatan dengan sistem ventrikel dapat ditemukan dalam kasus-kasus daerah infark relatif besar. Perubahan patologis yang disebutkan di atas muncul hampir pada semua jenis infark. Namun demikian, kondisi tertentu dari situs jaringan yang rusak bervariasi, tergantung pada lokasi, ukuran, dan penyebab iskemia tersebut (Kornienko dan Pronin, 2009).
3.3 Patogenesis Subtipe Stroke Iskemia Penyebab paling umum infark meliputi aterosklerosis arteri besar, kardioembolisme, dan lakunar (Zimmerman, 2010). Sumber emboli dapat berasal dari debris ateromatous, stenosis arteri, dan pembuntuan arteri atau emboli yang berasal dari jantung kiri (fibrilasi atrial) (Herring, 2007). Saat ini, ada beberapa klasifikasi stroke iskemia yang berbeda. Sebagai contoh, klasifikasi yang dikembangkan di Institut Riset Ilmiah Neurologi dari Russian Academy of Medical Science berikut ini (Kornienko dan Pronin, 2009). a. Stroke aterotrombotik Stroke jenis ini terjadi dalam beberapa tahap, dimulai dengan peningkatan bertahap dari manifestasi klinis selama beberapa jam atau hari. Sering kali dimulai saat tidur. Hal ini ditandai dengan adanya lesi aterosklerotik di arteri sisi stroke. TIA sering mendahului onset stroke. Ukuran stroke bervariasi dari kecil ke besar. Stroke aterotrombotik bersama dengan emboli arteri-arteri memegang peranan sebesar 47% dari semua kasus stroke. b. Stroke karena emboli jantung Ditandai oleh kondisi awal yang akut, stroke ini menyerang pasien dalam keadaan terbangun. Tanda-tanda neurologis fokal paling terlihat pada awal munculnya penyakit. Lokasi yang paling sering yaitu area arteri karotis 16
Pencitraan pada Stroke
tengah dan biasanya mengenai kortikal-subkortikal dan berukuran sedang atau besar. Menurut data, ada komponen perdarahan khas untuk jenis stroke ini. Jenis stroke ini memegang peranan sebesar 22% dari semua kasus stroke yang ada. c. Stroke hemodinamik Bentuk stroke ini ditandai dengan onset akut. Daerah yang paling sering diserang yaitu bidang yang sesuai dengan suplai darah. Ukurannya dapat bervariasi dari besar sampai kecil. Sebuah komponen hemodinamik juga hadir dalam bentuk penurunan tekanan darah dan curah jantung secara tibatiba. Stroke hemodinamik terjadi kurang dari 15% dari semua kasus stroke. d. Infark lakunar Infark lakunar adalah lesi kecil yang disebabkan oleh oklusi arteri perforans (Zimmerman, 2010). Infark lakunar disebut juga "microstroke", dengan ukuran mulai dari 1-1,5 cm. Hipertensi arteri sering mendahului stroke. Lokasi yang paling sering diserang yaitu inti subkortikal, batang otak, basal ganglia, kapsul internal, korona radiata dan sekitar white matter dari centrum semiovale (Osborn, 2004; Kornienko dan Pronin, 2009; Zimmerman, 2010). Ada tanda-tanda neurologis fokal yang khas dan dalam beberapa kasus hanya satu gejala timbul dengan tidak adanya tanda-tanda otak secara umum. Terjadinya lakunar stroke sebesar 20% dari semua kasus stroke.
3.4 Diagnosis Stroke Iskemia Berdasarkan pemeriksaan CT dan MRI, biasanya stroke dibagi menjadi tiga tahap yaitu akut, subakut, dan kronis. Ada beberapa inkonsistensi di antaranya dan perubahan patologis dalam jaringan otak. Namun secara umum, perubahan yang didiagnosis dengan penggunaan CT dan MRI mirip dengan perubahan makroskopik. Keduanya memiliki karakter yang sama dan perkembangan dalam proses terjadinya penyakit sesuai dengan tiga tahap utama yang disebutkan di atas (Kornienko dan Pronin, 2009). Berikut ini penjelasannya.
3.4.1 Superakut dan stroke akut CT memainkan peranan yang jauh lebih signifikan dalam diagnosa stroke daripada MRI karena mayoritas pasien stroke yang dirawat di unit perawatan intensif rumah sakit lebih mudah untuk melakukan CT scan daripada MRI. Meskipun pada pemeriksaan CT mendeteksi perubahan iskemia akut, namun tugas utama pemeriksaan CT adalah untuk menghilangkan adanya perdarahan dan patologi otak lainnya (seperti tumor, malformasi dan perdarahan, yang semuanya dapat memiliki manifestasi klinis yang sama dengan stroke iskemia). Fase stroke akut memiliki batas waktu tertentu, maksimal 2 hari. Potensi CT dalam mendeteksi stroke akut tergantung Bab 3 – Memahami Stroke Iskemia
17
pada jumlah waktu yang berlalu sejak onset stroke. Selama jam pertama, pemeriksaan CT tanpa kontras akan menampilkan gambar otak normal lebih dari 50% kasus (Kornienko dan Pronin, 2009). Tanda-tanda patologis yang terlihat dalam 12 jam pertama setelah onset stroke yaitu meningkatnya intensitas sepanjang arteri yang terkena dampak (hiperdens lebih sering divisualisasikan di cabang-cabang arteri serebral tengah, atau MCA yang disebut gejala atau fenomena MCA), kaburnya batasbatas nukleus lentiformis, tidak adanya celah subarachnoid dan kaburnya batas-batas antara grey dan white matter. Hiperdens MCA merupakan tanda trombosis. Gejala ini diamati pada 25% kasus stroke iskemia hingga 50% pada pasien stroke di wilayah MCA. Dalam 24 jam pertama, proses demarkasi wilayah iskemia berlangsung. Daerah iskemia menjadi hipodens dibandingkan dengan jaringan di sekitarnya (Kornienko dan Pronin, 2009).
3.4.2 Fase subakut iskemia Dalam kasus stroke yang disebabkan oleh gangguan aliran darah arteri besar, CT mengidentifikasi wilayah yang mengalami penurunan densitas yang tidak hanya mengenai white matter tetapi juga grey matter pada daerah yang sesuai dengan wilayah arteri yang sesuai. Efek massa akan muncul pada 3 hari pertama dan secara bertahap mengalami regresi pada akhir tahap subakut (Kornienko dan Pronin, 2009). Dalam 15–20% kasus tanda-tanda perdarahan, hal itu dapat terlihat pada CT tanpa kontras selama fase subakut. Tanda-tanda tersebut divisualisasikan dalam bentuk peningkatan densitas lokal yang terletak di basal ganglia dan samping gyri. Dalam kebanyakan kasus, transformasi hemoragik dapat diamati pada 4–6 hari pertama. Mengingat fakta bahwa integritas struktural dari penghalang sawar darah otak rusak dalam proses perkembangan iskemia maka sangat mungkin untuk memvisualisasikan peningkatan kontras patologis sepanjang gyri otak. Peningkatan fokus kontras di daerah yang terkena dapat terlihat 3–4 hari setelah onset stroke dan menetap selama periode yang relatif lama hingga 8–10 minggu (Kornienko dan Pronin, 2009).
3.4.3 Fase kronik iskemia Stroke pada tahap kronis (lebih dari 3 bulan) divisualisasikan pada CT sebagai daerah dengan CSF densitas (encephalomalacia). Pada stroke tahap kronis dapat disertai dengan dilatasi kompensasi dari bagian ipsilateral dari sistem ventrikel. Hal ini mencerminkan penurunan volume jaringan otak. Perifokal daerah stroke yang mewakili daerah gliosis dapat memiliki karakteristik hipodens. Peningkatan kontras pada CT tidak lagi divisualisasikan karena proses reparasi penghalang darah otak selesai (Kornienko dan Pronin, 2009).
18
Pencitraan pada Stroke
3.5 Watershed Infark Watershed infark adalah lesi iskemia yang terjadi di lokasi dengan karakteristik di persimpangan antara dua wilayah arteri utama (Johnson dan Kubal, 1999). Menurut literatur, lesi ini berperan sekitar 10% dari semua infark otak. Patofisiologinya belum sepenuhnya dapat dijelaskan, tetapi hipotesis sementara yang diterima menyatakan bahwa penurunan perfusi di daerah distal dari wilayah vaskular dapat menyebabkan rentan terhadap infark. Pada pencitraan yang paling sering terlihat yaitu infark perbatasan zona arteri lentikulostriata dan arteri serebri media (Mangla et al., 2011).
Zona perbatasan cortical antara ACA dan MCA
Zona perbatasan internal antara LCA dan MCA
Zona perbatasan cortical antara MCA dan PCA Sumber: Smithuis, 2008
Gambar 3.3 Pencitraan yang menunjukkan watershed infark.
3.6 Transient Ischemic Attack Transient ischemic attack (TIA) adalah gangguan neurologis fungsional yang mendadak dan terbatas pada wilayah vaskular dan biasanya berlangsung kurang dari 15 menit dengan resolusi lengkap selama 24 jam. Diagnosis TIA sulit dilakukan dan sekitar 25% kasus diagnosis klinis TIA tidak benar. Hal ini dapat terjadi karena infark atau etiologi lain, misalnya perdarahan intrakranial, migrain, atau kejang. Meskipun TIA memiliki berbagai penyebab, tetapi pada umumnya disebabkan karena suplai darah sementara yang tidak memadai untuk suatu wilayah fokus otak. TIA bukan suatu gangguan yang jinak dan hampir sepertiga pasien akhirnya akan memiliki infark serebral (sekitar 20% dalam waktu 1 bulan kejadian stroke berawal dari TIA). Meskipun terjadi resolusi gejala, namun demikian TIA memiliki gambaran difusi yang positif pada MRI. Pengukuran apparent diffusion coefficients (ADC) dari MR diffusion-weighted images (DWI) dapat menunjukkan difusi yang menurun ringan (< 25%). Sementara itu, di daerah tanpa gejala kelainan Bab 3 – Memahami Stroke Iskemia
19
pada sinyal DWI, menunjukkan bahwa meskipun tidak ada defisit fungsional permanen, neuron telah hilang (sekitar 25% dalam beberapa studi hewan). Dengan demikian, tindakan lanjutan pemeriksaan pada TIA sangat mendesak. Saat ini, dengan munculnya MDCT dan khususnya 64-slice CT, hal itu menawarkan metode baru dan menarik untuk menilai seluruh pembuluh darah otak yaitu mulai dari lengkungan ke sirkulus Wilisi dan hanya memerlukan waktu selama 6 detik (Teasdale dan Aitken, 2009). Defisit neurologis iskemia reversibel berlangsung kurang dari 7 hari dan gejala harus menghilang (Zimmerman, 2010). Tidak ada parameter pencitraan CT/CTA atau MRI yang bisa digunakan untuk memprediksi stroke berulang setelah TIA dan stroke ringan. Pencitraan hanya digunakan untuk memprediksi perkembangan stroke dan bukan untuk memprediksi stroke berulang (Horton et al., 2013). Skor ABCD mungkin berguna dalam memprediksi risiko terjadinya stroke pada 2 hari kemudian (Tabel 3.1). Evaluasi cepat dan tindakan awal pencegahan dalam waktu 24 jam secara signifikan terbukti dapat mengurangi risiko stroke berulang (Liao, 2011).
Tabel 3.1 Skor ABCD untuk memprediksi risiko terjadinya stroke •
Umur ≥ 60
1 poin
•
Tekanan darah: Tekanan sistol awal ≥ 140 atau tekanan diastol awal ≥ 90
1 poin
•
Ciri-ciri klinis:
•
•
Unilateral weaknessv
2 poin, atau
Gangguan berbicara tanpa adanya gangguan gerak
1 poin, atau
Yang lain
0 poin
Durasi TIA: ≥ 60 menit
2 poin, atau
10–59 menit
1 poin, atau
< 10 menit
0 poin
Diabetes
1 poin
Risiko stroke setelah 2 hari •
Tinggi: total 6–7 poin (risiko: 8,1%)
•
Sedang: total 4–5 poin (4,1%)
•
Rendah: total 0–3 poin (1,0%) Sumber: Horton et al., 2013
20
Pencitraan pada Stroke
Rangkuman 1. Metode neuroimaging selalu memainkan peranan penting pada diagnosis stroke, termasuk dalam mengeksklusi patologi otak atau dalam estimasi lesi yang dapat diakses melalui pembedahan. 2. Daerah perifer yang mengalami iskemia, tetapi masih hidup disebut daerah penumbra. Daerah ini mempertahankan terjadinya metabolisme energi dan hanya memiliki perubahan fungsional. 3. Penyebab paling umum infark meliputi aterosklerosis arteri besar, kardioembolisme, dan lakunar (Zimmerman, 2010). Sumber emboli dapat berasal dari debris ateromatous, stenosis arteri, dan pembuntuan arteri atau emboli yang berasal dari jantung kiri. 4. Ada beberapa klasifikasi stroke iskemia yang berbeda yaitu stroke aterotrombotik, stroke karena emboli jantung, stroke hemodinamik, dan infark lakunar. 5. Berdasarkan pemeriksaan CT dan MRI, biasanya stroke dibagi menjadi tiga tahap yaitu akut, subakut, dan kronis. 6. Watershed infark adalah lesi iskemia yang terjadi di lokasi dengan karakteristik di persimpangan antara dua wilayah arteri utama. 7. Transient ischemic attack (TIA) adalah gangguan neurologis fungsional yang mendadak dan terbatas pada wilayah vaskular dan biasanya berlangsung kurang dari 15 menit dengan resolusi lengkap selama 24 jam.
Bab 3 – Memahami Stroke Iskemia
21
22
Pencitraan pada Stroke
Bab 4 Memahami Stroke Hemoragik
M
orbiditas yang lebih parah dan mortalitas yang lebih tinggi terdapat pada stroke hemoragik dibandingkan stroke iskemia. Hanya 20% pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya (Nasissi, Denise, 2010). Stroke hemoragik memegang peranan sebesar 15% sampai 20% dari semua jenis stroke (Lumbantobing, SM, 2003). Sementara itu, perdarahan intra serebral terhitung sekitar 10 - 15% dari seluruh stroke dan memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi daripada infark serebral (Nasissi, Denise, 2010). Literatur lain menyatakan hanya 8 – 18% dari stroke keseluruhan yang bersifat hemoragik. Namun demikian, pengkajian retrospektif menemukan bahwa 40,9% dari 757 kasus stroke merupakan stroke hemoragik. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa peningkatan persentase mungkin dikarenakan karena peningkatan kualitas pemeriksaan seperti ketersediaan CT scan ataupun peningkatan penggunaan terapeutik agen 23
antiplatelet dan warfarin yang dapat menyebabkan perdarahan (Nasissi, Denise, 2010).
4.1 Apakah Stroke Hemoragik Itu? Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan ke dalam jaringan otak (disebut hemoragia intraserebrum atau hematom intraserebrum) atau perdarahan ke dalam ruang subarachnoid, yaitu ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut hemoragia subarachnoid). Stroke hemoragik merupakan jenis stroke yang paling mematikan dan merupakan sebagian kecil dari keseluruhan stroke yaitu sebesar 10-15% untuk perdarahan intraserebrum dan sekitar 5% untuk perdarahan subarachnoid (Felgin, V., 2006). Stroke hemoragik dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami rupture sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarachnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan subarachnoid adalah aneurisma sakular dan malformasi arteriovena (MAV) (Price, SA, Wilson, LM, 2006).
Sumber: Joe Niekro Foundation, 2015
Gambar 4.1 Pecahnya pembuluh darah di otak pada stroke hemoragik.
4.2 Bagaimana Stroke Hemoragik Diklasifikasikan? Terdapat dua bentuk stroke hemoragik, yaitu intracerebral hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH). Kedua bentuk ini memiliki etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, dan gambaran radiologis yang berbeda (Yates, 2014).
24
Pencitraan pada Stroke
Intracerebral Hemorrhage
Perdarahan di dalam otak
Subarachnoid Hemorrhage
Perdarahan di ruang subarachnoid
Sumber: (a) UF Health, 2015 dan (b) Joe Niekro Foundation, 2015
Gambar 4.2 Terjadinya intracerebral hemorrhage dan subarachnoid hemorrhage.
4.2.1 Intracerebral hemorrhage (ICH) Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral. Hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol merupakan penyebab utama stroke hemoragik. Penyebab lainnya adalah pecahnya aneurisma, malformasi arterivena, angioma kavernosa, alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoagulan, dan angiopati amiloid (Setyopranoto, I., 2011). Antara 30–40 orang per 10.000 orang per tahun terserang stroke ICH (Yates, 2014). Perdarahan intraserebral (ICH) adalah perdarahan primer yang berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Sebesar 70% kasus ICH terjadi di kapsula interna, 20% terjadi di fosa posterior (batang otak dan serebelum) dan 10% di hemisfer (di luar kapsula interna). ICH terutama disebabkan oleh hipertensi (50-68%) (Harsono, 2003). Angka kematian untuk perdarahan intraserebrum hipertensif sangat tinggi, mendekati 50%. Perdarahan yang terjadi di ruang supratentorium (di atas tentorium cerebeli) memiliki prognosis yang baik apabila volume darah sedikit. Namun, perdarahan ke dalam ruang infratentorium di daerah pons atau cerebellum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk karena cepatnya timbul tekanan pada struktur–struktur vital di batang otak (Price, SA, Wilson, L.M., 2006.).
4.2.2 Subarachnoid hemorrhage (SAH) Stroke SAH terjadi pada 6–10 orang per 100.000 orang per tahun pada populasi negara Barat. Di negara lain, prevalensi SAH berbeda. Di Jepang dan Finlandia, SAH menyerang 15–20 orang per 100.000 orang per tahun. Pada umumnya, pasien terkena SAH pada usia yang relatif Bab 4 – Memahami Stroke Hemoragik
25
muda. Setengah pasien yang terkena SAH berusia < 50 tahun (van Gijn, et al., 2007). Perdarahan subarachnoid adalah keadaan akut yaitu terdapatnya/ masuknya darah ke dalam ruangan subarachnoid atau perdarahan yang terjadi di pembuluh darah di luar otak, tetapi masih di daerah kepala seperti di selaput otak atau bagian bawah otak (Price, SA, Wilson, LM, 2006). SAH menduduki sekitar 7-15% dari seluruh kasus gangguan peredaran darah otak. SAH paling banyak disebabkan oleh pecahnya aneurisma (50%) (Harsono, 2003). Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arterivena atau tumor (Setyopranoto, I., 2011).
4.3 Epidemiologi Stroke Hemoragik Insidens kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu 500.000 per tahunnya dan sebesar 10-15% merupakan stroke hemoragik, khususnya perdarahan intraserebral. Mortalitas dan morbiditas pada stroke hemoragik lebih besar daripada stroke iskemia. Dilaporkan hanya sekitar 20% saja pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya. Selain itu, ada sekitar 40-80% yang akhirnya meninggal pada 30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50% meninggal pada 48 jam pertama. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan dari 251 penderita stroke, ada 47% wanita dan 53% laki-laki dengan rata-rata umur 69 tahun (78% berumur lebih dari 60 tahun). Pasien dengan umur lebih dari 75 tahun dan berjenis kelamin laki-laki menunjukkan outcome yang lebih buruk (Nasissi, Denise. 2010).
4.4 Etiologi Stroke Hemoragik Ada banyak faktor yang berperan dalam menentukan seseorang terkena stroke atau tidak. Beberapa faktor tersebut antara lain sebagai berikut. a. Usia Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke. Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65 tahun; 70% terjadi pada mereka yang 65 tahun ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk setiap 10 tahun di atas 55 tahun (Sotirios A.T., 2000). b. Hipertensi Hipertensi menyebabkan 2/3 kasus ICH. Area yang sering terkena adalah thalamus, ganglia basalis, pons, serebellum (Liebeskind, 2014). Area-area ini merupakan area yang mendapatkan vaskularisasi dari r. perforantes MCA atau a. basilaris (Wanke, 2007). Sebagai respon terhadap tekanan darah yang tinggi, arteri-arteri kecil ini akan mengalami 26
Pencitraan pada Stroke
hiperplasia tunika intima, hialinisasi tunika intima, dan degenerasi tunika media, yang meningkatkan risiko nekrosis fokal pada dinding vaskular dan akhirnya ruptur. Peneliti lain mengusulkan bahwa stres hemodinamik pada arteri kecil akan mengakibatkan terbentuknya mikro-aneurisma, yang disebut Charcort-Bouchard aneurisma. Mikro-aneurisma inilah yang dianggap menjadi penyebab ICH lobar pada pasien dengan hipertensi tanpa kelainan vaskular (Smith, et al., 2011). c. Riwayat stroke sebelumnya d. Alkohol e. Narkoba Penggunaan kokain dan phenylcyclidine terkait dengan stroke hemoragik, meskipun keduanya tidak memiliki sifat anti-koagulan (Magistris, 2013). f.
Koagulopati dan penggunaan anti-koagulan/trombolitik Koagulopati pada pasien dengan gagal hati ataupun karena genetik dapat menyebabkan terjadinya ICH. Pasien dengan status slow metabolizer terhadap warfarin berisiko menderita ICH jika diberikan terapi warfarin. Status ini disebabkan oleh polimorfisme pada gen CYP2C9 (Liebeskind, 2014). g. Cerebral amyloidosis Cerebral amyloidosis (CA) sering mengenai pasien manula. CA bertanggung jawab atas 10% kejadian ICH (Liebeskind, 2014). CA jarang mengenai pasien berusia < 60 tahun. Gejala CA ditandai dengan penumpukan amiloid beta-protein pada vaskular sedang dan kecil, pada leptomeningeal dan korteks, tidak mengenai vaskular ganglia basalis, substansia alba dan fossa posterior. Tidak sepenuhnya diketahui, mekanisme yang dicurigai adalah adanya mutasi pada protein prekursor amiloid tertentu dan pada gen apolipoprotein E. Vaskular yang terkena akan mengalami fibrosis, nekrosis dan pembentukan aneurisma, yang akan ruptur dan menyebabkan ICH. Pada umumnya, ICH akan muncul di korteks subkorteks, terutama di lobus temporal atau oksipital (Smith, et al., 2011). h. Malformasi arteriovena dan fistula arteriovena Beberapa kelainan genetika memiliki manifestasi berupa kelainan vaskular misalnya malformasi (arteriovenous malformation, AVM) atau hereditary hemorrhagic telangiectasis (Liebeskind, 2014). Malformasi vaskular otak dapat dibagi menjadi empat bagian besar yaitu malformasi vena, capillary telangiectasis, malformasi arteriovenous, dan cavernoma. Dua kelompok terakhir berpotensi menyebabkan stroke hemoragik. Prevalensi AVM tidak dapat diketahui karena besarnya proporsi pasien asimtomatik (Smith, et al., 2011). Berdasarkan hasil otopsi menunjukkan bahwa hanya sekitar 12% AVM akan menimbulkan gejala selama hidup dengan manifestasi utama adalah perdarahan (30–82%). Perdarahan Bab 4 – Memahami Stroke Hemoragik
27
yang terjadi mayoritas adalah SAH (30%), disusul oleh ICH (23%), intraventricular hemorrhage (IVH, 16%), dan campuran (30%). Risiko perdarahan tahunan sebuah AVM yaitu sekitar 2–4% (Wanke, 2007). Risiko perdarahan ini akan naik hingga mencapai 18% jika sebelumnya sudah pernah terjadi perdarahan (Smith, et al., 2011). Angka mortalitas AVM yang ruptur berkisar antara 10–15% dengan angka kesakitan sebesar 50%. Sekitar 37% pasien yang mengalami ruptur AVM akan mandiri setelah perawatan yang cukup (Wanke, 2007). Secara histopatologi, AVM terdiri atas sebuah feeding artery yang mengalami muskularisasi, duplikasi, atau disrupsi lamina elastika, fibrosis tunika media, dan penipisan fokal dinding vaskular; sebuah draining vein yang mengalami arterisasi; sebuah nidus jalinan vaskular antara feeding artery dan draining vein yang memiliki komponen dominan fibrosis pada dindingnya; dan jaringan parenkim otak gliotik di antara vaskular penyusun AVM (Wanke, 2007). Pada fistula arteriovena, tidak terdapat nidus (Smith, et al., 2011). i.
Cavernoma Cavernoma atau yang disebut juga cerebral cavernous malformation atau cavernous angioma adalah kelainan vaskular otak yang ditandai dengan sinosoid yang dilapisi oleh endotel dan tidak memiliki parenkim otak di antara sinosoid tersebut. Kelainan yang menyumbang 8–15% dari seluruh kelainan vaskular intrakranial ini dapat muncul akibat sporadik, herediter, atau setelah terapi radiasi. Cavernoma tidak menampakkan predileksi jenis kelamin dan tidak pernah tumbuh aktif. Sekitar 255 cavernoma ditemukan pada populasi pediatrik. Cavernoma multiple muncul pada 90% kasus herediter dan 25% kasus sporadik sehingga jika sebuah cavernoma terdeteksi dalam CTA maka harus dicari cavernoma lainnya (Wanke, 2007). Diperkirakan sekitar 40% cavernoma tidak memberikan gejala. Pada umumnya, pasien akan menimbulkan gejala antara dekade ketiga dan kelima. Gejala yang dapat muncul antara lain defisit neurologi fokal, kejang, perdarahan berulang, dan sakit kepala kronik. Cavernoma pada batang otak akan menimbulkan gejala batang otak seperti ataksia, diplopia, dan gangguan sensorik, akan tetapi tidak pernah menyebabkan kejang. Kejang yang terjadi tidak berhubungan dengan perdarahan, melainkan dengan deposit hemosiderin pada jaringan saraf sekitar cavernoma. Hal ini penting untuk terapi operatif di mana cincin deposit hemosiderin harus ikut diangkat (Wanke, 2007). Meskipun jelas bahwa masalah utama yang harus diatasi dari cavernoma adalah perdarahan, namun pada kenyataannya tidaklah demikian jelas. Literatur ilmiah mengenai cavernoma memiliki berbagai macam istilah perdarahan dan definisi. Secara umum, mayoritas literatur mendukung risiko perdarahan sebuah cavernoma per tahun adalah 0,5–1% (Wanke, 2007). Risiko untuk perdarahan ulang sebesar 4,5– 26% (Smith, et al., 2011). Untuk pasien pada umumnya dan terutama 28
Pencitraan pada Stroke
untuk mereka yang berusia di atas 35 tahun, yang memiliki sebuah cavernoma berdiameter < 10 mm dengan kejang sebagai gejala pertama maka pendekatan observasi cukup beralasan. Untuk pasien yang pernah mengalami perdarahan sebagai manifestasi klinis maka risiko perdarahan ulang akan tinggi (Wanke, 2007). j.
Vaskulitis Vaskulitis otak merupakan suatu kelompok penyakit heterogen dengan berbagai etiologi yang semuanya ditandai dengan inflamasi dengan atau tanpa nekrosis dinding vaskular. Informasi klinis yang diperlukan dalam menentukan jenis vaskulitis sangat ekstensif. Beberapa di antaranya yaitu umur, jenis kelamin, etnisitas, dan keterlibatan organ lain (seperti kulit atau paru), penggunaan obat (termasuk narkoba), dan hasil laboratorium (rheumatoid factor, LED, CRP) (Garg, 2011). k. Tumor Tumor otak primer maupun sekunder menyebabkan 1–14% stroke hemoragik. Perdarahan dapat berada intra-tumoral maupun meluas ke parenkim otak sekitar (Smith, et al., 2011).
Tabel 4.1 Daftar tumor yang cenderung mengalami perdarahan Jenis tumor
Jenis tumor
Metastasis
Gliobastoma/oligodendroglioma
Melanoma
Ependimoma/subependimoma
Paru
Peripheral neuroectodermal tumor
Ginjal
Epidermoid
Tiroid
Data dari Osborn A.G. Diagnostic neuroradiology. St. Louis (MO): Mosby; 1994
Choriocarcinoma Tumor otak primer Pituitari adenoma
Sumber: Smith, et al., 2011
l.
Aneurisma Peluang menemukan aneurisma pada orang muda tanpa faktor risiko lain adalah sebesar 2,3% (van Gijn, et al., 2007). Aneurisma bertanggung jawab terhadap kejadian SAH. Namun penelitian lain mencatat 34% ruptur aneurisma berkaitan dengan ICH dan sekitar 1,6% ruptur ini terkait dengan ICH tanpa SAH. Kejadian yang terakhir ini mungkin disebabkan oleh aneurisma yang terselimuti oleh atau menjorok ke parenkim otak (Smith, et al., 2011). Sebagian besar aneurisma berbentuk sakular (berry aneurysm) (Liebeskind, 2014.) Bentuk lainnya yaitu fusiform. Sekitar 85% aneurisma sakular terdapat pada sirkulasi anterior. Sekitar 30–35% aneurisma muncul pada AcomA. Sebenarnya, beberapa aneurisma ini tidak benar-benar melibatkan AcomA, melainkan mereka muncul dari ACA pada peralihan segmen A1/A2. Sekitar 30% Bab 4 – Memahami Stroke Hemoragik
29
aneurisma disumbangkan oleh ICA dan PcomA, sementara bifurkasi MCA memberikan 20% aneurisma. Sekitar 10–15% aneurisma muncul dari sirkulasi posterior. Sangat jarang terjadi aneurisma muncul dari a. cerebelli posterior inferior atau a. vertebralis. Aneurisma dapat soliter (70–75%) atau multiple (25–30%) (Wanke, 2007). Arteri serebral anterior
Arteri komunikating anterior Arteri serebral tengah
40% Arteri karotis internal
20%
Arteri serebral posterior
Arteri komunikating posterior
Arteri basilar
Sumber: Magistris, 2013
Gambar 4.3 Tempat predileksi aneurisma. Berlawanan dengan anggapan selama ini, aneurisma bukanlah kelainan kongenital, melainkan sebuah kelainan yang berkembang seiring waktu, akibat interaksi berbagai faktor. Selain pengaruh lokasi pada sirkulus Wilisi seperti yang tercermin dari kecenderungan aneurisma yang muncul pada tempat-tempat tertentu (Wanke, 2007), faktor yang paling berperan adalah stres hemodinamik dan kelainan genetik yang menyebabkan kelemahan fokal dinding vaskular. Beberapa kelainan genetik yang menyebabkan aneurisma adalah autosomal dominan policystic renal disease, sindroma Loeys Dietz, sindroma Ehler Danlos tipe IV (Liebeskind, 2014). Faktor lain yang diduga berpengaruh adalah aterosklerosis, merokok, alkohol, dan inflamasi (Wanke, 2007). Risiko ruptur meningkat seiring peningkatan diameter aneurisma. Namun, sebagian besar aneurisma yang ruptur dan menyebabkan SAH adalah aneurisma kecil dengan diameter < 1 cm. Penjelasan untuk 30
Pencitraan pada Stroke
paradoks ini adalah sekitar 90% aneurisma yang ada berukuran kecil sehingga jika sebagian kecil dari aneurisma ini ruptur maka jumlahnya tetap melebihi sebagian besar aneurisma besar yang ruptur (van Gijn, et al., 2007). Risiko ruptur aneurisma pada primigravida muda pada trisemester ketiga dapat naik hingga 5 kali lipat mencapai angka 1/10.000 pasien (Zak, et al., 2007). m. Ruptur kapiler atau vena Ruptur kapiler atau vena diperkirakan adalah etiologi SAH perimesencephalic atraumatik non-aneurisma (Liebeskind, 2014). Sebanyak 10% dari seluruh SAH disebabkan oleh ruptur kapiler/vena perimesensefalik ini (van Gijn, et al., 2007). Sebanyak 21–68% SAH dengan angiografi negatif untuk aneurisma disebabkan oleh etiologi ini. Meskipun tidak dapat dibedakan dengan yang lain yaitu dengan CT scan, etiologi ini harus dipikirkan jika menemukan SAH yang terletak tepat di anterior mesensefalon, sementara petunjuk untuk etiologi lain tidak ditemukan. Selain itu, dapat ditemukan perluasan ke bagian anterior sisterna ambien atau ke bagian basal fissura Sylvii. Entitas klinis ini memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan SAH akibat ruptur aneurisma arteri (Smith, et al., 2011). n. Trombosis sinus venosus Trombosis vena intraserebral atau sinus dural diperkirakan terjadi 3–4/1.000.000 orang, dengan 75% kasus terjadi pada wanita. Sekitar 39% dari seluruh trombosis ini berakibat pada perdarahan (Smith, et al., 2011). Hal ini patut dipertimbangkan pada pasien ibu hamil/ nifas karena trombosis sinus venosus menyumbang 6% pada kematian ibu. Meskipun dapat terjadi kapan saja dalam masa kehamilan/nifas, insiden paling tinggi terjadi pada minggu kedua masa nifas (Zak, et al., 2007). o. Hipertensi dalam kehamilan Meskipun sangat jarang, terdapat laporan kasus bahwa hipertensi dalam kehamilan dapat menyebabkan SAH. Hal ini mungkin disebabkan oleh kenaikan tekanan darah mendadak selama kehamilan/persalinan yang disertai dis-autoregulasi vaskular otak sehingga menyebabkan ruptur arteri pial yang relatif halus (Zak, et al., 2007). ICH pada pasien hamil dengan preklampsia pun pernah dilaporkan. Disertai dengan tanda Posterior Reversible Encephalopathy Syndrome (PRES), ICH ini pun dicurigai disebabkan oleh peningkatan tekanan darah mendadak disertai dis-autoregulasi vaskular otak (Gasco, et al., 2009).
Bab 4 – Memahami Stroke Hemoragik
31
4.5 Patofisiologi Stroke Hemoragik Kedua jenis stroke hemoragik cukup berbeda dalam hal patofisiologi. Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih sebesar 20 % adalah stroke hemoragik dan masing-masing 10% untuk perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2000). Pada ICH, perdarahan terjadi di dalam parenkim otak. Hal ini diperkirakan terjadi akibat bocornya darah dari pembuluh yang rusak akibat hipertensi kronis. Tempat predileksi antara lain thalamus, putamen, serebellum, dan batang otak. Selain hipoperfusi, parenkim otak juga terkena kerusakan akibat tekanan yang disebabkan oleh efek massa hematoma atau kenaikan tekanan intrakranial (TIK) secara keseluruhan (Liebeskind, 2014). ICH memiliki tiga fase, yaitu perdarahan awal, ekspansi hematoma, dan edema peri-hematoma. Perdarahan awal disebabkan oleh faktor-faktor risiko di atas. Prognosis sangat dipengaruhi oleh kedua fase berikutnya. Ekspansi hematoma, yang terjadi dalam beberapa jam setelah fase perdarahan awal terjadi, akan meningkatkan TIK yang pada gilirannya akan merusak BBB (Blood Brain Barrier). Peningkatan TIK berpotensi menyebabkan herniasi. Kerusakan BBB ini menyebabkan fase berikutnya yaitu pembentukan edema peri-hematoma. Fase terakhir ini dapat terjadi dalam beberapa hari setelah fase pertama terjadi dan merupakan penyebab utama perburukan neurologis, akibat penekanan bagian otak normal (Magistris, 2013). Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola yang berdiameter 100–400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut yaitu berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan pecahnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriola dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2000). Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemia akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000). Perdarahan subarachnoid terjadi akibat pembuluh darah di sekitar permukaan otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM) (Caplan, 2000). SAH mengakibatkan banyak hal. Selain peningkatan TIK, SAH mengakibatkan vasokonstriksi akut, agregasi 32
Pencitraan pada Stroke
platelet, dan kerusakan mikrovaskular. Hal ini mengakibatkan penurunan bermakna perfusi otak dan iskemia (Liebeskind, 2014).
4.6 Manifestasi Klinis Terdapat beberapa kontelasi klinis yang mengarah ke stroke. Namun demikian, seiring pasien dengan sepsis, syncope, atau kejang akibat kelainan ekstrakranial lainnya yang berpotensi sulit dibedakan dengan stroke, jika presentasi penyakit tersebut atipikal. Terdapat sebuah sistem skor yang dirancang untuk membantu klinisi guna memilah kasus stroke dari non-stroke, yaitu skor ROSIER. Skor yang nilainya berkisar antara –2 hingga +5 ini memiliki sensitivitas 92%, spesifisitas 86%, nilai duga positif 88%, dan nilai duga negatif 91%. Jika seorang pasien memiliki skor > 0, besar kemungkinannya kontelasi klinis yang dialami disebabkan oleh stroke (Magistris, 2013).
Tabel 4.2 Daftar kontelasi klinis stroke (A) dan skor ROSIER (B) Kasus simptom Onset akut Tangan lemah Kaki lemah Gangguan bicara Wajah tidak normal Limb parasthesia Visual disturbances Facial parasthesia Vertigo Impaired limb coordination Convulsive fits
% 96 63 54 53 23 20 11 9 6 5 1
Komponen
Poin
Asymetrical facial weakness
1
Asymetrical arm weakness
1
Asymetrical leg weakness
1
Speech disturbance
1
Visual field defect
1
Seizure
–1
Loss of consciousness
–1
B
Sumber: Magistris, 2013
A Tidak ada satu pun manifestasi klinis yang dapat membedakan antara kedua subtipe stroke dengan meyakinkan. Meskipun demikian, manifestasi sistemik seperti mual muntah, sakit kepala, kejang, hipertensi maligna, dan penurunan kesadaran merupakan tanda peningkatan TIK sehingga lebih mengarahkan diagnosis ke stroke hemoragik (Liebeskind, 2014). Reaksi Cushing (hipertensi, bradikardia, dan irregularitas pernapasan) merupakan tanda peningkatan TIK yang penting. Dibandingkan SAH yang mendadak, manifestasi klinis ICH membutuhkan waktu hingga hitungan jam untuk muncul (gradual). Namun tetap lebih dramatis daripada stroke iskemia (Magistris, 2013). Meskipun demikian, manifestasi klinis yang
Bab 4 – Memahami Stroke Hemoragik
33
saling tumpang tindih sering terjadi dan sering kali pasien datang dengan manifestasi atipikal (Smith, et al., 2011). Salah satu sistem skoring yang sering digunakan untuk membantu membedakan kedua subtipe stroke hemoragik adalah sistem skor Siriraj. Sistem skoring ini telah tervalidasi di berbagai pusat pelayanan kesehatan dan cukup dapat diandalkan untuk membedakan kedua subtipe stroke dalam keadaan Computed Tomography (CT) scan tidak tersedia. Skor lain yang cukup sering digunakan adalah skor Allen (Nouira, 2008). Penelitian lain menyimpulkan bahwa sistem skoring Siriraj lebih sederhana sekaligus lebih akurat daripada Allen dalam menentukan subtipe stroke (Sherin, 2011). Jika tersedia, CT scan atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) harus menjadi patokan dalam membedakan kedua subtipe stroke (Sheta, 2012).
Tabel 4.3 Sistem skoring Allen Variabel Gambaran Klinis Onset apoplectic (kehilangan Satu atau tidak ada kesadaran, sakit kepala dalam 2 jam, satupun muntah, leher kaku Dua atau lebih Tingkat kesadaran (24 jam setelah Siap siaga terserang) Mengantuk Tidak sadar Plantar responses Fleksor ganda atau ekstensor tunggal Ekstensor ganda Tekanan diastol (24 jam setelah Kali terserang stroke, dalam mm Hg) Marker ateroma (angina, klaudikasio, Tidak satu pun sejarah diabetes Satu atau lebih Sejarah hipertensi Tidak ada Ada Kejadian sebelumnya (TIA atau Tidak satu pun stroke) Beberapa kejadian Penyakit jantung Tidak satu pun Murmur aortik atau mitral Gagal jantung Kardiomiopati Fibrilasi atrial Kardiomegali (dari radiografi) 34
Skor 0
21,9 0 7,3 14,6 0 7,1 0,17 0 –3,7 0 –4,1 0 –6,7 0 –4,3 –4,3 –4,3 –4,3 –4,3
Pencitraan pada Stroke
Variabel Infark miokardial (dalam 6 mo) Konstan
Gambaran Klinis
Skor –4,3 –12,6
Sumber: Nouira, 2008
Tabel 4.4 Sistem skoring Siriraj Kesadaran
Siap siaga Keadaan mengantuk atau pingsan Koma atau semikoma Muntah Tidak Ya Sakit kepala (dalam 2 hari) Tidak Ya Tekanan diastol (dalam mm Hg) Kemungkinan Marker ateroma Tidak satu pun sejarah diabetes, Klaudikasio Satu atau lebih berselang, atau angina Konstan
0 2,5 5 0 2 0 2 0,1 0 –3 –12
Sumber: Nouira, 2008
4.7 Manifestasi Klinis ICH Defisit neurologis fokal yang terjadi dapat diperkirakan dari daerah otak yang terserang, yaitu seperti berikut ini (Liebeskind, 2014). a. Hemisfer kanan : Hemipareis kiri, hipesthesia kiri, buta mata kiri, afasia. b. Hemisfer kiri : Hemiparesis kanan, hipesthesia kanan, buta mata kanan. c. Serebellum : Penurunan kesadaran drastis, apneu dan kematian, ataksia ipsilateral, merot. d. Putamen : Hemiparesis kontralateral, hipesthesia kontra lateral, hemianopsia homonim, afasia, apraksia. e. Thalamus : Hemiparesis kontralateral, hipesthesia kontra lateral, hemianopsia homonim, afasia, miosis, kebingungan. f. Nukleus kaudatus : Hemiparesis kontralateral, kebingungan. g. Batang otak : Tetraparesis, merot, penurunan kesadaran, miosis, instabilitas autonomik, ocular bobbing.
Bab 4 – Memahami Stroke Hemoragik
35
4.8 Manifestasi Klinis SAH Kebanyakan aneurisma tidak memberikan gejala sama sekali hingga pada saat aneurisma itu ruptur (Wanke, 2007). Nyeri kepala yang terjadi mendadak (thunderclap headache, the worst headache in my life) merupakan tanda khas untuk SAH (Liebeskind, 2014). Pada sekitar 30% pasien, sakit kepala ini terjadi pada ipsilateral aneurisma yang ruptur. Pasien yang datang dengan sakit kepala khas seperti ini meskipun tidak memiliki tanda defisit neurologis lain, namun memiliki kemungkinan terkena SAH sebanyak 10–16%. Sekitar 5–15% pasien ini salah didiagnosis (Lemonick, 2010). Nyeri kepala pada SAH dapat disertai atau tidak disertai dengan gejala lain seperti kaku kuduk akibat iritasi meningen, hilang kesadaran sesaat, mual, muntah atau defisit neurologis fokal. Sebaliknya, jika pasien dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadar, keluhan nyeri kepala mungkin tidak terlaporkan (Wanke, 2007). Sakit kepala pada beberapa pasien muncul terlambat. Pada beberapa kasus, sakit kepala ini membaik dengan pemberian obat anti nyeri (Edlow, 2012). Satu dari lima pasien dengan SAH melaporkan bahwa beberapa hari sebelumnya terdapat nyeri kepala serupa dengan intensitas lebih rendah (sentinel headache) (Smith, et al., 2011). Kaku kuduk hanya muncul 3–12 jam setelah ruptur dan mungkin tidak muncul sama sekali pada pasien dengan koma dalam atau dengan SAH kecil. Nyeri punggung dan/atau tungkai dapat muncul. Gejala ini disebabkan oleh iritasi radiks nervus lumbosakral oleh darah. Pada beberapa pasien, gejala dan tanda klinis ringan tersebut dapat terjadi beberapa hari sebelum ruptur sesungguhnya terjadi (Wanke, 2007). Pasien dengan SAH disertai paralisis nervus okkulomatorius, nistagmus, dizziness, dan ataksia sangat sugestif yang diakibatkan oleh ruptur aneurisma PcomA. Sementara itu, paraparesis dan abulia terjadi pada ruptur AcomA dan hemiparesis dan afasia menandai ruptur aneurisma MCA (Ghandehari, 2012). Meski pungsi lumbal (lumbal puncture, LP) berperan sebagai modalitas diagnostik baku emas, pencitraan berperan pada kasus SAH dengan tandatanda peningkatan TIK. Hal ini disebabkan karena LP dapat memicu herniasi sehingga pendekatan LP sebagai modalitas diagnostik pertama terbukti bermasalah. Selain itu, CT dapat mendeteksi dan menyingkirkan diagnosis banding yang lain. Pada kasus di mana kecurigaan klinis pada SAH tinggi namun hasil CT kepala normal maka dilakukan LP 12 jam setelah onset nyeri kepala. Dasar dari langkah ini adalah xanthochromia, indikator yang membedakan SAH dari traumatic tap, muncul 12 jam setelah onset penyakit. Cara lain untuk membedakan SAH dengan traumatic tap yaitu dengan menggunakan 4 tabung pengambilan sampel Cerebro-Spinal Fluid (CSF). Jika jumlah eritrosit menurun secara progresif pada keempat tabung tersebut,maka traumatic tap telah terjadi. Bila xanthochromia positif, lakukan Computed Tomography Angiography (CTA) untuk menemukan lokasi aneurisma. Bila xanthochromia negatif, maka tidak diindikasikan 36
Pencitraan pada Stroke
untuk menggunakan CTA. Pendekatan diagnostik ini akan mendeteksi SAH dengan sensitivitas 100%, spesifisitas 67%, dan nilai duga negatif 99%. Xanthochromia dinilai menggunakan spektrofotometri atau menggunakan mata telanjang kemudian dibandingkan dengan air suling di depan latar putih. Penyebab positif palsu xanthochromia adalah penggunaan rifampin, ikterus, karoten, dan peningkatan protein CSF (> 150 mg/dL) (Lemonick, 2010).
Sumber: van Gijn, et al., 2007
Gambar 4.4 Warna xantochromia (kanan) dibandingkan dengan warna bening air (kiri). Hasil CT normal tidak dapat menyingkirkan SAH sepenuhnya. Gambaran SAH pada CT scan tergantung pada beberapa faktor antara lain jumlah perdarahan, kadar hematokrit, dan selang waktu. Dengan mesin CT scan modern, pengambilan citra dalam 24 jam post ictal akan menunjukkan SAH dengan sensitivitas 95%. Namun demikian, akibat pengenceran oleh CSF maka setelah beberapa hari kemudian SAH akan sulit dilihat. Sensitivitas CT dalam mendeteksi SAH akan turun menjadi 80% pada hari ketiga, 70% pada hari kelima, 50% pada hari ketujuh, dan 30% pada hari keempat belas (Mark, 2013). Bahkan ada sumber yang menyatakan bahwa sensitivitas CT scan dalam mendeteksi SAH turun hingga menjadi 0% setelah minggu ketiga (Yuan, 2005).
Sumber: van Gijn, et al., 2007
Gambar 4.5 Hasil CT scan kepala tanpa kontras. Bab 4 – Memahami Stroke Hemoragik
37
Jika kita perhatikan Gambar 4.5, bagian (A) menunjukkan SAH pada fissura interhemisfer anterior dan fissura Sylvii kanan kiri. CT scan kontrol (B) dua hari kemudian tidak memperlihatkan adanya SAH. Untuk menilai keparahan SAH ada dua sistem skala yang sering digunakan yaitu Hess dan Hund serta World Federation of Neurological Surgeon (WFNS). Skala Hess dan Hund dirancang pada tahun 1968 sebagai penyempurnaan dari skala yang lebih lama, skala Botterrel yaitu untuk mengukur risiko operasi dan untuk membantu dokter bedah saraf dalam menentukan saat yang tepat untuk melakukan operasi. Kala itu berdasarkan asumsi pembuatnya bahwa faktor prognostik SAH adalah keparahan kaku kuduk, tingkat kesadaran, defisit neurologis, dan penyakit penyerta. Pada tahun 1074, sebuah modifikasi dilakukan pada skala ini dengan menambahkan skala 0 untuk aneurisma yang belum ruptur dan 1a untuk defisit neurologis menetap tanpa disertai tanda-tanda SAH lainnya (Rosen, 2005). Skala Hess dan Hund terbukti mudah sehingga telah digunakan secara luas. Namun kelemahan skala ini yaitu batas antar tingkat tidak tegas, terutama berkaitan dengan tingkat kesadaran. Satu fitur skala ini adalah tingkat keparahan dinaikkan satu ketika terdapat penyakit penyerta atau vasospame pada angiografi. Namun penambahan tingkat ini kadang dilakukan kadang tidak dilakukan (inkonsistensi antar observer rendah). Sebagai tambahan, tidak semua penyakit penyerta terbukti cukup signifikan untuk menaikkan tingkat skala. Penyakit penyerta apa saja yang signifikan untuk menambah tingkat belum diteliti hingga saat ini. Pada tahun 1988, sebuah panel ahli mengusulkan tentang sistem skala baru yaitu WFNS. Skala WFNS menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai tolok ukur objektif terhadap kesadaran, tidak sama dengan skala Hess dan Hund. Kelemahan skala WFNS adalah pada tingkat 4, rentang GCS yang digunakan terlalu luas, yaitu 7–12. Oleh karena itu, skala yang sempurna masih perlu dibentuk (Rosen, 2005).
Tabel 4.5 Berbagai skala klinis untuk menilai tingkat keparahan SAH Tingkat
38
Botterell et al.
Hunt dan Hess
WFNS
1
Kesadaran dengan atau tanpa tanda perdarahan di ruang subarachnoid
Asimptomatik atau sakit kepala ringan dan sedikit yang berhubungan dengan kuduk yang kaku
GCS 15, tidak ada defisit motorik
2
Mengantuk tanpa defisit neurologikal yang signifikan
Sakit kepala sedang sampai parah yang berhubungan dengan kekakuan yang berhu bungan dengan daerah kuduk, tidak defisit neurologikal lebih dari kelumpuhan saraf kranial
GCS 13 sampai 14, tidak ada defisit motorik
Pencitraan pada Stroke
Tingkat
Botterell et al.
Hunt dan Hess
WFNS
3
Mengantuk dengan defisit neurologikal dan kemungkinan adanya pembekuan intraserebral
Ngantuk, bingung, atau defisit fokal ringan
GCS 13 sampai 14 dengan defisit motorik
4
Sebagian besar defisit neurologikal, deterioratin yang disebabkan adanya pembekuan intraserebral yang besar pada pasien yang lebih tua dengan defisit neurologikal yang kurang parah, tapi sudah menderita penyakit serebrovaskular
Pingsan, hemiparesis dari tingkat sedang sampai parah, kemungkinan kekakuan deserebrasi awal, dan gangguan vegetatif
GCS 7 sampai 12, dengan atau tanpa defisit motorik
5
Hampir mati atau mendekati mati dengan menurunnya pusat penting dan kekakuan ekstensor.
Koma mendalam, kekakuan deserebrasi, terlihat sekarat
GCS 3 sampai 6, dengan atau tanpa defisit motorik Sumber: Rosen, 2005
4.9 Letak Perdarahan Stroke Hemoragik Perdarahan stroke hemoragik terletak pada beberapa bagian yaitu pada hemisfer serebri, ganglion basalis, batang otak, dan serebelum (Harsono, 1996).
4.9.1. Hemisfer Serebri Hemisfer serebri dibagi menjadi dua belahan, yaitu hemisfer serebri sinistra (kiri) dan hemisfer serebri dextra (kanan). Hemisfer serebri kiri mengendalikan kemampuan memahami dan mengendalikan bahasa serta berkaitan dengan berpikir ”matematis” atau ”logis”, sedangkan hemisfer serebri dextra berkaitan dengan ketrampilan, perasaan, dan kemampuan seni.
Bab 4 – Memahami Stroke Hemoragik
39
4.9.2. Ganglion Basalis Fungsional peranan umum ganglion basalis adalah untuk bekerja sebagai stasiun-stasiun pemrosesan yang menghubungkan korteks serebrum dengan nukleus-nukleus thalamus tertentu dan akhirnya berproyeksi ke korteks serebrum. Kerusakan pada ganglion basalis akan mengakibatkan penderita mengalami kesukaran untuk memulai gerak yang diinginkan.
4.9.3. Batang Otak Batang otak adalah bagian otak yang masih tersisa setelah hemisfer serebri dan serebelum diangkat. Medula oblongota, pons dan otak tengah merupakan bagian bawah atau bagian infratentorium batang otak. Kerusakan pada batang otak akan mengakibatkan gangguan berupa nyeri, suhu, rasa kecap, pendengaran, rasa raba, raba diskriminatif, dan apresiasi bentuk, berat dan tekstur.
4.9.4. Serebelum Serebelum terbagi menjadi tiga bagian, yaitu archiserebelum berfungsi untuk mempertahankan agar seseorang berorientasi terhadap ruangan. Kerusakan pada daerah ini akan mengakibatkan ataxia tubuh, limbung, dan terhuyung-huyung. Paleoserebelum, mengendalikan otototot antigravitas dari tubuh. Apabila otot ini mengalami kerusakan akan menyebabkan peningkatan refleks regangan pada otot-otot penyokong. Neoserebelum, berfungsi sebagai pengerem pada gerakan di bawah kemauan, terutama yang memerlukan pengawasan dan penghentian, serta gerakan halus dari tangan. Kerusakan pada neoserebelum akan mengakibatkan dysmetria, intenton tremor dan ketidakmampuan untuk melakukan gerakan mengubah-ubah yang cepat.
4.10 Stroke Hemoragik pada Pediatrik Insiden stroke pada pediatrik sekitar 2,5–13 per 100.000 orang per tahun. Namun, stroke pediatrik memiliki angka mortalitas tinggi, sekitar 0,6 per 100.000 orang per tahun. Stroke pediatrik juga sering disertai sekuele yang membebani pasien, keluarga, dan masyarakat. Seperti pada pasien dewasa, stroke pediatrik pun terbagi menjadi stroke iskemia dan hemoragik. Stroke hemoragik diperkirakan memiliki insiden 0,7–5,1 per 100.000 orang per tahun. Stroke pediatrik ini mengalami puncaknya pada usia 6-10 tahun (Lanni, et al., 2011). Sebuah penelitian menemukan prevalensi ICH asimptomatik pada neonatus cukup bulan dengan persalinan spontan per vaginama sebanyak 26% (Looney, 2007). Penelitian lain melaporkan SDH sebanyak 46% dari neonatus 40
Pencitraan pada Stroke
asimptomatik yang menjalani persalinan kala 1 dan kala 2 lama. SDH ini mungkin disebabkan oleh kompresi berkepanjangan yang dialami oleh janin dan menyebabkan molase lebih lama sehingga merobek vaskular dura (Rooks, 2008). Stroke pada pediatrik bersifat asimptomatik dan tanda klinis non spesifik. Akibatnya, sering kali diagnosis stroke didapatkan dari pencitraan radiologis yang ditujukan untuk menilai diagnosis banding lain. Berikut ini merupakan tanda-tanda klinis yang dapat menyertai stroke pada pediatrik (Gunny & Lin, 2012). 1. Letargi 2. Gangguan makan 3. Hipotoni 4. Hemiplegia kongenital 5. Kemampuan menggenggam (grasp) dan menggapai (reach) yang asimetri 6. Keterlambatan perkembangan 7. Kejang 8. Apneu Akibat dari presentasi klinis yang tidak spesifik, pencitraan menjadi modalitas diagnostik yang penting dan relasi temporal tidak terlalu dipentingkan dalam mendiagnosis stroke akut pada pediatrik (Gunny & Lin, 2012).
Rangkuman 1. Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan ke dalam jaringan otak (disebut hemoragia intraserebrum atau hematom intraserebrum) atau perdarahan ke dalam ruang subarachnoid, yaitu ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut hemoragia subarachnoid). 2. Terdapat dua bentuk stroke hemoragik, yaitu intracerebral hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH). Kedua bentuk ini memiliki epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, dan gambaran radiologis. 3. Perdarahan intraserebral (ICH) adalah perdarahan primer yang berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. 4. Sebesar 70% kasus ICH terjadi di kapsula interna, 20% terjadi di fosa posterior (batang otak dan serebelum) dan 10% di hemisfer (di luar kapsula interna). 5. Perdarahan subarachnoid adalah keadaan akut yaitu terdapatnya/masuknya darah ke dalam ruangan subarachnoid atau perdarahan yang terjadi di pembuluh darah di luar otak,
Bab 4 – Memahami Stroke Hemoragik
41
tetapi masih di daerah kepala seperti di selaput otak atau bagian bawah otak. 6. Mortalitas dan morbiditas pada stroke hemoragik lebih besar daripada stroke iskemia. 7. Ada banyak faktor yang berperan dalam menentukan seseorang terkena stroke atau tidak antara lain usia, hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, alkohol, narkoba, koagulopati dan penggunaan anti-koagulan/trombolitik, cerebral amyloidosis, malformasi arteriovena dan fistula arteriovena, cavernoma, vaskulitis, tumor, aneurisma, ruptur kapiler atau vena, trombosis sinus venosus, dan hipertensi dalam kehamilan. 8. Kedua jenis stroke hemoragik cukup berbeda dalam hal patofisiologi. Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan subarachnoid. 9. Pada ICH, perdarahan terjadi di dalam parenkim otak. Selain hipoperfusi, parenkim otak juga terkena kerusakan akibat tekanan yang disebabkan oleh efek massa hematoma atau kenaikan tekanan intrakranial (TIK) secara keseluruhan. 10. Perdarahan subarachnoid terjadi akibat pembuluh darah di sekitar permukaan otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation. 11. Selain peningkatan TIK, SAH mengakibatkan vasokonstriksi akut, agregasi platelet, dan kerusakan mikrovaskular. Hal ini mengakibatkan penurunan bermakna perfusi otak dan iskemia. 12. Terdapat beberapa kontelasi klinis yang mengarah ke stroke. Namun demikian, seiring pasien dengan sepsis, syncope, atau kejang akibat kelainan ekstrakranial lainnya yang berpotensi sulit dibedakan dengan stroke, jika presentasi penyakit tersebut atipikal. Terdapat sebuah sistem skor yang dirancang untuk membantu klinisi guna memilah kasus stroke dari non-stroke, yaitu skor ROSIER. 13. Salah satu sistem skoring yang sering digunakan untuk membantu membedakan kedua subtipe stroke hemoragik adalah sistem skor Siriraj. Sistem skoring ini telah tervalidasi di berbagai pusat pelayanan kesehatan dan cukup dapat diandalkan untuk membedakan kedua subtipe stroke dalam keadaan Computed Tomography (CT) scan tidak tersedia. Skor lain yang cukup sering digunakan adalah skor Allen. 14. Nyeri kepala yang terjadi mendadak (thunderclap headache, the worst headache in my life) merupakan tanda khas untuk SAH. Nyeri kepala pada SAH dapat disertai atau tidak disertai dengan
42
Pencitraan pada Stroke
gejala lain seperti kaku kuduk akibat iritasi meningen, hilang kesadaran sesaat, mual, muntah atau defisit neurologis fokal. 15. Stroke pediatrik memiliki angka mortalitas tinggi yaitu sekitar 0,6 per 100.000 orang per tahun. Seperti pada pasien dewasa, stroke pediatrik pun terbagi menjadi stroke iskemia dan hemoragik. SDH ini mungkin disebabkan oleh kompresi berkepanjangan yang dialami oleh janin dan menyebabkan molase lebih lama sehingga merobek vaskular dura. 16. Tanda-tanda klinis yang dapat menyertai stroke pada pediatrik yaitu letargi, gangguan makan, hipotoni, hemiplegia kongenital, kemampuan menggenggam (grasp) dan menggapai (reach) yang asimetri, keterlambatan perkembangan, dan kejang.
Bab 4 – Memahami Stroke Hemoragik
43
44
Pencitraan pada Stroke
Bab 5 Anatomi Otak
M
asalah utama pada stroke adalah gangguan peredaran darah di otak sehingga kita perlu memahami perihal tentang otak, mulai dari embriologi otak, anatomi otak, cairan serebrospinal dan subarachnoid space, serta anatomi vaskular otak.
5.1 Embriologi Otak Secara garis besar, perkembangan sistem saraf pusat dibagi atas tiga periode yaitu (Satyanegara et al., 2010): 1) Periode embrionik (mulai dari konsepsi sampai 8,5 minggu). 2) Periode fetal (mulai dari 8,5 minggu sampai 40 minggu) 3) Periode pascanatal. Periode embrionik sendiri terdiri atas 23 stadium perkembangan. Waktu keberlangsungan untuk masing-masing stadium berkisar antara 45
2–3 hari dengan total waktu kurang lebih 60 hari pertama setelah ovulasi. Pada akhir periode ini, panjang embrio sudah mencapai 30 mm dan kemudian dilanjutkan dengan periode fetal. Pada periode fetal tidak dibagi atas stadium-stadium, namun yang menjadi tolak ukur dalam pemantauan perkembangan didasarkan atas ukuran dan usia janin (Satyanegara et al., 2010). Proses pembentukan susunan saraf pusat manusia dimulai pada awal minggu ketiga sebagai lempeng penebalan lapisan ektoderm (neural plate) yang memanjang dari kranial ke arah kaudal. Selanjutnya, kedua bagian sisi kiri dan kanan akan bertambah tebal dan meninggi, membentuk lipatan-lipatan saraf yang dikenal sebagai krista neuralis/ neural crest (bagian tengah yang cekung disebut alur saraf (neural groove). Perkembangan selanjutnya yaitu krista neuralis akan semakin meninggi dan mendekat satu sama lain serta menyatu di garis tengah dan selanjutnya terbentuk tabung saraf (neural tube) (Gambar 5.2). Penutupan tabung saraf tersebut umumnya dimulai dari bagian tengah (setinggi somit ke-4) dan baru disusul oleh penutupan bagian kranial dan kaudal. Kedua ujung tabung saraf menutup paling akhir. Dengan demikian, tabung saraf masih mempunyai hubungan dengan rongga amnion, yakni bagian (neuroporus) anterior menutup pada usia embrio pertengahan minggu ketiga (somit 18–20), sedangkan neuroporus posterior menutup pada akhir minggu ketiga (somit 25) (Satyanegara et al., 2010). Setelah tabung neural tertutup, pada bagian anteriornya akan mulai terbentuk tiga buah gelembung, masing-masing seperti penjelasan berikut ini (Gambar 5.2) (Satyanegara et al., 2010). (1) Prosensefalon (otak depan). (2) Mesensefalon (otak tengah). (3) Rhombensefalon (otak belakang). Bagian prosensefalon akan berkembang menjadi 2 bagian penting yaitu diencephalon dan telencephalon. • Diencephalon akan berkembang menjadi thalamus, hypothalamus, dan globus pallidus. • Telencephalon akan berkembang menjadi hemisfer serebral, putamen, nukleus kaudatus dan rhinencephalon dimana pada manusia kurang berkembang. Bagian ini meliputi lobus olfaktori, septum pellucidum, subcallosal, supracalosal (Taveras, 1996 dan Sadler, 1997). Mesensefalon merupakan segmen pendek batang otak di atas pons, melintang hiatus pada tentorium cerebelli, mengandung cerebral peduncles, tectum, colliculi (corpora quadrigeminal) (Taveras, 1996 dan Sadler, 1997). Rhombencephalon akan berkembang menjadi sebagai berikut. • Celah kistik posterior ventrikel 4. • Metensefalon: cerebellar hemispheres, pons. • Mielensefalon: medulla oblongata (Taveras, 1996 dan Sadler, 1997). 46
Pencitraan pada Stroke
Sumber: Live Map Discovery, 2015
Gambar 5.1 Perkembangan embriologi otak mulai hari ke-16 sampai 20.
Bab 5 – Anatomi Otak
47
DAYS 21-22
Neural crest
Neural groove
Somite Neural fold Intraembryonic coelom
Anterior neuropore
Notochord
Neural crest Surface ectoderm Posterior neuropore
Notochord Neural crest Somite
Neural groove
DAYS 23
Intraembryonic mesoderm
Anterior neuropore Neural tube Roof of neural tube
Notochord
Mesencephalon Prosencephalon
Amnion (cut edge)
Surface ectoderm
Somites Rhombencephalon
Posterior neuropore
Notochord
Anterior neuropore Developing heart
Forebrain prominence Anterior neuropore (prosencephalon) Neural tube Heart prominence
Yolk sac Umbilical cord Allantois
Neural canal Posterior neuropore Somites
Yolk stalk Amnion
DAYS 25
SAGITTAL VIEW
Posterior neuropore
Sumber: Live Map Discovery, 2015
Gambar 5.2 Perkembangan embriologi otak yang menunjukkan terbentuknya prosensefalon, mesensefalon, dan rhombensefalon.
48
Pencitraan pada Stroke
Pada akhir minggu ketiga atau awal minggu keempat, ketiga gelembung tadi telah berubah menjadi lima buah gelembung yaitu seperti berikut ini (Gambar 5.3) (Satyanegara et al., 2010). (1) Telensefalon yang kelak menjadi hemisfer serebri. (2) Diensefalon dengan dua buah tonjolan cikal bakal mata. (3) Mesensefalon yang kemudian tidak terlalu banyak berubah. (4) Metensefalon yang kelak membentuk pons dan serebelum. (5) Mielensefalon yang kelak menjadi medula oblongata. Diensefalon Mesensefalon
Telensefalon
Metensefalon Optik Fisura pontine Mielensefalon Talamus Polium
Mesensefalon Isthmus
Corpus striatum Resesus optikus Hipotalamus
Serebelum Medula oblongata Sumber: Satyanegara et al., 2010.
Gambar 5.3 Perkembangan embriologi otak yang menunjukkan terbentuknya telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon, dan mielensefalon. Rongga di dalam gelembung-gelembung akan berkembang dan membentuk sistem ventrikel cairan otak sebagai berikut (Satyanegara et al., 2010). (1) Rongga dalam telensefalon (hemisfer serebri) akan membentuk ventrikel lateralis kiri dan kanan. (2) Rongga dalam diensefalon akan membentuk ventrikel III. (3) Rongga dalam mesensefalon akan membentuk akuaduktus Sylvius (menghubungkan ventrikel III dan IV). Bab 5 – Anatomi Otak
49
(4) Rongga dalam mielensefalon akan membentuk ventrikel IV. Rongga di atas akan berhubungan dengan rongga di tengah medula spinalis. Pedunkulus serebri Korpus pienalis Malamus
Akuaduktus serebri
Pleksus khoroideus Korpus striatum
Mesensefalon Lamina kuadrigemina Isthmus Serebelum
Mesensefalon Fosa rhomboideus
Telensefalon
Mielensefalon Medula spinalia
Lamina terminalis Rinensefalon
Hipotalamus
Kanalis sentralis Sumber: Satyanegara et al., 2010.
Gambar 5.4 Skema embriologi otak di akhir perkembangan.
5.2 Anatomi Otak Secara Keseluruhan Berdasarkan American College of Surgeon Comitte on Trauma tahun 2004, anatomi otak dari luar ke dalam meliputi lapisan kulit kepala (SCALP), tulang tengkorak (kranium), meningen, dan otak itu sendiri. Berikut ini merupakan penjelasannya.
5.2.1 Kulit Kepala (SCALP) a. b. c. d. e.
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu: Skin atau kulit. Connective tissue atau jaringan penyambung. Aponeurosis atau galea aponeurotika. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Perikranium.
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala maka akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.
50
Pencitraan pada Stroke
Connective tissue (dense)
Skin
Skin
Dense connective tissue
Aponeurotic layer
Aponeurotic layer
Loose connective tissue Pericranium
Bone
Pericranium
Loose connective tissue
Sumber: Pokhrel, R.2015 dan Quizlet, 2015
Gambar 5.5 SCALP dan lapisannya.
5.2.2 Anatomi Tulang Tengkorak Tulang tengkorak atau tengkorak dibentuk oleh tulang-tulang yang saling berhubungan satu sama lain dengan perantaraan sutura. Tulang tengkorak terdiri atas tiga lapisan yaitu tabula eksterna, diploe, dan tabula interna. Pada orang dewasa ketebalan tulang tengkorak bervariasi yaitu antara 3 mm sampai dengan 1,5 cm, dengan bagian yang paling tipis terdapat pada daerah pterion dan bagian yang paling tebal pada daerah protuberantia eksterna. Tulang tengkorak dibagi menjadi dua bagian yaitu neurocranium (tulang-tulang yang membungkus otak) dan viscerocranium (tulang-tulang yang membentuk wajah). Neurocranium terdiri atas tulang-tulang pipih yang berhubungan satu dengan yang lain (Japardi, I., 2003). Ada tiga macam sutura yaitu (Japardi, I., 2003). 1. Sutura serrata, dimana tepi dari masing-masing tulang berbentuk sebagai gigi-gigi gergaji dan gigi-gigi ini saling berapitan. 2. Sutura skualosa, dimana tepi dari masing-masing tulang menipis dan saling menutupi. 3. Sutura harmoniana atau sutura plana, dimana tepi dari masingmasing tulang lurus dan saling tepi menepi. Menurut Japardi, I., (2003) neurocranium dibentuk oleh os. frontale, os. parietale, os. temporale, os. sphenoidale, os. occipitalis, dan os. ethmoidalis. Sementara itu, viscerocranium dibentuk oleh os maksilare, os. palatinum, os. nasale, os. lacrimale, os. zygomatikum, os. concha nasalis inferior, vomer, dan os. mandibulare.
Bab 5 – Anatomi Otak
51
Lateral view
Parietal bone
Coronal suture Sphenoid bone
Frontal bone Sphenoid bone
greater wing
Frontal bone Ethmoid bone orbital plate
Zygomatic arch
Occipital bone Temporal bone External acoustic meatus
Infraorbital foramen
Maxilla Incisive fossa Palatine process Median palatine suture
lesser wing
Nasal bone
greater wing
Temporal bone Lacrimal bone
orbital plate middle nasal
Nasal bone concha perpendicular Lacrimal bone plate Zygomatic bone Inferior Maxilla nasal Anterior concha nasal spine
Mandible
Ramus Coronoid process Mental foramen
Ethmoid bone
Zygomatic bone Maxilla
Vomer
infraorbital foramen anterior nasal spine
Mandible
Ramus Mental foramen
(a)
(b) Palatine bone
transverse palatine suture
Zygomatic bone Vomer Frontal bone
Nasal aperture
Sphenoid bone
Temporal bone
Pterygoid process greater wing Foramen ovale Foramen spinosum
Mandibular fossa External acoustic meatus Mastoid process
Zygomatic process
Foramen lacerum
Styloid process Carotid canal Petrous temporal bone Jugular fossa (to jugular foramen)
Parietal bone Occipital bone Hypoglossal canal occipital condyle Foramen magnum External occipital crest External occipital protuberance
Mastoidforamen
(c)
Sumber: Britannica, 2005
Gambar 5.6 Struktur tulang tengkorak dilihat dari sisi: (a) lateral, (b) frontal dan (c) inferior.
5.2.3 Meningen Meningen terdiri atas duramater, arachnoid, dan piamater. Berikut ini penjelasannya masing-masing. a. Duramater Duramater disebut juga pachimeningen atau meningen fibrosa karena tebal, kuat, dan mengandung serabut kolagen. Pada duramater dapat diamati adanya serabut elastis, fibrosit, saraf, pembuluh darah, dan limfe. Lapisan dalam duramater terdiri dari beberapa lapis fibrosit pipih dan sel-sel luar dari lapisan arachnoid (Beitz, A.J., Fletcher T.F., 2006). 52
Pencitraan pada Stroke
Duramater terdiri atas 2 lapis yang menempel rapat kecuali pada tempat-tempat tertentu yang terpisah dan membentuk sinus-sinus venosus, menutupi tabula interna kalvaria dan basis kranii. Dura ini melekat cukup erat dengan tabula interna kalvaria pada tepi sutura, kecuali pada foramina-foramina. Lapisan dalam dura akan melipat-lipat di dalam rongga kranium. Dua lipatan utama dura yang memisahkan komponen berbeda dari parenkim otak yaitu tentorium serebelli dan falx serebri (Rao, 1999; Taveras, 1996). Tentorium serebelli adalah lapisan dura yang menutupi permukaan atas serebellum dan memisahkan bagian ini dengan permukaan inferior posterior hemisfer serebri. Tiap-tiap ujungnya melekat dengan klinoideus posterior, anterior, dan apeks petrosus. Hasil lipatan dura ini akan membentuk segitiga kecil tempat keluarnya nervus kranialis pada basis kranii. Tentorium ini melekat pada garis tengah dengan sisi posterior falx serebri (Rao, 1999; Taveras, 1996). Falx serebri memisahkan kedua hemisfer serebri. Bagian ini merupakan lapisan dura pada garis tengah yang berada di fissura interhemisfer. Pada sisi anterior falx serebri melekat pada tonjolan tulang dan permukaan tengah kribiformis os frontal. Pada sisi posterior, falx ini bergabung dengan tentorium. Tepi bebas dari lipatan dura ini berada di atas korpus kallosum (Rao, 1999). b. Arachnoid Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit yang berbentuk pipih dan serabut kolagen (Beitz, A.J., Fletcher T.F., 2006). Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu suatu lapisan yang berhubungan dengan duramater dan suatu sistem trabekula yang menghubungkan lapisan tersebut dengan piamater. Ruangan di antara trabekula membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal dan sama sekali dipisahkan dari ruang subdural (Junquereira, L.C., Carneiro J., 1982). Pada beberapa daerah, arachnoid melubangi duramater dengan membentuk penonjolan yang membentuk trabekula di dalam sinus venous duramater (Junquereira, L.C., Carneiro J., 1982). Bagian ini dikenal dengan vilus arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal ke darah sinus venous (Junquereira, L.C., Carneiro J. 1982 dan Bevelender, G., Ramaley J.A., 1988). Arachnoid merupakan selaput yang tipis dan transparan. Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara arachnoid dan piamater terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi untuk melindungi otak bila terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter kadang-kadang disebut sebagai leptomeninges. c. Piamater Piameter adalah membran yang sangat lembut dan tipis. Lapisan ini melekat pada otak. Piamater mengandung sedikit serabut kolagen dan membungkus seluruh permukaan sistem saraf pusat dan vaskula besar yang menembus otak (Beitz, A.J., Fletcher T.F., 2006). Bab 5 – Anatomi Otak
53
Skin Periostre Bone Superficial layer Deep layer Arachnoid Pia mater Arachnoid villi Blood vessel
Superior sagittal sinus Subdural space Subarachnoid space
Duramater
Longitudinal fissure
Sumber: MyHumanBody.Ca, 2014
Gambar 5.7 Lapisan meningen otak.
5.2.4 Anatomi Otak Otak sebagai sistem saraf pusat dibagi menjadi beberapa bagian yang bisa digambarkan pada skema berikut ini.
Tabel 5.1 Skema pembagian otak Bagian utama otak Otak depan Serebrum Diensefalon Otak tengah Otak belakang Pons Medulla oblongata Serebellum
Rongga dalam otak Ventrikulus lateralis kiri dan kanan Ventrikulus tertius Aquaductus cerebri Ventrikulus quartus dan kanalis sentralis Sumber: Snell, 1997
Kedua hemisfer serebri memenuhi rongga kepala di atas tentorium. Keduanya dipisahkan satu dengan yang lain pada garis tengah oleh fissura interhemisfer, yang memanjang ke anterior menuju dasar fossa kranii anterior. Pada bagian tengah fissura interhemisfer berhenti pada korpus kallosum sebagai struktur yang menghubungkan kedua hemisfer serebri (Gray, 1918; Taveras, 1996). Hemisfer serebri mempunyai permukaan lateral, medial, dan basal. Hemisfer serebri terdiri atas gray matter dan white matter. Gray matter yang berada di permukaan serebri disebut sebagai korteks serebri, sedangkan yang terdapat di dalam serebri disebut ganglia basalis. White matter pada hemisfer serebri terdiri atas akson-akson komisural, asosiasi, dan proyeksi. White matter mengandung 12% air lebih sedikit dibandingkan dengan gray matter. Akan tetapi, bagian white matter mempunyai lebih banyak lemak daripada gray matter (Gray, 1918; Taveras, 1996). 54
Pencitraan pada Stroke
Korteks serebri merupakan bagian terluar hemisfer serebri. Pada masing-masing hemisfer terdiri atas tiga bagian permukaan yang dipisahkan oleh tiga pembatas/tepi. Batas superior memisahkan permukaan medial dan lateral, batas inferolateral memisahkan permukaan inferior dan lateral, batas inferomedial memisahkan permukaan inferior dan medial. Ketiga permukaan hemisfer serebri berisi sejumlah celahcelah yang disebut sebagai fissura atau sulkus yang memisahkan permukaan dari serebrum yang disebut gyri serebri. Keempat sulki di antaranya membantu membagi hemisfer serebri ke dalam lobus-lobus. Sulkus lateralis (fissura sylvii) memisahkan bagian terbesar lobus temporal dengan lobus frontal dan bagian anterior lobus parietal di atasnya. Sulkus sentralis (fissura rolandi) berawal dari permukaan medial hemisfer, kirakira pada pertengahan batas superior. Fissura ini berjalan di permukaan lateral hemisfer ke arah anteroinferior dan berhenti pada sulkus lateralis (Gray, 1918; Taveras, 1996). Cerebral hemispheres (telencephalon) Parietal lobe Frontal lobe Occipittal lobe
Temporal lobe
(a)
Pons (metencephalon)
Cerebellum (metencephalon)
Medulla oblongata (myelencephalon) Diencephalon
Thalamus Hypothalamus
Midbrain (mesencephalon) Pons (metencephalon) (b)
Cerebellum (metencephalon)
Medulla oblongata (myelencephalon)
Sumber: Gray, 1918; Taveras, 1996
Gambar 5.8 Otak dilihat dari irisan: (a) lateral dan (b)sagital.
Bab 5 – Anatomi Otak
55
5.3 Cairan Serebrospinal dan Subarachnoid Space Cairan serebrospinal/cerebrospinal fluid (CSF) paling banyak berada di dalam ventrikel yang menghubungkan komponen otak yang berbeda dan juga berada di dalam sisterna subarachnoid. Dalam jumlah kecil, CSF terdapat di antara parenkim otak. Ventrikel lateral berada pada telencephalon, ventrikel ke-3 pada dienchepalon, aqua duktus pada midbrain, dan ventrikel ke-4 pada hindbrain. Ventrikel dilapisi oleh ependim yang berguna untuk difusi cairan serebrospinal dan metabolitnya. Ventrikel lateral dipisahkan oleh 2 lapis septum pelusidum yang lebih sering menyatu. Walaupun demikian, terkadang kedua lapis septum tersebut terpisah dan terisi oleh cairan serebrospinal yang membentuk kavum septum pelusidum. Bila pelebaran terjadi sampai ke posterior di belakang foramen monroe maka disebut sebagai cavum verge. Rongga cairan serebrospinal ini berhubungan dengan sisa ventrikel melalui foramen monroe. Cavum interpositum adalah ruang cairan serebrospinal lain yang berada pada sisi posterior dari atap ventrikel ke‑3. Rongga ini berhubungan dengan sisterna quadrigeminal (Gray, 1918; Taveras, 1996). CSF diproduksi di dalam ventrikel oleh pleksus choroideus. Bagian terbesar pleksus choroideus terletak di ventrikel lateralis dan sejumlah kecil di dalam ventrikel ke-3 dan ke-4. Pleksus choroideus berada di dekat permukaan ependim dan mengelilingi arteri choroideus (Gray, 1918; Taveras, 1996). Sering terjadi variasi ringan pada ukuran ventrikel atau sisterna subarachnoid dan sulki pada kelompok usia dan jenis kelamin yang sama. Pola hubungan antar ventrikel dan antara ventrikel keempat dengan sisterna medularis bisa diidentifikasi dengan MRI maupun CT resolusi tinggi. Potongan sagital dan koronal T1WI MRI menunjukkan penilaian yang akurat pada bentuk dan ukuran ventrikel dan setiap anomali korpus kallosum. Potongan midsagital terutama bermanfaat dalam mengevaluasi bentuk dan konfigurasi aquaductus sylvii (Gray, 1918; Taveras, 1996). CSF dalam sistem ventrikel dan rongga subarachnoid berada dalam pergerakan yang konstan. Di dalam sistem ventrikel, aliran CSF bergerak dari atas ke bawah (cephalocaudal), sedangkan di dalam sisterna subarachnoid, CSF mengalir dari arah sebaliknya. CSF ventrikel dan sisterna berhubungan melalui foramen Magendie pada garis tengah dan foramen Luschka secara bilateral. Di dalam rongga subarachnoid terdapat cukup banyak CSF. Rongga-rongga sisterna diberi nama sesuai dengan bagian otak yang mengelilinginya (Gray, 1918; Taveras, 1996).
56
Pencitraan pada Stroke
Massa intermedia 3rd vetricle
Body of Pineal recess lateral Suprapineal recess ventricle
Anterior horn of lateral ventricle
Posterior commissure Pineal
Interventricular foramen
Posterior horn of lateral centricle
Anterior commissure
Tectum Cerebral aqueduct
Lamina terminalis Interdibular recess
(a)
Supraoptic recess Optic chiasm Infundbulum Mammillary body Foramen Amygdaloid nuclear complex of Luschka Inferior horn of lateral ventricle Bordering Structures
Genu of corpus callosum Head of caucate nucleus Septum perucidum Body of caucate nucleus Fornix Amygdaloid nuclear complex Tail of caudate nucleus Hippocampal formation Splenium of corpus callosum Optic radiations Tapetum
(b)
Atrium of lateral ventricle (and glomus choroideum)
4th ventricle Lateral recess of 4th ventricle Dorsal cerebellomedulary cistern (cisterna magna)
Ventricular Space Anterior horn of lateral ventricle Body of lateral ventricle (ventral to body of corpus callosum)
3rd ventricle Suprapineal recess Inferior horn of lateral ventricle Cerebral aqueduct Atrium of lateral ventricle (contains glomus chorodeum)
Lateral recess of 4th ventricle 4th ventricle Posterior horn of Lateral ventricle
Sumber: Gray, 1918; Taveras, 1996
Gambar 5.9 Sistem ventrikel dilihat dari (a) lateral dan (b) kranial. Sisterna pontomedularis di depan pons dan medulla berhubungan dengan sisterna serebellopontin di sisi lateral, sisterna magna di sisi posterior, dan dengan sisterna serebellaris superior di sisi posterosuperior. Sisterna pontomedularis berlanjut ke superior menjadi sisterna suprasella dan interpedunkularis. Sisterna ini juga berlanjut ke posterior menjadi rongga subarachnoid di sekitar colliculus melalui sisterna mesensefalik. Sisterna sylvii merupakan perluasan ke lateral sisterna suprasella. Semua sisterna di atas berlanjut di sepanjang permukaan otak pada sulki dan rongga interhemisfer. CSF hipointense pada T1WI dan hiperintense pada Bab 5 – Anatomi Otak
57
T2WI. Nervus cranialis dan vaskular-vaskular utama berada di dalam rongga subarachnoid yang dikelilingi CSF (Gray, 1918; Taveras, 1996). Di daerah tertentu di sekitar otak, terutama di daerah basal, arachnoid dan piamater dipisahkan oleh rongga yang disebut sisterna subarachnoid yang terdiri dari bagian-bagian berikut (Gray, 1918; Taveras, 1996). a. Sisterna basalis, memisahkan chiasma opticus menjadi dua bagian yaitu sisterna chiasmatis dan sisterna interpedunkularis. b. Sisterna pontis di sekitar pons lalu bergabung ke anterior dengan sisterna basalis dan bergabung ke posterior dengan rongga di sekitar medula oblongata. c. Sisterna dari galen (berhubungan dengan sisterna ambiens) berada di antara splenium korpus kallosum dan permukaan superior dari serebelum dan mesensefalon. Sisterna ini berlanjut ke anterior di sekitar pedunkuli serebri dengan sisterna basalis dan ke kaudal dengan sisterna serebelaris superior. d. Sisterna serebello-medularis atau sisterna magna yang merupakan rongga antara permukaan inferior dari serebelum dan permukaan dorsal dari medula oblongata. Sisterna ini berlanjut ke kaudal ke dalam rongga subarachnoid spinal dan secara langsung berhubungan dengan cairan ventrikel keempat melalui saluran yang disebut foramen magendi pada garis tengah dan foramen luschka di lateral. e. Sisterna lainnya yang kurang dalam adalah sisterna dari korpus kallosum; sisterna pada fossa di lateral dari serebri, berdekatan dengan fisura sylvian; dan sisterna dari lamina terminalis, suatu struktur dangkal di sekitar lamina terminalis. Rongga subarachnoid berhubungan dengan ventrikel keempat melalui foramen luscha, magendi dan dengan rongga perineural di sekitar nervus olfaktorius dan optikus (Gray, 1918; Taveras, 1996). Subarachnoid space C. cingulata C. vena magna cerebri
C. corpus callos
Sup. cerebellar cistern
C. magna (cerebello medullaris)
C. lamina terminalis C. chiasmatis C. interpenducularis C. pontis C. ambiens Sumber: Gray, 1918; Taveras, 1996
Gambar 5.10 Struktur sisterna subarachnoid.
58
Pencitraan pada Stroke
Tabel 5.2 Komposisi rongga sisterna Ruang kranium Fossa anterior
Sisterna Sulkus olfaktorius
Fossa media
Sisterna suprasella
Sisterna parasella dan sylvii Fossa posterior
Sisterna interpedunkularis
Sisterna mesensefalik
Sisterna serebellopontine Sisterna medullaris
Isi Bulbus dan traktus olfaktorius Nervus opticus, chiasma, dan traktus Pituitary stalk Arteri karotikus internus Pangkal arteri serebri anterior dan media Arteri komunikans posterior Arteri serebri media Nervus trigeminus Nervus oculomotorius Arteri basilaris Arteri serebri posterior Arteri serebelaris superior Arteri koroidalis Vena basalis dari rosenthal Nervus trochlearis Nervus abducens Nervus fasialis Nervus akustikus Arteri vertebralis Nervus glosopharingeus Nervus vagus Nervus hipoglosus Sumber: Gray, 1918; Taveras, 1996
5.4 Anatomi Vaskular Otak Otak merupakan organ tubuh manusia yang paling terlindungi, termasuk di dalamnya sistem pembuluh darah otak. Berat otak ± 1,5 kg, sekitar 2% dari berat tubuh manusia, dan mempergunakan ± 17% dari cardiac output. Sumber energi otak berasal dari metabolisme aerobik. Oleh karena itu, otak memerlukan O2 dan glukosa dalam waktu 24 jam sehari. Pengetahuan tentang wilayah vaskular adalah penting, karena memungkinkan kita untuk mengenali infark di wilayah arteri dan juga infark vena. Hal ini juga membantu kita untuk membedakan infark dari patologi lainnya (Smithuis, 2008). Karena model distribusi pembuluh darah otak memiliki pengaruh penting pada sejumlah besar lesi patologis yang dapat terjadi di bagian sistem saraf, penting untuk mempertimbangkan sedikit lebih rinci bagaimana pembuluh darah otak didistribusikan. Bab 5 – Anatomi Otak
59
Peredaran darah serebri berasal dari 4 arteri, yaitu 2 arteri karotis interna dan 2 arteri vertebralis. Arteri karotis interna berasal dari percabangan arteri karotis komunis dan menembus basis kranii melalui foramen jugularis. Arteri vertebralis masuk ke kranium melalui foramen oksipital dan tidak seperti arteri lain yang dichotomize, arteri ini bergabung membentuk arteri basilaris. Secara skematis, sistem arterial intrakranial dibagi menjadi bagian anterior yang terdiri atas sirkulasi karotis (Gambar 5.11 dan Gambar 5.12) dan bagian posterior yang terdiri atas sirkulasi vertebro-basilar (Gambar 5.13 dan Gambar 5.14) (Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2000; Patestas & Gartner, 2006). 3 2
II
III
Sumber: Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2000; Patestas & Gartner, 2006
1
Gambar 5.11 Sirkulasi karotis. I
Jika kita perhatikan gambar di atas maka terlihat bagian I adalah internal carotid artery (ICA), bagian II yaitu middle cerebral artery (MCA), dan bagian III adalah anterior cerebral artery (ACA). Sementara itu, nomor 1 menunjukkan medial frontobasal artery, nomor 2 yaitu callosomarginal artery, nomor 3 yaitu pericallosal artery. M4 (Cortical)
A5
A4
A3 A2 A2
Lenticulostriate Braches of M1 A1 M3 (Opercular)
A
M1 (Insular) M1
Petrous ICA
B
Cetrical ICA
Sumber: Liebeskind, 2014
Gambar 5.12 Sirkulasi anterior. Gambar di atas menunjukkan bagian-bagian berikut ini. A. Arteriogram sirkulasi anterior sisi kiri tampak frontal: a. cerebri anterior segmen proksimal, a. communicans anterior (A1), a. cerebri 60
Pencitraan pada Stroke
anterior segmen distal, a. communicans anterior (A2), a. cerebri media segmen horizontal (M1), segmen insular (M2), segmen operkular (M3), dan segmen kortikal (M4). B. Arteriogram sirkulasi anterior tampak temporal yang menunjukkan a. cerebri anterior segmen proksimal, a. communicans anterior (A1), segmen setelah a. communicans anterior dan sebelum pertemuan rostrum dan genu korpus kallosum (A2), segmen genu korpus kallosum (A3), dan segmen korpus kallosum dan post callosal (A4 dan A5).
d III
c b
II a
I
Sumber: Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2000; Patestas & Gartner, 2006
IV
Gambar 5.13 Sirkulasi vertebro-basilar. Jika kita perhatikan, maka gambar di atas menunjukkan bagianbagian berikut ini. Bagian I menunjukkan vertebral artery (VA), bagian II basilary artery (BA), bagian III menunjukkan posterior cerebral artery (PCA) dan bagian IV yaitu anterior spinal artery (ASA). Sementara itu, bagian a menunjukkan inferior posterior cerebellar artery, bagian b yaitu inferior anterior cerebellar artery, bagian c yaitu superior cerebellar artery, bagian d menunjukkan temporooccipital arteries dan bagian e yaitu medial occipital arteries. Posterior Cerebral Arteries
Left SCA
Right SCA Basilar Artery
Right AICA
Left AICA
Right PICA
Left PICA
Vertebral Arteries
Sumber: Liebeskind, 2014
Gambar 5.14 Arteriogram sirkulasi posterior. Bab 5 – Anatomi Otak
61
Berdasarkan Gambar 5.14 terlihat a. vertebralis, a. basilaris, a. cerebelli inferior posterior (PICA), a. cerebelli inferior anterior (AICA), dan a. cerebelli superior (SCA). Kedua teritorial pembuluh darah di atas bergabung menjadi sirkulus Wilisi dan berasal dari dasar otak (Gambar 5.15). Tiga bagian arteri berasal dari sirkulus Wilisi, yaitu arteri serebri anterior, medial, dan posterior. Arteri-arteri ini menyediakan aliran darah ke hemisfer serebri, sedangkan batang otak dan serebellum secara khusus dialiri oleh cabangcabang sirkulasi vertebro-basilar (Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2000; Patestas & Gartner, 2006). IV
b
I
a
III
V
c II Sumber: Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2000; Patestas & Gartner, 2006
Gambar 5.15 Sirkulus Wilisi. Pada gambar di atas terlihat bagian-bagian berikut ini. I. Internal carotid artery (ICA) II. Basilary artery (BA) III. Middle cerebral artery (MCA) IV. Anterior cerebral artery (ACA) V. Posterior cerebral artery (PCA)
a. Posterior communicating artery (PCoA) b. Anterior communicating artery (ACoA) c. Superior cerebral artery
5.4.1 Arteri Karotis Interna (ICA = Internal Carotid Artery) Setelah keluar dari os temporal (pars petrosus), traktus ICA intrakranial menuju depan ke apeks petrosus dan berjalan di sepanjang sisi sella, di antara sinus-sinus kavernosus. Segmen ini disebut juga carotid siphon sesuai dengan jalur lengkungnya di antara sinus kavernosus. Setelah keluar dari sinus kavernosus, ICA berada di ruang subarachnoid. Cabangcabang penting yang berasal dari ICA pada daerah ini termasuk trunkus meningohipofiseal, trunkus inferolateral, dan ophtalmic artery (OA). Di antara segmen supra-kavernosus, ICA memiliki arah vertikal dan masuk ke ruang subarachnoid yang berdekatan dengan prosesus klinoid anterior. Cabang-cabang yang berasal dari tempat ini termasuk posterior communicating artery (PCoA) dan anterior choroidal artery (AchA). Hanya 62
Pencitraan pada Stroke
PCoA dan OA yang biasanya terlihat dengan jelas pada gambaran MRA (Gambar 5.16 a-b dan Tabel 5.3) (Patestas & Gartner, 2006; Netter & Craig, 2000).
Sumber: Patestas & Gartner, 2006; Netter & Craig, 2000
Gambar 5.16 Gambaran normal ICA, ACA, dan MCA: (a) anterior view dan (b) lateral view.
Tabel 5.3 Jalur dan cabang-cabang yang berasal dari ICA Segmen
Jalur
Cabang Kolateral
Pemeriksaan MRA
Servikal
Vaskular space, parapharyngeal space
Tidak ada
-
Intrapetrous
Carotid canal
Carotico-tympanic artery, vidian dan periostea arteries
Tidak terlihat
C5
Petrous apex at the posterior bend
Meningohypophyseal trunkk
Tidak terlihat
C4
Petrous apex at the interior bend
Inferolateral trunk
Tidak terlihat
C3
Intradural Segment
McConnel's capsular artery
Tidak terlihat
C3-C2
Mostly intradural
Ophthalmic artery
Terlihat biasa
Supracavernous C2-C1
Di dalam subarachnoid space medial ke anterior clinoid process dan di bawah saraf optik
Superior communicating
Tidak terlihat
C1
Segmen vertikal yang terpisah oleh T untuk membentuk anterior dan middle cerebral arteries
Posterior communicating artery
Terlihat bagus
Anterial choroidal artery
Jarang terlihat
Cavernous
Sumber: Schneider, 2005
Bab 5 – Anatomi Otak
63
Anterior choroidal artery (AchA) berasal dari sisi posterior. PCoA berjalan di atas nervus kranialis III dan bergabung dengan posterior cerebral artery (PCA). Anterior choroidal artery (AchA) merupakan pembuluh darah terakhir yang berasal dari ICA dan tidak selalu terlihat pada MRA (Gambar 5.17(a) dan Gambar 5.17(b)). Akhir dari ICA dibagi menjadi dua arteri, yaitu middle cerebral artery (MCA) dan anterior cerebral artery (ACA) (Patestas & Gartner, 2006; Netter & Craig, 2000).
(a)
(b) Sumber: Patestas & Gartner, 2006; Netter & Craig, 2000
Gambar 5.17 (a) Ophtalmic artery dan post communicating artery dan (b) anterior choroidal artery.
Adanya anastomosis karotis-vertebrobasilar yang menetap pada janin, misalnya arteri trigeminal yang secara langsung menghubungkan ICA intrakavernosus dengan arteri basilar merupakan bentuk variasi anatomi ICA yang paling sering ditemukan (Gambar 5.18) (Netter & Craig, 2000).
Sumber: Netter & Craig, 2000
Gambar 5.18 Arteri trigeminal yang persisten. Anterior cerebral artery (ACA) dibagi lagi menjadi dua traktus, yaitu traktus pre-communicating A1 yang merupakan asal dari arteri lentikular striata dan arteri Heubner’s, serta traktus A2 yang bercabang ke arteri 64
Pencitraan pada Stroke
frontal-polar dan orbital-frontal (Gambar 5.19 (a)). Anterior cerebral artery (ACA) dibagi menjadi marginal callosum artery dan pericallosum artery pada lengkungan corpus callosum (Gambar 5.19 (b)). Variasi anatomis ACA yang paling sering adalah ‘azygos’ ACA (Gambar 5.19 (c)) dan triple pericallosal artery (Gambar 5.19(d)). Anterior communicating artery membentuk anastomosis antara kedua ACA. Penestrasi dan duplikasi ACA merupakan anomali anatomis yang jarang ditemukan dan sering dihubungkan dengan aneurisma yang kecil pada ACoA (Netter & Craig, 2000). Arteri serebri anterior memperdarahi : • Sebagian besar area media dari hemisphere cerebri (2/3 anterior) • Genu korpus kallosum • Capsula interna limb anterior • Caput nucleus caudatus
a (a) anterior cerebral artery
b (b) callosal artery
d (d) triple pericallosal artery
c (c) azygos artery
Sumber: Netter & Craig, 2000
Gambar 5.19 a-d Sirkulasi anterior. Middle cerebral artery (MCA) dibagi menjadi 4 segmen (Gambar 5.20) yaitu segmen horizontal atau sfenoidal (M1), segmen insular (M2), segmen operkular (M3), dan segmen M4 yang terletak di luar fisura sylvii. Segmen horizontal atau sfenoidal (M1) yang merupakan Bab 5 – Anatomi Otak
65
asal dari arteri perforating lentikulostriata yang tidak terlihat dengan MRA. Variasi anatomis MCA jarang ditemukan dan yang paling sering ditemukan adalah duplikasi, fenestrasi, dan arteri aksesorius (Gambar 5.20(a)) (Netter & Craig, 2000).
a
b Sumber: Netter & Craig, 2000
Gambar 5.20 (a) MCA dan PCA normal dan (b) duplikasi middle cerebral artery kiri.
5.4.2 Sistem Vertebro-Basilar Sirkulasi vertebro-basilar terdiri atas arteri vertebral, arteri basilar, dan posterior serebral anterior (PCA) (Gambar 5.20(a)). Posterior inferior cerebellar artery (PICA) terletak sebelum arteri vertebral kemudian bersatu membentuk arteri basilar. Arteri ini biasanya bisa dilihat pada MRA (Gambar 5.21(a)). Sebaliknya, cabang-cabang lain (meningeal, spinal, dan bulbar) jarang terlihat. Untuk variasi asimetris arteri vertebral sering ditemukan. Variasi yang paling sering ditemukan adalah salah satu arteri vertebral tidak tampak, hipoplastik, atau segera berakhir di PICA yang menyebabkan arteri basilar langsung berasal dari arteri vertebral kontralateral (Anzalone & Tartaro, 2005; Netter & Craig, 2000; Tamraz & Comair, 2006).
a
b
Sumber: Anzalone & Tartaro, 2005; Netter & Craig, 2000; Tamraz & Comair, 2006
Gambar 5.21 (a) Vertebral artery kiri dengan opasifikasi BA, cerebellar arteries, dan PCA dan (b) sirkulasi posterior dan inferior cerebellar artery kiri normal yang berasal dari VA kiri. 66
Pencitraan pada Stroke
Arteri basilar berada di antara sisterna pre-pontin dan berakhir dengan bercabang menjadi dua pada PCA. Kedua anterior inferior cerebellar artery (AICA) dan kedua superior cerebellar artery (SCA) berasal dari traktus kaudal arteri basilar. Baik AICA maupun SCA sering terlihat pada gambaran MRA (Gambar 5.22(a)). Variasi anatomis arteri basilar jarang ditemukan. Anomali yang paling sering ditemukan adalah fenestration dari segmen proksimal (Gambar 5.22(b)) (Anzalone & Tartaro, 2005; Netter & Craig, 2000; Tamraz & Comair, 2006).
(a)
(b) Sumber: Anzalone & Tartaro, 2005; Netter & Craig, 2000; Tamraz & Comair, 2006
Gambar 5.22 (a) Sirkulasi posterior, anterior inferior cerebellar artery dan superior cerebellar artery normal dan (b) penestrasi segmen proksimal arteri basilar. Segmen perimesensefalik (P2) yang merupakan asal arteri lentikulostriata dan posterior choroidal artery (PChA) tidak bisa terlihat pada MRA. Sementara itu, segmen P3 yang berada di belakang lamina quadrigeminal terbagi menjadi dua cabang dan dapat dilihat dengan MRA yaitu calcarine artery dan parietoocipital, serta yang paling distal adalah cabang P4 (Tabel 5.4) (Anzalone & Tartaro, 2005; Netter & Craig, 2000; Tamraz & Comair, 2006).
Tabel 5.4 Sistem vertebro-basilar dan percabangannya Segmen
Tempat Mengalir
Cabang Kolateral
Pemeriksaan MRA
Vertebral arteries Medullary cistern
PICA
Terlihat bagus
Basilar artery
Prepontine cistern
AICA, SCA
Terlihat bagus
Perforators
Tidak terlihat
PCA
Perimesencephalic cistern
Posterior choroidal
Tidak terlihat
Lenticulostriate
Tidak terlihat
Parieto-occipital
Terlihat bagus
Calcarine
Terlihat bagus Sumber: Springer,2005
Bab 5 – Anatomi Otak
67
5.4.3 Sirkulus Wilisi
68
spinal
Anterior
Ve rte b
ral
Basilar
Sirkulus Wilisi merupakan sistem anastomose yang terpenting di antara sistem karotid dan vertebrobasilar. Sirkulus ini juga menghubungkan sirkulasi hemisfer kiri dan kanan karena itu memberikan mekanisme yang memungkinkan untuk kompensasi hemodinamik pada kasus-kasus stenosis berat atau oklusi ICA dan/atau arteri basilar. Pada bentuk sempurna yang terjadi pada 20% kasus, sirkulus Wilisi dibentuk oleh dua ICA, kedua traktus ACA, AcoA, kedua PcoA, dan kedua segmen P1 dari PCA (Gambar 5.24) (Korosec, 2009; Tamraz & Comair, 2006; Rohkamm, 2004). Bagian otak yang mendapat vasku larisasi dari sirkulus Wilisi Sumber: Korosec, 2009; Tamraz & antara lain lamina terminalis, Comair, 2006; Rohkamm, 2004 khiasma optikus, infundibulum, Gambar 5.23 Sirkulus Wilisi tuber cinereum, korpora mamilaria, normal. dan substansia perforata posterior. Tiga cabang bersama men suplai masing-masing hemisfer otak yang Ant. communicating berasal dari arteri sirkulus Wilisi. Int. carotid Int. cerebral Cabang anterior bercabang menjadi l a ebr A.M. cer dua, mensuplai dua serebri anterior, d i M Arterial circle dari pars antero-lateral serebri . A.L media dan dari pars posterior serebri posterior. Tiap arteri tersebut P.M. Post memberikan cabang ke dua sistem communicating arteri yang berbeda. Pertama adalah sistem ganglionik dimana arteri ini P.L. Pontine mensuplai thalamus dan korpora Internal striata. Kedua adalah sistem kortikal auditory yang berperan dalam mensuplai pia matter, korteks dan jaringan otak sekitar. Dua sistem tersebut tidak beranastomose pada sirkulasi perifer (Gray, 1918). Semua pembuluh darah sistem Posterior ganglionik ini berasal dari sirkulus inferior cerebral Wilisi. Sistem ini membentuk enam kelompok cabang utama, yaitu kelompok antero-medial, berasal Sumber: Gray, 1918 dari serebri anterior dan komunikans Gambar 5.24 Skema sirkulus anterior; kelompok postero-medial, Wilisi. Pencitraan pada Stroke
dari serebri posterior dan komunikans posterior; kelompok antero-lateral kiri dan kanan, dari serebri media; dan kelompok postero-lateral kiri dan kanan, dari serebri posterior, setelah menembus pedunculus serebri. Pembuluh darah sistem ini lebih besar dari sistem kortikal dan disebut sebagai arteri terminalis (Gray, 1918). Sistem arteri kortikal merupakan akhir cabang arteri serebri anterior, media, dan posterior. Sistem ini terbagi dan membentuk anyaman di substansia piamater, memberikan percabangan yang menembus korteks serebri secara vertikal (Gray, 1918). Arteri karotis interna mensuplai otak bagian anterior, mata dan sekitarnya, dan bercabang ke dahi dan hidung (Gambar 5.25). Pada orang dewasa, ukurannya sama dengan arteri karotis eksternal. Namun demikian, arteri karotis eksternal pada anak lebih besar daripada arteri karotis interna itu sendiri. Arteri ini terkadang memiliki satu atau dua lekukan dekat pangkal teng korak, sementara dalam perjalanannya melalui kanal karotis dan di sepanjang sisi korpus tulang sphenoid mempunyai dua leng kungan dan menye rupai huruf miring S. Dalam per jalanannya ke otak, arteri ini dibagi menjadi 4 bagian, yaitu pars servikal, pars petrosus, pars kavernosa, dan pars serebri (Gray, 1918). Pars servikal, merupakan bagian dari arteri karotis interna dimulai pada percabangan dari karotis komunis, berlawanan dengan batas Sumber: Gray, 1918 atas kartilago tiroid, dan berjalan tegak lurus ke atas, di depan Gambar 5.25 Skema arteri carotis prosesus transversus dari vertebra interna. servikalis ketiga atas, ke kanalis karotis di pars petrosus os temporal. Arteri ini terletak superfisial, di mana ia termasuk dalam segitiga karotis. Pars servikal terletak di belakang dan lateral dari arteri karotis eksternal, tumpang tindih dengan sternocleido mastoideus dan dilindungi oleh fasia, platisma, dan integumen. Setelah Bab 5 – Anatomi Otak
69
itu, lewat di bawah kelenjar parotis, yang dilintasi oleh nervus hypoglossus, digastricus dan stylohyoideus, dan arteri aurikularis posterior dan oksipital. Lebih lanjut lagi, arteri karotis interna dipisahkan dari karotis eksternal oleh m. Styloglossus dan m.Stylopharyngeus, ujung dari prosesus styloid dan ligamentum styloid, nervus glossopharingeus dan cabang faring dari nervus vagus. Dalam hubungannya, di belakang berhubungan dengan nervus capitis longus, ganglion servikalis superior dari trunkus simpatikus, dan N. laringeus superior; di lateral berhubungan dengan vena jugularis interna dan n. vagus, saraf terletak di belakang arteri; di medial sejalan dengan faring, n. laringeus superior, dan arteri faringeus asendens. Di dasar tengkorak tersebut, n. glossopharingeus, n. vagus, n. akse sorius, dan n. hypoglossus terletak antara arteri dan vena jugularis interna (Gray, 1918). Sirkulus Wilisi dapat memberikan variasi anatomi yang luas, baik karena hipoplasia atau agenesis satu atau lebih komponennya (Gambar 5.26). Tempat terjadinya hipoplasia atau agenesis yang paling sering adalah PCoA (34%) dan traktus A1 (25%) dimana secara embrionik PCA berasal dari ICA. Hipoplasia atau tidak adanya segmen P1 juga relatif sering ditemukan (sekitar 17%) (Gambar 5.27 a-b) (Nitz W,, 2006; Rohkamm, 2004).
Sumber: Nitz W., 2006; Rohkamm, 2004
Gambar 5.26 Variasi normal sirkulus Wilisi. Agenesis
anterior communicating artery (panah putih) dan posterior communicating artery (panah hitam).
a
b Sumber: Nitz W., 2006; Rohkamm, 2004
Gambar 5.27 a-b Variasi normal sirkulus Wilisi: (a) agenesis segmen A1 kanan ACA dan (b) segmen P1 kiri PCA. 70
Pencitraan pada Stroke
Anastomose di antara sirkulasi arteri intrakranial dan ekstrakranial disediakan oleh OA dan arteri leptomeningeal. Pada kondisi patologis dimana ICA mengalami obstruksi, anastomose ini memungkinkan revaskularisasi spontan arteri serebri (Nitz W., 2006; Rohkamm, 2004).
5.4.4 Anatomi Vena Serebri Pembuluh vena otak tidak mempunyai katup dan dindingnya sangat tipis. Vena ini menembus membran arachnoid dan lapisan meningeal duramater, dan menuju sinus vena kranial. Sistem vena terdiri atas sinussinus dural, vena diploik, vena meningeal, dan vena-vena serebri superfisial dan profunda. Secara skematis darah dialirkan dari otak ke sistem vena profunda (internal veins) dan ke sistem vena superfisial (external veins). Kedua sistem ini mengalir ke dural sinus venosus yang juga mengumpulkan darah dari vena-vena diploik dan meningeal. Ini merupakan jalur drainase vena di otak yang terpenting (Gambar 5.28 a-b) (Nitz, 2006; Tamraz & Comair, 2006; Osborn, Blaser, Salzman et al. 2004). d
I
I II II IV
c
a
III
b
e IV
V
(a)
III V
(b)
Sumber: Nitz, 2006; Tamraz & Comair, 2006; Osborn, Blaser, Salzman et al. 2004
Gambar 5.28 Sistem drainase vena serebri Berdasarkan gambar di atas maka terlihat bagian-bagian sebagai berikut. (a) Tampak samping I. Superior sagital sinus (SSS) II. Inferior sagital sinus (ISS) III. Sagital sinus (SS) IV. Transverse sinus (TS) V. Sigmoid sinus a. Internal cerebral vein (ICV) b. Basal vein (BV) c. Vein of galen (VG) Bab 5 – Anatomi Otak
d. Superior cerebral veins e. Sinus confluence (SC) (b) Tampak atas I. Superior sagital sinus (SSS) II. Inferior sagital sinus (ISS) III. Sinus confluence (SC) IV. Transverse sinus (TS) V. Sigmoid sinus
71
Sinus-sinus dural terdiri atas superior sagittal sinus (SSS) yang berjalan sepanjang garis tengah di antara insersi superior falx serebri dan berakhir pada sekelompok sinus-sinus yang dikenal sebagai torcular herophili (Gambar 5.29 a-b); inferior sagittal sinus (ISS) yang berasal dari rostral margin corpus callosum dan berjalan di antara lipatan dural pada margin inferior falx serebri; dan transverse sinus (TS) yang terdiri atas tentorium pada tiap sisinya dan berjalan sepanjang insersi permukaan dalam os oksipital (Gambar 5.30 a-b). Kedua sistem sinus transversum ini berlanjut ke kaudal dengan sinus sigmoid dan kemudian berakhir di vena jugular. Sinus transversal kanan umumnya lebih besar daripada kiri, namun memiliki variasi anatomi yang luas (Nitz, 2006; Tamraz & Comair, 2006; Osborn, Blaser, Salzman et al. 2004).
a
b
Sumber: Nitz, 2006; Tamraz & Comair, 2006; Osborn, Blaser, Salzman et al. 2004
Gambar 5.29 Angiografi serebri.
a
b
Sumber: Nitz, 2006; Tamraz & Comair, 2006; Osborn, Blaser, Salzman et al. 2004
Gambar 5.30 Angiografi serebri. 72
Pencitraan pada Stroke
Sinus kavernous berada di pars anterior dari basis kranii pada kedua sisi sphenoid body, di antara dural space yang merupakan dinding dari berbagai kanalis, tegak lurus dengan nervus kranialis III, IV, V1-2, dan VI. Sinus kavernosus menerima darah dari vena optalmikus superior dan dari pars anterior sinus spheno-parietal. Sinus petrosal superior dan sinus petrosal inferior berturut-turut mengalir ke pars lateral dan medial sinus kavernosus pars posterior (Gambar 5.31). Sinus petrosal superior memberikan hubungan antara sinus kavernosus dan sinus transversum. Sinus venosus inferior menyediakan hubungan Sumber: Korosec, 2009; Osborn, antara sinus petrosal inferior dan Blaser, Salzman, et al. 2004 sinus sigmoid ipsilateral (Korosec, Gambar 5.31 Sistem vena profunda. 2009; Osborn, Blaser, Salzman, et al. 2004) Vena-vena otak superfisial yang mengalir ke SSS dan TS menyusun sistem vena superfisial. Sistem vena profunda terdiri atas subependimal, terminal, kaudatus anterior, dan vena-vena septal yang bergabung menjadi internal cerebral vein (ICV). Vena-vena ini berjalan di antara ventrikel III pars superior dan setelah mencapai vena basilar Rosenthal,mengalir ke vein of galen (VoG) (Gambar 5.32 a-b) (Korosec, 2009; Osborn, Blaser, Salzman, et al. 2004).
a
b
Sumber: Korosec, 2009; Osborn, Blaser, Salzman, et al. 2004
Gambar 5.32 Angiografi serebri (a) Venous phase dan (b) sistem vena serebri superfisial dan profunda. Berikut ini akan dijelaskan karakteristik masing-masing sinus venosus. Bab 5 – Anatomi Otak
73
a. Sinus sagitalis superior Sinus sagitalis superior terletak pada batas yang menempel konveks dari falx serebri. Sinus ini dimulai pada crista galli dan berakhir di dekat protuberantia occipitalis interna pada confluens sinuum, tempat pertemuan sinus sagitalis superior, sinus rectus, sinus occipitalis, dan sinus transversus. Sinus sagitalis superior menerima vena superior serebri dan berhubungan pada setiap sisi melalui muara menyerupai celah dengan lakuna vena lateralis, ekspansi lateral sinus sagitalis superior (Moore et al., 2007). b. Sinus sagitalis inferior Sinus sagitalis inferior jauh lebih kecil daripada sinus sagitalis superior. Sinus tersebut berjalan pada batas bebas konkaf inferior falx serebri dan berakhir pada sinus rektus (Moore et al., 2007). c. Sinus rektus Sinus rektus terbentuk melalui penyatuan sinus sagitalis inferior dengan vena magna serebri. Sinus ini berjalan secara inferoposterior di sepanjang garis pelekatan falx serebri ke tentorium serebelli, tempatnya bergabung dengan confluens sinuum (Moore et al., 2007). d. Sinus transversus Sinus ini berjalan di lateral confluens sinuum yang membentuk suatu sulkus pada os occipitale dan angulus posteroinferior os parietale. Sinus transversus berjalan di sepanjang pinggir tentorium serebelli yang melekat di posterolateral dan menjadi sinus sigmoideus ketika mendekati aspek posterior pars petrosus os temporalis. Darah yang diterima oleh confluens sinuum didrainase oleh sinus transversus, tetapi jarang sama banyaknya. Biasanya sinus kiri lebih dominan (lebih besar) (Moore et al., 2007). e. Sinus sigmoideus Sinus sigmoideus mengikuti perjalanan berbentuk huruf S pada fossa kranii posterior yang membentuk sulkus pada os temporale dan occipitale. Setiap sinus sigmoideus memutar di anterior dan kemudian terus ke inferior sebagai vena jugularis interna setelah menyilang ke foramen jugulare (Moore et al., 2007). f. Sinus occipitalis Sinus occipitalis terletak pada batas falx serebelli yang menempel dan berakhir di superior pada confluens sinuum. Sinus occipitalis berhubungan inferior dengan pleksus venosus vertebralis interna (Moore et al., 2007). g. Sinus kavernosus Sinus kavernosus terletak pada setiap sisi sella turcica di permukaan atas corpus os sphenoidalis yang berisi sinus sphenoidalis (udara). Sinus kavernosus terdiri atas pleksus venosus pada vena berdinding sangat tipis yang memanjang dari fissura orbitalis superior di anterior ke apeks 74
Pencitraan pada Stroke
pars petrosus os temporalis di posterior. Sinus menerima darah dari vena opthalmica superior dan inferior, vena media superfisialis serebri, dan sinus sphenoparietalis. Kanal venosus dalam sinus-sinus tersebut berhubungan satu sama lain melalui kanal venosus di anterior dan posterior tangkai glandula hipofisis dan kadang-kadang melalui vena-vena di inferior glandula hipofisis. Sinus kavernosus bermuara di posteroinferiro melalui sinus petrosus superior dan inferior dan vena emissaria ke pleksus pterygoideus (Moore et al., 2007). h. Sinus petrosus superior Sinus ini berjalan dari ujung posterior vena yang menyusun sinus kavernosus ke sinus transversus di tempat sinus-sinus tersebut melengkung secara inferior untuk membentuk sinus sigmoideus. Setiap sinus petrosus superior terletak di pinggir tentorium serebelli yang menempel di anterolateral dan menempel ke batas superior (crista) pars petrosa os temporalis (Moore et al., 2007). i.
Sinus petrosus inferior Sinus petrosus inferior juga dimulai pada ujung posterior sinus kavernosus. Setiap sinus petrosus inferior berjalan dalam sulkus di antara pars petrosus os temporalis dan pars basilaris os occipitalis. Sinus petrosus inferior mendrainase vena pada sinus kavernosus lateralis secara langsung ke dalam asal vena jugularis interna (Moore et al., 2007).
Sphenoparietal sinus
Superior ophthalmic vein
Intercavernous sinus Site of section for C
Cavernous sinus
End of Sigmoid sinus: beginning of internal jugular vein.
Superior petrosal sinus
Great cereblar vein
Inferior petrosal sinus
Tentorial notch
Simoid sinus
Cerebellar tentorium
Straight sinus Superior sagittal sinus
Inferior sagittal sinus
Right transverse sinus Sumber: Moore et al., 2007
Gambar 5.33 Sinus venosus serebral pandangan superior. Bab 5 – Anatomi Otak
75
Rangkuman 1. Dalam kandungan ibu, otak embrio sudah mengalami perkembangan. Perkembangan sistem saraf pusat dimulai kirakira pada minggu ketiga bersamaan dengan perkembangan janin yaitu sebagai neural plate. 2. Sistem saraf perifer tersusun atas saraf-saraf kranialis, spinalis, viseralis, dan ganglia otonom. 3. Secara garis besar, otak dibagi menjadi 3 bagian yaitu pro sencephalon, mesencephalon, dan rhombencephalon. 4. Anatomi otak dari luar ke dalam meliputi lapisan kulit kepala (SCALP), tulang kepala (kranium), meningen, dan otak itu sendiri. 5. SCALP terdiri atas skin, connective tissue, aponeurotic layer epicranium, loose connective tissue, dan pericranium. 6. Secara anatomi tulang-tulang kranium terbagi menjadi 2 yaitu kalvaria dan tulang wajah. 7. Meningen terdiri atas duramater, arachnoid, dan piamater. 8. Semua bagian tulang tersebut sangat penting dalam identifikasi kelainan dalam otak karena membantu mengetahui bagianbagian otak yang terkait di dalamnya. 9. Cairan serebrospinal/cerebrospinal fluid (CSF) paling banyak berada di dalam ventrikel yang menghubungkan komponen otak yang berbeda dan juga berada di dalam sisterna subarachnoid. 10. Di daerah tertentu di sekitar otak, terutama di daerah basal, arachnoid dan piamater dipisahkan oleh rongga yang disebut sisterna subarachnoid yang terdiri dari sisterna basalis, sisterna pontis, sisterna dari galen, sisterna serebello-medularis atau sisterna magna, sisterna dari korpus kallosum yaitu sisterna pada fossa di lateral dari serebri. 11. Otak merupakan organ tubuh manusia yang paling terlindungi, termasuk sistem pembuluh darah otak. 12. Sirkulasi vertebro-basilar terdiri atas arteri vertebral, arteri basilar, dan posterior serebral anterior (PCA). 13. Sirkulus Wilisi adalah sistem anastomose yang terpenting di antara sistem karotid dan vertebrobasilar. 14. Bagian otak yang mendapat vaskularisasi dari sirkulus wilisi antara lain lamina terminalis, khiasma optikus, infundibulum, tuber cinereum, korpora mamilaria, dan substansia perforata posterior. 15. Sistem vena terdiri atas sinus-sinus dural, vena diploik, vena meningeal, dan vena-vena serebri superfisial dan profunda.
76
Pencitraan pada Stroke
Bab 6 Memahami Computed Tomography Scan
C
omputed Tomography atau CT scan sering kali digunakan untuk alat diagnosis pada berbagai permasalahan kesehatan di dunia kedokteran. Pemindaian dengan teknologi computerized tomography atau biasa disebut CT scan muncul pada awal tahun 1970an. Sejak itu, CT scan menjadi alat yang penting untuk pencitraan medis
6.1 Apakah CT Scan itu? Computed tomography atau CT scan adalah sebuah pemeriksaan di bidang medis seperti sinar-X konvensional yang menghasilkan pencitraan atau gambaran multipel struktur dalam tubuh. Pencitraan cross-sectional yang dihasilkan CT scan dapat direformat dalam multipel planar dan 77
bahkan dapat menghasilkan bentuk pencitraan tiga dimensi. Pencitraan ini dapat dilihat pada monitor komputer dalam bentuk film yang diprint atau disimpan di dalam CD atau DVD (Kohl, G., 2005). Computer Tomography (CT) scanner merupakan alat diagnostik dengan teknik radiografi yang menghasilkan gambar potongan tubuh secara melintang berdasarkan penyerapan sinar-X pada irisan tubuh yang ditampilkan pada layar monitor TV hitam putih. Computed Tomography (CT) biasa juga disebut computed axial tomography (CAT), computer-assisted tomography, atau (body section roentgenography) yang merupakan suatu proses yang menggunakan digital processing untuk menghasilkan suatu gambaran internal tiga dimensi suatu objek dari satu rangkaian sinar-X yang menghasilkan gambar dua dimensi. Kata " tomography" diperoleh dari Yunani tomos (irisan) dan graphia (gambarkan) (Ramadhani, P., 2006).
Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 6.1 Pesawat CT beserta pasien yang sudah siap diperiksa. Pencitraan CT dari organ dalam misalnya tulang, jaringan lunak, dan pembuluh darah menghasilkan detil gambar yang jauh lebih jelas daripada sinar-X konvensional, terutama gambaran dari jaringan lunak dan pembuluh darah. Dengan penggunaan peralatan khusus dan teknik tertentu untuk menghasilkan dan menginterpretasikan CT scan dari tubuh, radiolog dapat lebih mudah mendiagnosa masalah-masalah seperti kanker, penyakit kardiovaskular, penyakit infeksi, appendisitis, trauma, dan gangguan muskuloskeletal
6.2 Komponen Dasar CT Scan CT scan mempunyai 2 komponen utama yaitu scan unit dan operator konsul. Scan unit biasanya berada di dalam ruang pemeriksaan, sedangkan operator konsul letaknya terpisah dalam ruang kontrol. Scan unit terdiri atas 2 bagian yaitu meja pemeriksaan (couch) dan gantry (Bontrager, 2001). 78
Pencitraan pada Stroke
Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 6.2 Scan unit yang terdapat di dalam ruang pemeriksaan dan operator konsul di ruang terpisah pada sistem CT scan. Bagian-bagian scan unit adalah sebagai berikut (Tortorici, 1995).
6.2.1 Gantry Di dalam CT scan, pasien berada di atas meja pemeriksaan dan meja tersebut dapat bergerak menuju gantry. Gantry ini terdiri atas beberapa perangkat yang keberadaannya sangat diperlukan untuk menghasilkan suatu gambaran. Perangkat keras tersebut antara lain tabung sinar-X, kolimator, dan detektor. a. Tabung sinar X Berdasarkan stukturnya, tabung sinar-X sangat mirip dengan tabung sinar-X konvensional, perbedaannya yaitu terletak pada kemampuannya untuk menahan panas dan output yang tinggi. Panas yang cukup tinggi disebabkan karena perputaran anoda yang tinggi dengan elektron-elektron yang menumbuknya. Ukuran fokal spot yang kecil (kurang dari 1 mm) sangat dibutuhkan untuk menghasilkan resolusi yang tinggi. b. Kolimator Kolimator berfungsi untuk mengurangi radiasi hambur, membatasi jumlah sinar yang sampai ke tubuh pasien, serta untuk meningkatkan kualitas gambar. CT scan menggunakan 2 buah kolimator yaitu pre pasien kolimator dan pre detektor kolimator. c. Detektor Selama eksposi, berkas sinar-X (foton) menembus tubuh pasien dan mengalami perlemahan (atenuasi). Sisa-sisa foton yang telah teratenuasi kemudian ditangkap oleh detektor. Ketika detektor-detektor menerima sisasisa foton tersebut, foton berinteraksi dengan detektor dan memproduksi sinyal dengan arus yang kecil yang disebut sinyal output analog. Sinyal ini Bab 6 – Memahami Computed Tomography Scan
79
besarnya sebanding dengan intensitas radiasi yang diterima. Kemampuan penyerapan detektor yang tinggi akan berpengaruh pada kualitas gambar yang lebih optimal. Ada 2 tipe detektor yaitu solid state dan isian gas (Tortorici, 1995)..
6.2.2 Meja pemeriksaan (couch) Meja pemeriksaan merupakan tempat untuk memposisikan pasien. Meja ini biasanya terbuat dari fiber karbon. Dengan adanya bahan ini maka sinar X yang menembus pasien tidak terhalangi jalannya untuk menuju ke detektor. Meja ini harus kuat dan kokoh, mengingat fungsinya untuk menopang tubuh pasien selama meja bergerak ke dalam gantry. Sorotan sinar-X Mesin CT Operator
Meja
Sumber: Burgess, L., 2015
Gambar 6.3 Bagian-bagian mesin CT scan.
6.2.3 Sistem konsul Konsul tersedia dalam berbagai variasi. Model yang lama masih menggunakan dua sistem konsul yaitu untuk pengoperasian CT scan sendiri dan untuk perekaman serta untuk pencetakan gambar. Model yang terbaru sudah memakai sistem satu konsul yang memiliki banyak kelebihan dan banyak fungsi. Bagian dari sistem konsul yaitu sistem kontrol, sistem pencetak gambar, dan sistem perekaman gambar (Tortorici, 1995). 80
Pencitraan pada Stroke
6.3 Bagaimana Prinsip Kerja CT Scan? Prinsip yang paling mendasar pada radiografi adalah perbedaan penyerapan sinar X oleh jaringan tubuh yang berbeda. Jaringan padat seperti tulang menyerap sinar-X paling banyak sehingga sinar-X yang menembusnya paling sedikit. Sebaliknya, jaringan yang memiliki kepadatan rendah seperti lemak atau udara hampir tidak menyerap sinar-X sehingga hampir seluruh sinar-X yang melewatinya dapat diteruskan ke film. Radiografi konvensional adalah pencitraan 2 dimensi dari struktur 3 dimensi sehingga bergantung pada kepadatan jaringan yang dilalui oleh sinar-X. Perlu diingat dalam radiografi konvensional bahwa objek yang padat menyerap lebih banyak sinar-X, dapat mengganggu atau menghalangi gambaran dari objek yang kurang padat (Kohl, G., 2005). Berbeda dengan sinar-X konvensional, sumber sinar-X dan detektor pada CT scan saling berhadapan 180 derajat dan bergerak 360 derajat di sekitar pasien, mendeteksi secara terus-menerus dan mengirimkan informasi mengenai atenuasi dari sinar-X yang melalui tubuh pasien. Pada CT, komputer memanipulasi dan mengintegrasikan data-data yang didapat dan menghasilkan suatu nilai atau besaran yang didasari perbedaan atenuasi sinar-X. Didasari oleh nilai atau besaran ini, suatu gambaran atau pencitraan yang dihasilkan dapat membedakan objekobjek, bahkan objek dengan perbedaan densitas yang kecil (Kohl, G., 2005). CT scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-X, komputer, dan televisi. Prinsip kerjanya yaitu berkas sinar-X yang terkolimasi dan adanya detektor. Di dalam komputer terjadi proses pengolahan dan perekonstruksian gambar dengan menerapkan prinsip matematika atau yang lebih dikenal dengan rekonstruksi algoritma. Setelah proses pengolahan selesai maka data yang telah diperoleh berupa data digital yang selanjutnya diubah menjadi data analog untuk ditampilkan ke layar monitor. Gambar yang ditampilkan dalam layar monitor berupa informasi anatomis irisan tubuh (Rasad, 1999). Pada CT scan, prinsip kerjanya hanya dapat men-scaning tubuh dengan irisan melintang tubuh. Namun dengan memanfaatkan teknologi komputer maka gambaran aksial yang telah didapatkan dapat direformat kembali sehingga didapatkan gambaran koronal, sagital, oblik, diagonal bahkan bentuk tiga dimensi dari objek tersebut (Tortorici, 1995).
Bab 6 – Memahami Computed Tomography Scan
81
82
Pencitraan pada Stroke
Gambar 6.4 Sistem CT scan secara lengkap.
Sumber: Texas Instruments, 2015
6.4 Parameter CT Scan Dalam CT scan dikenal beberapa parameter untuk pengontrolan eksposi dan output gambar yang optimal. Adapun parameternya antara lain sebagai berikut (Tortorici, 1995).
6.4.1 Slice thickness Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari objek yang diperiksa. Nilainya dapat dipilh antara 1 mm-10 mm sesuai dengan keperluan klinis. Ukuran yang tebal akan menghasilkan gambaran dengan detail yang rendah, sebaliknya ukuran yang tipis akan menghasilkan detail yang tinggi. Jika ketebalan meninggi maka akan timbul artefak dan bila terlalu tipis akan terjadi noise.
6.4.2 Range Range adalah perpaduan/kombinasi dari beberapa slice thickness. Pemanfaatan range adalah untuk mendapatkan ketebalan irisan yang berbeda pada satu lapangan pemeriksaan.
6.4.3 Faktor eksposi Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap eksposi yang meliputi tegangan tabung (KV), arus tabung (mA), dan waktu eksposi (s). Besarnya tegangan tabung dapat dipilih secara otomatis pada tiap-tiap pemeriksaan.
6.4.4 Field of View (FOV) FOV adalah diameter maksimal dari gambaran yang akan direkonstruksi. Besarnya bervariasi dan biasanya berada pada rentang antara 12–50 cm. FOV yang kecil akan meningkatkan resolusi karena FOV yang kecil mampu mereduksi ukuran piksel sehingga dalam rekonstruksi matriks hasilnya lebih teliti. Namun, bila ukuran FOV lebih kecil maka area yang mungkin dibutuhkan untuk keperluan klinis menjadi sulit untuk dideteksi.
6.4.5 Gantry Tilt Gantry tilt adalah sudut yang dibentuk antara bidang vertikal dengan gantry (tabung sinar X dan detektor). Rentang penyudutan antara -25 sampai +25 derajat. Penyudutan gantry bertujuan untuk keperluan diagnosis dari masing-masing kasus yang dihadapi. Di samping itu bertujuan untuk mengurangi dosis radiasi terhadap organ-organ yang sensitif.
6.4.6 Rekonstruksi matriks Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom dari picture element (piksel) dalam proses perekonstruksian gambar. Rekonstruksi Bab 6 – Memahami Computed Tomography Scan
83
matriks ini merupakan salah satu struktur elemen dalam memori komputer yang berfungsi umtuk merekonstruksi gambar. Pada umumnya, matriks yang digunakan berukuran 512 x 512 yaitu 512 baris dan 512 kolom. Rekonstruksi matriks berpengaruh terhadap resolusi gambar. Semakin tinggi matriks yang dipakai maka semakin tinggi resolusinya.
6.4.7 Rekonstruksi Algoritma Rekonstruksi algoritma adalah prosedur matematis yang digunakan dalam merekonstruksi gambar. Penampakan dan karakteristik gambar CT scan tergantung pada kuatnya algoritma yang dipilih. Semakin tinggi resolusi algoritma yang dipilih maka semakin tinggi resolusi gambar yang akan dihasilkan. Dengan adanya metode ini maka gambaran seperti tulang, jaringan lunak, dan jaringan-jaringan lain dapat dibedakan dengan jelas pada layar monitor.
6.4.8 Window width Window width adalah rentang nilai computed tomography yang dikonversi menjadi gray levels untuk ditampilkan dalam TV monitor. Setelah komputer menyelesaikan pengolahan gambar melalui rekonstruksi matriks dan algoritma maka hasilnya akan dikonversi menjadi skala numerik yang dikenal dengan nama nilai computed tomography. Nilai ini mempunyai satuan Hu (Hounsfield Unit).
6.4.9 Window level Window level adalah nilai tengah dari window yang digunakan untuk penampilan gambar. Nilainya dapat dipilih dan tergantung pada karakteristik perlemahan dari struktur objek yang diperiksa. Window level menentukan densitas gambar yang akan dihasilkan.
6.5 Prosedur Teknik Pemeriksaan CT Scan Kepala 6.5.1 Prosedur teknik pemeriksaan CT scan kepala Prosedur adalah urutan dari rangkaian pemeriksaan yang harus diikuti. Prosedur teknik pemeriksaan CT scan meliputi persiapan pasien, posisi pasien, scout view, menentukan parameter scan yang tepat, sampai mendapatkan kualitas gambar CT scan yang baik (Nuttawan J., 2004). Adapun prosedur pemeriksaan CT scan kepala meliputi berikut ini (Nuttawan J., 2004). a. Persiapan pasien: berikan penjelasan kepada pasien tentang prosedur pemeriksaan, jika diperlukan injeksi media kontras maka dianjurkan pasien untuk berpuasa. b. Posisi pasien: supine di atas meja pemeriksaan; head first. Atur posisi kepala sehingga OML vertikal tegak lurus. 84
Pencitraan pada Stroke
c. Volume investigasi: dari foramen magnum sampai verteks. d. Scan parameter: Slice thickness: 2–5 mm pada daerah fossa posterior (foramen magnum sampai tentoral); 5–10 mm pada daerah hemisfer (tentorium sampai verteks) Inter-slice distance/pitch: 1.0 FOV: kira-kira 24 cm. Gantry tilt: 10–120 paralel dengan supra orbito meatal baseline (untuk mereduksi dosis radiasi pada orbita). kV: standard mA: diatur sesuai dengan kualitas gambar yang diperlukan Rekonstruksi algoritma: soft tissue Window width: 0–90 HU (supratentorial brain), 140–160 HU (brain pada daerah fossa posterior), 2000-3000 HU (bone) Window level: 40 x 1045 HU (supratentorial brain), 30-40 HU (brain pada daerah fossa posterior), 200-400 HU (bone).
6.5.2 Kriteria Kualitas Gambar CT Kepala Kriteria visualisasi pencitraan: cerebrum, cerebellum, basis cranii (Nuttawan, J., 2004). Kriteria gambarnya adalah sebagai berikut. a. Tampak jelas batas tegas antara substansia alba dan substansia gricea. b. Tampak jelas daerah basal ganglia. c. Tampak jelas sistem ventrikel. d. Tampak jelas ruang CSF di sekitar mesencephalon dan mengelilingi otak.
6.6 Koefisien Atenuasi Jaringan yang terdapat dalam setiap unit pencitraan (disebut piksel) mengabsorbsi sinar-X yang melewatinya dalam proporsi tertentu (misalnya tulang mengabsorbsi banyak, udara hampir tidak mengabsorbsi). Kemampuan untuk mengabsorbsi sinar-X ini dikenal dengan atenuasi. Pada jaringan tubuh yang sama, akan mengabsorbsi sinar-X yang relatif konstan dan dikenal dengan koefisien atenuasi jaringan. Pada CT, koefisien atenuasi ini dipetakan dalam skala antara –1000 houndsfield unit (HU) dan +1000 HU. Dalam hal ini udara dipetakan –1000 HU dan tulang +1000 HU. Penamaan ini berdasarkan penghargaan kepada Sir Jeffrey Houndsfield. Berikut ini merupakan tabel nilai rata-rata HU pada beberapa zat (Bontranger, K.L.,2001).
Bab 6 – Memahami Computed Tomography Scan
85
Tabel 6.1 Nilai rata-rata HU pada beberapa zat Nama Zat
Nilai HU
Udara
Nama Zat
−1000
Nilai HU
White matter
+20 s/d +30
Paru
−500
Hati
+40 s/d +60
Lemak
−100 to −50
J-O Blast
+20 s/d +30
Air
0
CSF
15
Jaringan lunak, Kontras
+100 s/d +300
Ginjal
30
Darah
+30 s/d +45
Tulang
Otot
+10 s/d +40
+700 (tulang tidak kompak) s/d +3000 (tulang kompak)
Grey matter
+37 s/d +45
Sumber: Joseph, N., dan Taffi R., 2010
6.7 “Windowing” Sebuah gambaran digital CT scan yang memiliki rentang dinamik 12–16 bit per piksel, 212 (4096)–216 (65.536) gradasi abu-abu per piksel, tampilan layar CT scan mampu menampilkan 28 gradasi abu-abu, sedangkan mata manusia hanya mampu membedakan 25 gradasi abu-abu. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik dalam CT scan yang disebut dengan “windowing”, yang memungkinkan pembaca CT scan untuk fokus pada jaringan tertentu dalam parameter tertentu yang telah ditetapkan. Jaringan yang diinginkan dapat diubah menjadi hitam atau putih, tidak hanya berbeda sedikit lebih abu-abu. Dengan teknik ini, perbedaan dalam densitas jaringan dapat dimaksimalkan. Gambaran yang dihasilkan bergantung pada window yang digunakan. Umumnya, pencitraan CT scan menggunakan “window” yang dioptimalkan untuk melihat jaringan otak, darah, dan tulang.
(a)
(b) Sumber: Xue, Z., et al., 2012
Gambar 6.5 Contoh window pada CT scan: (a) brain window. (b) bone window. 86
Pencitraan pada Stroke
6.8 Anatomi dan Ukuran Normal CT Scan Kepala Untuk dapat membaca CT scan kepala kita perlu mengetahui struktur anatomi dasar kepala dan lokasi anatominya. Beberapa anatomi dasar harus diketahui untuk dapat membaca CT scan kepala, mulai dari area parenkim otak seperti basal ganglia hingga sisterna, dan sistem ventrikel. Bacaan CT scan normal adalah sebagai berikut. • Tidak tampak lesi hipodens maupun hiperdens patologis. • Sulcii, fissura sylvii, dan gyrii normal. • Diferensiasi gray-white matter.
6.8.1 Checklist membaca CT scan (Moeller & Reif, 2000) Checklist membaca CT scan adalah sebagai berikut. a. Fissura interhemisphere Di tengah Tidak tampak pergeseran Falx cerebri: Ketebalan Densitas b. Sulci kortikal dari serebrum dan serebellum Konfigurasi Jumlah sulcii Ketebalan sulcii Permukaannya tidak kasar Tidak tampak penyempitan atau ekspansi Berbatas tegas c. Korteks serebri Ketebalan Distribusi (tidak ada jaringan ektopik) Densitas (tidak ada kalsifikasi atau perdarahan) Tidak keluar kalvarium Tidak ada cairan patologis (konveks ataupun konkaf) antara korteks dengan kalvarium
d. Ventrikel
Bentuk Ukuran sesuai dengan usia Simetris (tidak ada pelebaran pada kedua sisi atau salah satu sisi) Tidak ada tanda peningkatan tekanan intrakranial (pendataran sulcii, penyempitan ventrikel, ataupun pembesaran unilateral)
e. White matter Densitas (homogen terutama pada periventrikel) Tidak ada hipodensitas Tidak ada hiperdensitas Ukuran relatif normal dibanding korteks
Bab 6 – Memahami Computed Tomography Scan
87
f.
Basal ganglia, kapsula interna, kapsula eksterna Posisi Ukuran Densitas
g. Thalamus Posisi Ukuran Densitas h. Corpus Callosum Konfigurasi Ukuran Densitas i.
Batang otak Bentuk Densitas Tidak ada abnormalitas fokal
j. Serebellum Bentuk umum simetris Korteks (ketebalan dan sulcii) White matter (densitas homogen) k. Pembuluh darah intrakranial Alur Ukuran Tidak ada dilatasi abnormal Tidak ada malformasi vaskular l.
Sella dan hipofisis Ukuran Konfigurasi Densitas Batas Struktur parasellar
m. Pyramid petrosus Cerebellopontine angle area Ketebalan dan simetris Ruang cairan serebrospinal simetris dan ukuran normal, tidak tampak massa n. Sel udara Mastoid Anatomi Pneumatisasi Batas (tidak ada diskontinuitas) Tidak tampak massa Tidak ada opasitas cairan o. Cochlea dan canalis semisirkularis Anatomi Konfigurasi Batas rata 88
Pencitraan pada Stroke
p. Sinus paranasal Anatomi Pneumatisasi Batas (tebal dinding dan tidak ada diskontinuitas) q. Cavum nasi Pneumatisasi Septum nasi di tengah r. Orbita Bola mata (posisi, ukuran, densitas, dan tebal dinding) Otot mata (posisi, alur, densitas, ketebalan) Nervus optikus (alur dan ketebalan) Vena optalmika (alur dan ketebalan) s. Kalvarium Konfigurasi Kontur (rata, tidak ada ekspansi atau pertumbuhan tulang, tidak ada area dengan lesi osteolitik atau osteoblastik)
(a)
(b)
Gambar 6.6 (a) Gambaran CT kepala normal daerah fossa posterior dan (b) gambaran CT kepala normal daerah serebellum.
(a)
(b)
Gambar 6.7 (a) Gambaran CT kepala normal daerah korona radiata dan (b) gambaran CT kepala normal daerah sentrum semiovale. Bab 6 – Memahami Computed Tomography Scan
89
1. Scalp fat 2. Bone 3. Inferior sagittal sinus 4. Corpus callosum 5. Internal cerebral vein 6. Vein of Galen 7. Superior sagittal sinus 8. Parietal lobe 9. Occipital lobe 10. Straight sinus 11. Vermis 12. IV ventricle 13. Cerebellar tonsil 14. Cervical cord 15. Medulla 16. Pons 17. Midbrain 18. Mass intermedia of thalamus 19. Anterior III Ventricle 20. Optic chiasm 21. Pituary gland 22. Sphenoid sinus 23. Nasopharynx 24. Frontal lobe
Gambar 6.8 Gambaran anatomi CT kepala secara keseluruhan.
6.8.2 Nilai atenuasi normal Nilai atenuasi normal dapat kita bedakan menjadi non kontras dan kontras (Moeller & Reif, 2000). a. Non-kontras White matter 39 HU dengan deviasi ± 2 HU Korteks 32 HU dengan deviasi ± 2 HU b. Kontras White matter 41 HU dengan deviasi ± 2 HU Korteks 33 HU dengan deviasi ± 2 HU Perbedaan atenuasi normal antara korteks dengan white matter maksimal sekitar 7 HU (Houndsfield Unit).
6.8.3 Ukuran-ukuran normal dalam CT scan kepala Ukuran-ukuran normal dalam CT scan kepala dapat kita lihat sebagai berikut (Moeller & Reif, 2000). a. Cella-media index Cella media index adalah salah satu metode yang digunakan untuk menilai ukuran ventrikel terhadap jaringan otak dan atrofi serebri. Indeks yang dibandingkan adalah rasio antara diameter biparietal dari tengkorak dibandingkan diameter terlebar dari ventrikel lateral pada cella media (bagian tengah dari ventrikel lateral). Ukuran normal ratio cella media adalah > 4 (pada gambar garis B banding garis A harus lebih dari 4).
90
Pencitraan pada Stroke
Gambar 6.9 Cara mengukur indeks cella media. b. Cornu anterior dari ventrikel lateral (pada level foramen of Monro) Usia di bawah 40 tahun < 12 mm Usia di atas 40 tahun < 15 mm c. Lebar dari ventrikel III Pada anak-anak < 5 mm (untuk bayi sedikit lebih kecil) Pada orang dewasa usia di bawah 60 tahun < 7 mm Pada orang dewasa usia di atas 60 tahun < 9 mm
Gambar 6.10 Ukuran CT kepala: (2) ukuran ventrikel lateral dan (3) ukuran ventrikel III. d. Lebar dari vena optalmika 3–4 mm Bila terjadi dilatasi maka merupakan pertanda dari peningkatan tekanan intrakranial.
Bab 6 – Memahami Computed Tomography Scan
91
Gambar 6.11 Ukuran normal lebar vena optalmika. e. Nervus optikus Segmen retrobulbar 5.5 mm ± 0.8 mm Jarak terpendek (pada pertengahan orbita) 4.2 mm ± 0.6 mm
(a)
(b)
Gambar 6.12 (a) Ketebalan nervus optikus normal pada segmen retrobular dan (b) ketebalan nervus optikus terpendek (normal) pada pertengahan orbita. f.
Posisi bola mata Batas posterior bola mata adalah 9.9 mm ± 1.7 mm di belakang garis interzigomatikus.
Gambar 6.13 Posisi normal bola mata dibandingkan arkus interzigomatikus.
92
Pencitraan pada Stroke
g. Hipofisis Tinggi kelenjar hipofisis pada rekonstruksi sagital adalah 2–7 mm. Ukuran normal hipofisis dapat bervariasi: i. Saat hamil dapat mencapai 12 mm ii. Saat pubertas dapat mencapai 10 mm pada anak perempuan dan 8 mm pada anak laki-laki Lebar kelenjar hipofisis pada rekonstruksi koronal (pada wanita dengan usia produktif) 12.9 ± 1.6 mm Tangkai hipofisis < 4 mm h. Chiasma Optikus Koronal : lebar 9–18 mm dan tinggi 3–6 mm Aksial : lebar 12–27 mm dan panjang 4–9 mm.
Gambar 6.14 Potongan koronal: (1a) tinggi kelenjar hipofisis, (1b) lebar kelenjar hipofisis, (2a) lebar chiasma optikus, (2b) tinggi chiasma optikus, (3) tangkai hipofisis.
Rangkuman 1. Computed Tomography atau CT scan adalah sebuah pemeriksaan di bidang medis seperti sinar-X konvensional yang menghasilkan pencitraan atau gambaran multipel dari struktur dalam tubuh. 2. Pencitraan cross-sectional yang dihasilkan CT scan dapat direformat dalam multipel planar dan bahkan dapat meng hasilkan bentuk pencitraan tiga dimensi. 3. Pencitraan ini dapat dilihat pada monitor komputer dalam bentuk film yang diprint atau disimpan di dalam CD atau DVD. 4. Pencitraan CT dari organ dalam misalnya tulang, jaringan lunak, dan pembuluh darah menghasilkan detil gambar yang jauh lebih
Bab 6 – Memahami Computed Tomography Scan
93
jelas daripada sinar-X konvensional, terutama gambaran dari jaringan lunak dan pembuluh darah. 5. CT scan non-kontras saat ini masih merupakan teknik yang tersedia paling banyak dan dipilih untuk trombolisis dalam 3 jam pertama setelah onset gejala. CT adalah teknik yang murah, cepat, dan tersedia hampir di semua rumah sakit yang dapat menangani stroke akut di negara berkembang. 6. Alasan untuk memberikan tPA secara intravena adalah untuk merangsang rekanalisasi dari arteri intrakranial yang tersumbat dan reperfusi pada daerah iskemia sebelum jaringan tersebut rusak. 7. Iskemia penumbra dapat didefinisikan sebagai jaringan dengan fungsi yang terganggu, namun secara struktural bentuknya utuh yang mengelilingi daerah yang infark. 8. Prinsip yang paling mendasar radiografi adalah perbedaan penyerapan sinar-X oleh jaringan tubuh yang berbeda. Jaringan padat seperti tulang menyerap sinar X paling banyak sehingga sinar-X yang menembusnya paling sedikit dan begitu juga sebaliknya. 9. CT scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-X, komputer, dan televisi. Prinsip kerjanya yaitu berkas sinar-X yang terkolimasi dan adanya detektor. 10. Pada CT scan, prinsip kerjanya hanya dapat men-scaning tubuh dengan irisan melintang tubuh. Namun dengan memanfaatkan teknologi komputer maka gambaran aksial yang telah didapatkan dapat direformat kembali sehingga didapatkan gambaran koronal, sagital, oblik, diagonal bahkan bentuk tiga dimensi dari objek tersebut. 11. CT scan mempunyai 2 komponen utama yaitu scan unit dan operator konsul. Scan unit biasanya berada di dalam ruang pemeriksaan, sedangkan konsul letaknya terpisah dalam ruang kontrol. Scan unit terdiri atas 2 bagian yaitu meja pemeriksaan (couch) dan gantry. 12. Dalam CT scan dikenal beberapa parameter untuk pengontrolan eksposi dan output gambar optimal yang terdiri atas slice thickness, range, dan faktor eksposi, field of view, gantry tilt, rekonstruksi matriks, rekonstruksi algoritma, window width, window level. 13. Prosedur teknik pemeriksaan CT scan meliputi persiapan pasien, posisi pasien, scout view, menentukan parameter scan yang tepat, sampai mendapatkan kualitas gambar CT scan yang baik. 14. Kriteria kualitas gambar CT scan kepala adalah sebagai berikut. Tampak jelas batas tegas antara substansia alba dan substansia gricea. Tampak jelas daerah basal ganglia. Tampak jelas sistem ventrikel.
94
Pencitraan pada Stroke
Tampak jelas ruang CSF di sekitar mesencephalon dan mengelilingi otak. 15. Kemampuan untuk mengabsorbsi sinar-X ini dikenal dengan atenuasi. Pada jaringan tubuh yang sama, akan mengabsorbsi sinar-X yang relatif konstan dan dikenal dengan koefisien atenuasi jaringan. Pada CT, koefisien atenuasi ini dipetakan dalam skala antara –1000 houndsfield unit (HU) dan +1000 HU. 16. Mata manusia hanya mampu membedakan 25 gradasi abu-abu. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik dalam CT scan yang disebut dengan “windowing”, yang memungkinkan pembaca CT scan untuk fokus pada jaringan tertentu dalam parameter tertentu yang telah ditetapkan. 17. Bacaan CT scan normal adalah sebagai berikut. Tidak tampak lesi hipodens maupun hiperdens patologis. Sulcii, fissura sylvii, dan gyrii normal. Diferensiasi gray-white matter.
Bab 6 – Memahami Computed Tomography Scan
95
96
Pencitraan pada Stroke
Bab 7 Mengenal SPECT dan PET
D
alam bidang kedokteran, penemuan radionuklida dilengkapi dengan dirancangnya alat-alat deteksi radiasi seperti tabung Geiger-Muller (GM tube), pencacah sintilasi, scanner, probes, kamera gamma planar, serta terakhir kamera SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) dan PET (Positron Emission Tomography). Apakah SPECT dan PET itu? Berikut ini penjelasannya (Masjhur, J.S., 2009).
7.1 Mengenal SPECT Seperti apakah SPECT itu dan bagaimana peranannya dalam membantu mengatasi stroke?
97
7.1.1 Definisi SPECT Single photon emission computed tomography (SPECT) adalah pencitraan fungsional otak dengan tomografi emisi foton tunggal (single photon emission tomography/SPET) yang memungkinkan gambar tiga dimensi aliran darah serebral yang berasal dari data dua dimensi. Tomografi emisi positron ini dapat digunakan untuk mengukur metabolisme serebral regional dan karakteristik neurotransmitter reseptor lain. Ketika tes pencitraan seperti sinar-X dapat menunjukkan struktur di dalam tubuh pasien terlihat seperti apa maka pencitraan menggunakan SPECT menghasilkan gambar yang menunjukkan bagaimana organ dalam tubuh bekerja. Misalnya SPECT dapat menunjukkan bagaimana darah mengalir ke jantung atau ke daerah otak yang lebih aktif atau kurang aktif (Mayo Clinic Staff, 2015). SPECT membentuk citra transversal dengan distribusi nuklida pemancar sinar-X atau sinar gamma dalam tubuh pasien. Citra proyeksi planar standar diperoleh dari putaran 180° (umumnya SPECT untuk jantung) dan 360° (untuk SPECT bukan jantung). Pada umumnya, SPECT menggunakan satu atau lebih head/kepala sintilasi kamera yang bergerak mengelilingi pasien (Liy, N., 2014). SPECT scan image SPECT scanner
Area of reduced blood flow
Gamma camera Gamma rays
Sumber: My 29 Live, 2015. Nuclear Heart Scan.
Gambar 7.1 Kamera gamma yang memancarkan sinar gamma pada mesin SPECT. Dalam tomografi dengan emisi ada 3 keterbatasan fundamental yang harus diperhatikan. Pertama yaitu collection effeciency yaitu radiasi gamma dipancarkan ke segala arah lapisan, namun yang masuk ke detektor hanya yang dipakai untuk pencitraan. Oleh karena itu, efisiensinya sangat 98
Pencitraan pada Stroke
terbatas, kecuali bila pasien dapat dikelilingi oleh detektor. Kedua yaitu atenuasi radiasi gamma oleh pasien. Penyederhanaan telah dilakukan dengan menjumlahkan pencacahan dari dua detektor yang berhadapan ataupun dari beberapa detektor. Oleh karenanya perlu faktor koreksi. Namun koreksi atenuasi teliti tidak diperlukan dalam SPECT. Ketiga adalah masalah umum dalam kedokteran nuklir, yakni waktu koleksi hanya merupakan fraksi waktu radiasi gamma yang dipancarkan. Dengan demikian, citra dibentuk dengan foton yang sangat terbatas. Pembentukan citra dilakukan dengan kepala kamera bergerak mengelilingi pasien untuk mengambil data dari berbagai sudut. Pengambilan data dapat secara kontinyu (continues acquisition) selama kepala kamera bergerak, ataupun pada saat kepala kamera berhenti pada suatu sudut tertentu (step and shoot acquisition). Bila kepala kamera dapat membentuk citra ideal maka gerakan kepala kamera dari atas dan bawah pasien secara bersamaan dengan gerakan 180° seharusnya telah dapat dipakai untuk rekonstruksi citra transversal (Liy, N., 2014). Atenuasi medium (setengah ketebalan pasien) mengurangi foton yang sampai pada head detektor. Hal itu dapat mengakibatkan blur/kekaburan citra yang dipengaruhi oleh jarak dari kolimator. Untuk mengurangi blur akibat gerakan kepala kamera, pada pesawat model baru dilengkapi dengan sistem untuk gerakan kamera mengikuti body contouring (Liy, N., 2014). Untuk SPECT pada otak memungkinkan gerakan kepala kamera dengan radius relatif lebih pendek sehingga resolusi spasial dalam citra menjadi tinggi. Pada pesawat lama, terdapat kesulitan untuk pemeriksaan kepala yang memasukkan base of the brain (pangkal otak) yang harus melewati bahu. Namun, pada pesawat modern sudah dapat dilakukan pencitraan kepala dengan memasukkan bahu pasien pada lapangan gerakan kepala kamera (Liy, N., 2014).
Sumber: Wikipedia, 2015
Gambar 7.2 Mesin SPECT dengan sepasang kamera gamma berputar mengelilingi pasien yang ditempatkan di atas meja untuk mengambil gambar pada organ dalam dan struktur lainnya yang disorot oleh tracer radioaktif dalam tubuh pasien. Bab 7 – Mengenal SPECT dan PET
99
Mesin SPECT merupakan sebuah perangkat berbentuk lingkaran besar dan dilengkapi dengan kamera yang dapat mendeteksi pelacak radioaktif yang diserap tubuh pasien. Selama scan, pasien berbaring di atas meja, sementara itu mesin SPECT berputar mengelilingi pasien. Mesin SPECT mengambil gambar dari organ-organ internal pasien dan struktur lainnya. Gambar-gambar yang dikirim ke komputerlah yang digunakan untuk memperoleh informasi dalam membuat gambar 3-D dari tubuh pasien (Mayo Clinic Staff, 2015). Kolimator yang umum digunakan pada pesawat SPECT adalah kolimator parallel-hole. Namun telah diciptakan pula berbagai kolimator khusus. Sebagai contoh, fan beam kolimator yang merupakan hibrida dari kolimator konvergen dan paralel. Setiap baris piksel pada paralel kolimator arah Y sesuai dengan satu irisan citra proyeksi. Dengan kolimator konvergen, hasil pencitraan akan mempunyai resolusi spasial lebih tinggi dibanding dengan arah kolimator parallel-hole. Untuk mengurangi keterbatasan SPECT akibat kolimator dan waktu pengambilan data, telah dibuat SPECT yang dilengkapi dengan dua atau tiga kamera sintilasi yang dapat bergerak mengelilingi pasien. Dengan multi kepala kamera memungkinkan untuk menggunakan kolimator resolusi relatif tinggi pada suatu batas quantum mottle dalam pencitraan dibanding dengan kepala kamera tunggal (Stewart, C., 2013). Kepala kamera ganda saling berhadapan (180°) cocok untuk kepala dan leher, serta seluruh tubuh. Triple head, fixed angle camera bagus untuk kepala and leher, namun tidak cocok untuk planar seluruh tubuh, karena keterbatasan lebar kristal. Double head dengan variabel sudut lebih serba guna dapat digunakan untuk pencitraan kepala dan leher, seluruh tubuh dengan konfigurasi 180°, serta untuk jantung dengan konfigurasi 90° (Stewart, C., 2013).
7.1.2 Bagaimana Cara Kerja SPECT? Pencitraan SPECT mengintegrasikan dua teknologi untuk melihat tubuh yaitu computed tomography (CT) dan bahan radioaktif (tracer). Tracer merupakan penanda yang memungkinkan dokter untuk melihat bagaimana darah mengalir ke jaringan dan organ. Sebelum dilakukan pencitraan SPECT, pasien akan disuntik dengan zat kimia (radiolabled) yang memancarkan sinar gamma dan dapat dideteksi oleh pemindai. Komputer mengumpulkan informasi yang dipancarkan oleh sinar gamma dan menerjemahkannya ke dalam penampang dua dimensi yang kemudian membentuk gambar 3D (Stewart, C., 2013). Radioisotop yang digunakan dalam SPECT untuk pencitraan otak yaitu technetium-99m. Bentuk-bentuk radioaktif dari unsur-unsur alam akan melewati tubuh pasien dengan aman dan dapat dideteksi oleh pemindai. Berbagai macam obat-obatan dan bahan kimia lainnya dapat diberi label dengan isotop. Keberadaan pelacak pada SPECT scan tetap dalam aliran darah dan tidak diserap oleh jaringan di sekitarnya. Dengan 100
Pencitraan pada Stroke
demikian, hal ini akan membatasi gambar hanya ke tempat darah mengalir. Scan SPECT lebih murah dan lebih mudah tersedia daripada PET scan dengan resolusi yang lebih tinggi (Stewart, C., 2013).
7.1.3 Apa Yang Terjadi Selama SPECT? Scan SPECT melibatkan dua langkah yaitu menerima pewarna radioaktif (disebut tracer) dan menggunakan mesin SPECT untuk memindai area tertentu pada tubuh pasien. Pasien akan menerima zat radioaktif melalui infus intravena (IV) ke pembuluh darah di lengan. Dosis pelacak sangat kecil, hanya beberapa tetes, dan pasien mungkin merasa sensasi dingin karena pelacak sudah mulai memasuki tubuh. Pada saat pelacak radioaktif diserap oleh tubuh, pasien diminta untuk berbaring di kamar selama kurang lebih 15 menit atau lebih sebelum pemindaian dilakukan. Dalam beberapa kasus, pasien mungkin perlu menunggu beberapa jam antara waktu injeksi dengan pemindaian SPECT. Jaringan yang lebih aktif akan menyerap lebih banyak bahan radioaktif.
7.1.4 Risiko Pencitraan SPECT Pada sebagian besar orang, pencitraan SPECT aman dilakukan. Jika pasien menerima suntikan atau infus tracer radioaktif, mungkin ia akan mengalami: • Perdarahan, nyeri atau bengkak di tempat jarum dimasukkan di lengan. • Jarang terjadi reaksi alergi terhadap pelacak radioaktif. Tim perawatan kesehatan mungkin akan menggunakan jumlah radiasi terendah untuk melakukan scan. Jika pasien khawatir terhadap ekspos radiasi, jangan lupa untuk memberitahukannya kepada dokter. Begitu juga dengan pasien yang sedang hamil atau menyusui juga harus memberitahukan kepada dokter. Pelacak radioaktif yang digunakan dalam scan SPECT dapat mempengaruhi perkembangan janin atau saat menyusui bayi (Mayo Clinic Staff, 2015).
7.2 Mengenal PET Tidak seperti pencitraan pada SPECT, pencitraan pada PET mempunyai ciri tersendiri yang berbeda dengan modalitas lainnya. Berikut ini merupakan perbandingannya.
Tabel 7.1 Perbandingan antara SPECT, PET, dan fMRI Teknik
Resolusi
SPECT (1976) 7-10 mm
Bab 7 – Mengenal SPECT dan PET
Keuntungan - Harganya murah - Banyak tersedia
Kerugian - Mengandung bahan radioaktif - Resolusi terbatas
101
Teknik
Resolusi
Keuntungan
Kerugian
PET (1984)
5 mm
- Resolusi bagus - Studi metabolik (menggunakan 15O, 18F, 11C)
- Mengandung bahan radioaktif - Mahal
fMRI (1991)
3 mm
- Resolusi bagus - Non invasif
- Mahal - Terbatas pada studi aktivasi
Sumber: Han, A. dan Gillian Lieberman, 2004
7.2.1 Apakah PET Itu? Positron emission tomography (PET) scan merupakan salah satu modalitas kedokteran nuklir yang untuk pertama kali dikenalkan oleh Brownell dan Sweet pada tahun 1953. PET adalah metode visualisasi metabolisme tubuh menggunakan radioisotop pemancar positron. Oleh karena itu, citra (image) yang diperoleh adalah citra yang menggambarkan fungsi organ tubuh. Fungsi utama PET adalah mengetahui kejadian di tingkat sel yang tidak didapatkan dengan alat pencitraan konvensional lainnya. Kelainan fungsi atau metabolisme di dalam tubuh dapat diketahui dengan metode pencitraan ini. Hal ini berbeda dengan metode visualisasi tubuh yang lain seperti foto rontgen, computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI) dan single photon emission computerized tomography (SPECT) (Liy, N., 2014). Pencitraan dengan PET merupakan bentuk pencitraan metabolik atau fungsional yang dapat memberi gambaran serta mempelajari berbagai fungsi metabolik dalam tubuh pada tingkat seluler. Alat ini berbeda dengan MRI atau CT scan yang mengidentifikasi patologi dan penyakit melalui pendeteksian dari perubahan struktur ataupun anatomi di dalam tubuh. Misalnya, CT scan dan MRI hanya mampu mendeteksi kanker di payudara, kepala, hati, dan sejumlah titik tubuh lainnya. Sementara itu, mekanisme kerja organ tubuh yang disebut metabolisme tubuh tidak dapat dipantau oleh CT scan atau MRI. Sementara itu, pada PET-scan, aspek anatomi dan metabolik sekaligus masuk ke dalam radar deteksi alat canggih ini (Liy, N., 2014). Positron emition tomography-computed tomography (PET-CT) adalah pemeriksaan non-invasif yang dapat menggambarkan fungsi seluler dari tubuh kita secara 3 dimensi dengan menggunakan radiofarmaka. PET scan akan mendeteksi aktivitas metabolik sel-sel tubuh. PET/CT menggabungkan modalitas PET dan CT dalam satu perangkat sehingga pencitraan dari keduanya dapat digabungkan dalam satu gambar (Prasetiyono, E., 2014). Jika gambar pada CT scan dibuat dengan sinar-X dari sumber luar maka sebaliknya, PET menggunakan bahan radioaktif disebut radiofarmaka atau radiotracer yang disuntikkan ke dalam aliran darah. Bahan radioaktif tersebut akan ikut dalam metabolisme tubuh dan 102
Pencitraan pada Stroke
terakumulasi dalam organ atau daerah tubuh yang diperiksa, di mana ia melepaskan sejumlah kecil energi dalam bentuk sinar gamma. Detektor PET mendeteksi energi ini dan dengan bantuan komputer akan menghasilkan gambar-gambar struktur dan fungsi organ dan jaringan dalam tubuh pasien. Tidak seperti teknik pencitraan lain, PET berfokus pada pencitraan yang menggambarkan proses fisiologis dalam tubuh, seperti tingkat metabolisme atau tingkat aktivitas berbagai reaksi kimia lainnya, bukan menunjukkan anatomi dan struktur organ dalam tubuh (Prasetiyono, E., 2014). Dengan teknologi terbaru, generasi kedua dari pemindai PET-CT yang terintegrasi saat ini memberi kemungkinan kombinasi pencitraan PET-CT. Teknologi ini memungkinkan para dokter mendapat informasi metabolik maupun struktural berdasarkan penyakit pada pemindaian tunggal PET‑CT (Liy, N., 2014).
7.2.2 Perlengkapan PET PET scanner merupakan sebuah mesin besar berbentuk lingkaran seperti donat dengan lubang di tengah, mirip dengan mesin CT atau MRI. Dalam mesin PET scanner terdapat beberapa cincin detektor yang merekam emisi energi dari radiotracer dalam tubuh pasien. CT scanner biasanya berbentuk kotak, sebuah mesin besar dengan lubang atau terowongan pendek di tengah. Pasien akan berbaring di meja pemeriksaan sempit yang bisa digeser ke dalam dan keluar dari terowongan. Tabung sinar-X dan detektor sinar-X yang terletak berseberangan satu sama lain yang disebut grantry berputar mengelilingi pasien. Ruang komputer memproses informasi pencitraan dan terletak di ruang kontrol terpisah. Komputer dioperasikan oleh seorang teknolog pemindai yang memonitor pemeriksaan dengan kontak visual secara langsung dan biasanya dengan kemampuan untuk mendengar dan berbicara dengan pasien dengan menggunakan speaker dan mikrofon (RadiologiInfo, 2015).
Sumber: Modern Cancer Hospital Guangzhou, 2012
Gambar 7.3 Ruang komputer terletak pada ruang berbeda yang memproses informasi pencitraan. Bab 7 – Mengenal SPECT dan PET
103
7.2.3 Prinsip dan Cara Kerja PET Pencitraan pada PET scanner dimulai dengan memberikan suntikan radionuklida dari jarum suntik ke tubuh pasien. Aliran radionuklida melalui tubuh pasien memancarkan radiasi gamma yang terdeteksi oleh kamera gamma. Dengan adanya hal tersebut maka aktivitas kimia dalam sel dan organ dapat dilihat (Liy, N., 2014). Bahan radioaktif terakumulasi dalam organ atau area tubuh pasien yang diperiksa. Radioaktif tersebut kemudian memberikan sejumlah kecil energi dalam bentuk sinar gamma. Energi tersebut kemudian dideteksi oleh kamera khusus dan dengan bantuan komputer maka dapat memberikan gambar secara detail pada kedua struktur dan fungsi organ dan jaringan dalam tubuh pasien (RadiologyInfo, 2015). PET scan image
PET scanner Area of reduced blood flow Gamma detectors Gamma rays
Sumber: Sumber: My 29 Live, 2015. Nuclear Heart Scan.
Gambar 7.4 Skema mesin PET dengan detektor gammanya. Ketika sebuah positron dipancarkan dari bahan radioaktif bertabrakan dengan elektron dalam jaringan maka akan dihasilkan sinar gamma. Tubrukan yang terjadi menghasilkan sepasang foton sinar gamma di arah yang berlawanan dan terdeteksi oleh detektor sinar gamma yang diatur di sekitar pasien. Detektor PET terdiri atas jajaran ribuan kilau kristal dan ratusan tabung photomultiplier (PMTS) yang diatur dalam pola melingkar 104
Pencitraan pada Stroke
di sekitar pasien. Kilau kristal mengkonversi radiasi gamma ke dalam cahaya yang dideteksi dan diperkuat oleh PMTS (Liy, N., 2014). Tidak seperti teknik pencitraan lain, pemeriksaan pencitraan kedokteran nuklir fokus menggambarkan proses fisiologis dalam tubuh, seperti tingkat metabolisme atau tingkat berbagai aktivitas kimia lainnya dan tidak menunjukkan anatomi dan struktur dalam tubuh. Area intensitas yang lebih besar yang disebut “hot spot” menunjukkan jumlah besarnya radiotracer yang telah terakumulasi dan menunjukkan adanya bahan kimia atau aktivitas metabolik yang tinggi. Daerah kurang intens atau “cold spot” menunjukkan konsentrasi radiotracer yang lebih kecil dan aktivitas kimia yang kurang (RadiologyInfo, 2015).
7.2.4 Persiapan Pemeriksaan PET-CT Sebelum pemeriksaan, pasien puasa selama 6 jam dan hanya boleh minum air putih. Nutrisi parenteral dan infus harus dihentikan paling tidak 4 jam sebelum pemeriksaan. Pasien cukup istirahat selama satu hari sebelum pemeriksaan dan tidak dianjurkan melaksanakan aktivitas fisik yang tinggi. Pasien akan diberikan radioaktif perunut dalam jumlah kecil melalui IV. Pasien akan diminta untuk beristirahat selama 60 menit untuk memberikan waktu agar radionuklida ikut dalam metabolisme tubuh. Pasien akan menjalani scan dengan PET-CT selama kurang lebih 20-30 menit (Prasetiyono, E., 2014).
7.2.5 Apakah Keuntungan dan Risiko Penggunaan PET Scan? Berikut ini merupakan beberapa keuntungan menggunakan pen citraan PET. ~~ Pemeriksaan kedokteran nuklir memberikan rincian informasi unik termasuk informasi detail untuk fungsi dan struktur anatomi tubuh yang sering kali tak terjangkau menggunakan prosedur pencitraan lainnya. ~~ Untuk banyak penyakit, scan kedokteran nuklir menghasilkan informasi paling berguna yang diperlukan untuk membuat diagnosis atau untuk menentukan pengobatan yang tepat, jika ada. ~~ Kedokteran nuklir lebih murah dan dapat menghasilkan informasi yang lebih tepat daripada operasi eksplorasi. ~~ Dengan mengidentifikasi perubahan dalam tubuh pada tingkat sel, pencitraan PET dapat mendeteksi secara dini sebuah penyakit sebelum jelas diketahui pada tes pencitraan lain seperti CT atau MRI. Manfaat dari gabungan PET/CT scanner meliputi: ~~ Lebih detail dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi; karena kedua scan dilakukan pada waktu yang bersamaan tanpa pasien harus mengubah posisi, dimana hal tersebut ada kemungkinan untuk sedikit membuat kesalahan. Bab 7 – Mengenal SPECT dan PET
105
~~ Kenyamanan yang lebih besar bagi pasien yang menjalani dua pemeriksaan (CT & PET) di satu waktu, bukan pada dua waktu yang berbeda. Lalu bagaimana risiko penggunaan PET pada pasien? Berikut ini merupakan penjelasannya. ~~ Karena dosis radiotracer yang diberikan kecil, diagnostik prosedur kedokteran nuklir mengakibatkan paparan radiasi untuk pasien yang relatif rendah dan hal itu dapat diterima untuk pemeriksaan diagnostik. Dengan demikian, risiko radiasi sangat rendah dibandingkan dengan potensi keuntungannya. ~~ Prosedur diagnostik kedokteran nuklir telah digunakan selama lebih dari lima dekade, dan ada yang tidak dikenal dari efek samping jangka panjang dari paparan dosis rendah tersebut. ~~ Risiko pengobatan selalu diperhitungkan dengan manfaat potensial untuk prosedur terapi kedokteran nuklir. Pasien akan diberitahu tentang semua risiko yang signifikan sebelum pemeriksaan dan memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. ~~ Reaksi alergi terhadap radiofarmasi mungkin terjadi, tetapi sangat jarang dan biasanya ringan. Namun demikian, pasien harus menginformasikan kepada petugas kedokteran nuklir tentang alergi yang dimiliki pasien atau masalah lain yang mungkin terjadi selama pemeriksaan kedokteran nuklir sebelumnya. ~~ Injeksi radiotracer dapat menyebabkan nyeri ringan dan kemerahan yang harus cepat ditangani. ~~ Wanita harus selalu memberitahukan kepada dokter atau teknolog radiolog jika kemungkinan ia hamil atau sedang menyusui.
Rangkuman 1. Single photon emission computed tomography (SPECT) adalah pencitraan fungsional otak dengan tomografi emisi foton tunggal (single photon emission tomography/SPET) yang memungkinkan gambar tiga dimensi aliran darah serebral yang berasal dari data dua dimensi. 2. Dalam tomografi dengan emisi ada 3 keterbatasan fundamental yang harus diperhatikan yaitu collection effeciency, atenuasi radiasi gamma oleh pasien, dan waktu koleksi hanya merupakan fraksi waktu radiasi gamma yang dipancarkan. 3. Mesin SPECT merupakan sebuah perangkat berbentuk lingkaran besar dan dilengkapi dengan kamera yang dapat mendeteksi pelacak radioaktif yang diserap tubuh pasien. 4. Kolimator yang umum digunakan pada pesawat SPECT adalah kolimator parallel-hole.
106
Pencitraan pada Stroke
5. Pencitraan SPECT mengintegrasikan dua teknologi untuk melihat tubuh yaitu computed tomography (CT) dan bahan radioaktif (tracer). 6. Tracer merupakan penanda yang memungkinkan dokter untuk melihat bagaimana darah mengalir ke jaringan dan organ. 7. Pasien akan menerima zat radioaktif melalui infus intravena (IV) ke pembuluh darah di lengan. 8. Jika pasien menerima suntikan atau infus tracer radioaktif, mungkin ia akan mengalami: • Perdarahan, nyeri atau bengkak di tempat jarum dimasukkan di lengan • Jarang terjadi reaksi alergi terhadap pelacak radioaktif 9. PET adalah metode visualisasi metabolisme tubuh menggu nakan radioisotop pemancar positron. 10. Pencitraan dengan PET merupakan bentuk pencitraan metabolik atau fungsional yang dapat memberi gambaran serta mempelajari berbagai fungsi metabolik dalam tubuh pada tingkat seluler. 11. Positron emition tomography-computed tomography (PET-CT) adalah pemeriksaan non-invasif yang dapat menggambarkan fungsi seluler dari tubuh kita secara 3 dimensi dengan meng gunakan radiofarmaka. 12. Pencitraan pada PET-scan dimulai dengan memberikan suntikan radionuklida dari jarum suntik ke tubuh pasien. Aliran radionuklida melalui tubuh pasien memancarkan radiasi gamma yang terdeteksi oleh kamera gamma. Dengan adanya hal tersebut maka aktivitas kimia dalam sel dan organ dapat dilihat. 13. Sebelum pemeriksaan, pasien puasa selama 6 jam dan hanya boleh minum air putih. Nutrisi parenteral dan infus harus dihentikan paling tidak 4 jam sebelum pemeriksaan. 14. Penggunaan PET/CT mempunyai beberapa keuntungan dan risiko yang harus diperhatikan.
Bab 7 – Mengenal SPECT dan PET
107
108
Pencitraan pada Stroke
Bab 8 Mengenal Magnetic Resonance Imaging
S
Saat ini, berbagai kelainan pada jaringan otak dan sekitarnya sangatlah beragam. Kelainan-kelainan tersebut sering kali menunjukkan gejala sama pada penyakit yang berbeda. Oleh sebab itu, pemeriksaan penunjang khususnya imaging atau pencitraan sangatlah berperan penting untuk membantu tegaknya diagnosis suatu penyakit (Rasad, 2006).
8.1 Apakah MRI Itu? Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan salah satu alat penunjang diagnostik yang cukup sensitif untuk mendeteksi kelainan pada jaringan otak dan sekitarnya. Penemuan MRI ini membuka era baru 109
dalam diagnosis noninvasif lesi suatu organ. MRI memiliki keunggulan yaitu mampu melakukan 3 macam irisan dan dapat membedakan jaringan lunak dibandingkan dengan alat pencitraan yang lain (Rasad, 2006 dan Rao, 1999).
Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 8.1 Mesin MRI yang siap digunakan. Magnetic resonance imaging (MRI) adalah suatu teknik penggambaran penampang tubuh berdasarkan prinsip resonansi magnetik inti atom hidrogen. Tehnik penggambaran MRI relatif kompleks karena gambaran yang dihasilkan tergantung pada banyak parameter. Alat tersebut memiliki kemampuan membuat gambaran potongan koronal, sagital, aksial, dan oblik tanpa banyak memanipulasi tubuh pasien. Bila pemilihan parameternya tepat, kualitas gambaran detil tubuh manusia akan tampak jelas sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara lebih teliti (Notosiswoyo, M. , Susy Suswati, 2004).
8.2 Peranan MRI pada Stroke MRI tidak terlalu sensitif terhadap perubahan yang berhubungan dengan stroke iskemia sebelum 8-12 jam. Pengembangan water-diffusion sequences di akhir tahun 1990-an telah menjadikan MRI sebagai teknik pencitraan stroke iskemia akut. Perfusion-weighted imaging (PWI) memberikan informasi semi kuantitatif tentang CBF dan mengidentifikasi area yang mengalami hipoperfusi. Diffusion-weighted imaging (DWI) dan nilai kuantitatif dari koefisien difusi diperkirakan dapat mengidentifikasi kerusakan inti yang irreversible akibat infark. Perbedaan antara kedua hal tersebut di atas dapat digunakan sebagai estimasi penumbra iskemia (Rasad, 2006). 110
Pencitraan pada Stroke
Akhir-akhir ini, terbukti bahwa beberapa lesi DWI dapat reversible. Normalisasi dalam koefisien difusi nyata setelah transient ischemic attacks (TIA) atau trombolisis dengan rekanalisasi awal telah terbukti. Saat aliran darah dalam otak dan di sekitar inti iskemia menurun, daerah oligemicca masih ada dan jaringan otak tetap fungsional dan tidak terpengaruh. Hal ini tidak dapat dideteksi oleh PWI semikuantitatif. Sebuah studi yang membandingkan antara MRI-PWI (median transit time, time to peak, dan CBF (cerebral flow volume)) dengan PET pada stroke akut telah dipublikasikan. Distribusi relatif dari variabel perfusi sangat mirip antara perfusi MRI dan PET. Hal ini menunjukkan bahwa MRI dan PET secara teknik dapat digunakan untuk pemilihan pengobatan stroke akut (Rasad, 2006). Bentuk dari fungsi input arteri mengandung banyak informasi yang berguna. Namun, perubahan sinyal mungkin secara proporsional berbeda antar jaringan dibandingkan dengan arteri yang lebih besar. Nilai dekomposisi tunggal, teknik dekonvolusi non parametrik, memungkinkan estimasi aliran independen relatif yang mendasari struktur pembuluh darah dan volume pembuluh darah, bahkan pada rasio signal-noise yang rendah, terkait dengan dekonvolusi per piksel. Akhir-akhir ini, dijelaskan adanya teknik MRI baru menggunakan pengukuran waktu relaksasi transversal dan bercirikan hilangnya sinyal yang disebabkan oleh susceptibility lokal (T2). Urutan ini tergantung pada tingkat deoxyhemoglobin lokal dan hal ini dianggap mencerminkan respon metabolisme jaringan apabila terjadi defisit perfusi dan meningkatkan informasi 'vaskular'. Hal ini merupakan suatu laporan awal yang perlu konfirmasi lebih lanjut dalam suatu studi independen (Rasad, 2006). Bahkan dengan kekurangan ini, mismatch antara MRI PWI/DWI merupakan alat yang paling banyak digunakan untuk mengidentifikasi jaringan otak yang berisiko pada fase awal stroke akut (Rasad, 2006).
8.3 Inilah Komponen MRI Sebuah alat MRI yang lengkap terdiri dari: 1. Sistem magnet untuk menghasilkan medan magnet, 2. Kumparan shimming untuk membuat medan magnet sehomogen mungkin, 3. Sebuah koil radiofrequency (RF) untuk mengirimkan sinyal radio ke dalam bagian tubuh yang dicitrakan, 4. Koil penerima untuk mendeteksi sinyal radio yang kembali, 5. Kumparan gradien untuk memberikan lokalisasi sinyal spasial, 6. Komputer untuk merekonstruksi sinyal radio ke dalam gambar akhir, dan 7. Tenaga listrik dan sistem pendingin (Hesselink, J.R., 2015)
Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging
111
Bagian-bagian alat MRI
Pasien
Koil radio frekuensi
Meja pasien Koil gradien Magnet Pemindai Sumber: Viet Can, 2010
Gambar 8.2 Komponen MRI. Agar dapat mengoperasikan MRI dengan baik, kita perlu mengetahui tentang tipe magnet, efek medan magnet, magnet shielding dan kumparan shimming dari pesawat MRI tersebut. Sistem pencitraan berfungsi membentuk citra yang terdiri atas tiga buah kumparan koil, yaitu gradien koil X, untuk membuat citra potongan sagital, gradien koil Y, untuk membuat citra potongan koronal, dan gradien koil Z untuk membuat citra potongan aksial. Bila gradien koil X, Y dan Z bekerja secara bersamaan maka akan terbentuk potongan oblik. Sistem frekuensi radio berfungsi membangkitkan dan memberikan radio frekuensi serta mendeteksi sinyal. Sistem komputer berfungsi untuk membangkitkan sekuens pulsa, mengontrol semua komponen alat MRI dan menyimpan memori beberapa citra. Selain itu, juga terdapat sistem pencetakan citra yang berfungsi untuk mencetak gambar pada film rongent atau untuk menyimpan citra (Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).
112
Pencitraan pada Stroke
Koil magnetik Koil gradien
Koil Frekuensi Radio
Pemancar frekuensi radio
Catu daya gradien
Penerima frekuensi radio
Komputer Pengendali Protokol proses rekonstruksi gambar Papan tombol operator Sumber: Sprawls, P., 2015
Gambar 8.3 Sistem MRI.
8.4 Ada Berapa Macam Tipe MRI? Di dunia kedokteran, ada dua tipe utama MRI yaitu MRI terbuka (low-field) yang memiliki kekuatan medan magnet sekitar 1,0 tesla (T) dan MRI tertutup (high-field) yang memiliki kekuatan sekitar 1,5 T sampai 3 T. MRI terbuka memiliki kerangka terbuka (open gantry) dengan ruang yang luas, sementara itu MRI tertutup memiliki kerangka (gantry) biasa yang berlorong sempit (NHS, 2015).
(a)
Sumber: dokumentasi pribadi
(b)
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 8.4 MRI terbuka (a) dan MRI tertutup (b).
Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging
113
Sebuah MRI scan tertutup biasanya terdiri atas scanner berbentuk silinder yang tidak nyaman untuk pasien yang berbadan besar dan membuat beberapa pasien menjadi sesak. Bagi banyak pasien, MRI terbuka dapat meminimalkan kecemasan dan claustrophobia karena desainnya yang berbentuk huruf "C" sehingga menawarkan tempat yang luas dan pasien terletak di antara dua piringan. MRI terbuka juga digunakan untuk pencitraan intraoperatif atau gambar untuk panduan intervensi yang merupakan akses mudah yang diperlukan pasien (NHS, 2015). Kelemahan utama MRI terbuka yaitu sekuen yang diperlukan lebih lama (panjang waktu untuk mendapatkan gambar), rasio sinyal-ke-bunyi lebih rendah, dan resolusi spasial lebih rendah. Akibatnya, untuk analisis bagian tubuh yang lebih kecil seperti sendi (pergelangan tangan, jari tangan, dan kaki), selalu disarankan untuk menggunakan MRI tertutup karena kualitas dan detail gambar akan lebih bagus. Selain itu, kekuatan medan magnet terbuka berkurang secara signifikan dan mungkin tidak memadai untuk beberapa tujuan scanning (NHS, 2015). Sebaiknya, suatu rumah sakit memilih MRI yang memiliki tesla tinggi karena alat tersebut dapat digunakan untuk teknik fast scan yaitu suatu teknik yang memungkinkan satu gambar irisan penampang dibuat dalam hitungan detik sehingga kita dapat membuat banyak irisan penampang yang bervariasi dalam waktu yang sangat singkat. Dengan banyaknya variasi gambar, membuat suatu lesi menjadi menjadi lebih spesifik (Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).
8.5 Bagaimana Cara Kerja MRI? Cara kerja MRI mengacu pada komposisi tubuh yang terdiri atas atom hidrogen atau proton. Bila atom hidrogen ini ditembakkan tegak lurus pada intinya dengan radio frekuensi tinggi dalam medan magnet secara periodik kemudian beresonansi maka proton tersebut akan bergetar/bergerak menjadi searah/sejajar. Jika radio frekuensi tinggi ini dimatikan maka proton yang bergetar tadi akan kembali ke posisi semula dan akan menginduksi dalam satu kumparan untuk menghasilkan sinyal elektrik yang lemah. Bila hal ini terjadi berulang-ulang dan sinyal elektrik tersebut ditangkap kemudian diproses dalam komputer maka akan dapat disusun menjadi suatu gambar (Rasad, 2006). Metode ini dipakai karena tubuh manusia mempunyai konsentrasi atom hidrogen yang tinggi (sekitar 70%). Untuk menghasilkan sebuah gambar dari proton, minimum dibutuhkan tenaga medan magnet 0,064 Tesla. Untuk suatu medan magnet yang rendah 0,2 Tesla dibutuhkan kumparan yang normal dimana tenaga listrik diubah menjadi panas. Untuk suatu medan magnet di atas 0,3 Tesla dibutuhkan suatu kumparan istimewa/super. Kumparan ini sangat ekstrim dinginnya yaitu –269ºC sehingga tahanannya tidak sama sekali nol. Oleh karena itu, kumparan 114
Pencitraan pada Stroke
super ini tidak memakai listrik. Kumparan ini sangat mahal. Saat ini, alat MRI yang digunakan mulai dari 0,64 Tesla sampai 3 Tesla (Rasad, 2006). Mesin MRI adalah sebuah mesin magnet berdaya tinggi. Dengan memanfaatkan radio frequency pulses (gelombang radio), mesin MRI mampu mendapatkan gambaran anatomik secara detail dengan mengacu proton atom hidrogen pada setiap jaringan tubuh. Struktur atom hidrogen dalam tubuh manusia saat di luar medan magnet mempunyai arah yang acak dan tidak membentuk keseimbangan. Kemudian saat diletakkan dalam alat MRI (gantry) maka atom H akan sejajar dengan arah medan magnet. Demikian juga arah spinning dan processing akan sejajar dengan arah medan magnet. Saat diberikan frekuensi radio dengan panjang gelombang tertentu maka atom H akan mengabsorpsi energi dari frekuensi radio tersebut. Akibatnya, dengan bertambahnya energi, atom H akan mengalami pembelokan, sedangkan besarnya pembelokan arah, dipengaruhi oleh besar dan lamanya energi radio frekuensi yang diberikan. Sewaktu radio frekuensi dihentikan maka atom H akan sejajar kembali dengan arah medan magnet. Pada saat kembali inilah, atom H akan memancarkan energi yang dimilikinya. Kemudian energi yang berupa sinyal tersebut dideteksi dengan detektor yang khusus dan diperkuat. Selanjutnya, komputer akan mengolah dan merekonstruksi citra berdasarkan sinyal yang diperoleh dari berbagai irisan (Rasad, 2006).
Atom hidrogen acak
Atom hidrogen sejajar
Bidang magnetik eksternal
Tidak ada bidang eksternal Sumber: Rasad, 2006
Gambar 8.5 Atom hidrogen yang semula acak, akan mensejajarkan diri setelah pemberian medan magnet luar.
8.6 Parameter Dasar dan Gambaran Pencitraan MRI Ada empat parameter dasar dari gambaran pencitraan MRI yaitu sebagai berikut (Heggie, 1997). 1. Densitas proton Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging
115
2. 3. 4.
Longitudinal relaxation time (T1) Transvers relaxation time (T2) Perfusi dan difusi (Heggie, 1997).
Densitas proton adalah konsentrasi proton dalam jaringan dalam bentuk air dan makromolekul (protein, lemak, dlan lainnya). Waktu relaksasi T1 dan T2 menentukan cara proton kembali ke tempat istirahatnya setelah dorongan RF awal (Hesselink, J.R. 2015). Setelah semua proses dilakukan maka kita akan peroleh gambaran hasil pencitraannya. Adapun gambaran yang dihasilkan dapat berupa beberapa hal berikut ini. 1. Low signal intensity, dihasilkan sinyal listrik yang lemah berupa sinyal void (kosong/hitam) dan sinyal yang lebih rendah (gelap) dari otot. 2. Intermediate signal intensity, dapat merupakan sinyal yang sama dengan otot dan sinyal yang lebih tinggi dari lemak subkutan (lebih terang). 3. High signal intensity, dihasilkan sinyal elektrik yang kuat berupa sinyal yang sama dengan jaringan subkutan (terang) dan sinyal yang lebih tinggi dari jaringan lemak subkutan (sangat terang) (Rasad, 2006). Ada 3 macam intensitas yaitu hipointens, isointens, dan hiperintens. Setiap jaringan mempunyai karakteristik yang khas pada T1 dan T2 sehingga bila ada perbedaan intensitas dari jaringan normal, akan mudah diketahui bahwa hal tersebut merupakan suatu kelainan. Bila didapatkan T1 yang panjang maka akan didapatkan gambaran hipointens dan bila T1 pendek akan didapatkan gambaran hiperintens. Sebaliknya, bila didapatkan T2 pendek maka akan didapatkan gambaran hiperintens dan bila T2 panjang akan didapatkan gambaran hipointens. Sementara itu, pada densitas proton yang dinilai adalah kepadatan proton pada jaringan. Semakin banyak jumlah proton maka semakin tinggi intensitas gambar yang dihasilkan (Rasad, 2006).
Tabel 8.1 Interpretasi dasar pada MRI Jenis intensitas Hipointens
T1
T2
• Tulang
• Tulang
• Kalsifikasi
• Kalsifikasi
• Air Hiperintens
• Lemak
• Lemak
• Darah
• Darah • Air Sumber: Rasad, 2006
116
Pencitraan pada Stroke
Dengan MRI dapat dibedakan bagian otak yang abu-abu dengan bagian otak yang putih. Bagian otak yang putih mengandung 12% lebih sedikit air dibandingkan dengan otak yang abu-abu. Akan tetapi, bagian yang putih mempunyai lebih banyak lemak daripada bagian otak yang abu-abu. Karena banyak mengandung lemak, bagian otak yang putih mempunyai waktu T1 yang pendek dan T2 yang pendek (Rasad, 2006). Pada saat meninjau MRI, cara termudah untuk menentukan urutan pulsa yang digunakan atau "bobot" dari gambar adalah dengan melihat cerebrospinal fluid (CSF). Jika CSF cerah (sinyal tinggi) maka itu harus menjadi gambar T2-weighted. Jika CSF gelap, itu adalah gambar T1. Setelah itu, perhatikan intensitas sinyal struktur otak. Pada MRI otak, faktor penentu utama pada intensitas sinyal dan kontras adalah T1 dan T2 relaxation times. Kontras jelas berbeda pada gambar T1 dan T2weighted. Selain itu, patologi otak memiliki beberapa karakteristik sinyal yang umum (Hesselink, J.R. 2015).
8.7 Kelebihan dan Kekurangan MRI Ada beberapa kelebihan MRI dibandingkan dengan pemeriksaan CT scan yaitu: 1. MRI lebih unggul untuk mendeteksi beberapa kelainan pada jaringan lunak seperti otak, sumsum tulang serta muskuloskeletal. 2. Mampu memberi gambaran detail anatomi dengan lebih jelas. 3. Mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti pemeriksaan difusi, perfusi dan spektroskopi yang tidak dapat dilakukan dengan CT Scan. 4. Mampu membuat gambaran potongan melintang, tegak, dan miring tanpa mengubah posisi pasien. 5. MRI tidak menggunakan radiasi pengion (Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004). Selain mempunyai kelebihan, di satu sisi MRI juga mempunyai kekurangan misalnya harga MRI lebih mahal daripada CT scan. Pemeriksaan MRI memerlukan waktu lebih lama sehingga pasien harus lebih sabar dan ketidaknyamanan ini terkadang menimbulkan masalah. Scanning MRI tidak aman untuk pasien dengan beberapa implan logam dan benda asing lainnya. Perhatian terhadap langkah-langkah keamanan diperlukan untuk menghindari cedera serius pada pasien dan staf. Hal ini memerlukan peralatan MRI peralatan khusus dan kepatuhan yang ketat untuk protokol keamanan (Hesselink, J.R. 2015). Sebenarnya, CT scan dan MRI merupakan sama-sama sebagai lini pertama modalitas pencitraan untuk stroke (Kidwell et al., 2004). Akurasi klinis dalam mendeteksi ICH pada CT scan tergantung pengalaman, berkisar antara 73-87% (Merino & Warach, 2010). Jika MRI dapat dilaksanakan secepat CT scan, pilihan modalitas jatuh pada MRI (Kidwell et al., 2004). Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging
117
Namun demikian, MRI tidak dapat dilaksakan pada pasien yang memiliki prosthesis logam (Magistris, 2013). Sekitar 10% pasien yang masuk ke IRD AS memiliki alat pacu jantung dan prosthesis logam (Smith, et al., 2011). MRI juga tidak dapat digunakan pada pasien dengan klaustrofobia (Lovbald & Pereira, 2013). CT unggul dalam menunjukkan ekstensi perdarahan ke intaventrikel, sementara itu MRI menunjukkan edema dan herniasi dengan lebih baik. Karena saat ini dalam praktiknya CT scan lebih tersebar luas dan permintaan pencitraan CT scan umumnya dapat dilaksanakan dengan lebih cepat sehingga CT scan menjadi modalitas pencitraan stroke yang lazim dilaksanakan. CT scan memiliki spesifisitas hampir 100% dalam mendeteksi perdarahan dan kalsifikasi. MRI saat ini umumnya digunakan sebagai follow up dan mencari penyebab perdarahan atau iskemia, misalnya malformasi vaskular atau cerebral amyloidosis (Magistris, 2013). Dalam membedakan stroke hemoragik dari stroke iskemia, CT scan terbukti memiliki cost-benefit ratio paling tinggi (Smith, et al., 2011). Meskipun terbukti untuk saat ini, CT scan merupakan modalitas yang paling sering digunakan, namun demikian MRI terus berkembang untuk membuktikan diri sebagai modalitas unggulan lainnya yang dalam penggunaannya saling melengkapi dengan CT scan (Lovbald & Pereira, 2013). A
B
D
E
C
F
Sumber: Lovbald & Pereira, 2013
Gambar 8.6 Fungsi saling melengkapi antara CT scan dan MRI. Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat bahwa modalitas CT scan (8.6 A) menunjukkan adanya pendataran sulcii yang menjadi tanda stroke. Pada CT perfusi, tampak area hipoperfusi. MRI menegaskan hal ini yang ditunjukkan dengan adanya lesi hiperdens pada sekuens T2 (8.6 C). 118
Pencitraan pada Stroke
Sekuens Diffuse Weighted Image (DWI) (8.6 D) dengan tegas menyatakan adanya area stroke. CT scan daerah leher (8.6 B) menunjukkan adanya kalsifikasi pada arteri karotis kiri yang dibuktikan lebih lanjut sebagai area stenosis melalui Digital Angiography Substraction (DSA) (8.6 E). CT scan setelah trombolisis (8.6 F) menunjukkan adanya luxury perfusion, tanpa ekstravasasi darah.
8.8 Pemeriksaan MRI Kepala Pada pemeriksaan MRI kepala, pasien selalu diposisikan supine dengan meletakkan kepala di dalam koil kepala dan memberi bantal di bawah kaki (Moeller, 2003). Persiapan yang perlu dilakukan pada pasien, antara lain sebagai berikut. • Pasien dianjurkan untuk ke kamar kecil sebelum dilakukan pemeriksaan. • Menjelaskan prosedur pemeriksaan. • Pasien mendapatkan informasi dengan melakukan wawancara untuk mengetahui apakah ada sesuatu yang membahayakan pasien bila dilakukan pemeriksaan MRI, misalnya: pasien menggunakan alat pacu jantung, logam dalam tubuh pasien seperti IUD, sendi palsu, neurostimulator, dan klip anurisma serebral, dan lain-lain. • Menawarkan pelindung telinga apabila diperlukan. • Meminta pasien untuk mengenakan baju pemeriksaan. • Meminta pasien untuk melepas segala sesuatu yang mengandung logam (gigi palsu, alat bantu mendengar, jepit rambut, perhiasan, dan benda lainnya). • Jika diperlukan bisa dipasang infus intravena (misalnya adanya kecurigaan tumor atau multiple sclerosis). • Pastikan pasien memahami prosedur pemeriksaan dan mengisi kuisioner dengan benar (penekanan terutama terhadap benda-benda yang mengandung logam) (Moeller, 2003). Untuk persiapan pelaksanaan pemeriksaan perlu dilakukan beberapa hal berikut ini. 1. Persiapan console yaitu memprogram identitas pasien seperti nama, usia dan lain-lain, mengatur posisi tidur pasien sesuai dengan objek yang akan diperiksa. Memilih jenis koil yang akan digunakan untuk pemeriksaan, misalnya untuk pemeriksaan kepala digunakan head coil. Setelah itu, memilih parameter yang tepat, misalnya untuk citra anatomi dipilih parameter yang repetition time dan echo time pendek sehingga pencitraan jaringan dengan konsentrasi hidrogen tinggi akan berwarna hitam. Untuk citra pathologis dipilih parameter yang repetition time dan echo time panjang sehingga misalnya untuk gambaran cairan serebro spinalis dengan konsentrasi hidrogen tinggi akan tampak berwarna putih. Untuk kontras citra antara, dipilih Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging
119
parameter yang time repetition panjang dan time echo pendek sehingga gambaran jaringan dengan konsentrasi hidrogen tinggi akan tampak berwarna abu-abu.
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 8.7 Penggunaan head coil untuk pemeriksaan kepala. 2. Untuk mendapatkan hasil gambar yang optimal, perlu penentuan center magnet (land marking patient) sehingga koil dan bagian tubuh yang diamati harus sedekat mungkin ke center magnet, misalnya pemeriksaan MRI kepala, pusat magnet pada hidung. Untuk menentukan bagian tubuh dibuat scan scout (panduan pengamatan) dengan parameter, ketebalan irisan dan jarak antar irisan serta format gambaran tertentu. Hal ini merupakan gambaran 3 dimensi dari sejumlah sinar yang telah diserap. Setelah tergambar scan scout pada TV monitor, maka dibuat pengamatan-pengamatan berikutnya sesuai dengan kebutuhan. Pemeriksaan MRI yang menggunakan kontras media, hanya pada kasus-kasus tertentu saja. Salah satu kontras media untuk pemeriksaan MRI adalah gadolinium DTPA yang disuntikkan intra vena dengan dosis 0,0 ml/kg berat badan (Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004). Tahapan pengambilan gambar pada MRI kepala (Moeller, 2003) Potongan standar untuk mengevaluasi otak pertama kali dibuat potongan aksial. Dibuat scout tiga potongan (atau sagital dan aksial saja). Potongan aksial dibuat dengan orientasi pada garis yang melalui batas anterior dan posterior dari korpus kallosum pararel terhadap garis yang melewati komisura anterior dan posterior, dibuat potongan pada seluruh
120
Pencitraan pada Stroke
otak dari vertex hingga serebellum, biasanya hingga foramen magnum dengan ketebalan irisan 5–6 mm.
Sumber: (Moeller, 2003)
Gambar 8.8 Scout potongan aksial standar untuk otak. Pada tahap ini akan dibuat gambar T2 dan T1 weighted serta proton density. Selanjutnya, dilakukan pengambilan potongan koronal dengan orientasi pada potongan aksial. Potongan aksial dan koronal umumnya dengan ketebalan irisan 6 mm.
a
b Sumber: Moeller, 2003
Gambar 8.9 Scout potongan koronal standar untuk otak (a) dan scout potongan sagital untuk otak (b). Untuk mendapatkan hasil yang simetris maka sebagai patokan dengan berorientasi pada septum nasi dan meletakkan bantal di bawah lutut. Pada pasien kifosis bisa diletakkan bantal di bawah pinggul demikian juga dengan rasa tidak nyaman pada leher bisa diletakkan bantal di bawahnya. Bisa diletakkan kaca di atas coil kepala untuk mengurangi claustrophobia (Moeller, 2003).
Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging
121
Sumber: Moeller, 2003
Gambar 8.10 Irisan aksial T1WI, T2WI, dan scoutnya.
Sumber: Moeller, 2003
Gambar 8.11 Irisan sagital T1WI, T2WI, dan scoutnya.
Sumber: Moeller, 2003
Gambar 8.12 Irisan koronal T2WI dan scoutnya.
Sumber: Moeller, 2003
Gambar 8.13 Irisan aksial proton densitiy dan scoutnya. 122
Pencitraan pada Stroke
a
b Sumber: Moeller, 2003
Gambar 8.14 Pada kasus kecurigaan infark akut A: (T2-weighted image irisan aksial) tampak area hiperintens pada sentrum semiovale kiri. B: (diffusion weighted image irisan aksial) tampak hiperintens.
8.9 Interpretasi MRI Kepala Sistematisasi evaluasi MRI kepala yang normal adalah sebagai berikut. ~~ Fissure interhemisfer serebri pada garis tengah. Kortikal sulki serebri dan serebelli normal. ~~ Korteks dan white matter menunjukkan perkembangan yang normal dengan intensitas sinyal yang normal (maturasi sesuai dengan usia) dan homogen. Anatomi hemisfer serebri dan midbrain dievaluasi pada potongan sagital dan koronal T1WI MRI. Gray dan white matter paling baik dievaluasi pada T2WI. ~~ Korteks serebri tidak tampak lesi hiperintens patologis (demielinisasi, edema, perdarahan) atau hipointens patologis (kalsifikasi, per darahan). Tidak tampak area yang terpisah dari kalvaria. Tidak tampak akumulasi cairan (konveks atau konkaf) di antara korteks serebri dan kalvaria). ~~ Sella dan pituitari bentuk dan ukurannya normal, intensitas sinyal sebelum dan sesudah pemberian kontras normal. Struktur parasella (khiasma optikum, sisterna suprasella, karotid siphon, sinus kavernosus tidak tampak adanya kelainan. ~~ Basal ganglia, kapsula interna-eksterna, thalamus, korpus kallosum intensitas sinyal normal, bentuk, dan ukuran normal. Tidak tampak fokus demielinisasi maupun massa. ~~ Sudut serebelopontin simetris normal. Kanalis akustikus internus berukuran lebar yang normal. ~~ Sisterna subarachnoid normal. ~~ Ventrikel bentuk dan ukurannya normal, simetris (tidak tampak pelebaran unilateral/bilateral), ventrikel IV tidak melebar, tidak tampak Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging
123
~~
~~ ~~ ~~ ~~
tanda-tanda peningkatan intrakranial (sulcal effacement, ventrikel yang melebar/menyempit) dengan sirkulasi cairan serebrospinal yang normal. Ukuran ventrikel: Sella media index: B/A > 4 normal. Kornu anterior ventrikel lateralis (setinggi foramen monro): Di bawah 40 tahun < 12 mm Di atas 40 tahun < 15 mm. Lebar ventrikel III: < 5 mm pada anak-anak < 7 mm pada dewasa di bawah 60 tahun < 9 mm pada dewasa di atas 60 tahun. Batang otak dan serebellum ukuran dan intensitas sinyal normal, tidak tampak kelainan fokal. Pembuluh darah intrakranial posisi dan ukuran normal, tidak tampak dilatasi maupun kalsifikasi. Sinus paranasalis dan aircell mastoid perkembangan dan pneumati sasinya normal, ketebalan mukosa normal. Kavum nasi pneumatisasi baik, septum nasi di tengah, ukuran concha nasi normal (Moeller, 2003).
8.10 Artefak pada MRI dan Upaya Mengatasinya Artefak adalah kesalahan yang terjadi pada gambar yang menurut jenisnya dapat terdiri atas kesalahan geometrik, kesalahan algoritma, kesalahan pengukuran attenuasi. Sementara itu, menurut penyebabnya terdiri atas: a. Artefak yang disebabkan oleh pergerakan fisiologi, misalnya karena gerakan jantung, gerakan pernapasan, gerakan darah dan cairan serebrospinal. Gerakan yang terjadi secara tidak periodik seperti gerakan menelan, berkedip dan lain-lainnya.
Gambar 8.15 Arah kiri ke kanan adalah fase encoding yang telah dipilih untuk sebuah penelitian pada kepala bagian aksial sehingga artefak gerakan orbital tidak melampaui batas ke otak. Sumber: Questions and Answers in MRI, 2014.
b. Artefak yang terjadi karena perubahan kimia dan pengaruh magnet. 124
Pencitraan pada Stroke
c. Artefak yang terjadi karena letak gambaran tidak pada tempat yang seharusnya. d. Artefak yang terjadi akibat dari data pada gambaran yang tidak lengkap. e. Artefak sistem penampilan yang terjadi misalnya karena perubahan bentuk gambaran akibat faktor kesalahan geometri, kebocoran dari tabir radiofrequens. (Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).
Sumber: Anvekar’s, B., 2012
Gambar 8.16 Sebuah artefak sinyal tinggi di ruang Csf karena efek para magnetik akibat menghirup oksigen, "Pseudo SAH" Akibat adanya artefak-artefak tersebut maka akan mengakibatkan gambaran menjadi kabur, terjadi kesalahan geometri, tidak ada gambaran, gambaran tidak bersih, terdapat garis–garis di bawah gambaran, gambaran bergaris-garis miring, dan gambaran tidak beraturan. Upaya untuk mengatasi artefak pada gambaran MRI antara lain dilakukan dengan cara antara lain waktu pemotretan dibuat secepat mungkin, memeriksa keutuhan tabir pelindung radio frekuensi, menanggalkan benda-benda yang bersifat feromagnetik bila memungkinkan, dan perlu kerja sama yang baik dengan pasien (Notosiswoyo, M. , Susy Suswati, 2004).
8.11 Tindakan yang Perlu Dilakukan Bila Terjadi Kecelakaan Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan kecelakaan selama pemeriksaan MRI. Bila terjadi keadaan gawat pada pasien, segera hentikan pemeriksaan dengan menekan tombol ABORT. Langkah selanjutnya yaitu pasien segera dikeluarkan dari pesawat MRI dengan menarik meja pemeriksaan dan segera berikan pertolongan dan apabila tindakan selanjutnya memerlukan alat medis yang bersifat feromagnetik harus dilakukan di luar ruang pemeriksaan (Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004). Seandainya terjadi kebocoran helium yang ditandai dengan bunyi alarm dari sensor oksigen, tekanlah EMERGENCY SWITCH. Setelah itu, Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging
125
segera membawa pasien keluar ruang pemeriksaan. Kemudian buka pintu ruang pemeriksaan agar terjadi pertukaran udara karena pada saat itu, ruang pemeriksaan kekurangan oksigen (Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004). Apabila terjadi pemadaman (quenching) yaitu hilangnya sifat medan magnet yang kuat pada gantry (bagian dari pesawat MRI) secara tibatiba, tindakan yang perlu dilakukan yaitu buka pintu ruangan lebar-lebar agar terjadi pertukaran udara dan pasien segera dibawa keluar ruangan pemeriksaan. Hal itu perlu dilakukan karena quenching menyebabkan terjadinya penguapan helium sehingga ruang pemeriksaan MRI tercemar gas helium. Selama pemeriksaan MRI untuk anak kecil atau bayi, sebaiknya ada keluarganya yang menunggu di dalam ruang pemeriksaan (Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).
Sumber: Questions and Answers in MRI, 2014
Gambar 8.17 Emergency run down unit sederhana. Anda harus membuka kotak plastik dan melepaskan penutup tombol untuk memulai. Pemadaman magnet akan terjadi dalam waktu 2 menit. Alat di atas digunakan sebagai kontrol untuk mengendalikan dan mematikan medan magnet. Alat ini biasanya berupa tombol merah besar yang terletak di dinding ruang magnet dekat pintu. Pada alat ini bisa diberi label "Magnet Stop" atau "Emergency Run Down". Tombol ini seharusnya hanya digunakan dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa, seperti pasien diselamatkan dari dalam scanner akibat benda logam atau api di gantry magnet (Questions and Answers in MRI, 2014).
Rangkuman 1. Melalui MRI, suatu jaringan menunjukkan sifat-sifat karakteristik tertentu pada gambar Tl dan T2 maupun proton density. 2. Intensitas jaringan biasanya berbeda pada gambar Tl dan T2, kecuali lemak, darah segar, kalsifikasi, maupun peredaran darah yang cepat. Intensitas jaringan tersebut mulai dari hipo, iso dan hiper intensitas terlihat jelas pada T1 dan T2. 3. Cara kerja MRI mengacu pada komposisi tubuh yang terdiri atas atom hidrogen atau proton. 126
Pencitraan pada Stroke
4. Satu alat MRI yang lengkap terdiri atas sistem magnet, alat pemancar radio frekuensi tinggi, alat penerima radio frekuensi tinggi, komputer, tenaga listrik dan sistem pendingin. 5. Mesin MRI adalah sebuah mesin magnet berdaya tinggi. Dengan memanfaatkan radio frequency pulses (gelombang radio), mesin MRI mampu mendapatkan gambaran anatomik secara detail dengan mengacu proton atom hidrogen pada setiap jaringan tubuh. 6. Ada empat parameter dasar dari gambaran pencitraan MRI yaitu densitas proton, longitudinal relaxation time (T1), transvers relaxation time (T2), dan perfusi dan difusi. 7. Gambaran yang dihasilkan MRI dapat berupa low signal intensity, intermediate signal intensity, dan high signal intensity. 8. Indikasi MRI antara lain sebagai berikut. Mendeteksi kelainan-kelainan struktur jaringan lunak, antara lain pada penyakit tumor dan infeksi. Memperlihatkan kelainan pada sistem saraf (otak dan sunsum tulang belakang). Memperlihatkan struktur vaskular, seperti pembuluh darah otak dan jantung. Memperlihatkan struktur sistem biliar intar & ekstrahepatik. 9. Keunggulan pemeriksaan MRI antara lain sebagai berikut. Kemampuan memperlihatkan struktur organ dengan lebih teliti dan akurat. Dapat membedakan gambaran jaringan normal dengan jelas. Memperlihatkan gambaran jaringan tubuh dari berbagai sudut pandang (multiplanar). Tidak menggunakan sinar X. Bersifat non invasif. 10. Selain mempunyai kelebihan, di satu sisi MRI juga mempunyai kekurangan misalnya harga MRI lebih mahal daripada CT scan. Pemeriksaan MRI memerlukan waktu lebih lama sehingga pasien harus lebih sabar dan ketidaknyamanan ini terkadang menimbulkan masalah. 11. Artefak adalah kesalahan yang terjadi pada gambar yang menurut jenisnya dapat terdiri atas kesalahan geometrik, kesalahan algoritma, kesalahan pengukuran attenuasi. 12. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan kecelakaan selama pemeriksaan MRI. Bila terjadi keadaan gawat pada pasien, segera hentikan pemeriksaan dengan menekan tombol ABORT.
Bab 8 – Mengenal Magnetic Resonance Imaging
127
128
Pencitraan pada Stroke
Bab 9 Mengenal Digital Subtraction Angiography
S
eiring dengan perkembangan teknologi dalam perangkat keras, perangkat lunak, dan teknologi analisis gambar maka digital subtraction angiography (DSA), computed tomography angiography (CTA), dan magnetic resonance angiography (MRA), sekarang telah menjadi garda depan pencitraan pembuluh darah. Pada kenyataannya, teknik-teknik tersebut dapat menggantikan angiografi konvensional dan digolongkan ke dalam standar baku baru dengan memberikan karakterisasi yang ekuivalen maupun superior terhadap abnormalitas pembuluh darah otak (Weber, 2001).
129
9.1 Definisi Digital Subtraction Angiography (DSA) Sejak tahun 1970-an gambar digital telah menggeser peran gambargambar analog. Sementara itu, digital subtraction angiography (DSA) dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Generasi gambar DSA dimulai dengan generasi sinar-X oleh tabung yang biasanya terletak di bawah pasien. Tabung sinar-X bergerak di atas melewati meja radiolusen dan pasien. Foton yang dikeluarkan ditangkap oleh detektor yang terletak di atas pasien yang dirangkaikan ke tabung oleh struktur lengan berbentuk huruf C atau huruf U (Gambar 9.1) (Rubin, 2009).
(a)
Sumber: Rubin, 2009
(b)
Sumber: The Bangalore Hospital, 2005 Sumber: Rubin, 2009
Gambar 9.1 Pesawat DSA yang mempunyai struktur lengan berbentuk huruf C (a) atau U (b). Serebral DSA yaitu modifikasi serebral angiografi yang merupakan suatu upaya diagnostik dengan cara menginjeksikan kontras ke arah pembuluh darah menuju otak yang akan diperiksa melalui kateter (Usman, 2012). DSA merupakan teknik yang handal untuk memvisualisasikan pembuluh darah otak manusia. Pada pencitraan yang hanya diambil dengan sinar-X, pembuluh darah hampir tidak tampak karena rendahnya kontras antara pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Peningkatan kontras dilakukan dengan menyuntikkan media radiopaque contrast terhadap pembuluh yang hendak didiagnosis. Tanpa pemrosesan lebih lanjut, kontras antara pembuluh dan jaringan di sekitarnya masih lebih kecil daripada antara tulang dan jaringan sekitar tulang tersebut sehingga menyebabkan berbagai distorsi ataupun mengurangi informasi dalam diagnosis pencitraan. Pada teknik subtraksi, terdapat dua kali pengambilan pencitraan area pembuluh darah yang akan diamati dengan dua kondisi yang berbeda. Pengambilan pencitraan yang pertama dilakukan pada pembuluh darah dengan kondisi tanpa cairan pengontras yang dikenal dengan nama pencitraan mask/plain. Pengambilan pencitraan yang kedua dilakukan ketika cairan pengontras telah disuntikkan pada pembuluh darah yang akan diamati yang dikenal dengan nama pencitraan live/contrast. Pada pencitraan DSA, struktur 130
Pencitraan pada Stroke
latar belakang yang tidak diinginkan akan dihilangkan secara menyeluruh jika struktur antara pencitraan mask dan pencitraan live mempunyai distribusi derajat keabuan yang sama (Hidayati, S.C., 2009).
(a)
(b)
Gambar 9.2 (a) Citra mask dan (b) citra live (citra kontras) pada pencitraan DSA. Hasil pemeriksaan serebral DSA sangat komprehensif dalam memberikan informasi tentang vaskularisasi otak dan tetap menjadi standar emas untuk mengevaluasi kelainan pembuluh darah otak, terutama stenosis arteri, malformasi arteriovenosa (AVM) dan aneurisma otak. Selain itu, DSA juga dilakukan untuk menentukan aliran darah dan kondisi pembuluh darah (seperti vasospasme, vaskulitis, vaskularisasi tumor otak). Dengan melakukan prosedur ini, terapi yang optimal dapat dicapai untuk setiap kelainan pembuluh darah otak (Usman et al., 2012). Dalam dekade terakhir, telah dilakukan penggunaan agen kontras yang lebih aman. Selain itu, telah ada kemajuan teknis yang penting meliputi penggunaan kateter yang lebih kecil, hydrophylic guide wires, dan sistem pencitraan digital. Namun, penggunaan serebral DSA untuk beberapa kasus, khususnya di Indonesia, tampaknya telah dikembangkan secara perlahan-lahan. Namun demikian, beberapa sumber masih berpendapat bahwa DSA sebagai prosedur mahal dan invasif yang dapat menyebabkan morbiditas serta mortalitas (Usman et al., 2012).
9.2 Indikasi dan Kontraindikasi DSA Indikasi untuk diagnostik kateter angiografi serebral meliputi beberapa hal berikut ini. 1. Diagnosis penyakit neurovaskular primer (misalnya aneurisma intrakranial, arteriovenous malformasi, fistula arteriovenosa dural,
Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
131
2. 3. 4. 5. 6.
7.
stenosis aterosklerotik, stroke iskemia akut, fenomena tromboemboli, dan vaskulopati). Membantu mencari etiologi penyebab perdarahan (subarachnoid, parenkimal, intraventrikular) Merencanakan prosedur neurointervensi. Bantuan intra-operasi pada operasi aneurisma. Pencitraan tindak lanjut setelah tindakan terapi (misalnya setelah pemasangan koil atau kliping, pengobatan fistula arteriovenosa) . Menunjukkan secara lebih jelas dan terperinci pembuluh darah mana yang menjadi “feeder” suatu tumor intrakranial berikut peta perjalanan ke tumor tersebut sehingga dapat menyusun strategi jika akan dilakukan embolisasi sebelum reseksi . Menentukan ada dan perluasan trauma pada pembuluh darah cervicocerebral (misalnya pseudoaneurisma) (Adnan et al., 2011; Usman, 2012; Harrigan et al., 2013).
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk diagnostik angiografi kateterisasi serebral. Kontraindikasi relatif meliputi hipotensi, hipertensi berat, dan koagulopati, signifikan secara klinis, sensitif terhadap bahan kontras iodin, insufisiensi renal, dan gagal jantung kongestif (Harrigan et al, 2013).
9.3 Evaluasi Preprosedur Pemeriksaan DSA Berikut ini merupakan hal-hal yang harus diperhatikan untuk evaluasi preprosedur. 1. Pasien harus ditanya tentang gejala dan tanda-tandanya sehingga diperoleh indikasi untuk pemeriksaan ini. Selain itu, riwayat prosedur operasi sebelumnya (terutama vaskular), bukti adanya risiko atherosklerotik seperti infark miokard atau stroke, diabetes (dengan perhatian terhadap terapinya), status fungsi ginjal, dan apakah memiliki riwayat alergi terhadap kontras iodin. 2. Pemeriksaan neurologis singkat harus dilakukan untuk mendapatkan data dasar mengenai perubahan neurologis yang terjadi selama atau setelah prosedur. Pemeriksaan fisik preprosedur berfokus terhadap sistem vaskular dan seleksi lokasi vaskular. Pemeriksaan ini lebih baik dilakukan oleh orang yang akan melakukan angiografi. Selain itu, juga dilakukan evaluasi kualitas nadi dan adanya aneurisma, curiga adanya infeksi, incisi bedah yang masih baru, pannus abdomen yang besar, atau jaringan parut pada pembuluh darah yang akan mempengaruhi seleksi dari lokasi akses. Pulsasi distal dari akses yang akan dikerjakan harus dievaluasi. Hal itu disebabkan karena salah satu komplikasi angiografi adalah embolisasi distal (harus dilakukan pemeriksaan pada nadi femoralis, begitu juga dengan arteri pedis dorsalis dan nadi tibialis posterior). Pemeriksaan fisik harus mencakup baik sisi kanan dan kiri pasien sehingga lokasi akses yang berbeda dapat digunakan selama prosedur jika diperlukan. 132
Pencitraan pada Stroke
3. Pemeriksaan darah yang meliputi kadar serum kreatinin dan parameter koagulasi harus ditinjau. Sebenarnya, tidak ada pemeriksaan laboratorium yang mutlak diperlukan sebelum memulai prosedur invasif pada pembuluh darah. Sebagian besar masalah yang dapat diprediksi dari hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal terjadi setelah kateter dilepas (misalnya perdarahan dan gagal ginjal). Jumlah trombosit yang rendah merupakan prediktor paling penting dari komplikasi perdarahan postprocedural. Untuk pemeriksaan laboratorium minimal, pada umumnya diperlukan koagulasi (international normalized ratio [INR], protrombin time [PT], activated partial thromboplastin time [aPTT], dan jumlah trombosit) serta nilai serum kreatinin (Harrigan et al., 2013, Kaufman, 2008). Pada pasien rawat jalan yang status kesehatannya stabil, pengukuran serum kreatinin dalam waktu 30 hari dari prosedur angiogram yang akan dilakukan maka hal itu dapat diterima. Untuk pasien rawat inap, konsentrasi serum kreatinin dan eGFR harus dinilai dalam waktu 24 jam dari prosedur angiogram yang akan dilakukan. Pasien dengan eGFR kurang dari 30 mL/menit/1,73 m2 berisiko sangat tinggi terhadap terjadinya contrat-induced nephropathy. Untuk pasien ini, semua strategi profilaksis yang direkomendasikan harus digunakan, sebagaimana dibimbing oleh konsultan nephrologist, dan alternatif untuk penggunaan media kontras iodinasi harus dipertimbangkan. Penambahan volume cairan intravena dianggap sebagai persyaratan untuk pasien dengan eGFR kurang dari 60 mL/menit/ 1,73 m2 (Gambar 9.3). Penggunaan metformin harus dihentikan pada pasien diabetes dengan gangguan ginjal yang sudah ada sebelumnya karena toksisitas asam laktat yang disebabkan oleh akumulasi metformin akibat kontras menginduksi terjadinya penurunan fungsi ginjal yang sebelumnya sudah terganggu. Penggunaan metformin tersebut tetap tidak diberikan selama 48 jam post prosedur. Keputusan untuk melanjutkan penggunaan metformin harus didasarkan pada hasil tes serum kreatinin. Pemeriksaan tindak lanjut serum kreatinin harus dilakukan 48-96 jam setelah pemberian agen kontras (Goldfarb et al, 2009).
9.4 Persiapan Sebelum Dilaksanakan Angiogram Sebelum dilakukan angiogram ada beberapa persiapan yang harus dilakukan seperti penjelasan berikut ini. 1. Pasien harus terhidrasi dengan baik sebelum prosedur. Pasien rawat jalan tidak perlu berpuasa setelah melewati tengah malam, tapi disarankan untuk minum cairan bening sampai 2 jam sebelum prosedur yang dijadwalkan. Infus intravena dekstrosa 5% dalam 0,5% saline normal harus dimulai pada 100 mL / jam pada pasien normal. Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
133
Skrening untuk Faktor Risiko AKI Siapa?
Semua pasien > 40 tahun; pasien <40 tahun, jika mereka mempunyai faktor risiko Kapan? Rawat inap: dalam waktu 24 jam; rawat jalan mendahului 30 d (menyediakan yang tidak mengalami perubahan intervensi dalam status kesehatannya) Bagaimana? eGFR: yang berasal dari SCr yang menggunakan MDRD 4-variabel: atau CrCl: yang berasal dari SCr yang menggunakan formula Cockcroft-Gault.
Sangat berisiko tinggi eGFR<30 mL/min/1,73 m2
Berisiko eGFR≤60 mL/min/1,73 m2
Berisiko rendah eGFR>60 mL/min/1,73 m2
Pemeriksaan nefrologis sebelum prosedur Perhitungkan penggunaan CO2.
Ekspansi volume intravena: diperlukan cairan mengandung garam isotonik Protokol: ≥1 mL/kg/jam, 12 jam sebelum dan 12 sesudah prosedur atau 3 mL/kg/jam, 1 jam sebelum prosedur; dan 1 mL/kg/jam, 3-6 jam setelah prosedur.
Cairan bening, 2 jam sebelum prosedur Pertimbangkan ekspansi volume intravena
Pengobatan profilaksis Perhitungkan NAC 1200 mg 2 x sehari; sehari sebelum hari prosedur
Tidak direkomendasikan
Medium kontras Iso-osmolar (iodixanol)
Iso-osmolar atau osmolar rendah
Menggunakan obat nephrotoxic Hentikan NSAIDs 24 jam sebelum prosedur dan 24 jam setelah prosedur Hentikan metformin Follow up: SCr pada 48-96 jam, diorder oleh staf radiologi intervensional; ≥ 25 triger berhubungan dengan dokter utama, nefrologis, atau memesan dokter untuk follow up assessment AKI = cedera ginjal akut; CO2 = karbon dioksida; CrCl = kreatinin; eGFR = perkiraan laju filtrasi glomerulus; MDRD = modifikasi diet pada renal disease; NSAID = non-steroid anti-inflamasi. Sumber: Goldfarb et al, 2009
Gambar 9.3 Skema protokol penggunaan bahan kontras untuk radiologi intervensi. 134
Pencitraan pada Stroke
Tingkat cairan dan karakteristik harus disesuaikan pada penderita diabetes, pasien dialisis, dan pasien dengan gagal jantung kongestif. Pasien rawat inap harus dipasang infus intravena di tempat sebelum tiba di ruang angiografi (Kaufman, 2008). Menurut studi Kwon, aspirasi pulmonum tidak terjadi pada 2.554 pasien dengan angiografi serebral elektif. Insiden mual dan muntah yang berkaitan dengan angiografi serebral sangat rendah dan tidak dipengaruhi oleh diet atau puasa. Hasil penelitian tersebut berpendapat bahwa puasa bukan merupakan tahap persiapan yang penting untuk beberapa pasien yang akan menjalani angiografi serebral elektif (Kwon, et al. 2011). 2. Memasang foley catheter (hanya jika diperlukan tindakan intervensi) (Harrigan et al., 2013, Kaufman, 2008).
9.5 Peralatan untuk Pemeriksaan DSA Beberapa peralatan yang diperlukan untuk DSA antara lain seperti berikut ini.
9.5.1. Jarum Semua prosedur angiografi dimulai dengan akses jarum ke vaskular. Ada berbagai variasi jarum akses ke vaskular, tetapi semua dirancang untuk memungkinkan masuknya kawat pemandu melalui kanal tengahnya (Gambar 9.4) (Weber, 2001). Berdasarkan gambar di samping dapat kita lihat dari kiri ke kanan yaitu jarum 18-gauge Seldinger yang berongga bagian dalamnya, stylet tajam yang melampaui ujung tumpul jarum; stylet; jarum Seldinger dengan stylet yang dikeluarkan; jarum 18-gauge yang berongga dan ujungnya tajam (1 dinding); jarum 21-gauge “microaccess” (Kaufman, 2008). Sumber: Kaufman, 2008 Jarum yang paling sederhana Gambar 9.4 Jarum akses yang umum adalah jarum “one-piece” dengan digunakan untuk angiografi. ujungnya yang tajam dan miring. Kawat pemandu dimasukkan langsung melalui jarum setelah ujungnya berada dalam lumen pembuluh darah. Tipe jarum ini dapat digunakan untuk tusukan arteri dan vena. Jarum “two-piece” biasanya memiliki stilet tajam yang membuat kedap jarum dan meluas sedikit melampaui ujung jarum. Jarum ini memiliki ujung tumpul, tidak traumatik, dan miring ketika stilet dilepas. Dengan adanya stilet tajam tersebut memungkinkan jarum untuk menusuk Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
135
pembuluh darah, tetapi setelah stilet dikeluarkan maka risiko cedera vaskular tidak terjadi. Untuk semua jarum yang berstilet, stilet harus dikeluarkan terlebih dahulu untuk memasukkan kawat pemandu. Tusukan pada arteri biasanya harus menggunakan stilet. Ukuran yang paling umum untuk jarum akses vaskular yaitu yang berdiameter 19 atau 18 gauge dan panjangnya 2 1/4 sampai 5 inci (Kaufman, 2008).
9.5.2. Kawat pemandu (Guidewire) Kawat pemandu tersedia dalam berbagai ketebalan, panjang, wkonfigurasi ujung, kekakuan, dan bahan konstruksi (Gambar 9.5). Jika kita perhatikan gambar di samping maka terlihat dari kiri ke kanan yaitu straight 0.038inch; J-tipped 0.038-inch dengan introducer device (panah) untuk meluruskan kawat pemandu selama insersi ke dalam needle hub; angled Sumber: Kaufman, 2008 high-torque 0.035-inch; angled Gambar 9.5 Kawat pemandu hydrophilic coated 0.038-inch (guidewire). nitinol wire dengan pinvise (panah lengkung) untuk mengontrolnya; 0.018-inch platinum-tipped microwire (Kaufman, 2008). Secara umum, ketebalan kawat pemandu harus sama atau sedikit lebih kecil dari diameter lumen di ujung kateter atau perangkat yang akan melaluinya. Kawat pemandu yang terlalu besar akan macet, biasanya di ujung kateter. Namun, jika kawat pemandu yang jauh lebih kecil daripada lubang akhir kateter atau perangkat lain maka akan ada celah antara kawat pemandu dan kateter yang dapat menyebabkan cedera pembuluh atau mencegah gerakan halus melalui kawat pemandu tersebut. Komposisi dan ketebalan inti menentukan tingkat kekakuan kawat pemandu. Kawat pemandu yang sangat fleksibel penting untuk menegosiasikan pembuluh darah berliku-liku atau pada penyakit-penyakit vaskular. Kawat pemandu yang kaku berguna untuk memasukkan kateter dan perangkat lain. Ujung kawat pemandu yang melengkung memberikan ting kat keamanan tambahan pada penyakit-penyakit vaskular. Sebagai kawat pemandu yang bergerak maju, jika ada plak maka ujung yang melengkung akan memantul. Panjang kawat pemandu rata yang digunakan dalam angiografi adalah antara 145–160 cm. Kawat pemandu ekstra panjang tidak digunakan untuk kasus-kasus rutin karena jika terlalu panjang akan lebih rumit dan mudah terkontaminasi (Kaufman, 2008).
136
Pencitraan pada Stroke
9.5.3 Dilator Dilator pembuluh darah adalah kateter plastik pendek dengan ujung meruncing dan biasanya terbuat dari bahan yang lebih kaku daripada kateter angiografi diagnostik. Tujuan utama dilator adalah untuk melebarkan jaringan Sumber: Kaufman, 2008 lunak dan dinding pembuluh Gambar 9.6 Dilator pembuluh darah. darah untuk mempermudah masuknya kateter atau perangkat lain (Kaufman, 2008). Pada gambar di atas menunjukkan standar ujung lancip (panah) dan panjang ujung lancip (kepala panah) yang berguna ketika pelebaran bertahap diperlukan (Kaufman, 2008).
9.5.4 Kateter Kateter angiografi biasanya terbuat dari plastik (polyurethane, polyethylene, teflon, atau nilon). Mengenai bahan kateter yang tepat, konstruksi, pelapis, diameter dalam, diameter luar, panjang, bentuk ujung, pola lubang samping, hal itu ditentukan oleh tujuan penggunaannya (Gambar 9.7). Kateter yang digunakan untuk aortografi nonselektif yaitu yang berdinding tebal bertujuan untuk mengatasi injeksi dengan volume besar dan tekanan tinggi. Biasanya, ujung kateter menggulung mirip seperti ekor babi yang membuat ujung kateter jauh dari dinding pembuluh darah. Pada kateter juga terdapat beberapa lubang pada sisi proksimal dari ujung yang menggulung sehingga sebagian besar media kontras dapat keluar dari kateter. Sebaliknya, kateter selektif umumnya berdinding tipis dengan lubang tunggal pada ujungnya, tingkat injeksi lebih rendah dan diarahkan ke sebuah pembuluh darah kecil (Kaufman, 2008). Banyak kateter cocok untuk angiografi serebral. Ukuran luar kateter dijelaskan dalam gauge French (French 3 = 1 mm), sedangkan diameter lubang akhir (dan oleh karena itu ukuran maksimum dari kawat pemandu kateter yang akan mengakomodasi) digambarkan dalam per seratus inci. Sebagai aturan umum, penggunaan panjang kateter 100 cm yang memiliki ujung lengkung, tepat untuk pembuluh darah dengan lengkungan. Lengkungan sederhana (misalnya lengkung Berenstein) dapat disesuaikan untuk banyak situasi anatomi dan yang paling tepat untuk pasien muda dengan pembuluh darah yang lurus (Harrigan et al, 2013).
Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
137
Sumber: Harrigan, et al., 2013
Gambar 9.7 Kateter diagnostik yang direkomendasikan. Berdasarkan gambar di atas menunjukkan 5F angled taper, bagus untuk semua tujuan kateter diagnostik. 4 atau 5F vertebral bagus untuk semua tujuan kateter diagnostik, lebih kaku daripada angled taper, tetapi serupa dalam bentuknya. 4 atau 5F simmons 1 untuk angiografi spinal. 4 atau 5F simmons 2 atau 3 untuk arteri karotid kommunis kiri, bovine configuration; tortuous arkus aorta, pasien berusia >50 tahun. 4 atau 5F Newton utuk anatomi turtous, pasien berusia > 65 tahun. 5F CK-1 (aka HN-5) untuk arteri karotid kommunis kiri atau arteri vertebralis kanan. 5F H1 (aka Headhunter) untuk arteri subklavian kanan, arteri vertebralis kanan (Harrigan, et al., 2013).
9.5.5. Sheath (selubung) Sebagian besar intervensi vaskular serta prosedur diagnos tik menggunakan selubung akses vaskular. Perangkat ini memiliki berbagai ketebalan dengan konstruksi terbuka di salah satu ujungnya dan tertutup dengan katup hemostatik pada ujung yang lain (Gambar 9.8) (Kaufman, 2008) Perangkat ini memiliki sisi lengan jernih yang dapat dihubungkan ke “constant flush” (untuk mencegah pembentukan trombus di dalam selubungnya) atau ke monitor tekanan arteri. Tujuan adanya selubung ini yaitu untuk mempermudah beberapa kali pertukaran kateter melalui situs akses tunggal. Perangkat yang konturnya tidak teratur atau tidak meruncing dapat Sumber: Kaufman, 2008 dimasukkan melalui selubung Gambar 9.8 Typical hemostatic tanpa takut menyebabkan sheath. Ukuran French dari sheaths trauma pada akses pembuluh menunjukkan diameter dalamnya. darah. Dalam beberapa kasus, 138
Pencitraan pada Stroke
selubung yang panjang dapat meluruskan akses arteri yang berliku-liku (tortuous). Selubung tersedia dalam berbagai ukuran panjang, tergantung pada permintaan prosedur. Selubung pendek lebih sering digunakan selama prosedur diagnostik dan selubung panjang digunakan untuk intervensi. Trans-femoral angiography dapat dikerjakan dengan atau tanpa selubung (Kaufman, 2008).
9.6 Bahan Kontras Semua alat yang dijelaskan sebelumnya dimaksudkan untuk memfasilitasi pengiriman bahan kontras ke dalam sistem vaskular. Bahan kontras yang ideal memiliki sifat radioopasitas baik, bercampur baik dengan darah, mudah digunakan, murah, dan tidak membahayakan pasien (Kaufman, 2008). Agen kontras nonionik lebih aman dan jarang menyebabkan alergi daripada agen kontras ionik. Iohexol (Omnipaque ®, GE Healthcare, Princeton, NJ) merupakan agen kontras nonionik dengan osmolalitas rendah, harga relatif murah, dan mungkin agen kontras yang paling umum digunakan dalam angiografi serebral. 1. Diagnostik angiogram: Iohexol , 300 mg I/mL 2. Prosedur neurointervensi: Iohexol , 240 mg I/mL Pasien dengan fungsi renal normal dapat mentoleransi sebanyak 400–800 mL Iohexol, 300 mg I/mL tanpa menimbulkan efek samping (Harrigan et al., 2013).
9.7 Sedasi/Analgesik Beberapa jenis zat yang biasanya digunakan untuk sedasi atau analgesik yaitu: 1. Midazolam (Versed®) 1–2 mg IV untuk sedasi; berdurasi kurang lebih 2 jam. 2. Fentanyl (Sublimaze®) 25–50 mg IV untuk analgesik; berdurasi kurang lebih 20–30 menit. Penggunaan sedasi harus seminimal mungkin, jika penggunaan obat penenang berlebih membuat sulit untuk mendeteksi perubahan neurologis yang hampir tidak terlihat selama prosedur. Agitasi paradoks telah dilaporkan hingga 10,2% dari pasien, terutama pada pasien tua dan pasien dengan riwayat penyalahgunaan alkohol atau masalah psikologis Flumazenil (Romazicon ®) 0,2–0,3 mg IV dapat memulihkan efek ini (Harrigan et al., 2013).
Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
139
9.8 Navigasi Kateter
Sumber: Harrigan et al., 2013
Gambar 9.9 Pedang pendek Romawi.
Kateter diagnostik seharusnya masuk bersama dengan kawat hidrofilik. Kawat akan menjaga ujung kateter dari gesekan dengan dinding pembuluh darah dan menyebabkan diseksi. Ketika memasukkan kawat dan kateter menuju lengkung aorta dari arteri femoral, ujung kawat harus diikuti dengan visualisasi fluoroskopik langsung. Rakitan kateter/kawat tidak boleh dimasukkan dengan panjang < 8–10 cm dari ujungnya, karena panjang kawat yang masuk pendek dapat menjadi seperti sebuah tombak sehingga dapat menyebabkan cidera pada intima. Sebuah rakitan kateter/kawat dengan hanya beberapa cm mencuat dari kawat dapat menyerupai pedang pendek Romawi (Gambar 9.9) (Harrigan et al., 2013).
9.9 Flushing Ganda Flushing ganda terdiri atas aspirasi isi kateter dengan 10-mL jarum suntik saline heparin, diikuti oleh aspirasi parsial dan irigasi saline dengan jarum suntik. Manuver ini bertujuan untuk membersihkan gumpalan beku dan gelembung udara dari kateter dan harus dilakukan setiap kali kawat dikeluarkan dari kateter, sebelum injeksi kontras. Hal ini perlu diperhatikan karena untuk mencegah darah mengalami koagulasi dan berpotensi menjadi emboli. Sementara itu, gelembung udara dalam sistem sirkulasi juga dapat menyebabkan oklusi pembuluh darah kecil jika disuntikkan intravaskuler (Harrigan et al., 2013).
9.10 Hand Injection Sebuah alat suntik 10 ml yang berisi kontras harus terhubung pada kateter dan alat suntik harus dijentik-jentikkan dengan jari tengah beberapa kali untuk mengeluarkan gelembung yang terjebak. Alat suntik harus dipegang dalam posisi vertikal dengan pendorong diarahkan ke atas untuk memungkinkan gelembung naik dari kateter (Gambar 9.10) (Harrigan et al., 2013). 140
Pencitraan pada Stroke
Sumber: Harrigan, et al., 2013
Gambar 9.10 Cara memegang alat suntik. Perhatikan gambar di atas. Gambar (a) menunjukkan cara yang benar yaitu alat suntik dipegang dengan tangan ketika alat suntik tersebut tersambung dengan kateter. Posisi ini menempatkan pendorong dalam posisi tegak untuk memungkinkan gelembung udara naik dari kateter yang terhubung. Gambar (b) menunjukkan cara yang salah yaitu alat suntik dipegang dalam posisi horisontal sehingga gelembung udara dapat masuk (Harrigan et al., 2013). Untuk pembuluh darah yang lebih besar, seperti arteri karotid komunis, pendorong pada jarum suntik dapat ditekan dengan telapak tangan sehingga menghasilkan kekuatan yang cukup. Untuk pembuluh darah yang lebih kecil seperti arteri vertebralis, cukup menekan pendorong dengan menggunakan ibu jari . Angiografi dapat dilakukan dengan sekali suntikan cepat sebanyak 4–6 mL kontras (70%) yang dicampur dengan saline (30%). Pasien harus diinstruksikan untuk berhenti bernapas ("Jangan bergerak, jangan napas, jangan menelan”) selama beberapa detik selama angiogram, kemudian diperintahkan untuk mulai bernapas lagi (Harrigan et al., 2013).
9.11 Pencitraan Angiografi dan Standar Proyeksi Foto Untuk pencitraan angiografi dan standar proyeksi foto ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan yaitu sebagai berikut (Mauro, et al., 2014). 1. Biplane angiography adalah standar untuk angiografi serebral. Hal ini memungkinkan untuk mendapatkan gambar ortogonal yang secara bersamaan dengan injeksi kontras tunggal sehingga membatasi waktu dan jumlah kontras yang dibutuhkan untuk memvisualisasikan pembuluh darah otak secara adekuat. Monoplanar angiografi serebral dapat diterima hanya bila peralatan biplane tidak tersedia. Selain itu, penggunaan pencitraan monoplanar dibatasi oleh ketidakmampuan untuk melakukan kalibrasi optik otomatis dan menggambarkan pandangan ortogonal sekaligus. Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
141
2. Saat melihat gambar angiografi, kontras dan kecerahan gambar harus disesuaikan sehingga pembuluh darah menjadi semitransparan. Dengan demikian, dapat memungkinkan visualisasi aneurisma, cabang pembuluh darah, atau filling defect (misalnya trombus intraluminal) yang mungkin bisa tidak terlihat. 3. Fitur gambaran lainnya yang harus diperhatikan selama angiografi serebral antara lain: a. kontur dan ukuran pembuluh darah, b. pola aliran kontras, c. fase vena, dan d. anatomi tulang. "Standar" proyeksi postero-anterior (PA) arah sinar-X biasanya membentuk sudut 15–20° dalam arah kranial untuk membuat superimposisi atap orbita dan batas os petrosum. Hal ini telah menjadi proyeksi foto angiografi tradisional untuk injeksi karotid karena memberikan gambaran yang baik pada struktur arteri dan memungkinkan proyeksi standar tanpa memperhitungkan berapa sudut yang dibentuk kepala pasien terhadap meja. Proyeksi foto ini sering digunakan karena tidak memerlukan angulasi X-ray C-arm. Proyeksi caldwell biasanya dilakukan dengan sudut sinar-X sekitar 25° kraniokaudal dengan titik keluarnya nasion sehingga piramid os petrosus sejajar dengan sepertiga dasar orbita untuk memberikan gambaran struktur orbita dan supratentorium yang tidak terhalangi piramid os petrosus. Posisi towne dilakukan dengan sudut sinar-X sekitar 30–40° kranial yang menjajarkan piramid os petrosus di bawah batas superior dari orbita dan merupakan proyeksi PA standar untuk pencitraan fossa posterior, karena menggambarkan arteri serebral posterior dengan baik. Sementara itu, foto water’s sangat baik untuk menunjukkan panjang arteri basilar. Proyeksi sub-mentovertex sangat berguna untuk mengevaluasi bifurcatio arteri serebri media dan Acomm (Harrigan et al., 2013). Proyeksi Haughton digunakan untuk mengevaluasi arteri PCOM, arteri karotid siphon, arteri ophthalmic, serta arteri karotid internal parasellar dan supraklinoid (Mauro, et al., 2014). a
b
c
d
e
f
g
Sumber: Harrigan et al., 2013
Gambar 9.11 Proyeksi PA standar dan lateral. 142
Pencitraan pada Stroke
Berdasarkan Gambar 9.11, gambar (a) menunjukkan PA standar. Tulang-tulang petrosus segaris dengan margin atas orbita. Gambar (b) menunjukkan straight PA. Angulasi baik kranial maupun kaudal tidak dilakukan. Pada kasus ini, tulang petrosus berada di tepi bawah orbita. Gambar (c) menunjukkan caldwell. Gambar (d) menunjukkan towne. Foramen magnum dapat dilihat melalui calvaria. Gambar (e) menunjukkan water’s. Gambar (f) menunjukkan submentovertex. View dilihat dari bawah, angulasi kaudal sebanyak mungkin, vertex tengkorak harus dibingkai oleh mandibula. Gambar (g) menunjukkan proyeksi lateral. Pada pandangan lateral lurus, dasar fossa anterior kanan dan kiri tumpang tindih langsung (Harrigan et al., 2013). Proyeksi foto tertentu biasanya digunakan untuk mengoptimalkan tampilan struktur anatomi tertentu seperti yang tercantum dalam Tabel 9.1. Semua pandangan ini harus dilakukan dengan collimation sumber sinar-X yang baik di atas area tujuan untuk meminimalkan radiasi hamburan dan dengan detektor pencitraan sedekat mungkin dengan kepala untuk meminimalkan degradasi gambar dari geometris magnifikasi (Harrigan et al., 2013).
Tabel 9.1 Posisi angiografi untuk target struktur anatomi secara umum Target
Tampilan optimal
Carotid bifurcation
Standard PA Lateral Anterior intracranial Standard PA Lateral ICA cavernous segment Caldwell Lateral ICA ophthalmic segment Caldwell Lateral Posterior communicating Haughton artery aneurysms Transorbital Oblique ICA bifurcation Transorbital Oblique Middle cerebral artery Transorbital oblique aneurysms submentoverfex Middle cerebral artery Lateral with Haughton candelabra Water with oblique Vertebral artery origin Towne Posterior circulation Basilar artery
Water Lateral Water Lateral
Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
Tampilan tambahan/ komentar Ipsilateral
Haughton Transorbital oblique Lateral Sometimes submentoverfex
The vertebral artery arises from the posterior aspect of subclavian artery Ipsilateral oblique Ipsilateral oblique Water will "elongate" the basilar artery trunk
143
Target PCA, SCA, AICA, PICA
Tampilan optimal Towne Lateral
Basilar apex aneurysms
Tampilan tambahan/ komentar Towne elongates PCA. Ipsilateral oblique helps Caveat: Paired vessels overlap Ipsilateral oblique
Water Lateral ICA: internal carotid artery, PCA: posterior cerebral artey, SCA: superior cerebellar artery, AICA: anterior inferior cerebellar artery, PICA: posterior inferior cerebellar artery.
Sumber: Harrigan et al., 2013
9.12 Laju Frame Digital Subtraction Angiography Kebanyakan angiografi serebral dapat dilakukan dengan 3–5 fps (frames per second). Tingkat yang lebih tinggi (misalnya 8–20 fps) berguna untuk pencitraan malformasi arteriovenous dan lesi high flow lainnya. Biasanya, frame rate variable dapat digunakan untuk membatasi dosis radiasi, karena frame rate yang lebih tinggi (3/s) dibutuhkan dalam fase arteri, sedangkan tingkat yang lebih rendah (0,5–1/s) dapat digunakan dalam fase vena. Untuk standar arteriografi serebral, sekuens pencitraan 10–12 s memungkinkan untuk visualisasi arteri, kapiler, dan fase vena (Harrigan et al., 2013).
9.13 Prosedur Pemeriksaan DSA Pencitraan vaskular invasif dilaksanakan berdasarkan teknik yang diterapkan oleh Sven Seldinger pada tahun 1953. Inovasi bagus ini, sekarang dikenal dengan nama Seldinger. Hampir semua prosedur invasif pembuluh darah dan perangkat menggunakan teknik ini (Kaufman, 2008). Pada metode Seldinger dilakukan pertukaran kateter dan memasukkan preshaped wire dan kateter (Gambar 9.12) (Rubin, 2009). Jika beberapa gambar prekontras diambil sehingga dapat mencakup semua fase siklus jantung yang berbeda maka pemilihan penutup yang sesuai akan mengakibatkan hampir semua gambar yang penuh zat kontras akan disajikan bebas dari artefak. Teknik yang sama dapat digunakan pada individu-individu yang tidak mampu menahan napas untuk waktu yang lama. Pasien seperti ini harus diminta untuk bernapas normal selama pelaksanaan prosedur. Beberapa pengambilan gambar diperoleh sebelum injeksi media kontras sehingga penutup yang cocok untuk distraction yang tersedia untuk setiap fase respirasi. Teknik ini sangat cocok untuk angiografi viseral. Pengenalan IVDSA dianggap sebagai terobosan besar dan awalnya diprediksi akan menggantikan intra-arteri angiografi. Berdasarkan pengalaman telah membuktikan bahwa IVDSA sering menghasilkan 144
Pencitraan pada Stroke
gambar nondiagnostik karena gerakan pasien, rendahnya cardiac output dan pembuluh darah yang tumpang tindih. Teknik ini mungkin juga memerlukan volume media kontras sangat banyak yang nantinya tidak hanya membatasi jumlah film yang dapat diperiksa/diperoleh selama satu prosedur, tetapi juga membuat teknik ini tidak sesuai untuk pasien yang bila dilakukan pemberian zat kontras yang sangat banyak akan menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan sehingga indikasi penggunaan teknik ini sekarang terbatas (Adam et al, 2008). Setelah pasien disiapkan, pasien diberikan injeksi bolus zat kontras dengan menggunakan alat fast spoiled gradient-recalled sequence. Setelah itu, DSA dilakukan setiap 0,975 detik setelah dimulainya injeksi bolus zat kontras yaitu 15 mL gadolinium chelates (biasanya pada 8mL/detik, walaupun kecepatan yang lebih rendah digunakan bila sulit memasukkan jarum besar) untuk durasi hingga 40 detik terutama pada irisan sagital. Gambar terakhir sebelum kontras tiba (masking image, kebanyakan sekitar frame kesepuluh) dipilih di cinematic display dan dikurangi (subtracted) dari gambar selanjutnya. Pengurangan gambar (subtraction images) dibuat dengan software komersial yang tersedia. Sekitar 30 gambar yang dikurangi direkonstruksi kembali dalam 1 menit. Sekitar 20 dari 30 gambar yang dikurangi difilmkan untuk keperluan evaluasi (Adam et al., 2008).
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
Tahap 5
Tahap 6 Sumber: Higgs, 2005; Schummer, 2002; Seldinger 1953
Gambar 9.12 Teknik Seldinger. Pada teknik Seldinger terdapat tahap yang harus dilakukan secara berurutan seperti yang terlihat pada gambar di atas. Tahap 1: pembuluh Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
145
darah yang diinginkan ditusuk dengan jarum berongga yang tajam disebut trocar dan jika perlu denga panduan USG. Tahap 2: sebuah kawat pemandu berujung bulat kemudian dimasukkan melalui lumen trocar. Tahap 3: trocar ditarik. Tahap 4: sebuah "sarung" atau kanula tumpul sekarang dapat dilewatkan melalui kawat pemandu ke dalam pembuluh darah. Atau, tabung drainase yang melewati kawat pemandu (seperti pada drainase dada atau nephrostomi). Tahap 5: setelah melewati selubung atau tabung, kawat pemandu dapat ditarik. Tahap 6: teknik Seldinger selesai (Higgs, 2005; Schummer, 2002; Seldinger 1953).
9.13.1 Tusukan arteri femoralis Arteri femoralis merupakan akses lokasi yang paling umum untuk angiografi. Hal ini disebabkan karena arteri femoralis biasanya berada dekat kulit (bahkan pada orang yang gemuk), cukup besar untuk mengakomodasi alat angiografi standar, dan mudah untuk dilakukan kompresi karena di bawahnya terdapat caput femoralis. Untuk semua pendekatan akses arteri femoralis harus diakses melalui sepertiga tengah atau lebih rendah dari caput femoralis untuk memfasilitasi kompresi pada akhir prosedur. Sebuah instrumen logam tumpul dapat ditempatkan pada kulit pada titik akses kemudian difluroskopi untuk menentukan hubungannya dengan caput femoralis. Lokasi masuk pada kulit harus 1 sampai 2 cm lebih rendah dari lokasi masuk yang dimaksudkan ke dalam arteri agar dapat tetap membuat sudut 45 derajat dari jarum terhadap arteri selama tusukan (Harrigan et al., 2013; Kaufman, 2008). Berikut ini merupakan prosedurnya (Harrigan et al., 2013; Kaufman, 2008). 1. Mempersiapkan area lipatan paha. 2. Palpasi denyut nadi femoralis pada lipatan inguinal dan kemudian dilakukan anestesi lokal (lidokain 1–2%). Peringatan! Jangan menyuntikkan anestesi terlalu arah lateral. Penyuntikan langsung pada saraf dapat menyebabkan neuropati femoral yang berlangsung selama berjam-jam. 3. Membuat sayatan 5 mm sejajar dengan lipatan inguinal dengan pisau bedah 11-blade. Hal ini untuk memfasilitasi penyisipan kateter selama prosedur dan jalan keluar darah pada saat terjadi perdarahan postprosedural. 4. Jarum dipegang kuat pada hub-nya dengan satu tangan, sementara kulit difiksasi oleh ujung-ujung jari kedua dan ketiga tangan yang lain (salah satu di atas dan satu di bawah). Jarum maju perlahanlahan melalui kulit pada sudut 45 derajat sampai denyut arteri dapat dirasakan yang ditransmisi melalui jarum. Jika jarum masuk pada arteri maka aliran darah harus berdenyut dan pancarannya kuat dari jarum 18-gauge, tapi hanya bisa menetes pada jarum 21–gauge. 5. Upayakan tusukan pada satu dinding pembuluh darah terutama jika penggunaan heparin atau antiplatelet. Lakukan hal ini hingga darah 146
Pencitraan pada Stroke
pertama kali tampak pada stylet berongga pada jarum. Setelah itu, jarum dimasukkan hingga 1–2 mm. Kemudian stylet dimasukkan lebih dalam melampaui ujung jarum. 6. Membuat dua tusukan pada dua dinding pembuluh darah dengan menusukkan jarum melalui kedua dinding pembuluh darah, keluarkan stylet, dan dengan perlahan jarum ditarik hingga diperoleh darah yang berpulsatil. 7. Ketika darah arteri dengan tanda warna merah terang berdenyut didapatkan maka secara perlahan J-wire didorong masuk melalui jarum sepanjang 8–10 cm. 8. Mengganti jarum dengan sheath 5F dan difiksasi dengan jahitan. Femoral head
Common femoral artery
Sumber: Kaufman, 2008
Gambar 9.13 Teknik untuk melokalisasi denyut arteri femoralis.
9.13.2. Katerisasi arteri karotis Katerisasi arteri karotis dilakukan dengan cara seperti berikut ini. 1. Mendorong masuk kateter diagnostik melalui kawat hidrofilik pada arkus aorta ke posisi proksimal arteri innominate. 2. Menarik kembali kawat ke dalam kateter dan kateter ditarik kembali secara perlahan dengan ujung kateter menghadap superior sampai ke arteri innominate. Mendorong masuk kawat ke arah superior pada arteri karotis komunis kanan diikuti dengan kateter. 3. Untuk melakukan pada arteri karotis kiri, tarik kateter dengan lembut dan perlahan-lahan keluar dari arteri innominate dengan kawat di dalam kateter dan ujung menghadap ke kiri pasien sampai kateter "klik" ke dalam arteri karotis komunis kiri. Kemudian memajukan kawat ke superior yang diikuti dengan kateter. 4. Untuk pasien yang lebih tua (>50 tahun) dan dengan konfigurasi arkus bovine maka kateter Simmons II sangat membantu untuk mengakses arteri karotid komunis kiri. 5. Jika kateterisasi arteri karotis interna selektif direncanakan, pertama melakukan angiografi sistem karotis servikal untuk memeriksa stenosis arteri karotis interna pada setiap pasien yang memiliki risiko
Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
147
aterosklerosis. Kateterisasi arteri karotis internal harus dilakukan di bawah bimbingan road map. 6. Memutar kepala pasien menjauh dari karotid yang dikateterisasi memungkinkan kawat dan/atau kateter untuk masuk pembuluh darah lebih mudah. 7. Setelah karotid umum dikateterisasi, kepala diputar menjauhi sisi yang dikaterisasi dan akan memberikan fasilitas katerisasi dari karotis intena kemudian berpaling ke arah ipsilateral yang akan memberikan fasilitas untuk katerisasi karotis eksternal. 8. Ketika kawat atau kateter sulit maju ke dalam pembuluh darah tujuan maka pasien diminta untuk batuk. Hal ini sering kali sangat membantu (Harrigan et al., 2013; Kaufman, 2008).
9.13.3. Katerisasi arteri vertebralis Katerisasi arteri vertebralis dilakukan dengan cara seperti berikut ini. 1. Tempatkan kateter diagnostik melalui kawat hidrofilik masuk ke dalam arteri subklavia. Memberi kontras sedikit-sedikit secara intermiten akan dapat membantu identifikasi asal arteri vertebralis. 2. Membuat road map dan meneruskan kawat ke dalam arteri vertebralis sampai ujung kawat di sepertiga atas bagian servikal dari pembuluh darah. Menempatkan kawat relatif tinggi dalam arteri vertebralis sehingga akan mempermudah jalan majunya kateter yang pada akhinya akan membantu meluruskan kinking dalam arteri yang mungkin ada di dekat titik asalnya, dan juga akan memfasilitasi jalan yang lancar dari kateter melewati pintu masuk dari arteri ke foramen transversarium di C6. Foramen transversarium C6 merupakan tempat arteri vertebralis membuat transisi dari yang mengambang bebas menjadi terfiksasi dan merupakan wilayah berisiko untuk terjadinya diseksi iatrogenik jika kateter menggores dinding pembuluh darah. 3. Selain itu, arteri vertebralis membuat sudut ke lateral di C2. Jadi memerlukan kehati-hatian untuk tidak melukai pembuluh darah pada lokasi tersebut dengan kawat. 4. Setelah kawat dikeluarkan dan dilakukan pembilasan ganda kemudian dilakukan angiogram dengan ujung kateter. Hal ini untuk memeriksa ada tidaknya diseksi pembuluh darah selama kateterisasi. 5. Ketika pembuluh darah kinking maka pasien diminta untuk memiringkan kepalanya menjauhi arteri vertebralis yang dikaterisasi. (Harrigan et al., 2013; Kaufman, 2008).
9.13.4 Manajemen lokasi tusukan arteri femoralis Standar emas untuk manajemen arteriotomi setelah angiogram adalah kompresi manual. 1. Lepaskan sheath dan berikan tekanan pada daerah inguinal 1-2 cm lebih superior dari kulit incisi. 148
Pencitraan pada Stroke
2. Berikan tekanan sekitar 15 menit. Untuk pasien yang mendapat terapi aspirin dan/atau clopidogrel maka waktu yang dibutuhkan lebih lama, biasanya sekitar 40 menit. 3. Pada akhir periode waktu, tekanan pada daerah inguinal dilepaskan perlahan-lahan kemudian diberikan balutan yang memberi tekanan. 4. Chito-seal™ pada (Abbott Laboratories, Abbott Park, IL) dan Syvek ® NT Patch (Marine Polymer Technologies, Inc., Danvers, MA) merupakan agen hemostatik topikal yang dapat diterapkan untuk sayatan setelah pengangkatan selubung untuk mempercepat hemostasis. 5. Sebuah balon kompresi (FemoStop®plus Femoral Compression System, Radi Medical Systems, Wilmington, MA) dapat menekan lokasi, tapi balon harus dikempiskan setelah 1 jam untuk mencegah cidera tekanan pada kulit. 6. Setelah kompresi, pasien harus tetap pada posisi supine selama 5 jam, kemudian diperbolehkan ambulasi, tetapi tetap di bawah observasi keperawatan untuk 1 jam sebelum keluar dari rumah sakit. (Harrigan et al., 2013; Kaufman, 2008)
9.13.5. Vascular closure devices Kompresi manual merupakan "standar emas" dalam mencapai hemostasis dari lokasi arteriotomi. Namun demikian, kompresi manual dibatasi oleh lamanya proses antikoagulan sehingga perlunya tirah baring yang lebih lama, ketidaknyamanan pasien, dan tuntutan waktu bagi penyedia layanan kesehatan. Sementara itu, perangkat penutupan vaskular (VCD) dapat meningkatkan kenyamanan pasien dan memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk hemostasis, ambulasi, dan mempercepat waktu keluar dari rumah sakit (Schwartz et al., 2010). Selain itu, VCD sangat berguna terutama pada pasien yang juga mendapat terapi antiplatelet atau antikoagulan. Namun demikian, terdapat risiko yang lebih besar dari komplikasi dengan penggunaan VCD. Pada analisis secara keseluruhan lebih disukai kompresi mekanik daripada VCD dalam meta-analisis untuk menilai keamanan VCD pada pasien yang menjalani prosedur koroner perkutan (Harrigan et al., 2013). Komplikasi vaskular yang mungkin terjadi antara lain perdarahan daerah paha (hematoma, penurunan hemoglobin ≥3 g/dl, perdarahan retroperitoneal, atau perforasi arterial), pseudoaneurisma, arteriovenous fistula formation, obstruksi atau infeksi (Smilowitz et al., 2012). Beberapa vascular closure devices (VCD) untuk arteri femoralis antara lain sebagai berikut. 1. Perclose® Pro-glide™ (Abbott Vascular, Abbott Park, IL, Inc.). a. Metode penutupan: jahitan prolin yang ditempatkan di arteriotomi. Dilakukan pada angiogram arteri femoralis dimana lokasi tusukan harus minimal 1 cm dari cabang utama pembuluh darah, seperti bifurkasio arteri femoralis. Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
149
b. Keuntungannya: arteri yang sama dapat kembali ditusuk segera jika diperlukan. 2. Angio-Seal™ (St. Jude Medical, St. Paul, MN). a. Metode penutupan: perangkat ini akan membuat mechanical seal dengan mengapit arteriotomi antara jangkar bioabsorbable dan spons kolagen (larut dalam 60-90 hari). Dapat digunakan pada tempat percabangan arteri femoralis. b. Jika perlu dilakukan tusukan ulang dari arteri femoralis yang sama dalam waktu 90 hari maka lokasi masuk tusukan yang baru harus 1 cm proksimal ke lokasi tusukan sebelumnya. 3. Mynx™ Cadence (AccessClosure, Mountain View, CA). Perangkat ini menempatkan sebuah “sealant glycolic” pada lokasi arteriotomi tersebut. (Smilowitz et al., 2012).
9.13.6. Manajemen post angiografi Beberapa hal yang harus diperhatikan pada manajemen post angiografi antara lain sebagai berikut. 1. Tirah baring dengan kaki yang diluruskan, jarak kepala ≤ 30° dari tempat tidur selama kurang lebih 5 jam, kemudian turun dari tempat tidur selama 1 jam (jika device vasculur closer digunakan maka tirah baring dengan kepala berjarak ≤ 30° dari tempat tidur selama 1 jam kemudian turun dari tempat tidur selama 1 jam). 2. Evaluasi tanda-tanda vital setiba di ruang pemulihan kemudian setiap 1 jam sampai pasien keluar dari rumah sakit. Perlu penanganan lebih lanjut jika tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau penurunan 25 mmHg, dan nadi > 120. 3. Periksa lokasi tusukan dan denyut nadi distal saat tiba di ruang pemulihan kemudian cek ulang setiap 15 menit sebanyak 4x, setiap 30 menit sebanyak 2x, dan setiap 1 jam sampai pasien keluar dari rumah sakit. Perlu penanganan lebih lanjut jika: a. perdarahan atau hematoma pada lokasi tusukan b. denyut nadi distal tidak teraba c. ekstremitas dingin atau berwarna biru 4. Periksa lokasi tusukan setelah ambulasi. 5. Cairan intravena: normal saline (0,9% NaCl) pada tingkat pemeliharaan sampai pasien rawat jalan. 6. Lanjutkan diet pra-angiogram. 7. Melanjutkan obat rutin. 8. Cairan per oral 400 mL. (Harrigan et al., 2013; Kaufman, 2008)
9.13.7. Pertimbangan angiografi pada kondisi tertentu Beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk angiografi antara lain sebagai berikut. 150
Pencitraan pada Stroke
1. Pasien yang menerima terapi heparin: pemberian heparin harus dihentikan 6 jam sebelum angiogram. Jika kondisi urgent maka angiogram masih dapat dillakukan pada pasien yang mendapat terapi atau koagulopati dengan risiko minimal. Tusukan awal harus dilakukan dengan satu set mikropunktur untuk meminimalkan potensi perdarahan. 2. Warfarin Warfarin adalah obat antikoagulan yang digunakan untuk mencegah terjadinya penggumpalan darah atau trombosis. Trombosis adalah suatu keadaan terjadinya penggumpalan darah yang tidak normal di dalam pembuluh darah sehingga mengganggu sirkulasi darah di dalam tubuh manusia. 3. Pasien yang mengkonsumsi metformin. Metformin terkait dengan laktat asidosis namun jarang terjadi, tetapi telah dilaporkan memiliki tingkat kematian sebesar 50%. Penggunaan metformin boleh dilanjutkan 48 jam setelah prosedur dan setelah hasil serum kreatinin tidak berubah. Prosedur angiogram ini dapat dilakukan bahkan jika pasien telah mengkonsumsi metformin sebelumnya pada hari yang sama dengan dilakukannya prosedur angiogram. Meskipun penggunaan metformin tampaknya dikaitkan dengan asidosis laktat, sebuah artikel sistematis telah mempertanyakan apakah ada hubungan sebab akibat atau tidak. 4. Trombositopenia. Jumlah platelet minimal untuk angiografi adalah 75,000/mL. 5. Pasien diabetes. Pasien dengan terapi insulin: mengurangi dosis insulin menjadi setengah dari dosis biasanya pada pagi hari saat dilakukan angiografi ketika pasien berpuasa. Lakukan prosedur seawal mungkin di hari tersebut dan kemudian diet seperti biasa dan insulin harus dilanjutkan. 6. Pasien hamil: kadang-kadang angiogram kateter sangat diperlukan misalnya dalam kasus trauma kepala dan leher dengan kemungkinan cidera vaskular, epistaksis spontan, dan AVM intrakranial. Angiografi serebral dapat dilakukan dengan aman selama kehamilan. a. Informed consent dari pasien atau walinya harus mencakup risiko secara teoritis terhadap cidera pada janin. b. Perlindungan terhadap uterus dengan apron timbal, dosis maksimal kepada janin kurang dari 0,1 rem selama angiografi serebral. Secara umum, malformasi janin hanya terjadi jika dosis ambang di atas 100–200 mGy (~ 10–20 rem). c. Agen kontras iodin secara fisiologis tidak bereaksi dan menimbulkan sedikit risiko bagi janin. d. Memberikan hidrasi yang cukup untuk menghindari dehidrasi janin. e. Fluoroskopi: minimalkan waktu dan pulsa/s selama prosedur.
Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
151
f. Pasien anak-anak: menggunakan modalitas pencitraan noninvasif bila memungkinkan. Meskipun komplikasi neurologis jarang terjadi, anak-anak memiliki tingkat komplikasi akses femoralis lebih tinggi daripada orang dewasa. Dalam serangkaian 176 angiogram serebral anak, tidak ada komplikasi neurologis terjadi tetapi komplikasi lokasi tusukan (pangkal paha hematoma, perdarahan, atau denyut nadi distal lemah) terjadi pada 4,5%.
9.14 Komplikasi Pemeriksaan DSA Sementara angka komplikasi yang timbul sangat bervariasi, namun dari rangkuman beberapa jurnal yang terbit pada tahun 2000–2010, angka komplikasi keseluruhan berkisar antara 0,05%–4,5% dimana 85%–90% dari angka tersebut bersifat reversibel. Komplikasi yang paling parah (selain kematian) adalah terjadinya stroke (iskemia/perdarahan), trans ischemic attack, gangguan orientasi, lalu disusul hematoma, luka pada bidang tindakan yang tidak kunjung sembuh, dan nyeri pada lokasi bekas tindakan (Usman, 2012).
9.14.1 Komplikasi neurologis Komplikasi neurologis pada angiografi serebral yang paling sering terjadi antara lain kejadian iskemia otak yang terjadi sebagai akibat dari tromboemboli atau emboli udara dari kateter dan kawat. Penyebab lainnya adalah gangguan plak aterosklerotik dan diseksi pembuluh darah. Komplikasi neurologis yang jarang meliputi kebutaan kortikal sementara dan amnesia. Dalam analisis prospektif dari 2.899 angiogram serebral diagnostik, Willinsky dan rekan melaporkan tingkat keseluruhan komplikasi neurologis sekitar 1,3%. Dari jumlah tersebut 0,9% adalah sementara atau reversibel dan 0,5% permanen. The Asymptomatic Carotid Atherosclerosis Study (ACAS) melaporkan tingkat komplikasi neurologis sekitar 1,2% dengan angiografi. Risiko komplikasi tampaknya berhubungan dengan proses penyakit yang mendasarinya. Pasien dengan penyakit aterosklerosis karotis memiliki risiko komplikasi neurologis dengan angiografi serebral yang lebih tinggi. Faktor risiko lain untuk komplikasi neurologis termasuk kejadian iskemia otak, usia lanjut, waktu prosedur angiografi yang lama, dan diagnosis hipertensi, diabetes atau gagal ginjal (Harrigan, et al., 2013). Risiko komplikasi neurologis pada pasien dengan perdarahan subarachnoid, aneurisma intrakranial, dan malformasi arteriovenosa ditemukan relatif rendah dalam meta-analisis studi prospektif angiografi. Untuk pasien ini, tingkat keseluruhan komplikasi neurologis adalah sebesar 0,8%, dan tingkat komplikasi neurologis permanen adalah 0,07%. The Joint Standards of Practice Task Force of the Society of Interventional Radiology, the American Society of Interventional and 152
Pencitraan pada Stroke
Therapeutic Neuroradiology dan the American Society of Neuroradiology memberi ulasan mengenai komplikasi yang dilaporkan dalam seri klinis dan menghasilkan pedoman untuk tingkat kemungkinan komplikasi dalam neuroangiografi (Tabel 9.2). Angka-angka dalam pedoman ini dapat dikutip untuk kepentingan informed consent pasien (Harrigan et al, 2013).
Tabel 9.2 Tingkat kemungkinan komplikasi dalam neuroangiografi Komplikasi yang diperkirakan-ambang batas spesifik (%) Komplikasi neurologis
Defisit neurologis reversibel Defisitneurologis permanen
Komplikasi nonneurologis
2.5 1
Gagal ginjal
0.2
Oklusi arteri yang membutuhkan bedah trombektomi atau trombolisis
0.2
Fistula arteriovenosus/ pseudoaneurisma
0.2
Hematoma yang memerlukan transfusi atau evakuasi bedah
0.5
Semua komplikasi utama
2 Sumber: Harrigan et al., 2013
9.14.2 Komplikasi non-neurologis Komplikasi non-neurologis angiografi serebral melalui arteri femoral meliputi hematoma pangkal paha dan retroperitoneal, reaksi alergi, pseudoaneurisma arteri femoral, tromboemboli dari ekstremitas bawah, nefropati, dan emboli paru. Dalam review 2.899 angiografi serebral, hematoma terjadi pada 0,4% dari prosedur, reaksi alergi kutaneus terjadi pada 0,1%, dan pseudoaneurisma sekitar 0,03% dari prosedur (Harrigan et al., 2013).
9.15 Gambar Hasil DSA Gambar yang diperoleh secara digital dapat ditampilkan sebagai gambar asli atau dikurangi (subtracted) dan gambar positif atau negatif (tulang tampak hitam, udara tampak putih, atau tulang tampak putih dan udara tampak hitam). Dengan subtraksi digital, intensitas tiap pixel dan pada tiap frame pertama kali dirubah menjadi bentuk logaritmik dan kemudian disubtraksi dari gambar yang disamarkan secara digital Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
153
kemudian menghasilkan perbedaan gambar. Jika pasien diam dan tidak ada yang disuntikkan, tidak ada perbedaan gambar (blank). Dengan mengosongkan latar belakang, DSA mencapai sensitivitas yang lebih besar daripada gambar asli. Kontras yang disuntikkan dapat dilihat sebagai gambaran hitam dengan latar belakang putih kosong, atau sebaliknya (Gambar 9.14). Teknik subtraksi, sering bermasalah dengan adanya sejumlah artefak. Mungkin yang paling sering ditemui adalah artefak gerak. Gerakan latar belakang yang seragam tidak menyebabkan artefak, tetapi latar belakang dari tubuh manusia jelas tidak mungkin seragam (Rubin, 2009).
A
B
C
D Sumber: Rubin, 2009
Gambar 9.14 Kateter angiogram yang diperoleh secara digital. Gambar yang sama dapat ditampilkan sebagai: gambar asli dengan gambar objek warna hitam dengan latar belakang putih kosong (A); gambar negatif terbalik (inverted negative image) (B); digitally 154
Pencitraan pada Stroke
subtracted (C); atau gambar yang disubtraksi dan dibalik (subtracted and inverted) (D) (Rubin, 2009). Pada pemeriksaan DSA, perhatian khusus harus diberikan pada penghapusan artefak gerakan. Gerakan pernapasan perlu dikontrol (penggunaan klip-hidung dapat membantu) dan dalam kasus pemeriksaan perut dan panggul, efek buang air besar dapat diminimalkan dengan penggunaan agen paralitik. Akuisisi palsu yang banyak merupakan teknik sederhana dan sering kali terabaikan untuk mencegah efek dari gerakan yang tak bisa dihentikan seperti artefak di paru yang dihasilkan oleh arteriogram gerak jantung (Adam et al., 2008).
Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
155
Tampak samping
Tampak depan
1 Internal carotid artery – Cervical segment 2 Internal carotid artery – Vertical petrous segment 3 Internal carotid artery – Horizontal petrous segment 4 Presellar (Fischer C5) segment internal carotid artery 6 Horizontal (Fischer C4) intracavernous internal carotid artery 9 Ophithalmic artery 10 & 11 Proximal and distal supradinoid segmet internal carotid artery 12 Posterior communicating artery 13 Anterior choroidal arteries 14 Internal carotid artery bifurcation 15A1 Segment of anterior cerebral artery 17 Recurrent artery of Heubner 20 Proximal A2 segment anterior cerebral artery 21 Callosomarginal branch of anterior cerebral artery 28 Pericallosal branch of anterior cerebral artery 31 M1 segment of middle cerebral artery 32 Lateral lenticulostriate arteries 33 Bifurcation/trifurcation of middle cerebral artery 35 Orbitofrontal branch of middle cerebral artery 43 Sylvian point 44 Opercular branches of middle-cerebral artery 45 Sylvian (insular) branches of middle cerebral artery 1 Vertebral artery 2 Posterior inferior cerebellar artery 2v Vermian branch of PICA 2h Hemispheric branch of PICA 3 Basilar artery 4 Anterior inferior cerebellar artery (AICA) 5 Superior cerebellar artery (SCA) 5h Hemispheric branch of SCA 6 Posterior cerebral artery (SCA) 6.2 P2 Segment of posterior cerebral artery 7 Posterior communicating artery 8 Posterior temporal branch of PCA 9 Parieto-occipital branch of PCA 10 Calcarine branch of PCA 11 Anterior thalamoperforators 12 Posterior thalamoperforators 13m Medial posterior choroidal arteries 13L Lateral posterior choroidal arteries 14 Vertebral-basilar junction 15 Splenial branch (posterior pericallosal artery) of PCA 17 Anterior spinal artery ** Region of quadrigeminal plate cistern Sumber: Rubin, 2009
Gambar 9.15 Gambaran normal otak angiogram DSA.
Rangkuman 1. Seiring dengan perkembangan teknologi dalam perangkat keras, perangkat lunak, dan teknologi analisa gambar maka computed tomography angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA), dan digital subtraction angiography (DSA) sekarang telah menjadi garda depan pencitraan pembuluh darah. 2. Serebral DSA yaitu modifikasi cerebral angiografi yang merupakan suatu upaya diagnostik dengan cara menginjeksikan kontras ke arah pembuluh darah menuju otak yang akan diperiksa melalui kateter. 156
Pencitraan pada Stroke
3. Hasil pemeriksaan serebral DSA ini sangat komprehensif dalam memberikan informasi tentang vaskularisasi otak dan tetap menjadi standar emas untuk mengevaluasi kelainan pembuluh darah otak, terutama stenosis arteri, malformasi arteriovenosa (AVM) dan aneurisma otak. 4. Terdapat beberapa indikasi dan kontraindikasi dalam pemeriksaan dengan DSA. Indikasinya antara lain diagnosis penyakit neurovaskular primer, membantu mencari etiologi penyebab perdarahan, merencanakan prosedur neurointervensi, dan lainnya. Tidak ada kontraindikasi absolut untuk diagnostik angiografi kateterisasi serebral. 5. Beberapa evaluasi preprosedur untuk pemeriksaan DSA yaitu pasien harus ditanya tentang gejala dan tanda-tandanya sehingga diperoleh indikasi untuk pemeriksaan ini, pemeriksaan neurologis singkat harus dilakukan untuk mendapatkan data dasar mengenai perubahan neurologis terjadi selama atau setelah prosedur, pemeriksaan darah yang meliputi kadar serum kreatinin dan parameter koagulasi harus ditinjau.
Bab 9 – Mengenal Digital Substraction Angiography
157
158
Pencitraan pada Stroke
Bab 10 Mengenal Computed Tomographic Angiography
C
omputed Tomographic Angiography (CTA) merupakan salah satu terobosan dalam bidang radiologi diagnostik.
10.1 Apakah CTA itu? CTA dikembangkan sete lah munculnya CT scan spiral (heliks) yang pertama kali ditemukan di awal tahun 1990-an. CT scan spiral memungkinkan melakukan pencitraan tubuh dalam waktu yang cepat sehingga dapat menangkap zat kontras yang disuntikkan dalam sekali waktu pencitraan. Sejak dikenal kannya tekno logi multidetector-row, CTA menjadi teknik standar yang mudah dilakukan dalam pencitraan pembuluh darah.
159
Sumber: Dokumen pribadi
Gambar 10.1 Pesawat CT scan yang digunakan untuk pemeriksaan CTA. Computerized tomographic angiography disebut juga CT angiografi atau CTA adalah sebuah tes yang menggabungkan antara teknologi dari CT scan konvensional dengan angiografi tradisional untuk menghasilkan gambar pembuluh darah dalam tubuh secara detail (Gambar 10.1) (Vascular Web, 2009).
10.2 Inilah Komponen CTA - -
Angiografi dilakukan dengan menggunakan: Sinar-X dengan kateter Computed tomography (CT) (Radiology Info, 2015)
CT angiografi menggunakan CT scanner untuk menghasilkan gambar detail baik untuk pembuluh darah dan berbagai jaringan di bagian tubuh. Bahan kontras kaya yodium (pewarna) biasanya disuntikkan melalui kateter kecil dan ditempatkan di vena lengan. Setelah itu, dilakukan CT scan, sementara kontras mengalir melalui pembuluh darah ke berbagai organ tubuh. Setelah scanning, gambar akan diproses menggunakan komputer dan perangkat lunak khusus dan direview pada berbagai bidang dan proyeksi (Radiology Info, 2015). CT scanner biasanya berbentuk kotak atau bulat besar dengan lubang atau lorong pendek di tengah. Pasien akan berbaring di meja pemeriksaan sempit yang bisa digeser ke dalam dan keluar dari lorong. Tabung sinar-X akan mengelilingi pasien dan elektronik detektor sinar-X terletak berseberangan satu sama lain dalam sebuah cincin yang disebut gantry. Komputer yang memproses informasi pencitraan terletak di ruang 160
Pencitraan pada Stroke
kontrol terpisah, di mana seorang teknisi mengoperasikan pemindai dan memonitor pemeriksaan pasien (Radiology Info, 2015).
Sumber: AndyC, 2010
1. Lorong (lubang) gantri 2. Mikrofon 3. Garis arah sinar laser sagital 4. Lampu panduan pasien 5. Indikator lampu pencahayaan sinar-X 6. Tombol darurat stop 7. Kontrol panel gantri 8. Garis arah lampu laser eksternal 9. Meja pasien 10. Monitor ECG gating
Gambar 10.2 Bagian-bagian mesin CT scan.
10.3 Apakah Kegunaan CTA? Selama bertahun-tahun, CTA bersama dengan MRA menggantikan hampir pada semua prosedur diagnostik pembuluh darah dari yang sebelumnya yaitu kateter angiografi invasif. Pertama kali, CTA digunakan untuk pencitraan aorta dan arteri pulmonalis, kemudian arteri karotis, arteri renalis, dan arteri splanknik. Saat ini, penggunaan CTA sudah mulai digunakan pada arteri perifer dan sirkulus Willisi. Perkembangan terkini, CTA sedang dikembangkan untuk pencitraan arteri koroner (Rubin et al., 2009).
Sumber: Rubin et al., 2009
Gambar 10.3 Gambaran normal arteri otak dengan CTA
Bab 10 – Mengenal Computed Tomographic Angiography
161
Dokter menggunakan CTA untuk mendiagnosis dan mengevaluasi banyak penyakit pembuluh darah dan kondisi terkait seperti cedera, aneurisma, penyumbatan (termasuk dari bekuan darah atau plak), pembuluh darah yang tidak teratur dan pasokan darah ke tumor bawaan (terkait kelahiran), kelainan jantung, pembuluh darah atau berbagai bagian tubuh yang mungkin dipasok oleh pembuluh darah abnormal (Radiology Info, 2015). Selain itu, dokter juga menggunakan CTA untuk berbagai keperluan seperti: - Untuk memeriksa pembuluh darah setelah operasi - Untuk mengidentifikasi kelainan seperti aneurisma, di aorta, baik di dada dan perut, atau di arteri lain, - untuk mendeteksi aterosklerosis (plak) penyakit arteri karotis leher yang dapat membatasi aliran darah ke otak dan menyebabkan stroke. - Untuk mengidentifikasi aneurisma kecil atau malformasi arteri (hubungan abnormal antara pembuluh darah) di dalam otak atau bagian lain dari tubuh. - mendeteksi penyakit aterosklerosis yang telah mempersempit arteri ke kaki dan membantu mempersiapkan untuk intervensi endovaskular atau operasi. (Radiology Info, 2015).
10.4 Prinsip Kerja Mesin CTA Dalam banyak hal, prinsip kerja CT scan` sangat mirip dengan pemeriksaan sinar-X lainnya. Sinar-X adalah bentuk radiasi seperti cahaya atau gelombang radio yang dapat diarahkan pada tubuh. Bagian tubuh yang berbeda menyerap sinar-X dalam derajat yang berbeda. Dalam pemeriksaan sinar-X konvensional, sejumlah kecil radiasi diarahkan dan melewati tubuh, merekam gambar pada piringan perekam gambar khusus. Tulang tampak putih pada sinar-X, jaringan lunak, seperti organorgan seperti jantung atau hati, muncul dalam warna abu-abu dan udara tampak hitam (Radiology Info, 2015).
Sumber: Tasfir, Abel. 2012
Gambar 10.4 Bagan prinsip kerja CT scanner. 162
Pencitraan pada Stroke
Dengan menggunakan tabung sinar-X sebagai sumber radiasi yang berkas sinarnya dibatasi oleh kollimator, sinar-X menembus tubuh dan diarahkan ke detektor. Intensitas sinar-X yang diterima oleh detektor akan berubah sesuai dengan kepadatan tubuh sebagai objek. Sementara itu, detektor akan merubah berkas sinar-X yang diterima menjadi arus listrik, dan kemudian diubah oleh integrator menjadi tegangan listrik analog. Tabung sinar-X tersebut diputar dan sinarnya diproyeksikan dalam berbagai posisi. Besar tegangan listrik yang diterima diubah menjadi besaran digital oleh analog ke digital converter (A/D converter) yang kemudian dicatat oleh komputer. Selanjutnya diolah dengan menggunakan image processor dan akhirnya dibentuk gambar yang ditampilkan ke layar monitor TV. Gambar yang dihasilkan dapat dibuat ke dalam film dengan multi imager atau laser imager (Tasfir, Abel. 2012). Sebuah sinar sempit (narrow beam) yang dihasilkan oleh sinar-X didadapatkan dari perubahan posisi dari tabung sinar-X, hal ini juga dipengaruhi oleh collimator dan detektor. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :
Tabung Sinar-X
Collimator
Filter Objek Collimator
Collimator Sumber: Tasfir, Abel. 2012
Gambar 10.5 Collimator dan detektor. Sinar-X yang telah dideteksi oleh detektor kemudian dikonversi menjadi arus listrik yang kemudian ditransmisikan ke komputer dalam bentuk sinyal melaui proses berikut: Preamp
Logger
Logger
Detektor
A/D convertor CPU
Konversi dari intensitas yang diterima melalui sinar-X menjadi energi foto.
Energi foto -> arus listrik Sumber: Tasfir, Abel. 2012
Gambar 10.6 Proses pembentukan citra. Bab 10 – Mengenal Computed Tomographic Angiography
163
Setelah diperoleh arus listrik dan sinyal aslinya, maka sinyal tadi dikonversi ke bentuk digital menggunakan A/D convertor agar sinyal digital ini dapat diolah oleh komputer sehingga membentuk citra yang sebenarnya. Hasilnya dapat dilihat langsung pada monitor komputer ataupun dicetak ke film (Tasfir, Abel. 2012). Dengan CT scan, sorotan sinar-X dan satu set detektor elektronik sinar-X berputar di sekitar pasien, mengukur jumlah radiasi yang diserap oleh seluruh tubuh pasien. Pada saat yang sama, meja pemeriksaan bergerak melalui scanner sehingga sorotan sinar-X mengikuti garis edar spiral. Sebuah program komputer khusus memproses volume data yang besar untuk dibuat gambar penampang (irisan) dua dimensi dari tubuh pasien yang kemudian ditampilkan pada monitor. Teknik ini disebut heliks atau spiral CT (Radiology Info, 2015). Ketika irisan gambar dipasang kembali oleh perangkat lunak komputer, hasilnya adalah pandangan tiga dimensi interior tubuh yang sangat detail. Ketika bahan kontras dimasukkan ke aliran darah selama prosedur, bahan kontras tersebut membuat pembuluh darah terlihat jelas. Pada pemeriksaan tersebut pembuluh darah tampak putih cerah (Radiology Info, 2015).
10.5 Persiapan Sebelum Pemeriksaan CTA Pasien harus mengenakan pakaian nyaman dan pakaian longgar untuk pemeriksaan. Biasanya, rumah sakit akan memberikan baju khusus untuk dikenakan selama prosedur. Benda logam, termasuk perhiasan, kacamata, gigi palsu dan jepit rambut, dapat mempengaruhi gambar CT dan harus ditanggalkan atau dilepas sebelum pemeriksaan. Pasien juga diminta untuk melepas alat bantu dengar dan benda-benda yang berhubungan dengan perawatan gigi. Untuk pasien wanita akan diminta untuk melepas bra yang mengandung logam. Selain itu, pasien juga diminta untuk melepaskan setiap tindikan jika memungkinkan (Radiology Info, 2015). Pasien akan diminta untuk tidak makan atau minum apa pun selama beberapa jam sebelumnya karena akan digunakan bahan kontras untuk pemeriksaan. Pasien harus memberi tahu dokter tentang semua jenis obat yang sedang dikonsumsi dan pasien perlu menceritakan apakah ia alergi atau tidak. Jika pasien diketahui memiliki alergi terhadap bahan kontras atau "pewarna," dokter mungkin meresepkan obat (biasanya steroid) untuk mengurangi risiko reaksi alergi. Obat-obatan ini umumnya perlu diminum 12 jam sebelum pemberian bahan kontras (Radiology Info, 2015). Untuk menghindari penundaan yang tidak perlu, pasien sebaiknya menghubungi dokter sebelum waktu pemeriksaan. Selain itu, pasien juga perlu menginformasikan adanya penyakit baru atau kondisi medis lainnya dan apakah memiliki riwayat penyakit jantung, asma, diabetes, penyakit
164
Pencitraan pada Stroke
ginjal atau masalah tiroid. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko efek buruk yang tidak biasa (Radiology Info, 2015). Wanita harus selalu menginformasikan kepada dokter mereka dan teknisi CT jika ada kemungkinan hamil. Jika pasien sedang menyusui pada saat pemeriksaan, maka ia harus bertanya kepada dokter bagaimana untuk melanjutkan. Hal ini dapat membantu untuk memompa ASI sebelum waktu pemeriksaan dan tetap aman digunakan setelah bahan kontras telah dibersihkan dari tubuh pasien yaitu sekitar 24 jam setelah pemeriksaan (Radiology Info, 2015).
10.6 Prosedur Pemeriksaan CTA Persiapan pasien yang matang merupakan prasyarat pemeriksaan CTA pembuluh darah otak. Pada pasien yang dalam keadaan bingung, irritable, atau tidak kooperatif harus dilakukan imobilisasi kepala dengan isolasi atau pemberian sedatif kerja singkat untuk mengurangi artefak akibat gerakan kepala (Rubin et al., 2009). Untuk mendapatkan opasifitas vaskular yang homogen harus menggunakan power injektor dengan kecepatan injeksi 3 sampai 5 mL per detik. Untuk semua pemeriksaan neurovaskular, material kontras sebanyak 80–100 mL biasanya sudah adekuat. Dengan Multidetector CT (MDCT), dosis dapat dikurangi khususnya pada pemeriksaan volume anatomi kecil (misalnya pada pemeriksaan sirkulus Willisi) yang dicitrakan dengan kecepatan akuisisi yang tinggi ( misal ≥ 16 irisan CT). Untuk meyakinkan bahwa material kontras didorong melalui sistem vena melewati akhir injeksi kontras sebenarnya, bolus cairan salin (misalnya 40mL, kecepatan injeksi 3–5 mL per detik, sama seperti yang digunakan pada media kontras) harus diinjeksikan segera setelah pemberian kontras (Rubin et al., 2009). Pencitraan hanya boleh dilakukan pada saat fase plateau enhancement pembuluh darah. Oleh karena besar variasi waktu sirkulasi setiap pasien dapat diketahui maka sinkronisasi pencitraan yang dimulai dengan datangnya zat kontras dalam arteri otak harus direncanakan secara per individual. Sinkronisasi penting untuk meyakinkan zat kontras berfungsi maksimal di dalam pembuluh darah bila CT irisan tunggal digunakan. Akan tetapi menjadi lebih penting lagi bila MDCT digunakan untuk menginginkan pencitraan arteri dengan sedikit atau tidak ada tumpang tindih vena dan memberikan waktu transit arteri vena di dalam otak sekitar 6-8 detik (Rubin et al., 2009). Untuk tujuan sinkronisasi, terdapat dua metode. Pertama, injeksi tes bolus yaitu dengan cara memasukkan zat kontras dalam jumlah sedikit (15–20mL). Setelah ditunggu sekitar 10 detik, pencitraan dosis rendah yaitu CT scan pada tingkat midservikal atau pada tingkat sinus frontalis (misalnya 15 irisan pada kecepatan satu gambar per detik) dilakukan untuk menentukan datangnya waktu tes bolus. Berdasar pada waktu Bab 10 – Mengenal Computed Tomographic Angiography
165
kedatangan tes bolus, pemeriksaan CTA dapat direncanakan secara adekuat dan berdasar atas fisiologi masing masing individu. Oleh karena itu, dengan tes bolus, diperlukan dua injeksi terpisah, salah satunya untuk penilaian waktu kedatangan yang diikuti oleh pencitraan diagnostik dengan zat kontras dosis penuh (Rubin et al., 2009). Untuk pencitraan sistem vena, tidak diperlukan penyesuaian timing individual. Biasanya, pencitraan dimulai 30 detik setelah zat kontras dimasukkan, dimana opasifitas yang baik dapat mencapai vena otak dan sinus. Pencakupan volume yang diperiksa tergantung pada permintaan klinis. Untuk pencitraan arteri serebral, protokol standar meliputi arkus anterior tulang C1 sampai atas sinus frontalis. Tergantung pada permintaan klinisnya, pencitraan sampai potongan sentral (misalnya untuk pencitraan stenosis arteri serebri media) atau bahkan dapat meluas meliputi pembuluh darah servikal. Sementara itu, untuk pencitraan vena, seluruh kepala diperiksa. Protokol untuk melakukan pemeriksaan CTA tergantung pada detail alat yang akan digunakan (Rubin et al., 2009).
10.7 Indikasi dan Kontraindikasi Pemeriksaan CTA Berikut ini akan dijelaskan bagaimana indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan CTA.
10.7.1 Indikasi Pemeriksaan CTA Tujuan utama pemeriksaan CTA adalah untuk mengetahui status arteri intrakranial dan servikal guna mendeteksi tempat oklusi, dapat menggambarkan diseksi arteri, untuk mengetahui kualitas aliran darah kolateral, dan mengetahui penyakit aterosklerotis. Informasi ini dapat membantu memprediksi lokasi dan keberadaan infark pembuluh darah secara akurat serta dapat membantu ahli neuroradiologi dalam memandu sebelum melakukan trombolisis intraarterial. Selain itu, CTA juga penting untuk mendeteksi trombosis sistem vertebrobasilar karena keberadaanya yang sulit dideteksi dengan menggunakan pemeriksaan CT tanpa kontras (de Lucas et al., 2008). Indikasi klinis pemeriksaan CTA antara lain sebagai berikut (de Lucas et al., 2008). a. Evaluasi dugaan kelainan stenotik/oklusif arteri serebral dan arteri pre-serebral yang dapat menyebabkan TIA dan CVA bilamana pemeriksaan pencitraan lainnya kurang memberikan informasi. b. Kecurigaan adanya gangguan sistem vertebrobasilar pada pasien dengan gejala yang mengarah pada gangguan vertebrobasilar (misalnya hilangnya pandangan binokular, vertigo, disartria, dan diplopia). c. Traumatic vascular injury. d. Dugaan adanya trombosis pada pembuluh darah besar atau sinus dura. 166
Pencitraan pada Stroke
e. Perdarahan subarachnoid, subdural, dan perdarahan intraserebral oleh akibat trauma maupun aneurisma serebral. f. Curiga adanya AVM. g. Anomali kongenital sirkulasi serebral atau karotis. h. Abnormalitas pembuluh darah pada penyakit sickle cell. i. Dugaan obstruksi dan atau invasi sinus dura.
10.7.2 Kontraindikasi Pemeriksaan CTA Penggunaan zat kontras intravaskular pada CTA dapat menimbulkan kontraindikasi pencitraan sebagai berikut (de Lucas et al., 2008). ~~ Adanya riwayat alergi zat kontras atau pada pemberian kontras sebelumnya. ~~ Gangguan fungsi ginjal, bila diperlukan pemberian zat kontras terionisasi. ~~ Penderita penyakit multipel mieloma.
10.8 Apakah Keuntungan dan Risiko Penggunaan CTA? CTA mempunyai kelebihan yaitu dapat distandarkan sehingga menjadikannya sebagai teknik pilihan pada kasus-kasus pem buluh darah akut. CTA memberikan informasi tiga dimensi dengan resolusi spasial yang tinggi dan mampu memberikan evaluasi lumen pembuluh darah beserta dinding pembuluh darahnya dan struktur jaringan sekitar secara simultan (Rubin et al., 2009). Pada gambar di samping, Sumber: Adam, 2008 anatomi arteri terlihat sangat baik Gambar 10.7 CTA 3D volumeserta mengisi vena serebral interna rendered. dan sinus venosus. Angiografi dapat menolong seorang pasien untuk tidak menjalani operasi. Jika operasi tetap diperlukan maka operasi dapat dilakukan lebih akurat. CT angiografi mampu mendeteksi penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah yang memungkinkan berpotensi untuk terapi perbaikan yang harus dilakukan. CT angiografi dapat menunjukkan anatomi secara lebih detail dan tepat daripada magnetic resonance imaging (MRI), terutama di pembuluh darah yang kecil. Banyak pasien dapat menjalani CT angiografi bahkan kateter angiografi konvensional (kateterisasi) untuk mendiagnosis masalah pembuluh darah (Radiology Info, 2015). CT angiografi lebih cepat, non-invasif dan memiliki sedikit komplikasi. Sementara itu, kateter angiografi menempatkan kateter (tabung plastik) Bab 10 – Mengenal Computed Tomographic Angiography
167
biasanya pada selangkangan kemudian dimasukkan ke dalam pembuluh darah utama. Setelah itu, disuntikkan bahan kontras dan mungkin memerlukan sedasi atau anastesi umum. CT angiografi adalah cara yang sangat bermanfaat untuk mendeteksi arteri (seperti penyempitan pembuluh darah di jantung) dan penyakit vena serta kelainan struktural jantung sebelum ada gejala atau pada saat gejalanya belum jelas berhubungan dengan penyakit pembuluh darah, misalnya serangan jantung (Radiology Info, 2015). Pemeriksaan CT angiografi merupakan pemeriksaan yang memerlukan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan kateter angiografi. Pada CT angiografi berpotensi menimbulkan rasa kurang nyaman karena bahan kontras disuntikkan ke vena lengan dan bukan menjadi kateter yang dimasukkan ke dalam arteri atau vena besar. Tidak ada radiasi menetap dalam tubuh pasien setelah pemeriksaan CT. Sinar-X yang digunakan dalam CT scan seharusnya tidak memiliki efek samping langsung (Radiology Info, 2015). Sebagian besar pasien yang menjalani pemeriksaan CT angiografi secara lengkap tanpa mengalami efek samping. Namun demikian, selalu ada kesempatan timbulnya kanker akibat paparan radiasi yang berlebihan. Namun, manfaat diagnosis yang akurat jauh melampaui risiko yang ada. Jika seorang pasien memiliki riwayat alergi terhadap bahan kontras sinar-X, dokter mungkin akan menyarankan untuk mengambil obat pencegahan khusus, seperti steroid, selama beberapa jam atau beberapa hari sebelum CT angiografi dilakukan. Tujuannya untuk mengurangi kemungkinan reaksi alergi. Pilihan lainnya yaitu pasien menjalani pemeriksaan berbeda yang tidak memerlukan bahan kontras iodinasi (Radiology Info, 2015). Pada pasien yang berisiko gagal ginjal dan yang sudah memiliki keterbatasan fungsi ginjal, pemberian bahan kontras iodinasi berpotensi lebih merusak fungsi ginjal. Sebaiknya, bertanyalah kepada dokter dan ahli radiologi untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai risiko ini. Jika sejumlah besar bahna kontras sinar-X kontras bocor keluar dari pembuluh darah yang disuntikkan dan menyebar di bawah kulit di mana IV ditempatkan, hal itu dapat merusak kulit, pembuluh darah dan saraf. Jika pasien merasa kesakitan atau sensasi kesemutan selama atau segera setelah bahan kontras diinjeksikan maka pasien harus segera menginformasikan kepada perawat/teknolog. Jika ada kemungkinan sedang hamil, pasien harus selalu menginformasikannya kepada dokter dan operator (Radiology Info, 2015). Ada beberapa produsen kontras intravena yang menyarankan jika seseorang sedang menyusui, ia dianjurkan untuk tidak menyusui selama 24– 48 jam setelah diberikan media kontras. Namun demikian, ada juga yang menunjukkan bahwa aman untuk terus menyusui setelah menerima media kontras intravena. Oleh karena itu, seorang pasien sangat perlu berkonsultasi kepada dokter mengenai hal ini (Radiology Info, 2015).
168
Pencitraan pada Stroke
Rangkuman 1. CTA adalah pemeriksaan radiologi invasif minimal dengan memasukkan media kontras melalui pembuluh darah vena yang bertujuan untuk melihat pembuluh darah pada tubuh dengan menggunakan modalitas CT scan. 2. Sejak dikenalkannya teknologi multidetector-row, CTA menjadi teknik standar yang mudah dilakukan dalam pencitraan pembuluh darah. 3. Awalnya, CTA digunakan untuk pencitraan aorta dan arteri pulmonalis, kemudian arteri karotis, arteri renalis, dan arteri splanknik, serta sekarang sudah mulai menginjak pada arteri perifer dan sirkulus Willisi. Perkembangan terkini, CTA sedang dikembangkan untuk pencitraan arteri koroner. 4. CTA mempunyai kelebihan yaitu dapat distandarkan sehingga menjadikannya sebagai teknik pilihan pada kasus-kasus pembuluh darah akut. CTA memberikan informasi tiga dimensi dengan resolusi spasial yang tinggi dan mampu memberikan evaluasi lumen pembuluh darah beserta dinding pembuluh darahnya dan struktur jaringan sekitar secara simultan. 5. Persiapan pasien yang matang merupakan prasyarat pemeriksaan CTA pembuluh darah otak. 6. Untuk mendapatkan opasifitas vaskular yang homogen harus menggunakan power injector dengan kecepatan injeksi 3 sampai 5 mL per detik. Untuk semua pemeriksaan neurovaskular, material kontras sebanyak 80–100 mL biasanya sudah adekuat. 7. Sinkronisasi penting untuk meyakinkan zat kontras berfungsi maksimal di dalam pembuluh darah bila CT irisan tunggal digunakan. Akan tetapi menjadi lebih penting lagi bila MDCT digunakan untuk menginginkan pencitraan arteri dengan sedikit atau tidak ada tumpang tindih vena dan memberikan waktu transit arteri vena di dalam otak sekitar 6-8 detik. 8. Untuk tujuan sinkronisasi, terdapat dua metode yaitu injeksi tes bolus dan pencitraan sistem vena. 9. Tujuan utama pemeriksaan CTA adalah untuk mengetahui status arteri intrakranial dan servikal guna mendeteksi tempat oklusi, dapat menggambarkan diseksi arteri, untuk mengetahui kualitas aliran darah kolateral, dan mengetahui penyakit aterosklerotis. 10. Indikasi klinis pemeriksaan CTA antara lain sebagai berikut. • Evaluasi dugaan kelainan stenotik/oklusif arteri serebral dan arteri pre-serebral yang dapat menyebabkan TIA dan
Bab 10 – Mengenal Computed Tomographic Angiography
169
CVA bilamana pemeriksaan pencitraan lainnya kurang memberikan informasi. • Kecurigaan adanya gangguan sistem vertebrobasilar pada pasien dengan gejala yang mengarah pada gangguan vertebrobasilar (misalnya hilangnya pandangan binokular, vertigo, disartria, dan diplopia). • Traumatic vascular injury. • Dugaan adanya trombosis pada pembuluh darah besar atau sinus dura. • Perdarahan subarachnoid, subdural, dan perdarahan intra serebral oleh akibat trauma maupun aneurisma serebral. • Curiga adanya AVM. • Anomali kongenital sirkulasi serebral atau karotis. • Abnormalitas pembuluh darah pada penyakit sickle cell. • Dugaan obstruksi dan atau invasi sinus dura. 11. Penggunaan zat kontras intravaskular pada CTA dapat menimbul kan kontraindikasi pencitraan sebagai berikut. Adanya riwayat alergi zat kontras atau pada pemberian kontras sebelumnya. Gangguan fungsi ginjal, bila diperlukan pemberian zat kontras terionisasi. Penderita penyakit multiple myeloma. 12. CTA mempunyai kelebihan yaitu dapat distandarkan sehingga menjadikannya sebagai teknik pilihan pada kasus-kasus pembuluh darah akut. CTA memberikan informasi tiga dimensi dengan resolusi spasial yang tinggi dan mampu memberikan evaluasi lumen pembuluh darah beserta dinding pembuluh darahnya dan struktur jaringan sekitar secara simultan. 13. Angiografi dapat menolong seorang pasien untuk tidak menjalani operasi. 14. CT angiografi lebih cepat, non-invasif dan memiliki sedikit komplikasi. 15. Pemeriksaan CT angiografi merupakan pemeriksaan yang memerlukan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan kateter angiografi. 16. Pada pasien yang berisiko gagal ginjal dan yang sudah memiliki keterbatasan fungsi ginjal, pemberian bahan kontras iodinasi berpotensi lebih merusak fungsi ginjal. 17. Ada beberapa produsen kontras intravena yang menyarankan jika seseorang sedang menyusui, ia dianjurkan untuk tidak menyusui selama 24–48 jam setelah diberikan media kontras.
170
Pencitraan pada Stroke
Bab 11 Mengenal Magnetic Resonance Angiography
I
ndikasi penggunaan modalitas diagnostik yang noninvasif pada vaskular semakin meningkat pada dekade terakhir seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat. Kemajuan di bidang pencitraan pembuluh darah otak juga semakin meningkat. Salah satu modalitas diagnostik yang banyak digunakan saat ini khususnya di bidang neurologi adalah Magnetic Resonance Angiography (MRA).
171
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 11.1 Mesin MRI yang digunakan untuk pemeriksaan MRA.
11.1 Apakah MRA itu? Magnetic Resonance Angiography (MRA) merupakan suatu metode menciptakan gambaran pembuluh darah dengan MRI. MRA telah mengalami revolusi lebih dari beberapa dekade, menggantikan angiografi kateter sebagai alat diagnostik utama untuk mengevaluasi hampir semua teritorial pembuluh darah khususnya pada teknik yang menggunakan kontras (Rubin et al., 2009). MR angiografi (MRA) menggunakan medan magnet yang kuat, gelombang radio dan komputer untuk mengevaluasi pembuluh darah dan membantu mengidentifikasi kelainan atau mendiagnosis aterosklerosis (plak) penyakit. Pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi pengion dan memerlukan suntikan bahan kontras yaitu gadolinium yang mungkin kurang menyebabkan reaksi alergi daripada bahan kontras iodinasi. Angiografi merupakan tes medis yang membantu dokter untuk mendiagnosis dan mengobati kondisi medis dan penyakit pembuluh darah. Pemeriksaan angiografi menghasilkan gambar pembuluh darah utama di seluruh tubuh dan dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga teknologi pencitraan dan dalam beberapa kasus bahan kontras yang diberikan (RadiologyInfo, 2015).
11.2 Inilah Komponen Mesin MRA Angiografi dilakukan dengan menggunakan komponen berikut ini:
172
Pencitraan pada Stroke
- - -
Fluoroscopy (x-ray) untuk membantu menempatkan kateter ke dalam pembuluh darah tubuh Computed tomography (CT) Magnetic resonance imaging (MRI) (RadiologyInfo, 2015)
Sumber: Moyer, B., 2015
Gambar 11.2 Komponen MRI yang digunakan sebagai alat pemeriksaan MRA. Pada magnetic resonance angiography (MRA), medan magnet yang kuat, gelombang frekuensi radio dan komputer menghasilkan gambar arteri utama dalam tubuh secara detail. MR angiografi tidak menggunakan radiasi pengion (sinar-X). MRA dapat dilakukan dengan atau tanpa bahan kontras. Jika diperlukan, bahan kontras biasanya diberikan melalui intravena (IV) dengan menggunakan kateter kecil yang ditempatkan di pembuluh darah di lengan pasien. Unit MRI tradisional yaitu tabung berbentuk silinder besar yang dikelilingi oleh magnet melingkar. Pasien akan berbaring di meja pemeriksaan yang dapat bergerak ke pusat magnet (RadiologyInfo, 2015). Beberapa unit MRI yang disebut sistem short-bore dirancang sehingga magnet tidak sepenuhnya mengelilingi pasien. Beberapa mesin MRI yang lebih baru memiliki diameter bore yang lebih besar sehingga pasien merasa lebih nyaman, terutama untuk pasien yang berbadan besar atau pasien dengan klaustrofobia. Mesin MRI lain yang terbuka di kedua sisinya (MRI terbuka). Mesin MRI terbuka juga sangat membantu bagi pasien yang badannya lebih besar atau pasien dengan klaustrofobia (RadiologyInfo, 2015).
Bab 11 – Mengenal Magnetic Resonance Angiography
173
Unit MRI terbuka yang lebih baru memberikan gambar berkualitas sangat tinggi untuk berbagai jenis pemeriksaan. Akan tetapi, unit MRI terbuka yang lebih kuno tidak memberikan kualitas gambar yang sama. Beberapa jenis pemeriksaan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan MRI terbuka. Workstation komputer yang memproses informasi pencitraan terletak di ruang terpisah dari scanner (RadiologiInfo, 2015).
11.3 Apakah Kegunaan MRA? Magnetic resonance angiography (MRA) adalah modalitas pencitraan di bidang kesehatan yang digunakan untuk melihat gambaran pembuluh darah guna menegakkan diagnosis. Setelah munculnya magnetic resonance imaging (MRI), segera disadari bahwa modalitas pencitraan ini dapat memperlihatkan gambaran pembuluh darah. Sejak saat itu, metode pemeriksaan MRA semakin dikenal, baik yang bersifat noninvasif maupun invasif minimal untuk menilai kelainan sistem pembuluh darah. MRA sangat menarik karena dapat digunakan untuk memberikan informasi sistem pembuluh darah dengan tiga dimensi, memberikan informasi kecepatan dan laju aliran darah, dan menghasilkan angiogram tanpa harus menggunakan zat kontras maupun sinar radiasi. Selain itu, magnetic resonance juga baik untuk menggambarkan jaringan lunak. Oleh karena itu, pada pemeriksaan ini dapat sekaligus dinilai baik kelainan pembuluh darah maupun efeknya pada jaringan lunak (Anzalone & Tartaro, 2005; Korosec, 2009). Pada pemeriksaan neuroimaging, MRA juga dapat digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai difusi, perfusi (volume darah serebri, aliran darah serebri, dan mean transit time) dan fungsi otak yang memungkinkan evaluasi dengan menggunakan modalitas tunggal (Anzalone & Tartaro, 2005; Nitz, 2006).
11.4 Apakah Keunggulan dan Risiko Penggunaan MRA? Sebelum munculnya MRA, untuk pencitraan vaskular masih menggunakan DSA. DSA digunakan untuk diagnosis kelainan pembuluh darah intrakranial, walaupun kegunaannya untuk menyingkirkan kelainan pembuluh darah pada perdarahan intrakranial, menilai sirkulasi darah pada tumor, dan untuk evaluasi trombosis vena sangat terbatas. Selain itu, fungsinya untuk menyingkirkan trombosis arteri juga terbatas sehingga menyebabkan sulit untuk segera menegakkan diagnosis pada stroke akut (Anzalone & Tartaro, 2005). Selain itu, kelebihan MRA dibandingkan DSA yaitu MRA bersifat noninvasif dan memberikan gambaran tiga dimensi (3D) (Korosec, 2009).
174
Pencitraan pada Stroke
Tabel 11.1 Perbandingan antara pemeriksaan MRA (non-enhanced MRA & enhanced MRA), CTA, dan DSA No.
Non-enhanced MRA
Enhanced MRA
CT Angiography
Digital Substraction Angiography
1.
Tanpa menggunakan radiasi
Tanpa menggunakan radiasi
Menggunakan radiasi
Menggunakan radiasi
2.
Tanpa menggunakan zat kontras
Menggunakan zat kontras dadolinium chelat
Menggunakan zat kontras iodin
Menggunakan zat kontras iodin
3.
Dapat menghasilkan gambaran 2D/3D
Dapat menghasilkan gambaran 2D/3D
Dapat menghasilkan gambaran 3D
Gambaran yang dihasilkan 2D
4.
Sering menimbulkan Jarang motion artefak menimbulkan motion artefak
Sering menimbulkan motion artefak
5.
Kontraindikasi pasien dengan penggunaan bahan metal, misalnya alat pacu jantung dan lain sebagainya
Kontraindikasi pasien dengan penggunaan bahan metal, misalnya alat pacu jantung dan lainnya
Kontraindikasi pasien dengan alergi terhadap zat kontras dan gangguan fungsi ginjal
6.
Pasien dengan claustrophobia harus dianestesi terlebih dahulu
Pasien dengan claustrophobia harus dianestesi terlebih dahulu
7.
Waktu pemeriksaan lama
Waktu pemeriksaan lama
8.
Dapat sekaligus memberikan gambaran vaskular dan jaringan lunak
9.
Pemberian kontras intravena
10.
Dapat menilai kecepatan dan laju aliran darah
Kontraindikasi pasien dengan alergi terhadap zat kontras dan gangguan fungsi ginjal
Sumber: Moeller & Reif, 2003
MRA merupakan teknik pencitraan non-invasif yang tidak melibatkan paparan radiasi pengion. Detail gambar pada beberapa pembuluh darah dan aliran darah dapat diperoleh tanpa harus memasukkan kateter IV ke dalam pembuluh darah. Jika diperlukan, kateter IV ukuran kecil dimasukkan ke dalam vena kecil di lengan sehingga tidak ada risiko merusak pembuluh darah utama karena merupakan prosedur yang kurang invasif (RadiologyInfo, 2015). Bab 11 – Mengenal Magnetic Resonance Angiography
175
Lamanya prosedur pemeriksaan MRA lebih singkat daripada prosedur angiografi kateter tradisional dan tidak memerlukan waktu pemulihan. Pasien dapat kembali ke aktivitas normal sehari-hari segera setelah pemeriksaan MRA. MR angiografi lebih murah dibandingkan kateter angiografi. Bahkan meskipun tanpa menggunakan bahan kontras, MRA dapat memberikan gambar berkualitas tinggi pada beberapa pembuluh darah sehingga sangat berharga bagi pasien yang rentan terhadap reaksi alergi atau pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati. Bahan kontras digunakan untuk pemeriksaan MRI kemungkinan kurang menyebabkan reaksi alergi daripada bahan kontras berbasis yodium yang digunakan untuk sinar-X konvensional dan CT scan (RadiologyInfo, 2015). Secara umum, pemeriksaan MRA hampir tidak menimbulkan risiko bagi pasien jika semua prosedur pemeriksaan telah diikuti. Jika sedasi digunakan maka ada risiko jika sedasi dilakukan berlebihan. Namun demikian, teknolog atau perawat memonitor tanda-tanda vital pasien untuk meminimalkan risiko ini. Meskipun medan magnet yang kuat tidak berbahaya terhadap pasien, perangkat medis implan yang mengandung logam mungkin menyebabkan kegagalan atau masalah selama pemeriksaan MRA (RadiologyInfo, 2015). Saat ini, sudah dikenal adanya komplikasi fibrosis sistemik nefrogenik, tapi hal itu jarang terjadi. Komplikasi MRA ini diyakini disebabkan oleh suntikan dosis tinggi bahan kontras berbasis gadolinium pada pasien dengan fungsi ginjal yang sangat buruk. Penilaian secara hati-hati pada fungsi ginjal sebelum melakukan suntikan bahan kontras akan meminimalkan risiko komplikasi yang sangat langka ini. Jika bahan kontras disuntikkan maka ada sedikit risiko yaitu munculnya reaksi alergi. Reaksi alergi ini biasanya ringan dan mudah dikendalikan dengan obat. Jika pasien mengalami gejala alergi, seorang ahli radiologi atau dokter akan segera memberikan bantuan (RadiologyInfo, 2015).
11.5 Apa Sajakah Keterbatasan MRA? Di antara banyak kelebihan, MRA tetap memiliki keterbatasan. Tidak seperti CT angiografi, MRA tidak dapat melihat dan menangkap gambar deposit kalsium dalam pembuluh darah. Kejelasan gambar MRA pada beberapa arteri tidak sesuai dengan yang diperoleh pada kateter konvensional berbasis angiografi. Evaluasi MRA, khususnya pada pembuluh darah kecil, mungkin sulit dilakukan (RadiologyInfo, 2015). Terkadang sulit untuk membuat gambar terpisah antara arteri dan vena dengan MRA. Seorang pasien yang mengalami kesulitan atau tetap berbaring, mungkin mereka memiliki gambar MRA dengan kualitas buruk. Beberapa pemeriksaan melibatkan pemantauan detak jantung atau mengharuskan pasien untuk menahan napas selama 15 sampai 25 detik pada suatu waktu untuk mendapatkan gambar MRA berkualitas tinggi. Setiap jenis gerak, seperti gerakan pasien, gerakan pernapasan, atau 176
Pencitraan pada Stroke
gerakan tak terkendali lainnya dapat secara signifikan mengurangi kualitas gambar dan berpotensi membatasi diagnosis (RadiologyInfo, 2015). Gambar berkualitas tinggi dapat diperoleh jika pasien dapat tetap diam dan mengikuti instruksi menahan napas pada saat gambar sedang direkam. Jika pasien cemas, bingung atau sakit parah, pasien merasa sulit untuk diam berbaring selama pencitraan. Seseorang yang berat badannya berlebih mungkin tidak sesuai dengan beberapa jenis mesin MRA. Terdapatnya implan atau benda logam lain kadang-kadang mempersulit untuk mendapatkan gambar yang jelas (RadiologyInfo, 2015). Gerakan pasien dapat memiliki efek yang sama. Sebuah detak jantung yang sangat tidak teratur dapat mempengaruhi kualitas gambar yang diperoleh dengan menggunakan teknik waktu pencitraan berdasarkan aktivitas listrik jantung, seperti elektrokardiografi (EKG). Meskipun tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa magnetic resonance imaging dapat merugikan janin, ibu hamil biasanya disarankan untuk tidak menjalani pemeriksaan MRA selama trimester pertama, kecuali sangat diperlukan tindakan medis. Suntikan kontras selama kehamilan biasanya dihindari kecuali jika benar-benar diperlukan untuk pengobatan kesehatan (RadiologyInfo, 2015). Keterbatasan MRA yang lain yaitu semua teknik pemeriksaan MRA rentan terhadap hal-hal yang menyebabkan kerusakan pada gambar. Tiga hal yang dapat menyebabkan kerusakan gambar pada semua teknik MRA adalah intravoxel dephasing, signal saturation, dan signal ghosting (Anzalone & Tartaro, 2005; Nitz, 2006).
11.6 Persiapan Sebelum Pemeriksaan Biasanya untuk melakukan pemeriksaan MRA, pasien diminta untuk mengenakan baju khusus yang sudah disediakan rumah sakit. Pedoman aturan makan dan minum sebelum pemeriksaan MRA bervariasi pada fasilitas yang berbeda. Kecuali pasien diberi tahu sebaliknya maka pasien dapat mengikuti rutinitas sehari-hari seperti biasa dan mengonsumsi obat seperti biasa (RadiologyInfo, 2015). Pada pemeriksaan MRA, pasien menerima suntikan bahan kontras ke dalam pembuluh darah di lengan. Ahli radiologi atau teknolog mungkin bertanya jika pasien memiliki asma atau jika pasien memiliki alergi terhadap obat tertentu, makanan atau lingkungan. Bahan kontras yang digunakan untuk pemeriksaan MRA yaitu gadolinium. Bahan ini tidak mengandung yodium dan cenderung kurang menyebabkan reaksi alergi seperti yodium yang digunakan sebagai bahan kontras pada CT scan (RadiologyInfo, 2015). Ahli radiologi dan teknolog juga harus tahu jika pasien memiliki masalah kesehatan yang serius dan operasi apa yang telah dijalani pasien. Beberapa pasien dengan gangguan ginjal atau hati mungkin tidak dapat menerima bahan kontras selama pemeriksaan MRA. Pasien wanita Bab 11 – Mengenal Magnetic Resonance Angiography
177
harus selalu memberi tahu dokter atau teknolog jika ada kemungkinan bahwa mereka sedang hamil (RadiologyInfo, 2015). MRA telah digunakan untuk pemindaian pasien sejak tahun 1980-an dan tidak ada laporan efek sakit pada wanita hamil atau bayi mereka yang belum lahir. Namun demikian, karena bayi yang belum lahir akan berada dalam medan magnet yang kuat maka wanita hamil tidak dianjurkan menjalani pemeriksaan ini pada trimester pertama kehamilan, kecuali potensi manfaat pemeriksaan MRA diasumsikan lebih besar daripada risiko potensialnya. Wanita hamil tidak boleh menerima suntikan bahan kontras gadolinium kecuali jika benar-benar diperlukan untuk pengobatan (RadiologyInfo, 2015). Jika pasien sedang menyusui pada saat pemeriksaan maka ia harus bertanya kepada dokter bagaimana aturan yang harus dipatuhi. Hal ini dapat membantu pasien untuk memompa ASI sebelum pemeriksaan supaya dapat digunakan setelah bahan kontras diinjeksikan sampai akhirnya telah dibersihkan dari tubuh pasien yaitu sekitar 24 jam setelah pemeriksaan. Jika pasien memiliki claustrophobia (takut ruang tertutup) atau kecemasan, pasien dapat meminta dokter untuk memberikan resep obat penenang ringan sebelum pemeriksaan yang dijadwalkan. Bayi dan anak kecil biasanya membutuhkan sedasi atau anestesi supaya mereka tidak bergerak saat menjalani pemeriksaan MRA sampai selesai. Apakah seorang anak membutuhkan sedasi atau tidak, tergantung pada usia anak dan jenis pemeriksaan yang dilakukan. Sedasi yang moderat dan sadar dapat disediakan di sebagian besar fasilitas. Seorang dokter atau perawat mengkhususkan diri dalam pemberian sedasi atau anestesi untuk anakanak selama pemeriksaan dengan tujuan untuk memastikan keselamatan anak (RadiologyInfo, 2015). Perhiasan dan aksesoris lainnya harus ditinggalkan di rumah atau ditanggalkan sebelum pemeriksaan MRA scan. Karena benda-benda tersebut dapat mengganggu medan magnet pada unit MRI. Berbagai jenis benda logam dan elektronik tidak diperbolehkan berada dalam ruang pemeriksaan ini. Benda-benda tersebut antara lain perhiasan, jam tangan, kartu kredit dan alat bantu dengar, semua yang bisa dirusak pin, jepit rambut, ritsleting logam dan barang-barang logam yang sama yang dapat mengubah gambar MRA, pena perawatan pembersih gigi, pisau saku, kacamata, dan pernak-pernik tubuh. Dalam kebanyakan kasus, pemeriksaan MRA aman untuk pasien dengan implan logam, kecuali untuk beberapa jenis. Orang dengan implan tidak dapat dipindai dan tidak harus masuk ke area pemindaian MRA: implan koklea (telinga), beberapa jenis klip yang digunakan untuk aneurisma otak, beberapa jenis kumparan logam yang ditempatkan dalam pembuluh darah hampir semua defibrilator jantung dan alat pacu jantung (RadiologyInfo, 2015). Pasien harus memberitahukan kepada teknolog jika ia memiliki perangkat medis atau elektronik dalam tubuhnya. Benda-benda tersebut dapat mengganggu pemeriksaan atau berpotensi menimbulkan risiko, tergantung pada sifat dan kekuatan magnet MRI. Banyak implan yang 178
Pencitraan pada Stroke
ditanamkan akan memiliki sebuah pamflet yang menjelaskan risiko MRI untuk perangkat tertentu. Jika ia memiliki pamflet, hal ini berguna untuk menjadi hal yang diperhatikan bagi teknolog atau scheduler sebelum pemeriksaan dilakukan. Beberapa perangkat implan memerlukan waktu singkat setelah penempatan (biasanya enam minggu) sebelum menjadi aman untuk pemeriksaan MRA (RadiologyInfo, 2015). Contohnya berikut ini, tetapi tidak terbatas pada: - katup jantung buatan - obat infus port yang ditanamkan - kaki palsu atau sendi prostesis metalik - stimulator saraf yang ditanamkan - pin logam, sekrup, pelat, stent atau staples bedah (RadiologyInfo, 2015). Secara umum, benda-benda logam yang digunakan dalam bedah ortopedi tidak menimbulkan risiko selama proses MRI. Namun, barubaru ini penempatan sendi buatan memerlukan penggunaan prosedur pencitraan lain. Jika ada pertanyaan terhadap keberadaannya maka sinar-X dapat dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi setiap benda logam. Pasien yang memiliki benda logam di bagian-bagian tubuh tertentu, mereka juga mungkin memerlukan sinar-X sebelum pemeriksaan MRA. Pasien harus memberitahukan kepada teknolog atau ahli radiologi jika kemungkinan terdapatnya setiap pecahan peluru, peluru, atau potongan logam lainnya yang mungkin ada dalam tubuh pasien akibat kecelakaan sebelumnya. Benda asing yang berada di dekat mata dan terutama bersarang di mata sangat penting. Pewarna yang digunakan dalam tato mungkin mengandung zat besi dan bisa memanas selama pemeriksaan MRA, tapi hal ini jarang menyebabkan masalah. Tambalan gigi dan kawat gigi biasanya tidak terpengaruh oleh medan magnet, tapi benda-benda tersebut dapat mendistorsi gambar pada daerah wajah atau otak sehingga ahli radiologi harus memberitahukan kepada mereka (RadiologyInfo, 2015).
11.7 Prosedur Pemeriksaan MRA Tidak seperti pemeriksaan sinar-X konvensional dan computed tomography (CT) scan, MRI tidak menggunakan radiasi pengion. Sebaliknya, gelombang radio mengarahkan keselarasan atom hidrogen yang secara alami ada dalam tubuh saat pasien berada di pemindai tanpa menyebabkan perubahan kimia dalam jaringan. Sebagaimana atom hidrogen kembali ke keselarasan biasanya, atom-atom tersebut memancarkan energi yang bervariasi sesuai dengan jenis jaringan tubuh dari mana ia berasal. MR scanner menangkap energi ini dan menciptakan gambar scan jaringan berdasarkan informasi ini (RadiologyInfo, 2015).
Bab 11 – Mengenal Magnetic Resonance Angiography
179
Medan magnet dihasilkan dengan melewatkan arus listrik melalui kumparan kawat pada sebagian besar unit MRI. Kumparan lain yang terletak di mesin dan dalam beberapa kasus ditempatkan di sekitar bagian tubuh yang dicitrakan akan mengirim dan menerima gelombang radio kemudian menghasilkan sinyal yang terdeteksi oleh kumparan. Komputer kemudian memproses sinyal dan menghasilkan serangkaian gambar yang masing-masing menunjukkan irisan tipis tubuh (RadiologyInfo, 2015).
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 11.3 Komputer berperan untuk menghasilkan gambar dari serangkaian proses pencitraan. Gambar kemudian dapat dipelajari dari berbagai sudut yang berbeda berdasarkan penjelasan radiologi. Sering kali, diferensiasi abnormal (penyakit) jaringan pada jaringan normal lebih baik menggunakan MRI dibandingkan dengan modalitas pencitraan lain seperti sinar-X, CT, dan USG. Ketika bahan kontras dimasukkan ke aliran darah selama prosedur, maka akan memperjelas pembuluh darah yang diperiksa yaitu pembuluh darah menjadi tampak putih cerah. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada pasien rawat jalan. Pasien akan diposisikan di atas meja pemeriksaan yang dapat bergerak. Tali dan guling dapat digunakan untuk membantu pasien supaya diam dan mempertahankan posisi yang benar selama pencitraan. Perangkat yang berisi koil mampu mengirim dan menerima gelombang radio yang dapat ditempatkan di sekitar atau berdekatan dengan daerah tubuh yang sedang dipelajari (RadiologyInfo, 2015). Jika bahan kontras akan digunakan dalam pemeriksaan MRA maka dokter, perawat atau teknolog akan memasukkan kateter intravena (IV) yang juga dikenal sebagai garis IV ke pembuluh darah di tangan atau lengan. Sebuah larutan garam dapat digunakan untuk menyuntikkan 180
Pencitraan pada Stroke
bahan kontras. Larutan ini akan menetes melalui IV untuk mencegah penyumbatan kateter IV sampai bahan kontras disuntikkan. Pasien akan ditempatkan ke dalam magnet pada unit MRA dan ahli radiologi dan teknolog akan melakukan pemeriksaan saat bekerja di depan komputer di luar ruangan. Jika bahan kontras digunakan selama pemeriksaan, maka bahan kontras akan disuntikkan ke dalam garis intravena (IV) setelah serangkaian awal scan. Serangkaian gambar tambahan akan diambil selama atau setelah injeksi. Ketika pemeriksaan selesai, pasien akan diminta untuk menunggu sampai teknolog atau radiolog mengecek gambar dalam kasus gambar tambahan yang diperlukan. Jalur intravena pasien akan dihapus. Pemeriksaan MRI pada umumnya terdiri atas serangkaian proses, beberapa di antaranya dapat berlangsung beberapa menit. Seluruh pemeriksaan biasanya diselesaikan dalam waktu sekitar 60 menit dalam sekali pencitraan (RadiologyInfo, 2015).
Sumber: Ridgway, J.P., 2012
Gambar 11.4 Diagram skematik yang menggambarkan prinsip utama CE‑MRA. Diagram (a) menunjukkan waktu relatif pada peristiwa penting dalam akuisisi CE-MRA. Setelah injeksi intravena zat kontras ke subjek, ada penundaan dalam perjalanan bolus kontras melalui sisi kanan dan kiri jantung sebelum memasuki sistem arteri. Diagram skematik (b) menunjukkan secara kualitatif bagaimana intensitas sinyal berhubungan dengan jenis jaringan untuk sekuen T1-weighted MRA. Nilai-nilai indikatif untuk waktu relaksasi T1 juga ditampilkan. Tanpa pengenalan agen kontras, jaringan lemak akan memiliki sinyal terang di gambar dan darah dalam lumen pembuluh tidak akan terlihat. Pengenalan agen kontras ke dalam darah mengurangi waktu relaksasi T1 dan meningkatkan intensitas sinyal.
Bab 11 – Mengenal Magnetic Resonance Angiography
181
11.8 Kontraindikasi Pemeriksaan MRA Kontraindikasi pemeriksaan MRA maupun pemeriksaan radiologis lainnya yang menggunakan agen kontras antara lain sebagai berikut (Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2003). - Ada alat logam dalam tubuh, tetapi bagi mereka yang mempunyai sejumlah kecil logam dan tidak terletak di daerah pencitraan maka masih dapat dilakukan MRA. - Semua pasien yang memiliki klip bedah intrakranial akibat aneurisma. - Memiliki kondisi yang memerlukan perangkat eksternal untuk perawatan (misalnya, tangki O2 portabel). - Claustrophobia, MRA masih dapat dilakukan.
11.9 Unenhanced MRA (teknik MRA tanpa kontras) Penggunaan teknik MRA yang luas dapat dikategorikan sebagai phase contrast (PC), time-of-flight (TOF), atau teknik MRA dengan kontras. Selain itu, dikenal dua teknik lain yang juga berguna untuk menilai pembuluh darah, yaitu dark blood imaging dan steady state free precession (Korosec, 2009; Nitz, 2006). Kali ini, kita akan memahami apa dan bagaimana teknik MRA tanpa kontras ini. Pada pemeriksaan angiografi konvensional digital substraction angiography (DSA), diperlukan pemberian zat kontras untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah. Setelah dilakukan kateterisasi arteri dan penyuntikan zat kontras ionik, bisa didapatkan gambaran dua dimensi dari lumen pembuluh darah. Computed Tomography Angiografi (CTA) juga bisa digunakan untuk pemeriksaan ini, namun memiliki efek radiasi yang tinggi (Anzalone & Tartaro, 2005; Nitz, 2006). Unenhanced MRA berbeda dengan DSA atau teknik angiografi lain karena tanpa penggunaan zat kontras sehingga bersifat noninvasif. Selain itu, kelebihan MRA dibandingkan angiografi konvensional adalah dapat memperlihatkan gambaran jaringan ekstravaskular selain gambaran pembuluh darah sehingga dapat menunjukkan hubungan antara abnormalitas aliran darah dengan kelainan jaringan lunak (Anzalone & Tartaro, 2005; Nitz, 2006). Pada MRA, prinsip pemeriksaannya adalah berdasarkan static tissue parameters, longitudinal relaxation time T1, transverse relaxation time T2, dan proton density. Pemeriksaan ini juga sensitif terhadap aliran dan pergerakan yang sering menyebabkan terjadinya artefak pada gambaran MRA. Namun pemeriksaan pada MRA menggunakan flowinduced signal variations untuk menggambarkan pembuluh darah serta untuk mendapatkan informasi tentang kecepatan dan arah aliran darah (Anzalone & Tartaro, 2005; Nitz, 2006).
182
Pencitraan pada Stroke
Berbeda dengan pemeriksaan contrast-enhanced MRA (CE-MRA) dan angiografi konvensional dimana tampak gambaran kontras mengisi pembuluh darah, pada pemeriksaan unenhanced MRA gambaran yang terlihat adalah merupakan aliran/pergerakan darah di pembuluh darah (Anzalone & Tartaro, 2005; Nitz, 2006). Teknik MRA didesain secara khusus dimana aliran darah menghasilkan sinyal hiperintens karena sinyal dari jaringan disupresi (bright-blood angiography). Kemungkinan lain flowing spin dapat menunjukkan gambaran hipointens jika dibandingkan dengan stationary background (blackblood angiography). Di antara kedua teknik ini, bright-blood MRA secara klinis lebih dapat diterima secara luas. Ada dua pendekatan yang dapat dipergunakan untuk membentuk bright-blood MRA, yaitu time-of-flight (TOF) dan phase-contrast (PC) angiography. Walaupun dalam TOF dan PC MRA pemberian kontras tidak diperlukan, namun dapat dipergunakan pada situasi tertentu untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih jelas (Anzalone & Tartaro, 2005; Nitz, 2006). Flow effects dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu timeof-flight dan phase contrast seperti yang akan dijelaskan berikut ini (Korosec, 2009; Nitz, 2006).
11.9.1 Time-Of-Flight (TOF) Teknik TOF MRA berbeda dengan teknik phase contrast dimana pada teknik TOF MRA tidak terjadi pengurangan sinyal sehingga beberapa sinyal dari jaringan statis akan menetap pada angiogram. Selain itu, TOF tidak menyediakan informasi yang cukup mengenai kecepatan atau laju aliran volume sehingga metode ini terutama ditujukan untuk menilai anatomi sistem pembuluh darah. Perbedaan antara aliran darah dan jaringan statis pada teknik TOF diperoleh dengan cara memanipulasi besarnya sifat kemagnetan, misalnya sifat kemagnetan besar untuk pergerakan darah dan sifat kemagnetan kecil untuk jaringan statis. Hal ini menyebabkan sinyal yang meningkat pada pergerakan darah dan sinyal menurun pada jaringan statis (Korosec, 2009; Nitz, 2006). Dengan teknik TOF ini, sinyal intravaskular tergantung pada sifat aliran dan parameter MR. Pasien harus berhati-hati dalam menyesuaikan untuk meyakinkan mendapat sinyal intravaskular. Pada kasus Time of Flight MRA (TOF MRA) misalnya, data harus didapatkan secara tegak lurus (dan idealnya ortogonal) terhadap arah aliran dan waktu antara getaran frekuensi radio (RF) (waktu repetisi (TR), harus cukup panjang untuk memberikan “inflow” proton yang adekuat pada irisan gambaran. Waktu repetisi ditentukan oleh laju aliran yang diharapkan dalam area yang diinginkan, dan biasanya 35 mili detik atau lebih. Sebagaimana waktu akuisisi data adalah berbanding lurus dengan TR (waktu akuisisi = TR × jumlah tahap fase-encoding × jumlah layer × jumlah eksitasi). Suatu TR sebenarnya lebih besar dari kemungkinan tersingkat untuk gradien echo pencitraan (3–5 mili detik) harus digunakan, dengan Bab 11 – Mengenal Magnetic Resonance Angiography
183
resultan adanya perpanjangan waktu pencitraan. Selain itu, karena yang dominan adalah orientasi kepala-kaki arteri besar (misalnya aorta iliofemoral dan pembuluh darah infra-poplitea) maka harus menggunakan axial plane, juga memperpanjang akuisisi data yang memperlihatkan bahwa diperlukan jumlah irisan yang lebih banyak. Walaupun waktu akuisisi TOF MRA lebih panjang, namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, sebagai akibat dari aliran darah secara fisiologis yang menyebabkan penggunaan TR menjadi relatif panjang. Kedua, yaitu dengan membutuhkan pencitraan aksial sehingga memberikan cakupan spatial kurang bagus dibandingkan dengan pencitraan sagital atau koroner (Rubin et al., 2009).
Sumber: Coltman, 2001
Gambar 11.5 Hasil TOF-MRA 3D menunjukkan aneurisme setebal 6 mm yang muncul dari ujung arteri basillaris (proyeksi anterior).
Arteriogram atau venogram selektif dapat diperoleh dengan menggunakan getaran saturasi yang ditempatkan di hilir irisan pencitraan MRA (untuk menghilangkan venous return dari arah yang berlawanan) atau hulu dari irisan pencitraan untuk menciptakan suatu venogram (Rubin et al., 2009). Keterbatasan TOF MRA TOF MRA tergantung pada kenyataan bahwa darah memasuki volume di bawah dengan pertimbangan kecepatan yang tinggi dan berlalu dengan cepat. Dengan demikian, TOF MRA menerima gelombang RF sangat sedikit. Untuk menjaga efek inflow tetap setinggi mungkin, semua proton dalam volume pencitraan harus segera diisi dengan TR berturut-turut, walaupun mungkin inflow maksimal tidak diperlukan dalam praktik klinis. Tampak miring dari pembuluh darah yang dicitrakan dalam kaitannya terhadap orientasi irisan dan TR yang 184
Pencitraan pada Stroke
pendek, keduanya mempengaruhi signal-to-noise ratio (SNR) sebagai akibat dari proton yang dalam keadaan ini mengalami getaran RF lebih singkat di irisan pencitraan. Tingkat keparahan dan panjangnya stenosis juga cenderung berlebihan pada gambar TOF MRA karena intra-voxel dephasing sekunder untuk turbulensi, alirannya lambat atau berdenyut. Sebagai akibat keterbatasan TOF MRA yaitu gagal menawarkan alternatif pemeriksaan non-invasif yang layak dibandingkan dengan arteriografi konvensional dan tidak memiliki dampak yang besar pada praktik klinis (Rubin et al, 2009). Pemeriksaan unenhanced MRA didasarkan pada fenomena aliran yang kompleks sehingga kondisi fisiologis dari teritorial pembuluh darah yang akan diperiksa sangat diperlukan. Pada kepentingan klinis rutin, unenhanced MRA terbukti menjadi metode yang baik untuk pemeriksaan pembuluh darah otak (sirkulus Willisi) yang non invasif. Akan tetapi, kelemahan unenhanced MRA yaitu hilangnya sinyal pada area turbulensi atau pada aliran yang sangat lambat. Pada kasus-kasus berat, hal ini dapat menyebabkan munculnya gambaran patologis, misalnya stenosis, aneurisma, dan lain-lain (misdiagnosis). Apalagi TOF dan PC angiografi sangat sensitif terhadap pergerakan sehingga dapat menimbulkan artefak (motion artifacts). Walaupun motion artifacts ini sering muncul karena adanya pergerakan pasien yang diakibatkan waktu pemeriksaan yang cukup lama, namun dapat juga terjadi pada area dengan aliran yang sangat pulsatile, misalnya pada karotis, aorta, dan terutama pada arteri perifer, dan di regio toraks dan abdomen seiring dengan pernapasan dan kerja jantung. Oleh karena itu, jika pemeriksaan unenhanced MRA ini dilakukan, diperlukan pemahaman yang tepat mengenai teknik pemeriksaan untuk mendapatkan gambaran yang baik dan interpretasi yang tepat mengenai hasil pemeriksaan (Korosec, 2009; Nitz, 2006).
Sumber: Rubin et al., 2009
Gambar 11.6 Hasil TOF-MRA 3D sirkulus Willisi. Bab 11 – Mengenal Magnetic Resonance Angiography
185
Berdasarkan Gambar 11.6, PCoA kiri (3); AICA kanan (10); PICA kiri (8); ICA (1); arteri oftalmika (2); MCA (4); ACA (5); ACoA (6), VA (7); BA (9); SCA (11).
11.9.2 Phase Contrast (PC) PC MRA (PCA) mirip dengan angiografi konvensional dimana keduanya menyebabkan pengurangan sinyal dari jaringan statis. Hasilnya, hanya sinyal dari aliran darah yang terlihat pada angiogram. Di sisi lain, PC MRA berbeda dengan angiografi konvensional karena pada teknik PC MRA tidak dibutuhkan pemberian zat kontras. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk membangkitkan sinyal pada PC adalah pergerakan dari darah. Perbedaan antara aliran darah dan jaringan statis pada teknik PC diperoleh dengan cara memanipulasi fase magnetisasi sehingga fase magnetisasi nol untuk jaringan statis dan tidak nol untuk jaringan bergerak (Rubin et al., 2009). PCA sekarang jarang digunakan dalam MRA klinis. Metodologi yang mendasari teknik ini agak rumit dan seperti TOF MRA, gambar yang dihasilkan rentan terhadap artefak dan akuisisi data menjadi lebih memanjang. Istilah 'fase' mengacu pada sudut dimana magnetisasi transversal relatif terhadap sumbu referensi. Ketika proton bergerak, misalnya dalam darah yang mengalir, perubahan fase sebanding dengan jarak proton yang bergerak (terhadap kecepatan darah) yang disebabkan oleh gradien pencitraan, khususnya gradien seleksi-irisan dan gradien frekuensi-encoding. Sebagaimana gradien sebenarnya terdiri atas sepasang getaran gradien yang diterapkan dalam arah yang berlawanan (yang disebut gradien bipolar), efek masing-masing gradien pada fase proton untuk jaringan stasioner (yaitu latar belakang, tak bergerak) adalah sama dan berlawanan, dan efeknya menetralkan. Untuk proton bergerak (ikut aliran darah), posisi masing-masing proton akan berubah antara getaran berturutturut mengakibatkan perubahan fase relatif terhadap proton stasioner yang sebanding dengan kecepatan (Rubin et al., 2009). Pengamatan gradien yang disebabkan oleh perubahan fase memberikan dasar untuk angiografi fase-kontras dimana gradien getaran dirancang untuk menghasilkan perubahan fase pada berbagai kecepatan yang diberikan. Dengan cara ini, sinyal tidak saling menetralkan, informasi fase diawetkan selama rekonstruksi gambar. Kecerahan pixel berbanding lurus dengan pergeseran fase yang didapat oleh sebuah proton yang bergerak dalam medan magnet dan kecepatan. Dalam praktiknya, karena metode ini hanya sensitif untuk komponen kecepatan yang diterapkan sepanjang gradien aliran encoding sehingga akuisisi harus diulang sebanyak empat kali untuk menghasilkan sebuah 'angiogram'. Urutan aliran kompensasi awal diikuti oleh tiga akuisisi aliran encoding, satu untuk setiap arah aliran (kepala-kaki, kiri-kanan, anteroposterior) yang diikuti dengan kompleks pengurangan untuk menghasilkan gambar angiografik akhir. Jika fase tidak berubah untuk proton statis maka pengurangan akan 186
Pencitraan pada Stroke
menekan sinyal jaringan latar belakang sepenuhnya sehingga memfasilitasi pembuatan gambar berkualitas tinggi (Rubin et al., 2009). Salah satu tantangan utama PCA yaitu berkaitan dengan kebutuhan operator untuk memilih secara tepat gradien kecepatan encoding. Selama intensitas sinyal sebanding dengan kecepatan maka kisaran kecepatan dalam pembuluh darah yang diinginkan harus disimpulkan atau diukur untuk memungkinkan operator mengatur gradien kecepatan-encoding (Venc) dengan benar. Hal ini mengasumsikan adanya pengetahuan apriori pada kecepatan aliran darah dalam arteri yang relevan. Hal ini dapat diukur dengan cepat secara langsung dengan memperoleh serangkaian gambar 2D dengan PC yang berbeda nilai fase-encodingnya. Akan tetapi, hal ini memakan waktu dan adanya aliran yang berbeda kecepatan dalam arteri terlampir dalam satu bidang pandang dapat memperlihatkan adanya artefak (Rubin et al., 2009). Keterbatasan unenhanced MRA dan kebutuhan agen kontras Pada setiap tahap evolusi MRA, selalu dilaporkan adanya akurasi tinggi hampir untuk semua teknik bila dibandingkan dengan angiografi kateter. Akan tetapi, teknik TOF dan PC MRA kurang mendapatkan minat yang luas dari para ahli kesehatan dalam praktik klinis karena memerlukan waktu pemeriksaan yang panjang, resolusi yang suboptimal, dan sering munculnya artefak. TOF MRA digunakan untuk mengevaluasi penyakit yang melibatkan bulb karotis dan arteri femoro-popliteal dan pedal karena wilayah pembuluh darah ini yang cocok untuk teknik ini. Hal ini disebabkan karena pembuluh darah ini relatif lurus, yang berarti bahwa 'inflow' bisa dipastikan cukup. MRA juga dibuat sebagai suatu modalitas akurat untuk menggambarkan arteri intra-kranial proksimal (meskipun faktanya bahwa arteri menunjukkan lekuk-lekuk yang jelas) karena volume jaringan yang relatif kecil perlu dilindungi. Selain itu, pada kenyataannya aliran darah konstan dalam arteri serebral selama siklus jantung mengoptimalkan sinyal intravaskular (Rubin et al., 2009).
11.10 Contrast-Enhanced MRA Contrast-enhanced magnetic resonance angiography (CEMRA) merupakan teknik pilihan untuk pencitraan pada pembuluh darah. Teknik yang berkembang pada CEMRA selama dekade terakhir telah banyak mengalami perkembangan tidak hanya pada kualitas gambar namun juga pada kecepatan, ketersediaan, dan kemudahan penggunaannya. Dengan menggunakan zat kontras gadolinium(Gd)-chelate, CEMRA menghasilkan data yang lebih baik jika dibandingkan dengan angiografi konvensional. Selain itu, CEMRA bersifat noninvasif dan memiliki keuntungan dibandingkan angiografi konvensional dan CT angiografi karena tidak terpapar radiasi atau zat kontras ionik yang nefrotoksik (Anzalone & Tartaro, 2005). Nefrotoksisitas merupakan pertimbangan utama pada pasien Bab 11 – Mengenal Magnetic Resonance Angiography
187
dengan kelainan vaskular karena sebagian besar pasien juga merupakan penderita diabetes melitus dan/atau gangguan fungsi ginjal. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan zat kontras ionik tidak diinginkan (Korosec, 2009; Moeller & Reif, 2003).
Sumber: Moeller & Reif, 2003.
Gambar 11.7 Hasil pencitraan CEMRA: arteriogram karotis interna, proyeksi lateral, fase arteri. Berdasarkan gambar di atas 1 = A. karotis interna bag. servikal, 2 = bagian os petrosus, 3 = bagian os cavernosa (siphon), 4 = A.oftalmikus, 5 = choroidal (ophthalmic) crescent, 6 = A. khoroid anterior, 7 = A. serebri anterior, 8 = A. pericallosal, 9 = A. callosomarginal, 10 = cabang A. serebri media (Moeller & Reif, 2003). Karena rasio signal to noise yang tinggi tidak sesuai dengan resolusi spasial, maka teknik contrast-enhanced hampir secara umum menggantikan teknik non-kontras dalam praktik klinis. Tidak seperti teknik TOF dan PCA, dimana sinyal intravaskular tergantung pada sifat aliran yaitu pada toleransi perubahan laju aliran sebagai akibat dari penyakit pembuluh darah, maka sinyal intravaskular CEMRA tergantung pada efek shortening T1 yang disebabkan oleh injeksi zat kontras paramagnetik (biasanya gadolinium based). Oleh karena itu, gambar dapat diperoleh di bidang apapun termasuk koronal, yang memberikan cakupan anatomi terbaik untuk hampir semua wilayah pembuluh darah di luar otak. Selain itu, kemampuan untuk mengeksploitasi akuisisi 3D ultrafast (dengan menggunakan TRs sesingkat mungkin), memungkinkan akuisisi gambar yang cepat dan dengan mudah dapat ditampung dalam satu kali tahanan napas. Hal itu merupakan faktor penting ketika melakukan pencitraan di dada dan perut. Untuk menghasilkan 'arteriogram’ selektif, gambar diperoleh selama perjalanan arteri pertama dari agen kontras sebelum kedatangannya dalam pembuluh darah vena (Rubin et al., 2009). Sinkronisasi akuisisi data dengan bolus arteri puncak merupakan salah satu tantangan utama CEMRA sebagai laju transit media kontras dari tempat injeksi vena perifer ke pembuluh darah yang diinginkan dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor termasuk denyut jantung, stroke volume, dan ada atau tidaknya steno-oklusif proksimal. Meskipun waktu sirkulasi 188
Pencitraan pada Stroke
dapat diukur dengan menggunakan tes bolus atau dapat disimpulkan dengan membuat beberapa asumsi tentang status kardiovaskular pasien, proses ini sekarang dapat dilakukan secara otomatis dengan menggunakan pendekatan MR fluoroscopic. MR fluoroscopic yaitu suatu teknik yang menunjukkan datangnya media kontras secara real time pada tampilan monitor sehingga merupakan sinyal waktu yang tepat untuk akuisisi data (Rubin et al., 2009). Jika kita perhatikan gambar maka terlihat nomor 1 = A. karotis interna segmen petrosus, 2 = bag. cavernosus, 3 = bag. supraclinoid (subarachnoid), 4 = A. serebri anterior segmen prekomunikans, terletak di atas fosa hipofisis, 5 = A. pericallosal dan callosomarginal, saling tumpang tindih, terletak di garis tengah, 6 = A. choroid, 7 = A. lenticulostriata, 8 = A.serebri media div.mayor, 9 = cab. cortical yang masuk ke dalam ruang kranium. Sumber: Rubin et al., 2009
Gambar 11.8 Arteriogram karotis interna: proyeksi AP, fase arteri. Sifat unik k-space (susunan data dari mana gambar akhir yang dihasilkan) dimana garis pusat menentukan kontras gambar dan garisgaris perifer menentukan resolusi gambar, hal itu dapat dimanfaatkan secara unik untuk menghasilkan gambar CEMRA yang sangat baik. Dalam keadaan pada saat menahan napas tidak diperlukan (misalnya MRA perifer dan pencitraan arteri karotis) selama pengumpulan garis tengah yang ditandai oleh kontras di k-space selesai selama puncak arteri dan sebelum media kontras mencapai vena maka pengumpulan yang terus-menerus di garis perifer k-space selama peningkatan vena, hal itu tidak mengakibatkan kontaminasi gambar. CEMRA kini menjadi standar acuan untuk MRA terhadap semua teknik-teknik baru yang harus diukur (Rubin et al., 2009). Pemeriksaan CEMRA didasarkan pada shortening effect T1 pada zat kontras Gd-chelate di darah. Hal ini berbeda dengan teknik MRA timeof-flight (TOF) dan phase contrast (PC) yang memanfaatkan pergerakan aliran darah untuk menimbulkan sinyal pembuluh darah. Dengan adanya Gd di pembuluh darah, sinyal vaskular pada CEMRA tidak terhalang oleh sejumlah artefak seperti hilangnya sinyal dari aliran lambat yang dapat
Bab 11 – Mengenal Magnetic Resonance Angiography
189
menyebabkan kesalahan penilaian, misalnya stenosis atau gambaran menyerupai oklusi vaskular (Rubin et al., 2009). Dengan CEMRA, arteri akan dapat terlihat bila pengambilan gambar dilakukan ketika obat masuk fase arterial. Namun demikian, jika pengambilan gambar dilakukan selama fase vena maka akan terlihat gambaran vena. Persiapan pasien Sebagaimana pemeriksaan MR scan yang lain, persiapan pasien yang baik akan mengurangi lama pemeriksaan dan meningkatkan efisiensi klinis. Selain pemeriksaan terhadap kontraindikasi yang biasa pada pemeriksaan magnetic resonance (misalnya pacemakers) dan penggunaan zat kontras Gd-chelate (misalnya kehamilan), pasien yang akan menjalani pemeriksaan CEMRA sebaiknya diperiksa oleh seorang dokter. Lebih baik jika ahli radiologi atau anggota dari bagian radiologi harus memeriksa pasien sebelum dilakukanya prosedur untuk menjelaskan apa yang harus dilakukan, pastikan tidak ada kontraindikasi, periksa nadi dan pastikan bahwa premedikasi cukup. Kualitas gambar pada CEMRA intra abdomen dan toraks akan lebih baik bila dilakukan sambil menahan napas. Pangkal paha harus dicukur jika yang akan digunakan pendekatan femoral. Hal ini telah menjadi rutinitas bagi pasien untuk puasa dalam jangka waktu yang tertentu sebelum prosedur dilakukan untuk menghindari risiko aspirasi selama ada kemungkinan reaksi terhadap media kontras (Rubin et al., 2009). Pada hampir semua pemeriksaan CEMRA, pasien diposisikan dengan kaki terlebih dulu pada scanner dengan posisi telentang, kecuali pada pemeriksaan neurovaskular dimana digunakan koil kepala atau sistem neurovaskular kepala dan leher. Dengan demikian, pasien harus diposisikan dengan kepala terlebih dahulu masuk pada scanner (Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2003). CEMRA biasanya dilakukan dengan menggunakan zat kontras Gd‑chelate ekstraselular yang banyak dijual di pasaran. Kecepatan injeksi berpengaruh terhadap konsentrasi puncak dari Gd serta pencapaian SNR arteri. Pada umumnya, pemberian dengan kecepatan injeksi yang lebih cepat akan menyebabkan peningkatan SNR arteri, namun menyebabkan penyangatan vena yang lebih awal. Rata-rata kecepatan injeksi 2ml/ detik ideal untuk diterapkan pada hampir semua pemeriksaan CEMRA, walaupun akan lebih baik jika diberikan dengan kecepatan yang lebih tinggi (Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2003). Pada kebanyakan pemeriksaan CEMRA, rata-rata dosis zat kontras yang dibutuhkan yaitu 0,15–0,2 mmol/kg (sekitar 20–30 ml). Jika waktu pemberian sesuai, dapat diberikan dosis yang lebih rendah (0.1 mmol/kg). Pada umumnya, penggunaan dosis zat kontras yang lebih besar memiliki keuntungan karena dapat memperpanjang fase arterial dan sebagai cadangan bila ternyata dibutuhkan waktu pemeriksaan yang lebih panjang (Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2003). 190
Pencitraan pada Stroke
Hal terakhir yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian kontras adalah pemberian larutan saline. Pemberian saline (sekitar 30 ml) sebaiknya digunakan pada semua pemeriksaan CEMRA. Pemberian saline akan memastikan bahwa semua zat kontras masuk melalui vena perifer menuju atrium kanan sehingga dapat dipastikan bahwa konsentrasi Gd akan cukup mengisi arteri yang lebih distal (Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2003).
Rangkuman 1. Magnetic resonance angiography (MRA) merupakan suatu metode menciptakan gambaran pembuluh darah dengan MRI. MRA telah mengalami revolusi lebih dari beberapa dekade, menggantikan angiografi kateter sebagai alat diagnostik utama untuk mengevaluasi hampir semua teritorial pembuluh darah khususnya pada teknik yang menggunakan kontras. 2. MRA merupakan modalitas pencitraan di bidang medis yang dapat memperlihatkan gambaran pembuluh darah untuk tujuan diagnosis dan terapi. Kelebihan MRA dibandingkan DSA yaitu MRA bersifat noninvasif dan memberikan gambaran tiga dimensi. 3. Angiografi dilakukan dengan menggunakan: - Fluoroscopy (x-ray) untuk membantu menempatkan kateter ke dalam pembuluh darah tubuh - Computed tomography (CT) - Magnetic resonance imaging (MRI) 4. Kelebihan MRA dibandingkan DSA yaitu MRA bersifat noninvasif dan memberikan gambaran tiga dimensi. MRA merupakan teknik pencitraan non-invasif yang tidak melibatkan paparan radiasi pengion. Kelebihan utama MRA dibandingkan CTA untuk menilai pembuluh darah intrakranial adalah karena sifatnya yang tidak menggunakan sinar-X, tidak selalu harus menggunakan zat kontras, dan lebih baik dalam membedakan arteri dan vena. Dalam hal pemeriksaan pembuluh darah otak, gabungan antara pemeriksaan MRI dan MRA kepala akan menghasilkan nilai diagnostik yang lebih tinggi. 5. Pada pemeriksaan neuroimaging, MRA juga dapat digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai difusi, perfusi (volume darah serebri, aliran darah serebri, dan mean transit time) dan fungsi otak yang memungkinkan evaluasi dengan menggunakan modalitas tunggal. 6. Biasanya untuk melakukan pemeriksaan MRI, pasien diminta untuk mengenakan baju khusus yang sudah disediakan rumah sakit, pedoman aturan makan dan minum, masalah kesehatan Bab 11 – Mengenal Magnetic Resonance Angiography
191
yang dimiliki pasien, pasien yang sedang menyusui atau hamil haris mengkonfirmasikan ke dokter atau ahli radiologi. 7. Namun MRA tetap memiliki keterbatasan. Semua teknik pemeriksaan MRA rentan terhadap hal-hal yang menyebabkan kerusakan pada gambar. Tiga hal yang dapat menyebabkan kerusakan gambar pada semua teknik MRA adalah intravoxel dephasing, signal saturation, dan signal ghosting. 8. Kontraindikasi pemeriksaan MRA maupun pemeriksaan radiologis lainnya yang menggunakan agen kontras antara lain sebagai berikut: - Ada alat logam dalam tubuh, tetapi bagi mereka yang mempunyai sejumlah kecil logam dan tidak terletak di daerah pencitraan maka masih dapat dilakukan MRA. - Semua pasien yang memiliki klip bedah intrakranial akibat aneurisma. - Memiliki kondisi yang memerlukan perangkat eksternal untuk perawatan (misalnya, tangki O2 portabel). - Klaustrofobia, MRA masih dapat dilakukan. 9. Unenhanced MRA berbeda dengan DSA atau teknik angiografi lain karena tanpa penggunaan zat kontras sehingga bersifat noninvasif. Selain itu, kelebihan MRA dibandingkan angiografi konvensional adalah dapat memperlihatkan gambaran jaringan ekstravaskular selain gambaran pembuluh darah sehingga dapat menunjukkan hubungan antara abnormalitas aliran darah dengan kelainan jaringan lunak. 10. Teknik MRA didesain secara khusus dimana aliran darah menghasilkan sinyal hiperintens karena sinyal dari jaringan disupresi (bright-blood angiography). 11. Di antara kedua teknik ini, bright-blood MRA secara klinis lebih dapat diterima secara luas. Ada dua pendekatan yang dapat dipergunakan untuk membentuk bright-blood MRA, yaitu timeof-flight (TOF) dan phase-contrast (PC) angiography. 12. Contrast-enhanced Magnetic Resonance Angiography (CEMRA) merupakan teknik pilihan untuk pencitraan pada pembuluh darah. Teknik yang berkembang pada CEMRA selama dekade terakhir telah banyak mengalami perkembangan tidak hanya pada kualitas gambar namun juga pada kecepatan, ketersediaan, dan kemudahan penggunaannya.
192
Pencitraan pada Stroke
Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler
P
ada saat ini, terdapat kecenderungan bahwa stroke menyerang generasi muda yang masih produktif. Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan jumlah penderita stroke di Indonesia identik dengan wabah kegemukan akibat pola makan kaya lemak atau kolesterol yang melanda di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Kemajuan teknologi ultrasonografi terbaru saat ini telah memberikan kemudahan bagi kita untuk mengevaluasi sistem arterial intrakranial dengan menggunakan Transcranial Color Doppler (TCD), sebagai deteksi kondisi patologis vaskular pada pasien berisiko (Katz, M.L., 2003). Setelah transient ischemic attack (TIA), pasien berada pada risiko tinggi untuk mendapatkan serangan vaskular lebih besar. Risiko stroke 193
pada 90 hari pertama setelah TIA sekitar 4% hingga 20%, dengan separuh serangan terjadi pada 2 hari pertama. Sementara itu, risiko stroke pada 1 tahun setelah TIA berkisar antara 7% sampai 21%, dan setelah itu menurun dengan rata-rata per tahun 2% sampai 6% pada 4 hingga 5 tahun berikutnya (Holzer, K., et al., 2009). Pada penelitian yang dilakukan oleh Katrin Holzer pada tahun 2009, didapatkan data 13,8% pasien yang mengalami stroke iskemia atau TIA, sebesar 3,1% juga mengalami infark miokard atau sindroma koroner akut, dan 3,1% menjalani revaskularisasi arterial. Color Doppler Ekstrakranial (Extracranial Doppler = ECD) menunjukkan adanya stenosis ekstrakranial lebih dari 50% dan oklusi pada 19,3% pasien. TCD menunjukkan adanya stenosis intrakranial pada 9,2% dan pola aliran kolateral akibat stenosis ekstrakranial pada 3,1% kasus. Analisis data menyimpulkan bahwa abnormalitas ECD dan TCD merupakan prediktor untuk terjadinya serangan iskemia otak baru. Abnormalitas pada TCD juga merupakan prediktor serangan iskemia kardiovaskular. Dengan demikian, pasien TIA dengan TCD abnormal dikatakan mempunyai risiko tinggi untuk berkembang menjadi serangan iskemia otak dan kardiovaskular di masa yang akan datang (Holzer, K., et al., 2009). Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menguasai teknik pemeriksaan TCD dan memberikan interpretasi yang tepat agar dapat dilakukan terapi yang dini dan adekuat.
Sumber: Bathala, L., Man Mohan Mehndiratta, Vijay K Sharma, 2013
Gambar 12.1 (a) Probe ultrasound: (a) panah hitam Transcranial Doppler, panah putih yaitu Transcranial color-coded sonography. (b) (Ophthalmic), (c) (suboksipital), (d) (temporal) yang menggambarkan berbagai transcranial akustik window dan arah pemeriksaan selama TCD. 194
Pencitraan pada Stroke
Keunggulan TCD adalah tidak menimbulkan efek samping pada saat pendeteksian tidak seperti halnya pada sinar-X atau efek radiologi lain yang mengandung radioaktif sehingga lebih aman menggunakan TCD (Interactive and Atracctive Physics, 2010).
12.1 Definisi Transcranial Color Doppler Ultrasonografi Transcranial Color Doppler (TCD) merupakan pemeriksaan untuk mengukur blood flow velocity yang ditimbulkan oleh pembuluh darah basal intraserebral. Keuntungan utama TCD adalah non invasif, murah, dapat dikerjakan dengan mesin yang portable, dan dapat digunakan untuk monitoring jangka panjang, serta mempunyai resolusi yang tinggi sehingga sangat ideal untuk memantau respon dinamik serebrovaskular. Di samping itu, TCD saat ini telah dinyatakan dapat digunakan untuk mendeteksi circulating cerebral emboli, yang tidak dapat terdeteksi dengan modalitas imaging lainnya (Markus, H.S. et al., 2010).
12.2 Aplikasi Klinis TCD Teknik TCD telah diperkenalkan sebagai metode untuk mendeteksi vasospasme arteri serebri yang terjadi setelah perdarahan subarachnoid. Selama 20 tahun terakhir, aplikasi klinis TCD makin berkembang dan beberapa penelitian menghasilkan kegunaan lain TCD yaitu untuk mengevaluasi hemodinamik serebrovaskuler intrakranial. Secara khusus TCD telah digunakan untuk menginvestigasi beberapa hal berikut ini. • Diagnosis penyakit vaskular intrakranial. • Monitoring vasospasme pada perdarahan subarachnoid. • Skrining pada anak dengan penyakit sickle cell. • Mendeteksi jalur kolateral intrakranial. • Evaluasi efek hemodinamik penyakit oklusif ekstrakranial terhadap aliran darah intrakranial. • Monitoring intraoperatif. • Deteksi emboli serebri. • Monitoring evolusi dari serebral sirkulatori arrest. • Menggambarkan subclavian steal. • Evaluasi sistem vertebrobasilar. • Deteksi feeding arteri pada AVM. • Monitoring regimen antikoagulan atau terapi trombolitik. • Monitoring selama intervensi neuroradiologi. • Tes functional reserve. • Monitoring setelah trauma kepala (Katz, M.L., 2003, Rasulo, 2008).
Bab 12 – Mengenal Transcranial Color Doppler
195
12.3 Prinsip Dasar TCD Operator TCD harus mengerti bahwa spektral gelombang Doppler yang dihasilkan selama pemeriksaan TCD adalah berdasar pada hemodinamik. Gelombang yang dibentuk awalnya tidak menunjukkan informasi anatomis. TCD merupakan teknik ultrasonografi canggih sejak dikombinasikannya informasi hemodinamik dengan landmark anatomi sehingga mampu mengidentifikasi arteri intrakranial dengan akurat. Kita juga perlu memahami bahwa TCD berfungsi mengukur kecepatan aliran darah dan bukan mengukur cerebral blood flow. Jika didapatkan peningkatan kecepatan arteri intrakranial pada TCD, hal ini mungkin dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut ini. • Peningkatan volume darah tanpa perubahan diameter lumen. • Penurunan diameter lumen (stenosis) tanpa perubahan volume aliran darah. • Bisa juga karena kombinasi peningkatan volume aliran darah (volume flow) dan penurunan diameter lumen pembuluh darah (Rasulo F.A., 2008, Katz, M.L., 2003). Kualitas gambar TCD bergantung pada pengetahuan yang adekuat tentang kontrol instrumen alat. Display warna penting karena membantu peletakan yang tepat dari volume sampel Doppler. Interpretasi pemeriksaan TCD dibuat dari informasi spektral window Doppler. Untuk itu, sinyal Doppler perlu dibuat dari beberapa kedalaman sepanjang jalur arteri. Display color Doppler membantu operator untuk menentukan posisi arteri yang akan dinilai spektral gelombangnya (Katz M.L., 2003).
Sumber: Aichi Medical University Hospital, 2012.
Gambar 12.2 Pemeriksaan TCD pada kepala dan hasil pencitraannya.
196
Pencitraan pada Stroke
Hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan posisi sampel volume pada tampilan color Doppler dan mengoptimalkan sinyal Doppler adalah mengambil setting depth dan mengatur sudut pengambilan. Orientasi warna konvensional pada pemeriksaan TCD diset sebagai warna merah untuk menunjukkan aliran darah yang mengarah/mendekati transduser dan biru untuk menunjukkan aliran darah yang menjauhi transduser (Katz M.L., 2003). Dengan menjaga gambaran warna ini tetap tidak berubah (konstan), akan memudahkan operator menentukan petunjuk arah aliran darah pada arteri intrakranial. Gambaran aliran darah arteri intrakranial bergantung pada beberapa instrumen kontrol yang dapat mempengaruhinya. Oleh karena itu, estimasi ukuran arteri tidaklah akurat hanya dari display color Doppler (Katz M.L., 2003). Evaluasi arteri intrakranial dengan TCD dilakukan dengan menggunakan transduser frekuensi rendah (2 MHz). Sampel volume besar digunakan untuk membuat sinyal yang baik dari rasio noise. Window temporal sangat bagus dipakai pada 90% pasien, namun akan sulit dilakukan pada pasien yang lebih tua, dan lebih tepat jika digunakan probe dengan frekuensi 1 MHz (Schatlo, B. dan Ryszard M. Pluta, 2007, Katz M.L., 2003, Rasulo F.A., 2008). Dengan TCD, area scanning yang kecil sebagai “pintu gerbang” awal (5–10 mm) dapat diletakkan pada segmen arteri spesifik yang telah teridentifikasi pada gambar color flow. Velocity arteri intrakranial yang didapatkan dari TCD dianggap sudut 0°. Pada beberapa penelitian, peneliti melaporkan bahwa penggunaan TCD dengan menggunakan velocity peak sistolik dan end diastolik telah digunakan di samping mean velocity (time average peak velocities) (Katz M.L., 2003). Perbedaan velocity antar arteri intrakranial penting untuk diketahui dan penjelasannya sebagai berikut. 1) Velocity tertinggi adalah a. serebri media (MCA), 2) Jika velocity a. serebri anterior (ACA) lebih besar dari MCA > 25%, ACA mungkin hipoplasi, stenosis, memberi kolateral, atau mungkin terdapat infark pada distribusi MCA. 3) Velocity sirkulasi anterior lebih besar dari sirkulasi posterior (Katz ML, 2003). Pada pasien asimptomatik dewasa, asimetris antara sisi kanan dan kiri mungkin bisa minimal. Perbedaan antara sisi kiri dan kanan dilaporkan kurang dari 30% pada vaskular normal dan dengan anatomi sirkulus Willisi yang tidak terganggu. Perbedaan yang kecil secara umum tidak mengindikasikan adanya kondisi patologis. Jika didapatkan perbedaan saat pemeriksaan TCD, sebaiknya pemeriksaan diulang pada arteri yang velocitynya lebih rendah. Perbedaan dikatakan abnormal bila lebih dari 30%. Di samping itu, mungkin juga sulit untuk menginterpretasikan asimetri pada PCA dan a. vertebralis karena variasi anatomi dan atau hipoplasi yang sering terjadi pada arteri tersebut (Katz M.L., 2003). Bab 12 – Mengenal Transcranial Color Doppler
197
Pulsatility index (PI) juga penting untuk menilai adanya obstruksi flow vaskular. Berkurangnya flow pada distal obstruksi akan memiliki PI yang rendah/menurun (velocity diastolik lebih dari 50–60% dari peak sistolik). Sinyal Doppler yang didapatkan pada proksimal obstruksi akan memiliki resistensi yang tinggi (contohnya pada peningkatan tekanan intrakranial), sedangkan PI (pulsatilitas spektral gelombang) akan meningkat. PI normal pada MCA berkisar antara 0,5–1,1 (Katz M.L. 2003). Pelebaran spektral yang biasanya tampak pada stenosis arteri ekstrakranial dianggap tidak berpengaruh pada interpretasi TCD (Katz M.L. 2003).
12.4 Alat dan Metode pada TCD 12.4.1 Peralatan pada TCD Peralatan yang digunakan untuk TCD bervariasi mulai dari yang kecil dan portable sampai yang besar dan mesin statis. Mesin portable dapat digunakan untuk pemeriksaan bedsite.
Sumber: Katz ML, 2003, Stroobant, 2000
Gambar 12.3 Peralatan yang digunakan untuk pemeriksaan TCD. Transducer yang digunakan untuk pemeriksaan TCD berfrekuensi rendah (1-2 MHz) yang berbentuk seperti bulpoin. Transducer
Media dipindahkan Sebaran isi Profil kecepatan
198
Sudut Doppler
Sumber: Interactive and Atracctive Physics, 2010
Gambar 12.4 Prinsip kerja transducer pada TCD Arah aliran adalah dengan memberikan suatu gelombang bunyi ke tubuh manusia dengan menggunakan media transmiter. Pencitraan pada Stroke
12.4.2 Posisi Pasien Pemeriksaan TCD dikerjakan pada pasien dalam posisi supine. Posisi ini memungkinkan akses window transtemporal, transorbital, dan submandibular, sedangkan posisi lain digunakan untuk pendekatan window suboccipital. Pemeriksaan suboccipital dapat juga dikerjakan pada posisi supine dan kepala dihadapkan ke satu sisi, dengan pasien posisi duduk dan kepala ditundukkan ringan ke depan dada atau dengan pasien tidur miring ke satu sisi dengan kepala menekuk ringan sehingga dagu menyentuh dada. Pemeriksaan dengan window suboccipital dikatakan lebih mudah bila pasien dapat bertahan pada posisi tidur miring (Katz M.L., 2003; Rasulo FA, 2008).
12.4.3 Posisi Operator Operator duduk dekat kepala pasien dan menstabilkan lengan yang memeriksa dengan meletakkan siku pada meja periksa. Posisi lengan bawah akan mencegah pergerakan spontan dari tangan yang dapat menyebabkan hilangnya sinyal Doppler arteri intrakranial dan mencegah artefak karena gerakan yang dapat mempengaruhi gambaran sinyal. Pada posisi ini operator juga dapat mendapat akses yang sama baiknya antara sisi kanan dan kiri kepala, yang akan menghasilkan orientasi terbaik transduser terhadap tubuh. Penting bagi operator untuk menjaga kenyamanan dan segi ergonomis posisi saat melakukan pemeriksaan TCD. Kemampuan mekanik dan alignment tubuh dapat mencegah munculnya nyeri dan injuri bagi pasien dan operator (Katz M.L., 2003).
12.4.4 Window/lokasi pemeriksaaan TCD • •
Pemeriksaan TCD yang lengkap meliputi pendekatan melalui: transtemporal • suboccipital transorbital • submandibular
B
C
A D Sumber: Katz M.L., 2001, Rasulo F.A., 2008
Gambar 12.5 Posisi transduser yang dipakai untuk window TCD. (A) transtemporal, (B) transorbital, (C) suboccipital, dan (D) submandibular.
Bab 12 – Mengenal Transcranial Color Doppler
199
Depths (mm) dan mean velocity (cm/sec) arteri intrakranial yang dievaluasi melalui beberapa pendekatan TCD antara lain seperti pada Tabel 12.1 berikut ini.
Tabel 12.1 Depths dan mean velocity arteri intrakranial yang dievaluasi melalui beberapa pendekatan TCD Depth (mm)
Mean Velocity (cm/sec)
Middle Cerebral
30–67
62 ± 12
Anterior Cerebral
60–80
50 ± 11
Terminal Internal Carotid
60–67
39 ± 9
Posterior Cerebral
55–80
39 ± 10
Window Transtemporal
Arteri
Posterior Communicating Anterior Communicating Ophthalmic
40–60
21 ± 5
Internal Carotid (siphon)
60–80
47 ± 10
Suboccipital
Vertebral
40–85
38 ± 10
Basilar
> 80
41 ± 10
Submandibular
Distal Internal Carotid
35–70
37 ± 9
Transorbital
Sumber: Katz, M.L., 2003
12.4.5 Window Transtemporal Window transtemporal digunakan untuk mengevaluasi a. serebri media (MCA), a. serebri anterior (ACA), a. serebri posterior (PCA), dan bagian terminal dari a. karotis interna (TICA) sebelum bifurkatio (Rasulo F.A., 2008). Pendekatan transtemporal dilakukan dengan memposisikan pasien supine dengan kepala lurus. Transduser diletakkan pada cephalad os temporal ke arcus zygomaticus, bagian anterior telinga. Pemberian gel akustik yang agak banyak penting untuk memastikan kontak yang baik antara transducer dan kulit untuk mengoptimalkan sinyal Doppler (Katz M.L., 2003). Window transtemporal bervariasi dalam ukuran dan lokasinya pada beberapa pasien dan mungkin juga bervariasi pada satu sisi dengan sisi yang lain pada satu pasien. Window ini bisa tidak didapatkan pada > 30% populasi pada saat pemeriksaan TCD dan sulit terdeteksi pada pasien tua, wanita, dan pada ras afroamerika (Katz M.L., 2003). Orientasi marker transducer sebaiknya diletakkan pada arah anterior dengan sudut transduser sedikit ke superior. Orientasi ini menghasilkan gambar transvers obliq view yang memiliki keuntungan dapat mem perlihatkan sirkulasi anterior dan posterior intrakranial pada beberapa pasien. Hemisfer ipsilateral adalah sebagai sisi paling atas dan hemisfer 200
Pencitraan pada Stroke
kontralateral yang berada pada sisi terbawah pada monitor, dimana sisi anterior berada di sisi kiri dan posterior di sisi kanan (Katz M.L., 2003). Dengan window transtemporal dan setting depth yang baik (14–16 cm), skull kontralateral memberikan echo dekat area terbawah dari gambar. Transduser harus digerakkan pelan-pelan sepanjang permukaan kulit untuk mendapat window transtemporal yang terbaik. Setelah didapatkan lokasi terbaik, setting depth diatur pada 8-10 cm. Visualisasi sistem arterial kontralateral mungkin dapat dilihat pada beberapa pasien, namun sebaiknya dievaluasi secara terpisah melalui window ipsilateral untuk mendapatkan sudut transduser yang terbaik. Pada pasien yang hanya bisa dengan window transtemporal unilateral, mengevaluasi sisi kontralateral masih memungkinkan dan hal itu memberikan informasi perkiraan (Katz M.L., 2003). Setelah meletakkan transduser pada window transtemporal, transduser kemudian disudutkan ke arah sedikit inferior untuk mengidentifikasi landmark tulang. Struktur anatomi ini memastikan bahwa operator telah ada pada level yang benar pada skull untuk mendapatkan sirkulus Willisi. Reflective echo yang meluas ke anterior adalah lesser wing os sphenoid dan reflective echo dari petrous ridge os temporal akan meluas ke posterior. Lobus temporal ipsilateral merupakan puncak dari gambar. Setelah mendapat visualisasi landmark intrakranial ini, gray scale dioptimasi menggunakan gain dan kontrol TGC (times gain compensation). Kontrol warna kemudian dihidupkan dan pemeriksaan dimulai dengan menggambarkan a. karotis interna terminal (t-ICA) yang terletak dekat dengan foramen lacerum. T-ICA berada pada depth 60– 67 mm, dengan mean velocity normal 39 ± 9 cm/detik, dan arah aliran darah bergantung pada konfigurasi anatomi arteri (Katz M.L., 2003). Walaupun sirkulasi anterior dan posterior dapat tervisualisasi dengan simultan pada beberapa pasien, sering kali untuk melihat anatomi pasien diperlukan beberapa pemeriksaan. Dengan mengubah sedikit posisi dan sudut transduser pada kulit, kita dapat mengevaluasi sirkulasi intrakranial anterior dan posterior (Katz M.L., 2003). Cerebral penducles Ipsilateral 2
M2 A1 A2
4
M1
6 8
P1 P2
10 Contralateral
Sumber: Katz M.L., 2001
Gambar 12.6 Skema sirkulus Willisi yang tervisualisasi pada window transtemporal. Bab 12 – Mengenal Transcranial Color Doppler
201
Berdasarkan Gambar 12.6 terlihat arteri serebri media (M1 dan M2); a. serebri anterior (A1 dan A2), dan a. serebri posterior (P1 dan P2).
Sumber: Katz M.L., 2001
Gambar 12.7 Sirkulus Willisi pada window transtemporal. Arteri serebri media (MCA); arteri serebri anterior (ACA), dan arteri serebri posterior (PCA).
Sumber: Katz M.L., 2001
Gambar 12.8 Tampilan sirkulus Willisi dari window transtemporal dengan power Doppler. Transduser disudutkan ke anterior dan ke superior sehingga akan tampak sirkulasi anterior (a. serebri media dan anterior). Sphenoid wing dapat digunakan sebagai landmark karena a. serebri media (MCA) melalui 202
Pencitraan pada Stroke
di dekatnya. Cabang utama MCA akan tampak merah karena aliran darah secara normal mendekati transduser. Depth umumnya 30–67 mm dan mean velocity normal 62 ± 12 cm/detik. Cabang M2 umumnya tampak merah, namun bisa juga biru saat kurva dan aliran darahnya menjauhi transducer (Katz M.L., 2003).
Sumber: Katz M.L., 2001
Gambar 12.9 Sinyal Doppler dari a. serebri media (MCA) dengan mean velocity 56 cm/sec. Arteri serebri anterior (ACA) ditunjukkan sebagai warna biru karena alirannya menjauhi transduser menuju midline. Transduser harus disudutkan sedikit ke anterior dan superior untuk memvisualisasikan ACA. Depth umumnya 60–80 mm dan mean velocity normal 50 ± 11 cm/detik, dan color PRF harus dikurangi untuk menunjukkan arteri ini karena velocitynya yang lebih rendah. Walaupun bukan merupakan pemeriksaan yang rutin, bagian proksimal dari segmen A2 sering kali dapat tervisualisasi, tergambar dengan warna biru yang ekstensi ke arah anterior pada midline menuju ke fisura interhemisfer (Katz M.L., 2003).
(A)
(B)
(C) Sumber: Anthony R, 1996
Gambar 12.10 Diagram arteri serebri anterior (A), arteri karotis interna terminal (B), dan arteri serebri posterior (C). Bab 12 – Mengenal Transcranial Color Doppler
203
Pada Gambar 12.10 bagian (A) menunjukkan diagram yang meng gambarkan transduser diposisikan pada anterior window transtemporal. Spektral Doppler yang didapat dari sampel volume pada depth 60–75 mm menunjukkan velocity 41–76 cm/detik. Arah aliran darah menjauhi transduser. Bagian (B) merupakan diagram yang menunjukkan a. karotis interna terminal. Diagram menunjukkan posisi transducer pada medial window transtemporal. Spectral window Doppler didapat dari sampel volume pada depth 60–65 mm, menggambarkan aliran normal dengan velocity 30–48 cm/detik. Aliran darah mendekati transduser. Semetara itu, bagian (C) menunjukkan A. serebri posterior (P1). Diagram menunjukkan posisi transduser pada window transtemporal posterior. Spektral didapat dari depth 60–75 mm, menunjukkan aliran normal dengan velocity 33– 64 cm/detik, dengan aliran darah mendekati transduser. Sirkulasi posterior dapat tervisualisasi dengan menyudutkan transduser sedikit ke posteroinferior, menggunakan landmark anatomi pedunkulus serebri. Normal 2 pedunkulus serebri identik, sama ukuran dan bentuknya, serta isoechoic. A. serebri posterior (PCA) melingkupi sekitar pedunkulus serebri. Segmen P1 dari PCA tampak merah karena aliran darah normal mendekati transduser. Color PRF harus diturunkan untuk memvisualisasikan PCA karena velocity aliran darah yang rendah. Depth umumnya antara 55–80 mm dan mean velocity 39 ± 10 cm/ detik. Segmen P2 dari PCA mungkin dapat tergambar merah (mendekati transduser) sedikit distal dari pangkal a. communicating posterior, namun dapat juga tergambar biru distal dari jalur sekitar pedunkulus serebri. Hal ini dapat bervariasi karena vaskular yang turtous dan orientasi dari transduser. Sering kali segmen P1 ipsilateral dan kontralateral dapat tervisualisasi dekat dengan asalnya pada terminal a. basilaris. Segmen P1 terlihat berwarna merah dan segmen P1 kontralateral berwarna biru (Katz ML, 2003). Arteri communicating anterior (ACoA) tidak tervisualisasi karena ukurannya yang sangat pendek. Sementara itu arteri communicating posterior (PCoA) lebih panjang dan sering tervisualisasi, menghubungkan sirkulasi anterior dan posterior. Mean peak velocity pada PcoA yaitu 36 ± 15 cm/detik dan arah aliran darah dapat mendekati atau menjauhi transduser. Color PRF harus diturunkan untuk memvisualisasikan PCoA. Keuntungan lain, dengan power Doppler imaging dapat membantu menunjukkan lokasi PCoA karena arteri ini sering berjalan pararel dengan garis kulit (Katz ML, 2003). Hal penting yang harus diingat yaitu bahwasannya Transcranial Color Doppler hanyalah gambar 2 dimensi. Arteri intrakranial yang turtous sering kali tidak dapat ditampilkan seluruh panjangnya pada jalur yang kontinyu. Pada kasus ini, gambar grey scale dan informasi color pixel dapat membantu mengarahkan gerakan sampel volume Doppler melalui lokasi anatomi yang benar dan operator dapat menggunakan imaging transducer untuk mendapatkan informasi hemodinamik yang memadai guna melakukan pemeriksaan TCD (Katz ML, 2003). 204
Pencitraan pada Stroke
12.4.6 Window Subocciptal Window suboccipital (transforaminal) dapat memberikan informasi tentang distal a. vertebralis (VA) dan a. basilaris (BA) (Rasulo FA, 2008). Ketika mengevaluasi sistem vertebrobasilar, hasil yang terbaik bisa didapatkan dengan memposisikan pasien berbaring pada satu sisi dengan kepala sedikit menunduk ke arah dada. Posisi ini akan meningkatkan gap antar kranium dengan atlas. Orientasi marker dari transduser diposisikan pada sisi kanan pasien dan transducer diletakkan pada aspek posterior dari leher, inferior dari nuchal crest. Gambar terbaik dari window suboccipital didapatkan dengan transduser diletakkan dekat midline dengan beam ultrasound diarahkan ke pertengahan hidung. Transduser (wide ultrasound beam) diletakkan lebih inferior dari leher dan disudutkan lebih superior untuk mendapat gambaran sistem arteri vertebrobasilar (Katz ML, 2003).
Sumber: Georgios, 2008
Gambar 12.11 Gelombang low-resistance PMD flow normal pada vaskular sirkulasi posterior. Jika kita perhatikan gambar di atas maka (A) menunjukkan PCoA (ditandai dengan pita biru pada depth 53–72 mm dengan window transtemporal. MCA tampak lebih superfisial (pita merah). (B) menunjukkan VA (window suboccipital). (C) menunjukkan BA (window suboccipital/transforaminal). (D) menunjukkan puncak basiler (ipsilateral PIPCA-pita merah pada depth 56–73 mm dan kontralateral PIPCA-pita biru pada depth 74–86 mm dengan window transtemporal). (E) menunjukkan arteri serebelli posterior inferior/PICA-merah pada depth
Bab 12 – Mengenal Transcranial Color Doppler
205
58–67 mm pada window suboccipital tampak ipsilateral VA dan BA secara simultan tervisualisasi pada PMD display (Georgios, 2008). Area anechoic sirkular besar yang digambarkan dari window suboccipital ini merupakan foramen magnum dan refleksi hiperechoic yang lebar adalah dari os occipital. Depth dari struktur anatomi ini bervariasi pada beberapa pasien bergantung pada ketebalan soft tissue suboccipital. Saat landmark anatomi telah didapatkan, gambar grey scale dioptimasi dengan menggunakan image gain dan kontrol TGC. Kontrol warna/Doppler dihidupkan dan a. vertebralis kanan akan tampak pada sisi kiri gambar (monitor) dan a. vertebralis kiri pada sisi kanan gambar (monitor). Arteri basilaris posisinya lebih dalam (terbawah pada gambar) terhadap arteri vertebralis. Depth gambar harus diset antara 10–12 cm. Aliran darah pada arteri vertebralis normal umumnya menjauhi transduser sehingga tampak berwarna biru. Sistem vertebrobasilar tampak sebagai “blue Y” pada gambar. Operator tidak selalu dapat memvisualisasikan sistem vertebrobasilar dalam bentuk “Y” yang kontinyu karena bentuk yang turtous dari arteri basilaris dan vertebralis. Bahkan jika "Y"–sign dapat divisualisasikan dengann color flow imaging, kebanyakan sisi distal dari a. basilaris tidak dapat secara jelas tampak pada gambar. Arteri basilaris sering turtous dan gambaran dari bagian distalnya memerlukan tambahan manuver "dig-in" dengan transducer (Katz M.L., 2003). Saat didapatkan gambar "Y"-sign, operator perlu menggerakkan transduser sedikit ke inferior namun bertujuan lebih rostral untuk menggambarkan perjalanan dari distal a. basilaris. Penting untuk diingat bahwa distal a. basilaris umumnya ditemukan pada depth 10 cm, sedangkan "Y"-junction dari a. vertebralis didapatkan pada depth antara 7–8.5 cm. Sampel volume Doppler ditempatkan di arteri vertebralis dan akan didapatkan gelombang spektral Doppler. Sampel volume dapat digerakkan dari satu sisi ke sisi yang lain atau dapat dievaluasi melalui beberapa bagian a. vertebralis secara individual. Mean velocity pada a. vertebralis normal adalah 38 ± 10 cm/detik dan mean velocity pada arteri basilaris yaitu 41 ± 10 cm/detik. Jika sirkulasi posterior mempunyai velocity yang lebih rendah daripada sirkulasi anterior mungkin operator perlu menurunkan color PRF untuk menggambarkan sistem vertebrobasilar. Operator juga perlu memilih posisi transduser pada leher atau menyesuaikan sudutnya untuk mencari letak a. basilaris yang lebih dalam. Menggerakkan transduser sedikit ke inferior sering dapat menghasilkan gambar yang lebih baik daripada distal a. basilaris. Untuk mengikuti a. basilaris hingga distal, sebaiknya operator tidak menampilkan gambaran color Doppler. Pada kasus ini, operator sebaiknya menggunakan transduser untuk mendapatkan Doppler hemodinamik seperti pada pemeriksaan non-imaging TCD. Sampel volume digerakkan sepanjang jalur yang diperkirakan merupakan a. basilaris. Bagian terminal a. basilaris pada percabangannya ke PCA kanan kiri tidak dapat digambarkan melalui window ini (Katz M.L., 2003).
206
Pencitraan pada Stroke
12.4.7 Window Transorbital Window transorbital (orbital) memberikan akses untuk mengevaluasi a. ophthalmica (OA) dan a. karotis interna pada level siphon (Rasulo, 2008). Evaluasi melalui transorbital memberikan informasi tentang a. ophthalmica dan karotid siphon. United States Food and Drug Administration (FDA) telah memperkenalkan transduser dari beberapa pabrik untuk evaluasi mata. Penting saat melakukan pemeriksaan ini yaitu untuk menurunkan setting power secara signifikan sebelum mengevaluasi mata. Dilaporkan bahwa dengan menggunakan power output yang rendah akan didapatkan gambaran color Doppler yang bagus. Di samping itu, waktu pemeriksaan juga harus seminimal mungkin. Walaupun belum ada yang meneliti bioefek akibat pemeriksaan ultrasonografi pada mata, setting power dari sistem color Doppler dapat meningkatkan risiko terjadinya kerusakan mata. Level output akustik maksimal yang direkomendasikan oleh FDA untuk pemeriksaan pada mata adalah dengan intensitas spasial peak temporal average (SPTA)-nya antara 17 mW/cm2 dan mechanical index (MI)-nya 0,28. Pemandu prinsip untuk penggunaan ultrasonografi sebagai diagnostic adalah ALARA ("as low as reasonably achievable"), yaitu serendah dan seaman mungkin (Katz M.L., 2003). Pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien supine dan transduser diletakkan secara gentle dekat dengan bulu mata. Pelepasan lensa kontak hanya dibutuhkan jika pasien merasa tidak nyaman. Disarankan menggunakan gel yang banyak dan juga dianjurkan untuk tidak menekan bulu mata. Perhatian terhadap control instrument penting untuk meminimalisir artefak yang ditimbulkan oleh pergerakan involuntair bola mata. Kadang kala sangat membantu bagi kita untuk menyarankan pasien untuk memfokuskan matanya pada satu sisi yang berlawanan selama dilakukan pemeriksaan (Katz M.L., 2003). Orientasi marker dari transduser harus diletakkan medial, menuju hidung, ketika kita melakukan pemeriksaan pada mata kanan dan kiri. Pemeriksaan pada salah satu mata menghasilkan gambar dengan medial (nasal) pada sisi kiri dan temporal pada sisi kanan monitor. Variasi teknik ini adalah dengan marker orientasi yang diarahkan pada sisi kanan pasien saat mengevaluasi satu mata. Orientasi transduser ini akan menghasilkan gambar carotid siphon dengan medial (nasal) pada sisi kiri monitor saat memeriksa mata kiri dan medial pada sisi kanan monitor saat mengevaluasi mata kanan. Globe berada pada puncak/bagian teratas dari gambar (monitor) (Katz M.L., 2003). Carotid siphon didapatkan pada depth 60–80 mm dan mean velocity 47 ± 14 cm/detik. Arah aliran darah bergantung pada segmen mana (parasellar, genu, supraclinoid) dimana terinsonasi. Aliran darah (blood flow) pada genu tampak 2 arah, mendekati transduser dan menjauhi transduser pada segmen supraklinoid (Katz M.L., 2003). Untuk mengevaluasi a. ophtalmica, setting depth sampel volume Doppler diatur antara 40–60 mm. Gambar yang terbaik dari segmen superfisial ini akan didapatkan dengan menggunakan frekuensi yang Bab 12 – Mengenal Transcranial Color Doppler
207
lebih tinggi (7,5–10 MHz) dari transducer linear array. Ultrasound beam harus diarahkan sedikit ke medial sepanjang plane anterior-posterior. OA umumnya dapat ditemukan dekat dengan nervus opticus. Color PRF harus diturunkan untuk memvisualisasikan arteri ini. Aliran darah umumnya mendekati transduser dengan mean velocity normal 21 ± 5 cm/detik. Sinyal Doppler memiliki pulsatilitas yang tinggi karena OA mensuplai darah ke globe dan strukturnya (Katz M.L., 2003).
Sumber: Antony, 1996
Gambar 12.12 (Kiri) Arteri ophthalmica dan (kanan) carotid siphon. Berdasarkan gambar di atas, diagram menunjukkan transducer diletakkan di window transorbital. Spektral Doppler diambil dari depth 45–60 mm menunjukkan aliran darah normal dengan velocity 21–49 cm/ detik. Aliran darah mendekati transduser (kanan) carotid siphon. Diagram menunjukkan posisi transduser pada window transorbital. Spektral Doppler diambil pada depth 60–75 mm, menunjukkan velocity normal 50–60 cm/detik. Aliran tampak 2 arah (bidirectional) (Anthony, 1996).
12.4.8 Window Submandibular Window submandibular dipakai untuk mengevaluasi bagian distal arteri karotis interna (ICA) ekstrakranial. Pendekatan melalui submandibular merupakan kelanjutan dari evaluasi duplex imaging ekstrakranial distal arteri karotis. Transducer diletakkan pada angulus mandibula dan disudutkan sedikit ke medial dan diarahkan menuju karotid kanal. Marker orientasi transduser ditempatkan di arah superior. Aliran darah distal ICA yaitu menjauhi transduser dan tergambar berwarna biru. Evaluasi Doppler yang hati-hati dapat membedakan sinyal ICA yang resistensinya rendah dari sinyal yang resistensinya tinggi dari ECA. Aliran vena kurang pulsatil dan mengarah mendekati transduser (warna merah). Sudut transduser harus diatur 208
Pencitraan pada Stroke
mengikuti bagian retromandibular dari ICA. Mean velocity di segmen ICA normal 37 ± 9 cm/detik (Katz M.L., 2003). Pada akhir pemeriksaan TCD, gel ultrasonografi dibersihkan dari pasien. Gel yang menempel di transduser juga dibersihkan dengan desinfektan (Katz M.L., 2003). Dapat disimpulkan bahwa kriteria yang digunakan untuk meng identifikasi masing-masing arteri intrakranial adalah sebagai berikut.
Tabel 12.2 Kriteria identifikasi pembuluh darah 1. Menggunakan kranial window 2. Sampel volume depth (mm) 3. Arah aliran (menuju atau menjauhi transduser, dua arah) 4. Jarak (mm) dimana pembuluh darah dapat ditulusuri tanpa bercabang 5. Hubungan dengan persimpangan TICA/MCA/ACA 6. Sudut transduser dalam hubungannya dengan kepala dan kranial window pasien 7. Kecepatan aliran relatif (MCA>ACA>PCA = BA = VA) 8. Respon terhadap kompresi common carotid artery Catatan: ACA: anterior cerebral artery; BA: basilar artery; MCA: middle cerebral artery; PCA: posterior cerebral artery; TICA: terminal internal carotid artery; VA: vertebral artery. Sumber: Anthony R, 1996
Sumber: Anthony R, 1996
Gambar 12.13 Kompresi arteri karotis kommunis.
Bab 12 – Mengenal Transcranial Color Doppler
209
210
Pencitraan pada Stroke
60–75 60–75
Transtemporal
PCA (P2)
60–75
90–120
65–85
60–75
Away
Away
Toward
Bidirectional
Away
Toward
Toward
Away
Toward
Away
Bidirectional
Toward
Arah aliran (relatif terhadap transducer)
Inferior
...
...
...
...
...
...
Posteroinferior
Posteroinferior
Anterosuperior
At
At
Hubungan dengan TICA/MCA/ACA Juction
30–57
27–55
50–60
...
50–60
21–49
30–48
33–64
33–64
41–76
...
46–86
Kecepatan (cm/detik)
0, r
0, r
0, r
0
0, r
...
...
0, (fetal origin: , 0)
0, (fetal origin: , 0)
, 0, r
, 0
, 0
Respon terhadap kompresi carotid
Sumber: Anthony R, 1996
Catatan: arteri kommunikating anterior dan posterior hanya terdeteksi oleh transcranial Doppler sonography jika mereka beraksi sebagai rute sirkulasi kolateral (menunjukkan peningkatan aliran darah). ACA = anterior cerebral artery, CS = carotid siphon, MCA = middle cerebral artery, PCA = posterior cerebral artery, r = reversal of flow, TICA = terminal internal carotid artery, = decreased flow, = increased flow.
Transforaminal
Basilar artery
60–75
Transorbital
Transforaminal
CS, parasellar
Transorbital
CS, genu
Vertebral artery
60–75
Transorbital
CS, supraclinoid
45–60
Transtemporal
Transorbital
TICAv
Opthalmic artery
60–75
Transtemporal
Transtemporal
ACA
PCA (P1)
60–65
Transtemporal
MCA/ACA bifurcation
45–65
Transtemporal
Window
MCA (M1)
Arteri
Depth (mm)
Tabel 12.3 Ringkasan kriteria identifikasi pembuluh darah
Gambar 12.13 menunjukkan gambaran transcranial Doppler pada MCA kiri selama kompresi arteri karotis kommunis yang menunjukkan penurunan aliran. Hal ini mengindikasikan bahwa arteri kini bergantung pada vaskular yang dikompresi. Tanda panah menunjukkan periode selama kompresi.
Tabel 12.4 Pola khas untuk identifikasi arteri serebral Pembuluh darah
Arah pemeriksaan
Depth (mm)
Arah aliran
Kompresi ipsilateral karotid
Kompresi kontralateral karotid
Arteri serebral anterior
Anterior
60–75
Menjauh
Pembalikan aliran
Kecepatan meningkat
MCA
Perpendicular
35–60
Menuju
Mengurangi kecepatan
Tidak berubah
Arteri serebral posterior
Posterior
55–70
Menuju
Tidak ada Tidak perubahan atau berubah penambahan kecepatan Sumber: (Sloan, M.A. et al., 2004)
Tabel di atas merupakan pola normal yang diharapkan pada individu dengan anatomi sirkulus Willisi normal dan tanpa patologi vaskular atau intrakranial. Pemeriksaan individu mungkin berbeda.
12.5 Akurasi TCD dan Faktor Fisiologis dalam Pemeriksaan TCD 12.5.1 Akurasi TCD dalam pemeriksaan diagnostik Bagaimana akurasi TCD dalam pemeriksaan diagnostik? Kita akan mempelajarinya pada tabel berikut ini.
Tabel 12.5 Akurasi TCD ultrasonografi dengan indikasi Indikasi Sickle cell disease Right-to-left cardiac shunts
Sensitivitas (%)
Spesifitas (%)
86
91
70–100
> 95
Intracranial steno-occlusive disease
Standar acuan
Eviden/ kelas
Conventional angiography
A/I
Transesophageal
A/II
Conventional angiography
Anterior circulation
70–90
90–95
B/II–III
Posterior circulation
50–80
80–96
B/III
MCA
85–95
90–98
B/III
ICA, VA, BA
55–81
96
B/III
3–78
60–100
Occlusion
Extracranial ICA stenosis Single TCD variabel
Conventional angiography
Bab 12 – Mengenal Transcranial Color Doppler
C/II–III
211
Indikasi TCD battery TCD battery and carotid duplex
Sensitivitas (%)
Spesifitas (%)
Eviden/ kelas
49–95
42–100
C/II–III
89
100
C/II–III
Standar acuan
Vasomotor reactivity testing ≥ 70% extracranial ICA stenosis/occlusion
Conventional angiography, clinical outcomes
B/II–III
Carotid endarterectomy
EEG, MRI, clinical outcomes
B/II
Cerebral microembolization
Experimental model, pathology, MRI, neuropsychological tests B/II–IV
General Coronary artery bypass graft surgery microembolization
B/II–III
Prosthetic heart valves
C/III
Cerebral thrombolysis
Conventional angiography, MRI angiography, clinical outcome
B/II–III
Conventional angiography
I–III
Conventional angiography, EEG, clinical outcome
II
Complete occlusion
50
100
Partial occlusion
100
76
Recanalization
91
93
Vasospasm after spontaneous subarachnoid hemorrhage: Intracranial ICA
25–30
83–91
MCA
39–94
70–100
ACA
13–71
65–100
VA
44–100
82–88
BA
77–100
42–79
PCA
48–60
78–87
Vasospasm after traumatic subarachnoid hemorrhage Cerebral circulatory arrest and brain death
91–100
97–100
TCD = transcranial Doppler, MCA = middle cerebral artery, ICA = internal carotid artery, VA = vertebral artery, BA = basilar artery, ACA = anterior carotid artery, PCA = posterior carotid artery Sumber: MA Sloan, 2004
12.5.2 Faktor Fisiologis Yang Mempengaruhi Pemeriksaan TCD Faktor fisiologis apa saja yang mempengaruhi pemeriksaan TCD? Berikut ini penjelasannya (Katz, M.L., 2003). a. Usia Kecepatan pada TCD dipengaruhi oleh usia pasien. Kecenderungan turunnya kecepatan dengan meningkatnya usia diakibatkan oleh perubahan cardiac output dan berhubungan dengan penurunan cerebral blood flow dengan bertambahnya usia. 212
Pencitraan pada Stroke
b. Jenis kelamin Daya tembus os temporal dengan ultrasonografi umumnya lebih sulit pada wanita dibanding pria. Namun dalam hal sinyal Doppler intrakranial, tidak ada perbedaan yang bermakna. c. Hematokrit Hematokrit (Hct) merupakan presentasi dari jumlah sel darah merah yang menentukan viskositas darah. Viskositas darah sangat mempengaruhi kecepatan aliran darah. Kecepatan darah akan meningkat pada anemia (Hct < 30%) untuk menjaga terpenuhinya kebutuhan oksigen yang adekuat. Pada anemia peningkatan kecepatan terjadi di seluruh arteri intrakranial. Jika peningkatan kecepatan hanya terjadi secara fokal/lokal pada segmen/arteri tertentu saja maka perlu dipikirkan penyebab lainnya. Akan sulit untuk mengidentifikasi stenosis intrakranial pada pasien dengan hematokrit yang rendah. d. Demam Demam akan meningkatkan cerebral blood flow sekitar 10% untuk setiap peningkatan temperatur 1 derajat. Melakukan pemeriksaan TCD saat pasien sedang demam akan menghasilkan peningkatan kecepatan arteri intrakranial dibandingkan dengan baseline. Oleh karena itu, pada pasien dengan kondisi demam maka pelaksanaan TCD harus dijadwal ulang. e. Hipoglikemia Pasien hipoglikemia juga akan mengalami peningkatan cerebral blood flow untuk meningkatkan pengiriman glukosa ke otak. Hal ini belum begitu mempengaruhi hasil TCD sampai glukosa kurang dari 40 mg. f.
Karbon dioksida Perubahan parsial tekanan CO2 pada arteri mempengaruhi cerebral blood flow dan kecepatan arteri intrakranial. Hiperventilasi [defisiensi CO2 = hipokapnia] menyebabkan penurunan mean velocity MCA dan peningkatan P.I. hipoventilasi [ekses CO2 = hiperkapnia] menyebabkan peningkatan kecepatan MCA dan penurunan P.I. g. Heart rate/cardiac output/tekanan darah Kecepatan arteri intrakranial juga merupakan refleksi dari heart rate. Sebagian besar operator TCD yang berpengalaman menolak melakukan pemeriksaan pada pasien yang sedang merasakan nyeri dan gelisah atau pada kondisi yang menyebabkan perubahan heart rate. Aritmia jantung akan tergambar pada data TCD. Data harus diambil beberapa kali untuk menghindari bradikardi atau takikardi yang ekstrim. Perubahan cardiac output yang ringan tidak akan terlalu berpengaruh terhadap CBF, namun penurunan cardiac output yang berat akan mengakibatkan penurunan kecepatan yang signifikan. Ketika terdapat perubahan dari tekanan darah maka arteriol serebri akan merespon untuk menjaga volume konstan (autoregulasi).
Bab 12 – Mengenal Transcranial Color Doppler
213
Peningkatan tekanan darah menyebabkan arteriol konstriksi akan meningkatkan resistensinya untuk menjaga aliran darah tetap konstan. Pada orang dewasa, perubahan kecil tekanan darah tidak berpengaruh terhadap CBF. Tekanan darah harus meningkat atau menurun dengan berat sampai autoregulasi tidak dapat mengkompensasi dan terjadi peningkatan CBF pada hipertensi dan penurunan CBF pada hipotensi. h. Aktifitas otak Pemeriksaan TCD menunjukkan peningkatan kecepatan PCA saat merespon stimulasi visual dan saat terjadi peningkatan aktifitas metabolik dan CBF regional, yang tergambar pada tes verbal, spasial, dan manual. Perubahan kecepatan selama aktifitas kognitif tidak menyebabkan kesalahan yang signifikan saat pemeriksaan TCD. Efek ini umumnya kecil, singkat, dan bilateral.
12.6 Keterbatasan TCD Selain kelebihan yang terdapat pada teknik TCD, ada beberapa kelemahan TCD seperti penjelasan berikut ini.
12.6.1 Flow velocity (FV) vs cerebral blood flow (CBF) TCD tidak dapat mengukur diameter vaskular secara pasti. TCD hanya memberikan informasi tentang FV saja, bukan CBF. Dua hal ini berhubungan sebagai FV = blood flow volume/blood vessel diameter. Asumsi tehadap perubahan satu faktor hanya bila faktor lain dianggap normal/konstan. Belum ada metode yang dapat mengukur diameter pasti dari vaskular dengan menggunakan TCD. Adanya hubungan antara diameter dan aliran adalah jika aliran dianggap konstan, sedangkan jika diameter berkurang maka FV akan meningkat. Hal inilah yang dijadikan dasar penggunaan TCD untuk mendiagnosis stenosis pembuluh darah atau spasme (Hugh, 2000).
12.6.2 Sudut insonasi sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan Bentuk spektrum kecepatan TCD merepresentasikan darah yang memiliki velocity terbesar pada segmen vaskular yang diperiksa. Kecepatan yang diperiksa merupakan proporsi terbalik dari kosinus dari sudut yang dibentuk antara ultrasound beam dan vektor kecepatan. Jika sudutnya 0, kosinusnya adalah 1, dan jika sudutnya 15 maka kosinus akan lebih dari 0,96. Oleh karena itu antara range ini, kesalahan yang disebabkan oleh perubahan sudut insonasi adalah kurang dari 4%. Sementara itu, menaikkan sudut hingga 30 akan meningkatkan kesalahan hingga 15% (Baumgartner, 1997).
214
Pencitraan pada Stroke
Pengaturan sudut yang tidak tepat akan sangat mempengaruhi interpretasi. Nilai mutlak FV yang dinilai pada waktu yang berbeda seharusnya dibuat jika probe sudah terfiksasi pada seluruh posisi pada keseluruhan pemeriksaan. Sinyal power Doppler berhubungan dengan total aliran yang diobservasi dengan Doppler yang berhubungan dengan sudut insonasi, area pembuluh darah, dan hematokrit (Dahl A, 1989). Beberapa operator menggunakan sinyal power Doppler sebagai marker sudut konstan selama pemeriksaan (Moppett, I.K., dan R.P. Mahajan, 2004).
Rangkuman 1. TCD menawarkan manfaat baru dan penting bagi pasien. Dengan menggunakan landmark anatomi dan kontrol instrumen yang memadai, akan didapatkan evaluasi yang akurat tentang hemodinamik arteri intrakranial secara kompleks. 2. Ultrasonografi Transcranial Color Doppler (TCD) merupakan pemeriksaan untuk mengukur blood flow velocity yang ditimbulkan oleh pembuluh darah basal intraserebral. 3. Keuntungan utama TCD adalah non invasif, murah, dapat dikerjakan dengan mesin yang portable, dan dapat digunakan untuk monitoring jangka panjang, serta mempunyai resolusi yang tinggi sehingga sangat ideal untuk memantau respon dinamik serebrovaskular. Di samping itu, TCD saat ini telah dinyatakan dapat digunakan untuk mendeteksi circulating cerebral emboli, yang tidak dapat terdeteksi dengan modalitas imaging lainnya. 4. Hal yang penting diingat pada pemeriksaan TCD antara lain sebagai berikut. a. Gali riwayat penyakit pasien (fokus pada riwayat penyakit, faktor risiko, dan gejala yang dialami). b. Perhatikanlah status pembuluh darah ekstrakranial. c. Pemeriksa harus familiar/memahami anatomi arteri intrakranial. d. Pemeriksa harus mengerti bagaimana kontrol masing-masing warna Doppler dan pengaruhnya terhadap gambar, serta bagaimana masing-masing kontrol saling mempengaruhi. e. Gunakan display color/power Doppler sebagai petunjuk untuk mendapat informasi spektral gelombang Doppler. f. Gunakan sampel volume Doppler yang besar (10–15mm) dan perkirakan sudut 0°. g. Perhatikan konfigurasi spektral gelombang Doppler.
Bab 12 – Mengenal Transcranial Color Doppler
215
h. Bandingkan spektral gelombang Doppler antara sirkulasi anterior dan posterior dan antara kiri dan kanan. i. Tetapkan kriteria diagnostik standar untuk aplikasi yang diinginkan (Katz ML, 2003). 5. Teknik TCD telah diperkenalkan sebagai metode untuk mendeteksi vasospasme arteri serebri yang terjadi setelah perdarahan subarachnoid. Selama 20 tahun terakhir, aplikasi klinis TCD makin berkembang dan beberapa penelitian menghasilkan kegunaan lain TCD yaitu untuk mengevaluasi hemodinamik serebrovaskular intrakranial dan digunakan untuk menginvestigasikan beberapa kelainan. 6. Operator TCD harus mengerti bahwa spektral gelombang Doppler yang dihasilkan selama pemeriksaan TCD adalah berdasar pada hemodinamik. 7. Peralatan yang digunakan untuk TCD bervariasi mulai dari yang kecil dan portable sampai yang besar dan mesin statis. Mesin portable dapat digunakan untuk pemeriksaan bedsite. Transduser yang digunakan untuk pemeriksaan TCD berfrekuensi rendah (1–2 MHz) yang berbentuk seperti bulpoin. 8. Pemeriksaan TCD dikerjakan pada pasien dalam posisi supine. Posisi ini memungkinkan akses window transtemporal, transorbital, dan submandibular, sedangkan posisi lain digunakan untuk pendekatan window suboccipital. 9. Operator duduk dekat kepala pasien dan menstabilkan lengan yang memeriksa dengan meletakkan siku pada meja periksa. Posisi lengan bawah akan mencegah pergerakan spontan dari tangan yang dapat menyebabkan hilangnya sinyal Doppler arteri intrakranial dan mencegah artefak karena gerakan yang dapat mempengaruhi gambaran sinyal. 10. Pemeriksaan TCD yang lengkap meliputi pendekatan melalui transtemporal, transorbital, suboccipital, dan submandibular. 11. Faktor-faktor fisiologis yang mempengaruhi pemeriksaan TCD antara lain usia, jenis kelamin, hematokrit, demam, hipoglikemia, karbon dioksida, tekanan darah, dan aktivitas otak. 12. Beberapa keterbatasan TCD antara lain tidak dapat mengukur diameter vaskular secara pasti dan pengaturan sudut insonasi sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan. 13. Dengan memahami anatomi arteri intrakranial, mengerti prinsip dasar dari TCD, mengetahui teknik pemeriksaan TCD, diharapkan kita dapat menginterpretasikan semua data yang kita peroleh dengan sebaik-baiknya sehingga sangat besar manfaatnya bagi pasien.
216
Pencitraan pada Stroke
Bab 13
Pencitraan pada Stroke Iskemia
P
ada berbagai macam kasus stroke, pencitraan selalu berperan dalam menentukan jenis stroke yang diderita pasien dan setelah itu menentukan jenis terapi yang akan dilakukan. Dengan demikian, kita perlu mengetahui bagaimana gambaran berbagai macam modalitas radiologi pada stroke iskemia. Berikut ini penjelasannya.
13.1 Gambaran CT Scan pada Stroke Iskemia Pencitraan memainkan peran yang penting dalam trombolisis. Pengetahuan tentang tanda-tanda klasik iskemia awal atau gambaran perdarahan di computed tomography (CT) tanpa kontras diperlukan untuk studi pencitraan yang memuaskan. Pemeriksaan CT yang modern harus mencakup CT perfusi dan CT angiografi. Computed tomography perfusi melukiskan jaringan iskemia (penumbra) dengan menunjukkan peningkatan waktu transit yang berarti penurunan aliran darah otak (CBF) 217
dan volume darah otak normal atau meningkat (CBV), sedangkan jaringan infark bermanifestasi dengan nyata menurun CBF dan CBV menurun. CT angiografi dapat menggambarkan letak oklusi dan membantu mencirikan penyakit aterosklerosis pada karotis. Sebuah studi lengkap CT (CT tanpa kontras, CT perfusi, dan CT angiografi) dapat dilakukan dan dianalisis dengan cepat dan mudah oleh ahli radiologi secara umum dengan menggunakan protokol standar yang sederhana dan bahkan dapat memfasilitasi untuk mendiagnosis pasien kepada ahli radiologi kurang yang berpengalaman (Lucas et al., 2008).
13.1.1 Gambaran computed tomography scan tanpa kontras Computed tomography scan tanpa kontras harus dilakukan sesegera mungkin pada stroke. CT sangat sensitif untuk penggambaran lesi hemoragik dan peran kunci CT tanpa kontras adalah deteksi perdarahan atau penyakit lain yang mirip stroke (misalnya neoplasma dan malformasi arteri) yang bisa menjadi penyebab defisit neurologis (Harold P. Adams et al., 2007). Peran kedua CT tanpa kontras yaitu mendeteksi tandatanda iskemia yang disebabkan karena infark. Temuan utama pada CT adalah daerah hypoattenuating di kortikal-subkortikal dalam suatu wilayah vaskular (Lucas et al., 2008).
ANTERIOR CEREBRAL ARTERY
MIDDLE CEREBRAL ARTERY
POSTERIOR CEREBRAL ARTERY
Sumber: Lucas et al., 2008
Gambar 13.1 Infark pada wilayah arteri ACA, arteri serebri media (MCA) dan arteri serebri posterior. Gambar (atas) menggambarkan wilayah (raster) dari ACA, arteri serebri media (MCA) dan arteri serebri posterior. CT scan (bawah) menunjukkan infark pada wilayah arteri tersebut (Lucas et al., 2008). 218
Pencitraan pada Stroke
13.1.2 Gambaran computed tomography perfusion Perfusi CT dilakukan dengan hanya memantau agen kontras iodinasi bolus yang lolos melalui sirkulasi serebral. Ini melibatkan pencitraan secara terus-menerus selama 45 detik di atas potongan jaringan yang sama (1-32 bagian) selama administrasi kontras kecil secara dinamis (50 mL) dan kontras dengan aliran tinggi secara bolus (laju injeksi 4–5 mL/detik). Sebelum dilakukan pemeriksaan ini, pemeriksaan fungsi ginjal perlu diperiksa terlebih dahulu untuk mengurangi keterlambatan kontras dan mencegah terjadinya kontras-induced nefropati dan merupakan komplikasi yang jarang pada pasien stroke akut yang menjalani pemeriksaan multimodal CT scan (Lucas et al., 2008). Tidak ditemukan adanya defisit neurologis baru atau komplikasi jantung setelah injeksi bahan kontras pada tingkat aliran tinggi (Koenig et al., 1998). Pada stroke akut, inti jaringan infark irreversible dikelilingi oleh daerah perifer atau disebut penumbra yang menerima suplai darah kolateral dari arteri yang tidak terkena dan arteri di wilayah leptomeningeal. Sel-sel di penumbra berpotensi diselamatkan dengan rekanalisasi awal. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa terapi trombolitik intravena mungkin bermanfaat bagi pasien di luar 3 jam pertama. Pasien dipilih secara hati-hati berdasarkan temuan perfusi mismatch. Beberapa penulis telah melaporkan ambang batas untuk infark inti ketika CBV kurang dari 2 L/ menit dan untuk jaringan iskemia ketika MTT mencapai lebih dari 145% (Lucas et al., 2008).
Sumber: Lucas et al., 2008
Gambar 13.2 Stroke akut (6 jam evolusi) pada wanita 46 tahun dengan hemiplegia kiri. Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (a) yaitu nonenhanced CT scan yang menunjukkan tanda titik (panah) di MCA kanan, Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
219
kehilangan diferensiasi materi putih & abu-abu dan mengaburkan basal ganglia. Bagain (b-e) peta Perfusi CT dari MTT (b), CBV (c), dan CBF (d) dan peta ringkasan (e) menunjukkan MTT diubah dan CBF di daerah frontotemporal kanan, sugestif iskemia, dan subkortikal berkurang daerah dengan penurunan CBV, sugestif dari inti infark. Perhatikan area peningkatan CBF dan CBV di nucleus caudatus kanan dan inti lentikular, yang mewakili tahap pertama dari iskemia otak (kompensasi dengan suplai dari cadangan serebrovaskular). Bagian (f) Gambar MR aksial T2-weighted menunjukkan hiperintens daerah frontoparietal kanan dan nucleus caudatus yang berkaitan dengan infark akhir di bidang iskemia.
13.2 Gambaran MRI pada Stroke Iskemia Pada stroke iskemia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk pencitraan menggunakan MRI yaitu MRI konvensional, FLAIR imaging, diffusion-weighted imaging, perfusion-weighted imaging, dan time of flight. Berikut ini penjelasannya.
13.2.1 Gambaran MRI Konvensional Evaluasi rutin pasien stroke iskemia (terutama di tahap infark subakut dan kronis) biasanya mencakup beberapa bentuk T1-weighted dan T2-weighted spin echo atau fast spin echo dan tambahan gradient echo imaging untuk perdarahan. T1-weighted imaging (waktu pengulangan 400–600 ms, waktu gema 20–35 ms) umumnya dilakukan untuk memberikan definisi anatomi dan deteksi methemoglobin dalam perdarahan subakut. T2-weighted imaging (waktu pengulangan > 2.500 ms, waktu gema 80–120 ms) digunakan untuk menunjukkan letak dari cedera parenkim, direpresentasikan sebagai daerah dengan kadar air meningkat. Fluid attenuated inversion recovery (FLAIR) baru-baru ini telah diadopsi untuk menggantikan proton density weighted imaging dan untuk mempercepat pemeriksaan fast spin echo konvensional, khususnya untuk area otak yang berdekatan dengan ventrikel dan sulkus kortikal (Marks, 2008). Temuan pada pencitraan konvensional dalam perkembangan infark serebral dapat dikenali dengan baik dan memiliki stereotip serupa dengan yang terlihat pada CT. Perubahan ini terlihat pada iskemia parenkim yang ditandai dengan peningkatan kadar air jaringan. Hal ini meningkatkan cairan dalam jaringan sehingga terjadi pemanjangan T1 dan waktu relaksasi T2. Perubahan sinyal T2, meskipun lebih sensitif terhadap akumulasi air jaringan daripada gambar T1-weighted, namun sering kali masih normal dalam 8 jam pertama setelah infark. Secara bertahap selama tahap akut, T2-weighted akan menjadi lebih hiperintens di wilayah iskemia, terutama selama 24 jam pertama. Pada 24 jam, kira-kira 90% dari pasien yang mengalami infark akan menunjukkan perubahan dalam 220
Pencitraan pada Stroke
T2-weighted dibandingkan dengan perubahan T1-weighted yang hanya sekitar 50%. Perubahan sinyal ini terlihat pada 24 jam pertama dan yang terbaik terlihat di grey matter dan baik divisualisasikan dalam struktur grey matter bagian dalam seperti thalamus atau basal ganglia. Sering kali white matter tidak menunjukkan perubahan yang cukup dalam jangka waktu 24 jam pertama. Fast spin echo juga dapat menunjukkan trombosis atau aliran lambat dilihat sebagai hilangnya kekosongan dalam arteri lingkaran Willis dan arteri yang melintasi ruang subarachnoid dalam sulki kortikal. Perubahan sinyal ini dalam arteri dapat dikenali segera setelah kejadian tromboemboli dimulai dan mungkin mendahului akumulasi air dalam parenkim (Marks, 2008). Perubahan morfologi yang bersamaan dengan perkembangan edema vasogenik yang terjadi kemudian, sering akan terlihat dengan spin echo imaging. Peningkatan hasil edema vasogenik di otak terutama di daerah korteks sebagai pembengkakan girus atau pendataran sulkus dapat dilihat pada kedua T1- dan T2–weighted imaging. Hal ini dapat divisualisasikan pada hari pertama, tetapi menjadi lebih jelas setelah awal terjadinya infark (> 24 sampai 48 jam). Perubahan sinyal pada T1 dan T2 juga menjadi lebih jelas dalam periode ini karena daerah infark akut menjadi lebih jelas. Jika daerah otak yang terpengaruh besar, selama periode ini efek massa dengan herniasi dapat terlihat (memuncak pada 3 sampai 4 hari setelah infark). Hal ini juga harus dicatat bahwa fast spin echo telah menggantikan teknik conventional spin echo di sebagian besar pusat kesehatan. Teknik ini kurang sensitif terhadap T2 karena beberapa pulsa 180 derajat. Oleh karena itu, dengan fast spin echo imaging, deteksi perdarahan akut berkurang berdasarkan sensitivitas yang lebih rendah terhadap perubahan kerentanan magnetik. Hal ini penting untuk melengkapi evaluasi MRI pasien stroke dengan pencitraan gradient echo yang sangat sensitif terhadap variasi kerentanan yang menyertai perdarahan intraparenkim (Gambar 13.33 dan Gambar 13.34) (Marks, 2008). Jika kita perhatikan Gambar 13.3 terlihat FLAIR (A), T2-weighted fast spin echo (B), dan gradient echo (C). Perdarahan yang luas hanya terlihat gambar gradient echo (CT tidak ditampilkan, tidak menunjukkan bukti perdarahan). Gambar diffusion-weighted (D) dan diffusion coefficient maps (E) menunjukkan difusi terbatas pada posterior terhadap lesi perdarahan yang heterogen, konsisten dengan infark akut. Tujuan teknik difusi di daerah perdarahan akut adalah untuk menyelidiki jaringan nonhemorrhagic yang berdekatan dengan perdarahan, dalam hal ini adalah jelas dalam distribusi vaskular arteri besar (arteri serebri, divisi posterior).
Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
221
A
B
C
D
Sumber: Marks, 2008
E
Gambar 13.3 Nilai diffusion weighted imaging pada perdarahan akut.
A
B
B
Sumber: Marks, 2008
Gambar 13.4 Perdarahan infark akut pada CT vs MRI. Berdasarkan Gambar 13.4, meskipun tidak ada bukti perdarahan di kedua CT (A) atau FLAIR (B) di infark serebral kanan tengah, gradient echo jelas menunjukkan perdarahan akut yang luas (C). Sensitivitas MRI menggunakan gradient echo imaging untuk perdarahan akut dapat melebihi computed tomography. 222
Pencitraan pada Stroke
Hal ini juga diketahui bahwa peningkatan kontras gambar MRI konvensional memainkan peran penting dalam diagnosis infark subakut dan masih dianggap sebagai ciri khas dari diagnosis. Peningkatan intensitas parenkim girus di infark subakut biasanya dimulai menjelang akhir minggu pertama, ketika efek massa telah selesai dan berlangsung selama sekitar 6 sampai 8 minggu. Dalam periode ini, perubahan yang relatif terlihat adalah hiperintens pada T2 yang lebih jelas. Pada sekitar 20% kasus akan ada daerah dengan peningkatan sinyal pada gambar T1 yang menunjukkan adanya komponen perdarahan (Marks, 2008). Pada fase kronis infark serebral biasanya dimulai ketika integritas penghalang darah-otak telah pulih, edema telah menghilang, dan sebagian besar resorpsi jaringan nekrotik telah selesai. Hal ini membutuhkan waktu lebih lama pada infark yang lebih besar, tetapi biasanya terjadi dalam waktu 6 minggu. MRI infark kronis ditandai dengan zona yang lebih kecil dan terlihat lebih baik daripada yang terlihat di scan sebelumnya. Hilangnya elemen selular dan atrofi fokus menjadi jelas. Hal ini ditandai sebagai pelebaran sulki dan pembesaran ventrikel. Intensitas sinyal meningkat karena kandungan air yang lebih besar, terbentuk kavitasi kistik yang merupakan sebagian besar berupa jaringan sisa, terutama terlihat pada infark yang lebih besar. Seiring waktu berjalan, lesi terus menyusut dengan perubahan atrofi menjadi lebih jelas dan infark itu sendiri menjadi kurang jelas (Marks, 2008).
13.2.2 Gambaran FLAIR Sekuens ini sering digunakan dalam evaluasi pasien dengan stroke iskemia untuk menguatkan hasil MRI konvensional T1- dan T2– weighted imaging. Gambar FLAIR sinyal CSF nol didasarkan seperti gambar cairan di T1. FLAIR telah sangat membantu dalam evaluasi parenkim otak dan telah terbukti lebih sensitif untuk mendeteksi infark bila dibandingkan dengan pencitraan T2WI dalam evaluasi stroke. Barubaru ini, FLAIR imaging telah digunakan dalam evaluasi fase hiperakut stroke (< 6 jam setelah timbulnya gejala). Sekuens FLAIR tidak mampu mendeteksi infark dalam periode waktu yang akut dengan banyak sensitivitas yang tinggi. Hal ini juga telah menunjukkan bahwa teknik ini dapat menunjukkan pembuluh darah yang tersumbat atau pembuluh darah dengan aliran berkurang akan tampak hiperintens sehingga terlihat kontras tinggi untuk hipointens terhadap CSF sekitarnya. Namun, jika dibandingkan secara langsung dengan teknik baru seperti DWI, teknik FLAIR telah terbukti nyata kurang sensitif dibandingkan DWI. Di luar periode waktu hiperakut, periode akut, dan jangka waktu subakut (infark kurang dari 10 hari) sekuens FLAIR menunjukkan lebih baik dari T2WI FSE. Keterbatasan lebih lanjut dari FLAIR dibandingkan dengan pencitraan T2WI adalah kurangnya spesifisitas hipointens pada perdarahan akut, yang pada FLAIR mirip sebagai daerah kistik yang mengandung air (Marks, 2008). Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
223
Sumber: Marks, 2008
Gambar 13.5 Infark iskemia dari kortikal dan subkortikal sebelah kanan (hari ke-3). Pada serangkaian pencitraan T2WI (a) dan FLAIR (b).
13.2.3 Gambaran Diffusion-Weighted Dengan munculnya DWI MRI scan pada saat ini maka teknologi ini dapat digunakan untuk mendeteksi iskemia serebral akut dalam awal 6 jam setelah onset gejala (Mirsen, 2014). Pengembangan teknik MRI baru ini mampu menilai perubahan iskemia hiperakut di tingkat parenkim seperti DWI dan PWI yang sebagian besar disebabkan oleh pengembangan kecepatan tinggi T2. Teknik T2* merupakan teknik sensitif yang bisa memetakan perubahan gerak proton dan pola perfusi serebral secara jelas. Metode kecepatan tinggi ini sangat penting dalam mengurangi artefak gerak (Marks, 2008). DWI telah merevolusi evaluasi MRI pada tahap awal atau infark hiperakut karena sensitivitas yang tinggi terhadap infark dinyatakan tidak tampak dan sudah menjadi sekuens pencitraan rutin pada pasien stroke. Hal ini menggunakan teknik untuk pemetaan kontras proton yang mencerminkan lingkungan air di mikrovaskular. DWI sensitif terhadap gerakan translasi atau difusi air jarak pendek. Proton yang berpindah akan memperoleh perubahan fase dan mengakibatkan kehilangan sinyal (atau gambar lebih gelap) pada gambar DWI. Gambar yang diperoleh responsif terhadap perfusi berbasis kapiler. Untuk gerakan yang lebih cepat menggunakan kekuatan gradien lebih rendah dan untuk gerakan lambat difusional menggunakan kekuatan gradien yang lebih tinggi (Marks, 2008). Pada umumnya, gambar DWI dan gambar ADC dibaca bersamasama dan dapat dibandingkan dengan gambar konvensional yang digunakan dalam protokol. Nilai tambah gambar ADC ditemukan dalam kasus hiperintens pada DWI. Hal ini dapat disebabkan oleh salah satu (atau keduanya) yaitu difusi yang terbatas dan perubahan T2. Dalam kasus ini yang kadang-kadang merupakan sinyal hanya tinggi karena T2 224
Pencitraan pada Stroke
pada DWI maka peta ADC harus dilihat karena peta ADC menunjukkan secara kontras berdasarkan perbedaan difusi . Di sisi lain, jika tidak ada hiperintens terlihat di DWI, maka tidak ada infark akut dan tidak perlu untuk peta ADC, karena peta ADC sendiri memiliki sensitivitas yang sangat rendah dan akurasi untuk infark akut. Kebanyakan infark non akut tidak menunjukkan hiperintens pada DWI, meskipun terjadi pemanjangan T2 di wilayah infark. Selain itu, dalam kasus-kasus tertentu, kontras aditif yang diberikan oleh perubahan T2 akan meningkatkan penemuan infark akut pada DWI dibandingkan dengan peta ADC (Marks, 2008).
Sumber: Marks, 2008
Gambar 13.6 Iskemia akut pada genu korpus kallosum kanan (24 jam setelah serangan iskemia). Jika kita perhatikan gambar terlihat T2WI (a) dan T1WI (b) gambar DWI (c) menunjukkan fokus perubahan sinyal. Pergeseran ringan dan kompresi anterior horn dari ventrikel lateral kanan terlihat. Infark lakunar lama terlihat dalam kapsul eksternal kanan. Studi difusi (c) menunjukkan karakteristik hiperintens yang menyingkirkan kemungkinan dari tumor.
13.2.4 Gambaran Perfusion-Weighted Pencitraan perfusi otak dapat dilakukan dengan menggunakan agen kontras berbasis kerentanan atau teknik berputar pada pelabelan arteri. Pencitraan perfusi menggunakan agen kontras paramagnetik saat ini lebih banyak digunakan. Gambar yang diperoleh setelah injeksi bolus dari agen kontras akan mendeteksi perubahan intensitas gambar saat melewati pembuluh darah kapiler. Agen kontras magnetik seperti disprosium atau gadolinium-DTPA akan menimbulkan pemendekan T2* dan menghasilkan kehilangan sinyal dalam jaringan perfusi. Agen-agen ini tetap dalam ruang intravaskular ketika penghalang darah otak yang utuh merangsang gradien medan magnet lokal di tempat pembuluh darah kapiler. Suatu sinyal yang hilang diamati ketika agen kontras bergerak masuk dan keluar dari jaringan. Aliran darah otak regional dan waktu transit yang relatif juga dapat dihitung. Namun, aliran darah otak regional tidak dapat dihitung secara akurat, kecuali profil konsentrasi pasokan arteri pada jaringan Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
225
yang dikenal. Satu atau lebih dari peta hemodinamik ini kemudian dapat ditampilkan bersama dengan urutan pencitraan lainnya (Marks, 2008). Selain injeksi agen kontras, pencitraan aliran darah dapat dilakukan oleh pelabelan magnetis proton air. Hal ini menyediakan metode yang sama sekali non-invasif untuk pencitraan perfusi menggunakan air jaringan dan agen kontras endogen. Meskipun PWI secara luas dianggap penting untuk triase stroke terapi, harus disadari bahwa PWI yang dilakukan dengan teknik berbeda dapat menunjukkan volume berbeda pula secara signifikan dari jaringan yang terkena. Oleh karena itu, perbandingan ukuran lesi pada PWI dengan gambar DWI mungkin berbeda secara signifikan dengan mengubah metodologi perfusi (Marks, 2008).
Sumber: Marks, 2008
Gambar 13.7 Iskemia akut di cabang terminal dari arteri serebri kiri tengah saat 12 jam setelah onset. Berdasarkan gambar di atas terlihat pencitraan T2WI (a), DWI (b) menunjukkan perubahan sinyal di area lobus parietalis kiri (panah). DWI menggambarkan volume lesi yang lebih baik. Gambar PWI (c, d).
13.3 Gambaran Patologis DSA pada Stroke Iskemia Angiografi serebral tetap menjadi standar emas untuk mem visuali sasikan anatomi serebrovaskular. Namun, dengan meningkatnya ketersediaan dan keandalan CTA dan MRA, DSA lebih jarang digunakan 226
Pencitraan pada Stroke
Sumber: Grigoryan, M; Qureshi, AI. 2010
Keterangan: ACA, anterior cerebral artery; BA, basilar artery; LSA, lenticulostriate arteries; LMC, leptomeningeal collaterals; MCA, middle cerebral artery; VA, vertebral artery.
Gambar 13.8 Skala grading Qureshi. Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
227
untuk tujuan murni diagnostik dan lebih sering untuk intervensi. Pada hiperakut stroke, angiografi serebral biasanya dilakukan ketika direncanakan pengobatan trombolisis intra-arteri atau intervensi mekanis. Tujuan awal evaluasi angiografik pada pasien dengan stroke iskemia yaitu untuk menggambarkan lokasi oklusi dan adanya kolateral ke daerah yang terkena. Sebagian besar pasien dengan stroke iskemia akut yang ditemukan memiliki oklusi arteri persisten. Sebagian besar (50–60%) dari oklusi arteri ditemukan dalam MCA dan arteri karotis interna (15–25%). Sekitar 10% dari individu memiliki oklusi dalam sistem vertebrobasilar. Oklusi arteri pada stroke akut dinilai menggunakan sistem Qureshi. Skor pada skema grading dapat memprediksi rekanalisasi paska terapi dan tingkat pemulihan neurologis serta kematian 7 hari setelah tindakan terapi. Pola pengisian pembuluh darah yang abnormal, seperti aliran anterograde lambat dengan stasis kontras berkepanjangan, pengisian retrograde melalui jalur kolateral, dan arteriovenous shunting membantu dalam karakterisasi infark serebral pada pembuluh darah tersumbat (Grigoryan, M; Qureshi, AI. 2010; Xavier, 2003). Dalam keadaan subakut, angiografi serebral digunakan untuk meng konfirmasi tingkat keparahan patologi serebrovaskular. Modalitas noninvasif seperti CTA, MRA, dan USG, dalam sebagian besar kasus, mampu mengidentifikasi adanya patologi vaskular. Namun, ketika kuantifikasi stenosis dibutuhkan (misalnya, ketika seorang pasien ditemukan memiliki penyakit arteri karotis dan sedang dirujuk untuk operasi atau prosedur endovaskular) angiografi merupakan modalitas pilihan. Selain itu, angiografi lebih sensitif dibandingkan metode non-invasif dalam mengidentifikasi penyempitan arteri di lokasi tertentu, misalnya asal arteri vertebralis dan karotis siphon (Grigoryan, M; Qureshi, AI. 2010; Xavier, 2003).
Sumber: Moey et al., 2012
Gambar 13.9 Gambaran DSA pada kasus stroke iskemia. Berdasarkan Gambar 13.9 terlihat bagian (A) yaitu oklusi pada arteri serebri media segmen M2 kanan (panah) dan bagian (B) yaitu reperfusi setelah terapi endovaskular. 228
Pencitraan pada Stroke
13.4 Gambaran Computed Tomography Angiography pada Stroke Iskemia Peran utama CT angiografi adalah untuk menunjukkan arteri intrakranial dan dengan demikian dapat membantu menentukan letak oklusi, menggambarkan diseksi arteri, aliran darah kolateral, dan penyakit aterosklerosis. Informasi ini membantu secara akurat untuk memprediksi tingkat dan lokasi infark dan sangat berguna dalam memberikan bimbingan untuk neuroradiologi intervensi sebelum melakukan trombolisis intraarterial jika tersedia. CTA juga dapat memberikan gambaran yang terbaik pada trombus dalam aneurisma besar yang tidak dapat divisualisasikan oleh DSA dan dapat mempengaruhi perawatan bedah atau terapi endovaskular (Ashley et al., 2011). CT angiografi sangat penting untuk mendeteksi trombosis dari sistem vertebrobasilar karena daerah ini sangat sulit untuk dideteksi oleh nonenhanced CT dan batang otak sering tidak termasuk dalam cakupan CT perfusi. Perangkap utama sering disebabkan oleh oklusi arteri basilar yang terlewatkan karena nonenhanced CT. Pada kondisi ini dilakukan CT perfusi, tetapi tidak dilakukan CT angiografi. CT angiografi dapat membantu mendeteksi adanya filling defect yang mengisi pembuluh darah yang disebabkan oleh trombosis arteri besar dengan sensitivitas 89% dibandingkan dengan angiografi konvensional (Lucas et al., 2008).
(a)
(b) Sumber: Lucas et al., 2008
Gambar 13.10 Gambaran Stroke akut pada wanita 43 tahun yang telah kehilangan kesadaran. Gambar di atas merupakan temuan di awal nonenhanced CT normal dan CT angiografi tidak dilakukan. Bagian (a) yaitu tindak lanjut nonenhanced CT scan (36 jam evolusi) menunjukkan otak tengah hypoattenuating (panah) dan arteri basilar hyperattenuating (panah). Bagian (b) CT angiogram membantu mengkonfirmasi cacat pengisian arteri basilar (panah) terkait dengan pons infark dan obstruksi arteri basilar. Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
229
Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 13.11 Pemeriksaan CT angiografi.
13.5 Gambaran MRA pada Stroke Iskemia Magnetic resonance angiography (MRA) merupakan sebuah teknik berdasarkan magnetic resonance imaging (MRI) untuk menggambarkan pembuluh darah. Magnetic resonance angiography digunakan untuk menghasilkan gambar arteri (dan kurang umum untuk vena) dalam rangka untuk mengevaluasi adanya stenosis (penyempitan abnormal), oklusi, aneurisma (dilatasi dinding pembuluh darah, berisiko pecah) atau kelainan lainnya. MRA sering digunakan untuk mengevaluasi arteri leher dan otak, aorta dada dan perut, arteri ginjal, dan kaki. Metode untuk MRA didasarkan pada aliran darah dan berdasarkan fakta bahwa darah dalam pembuluh mengalir untuk membedakan pembuluh darah dari jaringan statis lainnya. Dengan demikian, dapat dihasilkan gambar pembuluh darah. Arus MRA dapat dibagi ke dalam kategori PC-MRA dan TOF MRA. Fase kontras MRA (PC-MRA) memanfaatkan perbedaan fase untuk membedakan darah dari jaringan statis. Sementara itu, time of flight MRA (TOF MRA) membedakan aliran darah yang berputar akan mengalami eksitasi pulsa lebih kecil dari jaringan statis, misalnya ketika pencitraan irisan tipis (Kornienko dan Pronin, 2009). . 230
Pencitraan pada Stroke
Sumber: Kornienko dan Pronin, 2009
Gambar 13.12 Trombosis arteri serebral tengah kanan pada TOF MRA. Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat 3D TOF MRA: rekonstruksi MIP di aksial (a) dan proyeksi koronal (b) dan rekonstruksi 3D (c) menunjukkan bahwa arteri serebri tidak divisualisasikan dalam setiap segmen dari seluruh panjang arteri. Ima 3
Ima 4
Ima 5
W 7030 C 4859
W 7030 C 4859
Ima 8
Ima 7
Ima 9
Ima 12
W 7030 C 4859
W 7030 C 4859
W 7030 C 4859
Ima 10
W 7030 C 4859
W 7030 C 4859
W 7030 C 4859
Ima 11
Ima 6
Ima 13
W 7030 C 4859
W 7030 C 4859
Ima 14
W 7030 C 4859
W 7030 C 4859
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 13.13 MRI dengan sekuens time of flight (MRA).
Sumber: Kumar, G., et al., 2010
Gambar 13.14 Concordant lesion pada MRA. Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
231
Berdasarkan Gambar 13.14, gambar (A) menunjukkan angiogram leher: common carotid artery (CCA) dan internal carotid artery (ICA) yang mempunyai kemampuan lebih besar daripada pasangannya. CCA kiri menunjukkan penyempitan di situs bifurkasi tingkat tinggi dan ICA kiri tidak terfisualisasikan. Vertebral kiri dominan. Intrakranial (IC) angiografi (MRA): L middle cerebral artery (MCA) mengisi dari sisi kanan, dan ini menjelaskan alasan mengapa meskipun tidak adanya bagian IC pada ICA, tapi hanya infark watershed yang terlihat (B). Gambar fluid attenuated inversion recovery (FLAIR) menunjukkan infark pada zona DAS sisi kiri (C).
13.6 Gambaran TCD pada Stroke Iskemia TCD secara luas digunakan di beberapa negara untuk mendeteksi stenosis intrakranial yang biasanya disebabkan oleh penyakit atheromatus/ atherosklerosis. Stenosis dapat teridentifikasi dengan adanya tingginya kecepatan/velocity jet yang mayoritas terdeteksi pada arteri serebri media. Stenosis intrakranial dapat terdeteksi pada beberapa pasien stroke akut (Hugh S, 2010). Stenosis pada arteri intrakranial menyebabkan abnormalitas TCD yang khas. Stenosis ringan akan meningkatkan peak velocity yang sering kali tanpa perubahan lain dari pola Doppler. Stenosis sedang sampai berat menyebabkan peningkatan peak velocity yang lebih besar, disertai spectral broadening (pelebaran spektral), peningkatan kecepatan diastolik, dan terbentuk aliran turbulen (LD DeWitt, 1988).
Sumber: LD DeWitt, 1988
Gambar 13.15 Gelombang velocity yang tergambar dari TCD pada pasien dengan stenosis arteri serebri media yang berat. 232
Pencitraan pada Stroke
Bentuk gelombang ditunjukkan pada Gambar 13.15. Catatan area fokal pada kecepatan tinggi pada MCA kanan. MCA: middle cerebral artery; ACA: anterior cerebral artery; PCA: posterior cerebral artery; OA: ophtalmic artery; CS: carotid siphon; VA: vertebral artery; BA: basilar artery. Pada contoh kasus pasien dengan stenosis MCA berat, didapatkan data sebagai berikut.
Tabel 13.1 Transcranial Doppler ultrasonography pada pasien dengan tight right middle stenosis serebral arteri Patient values Normal values
Depth (mm)
Velocity (cm/sec)
Depth (mm)
velocity (cm/sec)
Right
Left
Right
Left
MCA
50–55
62 ± 12
45/55/60/65
55
190/>200/>200
50
ACA
65
52 ± 12
65
70
40
40
PCA
70
42 ± 10
70
70
40
30
OA
45–55
24 ± 8
55
55
35
35
CS
70
54 ± 13
70
70
35
35
VA
60–80
36 ± 9
70
70
25
25
BA
85 –100
42 ± 10
Artery
85
30 Sumber: LD DeWitt, 1988
5 – Normal
4 – Stenotic
3 – Damperred
2 – Blunted
1 – Minimal 0 – Absent Sumber: Zsolt Garami, 2008
Gambar 13.16 Tingkat aliran TBI (0–5). Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
233
Penurunan drastis dari peak velocity sering terjadi pada segmen distal stenosis, saat stenosis melebihi 60–80%. Beberapa penelitian melaporkan adanya korelasi yang baik antara abnormalitas TCD dan stenosis yang tergambar secara angiografi (LD DeWitt, 1988).
Sumber: LD DeWitt, 1988
Gambar 13.17 Angiografi pada pasien yang sama (contoh kasus di atas) menunjukkan filling defek/stenosis pada arteri serebri media kanan.
Sumber: Andrei V, 2002
Gambar 13.18 Oklusi akut intrakranial. Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat “intracranial sausagelike” thrombus pada MCA dan sisa aliran yang tergambar dari digital substraction angiography (gambar kiri bawah), dan PMD atau 234
Pencitraan pada Stroke
M-mode TCD (gambar kanan bawah). Magnetic resonance angiography menunjukkan flow void pada lokasi trombus. Gambar menunjukkan ultrasound beam pathway. Single-gate spectral display dan fokus insonasi ditunjukkan dengan tanda bintang (*) dan panah putih.
Sumber: Andrei V, 2002
Gambar 13.19 Deteksi M-mode TCD terhadap rekanalisasi komplit dari MCA stem. Gambar di atas merupakan data dari seorang laki-laki 62 tahun dengan skor NIHSS 12 yang telah diterapi dengan 0,9 mg/kg TPA intravena pada 112 menit setelah onset stroke. Saat bolus TPA, PMD menunjukkan tingginya resistensi pada jalur aliran di mid-M1 MCA dan terdeteksi aliran pada MCA kontralateral yang mengindikasikan bahwa insonasi window transtemporal sudah baik. Pada 30 menit, PMD menunjukkan proses rekanalisasi dengan resistensi damped pada proksimal dan mid-MCA, dan resistensi yang tinggi pada M1 proksimal M2 MCA. Gambar spektral TCD menunjukkan perbaikan aliran dari damped (= lembah) menjadi sinyal stenotik yang tinggi. Mikroemboli juga dapat terlihat pada PMD dan TCD (panah). Pada 60 menit, PMD dan TCD menunjukkan aliran dengan resistensi rendah pada distal M1–M2 yang mengindikasikan rekanalisasi komplit MCA. Sudut insonasi sedikit diatur untuk memfokuskan beam pada segmen proksimal M1 (pre-TPA) dan cabang M2 (60 menit) (Andrei V., 2002). Stenosis MCA, ACA, intrakranial ICA, dan BA juga dapat teridentifikasi dengan TCD. Tidak adanya sinyal MCA pada depth yang biasanya ditemukan MCA (50–60 mm), sedangkan sinyal ACA and PCA tetap tertangkap baik. Hal ini mengindikasikan window temporal intak, namun tidak ada aliran pada MCA. Tidak ditemukannya sinyal ACA atau PCA bukanlah indikator tepat adanya oklusi bila window transtemporal tergambar adekuat (L.D. DeWitt, 1988). .
Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
235
Sumber: Zsolt Garami, 2008
Gambar 13.20 Stenosis MCA: velocity meningkat dengan “musical murmur” yang mengindikasikan stenosis berat, pada depth 45 mm pada MCA kiri.
13.7 Gambaran Stroke Iskemia Berdasarkan Waktu Temuan pada CT dan MRI berubah dengan cepat pada minggu awal setelah infark. Hal ini mencerminkan perubahan mendasar yang relatif mirip secara patofisiologis. Pada bagian ini akan dijelaskan setiap fase berdasarkan waktu infark dan gambaran pada CT dan MRI (Tabel 13.2) (Zimmerman, 2010).
Tabel 13.2 Gambaran MRI pada stroke iskemia Tahap
T1W1
T2W1
DWI
Hiper akut Isointes, Isointens (0-6 jam) kemungkinan beberapa kehilangan sulci
Cerah
Akut (6 Intensitas jam-4 hari) rendah, efek massa
Cerah
236
Intensitas tinggi
ADC Rendah
Pencitraan pada Stroke
Tahap
T1W1
Subakut (4-14 hari)
Kronis
T2W1
DWI
ADC
Intensitas tinggi
Intensitas tinggi sekunder sampai bersinar melalui T2
Intensitas tinggi
Intensitas tinggi sekunder sampai bersinar melalui T2
Intensitas tinggi
Pseudo norma lisasi
Tinggi Sumber: Zimmerman, 2010
13.7.1 Infark hiperakut (0-6 jam) Kejadian awal yang mengarah ke infark yaitu insufisiensi vaskular karena oklusi fokal proksimal, distal, atau stenosis. Dalam kebanyakan kasus pencitraan rutin, tidak akan menunjukkan oklusi kecuali bila ada oklusi emboli pembuluh darah besar (misalnya MCA atau arteri basilaris). Oklusi vaskular menyebabkan penurunan perfusi yang cukup parah atau berkepanjangan sehingga memulai terjadinya kaskade iskemia. Dalam waktu 5 menit hipoksia, pompa membran normal yang menjaga kesenjangan antara tingginya konsentrasi natrium ekstraselular dan rendahnya natrium intraselular gagal melakukan tugasnya. Natrium memasuki sel dan masuknya natrium tersebut menghasilkan peningkatan osmotik. Air memasuki sel secara pasif kemudian menciptakan edema sitotoksik. Selain itu, kalsium memasuki sel yang pada gilirannya akan mengaktifkan enzim intraselular yang mulai melisiskan organel intraselular dan endapan protein. Ini menghasilkan lisis sel dan pelepasan asam amino perangsang (glutamin dan glutamat) dan zat vasoaktif yang selanjutnya mempengaruhi status metabolisme sel-sel yang berdekatan (Zimmerman, 2010). Selama fase hiperakut, CT mungkin normal atau kemungkinan juga menunjukkan tanda dense vessel, ketika ada oklusi emboli dari pembuluh darah proksimal (Gambar 13.21).
A
B
C
D Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.21 CT infark hiperakut-subakut. Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
237
Berdasarkan Gambar 13.21 terlihat bagian (A) menunjukkan gambar aksial pada tingkat sirkulus Willis pada 3 jam yang menunjukkan hiperdens di proksimal arteri serebral tengah sisi kiri, menunjukkan oklusi emboli pada proksimal (panah). Bagian (B) menunjukkan fokus hiperdens di fisura sylvii kiri yang merupakan indikasi dari emboli distal (panah). Bagian (C) menunjukkan fokus hiperdens di ujung arteri basilar tampak pada 4 jam tanpa bukti lain infark (panah). Bagian (D) menunjukkan pemeriksaan ulangan pada 24 jam kemudian menunjukkan hiperdens basilar yang menetap dengan edema baru dari batang otak dan atas kiri dari serebellum, menunjukkan infark akut. Catatan: hidrosefalus dengan kornu temporal yang melebar (panah) sekunder untuk infark akut serebellar. Temuan awal pada parenkim yaitu hilangnya intensitas grey matter normal tanpa adanya efek massa. Grey matter menjadi isodens terhadap white matter yang berdekatan sehingga menyebabkan hilangnya normal cortical ribbon (Gambar 13.22) atau kehilangan kemampuan untuk membedakan basal ganglia atau thalamus dari kapsula interna. (Gambar 12.23).
A
B
C Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.22 Gambaran yang menunjukkan hilangnya normal cortical ribbon. Jika kita perhatikan gambar di atas, bagian (A) menunjukkan pemindaian pada 4 jam awal menunjukkan hilangnya intensitas kortikal normal bersama insula (insula ribbon sign) dan kelengkungan gyrus (panah). Perhatikan bahwa sulkus terlihat karena tidak ada efek massa. Bagian (B) menunjukkan pemeriksaan ulang pada 36 jam menunjukkan hipodens absolut yang merata pada white-grey matter sesuai teritori arteri serebral tengah kanan. Efek massa hadir dengan hilangnya sulkus. Batas infark yang jelas dan lurus (panah). Bagian (C) menunjukkan pemeriksaan ulang pada 4 hari menunjukkan peningkatan efek massa ditandai dengan herniasi subfalkine. Tampak lesi hiperdens dalam infark yang merupakan perdarahan reperfusi (panah). 238
Pencitraan pada Stroke
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 13.23 Tampak gambaran insula kanan yang menghilang (insula ribbon sign). Hilangnya intensitas kortikal dapat terjadi pada 3 jam awal tapi biasanya lebih yaitu membutuhkan 4 sampai 6 jam untuk berkembang. Temuan ini sangat halus dan sering terlewat oleh pengamat berpengalaman. Munculnya PACS telah memfasilitasi deteksi infark hiperakut. Seseorang dapat meningkatkan deteksi hilangnya intensitas grey matter dengan mempersempit jendela pada gambar CT sehingga menonjolkan perbedaan intensitas abu-abu dan putih (Gambar 13.24). Selain itu, akan sangat membantu untuk melihat beberapa irisan secara bersamaan. Infark hiperakut yang dapat terdeteksi biasanya relatif besar. Sementara itu, melihat gambar secara bersamaan akan dapat meningkatkan kemungkinan untuk mendeteksi kelainan ini (Zimmerman, 2010).
Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.24 Akut infark pada basal ganglia. Pada gambar di atas, bagian (A) menunjukkan CT scan sekitar 4 jam, menunjukkan hipodens relatif di basal ganglia kanan dibandingkan dengan kiri (panah panjang). Hipodens normal di kapsula interna yang terlihat di sebelah kiri (panah pendek) tidak dapat dibedakan dari ganglia basal yang berdekatan karena hipodens ini. Bagian (B) menunjukkan diffusionweighted MR sekitar 1 jam setelah CT menunjukkan hiperintens yang jelas. Dengan CT tanpa kontras dapat dengan mudah dan handal untuk menyingkirkan stroke karena perdarahan, menunjukkan trombus dan Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
239
menunjukkan tanda-tanda awal iskemia otak. Hal ini penting untuk membedakan tanda-tanda edema otak, seperti kehilangan insular ribbon, mengaburkan nukleus lentikular, hilangnya diferensiasi white-grey matter, dan pendataran sulkal dari daerah hypoattenuation (Rabinstein dan Resnick, 2009).
Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.25 Penggunaan irisan tipis. Jika kita perhatikan gambar di atas bagian (A) menunjukkan CT scan sekitar 5 jam, menunjukkan hilangnya intensitas grey matter normal pada insula kiri, kortek girus kiri, dan basal ganglia kiri (perhatikan ketidak mampuan untuk mengidentifikasi kapsula interna dan kapsula eksterna). Bagian (B) menun jukkan bagian yang sama dengan irisan tipis untuk meningkatkan visualisasi hilangnya intensitas grey matter normal. Cara lainnya adalah untuk menilai gambar dari pemeriksaan CTA dilakukan sebagai bagian dari multimodal CT untuk pencitraan pada infark akut. Otak yang normal akan menjadi hiperdens karena kontras intravascular, sedangkan otak yang mengalami infark tidak akan berubah dalam intensitasnya sehingga membuat infark terlihat lebih jelas (Gambar 12.26) (Zimmerman, 2010).
Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.26 Computed tomography angiography (CTA) dalam mendeteksi infark hiperakut. Berdasarkan gambar di atas, bagian (A) merupakan gambar tanpa kontras, menunjukkan hilangnya densitas grey matter yang normal di 240
Pencitraan pada Stroke
distribusi arteri serebral tengah kiri (MCA). Bagian (B) menunjukkan gambar CTA menunjukkan hipodens relatif jelas di MCA kiri dan distribusi arteri serebral anterior. Lesi tampak lebih jelas dan lebih luas daripada gambar tanpa kontras. Hilangnya intensitas kortikal biasanya digambarkan sebagai edema sitotoksik. Dalam edema sitotoksik, ada pergeseran air dari ruang ekstraselular ke ruang intraselular tanpa peningkatan dalam jumlah total air jaringan. Selain itu, pada tahap ini infark sering ada hiperintens yang sedikit atau tidak ada pada FLAIR dan T2WI (Gambar 13.27). Penyebabnya lebih mungkin dari perubahan awal pada CT karena menurunnya aliran darah otak. Grey matter lebih gelap daripada white matter karena memiliki volume darah yang lebih tinggi. Volume darah yang menurun membuat grey matter menjadi isodens terhadap white matter. Konsep ini membantu menjelaskan beberapa pengamatan mengenai infark akut yang biasanya memakan waktu sekitar 24 jam untuk hipodens pada basal ganglia yang terlihat dalam cedera anoxic akut (misalnya menghirup asap dan hampir tenggelam). Penundaan relatif ini dalam perkembangan hipodens mencerminkan fakta bahwa pada cedera anoxic tidak ada penurunan aliran darah, melainkan terjadi penurunan kadar oksigen dalam darah. Telah diamati bahwa infark yang terlihat jelas pada CT dalam waktu 4 jam dari onset gejala memiliki prognosis yang lebih buruk daripada infark dengan ukuran sama yang tidak tampak hingga 6–12 jam. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena adanya defisit perfusi yang lebih mendalam sehingga infark ini menjadi jelas dalam beberapa jam pertama. Salah satu cara untuk meningkatkan deteksi infark adalah melalui evaluasi CTA. Grey matter biasanya menjadi hiperdens dibandingkan dengan otak yang mengalami infark (Zimmerman, 2010).
Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.27 Infark hiperakut yang menunjukkan penggunaan computed tomography (CT) lebih baik daripada FLAIR. Jika kita perhatikan gambar di atas maka terlihat bagian (A) menunjukkan CT scan pada 3 jam pertama menunjukkan hilangnya densitas grey matter normal pada insula basal ganglia kiri dan korteks frontal dan parietal tanpa efek massa. Bagian (B) menunjukkan gambar FLAIR diperoleh pada 4 jam pertama tidak menunjukkan hiperintens Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
241
di daerah yang terkena. Bagian (C) menunjukkan diffusion-weighted image menunjukkan hiperintens luas di basal ganglia dan korteks merupakan gambaran infark hiperakut. Bagian (D) menunjukkan pada diffusion coefficient map menunjukkan hipointens difus yang merupakan gambaran akibat difusi yang terbatas. Meskipun infark besar dalam wilayah MCA dapat dideteksi dalam waktu 6 jam pada sekitar 75% kasus (pembacaan oleh ahli), namun demikian, sensitivitas secara keseluruhan untuk mendeteksi semua infark pada CT hanya 45% pada 24 jam pertama. Rendahnya sensitivitas ini terjadi karena buruknya kinerja CT dalam mendeteksi infark kecil di kortikal, infark serebellar, dan infark white matter. Bahkan ketika infark terdeteksi, sejauh mana sebenarnya luas yang terkena infark sulit untuk ditentukan. Salah satu kontraindikasi utama untuk penggunaan TPA intravena adalah infark dengan ukuran yang luas (infark yang melibatkan lebih dari sepertiga dari distribusi MCA). Peran utama CT tanpa kontras adalah untuk mengidentifikasi infark hemoragik dan untuk mengecualikan proses seperti perdarahan noniskemik (misalnya perdarahan karena hipertensi), massa, atau infeksi yang klinisnya seperti stroke. Karena keterbatasan ini, evaluasi CT infark dalam fase hiperakut harus dilakukan bersamaan dengan CTA dan CTP (multimodal CT). CTA dapat menunjukkan keberadaan dan lokasi stenosis atau oklusi, dan CTP dapat menentukan apakah ada bagian otak yang dapat diselamatkan oleh terapi trombolitik (Gambar 13.28) (Zimmerman, 2010).
Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.28 Multimodal computed tomography (CT) dalam penilaian infark akut. 242
Pencitraan pada Stroke
Berdasarkan Gambar 13.28, bagian (A) menunjukkan unenhanced CT scan pada sekitar 4 jam menunjukkan hipodens di lateral kanan posterior dari basal ganglia dan insula (panah). Bagian (B) menunjukkan sumber gambar dari CT angiography (CTA) menunjukkan fokal defek mengisi di arteri serebral media (MCA) kanan proksimal dari bifurkasi (panah). Bagian (C) merupakan CTA gambar yang menunjukkan oklusi cabang MCA proksimal (panah). Catatan: CTA gambar kanan-kiri terbalik. Bagian (D) menunjukkan CT perfusi (CTP) volume darah otak (CBV) peta menunjukkan fokus penurunan volume di wilayah otak yang hipodens pada CT. Peta aliran darah otak (CBF) (E) dan rata-rata waktu transit (MTT) (F) menunjukkan inti infark otak dikelilingi oleh wilayah besar yang mengalami penurunan perfusi (otak berisiko-penumbra). Beberapa temuan MRI yaitu adanya insufisiensi pada vaskular (Gambar 13.29). Penting untuk diingat bahwa hipointens intraluminal khas adalah akibat dari efek aliran daripada sinyal intrinsik darah. Darah merupakan cairan protein yang relatif isointens T1 dan pada T2 hiperintens. Darah setelah pemberian kontras menjadi T1 hiperintens. Ketika aliran melambat maka sinyal intrinsik darah dapat “ditangkap”. Oklusi kronis atau aliran yang sangat lambat dalam pembuluh besar (misalnya arteri karotis) dimanifestasikan oleh isointens sehingga hiperintens pada T1WI dan hiperintens pada T2WI. Infark hiperakut adalah T1 isointens dan T2 isointens hingga agak hiperintens. T2 hiperintens paling bermakna di FLAIR (kadang-kadang hanya dalam retrospeksi) dan biasanya terbatas pada grey matter pada infark tromboemboli. Dalam 24 jam pertama, FLAIR hiperintens terlihat pada sekitar 80% kasus, tetapi terlihat dalam waktu kurang dari 6 jam pada dua per tiga dari kasus yang dipelajari (Zimmerman, 2010).
Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.29 Insufisiensi vaskular pada MRI. Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
243
Berdasarkan Gambar 13.29, bagian (A) merupakan sebuah gambar gradient echo MRI menunjukkan hiperintens berdekatan dan hipointens di wilayah arteri karotis interna distal dan arteri serebral media. Bagian (B) merupakan CT scan menunjukkan hiperdens di segmen horizontal dari arteri serebral media kanan (MCA) (panah). Bgaian (C) menunjukkan gradient echo scan pada pasien yang sama menunjukkan hipointens tidak adanya hiperintens akibat mengalirnya darah bila dibandingkan ke MCA kiri (panah). Bagian (D) menunjukkan anteroposterior kateter angiogram dari arteri karotid kanan menunjukkan oklusi lengkap dari arteri karotis interna. Bagian (E) menunjukkan gradient echo MRI menunjukkan fokus hipointens, menunjukkan gumpalan akut (panah). Bagian (F) menunjukkan gambar FLAIR menunjukkan intraluminal hiperintens pada distal dari clot, indikasi aliran yang lambat (panah). Diffusion-weighted imaging akan meningkatkan sensitivitas untuk mendeteksi infark akut lebih besar dari 90% pada periode hiperakut (Gambar 13.30). Gambar 13.31 DWI hiperintens dengan peta ADC hipointens dapat dilihat dalam beberapa menit dari timbulnya iskemia pada hewan coba dan dalam kasus-kasus klinis di mana pasien mengalami kegagalan dalam menampilkan infark selama atau sebelum pemeriksaan MRI. Perubahan awal ini merupakan hasil dari edema sitotoksik. Pada 5% sampai 10% dari kasus, studi awal DWI adalah normal ketika terdapatnya infark (seperti ditegaskan oleh temuan klinis atau studi pencitraan berikutnya). Sebagian besar dari kasus-kasus ini yaitu infark kecil di batang otak inferior atau infark serebellar yang dikaburkan oleh artefak dari dasar tengkorak (Gambar 13.32). Sensitivitas DWI mengalami penurunan dalam rentang waktu 8–16 jam, yaitu waktu periode pemulihan parsial dari fungsi selular sehingga mengakibatkan resolusi transien DWI dan kelainan ADC (Zimmerman, 2010).
Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.30 Infark emboli hiperakut: CT pada 3 jam, MRI pada 3 jam 30 menit. 244
Pencitraan pada Stroke
Jika kita perhatikan Gambar 13.30, bagian (A) merupakan CT yang menunjukkan hilangnya diferensiasi putih abu-abu di lobus oksipital kanan (panah). Bagian (B) merupakan gambar FLAIR yang menunjukkan halus T2 hiperintens di gyri temporal dan oksipital (panah). Bagian (C) merupakan difusion-weighted imaging yang menunjukkan hiperintens di gyri yang terpengaruh. Bagian (D) merupakan peta ADC menunjukkan hipointens yang jelas, menunjukkan dibatasi difusi. Bagian (E) merupakan gradient echo scan yang menunjukkan fokus hipointens yang dicurigai di wilayah cabang arteri serebral posterior, menunjukkan gumpalan intraluminal. Bagian (F) merupakan follow-up CT scan pada 30 jam yang menunjukkan hipodens mutlak dan penipisan sulkal.
Sumber: Zimmerman, 2010)
Gambar 13.31 Infark hiperakut. Gambaran Computed tomography (CT) lebih baik daripada FLAIR. Berdasarkan gambar di atas maka bagian (A) merupakan CT scan pada 3 jam yang menunjukkan hilangnya kepadatan normal materi abu-abu di basal ganglia kiri dan korteks frontal dan parietal tanpa efek massa. Bagian (B) merupakan gambar FLAIR diperoleh pada 4 jam yang menunjukkan tidak ada hiperintens di daerah yang terkena. Bagian (C) merupakan difusion-weighted imaging yang menunjukkan hiperintens luas di ganglionic dan kortikal menunjukkan infark hiperakut. Bagian (D) merupakan apparent diffusion coefficient map yang menunjukkan hipointens yang difus mengindikasikan terjadi difusi yang terbatas.
Sumber: Zimmerman, 2010)
Gambar 13.32 Difusion-weighted imaging (DWI) infark akut yang negatif. Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
245
Jika kita perhatikan Gambar 13.32, maka bagian (A) menunjukkan DWI awal pada pasien dengan sindroma meduler lateral pada 8 jam. Bagian (B) merupakan pemeriksaan diulangi pada 24 jam, DWI menunjukkan hiperintens halus di posterior kanan lateral medula (panah).
13.7.2 Infark akut (6 jam sampai 3 hari) Berlanjutnya iskemia akan menyebabkan kerusakan saraf dan kematian (edema sitotoksik) meningkat. Sel-sel endovaskular rusak sehingga terjadi sawar darah otak dan kebocoran cairan ke dalam ruang ekstravaskular. Dengan meningkatnya air jaringan, pembengkakan lokal otak terjadi. Ekstravasasi sel darah merah juga dapat terjadi meskipun perdarahan biasanya tidak ada atau terjadi pada tingkat ringan. Gumpalan dalam pembuluh darah proksimal dapat menetap atau menuju ke pembuluh distal. Pembuluh darah kolateral leptomeningeal bisa melebar untuk memberikan beberapa perfusi ke otak yang terkena. Luas dan tingkat di mana edema vasogenik berkembang tergantung pada aliran darah ke otak yang terkena. Jika tidak ada reperfusi, edema yang terjadi ringan dan membutuhkan waktu lebih lama untuk berkembang. Jika aliran cepat diperbaiki kembali (secara spontan atau akibat pengobatan) tetapi pembuluh darah rusak, edema akan meningkat dengan cepat dan perdarahan dapat terjadi. Edema vasogenik menghasilkan hipodens yang jelas pada otak yang terkena. Pada infark tromboemboli, grey matter menjadi hipodens dan bengkak (pendataran gyri). Sulit untuk membedakan antara infark lakunar akut dan kronis berdasarkan studi tunggal CT (Zimmerman, 2010).
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 13.33 Infark akut luas korteks subcortex lobus frontotemporo parietooccipital. Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat paling kiri yaitu nukleus kaudatus, kapsula interna kiri suspek karena emboli di arteri serebri media kiri segmen M1 setelah cabang lentikulostriata. Sementara itu, paling kanan menunjukkan infark lakunar subakut di kapsula interna kanan limb anterior.
246
Pencitraan pada Stroke
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 13.34 Infark akut luas di lobus frontotemporoparietooccipital kanan suspek emboli MCA kanan.
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 13.35 Infark lakunar akut di hemisfere serebellum kiri pada MRI T1WI, T2WI dan FLAIR. T1 isointens dan T2 hiperintens (terbaik tampak di FLAIR) yang muncul di otak mengalami infark. Pada infark tromboemboli, T2 hiperintens hanya terbatas pada grey matter yang terkena (Gambar 12.36) (Zimmerman, 2010).
Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
247
Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.36 Infark akut (24 jam) pada MRI. Berdasarkan gambar di atas kita dapat melihat FLAIR (A dan B) dan diffusion-weighted (C dan D) gambar menunjukkan hiperintens di insula basal ganglia kiri dan white matter (panah di A dan C). Bagian E dan F yaitu ADC map yang menunjukkan hipointens yang merupakan tanda menurunnya difusi. Gambaran infark pada DWI hiperintens dan hipointens pada ADC merupakan tanda difusi yang menurun. Meskipun cakupan dan tingkat T2 hiperintens meningkat selama fase akut infark, tapi tingkat kelainan pada DWI relatif tetap stabil kecuali ada perkembangan infark yang progresif. Volume lesi DWI yang diukur dalam waktu 48 jam telah disarankan untuk menjadi prediktor prognosis pada stroke. Infark lakunar tampak sebagai fokus T1 isointens dan T2 hiperintens. Seperti halnya dengan CT, MRI sulit untuk membedakan infark akut dari infark kronis pada T2WI, khususnya ketika ada beberapa fokus hiperintens dari T2 pada white matter. Menemukan infark lakunar akut untuk FLAIR pada pasien usia lanjut seperti mencoba untuk menemukan "Waldo”. DWI membuat deteksi infark lakunar akut menjadi sederhana karena lesi akut akan tampak hiperintens, sementara itu infark lakunar kronis white matter dan perubahan iskemia pada DWI merupakan isointens (Gambar 13.37) (Zimmerman, 2010). Jika perhatikan lagi Gambar 13.37 menunjukkan bagian (A) gambar FLAIR yang menunjukkan konfluen luas dan multifokal T2 hiperintens. Bagian (B) merupakan diffusion-weighted scan yang menunjukkan hiperintens fokal pada infark akut ("Waldo") di frontal white matter subkortikal kanan (panah). 248
Pencitraan pada Stroke
Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.37 Infark akut pada white matter. Hipointens pada gradient echo dapat menunjukkan perdarahan. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa urutan gradient echo lebih sensitif daripada CT dalam mendeteksi transformasi hemoragik yang kecil pada infark (Gambar 13.38) (Zimmerman, 2010).
Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.38 Infark akut dengan transformasi hemoragik. Jika kita perhatikan gambar di atas bagian (A) yaitu computed tomography (CT) scan pada 36 jam yang menunjukkan hipodens di frontal kanan wilayah dari MCA kanan dengan penipisan sulcal. Tampak densitas heterogen ringan pada pusat, tetapi tidak ada bukti yang adanya perdarahan. Bagian (B) yaitu FLAIR yang menunjukkan hiperintens heterogen dengan Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
249
isointens relatif gyri. Bgaian (C) yaitu gambar yang menunjukkan T2 hiperintens disertai isointens relatif di sekitarnya. Gambar (D) yaitu gradientecho yang merupakan hipointens yang jelas menunjukkan perdarahan.
13.7.3 Infark subakut fase awal (36 jam–5 hari) Aliran darah ke bagian otak yang terkena infark biasanya dibangun kembali pada 24 sampai 72 jam setelah infark. Clot pada proksimal dan distal akan mengalami lisis dan bergerak ke hilir. Pada hari ke-3 atau ke-4, pertumbuhan pembuluh darah baru ke daerah infark dimulai. Pembuluh darah yang belum matang ini mempunyai sawar darah otak yang "bocor". Sebagai hasil dari perubahan ini, edema vasogenik meningkat dengan efek massa progresif yang biasanya mencapai puncak pada sekitar hari ke-5. Pada infark besar, efek massa dapat menyebabkan herniasi transfalcine atau herniasi transtentorial.
13.7.4 Infark subakut fase akhir (5–14 hari) Edema akan diserap seiring dengan waktu dan sebagai hasilnya akan terjadi penurunan efek massa. Makrofag dan sel glial akan memasuki area infark dan mulai menghilangkan jaringan saraf yang mati sehingga edema sitotoksik akan berakhir. Aliran darah akan kembali. Perdarahan reperfusi ringan dapat terjadi, tetapi transformasi perdarahan jarang terjadi. Densitas akan berubah menjadi lebih heterogen. Infark biasanya tetap hipodens, namun setelah edema berakhir maka mungkin ada periode sementara ketika infark adalah isodens ke otak normal (efek kabut) (Gambar 13.39). Efek massa akan berakhir dan mungkin akan terjadi tanda awal dari fokal atrofi (Zimmerman, 2010).
A
B
D
E
C
F Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.39 Akhir infark subakut infark pada CT dan MRI. 250
Pencitraan pada Stroke
Perhatikan Gambar 13.39. Bagian (A) merupakan CT scan 3 hari setelah timbulnya gejala menunjukkan hipodens fokal di lobus frontal kiri dan nukleus kaudatus dengan efek massa ringan. Bagian (B) yaitu CT ulangan pada 11 hari menunjukkan resolusi hipodens yang hampir lengkap. Infark isodense tidak terlihat. FLAIR (C) dan DWI (D) pada hari yang sama dengan B menunjukkan hiperintens yang jelas pada pada infark (C) dengan sisa hiperintens ringan pada DWI (D) T2 shine-through. E: MRI pada 25 hari menunjukkan sedikit perubahan jelas di FLAIR. F: Hiperintens kortikal dalam infark pada gambar T1-weighted karena laminar nekrosis, bukan perdarahan. Hipointens pada T1 dan hiperintens pada T2 akan bertahan. Pada infark tromboemboli, perubahan intensitas ini yang paling bermakna di subkorteks white matter pada korteks yang terkena infark. Pada daerah grey matter yang terkena mungkin hampir isointens normal pada T1- dan T2-weighted. DWI menunjukkan isointens hingga hiperintens ringan. Pada Peta ADC menunjukkan hiperintens yang menunjukkan peningkatan difusi. Oleh karena itu, sisa hiperintens pada DWI adalah hasil dari T2 shine-through (lihat Gambar 13.39 D) (Zimmerman, 2010).
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 13.40 Infark subakut di beberapa bagian. Gambar di atas menunjukkan korteks subkorteks kiri lobus temporoparietooccipital, capsula interna limb posterior kiri, nucleus lentiformis kiri dan infark kronis nukleus lentiformis kiri, korteks subkorteks lobus frontal kiri.
13.7.5 Infark kronis (lebih dari 2 minggu) Pada fase ini edema telah berakhir. Jaringan saraf yang mati akan dihilangkan dan diganti dengan gliosis dan degenerasi kistik (ensefalomalasia kistik). Infark lakunar biasanya berupa rongga kecil berisi cairan yang dikelilingi oleh zona gliosis dan kehilangan volume fokal. Tergantung pada ukuran dan lokasi dari infark, hal ini dapat menyebabkan fokal kortikal atrofi atau dilatasi fokal pada ventrikel yang berdekatan (Gambar 13.41). Jika infark melibatkan saluran kortikospinalis, akan ada degenerasi wallerian yaitu atrofi pedunkulus serebral sisi ipsilateral dan pons (Gambar 13.43) (Zimmerman, 2010). Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
251
Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.41 Infark kronis pada CT scan dan MRI. Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (A) merupakan CT scan menunjukkan fokus hipodens besar di lobus frontal kiri. Lesi lebih hipodens dari infark akut dan memiliki batas tidak teratur, batas yang agak cekung. Ada dilatasi dari ventrikel lateral kiri. Bagian (B) yaitu CT scan pada tingkat yang lebih rendah menunjukkan atrofi dari pedunkulus serebral sisi ipsilateral (degenerasi wallerian). Bagian (C) yaitu FLAIR yang dilakukan 1 hari setelah CT menunjukkan pengumpulan cairan besar dengan batas hiperintens pada T2 menunjukkan ensefalomalasia kistik.
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 13.42 Infark kronis di lobus frontotemporal kanan, nukleus kaudatus kanan, korona radiata kanan. Senile brain atrophy.
Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 13.43 Infark kronis dengan degenerasi wallerian. 252
Pencitraan pada Stroke
Jika kita perhatikan Gambar 13.43 terlihat bagian (A) yaitu FLAIR gambar pada tingkat basal ganglia menunjukkan T2 hiperintens di kapsula interna limb posterior kiri dengan dilatasi ventrikel lateral sisi ipsilateral. Bagian (B) dan (C) yaitu gambar aksial FLAIR pada tingkat mesensefalon (panah), dan medulla menunjukkan atrofi fokal dari batang otak dan T2 hiperintens pada seluruh jaras kortikospinalis. Gambaran infark otak pada T1 adalah hipointens dan T2 hiperintens. Korteks sering terkena T1 hiperintens karena laminar nekrosis (bukan perdarahan atau kalsifikasi). Ensefalomalasia kistik muncul sebagai wilayah dengan intensitas cairan (T1 hipointens, T2 hiperintens, dan FLAIR hipointens) dikelilingi oleh T2 hiperintens yang terbaik dinilai di FLAIR. Pada DWI, infark kronis akan isointense hingga sedikit hipointens. Pada ADC maps, infark akan hiperintens karena peningkatan difusi dalam otak infark yang hiposeluler. Infark lakunar memiliki karakteristik intensitas yang sama seperti ensefalomalasia kistik, meskipun dalam skala yang lebih kecil. FLAIR sangat penting untuk membedakan infark lakunar kronis dari perubahan iskemia kronis (tidak adanya sentral hipointens) dan pelebaran ruang perivaskular (tidak adanya FLAIR hiperintens perifer). Gambaran degenerasi wallerian menghasilkan fokal atrofi dan minimal hiperintens pada T2 di batang otak dan pons (Zimmerman, 2010).
Rangkuman 1. Temuan pada CT dan MRI berubah dengan cepat pada minggu awal setelah infark. Biasanya gambaran stroke iskemia pun dapat kita lihat berdasarkan waktu , misalnya infark hiperakut (0–6 jam), infark akut (6 jam sampai 3 hari), infark subakut fase awal (36 jam – 5 hari), infark subakut fase akhir (5–14 hari), infark kronis (lebih dari 2 minggu), dan di situlah terlihat perubahan yang terjadi. 2. Pengetahuan tentang tanda-tanda klasik iskemia awal atau gambaran perdarahan di computed tomography (CT) tanpa kontras diperlukan untuk studi pencitraan yang memuaskan. Pemeriksaan CT yang modern harus mencakup CT perfusi dan CT angiografi. 3. Computed tomography perfusi melukiskan jaringan iskemia (penumbra) dengan menunjukkan peningkatan waktu transit yang berarti penurunan aliran darah otak (CBF) dan volume darah otak normal atau meningkat (CBV), sedangkan jaringan infark bermanifestasi dengan nyata menurun CBF dan CBV menurun. 4. CT angiography dapat menggambarkan letak oklusi dan membantu mencirikan penyakit aterosklerosis pada karotis. 5. CT sangat sensitif untuk penggambaran lesi hemoragik dan peran kunci CT tanpa kontras adalah deteksi perdarahan atau penyakit Bab 13 – Pencitraan pada Stroke Iskemia
253
lain yang mirip stroke (misalnya neoplasma dan malformasi arteri) yang bisa menjadi penyebab defisit neurologis. 6. Perfusi CT dilakukan dengan hanya memantau agen kontras iodinasi bolus yang lolos melalui sirkulasi serebral. 7. Peran utama CT angiografi adalah untuk menunjukkan arteri intrakranial dan dengan demikian dapat membantu menentukan letak oklusi, menggambarkan diseksi arteri, aliran darah kolateral, dan penyakit aterosklerosis. 8. Pada stroke iskemia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk pencitraan menggunakan MRI yaitu MRI konvensional, FLAIR imaging, diffusion-weighted imaging, perfusion-weighted imaging, dan time of flight. 9. Evaluasi rutin pasien stroke iskemia (terutama di tahap infark subakut dan kronis) biasanya mencakup beberapa bentuk T1weighted dan T2-weighted spin echo atau fast spin echo dan tambahan gradien echo imaging untuk perdarahan. 10. FLAIR imaging sering digunakan dalam evaluasi pasien dengan stroke iskemia untuk menguatkan hasil MRI konvensional T1- dan T2–weighted imaging. 11. Dengan munculnya DWI MRI scan pada saat ini maka teknologi ini dapat digunakan untuk mendeteksi iskemia serebral akut dalam awal 6 jam setelah onset gejala. 12. Pencitraan perfusi otak dapat dilakukan dengan menggunakan agen kontras berbasis kerentanan atau teknik berputar pada pelabelan arteri. 13. Fase-kontras MRA (PC-MRA) memanfaatkan perbedaan fase untuk membedakan darah dari jaringan statis dan time of flight MRA (TOF MRA) membedakan aliran darah yang berputar akan mengalami eksitasi pulsa lebih kecil dari jaringan statis, misalnya ketika pencitraan irisan tipis. 14. Pada hiperakut stroke, angiografi serebral biasanya dilakukan ketika direncanakan pengobatan trombolisis intra-arteri atau intervensi mekanis. Tujuan awal evaluasi angiografik pada pasien dengan stroke iskemia yaitu untuk menggambarkan lokasi oklusi dan adanya kolateral ke daerah yang terkena. 15. Dalam keadaan subakut, angiografi serebral digunakan untuk mengkonfirmasi tingkat keparahan patologi serebrovaskular.
254
Pencitraan pada Stroke
Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik
T
ujuan utama pencitraan kepala di instalasi gawat darurat adalah untuk membedakan stroke hemoragik dari stroke iskemia dan lesi otak lainnya. Diharapkan pencitraan dapat menentukan vaskular yang terlibat, perfusi otak, area penumbra, dan prognosis pasien. Semua ini dilakukan dalam waktu yang singkat, tanpa menghalangi proses diagnostik lain dan/atau terapi yang berjalan secara bersamaan. Sejak diperkenalkan pada tahun 1970, CT scan terbukti sebagai modalitas yang dapat diandalkan dalam pencitraan stroke. Melalui CT scan, seorang tenaga kesehatan dapat mendeteksi tanda-tanda stroke yang paling samar pun. CT scan terbukti lebih mudah dibaca oleh mereka yang kurang berpengalaman (Lovbald & Pereira, 2013). Sebenarnya, CT scan dan MRI merupakan sama-sama sebagai lini pertama modalitas pencitraan untuk stroke (Kidwell et al., 2004). Akurasi klinis dalam mendeteksi ICH pada CT scan tergantung pengalaman, berkisar antara 73-87% (Merino & Warach, 2010). Jika MRI dapat dilaksanakan secepat CT scan, pilihan modalitas jatuh pada MRI (Kidwell et al., 2004). Namun demikian, MRI tidak dapat dilaksakan pada pasien 255
yang memiliki prosthesis logam (Magistris, 2013). Sekitar 10% pasien yang masuk ke IRD AS memiliki alat pacu jantung dan prosthesis logam (Smith, et al., 2011). MRI juga tidak dapat digunakan pada pasien dengan klaustrofobia (Lovbald & Pereira, 2013). CT unggul dalam menunjukkan ekstensi perdarahan ke intaventrikel, sementara itu MRI menunjukkan edema dan herniasi dengan lebih baik. Karena saat ini dalam praktiknya CT scan lebih tersebar luas dan permintaan pencitraan CT scan umumnya dapat dilaksanakan dengan lebih cepat sehingga CT scan menjadi modalitas pencitraan stroke yang lazim dilaksanakan. CT scan memiliki spesifisitas hampir 100% dalam mendeteksi perdarahan dan kalsifikasi. MRI saat ini umumnya digunakan sebagai follow up dan mencari penyebab perdarahan atau iskemia, misalnya malformasi vaskular atau cerebral amyloidosis (Magistris, 2013). Dalam membedakan stroke hemoragik dari stroke iskemia, CT scan terbukti memiliki cost-benefit ratio paling tinggi (Smith, et al., 2011). Meskipun terbukti untuk saat ini, CT scan merupakan modalitas yang paling sering digunakan, namun demikian MRI terus berkembang untuk membuktikan diri sebagai modalitas unggulan lainnya yang dalam penggunaannya saling melengkapi dengan CT scan (Lovbald & Pereira, 2013). A
B
D
E
B
F
Sumber: Lovbald & Pereira, 2013
Gambar 14.1 Fungsi saling melengkapi antara CT scan dan MRI. Modalitas CT scan (A) menunjukkan adanya pendataran sulcii yang menjadi tanda stroke. Pada CT perfusi, tampak area hipoperfusi. MRI menegaskan hal ini yang ditunjukkan dengan adanya lesi hiperdens pada sekuens T2 (C). Sekuens diffuse weighted image (DWI) (D) dengan tegas menyatakan adanya area stroke. CT scan daerah leher (B) menunjukkan adanya kalsifikasi pada arteri karotis kiri, dibuktikan lebih lanjut sebagai area stenosis melalui digital angiography substraction (DSA) (E). CT scan setelah trombolisis (F) menunjukkan adanya luxury perfusion, tanpa ekstravasasi darah. 256
Pencitraan pada Stroke
14.1 Gambaran Radiologis ICH Bagaimana gambaran radiologis ICH pada berbagai modalitas radiologi? Kita akan menemukan semuanya pada penjelasan berikut ini.
14.1.1 Gambaran CT Scan dan CTA pada ICH ICH akut akan tampak sebagai lesi hiperdens oval atau bulat pada CT scan kepala tanpa kontras. ICH sering mengalami ekstensi ke intraventrikel, terutama jika berasal dari ganglia basalis dan batang otak. Pada fase hiperakut, densitas lesi akan berkisar antara 40-60 Hounsfield Unit (HU) (Smith, et al., 2011). Pada fase ini, ICH mungkin sulit dibedakan dengan parenkim otak normal (Smith, et al., 2006). Beberapa lesi mungkin tampak heterogen, memberi gambaran swirl sign, dan menandakan perdarahan aktif masih berlangsung. Setelah hematoma terbentuk dengan sempurna dalam hitungan jam hingga hari, densitas akan naik menjadi 60-80 HU. Dalam beberapa hari kemudian, lesi akan memiliki densitas 80-100 HU dan dikelilingi oleh edema peri-hematoma (Smith, et al., 2011). Hal ini disebabkan oleh ekstrusi plasma dan retraksi bekuan darah. Edema perihematoma sendiri dapat bertahan hingga 14 hari (Smith, et al., 2006). Gambaran hiperdens ICH disebabkan oleh kandungan proteinnya yang tinggi dan massa jenisnya yang berat (Wanke, 2007). Namun terkadang ICH akut dapat tampak isodens atau bahkan hipodens. Hal ini disebabkan oleh anemia atau gangguan koagulasi. Tanda lain ICH akibat gangguan koagulasi adalah adanya fluid-fluid level (Smith, et al., 2011). Akan tetapi, tanda ini dapat ditemukan pula pada ICH yang disebabkan oleh hipertensi, tumor, trauma, dan AVM (Smith, et al., 2006).
Sumber: Smith, et.al., 2006
Gambar 14.2 CT scan kepala tanpa kontras serial menunjukkan ICH pada thalamus kanan pada fase akut (A) dengan atenuasi 65 HU (A), 8 hari kemudian (B) dengan atenuasi 45 HU, 13 hari kemudian (C) dan 5 bulan kemudian (D). Setelah itu, seiring berjalannya waktu densitas ICH akan menurun, rata-rata 0,7–1,5 HU/hari. Dalam 1–6 minggu, ICH akan menjadi isodens terhadap parenkim otak (Smith, et al., 2011). Hal ini disebabkan oleh aktivitas makrofag yang melakukan fagositosis terhadap produk darah, Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
257
dimulai dari bagian perifer hingga ke sentral. Dalam 4-9 hari, atenuasi ICH akan turun menjadi sama dengan korteks normal dan dalam 2-3 minggu menjadi sama dengan substansia alba normal. Terkadang ICH-nya sendiri tidak terlihat, namun efek massa yang prominen menjadi petunjuk akan adanya ICH di sekitar (Smith, et al., 2006). Gambaran ini berpotensi untuk dikacaukan dengan abses pada pemeriksaan CT scan dengan kontras Sumber: Smith et.al., 2006 akibat kerusakan BBB (Wanke, 2007). Hal ini disebabkan bahwa pada ICH subakut, memang Gambar 14.3 CT scan terdapat penyangatan pada perifernya (Smith, kepala tanpa kontras et al., 2006). Pada akhirnya, yang tersisa dari menunjukkan ICH akut sebuah ICH adalah fokus hipodens (37%), pada pasien tanpa slit-like lesion (25%), kalsifikasi (10%), atau riwayat koagulopati. terserap sempurna (27%) (Smith, et al., 2011). Volume ICH dapat diperkirakan menggunakan rumur Broderick yaitu ABC/2 (cc), di mana A adalah diameter terbesar hematoma, B adalah diameter tegak lurus terhadap A, dan C adalah jumlah 10-mm-thickness CT slice. Jika hematoma pada suatu slice CT > 75% hematoma terluas, slice CT tersebut ikut dihitung dalam C. Namun, jika hematoma pada suatu slice CT berukuran 25–75% hematoma terluas, slice CT tersebut dihitung setengah. Slice CT dengan hematoma < 25% hematoma terluas tidak diikutkan dalam perhitungan C (Ghandehari, 2012). ICH yang mengalami resolusi umumnya akan memberikan penyangatan cincin (ring enhancement) paska pemberian kontras pada 1–6 minggu sejak kejadian stroke dan akan menghilang setelah 2–6 minggu. Hal ini terjadi akibat hipervaskularisasi dan disrupsi BBB (Ghandehari, 2012). Pada CT perfusi, area yang mengalami ICH akan menunjukkan hipoperfusi (tampak sebagai area dengan warna biru) (Choi, 2011). a
b
Sumber: Choi, 2011
Gambar 14.4 CT scan kepala tanpa kontras. 258
Pencitraan pada Stroke
Jika kita perhatikan Gambar 14.4, terlihat bagian (a) yang menunjukkan ICH (panah) pada thalamus kanan. Pada CT perfusi (CTP) (b), tampak area yang terkena ICH hipoperfusi (panah).
A
B
C
D Sumber: Xu et al., 2013
Gambar 14.5 CT scan dengan kontras. Berdasarkan gambar di atas, bagian (a) menunjukkan ICH pada ganglia basalis kiri. CTP menunjukkan cerebral blood volume (CBV, gambar b), cerebral blood flow (CBF, gambar c), dan mean transit time (MTT, gambar d). Tampak penurunan jumlah pada ketiga parameter (ditandai dengan warna semakin biru/hitam) dari bagian perifer ICH ke bagian sentral ICH. Hipertensi adalah penyebab ICH tersering. ICH supratentorial dapat dibagi menjadi lobar ICH (pusat area perdarahan terdapat pada whitegrey matter junction) dan deep ICH (pusat area perdarahan pada ganglia basalis dan thalamus). Jika area yang terlibat dalam ICH luas, meliputi lobar dan deep, kemungkinan besar berasal dari deep (Smith, et al., 2006). Beberapa tanda yang mendukung hipertensi sebagai penyebab ICH antara lain sebagai berikut (Ghandehari, 2012). 1. Terdapat di area yang divaskularisasi oleh r. perforantes MCA atau a. basilaris. Sekitar 2/3 terletak di basal nuklei dan sekitar 50% berkaitan dengan IVH. 2. Terdapat di pons atau serebellum. 3. Disertai dengan infark lakuner atau white matter disease. Apabila pasien berusia di bawah 70 tahun dan/atau memiliki ICH bukan di tempat predileksi di atas, angiografi mungkin dibutuhkan untuk menyingkirkan aneurisma. Ruptur aneurisma dapat menyebabkan ICH, meski SAH lebih sering terjadi (Wanke, 2007). Ekstensi ke IVH sering terjadi meskipun volume ICH asal sangat kecil sehingga jika menemui IVH saja, seseorang harus benar-benar yakin tidak terdapat deep ICH. IVH primer dapat muncul pada pasien dengan hipertensi, aneurisma AcomA, malformasi vaskular, penyakit moya-moya, dan tumor intraventrikel (Smith, et al., 2006).
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
259
Sumber: Smith, et al., 2006
Gambar 14.6 ICH pada thalamus disertai ekstensi IVH.
A
B
C Sumber: Smith, et al., 2006
Gambar 14.7 Area khas untuk ICH yang disebabkan oleh hipertensi: thalamus (A), batang otak (B), dan nukleus lentiformis (C). Sekitar 10% ICH bersifat sekunder, dalam arti memiliki kelainan yang mendasari terjadinya ICH. Hal ini penting diingat karena stroke hemoragik sekunder ini berpotensi terulang dan berpotensi disembuhkan (Almandoz, 2011). Penelitian membuktikan bahwa mortalitas terapi konservatif pada pasien dengan ICH yang didasari oleh ruptur aneurisma (salah satu penyebab ICH sekunder) mencapai 80% (Smith, et al., 2011). Karena pentingnya hal ini untuk dikenali maka sebuah sistem skoring telah dikembangkan, yaitu sistem skoring secondary ICH (SICH) (Almandoz, 2011).
Tabel 14.1 Sistem skoring SICH Parameter Kategori NCCT Probabilitas tinggi Tak tentu Probabilitas rendah Kelompok umur (tahun) 18-45
260
Poin 2 1 0 2
Pencitraan pada Stroke
Parameter
Poin 1 0
46-70 ≥ 71 Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Tidak seorang pun mengetahui HTN maupun gangguan koagulasi Ya Tidak
1 0 1 0
Sumber: Almandoz, 2011
Sistem skoring SICH menggunakan gambaran perdarahan pada CT scan kepala tanpa indikasi kontras, umur dan jenis kelamin pasien, serta latar belakang klinis. Terdapat tiga kategorisasi gambaran perdarahan pada CT san, yaitu probabilitas tinggi, probabilitas sedang, dan probabilitas rendah. Probabilitas tinggi diberikan jika perdarahan itu menampakkan salah satu dari tanda seperti pelebaran vaskular sekitar lesi, kalsifikasi sekitar lesi, sinus venosus yang hiperdens, dan vena kortikal yang hiperdens. Probabilitas rendah diberikan jika lesi perdarahan tidak memenuhi satu pun tanda probabilitas tinggi dan terletak pada tempat predisposisi ICH primer, yaitu batang otak, thalamus, dan ganglia basalis. Probabilitas sedang terletak di antara probabilitas tinggi dan rendah. Gangguan koagulasi didefinisikan sebagai salah satu dari gangguan seperti International Normalization Ratio (INR) > 3, activated Pro-Thrombine Time (aPTT) > 80 detik, trombosit < 50.000, dan terapi antiplatelet harian (Almandoz, 2011).
Tabel 14.2 Nilai duga skoring SICH Retrospective Cohort (N = 623) Score
N (%)
Prospective Cohort (N = 222)
% Positive CTAs
N (%)
% Positive CTAs
All Patients (N = 845) N (%)
% Positive CTAs
0
37 (5.9)
0
15 (6.8)
0
52 (6.1)
0
1
145
1.4
67
1.5
212
1.4
(23.3) 2
209
(30.2) 5.3
(33.5) 3
138
68
(25.1) 4.4
(30.6) 18.1
(22.2)
40
277
5.1
(32.8) 20
(18.0)
178
18.5
(21.1)
4
61 (9.8)
39.3
21 (9.5)
38.1
82 (9.7)
39
5
28 (4.5)
85.7
10 (4.5)
80
38 (4.5)
84.2
6
5 (0.8)
100
1 (0.4)
100
6 (0.7)
100
AUC (95 % Cl)
0.86 (0.83– 0.89)
0.87 (0.82– 0.91)
0.87 (0.84– 0.89)
MOP
>2
>2
>2
Sensitifitas
85.7
86.2
85.8
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
261
Spesifitas
71.1
75.6
72.3
Nilai P
< .0001
< .0001
< .0001 Sumber: Almandoz, 2011
A
B
Sumber: Almandoz, 2011
Gambar 14.8 CT scan kepala tanpa kontras dari seorang wanita berumur 59 tahun. Bagian (A) pada gambar di atas merupakan CT scan kepala tanpa kontras dari seorang wanita berumur 59 tahun dengan riwayat hipertensi dan pemakaian aspirin harian menunjukkan ICH pada lobus temporoparieto-occipital kanan (skor SICH = 3). Potongan aksial (B) dari maximum intensity projection CTA menunjukkan adanya AVM pada regio temporo-parieto-occipital kanan (mata panah) dengan feeding artery berasal dari PCA kanan (panah putih) dan draining vein ke sinus transversus kanan (panah hitam). A
B
Sumber: Almandoz, 2011
Gambar 14.9 CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria berumur 27 tahun. Bagian (A) pada gambar di atas merupakan CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria berumur 27 tahun tanpa riwayat hipertensi maupun pemakaian antiplatelet yang menunjukkan ICH pada lobus occipital kiri (skor SICH = 4). Potongan aksial (B) CTA menunjukkan sebuah additional shadow pada segmen distal MCA kiri, sesuai dengan pseudo-aneurisma. Pasien diketahui memakai narkoba intravena. 262
Pencitraan pada Stroke
A
B
C
Sumber: Almandoz, 2011
Gambar 14.10 CT scan kepala tanpa kontras dr seorang wanita berumur 59 tahun. Bagian (A) pada gambar di atas merupakan CT scan kepala tanpa kontras dari seorang wanita berusia 59 tahun tanpa riwayat hipertensi dan gangguan koagulasi yang menunjukkan ICH pada ganglia basalis kanan disertai pelebaran vaskular medial lesi (mata panah) (skor SICH = 5). CTA (B) menegaskan bahwa itu adalah vaskular. Hubungan vaskular yang melebar dengan ICH tampak jelas pada potongan koronal (C) dengan draining vein ke sinus rektus kanan dan vena serebri interna kanan. Jika seorang pasien dengan stroke hemoragik memiliki skor SICH tinggi, kemungkinan kelainan vaskular yang menjadi dasar etiologi perlu dipikirkan dan perlu dilakukan pemeriksaan CTA. Namun jika skor SICH rendah, yang perlu dipertimbangkan adalah risiko radiasi dari CTA (Choi, 2011). Adanya fokus penyangatan berarti risiko 91% untuk ekspansi hematoma yang berarti prognosis yang lebih buruk. Fokus penyangatan ini diberi nama ‘spot sign’. Tanda yang baru dilukiskan dalam waktu dekat ini memiliki spesifisitas 8589%, nilai duga negatif 76-96%, dan ratio kemungkinan positif 2,7-8,5 (Magistris, 2013). Tidak ada ketentuan pasti kapan CTA ini harus dilakukan, tapi beberapa peneliti berpikir jeda waktu 3 jam setelah onset stroke hemoragik sebagai waktu terbaik untuk melakukan CTA (Smith, et al., 2011). A
B
C
D
Sumber: Magistris, 2013
Gambar 14.11 CTA dari seorang pasien dengan ICH. Gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. A. CT scan tanpa kontras menunjukkan ICH pada putamen kiri dan kapsula interna kiri limb posterior.
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
263
B. Setelah penambahan kontras tampak penyangatan kecil (panah hitam), sesuai dengan spot sign. C. CT scan beberapa saat kemudian menunjukkan penambahan penyangatan (panah putih) sesuai dengan ekstravasasi. D. CT scan tanpa kontras beberapa hari kemudian menunjukkan ekspansi hematoma hingga intraventrikel. Penelitian lain menunjukkan pasien dengan spot sign memiliki masa tinggal di rumah sakit (length of stay) 10 hari lebih lama dibandingkan mereka yang tidak menunjukkan spot sign. Pasien dengan spot sign ini juga memiliki angka mortalitas dalam 90 hari (90-day mortality rate) yang lebih tinggi (40,5%) dibandingkan mereka yang tidak memiliki spot sign (13.4%) (Magistris, 2013). Beberapa peneliti lain menetapkan kriteria batasan yang lebih kaku untuk spot sign. Dua kriteria pertama (Tabel 14.3) membantu memisahkan spot sign sesungguhnya dari kalsifikasi pleksus khoroid, AVM atau aneurisma (Almandoz, 2011). Pada pasien dengan skor SICH tinggi, kriteria spot sign yang kaku ini harus benar-benar dipegang dan sebuah titik hiperdens harus dipastikan dengan benar apakah merupakan sebuah spot sign karena dampak terapi dan prognostik yang berbeda. Kriteria ketiga (Tabel 14.3) membantu memisahkan spot sign dari komponen hematoma dan image noise. Setelah itu, para peneliti ini membentuk sistem skoring yang dapat digunakan untuk menentukan nilai duga terhadap ekspansi hematoma pada ICH primer. Pasien dengan risiko tinggi untuk ekspansi hematoma perlu mendapatkan terapi hemostatik secepatnya (Almandoz, 2011).
Tabel 14.3 Kriteria yang lebih kaku untuk spot sign (A). Kemudian dapat dihitung skor spot sign (B) yang akan dipakai untuk menentukan risiko ekspansi hematoma (C) Karakteristik spot sign
Poin
Jumlah spot sign
≥ 1 pusat pada kontras pooling di dalam ≥ ICH Terputus-putus dari normal ke abnormal vaskulatur berdekatan ke ICH. Redaman ≥ 120 Hounsfields units. Beberapa ukuran dan bentuk.
A
264
1-2
1
≥3
2
Dimensi aksial maksimum 1-4 mm
0
≥ 5 mm
1
Atenuasi maksimum 120-179 HU
0
≥ 180 HU
1
B
Pencitraan pada Stroke
Ekspansi hematoma (%)
Kematian di RS (%)
Outcome buruk (%)
0
2
24
29
1
33
41
42
2
50
59
47
3
94
61
54
Skor spot sign
4
100
64
75
AUC (95% Cl)
0.93 (0.89–0.95)
0.64 (0.60–0.68)
0.56 (0.51– 0.61)
Nilai P
< .0001
< .0001
0.04 Sumber: Almandoz, 2011
C A
B
C
Sumber: Almandoz, 2011
Gambar 14.12 CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria berusia 85 tahun. Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (A) merupakan hasil CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien pria berusia 85 tahun dengan riwayat hipertensi dan pemakaian aspirin harian menunjukkan ICH pada thalamus kanan dengan ekstensi ke intraventrikel (skor SICH = 0). Setelah pemberian kontras (B), tampak adanya koleksi tunggal kontras intra-hematoma sesuai dengan spot sign, berdiameter terbesar 2 mm dengan attenuasi 128 HU (skor spot sign = 1, nilai duga untuk ekspansi hematoma 2%). CT scan kontrol (C) 18 jam kemudian menunjukkan tidak ada ekspansi hematoma. Pasien diizinkan pulang setelah perawatan 7 hari. A
B
C
Sumber: Almandoz, 2011
Gambar 14.13 CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria berumur 44 tahun. Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
265
Berdasarkan Gambar 14.13 menunjukkan bagian (A) yaitu hasil CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien pria berumur 44 tahun dengan riwayat hipertensi dan pemakaian aspirin harian menunjukkan ICH pada thalamus kanan (skor SICH = 2). Paska pemberian kontras (B) tampak 4 fokus koleksi kontras intra hematoma (mata panah) sesuai dengan spot sign, dengan dimater terbesar spot sign terbesar 7 mm dan atenuasi 218 HU (skor spot sign = 4, nilai duga untuk ekspansi hematoma 100%). CT scan kontrol (C) menunjukkan ekspansi hematoma. Pasien diizinkan pulang setelah perawatan 23 hari. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan adanya spot sign yang hanya muncul pada delayed CT scan. Prevalensi delayed spot sign ini sekitar 8–23% dari seluruh spot sign yang ditemukan dalam suatu penelitian. Selain berguna dalam membantu memisahkan spot sign (morfologi berubah namun attenuasi tetap, tidak terpengaruh akan fase pengambilan citra) sebenarnya dari aneurisma/AVM (morfologi tetap namun atenuasi berubah sesuai fase pengambilan citra dan vaskular besar anatomis terdekat). Penelitian lain menunjukkan bahwa delayed spot sign ini juga memiliki nilai duga yang akurat dan jika digabungkan dengan early spot sign akan menaikkan sensitifitas dan nilai duga negatif sistem skor spot sign. Keuntungan ini harus dipertimbangkan dengan risiko yang ditimbulkan oleh delayed CT scan yang berarti tambahan radiasi (sekitar 2,5 mSv, bandingkan dengan rerata paparan radiasi background tahunan sebesar 3 mSv). Saat ini, belum ada bukti yang mendukung perlunya pelaksanaan delayed CT scan untuk mendeteksi delayed spot sign (Almandoz, 2011).
Sumber: Almandoz, 2011
Gambar 14.14 CT scan kepala tanpa kontras dari seorang wanita berumur 98 tahun. 266
Pencitraan pada Stroke
Meskipun dahulu dipercaya bahwa spot sign hanya dimiliki oleh ICH primer, penelitian terbaru menunjukkan spot sign (menggunakan kriteria kaku) juga ditemukan pada ICH sekunder dengan insiden lebih rendah. Meskipun dapat memperkirakan mortalitas yang lebih tinggi, kegunaan spot sign dalam memperkirakan ekspansi hematoma pada pasien dengan ICH sekunder masih perlu diteliti (Almandoz, 2011). A
B
C
Sumber : Almandoz, 2011
Gambar 14.15 CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien pria berumur 16 tahun. Berdasarkan gambar di atas bagian (A) merupakan hasil CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien pria berumur 16 tahun menunjukkan ICH pada lobus frontal kiri dengan ekstensi intraventrikel (skor SICH = 4). Paska pemberian kontras (B) tampak koleksi kontras tunggal bulat sesuai dengan aneurisma MCA kiri (mata panah). Pada potongan superior (C) masih tampak aneurisma tersebut (mata panah) dan tampak adanya dua koleksi kontras yang tidak berhubungan dengan vaskular mana pun sesuai spot sign (panah), diameter terbesar spot sign terbesar 13 mm dengan atenuasi 184 Hu (skor spot sign = 3). Pasien menjalani clipping dan diizinkan pulang setelah perawatan 13 hari.
14.1.2 Gambaran SPECT dan PET pada ICH Penelitian menggunakan Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Positron Emission Tomography (PET) terhadap stroke hemoragik masih sedikit. Umumnya, penelitian ini mengkaji parenkim otak yang berdekatan dengan ICH. Penurunan CBF dapat ditemukan dalam pencitraan SPECT di area sekitar ICH. Tanda yang tidak selalu muncul ini ditenggarai disebabkan oleh kompresi mekanik yang disebabkan oleh efek massa ICH. Cerebral metabolism rate for oxygen (CMRO2) juga menurun dan penurunan ini lebih besar dari penurunan CBF yang menghasilkan nilai oxygen extraction fraction (OEF) rendah dibandingkan stroke iskemia yang memiliki nilai OEF tinggi. Pola ini menyatakan penekanan metabolisme primer sesuai dengan laporan sebelumnya yang menyatakan adanya disfungsi mitokondria perihematoma. Peningkatan transien fokal metabolisme glukosa juga ditemukan pada jaringan perihematoma dan menyatakan proses patologis Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
267
sedang terjadi sehingga berpotensi dapat dihentikan dengan intervensi terapeutik. Serupa dengan stroke iskemia, area hipometabolisme dapat ditemukan para parenkim otak normal yang terletak jauh dari ICH (Powers & Zazulia, 2010).
Sumber: Powers & Zazulia, 2010
Gambar 14.16 Pencitraan PET dari seorang pasien dengan ICH. Gambar di atas menunjukkan pencitraan PET pada pasien dengan ICH pada putamen (gambar kiri atas) yang menunjukkan penurunan CBF, OEF, dan CMRO2, dibandingkan kontralateral sesuai dengan disfungsi metabolik primer.
Sumber: Powers & Zazulia, 2010
Gambar 14.17 18F-fluorodeoxyglucose PET dari seorang pasien dengan ICH. 268
Pencitraan pada Stroke
Gambar 14.17 menunjukkan F-fluorodeoxyglucose PET dari seorang pasien dengan ICH pada putamen pada 26 jam (atas kiri), 2,2 hari (atas tengah) dan 4,9 hari (atas kanan) setelah onset serangan menunjukkan area peningkatan metabolisme (warna putih). Area ini jika di-superposisikan pada CT scan (bawah kiri) akan menghasilkan gambar bawah tengah. Terlihat area dengan peningkatan metabolisme terletak perihematoma.
14.1.3 Gambaran MRI pada ICH Gambaran ICH pada MRI lebih kompleks karena dipengaruhi oleh tingkat oksidasi hemoglobin dan kadar protein. Faktor ekstrinsik seperti pulse sequence dan field strength juga berpengaruh (Wanke, 2007). Terdapat 5 fase perubahan yang dialami oleh hemoglobin dalam eritrosit yang terdapat dalam sebuah hematoma. Hal yang perlu diingat adalah terdapat perbedaan antar individu berapa lama waktu yang diperlukan hemoglobin untuk menempuh kelima fase ini. Bahkan sesama hemoglobin dalam satu hematoma memiliki jangka waktu yang berbeda-beda dan hal itu menunjukkan proses dinamis yang tidak berjalan homogen dalam sebuah hematoma. Fase tersebut secara berurutan adalah sebagai berikut (Smith, et al., 2011): 1. Hiperakut: oksihemoglobin intraseluler 2. Akut: deoksihemoglobin intraseluler 3. Subakut awal: methemoglobin intraseluler 4. Subakut akhir: methemoglobin ekstraseluler 5. Kronis: hemosiderin/ferritin ekstraseluler
Tabel 14.4 Lima fase perubahan pada stroke hemoragik Fase
Waktu
Berisi molekul besi
Oksidasi besi
Membran sel darah merah
T1
T2
Hiper akut
Jam
Fe2+
Utuh
Akut
Jam sampai hari Deoksihemoglobin Fe2+
Utuh
iso,
Subakut awal
Hari sampai 1 minggu
Methemoglobin
Fe3+
Utuh
Subakut akhir
1 minggu sampai bulan
Methemoglobin
Fe3+
Terdegradasi
Kronik
≥ bulan
Hemosiderin
Fe3+
Terdegradasi iso,
Oksihemoglobin
T3
Singkatan: Fe, besi; iso, isointens relatif sampai otak normal; , hiperintens relatif sampai otak, , hipointens relatif sampai otak Sumber: Smith, et al., 2006
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
269
Sumber: Smith, et al., 2006
Gambar 14.18 Perbandingan ICH akut pada MRI sekuens T1 (A), T2 (B) dan Gradient Recalled Echo (GRE) (C).
14.1.4 Gambaran DSA pada ICH Untuk melihat hasil pencitraan digital subtraction angiography (DSA) pada intracerebral hematoma (ICH), dapat kita lihat pada beberapa kasus berikut ini. Kasus 1 Berikut ini merupakan gambaran pencitraan pada wanita 45 tahun yang tibatiba mengalami serangan pada hemiparesis kiri dan sakit kepala. Berdasarkan gambar di samping dapat kita perhatikan: (a) Computed tomography (CT) kepala menyaji kan ICH dengan IVE. (b) CT angiografi menunjukkan prominent basal collaterals bilateral. (c) DSA (kanan ICA injeksi) menunjukkan kepulan asap yang terlihat di ICA distal dan MCA proksimal. ICH = intraserebral hematoma, IVE = intraventricular extension, DSA = digital subtraction angiography, ICA = internal carotid artery, MCA = middle cerebral artery.
Gambar 14.19 Pencitraan menyajikan ICH dengan IVE dan DSA yang menunjukkan MMD bilateral.
Kasus 2 Berikut ini merupakan hasil pencitraan pada seorang wanita berusia 25 tahun yang menunjukkan gejala sakit kepala tanpa disertai defisit fokal pada pemeriksaan.
270
Pencitraan pada Stroke
Jika kita perhatikan gambar di samping maka ter lihat bagian: (a) CT kepala yang menunjukkan pivh. (b) CT angiografi menunjukkan basal posterior bilateral moyamoya. (c) DSA (kiri injeksi arteri verte bralis) tampilan lateral menun jukkan jaringan moyamoya di posterior arteri serebral. (d) DSA (injeksi ica kanan) yang menun jukkan supraclinoid ICA stenosis dengan "puff" klasik. DSA = digital subtraction angiography, ICA = internal carotid artery, pivh = primary intraventricular hemorrhage.
Gambar 14.20 Pencitraan menunjukkan PIVH dan DSA pada MMD bilateral dengan circulation affection posterior.
Kasus 3 Berikut ini merupakan hasil pencitraan pada se orang wanita 35 tahun yang mengalami serangan tiba-tiba pada hemiparesis kanan. Gambar di samping menunjukkan bagian: (a) CT kepala menunjukkan ganglia basal sebelah kiri yang berdarah. (b) Tampilan DSA lateral (injeksi ica kiri) yang menun jukkan jaringan pembuluh di dasar frontal sugestif moyamoya ethmoidal. (c) DSA (injeksi ICA kanan) yang berhubungan dengan Gambar 14.21 Pencitraan ICH dan asimptomatik kanan proksimal DSA yang menunjukkan MMD sisi kiri MCA aneurisma (panah). unilateral yang berasosiasi dengan DSA = digital subtraction aneurisme MCA proksimal kanan. angiography, ICA = internal carotid artery, MCA = middle cerebral artery. Sumber: Srivastava, T., et al., 2014
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
271
14.1.5 Gambaran TCD pada ICH Untuk memahami bagaimana gambaran TCD pada ICH, lihat gambar berikut ini.
Sumber: Kyung-Il Jo, 2012
Gambar 14.22 TCD pada AVM (arteriovenous malformation). Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (A) cerebral angiography (CAG) sebelum gamma knife surgery (GKS), menunjukkan AVM pada MCA. (B) Follow-up CAG 2 tahun setelah GKS menunjukkan residual arteriovenous malformation. (C) Profil ipsilateral transcranial Doppler (TCD) sebelum GKS. (D dan E) Profil ipsilateral dan kontralateral TCD 2 tahun setelah GKS.
14.2 Gambaran Radiologis SAH Berikut ini kita akan memahami gambaran radiologis SAH pada berbagai modalitas radiologi.
14.2.1 Gambaran Radiologis CT scan dan CTA pada SAH Pada pencitraan CT scan tanpa kontras, subarachnoid hemmorage (SAH) akan tampak sebagai pita hiperdens berlekuk-lekuk seperti ular (serpingeous) mengisi sub-arachnoid space yang terdapat pada sulcii dan sisterna (Wanke, 2007). Pada pasien dengan ruptur aneurysma, darah bisanya berkumpul pada sisterna basalis, sementara jika penyebab SAH adalah trauma, darah akan berkumpul pada konveksitas otak. Pada pasien dengan hematokrit < 30%, darah pada SAH dapat terlihat isodens terhadap parenkim otak (Lemonick, 2010). 272
Pencitraan pada Stroke
A
B
C Sumber: Wanke, 2007
Gambar 14.23 Gambaran CT scan tanpa kontras pada SAH. Gambar di atas merupakan stroke hemoragik subarachnoid pada CT scan tanpa kontras, SAH akan tampak sebagai lesi hiperdens mengisi sisterna basalis (A) dan fissura sylvii kanan (B). Tampak kalsifikasi pada dinding aneurisma sisi kiri (B). Pada gambar C, tampak SAH akibat ruptur a. perikallosal. Pola SAH dapat digunakan untuk memprediksi lokasi aneurisma yang ruptur. Bila SAH disertai ICH, kemungkinan ruptur aneurisma terjadi di AcomA atau MCA. Bila ICH yang terjadi mengenai kedua hemisfer atau disertai dengan IVH, ruptur aneurisma mungkin terjadi di AcomA atau distal ACA. ICH lebih sering terjadi pada aneurisma yang ruptur karena perdarahan yang pertama menyebabkan fibrosis subarachnoid space sehingga arteri yang bersangkutan akan melekat ke parenkim otak. Ruptur aneurisma a. serebelli posterior inferior sering disertai IVH ventrikel keempat dan hidrosefalus (Wanke, 2007).
Sumber: Wanke, 2007
Gambar 14.24 SAH mengisi sisterna basalis, sisterna perimesensephalic, dan fissura sylvii. Jika kita perhatikan gambar di atas diperkirakan aneurisma yang ruptur adalah MCA kiri segmen M2 (panah). Sekitar 30% pasien dengan SAH memiliki ICH. Hidrosefalus, perdarahan ulang, dan infark merupakan komplikasi SAH. Pada pasien yang mengalami perdarahan ulang, sering terjadi perdarahan subdural Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
273
(subdural hemorrhage, SDH). Namun SDH mungkin menyertai SAH pertama (5%) atau bahkan satu-satu manifestasi radiologis SAH. Infark dapat terjadi akibat vasospasme vaskular yang terjadi paska SAH. Meskipun vasospasme ini terdeteksi secara angiografi pada sekitar 70% pasien dengan SAH, hanya separuh dari angka tersebut yang menjadi simptomatik (Wanke, 2007). Terdapat perdebatan mengenai apakah CTA dapat menggantikan pendekatan CT scan tanpa kontras diikuti LP jika hasil CT scan negatif. Pendekatan menggunakan CTA ini muncul karena pada kenyataannya hanya setengah pasien dengan kecurigaan SAH, namun hasil CT scan negatif sungguh-sungguh menjalani LP. Sebaliknya, pendekatan CTA yang digunakan pertama kali akan memaparkan pasien terhadap radiasi yang tidak perlu, mengingat sekitar 2% populasi umumnya memiliki aneurisma risiko rendah (Lemonick, 2010). Untuk aneurisma dengan diameter > 5 mm, CTA memiliki sensitivitas 95%, sementara untuk aneurisma dengan diameter < 5 mm, sensitivitas CTA adalah 70%. Sensitivitas CTA untuk aneurisma dengan diameter < 3 mm adalah 25-64%. Kelemahan CTA yaitu kesulitan mendeteksi aneurisma yang berada di dekat tulang atau di tempat vaskular saling bertumpukan (overlap) seperti pada area paraklinoid, segmen terminal internal karotid atau bifurkasio MCA (Wanke, 2007). Selain tidak invasif, CTA memiliki beberapa keunggulan dibandingkan angiografi konvensional yaitu kemampuan mendeteksi kalsifikasi dinding aneurisma, trombosis intraluminal, lokasi aneurisma, dan orientasi terhadap bony landmark sekitarnya. Dengan demikian, peran CTA dalam manajemen pasien dengan ruptur aneurisma akan semakin bertambah di masa depan (Ghandehari, 2012). Meskipun demikian, kateterisasi angiografi tetap menjadi modalitas diagnostik baku emas untuk SAH akibat ruptur aneurisma. Angiografi dapat menunjukkan dengan lebih akurat terhadap jumlah, bentuk, dimensi, lokasi, topografi, dan perkiraan risiko vasospasme. Karena prevalesi aneurisma multifokal tinggi, angiografi harus dilakukan pada 4 vaskular otak pada proyeksi minimal anteroposterior, lateral, dan oblique. Jika hasil angiografi negatif, lakukan kateterisasi selektif pada a. karotis eksterna untuk menyingkirkan kemungkinan fistula arteriovena dura. Kemungkinan adanya sirkulasi kolateral dari sirkulasi posterior ke sirkulasi anterior dapat dinilai dengan melakukan Allcock test. Lakukan kateterisasi selektif pada a. vertebral kanan atau kiri. Injeksikan kontras sementara menekan ICA ipsilateral (Wanke, 2007). Kateterisasi angiografi gagal memperlihatkan aneurisma pada 25% kasus. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan seperti berikut ini (Ghandehari, 2012). 1. Kesalahan teknik. 2. Vasospasme pre-aneurisma (terjadi pada 70% kasus). 3. Trombosis yang mengisi seluruh aneurisma. 4. Kompresi hematoma peri-aneurisma menyebabkan aneurisma kolaps. 5. Aneurisma yang terlibat terlalu kecil (micro-aneurysm). 274
Pencitraan pada Stroke
Sumber: Wanke, 2007
Gambar 14.25 Angiografi konvensional menunjukkan aneurisma pada AcomA (A) dan ujung distal PCA (B). Risiko terjadinya vasospasme dapat diprediksi menggunakan grading Fisher. Grading ini juga menunjukkan bahwa hasil CT scan normal tidak dapat menyingkirkan SAH (Mark, 2013 dan Nouira, 2008).
Tabel 14.5 Skala grading Fisher Grup
SAH
Risiko vasospasme
1
Tak terdeteksi
Rendah
2
Difus atau vertikal* ketebalan < 1 mm
Menengah
3
Terlokalisasi atau vertikal* dengan ketebalan > 1 mm
Tinggi
4
ICH atau IVH dengan SAH difus atau tanpa SAH
Tinggi
*Yang termasuk vertikal adalah area yang berpotensi menampung SAH dan terletak vertikal. Area ini meliputi fissura interhemisfer serebri, sisterna ambiens, dan sisterna insular.
Sumber: Wanke, 2007
Meskipun telah tervalidasi dan memiliki reliabilitas inter observer yang tinggi, terdapat beberapa kelemahan sistem grading Fisher, antara lain seperti berikut ini (Rosen, 2005). 1. Sistem grading ini dikembangkan pada saat resolusi CT scan 1/10 resolusi CT scan saat ini. 2. Ketebalan SAH yang diukur berdasarkan hasil print out CT scan, bukan ketebalan SAH sebenarnya. 3. SAH dengan ketebalan < 1 mm pada CT scan jarang ditemukan, demikian pula dengan SAH yang tidak terdeteksi pada CT scan. 4. Sistem ini tidak meliputi pasien yang datang dengan ICH atau IVH dan SAH terlokalisir. Pada pasien dengan edema serebri difus, sisterna basalis, falx, dan tentorium serebelli dapat tampak hiperdens dan sering disalahartikan sebagai SAH. Ada beberapa hipotesis terbentuknya pseudo-SAH ini, antara lain seperti yang dijelaskan berikut ini (Given, 2003). Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
275
1. Pada edema serebri difus, terdapat kenaikan permeabilitas BBB yang menyebabkan kebocoran materi proteinaceous yang akan tampak hiperdens pada CT scan. 2. Edema serebri menyebabkan ruang subarachnoid menyempit dan mendesak CSF keluar dari ruang tersebut. Ruang subarachnoid relatif dipenuhi oleh meningen yang akan tampak hiperdens pada CT scan. 3. Peningkatan TIK yang sering terjadi pada kasus edema serebri menyebabkan bendungan vena subpial sehingga ruang subarachnoid akan tampak hiperdens oleh darah. 4. Selama edema serebri, attenuasi parenkim otak secara keseluruhan menurun sehingga meningen dapat terlihat relatif hiperdens. Pada gambar berikut pasien terbukti tidak memiliki SAH dengan otopsi.
Sumber: Given, 2003
Gambar 14.26 Pasien dengan edema serebri difus menunjukkan pseudo-SAH pada sisterna basalis.
Perdarahan subarachnoid
Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan pada ruang subarachnoid manapun yang umumnya terisi oleh cairan serebrospinal, misalnya sistem sisterna dan sulcii. Hiperdensitas darah di ruang subarachnoid tampak pada gambaran CT scan dalam rentang beberapa menit setelah terjadinya perdarahan. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh aneurisma (75%–80%). Namun demikian, dapat juga disebabkan oleh trauma, tumor, arteri-vena malformasi, dan dural malformasi. Akibat dari granulasi arachnoid menjadi gumpalan sel darah merah atau produk degradasinya, terjadi komplikasi hidrosefalus pada 20% kasus perdarahan subarachnoid.
A
276
B
Gambar 14.27 Perdarahan subarachnoid yang mengisi sisterna suprasellar (A) dan fissura sylvii (B). Pencitraan pada Stroke
Kemampuan CT scan mendeteksi adanya perdarahan subarachnoid bergantung pada beberapa faktor, yaitu generasi dari CT scan, waktu sejak onset perdarahan, dan pengalaman dari pembaca hasil CT scan. Dalam beberapa studi, sensitivitas CT scan disebutkan 95% hingga 98% sensitif untuk mendeteksi perdarahan subarachnoid pada 12 jam pertama sejak perkiraan onset terjadinya perdarahan. Sensitifitasnya menurun menjadi 80% setelah 3 hari, berkurang menjadi 50% setelah 1 minggu, dan hanya 30% setelah 2 minggu dari perkiraan onset terjadinya perdarahan.
14.2.2 Gambaran Radiologis SPECT dan PET pada SAH Serupa dengan ICH, penelitian menggunakan SPECT dan PET pada SAH juga sedikit. Penelitian menggunakan SPECT dengan radiofarmaka 133Xe, 123I- IMP, Tc99m HMPAO, dan Tc99m ECD menunjukkan penurunan perfusi. Hal yang perlu diingat adalah SPECT dan PET tidak menunjukkan vasospasme secara langsung, melainkan efek dari vasospasme tersebut (Lewis, et al., 2012).
A Baseline
B Vasospasm C Post angioplasty
and intraarterial papaverline
D Post angiography showing vasospasm
E Post angioplasty with intraarterial papaverline
Sumber: Lewis, et al., 2012
Gambar 14.28 Hasil SPECT dari seorang pasien dengan SAH. Berdasarkan gambar di atas terlihat hasil SPECT pada seorang pasien dengan SAH yang diakibatkan oleh ruptur aneurisma pada AcomA yang menunjukkan penurunan perfusi pada teritori MCA kiri dan teritori watershed MCA/ACA kiri (A, baseline). Dua hari kemudian, pasien terkena vasospasme. Hasil SPECT (B, vasospasme) menunjukkan perburukan perfusi pada teritori MCA kiri dan teritori watershed MCA/ACA kiri, dan area hipoperfusi baru pada teritori ACA kanan kiri, batang otak dan lobus Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
277
frontal sisi kiri bawah. Angiografi (D) menunjukkan vasospasme pada ACA kanan kiri, dan MCA kanan kiri, yang membaik setelah angioplasti dan pemberian intra-arterial papaverin (E). Hasil SPECT sebelum pasien pulang (C) menunjukkan perfusi yang hampir normal kecuali hipoperfusi ringan pada teritori MCA kanan. Penelitian yang ada melaporkan penurunan CBF dan CMRO2 secara global pada pencitraan PET scan disertai OEF normal. Jika terjadi vasospasme, penurunan CBF akan lebih besar daripada CMRO2 sehingga OEF akan meningkat (Powers & Zazulia, 2010).
Sumber: Powers & Zazulia, 2010
Gambar 14.29 PET dari seorang pasien dengan perburukan neurologis. Perburukan neurologis pada gambar di atas akibat vasospasme yang muncul 9 hari setelah serangan SAH menunjukkan area dengan penurunan CBF pada hemisfer serebri kanan lebih besar daripada penurunan CMRO2, yang berakibat pada peningkatan OEF. Sisi kanan pasien merupakan sisi kanan gambar.
14.2.3 Gambaran MRI dan MRA pada SAH Magnetic Resonance Angiography (MRA) memiliki sensitivitas 95% dalam mendeteksi aneurisma dengan diameter > 5 mm, dan sensitivitas 50% dalam mendeteksi aneurisma dengan diameter < 5 mm. MRA kesulitan mendeteksi aneurisma dengan diameter < 3 mm. Hal ini perlu diingat terutama jika berhadapan dengan kasus skrining atau kontrol paska coiling suatu aneurisma dengan diamter < 3 mm. Alasan tambahan MRI dan MRA bukan merupakan modalitas diagnostik pilihan dalam manajemen SAH yaitu karena pada umumnya pasien dalam keadaan gaduh gelisah dan membutuhkan banyak peralatan monitoring (Wanke, 2007). Indikasi MRI/MRA antara lain seperti berikut ini (Yuan, 2005). 1. MRI digunakan pada pasien dengan CTA negatif dengan tujuan menemukan penyebab lain di luar aneurisma. 2. MRA untuk menemukan aneurisma yang mengalami trombosis yang menyebabkan CTA negatif. 3. Modalitas follow-up aneurisma atau monitoring post terapi endovaskular. 278
Pencitraan pada Stroke
4. Sebagai tes skrining bagi mereka yang berisiko tinggi. 5. Pada kasus di mana berdasarkan keterangan klinis, aneurisma sangat dicurigai, misalnya paresis n. oculomotorius atau nyeri kepala sangat yang mendadak (thunderclap headache) (Wanke, 2007). Karena umumnya berasal dari arteri yang mengandung banyak oksihemoglobin, SAH akan terlihat hiperintens pada T1 dan T2 (Wanke, 2007). Sesaat setelah ruptur aneurisma (iktus), terjadilah perdarahan ke dalam CSF. Ini berarti terjadi peningkatan kadar protein di dalam CSF yang akan memendekkan waktu relaksasi T1 sehingga akan tampak hiperintens pada sekuens T1. Beberapa hari setelah iktus, SAH akan tetap tampak hiperintens pada T1 akibat pembentukan methemoglobin. Bila SAH yang terjadi kecil sehingga semua eritrosit terserap oleh tubuh dan tidak terdapat pembentukan methemoglobin, SAH tidak akan tampak hiperintens pada T1 (Yuan, 2005) Berbeda dengan ICH, ia akan cenderung tampak hiperintens pada sekuens T2 fase akut dan akan menjadi hipointens seiring berjalannya waktu. SAH belum tentu akan tampak hipointens pada T2. Kadar oksigen yang tinggi dalam CSF akan menghalangi pembentukan deoksihemoglobin. Di lain pihak, eritrosit yang terlepas ke dalam CSF akan mengalami overhidrasi. Gabungan dari kedua faktor ini akan menghasilkan pemendekan waktu relaksasi T2 sehingga SAH akan tetap tampak hiperintens pada sekuens T2. Hal ini menjadi masalah karena CSF akan tampak hiperintens pada sekuens T2 sehingga mengaburkan SAH yang mungkin ada (Yuan, 2005). Berdasarkan alasan-alasan di atas, SAH sulit dideteksi menggunakan sekuens standar MRI, yaitu T1 dan T2. Sekuens fluid attenuation inversion recovery (FLAIR) sangat meningkatkan sensitivitas MRI dalam mendeteksi SAH di mana SAH akan tampak hiperintens di antara CSF yang disupresi (hipointens) (Wanke, 2007). Sekuens FLAIR cocok digunakan untuk mendeteksi SAH kecil, terutama yang berada di fissura sylvii dan sulkus serebri yang sering terlewatkan. Sekuens ini merupakan sekuens terbaik untuk mendeteksi SAH yang berusia ≤ 5 hari. Meskipun demikian, sekuens FLAIR tidak menyamai LP dalam sensitivitas sehingga LP tetap menjadi standar baku emas. Diagnosis banding lesi hiperdens mengisi sulkus pada sekuens FLAIR yaitu meningitis purulenta, meningitis granulomatosa, arachnoiditis, metastasis ke meningen, disseminasi tumor primer otak melalui meningen dan ruptur dermoid (Yuan, 2005).
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
279
A
B
C
Sumber: Yuan, 2005
D
Gambar 14.30 Gambaran SAH pada CT (A), dan MRI berbagai sekuens: T1 (B), T2 (C), GRE (D), dan FLAIR (E).
E
Pada gambar ini SAH (mata panah) mudah dilihat sebagai pita hiperintens pada MRI sekuens FLAIR. Sekuens lain yang dapat dengan mudah menunjukkan SAH yaitu GRE. Sekuens ini sangat sensitif terhadap ion ferri dan ferro, metabolit hemoglobin yang bersifat para-magnetik. Sekuens GRE akan menampilkan SAH sebagai area hipointens di antara CSF yang hiperintens. Sekuens GRE paling sensitif untuk mendeteksi SAH yang berusia > 5 hari. Suatu hal yang perlu diwaspadai untuk sekuens GRE yaitu artefak blooming yang sering terbentuk di perbatasan otak dan tengkorak akibat perbedaan suseptibilitas magnetik keduanya (Yuan, 2005). Meskipun demikian, hasil pencitran MRI yang negatif terhadap darah belum dapat menyingkirkan diagnosis SAH sepenuhnya (Kidwell et al., 2004).
A
B
C
Sumber: Yuan, 2005
D
280
E
Gambar 14.31 Gambaran SAH pada CT (A) dan MRI berbagai sekuens: T1 (B), T2 (C), FLAIR (D), dan GRE(E).
Pencitraan pada Stroke
Pada Gambar 14.31 SAH (mata panah) mudah dilihat sebagai fokus hipointens pada MRI sekuens GRE.
14.2.4 Gambaran DSA pada SAH Vasospasme merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan kematian pada pasien SAH yang bertahan hidup. Sebanyak 50% dari pasien ini mungkin menimbulkan beberapa derajat serebral vasospasme. Vasospasme biasanya terjadi pada 7-10 hari setelah perdarahan, dan diagnosis yang cepat diperlukan untuk memulai terapi yang tepat untuk menghindari akibat buruk dari iskemia. Saat ini, standar referensi untuk mendeteksi vasospasme adalah penggunaan DSA. DSA memberikan gambaran yang akurat tentang pembuluh intrakranial dan kompleks aneurisma-clip; Namun, hal itu membawa tingkat komplikasi total sekitar 5% dan tingkat stroke permanen sekitar 0,5% sampai 1% .TCD merupakan metode non-invasif untuk mendeteksi vasospasme yang telah terbukti memiliki sensitivitas tinggi dan spesifisitas dibandingkan dengan DSA. Namun, ketergantungan dan kesulitan operator untuk mendeteksi vasopasme secara akurat di situs selain arteri serebri proksimal (MCA) membatasi penggunaannya untuk metode screening saja, dan diagnosis definitif dibuat oleh DSA. Berikut ini merupakan contoh gambaran DSA pada SAH.
Sumber: Anderson, G.B., 2000
Gambar 14.32 Seorang wanita berumur 56 tahun dengan SAH. A, Praoperasi gambaran MIP pada sebuah studi CTA yang menunjukkan arteri communicating aneurisma (panah). B, Gambaran CTA pascaoperasi yang menunjukkan kliping dari aneurisma dan penyempitan arteri serebral anterior (panah), konsisten dengan vasospasme. C, DSA, pandangan anteroposterior, yang menegaskan vasospasme dan melibatkan segmen A1 dari arteri serebral anterior (panah).
14.2.5 Gambaran TCD pada SAH Penggunaan Transcranial Doppler (TCD) ditujukan untuk diagnosis vasospasme pada subarachnoid hemorraghe (SAH) dengan panduan guideline nasional. Namun demikian, hal itu tetap tidak berhasil Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
281
digunakan di unit perawatan intensif neurologis di Amerika Serikat. Pada kenyataannya, saat ini tulisan-tulisan menggunakan 2 sketsa klinis untuk menggambarkan kesederhanaan dan logika di balik rutinitas pengamatan sehari-hari pada vasospasme dengan transcranial Doppler sonografi pada pasien dengan subarachnoid hemorraghe (SAH) dalam preferensi untuk modalitas lainnya. Contoh kasus Seorang pria 66 tahun menjalani embolisasi koil pada fusiform besar aneurisma di arteri vertebralis kanan distal setelah SAH besar melewati basal cisterns inferior, yang paling menonjol dalam fossa posterior dan yang sumur perimesencephalic (Gambar 14.33 (E)). Pasien memerlukan ventilasi mekanis dan drainase ventrikel eksternal. Status pasien poor neurologic (Skor Glasgow Coma skala 3) menghindari kecurigaan klinis atau diagnosis gejala vasospasme. Fungsi ginjal terganggu sebagai kontraindikasi kontras studi. Pada hari ke‑6, vasospasme dari arteri serebri kiri diidentifikasi pada Transkranial Doppler sonografi. Pada minggu berikutnya, vasospasme dari arteri serebri kiri menjadi berat, dan itu juga diidentifikasi di anterior bilateral arteri serebral dan arteri serebral kanan tengah (Gambar 14.33 (A-D)). Vasospasme merespon untuk terapi hiperdinamik dengan cairan intravena dan vasopressor dan terselesaikan semua pada hari ke-12. Pasien akhirnya dipindahkan ke fasilitas keperawatan terampil dengan defisit residual sekunder infark tertunda (Gambar 14.33 (F-G)).
Sumber: Gyanendra Kumar, MD, Andrei V. Alexandrov. 2015
Gambar 14.33 Gambaran TCD SAH pada seorang pria 66 tahun yang menjalani embolisasi koil.
282
Pencitraan pada Stroke
Gambar A, kejang ringan dan hiperemia pada arteri serebral tengah kanan (RMCA;> 120 cm / s; rasio Lindegaard, 3.2). B, kejang parah pada arteri serebral tengah kiri (LMCA;> 200cm / s; rasio Lindegaard, 6.6). C, vasospasme nyata pada arteri serebral anterior kanan (RACA;> 120 cm / s; Sloan setengah bulat rasio, 5.3). D, vasospasme nyata pada arteri serebral anterior kiri (LACA;> 120 cm / s; Sloan rasio setengah bulat, 5.5). E, CT kepala. Ada difus SAH sepanjang basal cisterns inferior yang paling menonjol dalam fossa posterior dan perimesencephalic cisterns. Hal ini terlihat di sepanjang Convexities serebral yang lebih menonjol pad bagian anterior daripada posterior. F dan G, tindak lanjut CT kepala yang menunjukkan infark subakut dari wilayah frontoparietal kiri.
14.3 Gambaran Radiologis Etiologi Tertentu Seorang radiolog perlu familiar terhadap beberapa kelainan otak tertentu yang berpotensi menyebabkan ICH dan/atau SAH, antara lain seperti yang akan dijelaskan berikut ini.
14.3.1 Kavernoma Gambaran kavernoma pada CT scan tergantung pada jumlah kalsifikasi, trombosis, dan perdarahan yang terjadi. Secara umum, kavernoma akan tampak hiperdens. Pada kavernoma yang mengalami trombosis, densitas bekuan darah menurun seiring berjalannya waktu. Kalsifikasi memang tidak berubah, namun kavernoma cenderung untuk mengalami kalsifikasi parsial. Pada pemberian kontras, sejumlah waktu harus diberikan antara injeksi dengan pengambilan citra. Ini diakibatkan oleh aliran darah yang lambat dalam kavernoma. Meskipun telah diberi jeda antara 10-15 menit, penyangatan kavernoma berkisar dari tidak menyangat hingga menyangat sangat kuat. Informasi klinis sangat membantu dalam keadaan di mana kavernoma termasuk salah satu diagnosis banding. Salah satu diagnosis banding yang penting adalah oligodendroma yang juga sering mengalami perdarahan intratumoral (Wanke, 2007).
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
283
B
A Sumber: Wanke, 2007
Gambar 14.34 Kavernoma multipel CT scan dengan kontras dari satu pasien menunjukkan kavernoma pada supratentorial (A) dan batang otak (B) berbagai sifat penyangatan yang berbeda-beda satu sama lain. Modalitas pencitraan untuk mendeteksi kavernoma yaitu MRI, di mana kavernoma akan memberikan gambaran pop-corn dengan pusat retikular kompleks berbatas tegas, melukiskan perdarahan di berbagai usia, atau aliran darah dalam berbagai kecepatan. Umumnya, terdapat cincin hemosiderin yang mengelilingi seluruh kavernoma. Cincin ini dapat membantu penegakan diagnosis, terutama pada sekuen GRE di mana cincin hemosiderakan memberikan sinyal lemah (hipointens) (Wanke, 2007).
Sumber: Wanke, 2007
Gambar 14.35 Gambaran MRI sekuen GRE dari pasien dengan kavernoma multipel.
284
Pencitraan pada Stroke
14.3.2 Arteriovenous Malformation AVM Kemungkinan AVM sebagai penyebab suatu SAH atau ICH harus dipikirkan jika pasien masih berusia muda, lokasi perdarahan pada lobus serebri atau adanya gambaran hiperdens/kalsifikasi berkelok-kelok pada citra CT scan non-kontras pada pasien asimtomatik (muncul sekitar pada 20% pasien). Tanda lain yang kurang spesifik adalah area fokal pada parenkim otak yang mengalami gliosis akibat perdarahan lama (Wanke, 2007). Meskipun dengan perkembangan teknologi, CTA dan MRA tetap belum bisa menampakkan AVM dengan memuaskan dilihat dari sudut pandang hemodinamik dan anatomik sehingga angiografi selektif tetap menjadi modalitas pencitraan pilihan. Citra angiografi yang diambil harus dapat menampakkan feeding artery, draining vein dan nidus pada proyeksi minimal anteroposterior (AP), lateral, dan oblik. Dengan teknik pelaksanaan yang superior pun, sering kali ketiga komponen AVM ini tidak terlihat dengan baik, tergangggu dengan vaskular sekitarnya yang juga mengalami opafikasi. Hal ini menyebabkan beberapa penulis mengusulkan angiografi superselektif (Wanke, 2007). Spetzler-Martin mengajukan sebuah sistem grading AVM. Beberapa dari kriteria penilaian yang digunakan dalam sistem grading ini berasal dari pencitraan. Sistem grading ini memiliki nilai dari 0 hingga 6, di mana nilai 6 menunjukkan lesi tidak dapat dioperasi (Smith, et al., 2011). Ada area tertentu yang dinyatakan eloquent, ini meliputi korteks sensorimotor, korteks bahasa, korteks visual, hipothalamus, thalamus, batang otak, nukleus serebelli, atau area otak yang berdekatan dengan area ini. Non-eloquent area adalah lobus frontal, lobus temporal, dan hemisfer serebelli.
Tabel 14.6 Sistem grading Spetzler Martin Penampakan Tingkat Ukuran AVM Kecil (<3 cm) Sedang (3-6 cm) Besar (>6 cm) Kelancaran berbicara yang berhubungan dengan otak Tidak fasih Fasih Pola saluran vena Hanya superfisial Dalam
Poin 1 2 3 0 1 0 1 Sumber: Smith, et al.,
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
285
Sumber: Smith, et al., 2011
Gambar 14.36 Scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien wanita berusia 59 tahun. Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat bagian (A) merupakan hasil CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien wanita berumur 59 tahun yang menunjukkan ICH pada korona radiata kiri dengan ekstensi intraventrikular dan kalsifikasi di dekatnya. MRI tanpa kontras sekuens T2 (B) menunjukkan adanya flow void multiple yang mencerminkan nidus sebuah AVM. Tampak pula pelebaran vaskular subpial dan kortikal yang mewakili draining vein. Digital subtraction angiography (C) mengeaskan adanya AVM frontotemporal kiri dengan draining vein multiple.
14.3.3 Vaskullitis Kegunaan CT scan dalam mendeteksi vaskulitis akut terbatas. CT scan hanya dapat mendeteksi adanya kalsifikasi pada lesi vaskulitis kronis pada vaskular besar (Garg, 2011) . Angiografi pada pasien dengan ICH akibat vaskulopati akan menunjukkan multiple beading pada vaskular yang terkena (Ghandehari, 2012).
14.3.4 Cerebral amyloidosis (CA) Penyebab ICH primer yang jarang ini umumnya mengenai vaskular sedang dan kecil pada korteks dan mengakibatkan terbentuknya microaneurisma yang berpotensi ruptur. Perdarahan mikro yang sering terjadi pada CA tidak terdeteksi oleh CT scan (Smith, et al., 2011). Perdarahan mikro pada serebellum berkaitan dengan CA (Yates, 2014). Pada MRI sekuens GRE, perdarahan ini akan tampak sebagai lesi hipointens (signal drop-out) punctate multiple pada korteks subkorteks (Smith, et al., 2011).
286
Pencitraan pada Stroke
Tabel 14.7 Kriteria Boston yang umum digunakan untuk menegakkan diagnosis CA Definite CAA Demonstrasi pengujian full post-mortem Hemoragik lobar, kortikal, atau kortiko-subkortikal CAA parah dengan vaskulopati Tidak adanya diagnostik lesi lainnya Probable CAA dengan patologi yang menyertai Demonstrasi data klinik dan jaringan patologi (evakuasi hematoma atau kortikal biopsi) Lobar, kortikal, atau kortiko-subkortikal hemoragik Beberapa derajad CAA dalam spesimen Tidak adanya lesi diagnostik lainnya Probable CAA Demonstrasi data klinik dan MRI atau CT: Hemoragik lobar tunggal, kortikal, atau kortiko-subkortikal Usia ≥55 tahun Tidak adanya penyebab lain stroke hemoragik Sumber: Yates, 2014
Sumber: Smith, et al., 2011
Gambar 14.37 Potongan aksial MRI sekuens T2 Jika kita perhatikan lagi gambar di atas terlihat bagian (A) menunjukkan lesi hipodens samar pada korteks sejajar gyrus pada lobus oksipital kanan. Pada sekuens GRE (B) tampak lesi hipodens multipel pada korteks subkorteks lobus oksipital kanan, sesuai dengan signal drop-out pada serebral amiloid.
14.3.5 Tumor Tumor primer maupun sekunder dapat menampakkan manifestasi klinis stroke hemoragik. Beberapa tanda radiologi yang menimbulkan kecurigaan ICH akibat perdarahan intratumoral antara lain berikut ini. 1. Edema vasogenik di sekitar ICH (Ghandehari, 2012). Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
287
2. Edema dan efek massa tidak sesuai (disproportionate) dengan volume ICH (Ghandehari, 2012). 3. ICH di tempat tertentu yang jarang terjadi pada ICH akibat etiologi lain (misalnya di korpus kallosum) (Ghandehari, 2012). 4. Nodul yang menyangat di sekitar ICH (Ghandehari, 2012). 5. Penyangatan cincin irreguler (irregular ring enhancement) pada ICH akut (penyangatan cincin adalah hal normal pada ICH subakut) (Ghandehari, 2012). 6. Penyangatan nodular atau irreguler di sekitar ICH (Smith, et al., 2011). 7. Perdarahan lebih heterogen (Smith, et al., 2011). 8. Produk darah dalam hematoma menjalani degradasi yang lebih lambat (Smith, et al., 2011). 9. Hemosiderin rim ireguler atau inkomplit (Smith, et al., 2011).
Sumber: Smith, et al., 2011
Gambar 14.38 CT scan kepala tanpa kontras pada seorang pasien pria berusia 42 tahun. Berdasarkan gambar di atas terlihat CT scan tanpa kontras (A) dan MRI sekuens T1 (B) dari seorang pasien pria berumur 42 tahun menunjukkan ICH pada thalamus kiri. Paska pemberian kontras, MRI (C) menunjukkan penyangatan inkomplit nodular sekitar ICH. CT scan tanpa kontras kontrol (D) 6 minggu kemudian menunjukkan ICH dengan densitas yang telah turun. MRI sekuens T1 pra-kontras (E) dan paska kontras (F) menunjukkan massa. Hasil pemeriksaan patologi menyatakan glioblastoma multiforme.
288
Pencitraan pada Stroke
B
A
C Sumber: Smith, et al., 2011
Gambar 14.39 CT scan kepala tanpa kepala kontras. Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat bagian (A) menunjukkan ICH heterogen pada subkorteks lobus parietal kanan disertai IVH (pada gambar B) dan edema vasogenik. Paska penambahan kontras (C), tampak irregular ring enhancement. Ini merupakan tipikal ICH sekunder akibat perdarahan intra tumoral.
14.3.6 Trombosis sinus venosus Beberapa tanda yang mengarahkan diagnosis etiologi ke trombosis sinus venosus antara lain sebagai berikut. 1. Vena kortikal atau deep vein dengan atenuasi tinggi (hyperattenuating) (Smith, et al., 2011). 2. Empty delta sign, trombosis pada sinus sagitalis superior mengakibatkan sinus tersebut tidak terisi darah. Pada CT scan dengan kontras, sinus yang mengalami trombosis itu akan terlihat hipodens (Smith, et al., 2011). 3. Edema yang terjadi lebih luas dibandingkan ICH primer (Smith, et al., 2011). 4. Area yang terlibat tidak sesuai dengan teritori arteri (Smith, et al., 2011). 5. Pada MRI sekuens T2, sinus yang mengalami trombosis akan tampak isointens hingga hiperintens, terutama jika disertai ekspansi sinus (Smith, et al., 2011). Sekuens T1 dan FLAIR akan menunjukkan trombus sebagai area hiperintens (Zak, et al., 2007). A
B
Sumber: Almandoz, 2011
Gambar 14.40 Potongan koronal CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien wanita berusia 21 tahun. Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
289
Berdasarkan Gambar 14.40 terlihat potongan koronal CT scan kepala tanpa kontras (A) dari seorang pasien wanita 21 tahun tanpa riwayat hipertensi atau pemakaian obat antikoagulan menunjukkan ICH pada lobus parietal kiri disertai hiperdens pada vena kortikal yang diperkirakan merupakan draining vein area yang terkena (skor SICH = 6). Paska pemberian kontras (B) tampak vena regio parietal kiri dekat vertex tidak terisi kontras (mata panah), sesuai dengan trombosis sinus venosus. Pasien kemudian diketahui memakai kontrasepsi oral. Di lain sisi, seorang radiolog perlu berhati-hati sebelum mengarahkan diagnosis etiologi ke trombosis sinus venosus karena dampak terapi yang besar. Pasien akan mendapatkan antikoagulan (meskipun memiliki ICH) dan menjalani trombektomi mekanikal. Dengan diperkenalkannya generasi baru CT scan, jeda waktu antara injeksi dan pengambilan gambar telah berkurang bermakna yang mengakibatkan sinus venosus normal tidak terisi kontras dengan homogen. Hal ini dapat terjadi sebesar 40-60% untuk sinus transversus dan sigmoid. Jika sinus venosus terisi kontras pada pencitraan CT dengan kontras, trombosis sinus venosus dengan yakin dapat disingkirkan. Namun, jika sinus venosus hanya terisi parsial atau tidak terisi sama sekali disertai dengan ICH yang tidak sesuai teritori arteri, delayed CT scan harus dilakukan. Jeda waktu untuk delayed CT scan bisa mencapai 7 menit. Jika sinus venosus tetap tidak terisi, mungkin trombosis sinus venosus memang terjadi (Almandoz, 2011). A
B
C
Sumber: Almandoz, 2011
Gambar 14.41 Hasil CT scan kepala tanpa pemberian kontras dan paska pemberian kontras. Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat bagian (A) merupakan hasil CT scan kepala tanpa kontras yang menunjukkan ICH pada hemisfer kanan serebelli dengan ekstensi ke intraventikular. Paska pemberian kontras (B), tampak sinus transversus kanan dan sinus sigmoid kanan tidak terisi kontras (mata panah). Delayed CT scan 27 detik kemudian (C) menunjukkan opasifikasi kedua sinus tersebut dengan yakin menyingkirkan trombosis sinus venosus sebagai etiologi ICH.
290
Pencitraan pada Stroke
14.3.7 Perimesencephalic non-aneurisma SAH Jika seorang radiolog menjumpai SAH yang terlokalisasi di sisterna perimesensephalik saja dan tidak menjumpai SAH di tempat lain, kemungkinan ruptur kapiler/vena perimesensephalik merupakan diagnosis banding utama. Angiografi harus dilakukan untuk membuktikan ketiadaan aneurisma. IVH minimal mungkin dapat ditemukan, namun jika terdapat IVH dalam jumlah bermakna maka penyebab lainnya harus dicari (van Gijn, et al., 2007).
Sumber: van Gijn, et al., 2007
Gambar 14.42 Contoh khas SAH perimesensephalik non-aneurisma pada pencitraan CT scan tanpa kontras (A). Angiografi membuktikan ketiadaan aneurisma (B).
14.3.8 ICH multipel ICH multipel jarang terjadi dan harus menimbulkan kecurigaan akan penyebab koagulopati, infark, vaskulitis, serebral amiloidosis, hipertensi, dan tumor (Smith, et al., 2006).
14.3.9 Kontusi serebral Terkadang pasien dengan ICH primer yang mengalami penurunan kesadaran dan terbentur dapat memiliki gambaran radiologis dengan pasien kecelakaan yang memiliki kontusi serebral. Beberapa hal yang mendukung ICH akibat trauma misalnya lokasi dekat dengan dasar tengkorak, lokasi berdekatan dengan coup, disertai dengan fraktur atau perdarahan ekstra-aksial (Smith, et al., 2006).
14.3.10 Hipertensi dalam kehamilan Terdapat laporan kasus mengenai terjadinya SAH pada wanita post partum per vaginam dengan hipertensi dalam kehamilan. Pasien datang Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
291
dengan sakit kepala hebat dan kejang fokal 2 hari setelah melahirkan. CT scan kepala menunjukkan SAH minimal pada sulcii regio frontal dan parietal tapi tidak pada sisterna basalis. Angiografi tidak menunjukkan adanya SAH. Hal ini perlu dicurigai ketika seorang radiolog bertemu dengan pasien dengan latar belakang klinis yang sesuai dan gambaran SAH pada CT scan kepala (Zak, et al., 2007). Terdapat juga laporan kasus ICH pada ibu hamil dengan preklampsia. Pada kasus ini pasien juga menderita PRES (Gasco, et al., 2009).
A
B Sumber: Gasco, et al., 2009
Gambar 14.43 Stroke hemoragik pada pasien hamil/nifas. Berdasarkan gambar di atas terlihat: A. SAH (panah) pada sulcii regio frontal (panah) dari pasien post partum per vaginam dan hipertensi dalam kehamilan (Zak, et al., 2007). B. ICH yang meluas ke IVH pada seorang ibu hamil dengan preklampsia. Tanda-tanda PRES dapat dilihat sebagai area hipodens pada lobus parieto-oksipital kanan kiri.
14.4 Gambaran Radiologis pada Transformasi Hemoragik Transformasi hemoragik (TH) sebenarnya bukanlah bagian dari stroke hemoragik, namun akan dibahas dengan singkat karena berpotensi membingungkan. TH merujuk pada konversi area iskemia menjadi area perdarahan yang sering terjadi terutama pada pasien dengan stroke iskemia emboli luas atau pada pasien yang mendapatkan tissue plasminogen activator (Liebeskind, 2014). TH dapat muncul spontan, tanpa adanya riwayat trombolisis. TH lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi (Choi, 2011). Umumnya, terjadi dalam 7 hari pertama. TH dapat terjadi hingga hari ke-14 setelah onset iskemia (Liebeskind, 2014). Pada pasien yang menerima trombolisis (misalnya pemberian recombinant tissue-Plasminogen Activator, rt-PA) atau menjalani trombektomi mekanikal dapat mengalami hal ini lebih awal (Smith, et al., 2011). 292
Pencitraan pada Stroke
Sumber: Kidwell et al., 2004
Gambar 14.44 TH terdeteksi menggunaan MRI sekuens GRE (mata panah hitam) dan DWI sebagai lesi hipointens dikelilingi oleh area hiperintens (mata panah putih). Hal ini tidak tampak di CT scan. TH terjadi pada 43% stroke iskemia (Neeb, 2013). Peneliti lain melaporkan angka prevalensi 30% (Choi, 2011). TH dapat berupa perdarahan petekial multipel atau sebuah hematoma dengan efek massa yang nyata. Berdasarkan penampakan pada CT scan kepala tanpa kontras, European Cooperative Acute Stroke Study (ECASS) membentuk sistem grading terdapat tranformasi hemoragik. Karena dewasa ini MRI semakin sering dipakai untuk mengevaluasi stroke, TH sering tampak dalam pencitraan MRI. Hal ini mendorong sekelompok peneliti mengusulkan sebuah sistem grading untuk TH pada pencitraan MRI berdasarkan sistem grading ECASS (Neeb, 2013).
Tabel 14.8 Sistem grading TH pada CT scan dan MRI Grade
CT menurut ECASS
MRI menurut Neeb, 2013 Bentuk/Ukuran
GRE
1
Perdarahan petekial kecil
Punctate/linier, ø < 10 mm
hipointens
Hipo/iso-intens
FLAIR
Hipo-isointens
DWI
2
Perdarahan petekial konfluen
Konfluen, ø > 10 mm
hipointens
Hipo/iso-intens
Hipo/iso/hiperintens
3
Hematoma parenkimal meliputi ≤ 30% area infark disertai efek massa ringan
Round
Hipointens dengan sentral hiperintens dan edema perifokal hiperintens
Hiperintens dengan batas hipo/iso-intens antara sentral dan edema perifokal
Hipointens kuat dengan aea iso/hiperintens
4
Hematoma parenkimal meliputi > 30% area infark disertai efek massa nyata
Round Perdarahan jauh dari area infark
Hipointens dengan sentral hiperintens dan edema perifokal hiperintens
Hiperintens dengan batas hipo/iso-intens antara sentral dan edema perifokal
Hipointens kuat dengan aea iso/hiperintens
Sumber: Neeb, 2013
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
293
A
B
C
D
Sumber: Neeb, 2013
Gambar 14.45 Gambaran TH pada MRI. Terdapat kontroversi tentang dampak perdarahan petekial terhadap perjalanan penyakit pasien dan terapi antikoagulan. Namun, hematoma > 30% area infark mengakibatkan prognosis yang lebih buruk (Smith, et al., 2011).
Sumber: Liebeskind, 2014
Gambar 14.46 CT scan dari seorang pasien pria berumur 75 tahun yang menderita stroke emboli sesuai teritori MCA kanan. 294
Pencitraan pada Stroke
Jika kita perhatikan lagi Gambar 14.46, tampak pada gambar sebelah kiri terjadi TH yang menjadi konfluen pada hari kedua (gambar tengah) dan berkembang menjadi ICH pada hari keenam (gambar kanan) dengan efek massa. Mekanisme penyebabnya diperkirakan akibat reperfusion injury, mungkin dari rekanalisasi vaskular yang tersumbat maupun kolateral dari vaskular di tepi area infark. Akibat kerusakan BBB, eritrosit dapat mengalami ekstravasasi dari pembuluh kapiler rapuh ini yang berakibat pada perdarahan petekial atau bahkan ICH (Liebeskind, 2014). Sebagai usaha tubuh untuk mempertahankan vaskularisasi penumbra pada stroke iskemia, tekanan darah akan naik. Namun, dinding kapiler yang telah rapuh akibat iskemia tidak mampu menahan kompensasi tubuh ini, berakibat pada perdarahan (Elzawahri, 2013).
Sumber: Elzawahri, 2013
Gambar 14.47 CT scan dengan kontras dari seorang pasien 24 jam setelah serangan stroke iskemia teritori MCA kanan. Tampak ekstravasasi kontras, membuktikan kerusakan BBB. Mekanisme lain yang ditenggarai berperan dalam TH adalah disautoregulasi vascular bed otak karena hipoksia akibat iskemia. Kenaikan tekanan darah sistemik yang disertai dis-autoregulasi vaskular otak akhirnya berakibat pada edema dan perdarahan (Elzawahri, 2013).
Sumber: Elzawahri, 2013
Gambar 14.48 TH pada pasien yang menerima trombolitik. TH terjadi pada hari kedua paska onset stroke emboli pada teritori MCA kanan. Manifestasi TH antara lain adalah sakit kepala unilateral, defisit neurologis, dan kejang. Sakit kepala merupakan manifestasi utama, berkisar hingga 62%. Beberapa sumber menyebutkan karakter berdenyut (pounding). Defisit neurologis yang muncul umumnya berupa plegia atau afasia, namun dapat berupa perburukan defisit neurologis yang telah ada (Elzawahri, 2013). Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
295
Beberapa ciri yang mendukung ke diagnosis TH dibandingkan dengan ICH primer antara lain seperti berikut ini. 1. Terjadi pada area yang mengalami infark 7-14 hari sebelumnya (terbukti dengan CT sebelumnya) (Choi, 2011). 2. Edema yang menyertai mengikuti distribusi vaskular, lebih ekstensif dan lebih sering mencapai korteks dibandingkan dengan ICH primer berukuran sama (Choi, 2011). 3. Pada teritori MCA, sering terjadi pada area striatokapsular, dan pada teritori PCA, sering terjadi pada lobus temporal medial dan lobus oksipital medial (Choi, 2011). 4. Adanya mismatch pada CTP (Choi, 2011). 5. Pada CTP, nilai Perfusion Surface (PS) > 0,23 mL/menit (100)g (Aviv et al., 2009). 6. Pada MRI, adanya hyperintense acute reperfussion marker (HARM) sebagai tanda awal kerusakan BBB (Choi, 2011). HARM merupakan sinyal hiperintens yang tampak pada sekuens FLAIR dalam hitungan jam hingga hari setelah pasien menerima kontras gadopentate dimeglumine dan dipercaya disebabkan oleh penumpukan bahan kontras di ruang subarachnoid sebelum kerusakan BBB. HARM dapat terjadi di sekitar area iskemia maupun pada area jauh yang tidak berhubungan dengan area iskemia, menunjukkan kerusakan BBB juga terjadi pada area yang jauh dari area iskemia awal. Hal ini membantu menjelaskan mengapa peta PS pada area kontralateral area iskemia juga menandakan kerusakan BBB (Aviv et al., 2009).
Sumber: Choi, 2011
Gambar 14.49 CT kepala tanpa kontras.
296
Pencitraan pada Stroke
Berdasarkan Gambar 14.49, bagian (a) menunjukkan hyperdense arterial sign pada MCA kanan (panah tebal) dan loss of insula ribbon sign (panah tipis), sesuai dengan stroke iskemia akut. Pasien menjalani trombolisis. CT scan kontrol (b) tiga hari kemudian menunjukkan adanya perdarahan di nukleus lentiformis sesuai dengan TH. CT perfusi (C) semakin menegaskan temuan tersebut dengan menunjukkan area luas (mismatch dengan area perdarahan) pada hemisfer kanan dengan delayed mean transit time. CTA (D) menunjukkan cut off (panah) pada MCA kanan segmen MI. Berbagai penelitian telah berusaha menentukan faktor prediktor apa yang mampu menduga risiko terjadinya TH setelah pemberian trombolitik. Moriya et al., menemukan bahwa skor alberta stroke programme early CT score-diffusion weighted image (ASPECT-DWI) merupakan prediktor terjadinya TH setelah pemberian rt-PA. Untuk setiap pengurangan 1 poin pada ASPECTS-DWI, odd ratio untuk TH naik 0,57 (Moriya Y et al., 2013). Moriya et al., menemukan bahwa perdarahan mikro (microbleed) yang tampak pada MRI sekuens T2 bukanlah prediktor terjadinya TH setelah pemberian rt-PA (Moriya Y et al., 2013). Namun demikian, Yates et al., melaporkan pasien dengan perdarahan mikro terkait dengan risiko tinggi TH bila diberikan terapi rt-PA (Yates, 2014). Penelitian lanjut untuk menyelesaikan masalah ini sangat diperlukan. ASPECT merupakan sebuah sistem skoring yang dirancang untuk menggantikan sistem sebelumnya, yaitu rule of 1/3 dalam menentukan keputusan memulai terapi rt-PA intravena (Pexman, 2001). Jika area yang terlibat dalam stroke iskemia > 1/3 teritori MCA, rt-PA tidak dilaksanakan karena risiko akan terjadi TH besar (Lovbald & Pereira, 2013). Seorang radiolog bahkan neurolog paling berpengalaman pun akan sulit menentukan apakah area yang terlibat dalam infark kurang/ lebih dari 1/3 teritori MCA. Hal ini terjadi karena sang radiolog/neurolog diharuskan memperkirakan volume area yang terlibat dari serangkaian citra dua dimensi. Sebaliknya ASPECT, sistem skor yang dirancang untuk menilai gambaran stroke sirkulasi anterior pada CT scan < 3 jam dari onset, lebih mudah dan memiliki kesepakatan antar observer yang tinggi (Pexman, 2001). Pada penelitian Moriya et al., sistem skoring ASPECTS didasarkan pada DWI, bukan pada CT scan (Moriya Y et al., 2013). ASPECTS dihitung menggunakan dua potogan aksial CT scan kepala tanpa kontras sejajar orbitomeatal line, yaitu pada level thalamus dan ganglia basalis (potongan pertama) dan pada level sedikit superior dari margo superior ganglia basalis sedemikian rupa hingga ganglia basalis tidak terlihat lagi (potongan kedua). Area teritori MCA yang terdapat dalam kedua potongan ini dibagi menjadi 10 segmen. Untuk setiap perubahaan iskemia awal (yaitu edema fokal atau area hipodens pada parenkim) yang terdapat dari area ini, satu skor dikurangi dari total skor ASPECTS. CT scan normal memiliki skor ASPECTS 10, sementara CT scan dengan infark iskemia yang mengenai seluruh teritori MCA akan bernilai 0. Kesepuluh segmen tersebut dapat dilihat pada gambar berikut (Pexman, 2001). Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
297
Sumber: Pexman, 2001
Gambar 14.50 Kesepuluh segmen MCA yang dilibatkan dalam ASPECTS. Pada Gambar 14.50, terlihat kesepuluh segmen MCA yang meliputi caput nucleus caudatus (C, segmen 1), nukleus lentiformis (L, segmen 2), kapsula interna (IC, segmen 3), insula (I, segmen 4), korteks anterior MCA (M1, segmen 5), korteks lateral dari insula (M2, segmen 6), korteks posterior MCA (M3, segmen 7), teritori anterior MCA (M4, segmen 8), teritori lateral MCA (M5, segmen 9), dan teritori posterior MCA (M6, segmen 10) A=sirkulasi anterior, P=sirkulasi posterior.
A
B
C
D Sumber: Pexman, 2001
Gambar 14.51 CT scan kepala tanpa kontras pada pasien wanita berusia 65 tahun. Berdasarkan gambar di atas terlihat hasil CT scan tanpa kontras < 3 jam dari onset (A dan B) dengan hemiparesis kiri dan hemianopia 298
Pencitraan pada Stroke
kiri yang menunjukkan lesi hipodens dan pendataran sulcii pada teritori MCA kanan: insula (I), korteks anterior MCA (M1), korteks lateral dari insula (M2), teritori lateral MCA (M5), teritori posterior MCA (M6) dengan total ASPECTS = 5. Meski terapi IV rt-PA telah diberikan, CT scan kontrol (C dan D) menunjukkan infark luas pada teritori MCA kiri. Pasien dependent selama 3 bulan.
A
B
C
D Sumber: Pexman, 2001
Gambar 14.52 CT scan kepala tanpa kontras pada pasien pria berumur 68 tahun. Gambar di atas menunjukkan CT scan kepala tanpa kontras < 3 jam dari onset (A dan B) dengan keluhan afasia global menunjukkan lesi hipodens dan pendataran pada teritori MCA kiri: insula (I), korteks lateral dari insula (M2) dengan total ASPECTS = 8. CT scan kontral (C dan D) menunjukkan infark. Pasien sembuh sempurna. Meskipun menyediakan suatu struktur yang lebih tertata dalam mengevaluasi CT scan kepala tanpa kontras < 3 jam dari onset yang mungkin telah menunjukkan tanda samar nyaris tak terlihat (subtle change) lebih baik daripada hanya sekedar Gestalt. Hal ini bukan berarti ASPECTS merupakan suatu sistem sempurna. Terdapat beberapa pertanyaan misalnya apa batas tegas tiap segmen? Berapa banyak kelainan yang diperlukan untuk mengurangi satu nilai? Bagaimana jika misalnya ada lesi hipodens mengenai hanya ujung anterior segmen insula? Apakah ada kelainan tertentu yang lebih penting dari yang lainnya? (Pexman, 2001) Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
299
A
B
Sumber: Pexman, 2001
C
D
Gambar 14.53 CT scan kepala tanpa kontras pada seorang pasien wanita berusia 79 tahun.
Gambar di atas merupakan hasil CT scan kepala tanpa kontras < 3 jam dari onset (A dan B) dengan keluhan hemiparesis kiri menunjukkan lesi hipodens pada teritori MCA kanan: nukleus lentiformis (L) dan nukleus kaudatus (C) dengan total ASPECTS = 8. CT scan kontrol (C dan D) menunjukkan infark. Pasien sembuh sempurna setelah terapi IV rt-PA. Penelitian lain mencoba melihat kegunaan CTP dalam menduga risiko terjadinya TH pada pasien dengan stroke iskemia (Aviv et al., 2009).
Sumber: aviv et al., 2009
Gambar 14.54 Gambar yang menunjukkan kegunaan CTP dalam menduga risiko terjadinya TH pada pasien dengan stroke iskemia. 300
Pencitraan pada Stroke
Berdasarkan Gambar 14.54 terlihat CTP (A) dari seorang pasien dengan stroke iskemia menunjukkan cerebral blood flow (CBF) dengan rentang dari 0 mL/menit (biru gelap) hingga 150 mL/menit (merah). Peta CBF menunjukkan area dengan aliran < 25 mL/menit (kuning) dibatasi oleh garis hitam tebal. Peta permeability surface (PS) yang merupakan gabungan dari gambar A dan B, menunjukkan area dengan permeabilitias meningkat dibatasi oleh garis putih tebal. Area serupa kontralateral juga ditunjukkan sebagai perbandingan. CT scan kontrol (D) menunjukkan area yang terkena stroke iskemia dengan TH (panah). Prognosis pasien dengan stroke iskemia yang mengalami TH dapat turun dengan drastis. Mortalitas pasien ini berkisar 36-63%. Sekitar 80% yang selamat akan menderita sekuele (Liebeskind, 2014). Transformasi hemoragik paling sering terjadi selama fase infark ini (Gambar 14.55). Sementara edema vasogenik meningkat, edema sitotoksik sebenarnya menurun sebagai akibat kematian yang menyebabkan lisis sel. Batas infark mulai jelas dan efek massa meningkat. Tingkat edema dan efek massa ditentukan oleh ukuran infark dan tingkat rekanalisasi arteri. Dalam kasus yang parah ("malignant infark"), mungkin ada herniasi transfalcine atau herniasi transtentorial (Gambar 14.57) (Zimmerman, 2010).
Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 14.55 Infark akut dengan transformasi hemoragik. Berdasarkan gambar di atas, terlihat bagian (A) yaitu computed tomography (CT) scan 3 jam setelah timbulnya gejala yang menunjukkan hilangnya densitas normal grey matter di korteks temporoparietal kanan (panah). Pasien yang diobati dengan aktivator jaringan plasminogen intravena. Bagian (B) yaitu CT scan pada 18 jam menunjukkan infark dengan transformasi hemoragik.
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
301
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 14.56 Infark subakut dengan transformasi hemoragik
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 14.57 Infark subakut pada korteks subkorteks lobus temporo parietal kanan dengan kecurigaan transformasi hemoragik.
Sumber: Zimmerman, 2010
A
302
B
Gambar 14.58 Malignant infark subakut CT scan pada 40 jam setelah timbulnya gejala.
Pencitraan pada Stroke
Jika kita perhatikan lagi Gambar 14.58, bagian (A) yaitu pada tingkat sisterna suprasela yang menunjukkan hipodens pada distribusi arteri serebral tengah kanan (MCA). Sisterna suprasella menghilang (panah panjang), kornu temporal kanan (panah pendek) terdesak ke medial dan kornu temporal kiri melebar, menunjukkan herniasi transtentorial. Bagian (B) yaitu scan pada tingkat ventrikel lateral yang menunjukkan hipodens seluruh wilayah MCA yang membentuk batas tidak jelas (panah) dan efek massa ditandai dengan herniasi transfalcine. Gambaran infark pada otak adalah agak hipointens pada T1 dan hiperintens pada T2 (Gambar 14.59 A dan B). Hiperintens pada T2 melibatkan white and grey matter dengan batas yang tidak jelas. Transformasi hemoragik menghasilkan hipointens ringan hingga sedang pada T2 dan ditandai hipointens pada susceptibility-weighted sequences. Dalam kebanyakan kasus, hiperintens pada DWI menetap (Gambar 14.59 C), tetapi hipointens ADC menjadi kurang jelas atau menghilang jika edema sitotoksik menurun atau ada edema vasogenik yang luas. (Zimmerman, 2010).
A
D
B
E
C
F Sumber: Zimmerman, 2010
Gambar 14.59 MRI infark subakut awal hingga kronis. Berdasarkan gambar di atas dapat kita lihat Gambar T1-weighted (T1WI) (A), FLAIR (B), dan gambar diffusion-weighted (DWI) (C) pada 36 jam menunjukkan pembengkakan gyral ringan dan hipointens ringan pada T1WI (panah) (A) dan hiperintens kortikal pada FLAIR (B) (panah) dan DWI (C). T1WI (D) FLAIR (E), dan DWI (F) pada 1 bulan menunjukkan atrofi fokus dan hipointens pada T1WI (D). Pada FLAIR (E) T2 hiperintens tampak dalam white matter subkortikal. Korteks yang sebelumnya hiperintens sekarang isointens (panah). Pada DWI (F), infark kronis agak hipointens. Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
303
14.5 Gambaran Stroke Hemoragik pada Pediatrik Kasus stroke hemoragik tidak hanya menyerang manusia dewasa, tapi juga dapat menyerang anak-anak. Bagaimana gambaran radiologis stroke hemoragik pada anak? Berikut ini merupakan penjelasannya.
14.5.1 Germinal Matrix Hemorrhage-IntraVentricular Hemorrhage dan Peri-Ventricular Hemorrhage Infarction Germinal matrix hemorrhage-intra ventricular hemorrhage (GMH-IVH) adalah suatu tipe stroke hemoragik pada neonatus yang terbatas hanya pada germinal matrix. Umumnya, disertai dengan intraventricular hemorrhage. Sekitar 15% neonatus dengan GMH-IVH juga memiliki peri-ventricular hemorrhagic infarction (PVHI). Di negara maju, insiden GMH-IVH telah turun dari 50% pada tahun 1970-an menjadi 20% dewasa ini. Sayangnya, penurunan insiden ini tidak berlaku untuk neonatus dengan berat lahir < 750 g, dimana PVHI merupakan ancaman terbesar. Insiden GMH-IVH jauh lebih besar di negara berkembang. Sekitar 90% GMH-IVH terdeteksi dalam 96 jam kehiduan ekstra-uterine pertama (Gunny & Lin, 2012). Pada umur gestasi 7 minggu, neocortex mulai terbentuk dan memiliki beberapa lapis sel neuron. Lapisan ventricular yang terletak langsung setelah ventrikel berkembang membentuk lapisan subventricular dan inner preplate. Lapisan intermediate terbentuk pada umur gestasi 8 minggu sementara lapisan outer preplate dan cortical barulah terbentuk pada usia gestasi 14 minggu. Lapisan subventricular menjadi tempat utama proliferasi sel mulai minggu ke-15, membentuk ganglionic eminence, yang terletak pada dinding lateral kornu frontal dan kornu temporal ventrikel lateral. Sel-sel yang menyusun ganglionic eminence mengalami proliferasi pesat hingga minggu ke-18, menyebabkan ganglionic eminence mencapai ketebalan maksimal pada umur gestasi 20-26 minggu. Setelah minggu ke-18, sel-sel pada posterior ganglionic eminence mulai mengalami involusi, namun sel-sel yang terdapat pada anterior ganglionic eminence masih tetap ada hingga minggu ke-28. Ganglionic eminence akan mencapai involusi final pada umur gestasi 34-36 minggu. Ganglionic eminence menjadi sumber inhibitory gamma amino butiric acid (GABA) neuron, neuron ganglia basalis, neuron thalamus, astrosit, dan oligodendrosit (Gunny & Lin, 2012) . Germinal matriks berasal dari ganglionic eminence, terutama yang terletak pada kornu frontal ventrikel lateral dan caput nucleus caudatus. Vaskular germinal matriks sangat rentan terhadap penurunan perfusi otak. Hal ini dicurigai akibat dari BBB yang inkomplit, membran basalis immatur, jumlah perisit yang relatif sedikit, dan dinding vaskular tipis. Beberapa faktor risiko yang terkait dengan GMH-IVH antara lain sebagai berikut (Gunny & Lin, 2012).
304
Pencitraan pada Stroke
1. Prematur 2. Berat lahir rendah 3. Hipoksia, hiperkapnia, nilai APGAR rendah 4. Persalinan per vaginam 5. Infeksi fetomaternal Tidak seperti yang selama ini dikira bahwa PVHI adalah GMHIVH dengan ekstensi ke parenkim, PVHI sebenarnya merupakan infark vena. Vena yang berasal dari lobus frontal mengadakan konfluen dan berakhir sebagai vena terminalis di dalam germinal matriks. GMH yang terjadi akan menyumbat vena terminalis ini, menyebabkan infark vena dan akhirnya transformasi hemoragik, berakhir pada terciptanya PVHI, yang paling nyata pada pertemuan kornu anterior dengan korpus ventrikel lateral, tempat pertemuan konfluen vena lobus frontal sebelum berbelok menjadi vena terminalis yang berjalan pada dinding ventrikel lateral. PVHI berbeda secara patofisiologi dari perventrikular leukomalakia, yaitu suatu transformasi hemoragik dari infark watershed periventrikel. PVHI juga berbeda dengan lesi white matter akibat hidrosefalus yang tidak diterapi. Tetapi karena gambaran pada pencitraan tidak selalu jelas untuk membedakan ketiga entitas klinis ini, beberapa penulis lebih memilih menggunakan istilah intraparenchymal hemorrhage (Gunny & Lin, 2012). Umumnya, pencitraan ultrasonografi merupakan modalitas pertama yang digunakan untuk mendeteksi GMH. GMH akan tampak sebagai lesi hiperekoik pada caudothalamic groove. Tanda ini harus dibedakan dengan plexus choroid normal yang juga hiperekoik. IVH akan tampak sebagai lesi hiperekoik intraventrikel yang kadang membentuk fluid-debris level. Komplikasi hidrosefalus mungkin ditemukan. MRI merupakan modalitas yang digunakan untuk menentukan prognosis. Germinal matriks akan terlihat sebagai pita intensitas rendah pada dinding lateral ventrikel lateral, paling tampak pada usia gestasi 24-26 minggu. Pada GMH, pita ini akan tampak lebih hipointens akibat darah yang mengandung deoksihemoglobin dan hemosiderin (Gunny & Lin, 2012). PVHI akan tampak pada pencitraan USG sebagai lesi hiperekoik berbentuk kipas ganglia basalis dan thalamus dengan pangkal di caudothalamic groove. Pada MRI, PVHI akan menampakkan sinyal perdarahan dan edema. Umumnya PVHI tampak asimetri. Setelah memasuki fase kronis, kista porecenphalic terbentuk dan biasanya terhubung dengan ventrikel. Jika kista ini terbentuk pada usia gestasi < 26 minggu saat otak masih belum mampu merespon trauma dengan gliosis, dinding kista regular akan licin tanpa tanda keterlibatan parenkim sekitar kista. Jika kista ini muncul setelah usia gestasi 26 minggu, akan terbentuk jaringan gliosis di sekitar kista. Perdarahan serebellar sering menyertai GMH dan PVHI. Periventrikular leukomalakia bilateral, lebih simetris dan lebih posterior (Gunny & Lin, 2012).
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
305
Sumber: Gunny & Lin, 2012
Gambar 14.60 Pemeriksaan USG pada seorang anak dengan usia gestasi 25 minggu. Gambar di atas menunjukkan evolusi GWH-IVH menjadi kista poresenfali pada ganglia basalis kiri, intraventrikular, dan subkorteks lobus frontal kiri pada hari ke-3 (baris atas), hari ke-16 (baris tengah) dan hari ke-54 (baris bawah). Klasifikasi papile yang secara tradisional digunakan untuk menentukan grading GI, yang membagi GI ke dalam 4 tingkatan, memandang bahwa ICH hanyalah ekstensi IVH semata. Klasifikasi papile telah ditinggalkan oleh beberapa peneliti. Meskipun demikian, klasifikasi ini masih digunakan untuk menentukan prognosis pasien. Angka kemungkinan hidup (survival rate) GMH grade III dan IV berturut-turut adalah 675 dan 40% dengan risiko terjadinya sekuele berturut-turut 50% dan 75%. Sebagian besar bayi yang bertahan dari PVHI akan tumbuh menjadi anak dengan cerebral palsy dengan gangguan fungsional terbatas pada masa sekolah. Lebih dari separuh bayi yang memiliki kista poresenfali akan memiliki hemiplegia kontralateral di masa kanak-kanak. Kista yang terletak di anterior memiliki prognosis yang lebih bagus daripada kista yang terletak di bagian posterior lobus frontal atau pada lobus parietal. Hal ini karena kista yang terletak di bagian posterior akan berhubungan dengan traktus kortikospinalis. Dalam hal ini, pencitraan MRI sangat membantu dalam menentukan letak kista dan prognosis. Sinyal abnormal dapat ditemukan sepanjang traktus kortikospinalis meskipun terletak jauh dari kista. Hal ini disebabkan oleh degenerasi Wallerian. Pasien dengan GMH akan lebih berisiko terkena gangguan depresi mayor dan obsesif kompulsif pada usia 16 tahun (Gunny & Lin, 2012). 306
Pencitraan pada Stroke
Sumber: Gunny & Lin, 2012
Gambar 14.61 MRI (baris atas dan tengah) dari seorang bayi dengan usia gestasi 38 minggu dan follow up setelah 3 bulan (baris bawah). Bagaimana perkembangan bayi tersebut? Pada hari kedua post natal, pasien mengalami kejang, sepsis, dan distres nafas. Hasil USG menunjukkan adanya IVH grade 2 dan intraparenchymal hemorrhage kiri menunjukkan adanya edema subkorteks lobus frontal kiri dengan lesi tubular multipel sesuai dengan vena terminalis yang mengalami trombosis. DWI menunjukkan area perdarahan yang ditandai dengan peningkatan difusi dan restriksi. Vena ependimal dan kaudatus transversus melebar fokal dengan perubahan sinyal. Pada potongan koronal, tampak vena yang mengalami trombosis berbentuk seperti kipas dan dikelilingi oleh edema (panah). Sinus venosus paten. Follow up setelah 3 bulan (baris bawah) menunjukkan area poresenfali dikelilingi oleh hemosiderin pada lobus frontal kiri yang mengalami atrofi. Terdapat mielinisasi asimetri pada kapsula interna kiri limb posterior (bintang). Pada umur 3 bulan, pasien kesulitan membuka kepalan tangan kanan.
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
307
Sumber: Gunny & Lin, 2012
Gambar 14.62 MRI (baris atas dan tengah) dari neonatus cukup bulan dengan kesulitan minum dan apneu episodik dan follow up setelah 2 tahun. Berdasarkan gambar di atas tampak trombus pada vena ependimal kiri yang berlanjut hingga vena serebri interna dan vena Galen. Terdapat infark subkorteks lobus frontal kiri dengan abnormalitas sinyal linier, sugestif trombosis vena medularis. Follow up 2 tahun kemudian (baris bawah) menunjukkan jaringan parut dari periventrikular hingga subkorteks lobus frontal kiri dengan fokal volume loss. Gambaran terakhir ini berpotensi dikacaukan dengan periventrikular leukomalacia, yang umumnya bilateral.
Sumber: Gunny & Lin, 2012
Gambar 12.63 MRI pada seorang bayi. Gambar di atas menunjukkan atrofi ekstensif serebellum disertai ICH serebellum. Tampak pula GMH dan poresenfali pada hemisfer kanan disertai pelebaran ventrikel lateral kanan. 308
Pencitraan pada Stroke
Gambar di samping menunjukkan poresenfali multiple bilateral disertai ICH multiple. Pasien mengalami epilepsi, gangguan motorik keempat ekstremitas, mikroftalmia, dan katarak kongenital.
Sumber: Gunny & Lin, 2012
Gambar 14.64 MRI dari seorang bayi berusia 7 bulan. Gambar di atas menunjukkan poresenfali multiple bilateral disertai ICH multiple. Pasien mengalami epilepsi, gangguan motorik keempat ekstremitas, mikroftalmia, dan katarak kongenital.
Sumber: Gunny & Lin, 2012
Gambar 14.65 Seorang neonatus dengan usia gestasi 38 minggu. Pada gambar di atas terlihat seorang neonatus terlihat ngantuk (drowsy) dan sulit minum pada hari ke-5 post natal. Hasil USG menunjukkan malformasi vaskular intrakranial. Hasil CT scan kepala menunjukkan aneurisma vena Galen, yang kemudian diterapi dengan intra-arterial glue embolization namun menyisakan arteriovenous shunting. Embolisasi kedua dilakukan. Setelah melakukan prosedur, terdapat penurunan keadaan dengan tanda peningkatan TIK. CT scan menunjukkan IVH, hidrosefalus, SDH, SAH dan lesi hipodens pada lobus parieto-occipital kiri. Beberapa garis linier hiperdens diperkirakan dari sinus falcine persisten yang mengalami trombosis. Follow up yang menunjukkan maturasi lesi hipoden sesuai dengan area infark kemungkinan vena.
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
309
14.5.2 Intra-Cerebral Hemorrhage dan Subarachnoid Hemorrhage pada Pediatrik Terdapat kesulitan untuk menentukan insiden ICH dan SAH pada pediatrik karena manifestasi klinisnya yang non-spesifik. Beberapa laporan menyatakan insiden ICH sebanyak 4,9-5,9 per 10.000 dari kelahiran hidup. Penelitian lain melaporkan angka yang jauh lebih kecil, meliputi ICH dan SAH yaitu 6,2 per 100.000 kelahiran hidup. Manifestasi terbanyak ICH dan SAH pada pediatrik yaitu kejang dan penurunan kesadaran. Selain defisit neurologis sulit dideteksi pada bayi, manifestsi lain juga sama non-spesifiknya meliputi letargi, menangis, irritabilitas, demam, sianosis, diare, dan muntah. Pencitraan menjadi modalitas diagnostik yang penting (Gunny & Lin, 2012). A
C
B
D Sumber: Gunny & Lin, 2012
Gambar 14.66 Pencitraan USG baseline pada neonatus dengan usia gestasi 38 minggu. Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (A) normal pada neonatus. USG 15 hari kemudian (B) menunjukkan peningkatan ekogenisitas sekitar pleksus khoroid ventrikel lateral kanan disertai pelebaran ventrikel sesuai dengan IVH. CT scan pada hari ke-20 menunjukkan IVH (C) dan ICH pada lobus temporal kanan (D).
Sumber: Gunny & Lin, 2012
Gambar 14.67 CT scan tanpa kontras menunjukkan SDH pada seorang bayi dengan acquired prothrombin complex deficiency. 310
Pencitraan pada Stroke
Secara umum, etiologi ICH dan SAH pada pediatrik sama dengan orang dewasa, namun koagulopati dan trombositopenia menempati proporsi yang lebih besar (Gunny & Lin, 2012). Koagulopati mungkin disebabkan oleh gagal hepar, disseminated intravascular coagulation (DIC), hemofilia, efek samping heparin untuk operasi jantung, atau extra corporal membrane oxygenation (ECMO). Trombositopenia mungkin disebabkan oleh idopathic trombocytopenic purpura (ITP) (Jordan & Hillis, 2007). Ruptur aneurisma tetap menjadi etiologi terbanyak untuk SAH, namun umumnya ICH idopatik. Faktor risiko terbesar yaitu prematuritas dan berat lahir rendah (< 1500 g). Pada neonatus cukup bulan, perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi berturut-turut adalah SDH, SAH dan ICH (Gunny & Lin, 2012).
Sumber: Gunny & Lin, 2012
Gambar 14.68 Seorang neonatus prematur lahir per abdominam. Bayi pada gambar di atas mengalami hipertensi pulmoner neonatus yang berakibat pada hipoksia parenkim hepar dan ginjal kemudian berkembang menjadi disseminated intravascular coagulation dan ICH. MRI sekuens T1 potogan sagital (A) menunjukkan lesi pada lobus oksipital dengan bagian sentral isointens dan bagian perifer hiperintens. MRI sekuens T2 potongan aksial (B) menunjukkan hematoma pada lobus oksipital kanan dengan bagian sentral hipointens dan bagian perifer hiperintens. ICH dipertegas dengan sekuens GRE (C) yang juga menunjukkan ICH di bagian lain. USG sering menjadi modalitas pertama yang dilaksanakan untuk mendeteksi ICH dan SAH yang akan tampak sebagai lesi hiperekoik. Kesulitan muncul ketika lesi memiliki ekogenisitas tipis. Hal ini menyebabkan sering kali ICH dan SAH sulit dibedakan dengan pleksus khoroid normal yang memang hiperekoik atau parenkim otak normal, terutama jika jumlahnya kecil. CT scan dan MRI menawarkan pemeriksaan dengan akurasi lebih tinggi dengan hasil tidak bergantung pada keahlian operator. Sekitar separuh pasien dengan ICH akan tumbuh normal, sementara separuh lagi akan mengalami sekuele (Gunny & Lin, 2012).
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
311
Gambar 14.69 CT scan dari neonatus umur 1 hari post natal dengan kejang menunjukkan ICH periventrikular dan subkortikal pada lobus frontal, parietal, dan oksipital bilateral.
Sumber: Gunny & Lin, 2012
Gambar 14.70 CT scan (A) dari neonatus umur 1 jam post natal dan (B) setelah 10 hari. Gambar di atas menunjukkan hasil CT scan (A) dari neonatus umur 1 jam dengan kejang menunjukkan lesi hipodens pada korteks subkorteks lobus parietal kanan, sesuai dengan infark teritori MCA kanan. CT scan kontrol (B) 10 hari kemudian menunjukkan transformasi hemoragik pada area infark.
A
B
Sumber: Morgan, 2002
C
D
Gambar 14.71 Hasil USG kepala pada neonatus.
Berdasarkan gambar di atas, bagian (A) merupakan potongan koronal dan bagian (B) merupakan potongan sagital neonatus yang menunjukkan 312
Pencitraan pada Stroke
lesi heterogen hipoekoik dan hiperekoik (panah) disertai massa dengan hipoekoik dengan dinding hiperekoik (mata panah) di lobus parietooksipital kiri. CT scan tanpa kontras (C dan D) menunjukkan ICH, SDH dan SAH. Tampak massa isodens di dalam ICH dengan kalsifikasi berbentuk cincin di dindingnya. Pasien memiliki riwayat keluarga hereditary hemorrhagic telangiectasis (osler-weber-rendu Syndrome).
Rangkuman 1. Tujuan utama pencitraan kepala di instalasi gawat darurat adalah untuk membedakan stroke hemoragik dari stroke iskemia dan lesi otak lainnya. Diharapkan pencitraan dapat menentukan vaskular yang terlibat, perfusi otak, area penumbra, dan prognosis pasien. Semua ini dilakukan dalam waktu yang singkat, tanpa menghalangi proses diagnostik lain dan/atau terapi yang berjalan secara bersamaan. 2. ICH akut akan tampak sebagai lesi hiperdens oval atau bulat pada CT scan kepala tanpa kontras. 3. Volume ICH dapat diperkirakan menggunakan rumur Broderick yaitu ABC/2 (cc), di mana A adalah diameter terbesar hematoma, B adalah diameter tegak lurus terhadap A, dan C adalah jumlah 10-mm-thickness CT slice. 4. Hipertensi adalah penyebab ICH tersering. ICH supratentorial dapat dibagi menjadi lobar ICH (pusat area perdarahan terdapat pada white-grey matter junction) dan deep ICH (pusat area perdarahan pada ganglia basalis dan thalamus). 5. Beberapa tanda yang mendukung hipertensi sebagai penyebab ICH antara lain sebagai berikut (Ghandehari, 2012). - Terdapat di area yang divaskularisasi oleh r. perforantes MCA atau a. basilaris. Sekitar 2/3 terletak di basal nuklei dan sekitar 50% berkaitan dengan IVH. - Terdapat di pons atau serebellum. - Disertai dengan infark lakuner atau white matter disease. 6. Sekitar 10% ICH bersifat sekunder, dalam arti memiliki kelainan yang mendasari terjadinya ICH. Hal ini penting diingat karena stroke hemoragik sekunder ini berpotensi terulang dan berpotensi disembuhkan. 7. Sistem skoring SICH menggunakan gambaran perdarahan pada CT scan kepala tanpa indikasi kontras, umur dan jenis kelamin pasien, serta latar belakang klinis. 8. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan adanya spot sign yang hanya muncul pada delayed CT scan.
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
313
9. Meskipun dahulu dipercaya bahwa spot sign hanya dimiliki oleh ICH primer, penelitian terbaru menunjukkan spot sign (menggunakan kriteria kaku) juga ditemukan pada ICH sekunder dengan insiden lebih rendah. 10. Penelitian menggunakan single photon emission computed tomography (SPECT) dan positron emission tomography (PET) terhadap stroke hemoragik masih sedikit. Umumnya, penelitian ini mengkaji parenkim otak yang berdekatan dengan ICH. Penurunan CBF dapat ditemukan dalam pencitraan SPECT di area sekitar ICH. 11. Gambaran ICH pada MRI lebih kompleks karena dipengaruhi oleh tingkat oksidasi hemoglobin dan kadar protein. Faktor ekstrinsik seperti pulse sequence dan field strength juga berpengaruh. 12. Pada pencitraan CT scan tanpa kontras, Subarachnoid hemmorage (SAH) akan tampak sebagai pita hiperdens berlekuk-lekuk seperti ular (serpingeous) mengisi subarachnoid space yang terdapat pada sulcii dan sisterna. 13. Pola SAH dapat digunakan untuk memprediksi lokasi aneurisma yang ruptur. Bila SAH disertai ICH, kemungkinan ruptur aneurisma terjadi di AcomA atau MCA. Bila ICH yang terjadi mengenai kedua hemisfer atau disertai dengan IVH, ruptur aneurisma mungkin terjadi di AcomA atau distal ACA. 14. Risiko terjadinya vasospasme dapat diprediksi menggunakan grading Fisher. Grading ini juga menunjukkan bahwa hasil CT scan normal tidak dapat menyingkirkan SAH. 15. Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan pada ruang subarachnoid manapun yang umumnya terisi oleh cairan serebrospinal, misalnya sistem sisterna dan sulcii. Hiperdensitas darah di ruang subarachnoid tampak pada gambaran CT scan dalam rentang beberapa menit setelah terjadinya perdarahan. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh aneurisma. 16. Penelitian menggunakan SPECT dengan radiofarmaka 133Xe, 123I- IMP, Tc99m HMPAO, dan Tc99m ECD menunjukkan penurunan perfusi. Hal yang perlu diingat adalah SPECT dan PET tidak menunjukkan vasospasem secara langsung, melainkan efek dari vasospasme tersebut. 17. Alasan tambahan MRI dan MRA bukan merupakan modalitas diagnostik pilihan dalam manajemen SAH yaitu karena pada umumnya pasien dalam keadaan gaduh gelisah dan membutuhkan banyak peralatan monitoring. 18. DSA memberikan gambaran yang akurat tentang pembuluh intrakranial dan kompleks aneurisma-clip.
314
Pencitraan pada Stroke
19. Penggunaan Transcranial Doppler (TCD) ditujukan untuk diagnosis vasospasme pada subarachnoid hemorraghe (SAH) dengan panduan guideline nasional. 20. Gambaran radiologis etiologi tertentu misalnya karena kelainan otak antara lain kavernoma, AVM, vaskullitis, cerebral amyloidosis (CA), tumor, trombosis sinus venosus, perimesencephalic non-aneurisma SAH, ICH multipel, konstusi serebral, dan hipertensi dalam kehamilan. 21. Transformasi hemoragik merujuk pada konversi area iskemia menjadi area perdarahan yang sering terjadi terutama pada pasien dengan stroke iskemia emboli luas atau pada pasien yang mendapatkan tissue plasminogen activator. 22. Stroke pediatrik juga sering disertai sekuele yang membebani pasien, keluarga, dan masyarakat. Seperti pada pasien dewasa, stroke pediatrik pun terbagi menjadi stroke iskemia dan hemoragik. 23. Stroke pada pediatrik bersifat asimptomatik dan tanda klinis non spesifik. Akibatnya, sering kali diagnosis stroke didapatkan dari pencitraan radiologis yang ditujukan untuk menilai diagnosis banding lain. Tanda-tanda klinis yang dapat menyertai stroke pada pediatrik antara lain letargi, gangguan makan, hipotoni, hemiplegia kongenital, kemampuan menggenggam (grasp) dan menggapai (reach) yang asimetri, keterlambatan perkembangan, kejang, dan apneu.
Bab 14 – Pencitraan pada Stroke Hemoragik
315
316
Pencitraan pada Stroke
Daftar Pustaka Adam, Andy, E. Jane Adam, Judith E. Adam, et al. 2008. Adam: Grainger & Allison’s, Diagnostic Radiology, 5th ed. Churchill Livingstone, Elsevier. Adamczyk P. & Liebeskind D.S., 2012. Neuroimaging Vascular Imaging: Computed Tomographic Angiography, Magnetic Resonance Angiography, and Ultrasound. Elsevier. ADC, The Austin Diagnostic Clinic, 2015. What is magnetic resonance angiography? Available at: https://www.adclinic.com/what-ismagnetic-resonance-angiography/#.VgQ4Ni7pVyw. [Accessed 24 September 2015] Adnan, et al. 2011. Diagnostic Cerebral Angiography. Textboot of Interventional Neurology. Cambridge University Press, New York. hal 12–15. http://books.google.co.id/books?id=ajjJwKEC Dd8C&pg=PA10&lpg=PA10&dq=indication+angiography+ce rebral. Ahmed, A. 2013. Imaging of The Pediatric Paranasal Sinuses. South African Journal of Radiology , 17(3):91–97. Aichi Medical University Hospital, 2012. Stroke Center. Facilities. Transcranial Doppler supersonic wave device. Guidance of medical treatment Departments. Available at: http://www. aichi-med-u.ac.jp.e.gy.hp.transer.com/hospital/sh04/sh0404/ sh040407/index.html. [Accessed 13 Oktober 2015]. Albers G.W., Thijs V.N., Wechsler L et al. 2006. Magnetic Resonance Imaging Profiles Predict Clinical Response to Early Reperfusion: The Diffusion and Perfusion Imaging Evaluation for Understanding Stroke Evolution (DEFUSE) Study. Ann. Neurol. 60(5), 508–517. Almandoz, J. E. D. R. J. E., 2011. Advanced CT Imaging in the Evaluation of Hemorrhagic Stroke. Neuroimag Clin N Am, Volume 21, pp. 197–200. Alurkar A, Karanam L.S.P., et al. 2012. Endovascular Management of Fusiform Superior Cerebellar Artery Aneurysms: A Series of Three Cases with Review of Literature. J Clin Imaging Sci 2012, 2:47. DOI: 10.4103/2156-7514.99181. Available at: http:// www.clinicalimagingscience.org/article.asp?issn=21567514;year=2012;volume=2;issue=1;spage=47;epage=47;a ulast=Alur ar.
317
American College of Surgeon Comitte on Trauma. 2004. Cedera Kepala. Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemahan edisi 7, Kondisi Trauma IKABI. American Stroke Association (ASA). Types of stroke. 2011. Available:http:// www.strokeassociation.org/STROKEORG/AboutStroke/Typesof Stroke/IschemicClots/Ischemic-Clots_UCM_310939_Article.jsp. [Accessed 22 September 2011]. Anderson, G.B., Rob Ashforth, David E. Steinke, and J. Max Findlay.2000. CT Angiography for the Detection of Cerebral Vasospasm in Patients with Acute Subarachnoid Hemorrhage. AJNR Am J Neuroradiol 21:1011–1015, June/July 2000. Andrei
V. Alexandrov, 2002. Ultrasound-Enhanced Thrombolysis for Stroke: Clinical Significance, Department of Neurology and Radiology, Houston Medical School, The University of Texas, MSB 7.044-6431 Fannin Street, Houston, TX 77030, USA, Department of Cerebrovascular Ultrasound, Center for Noninvasive Brain Perfusion Studies, Stroke Treatment Team, Houston Medical School, The University of Texas, Houston, TX 77030, USA. [Accessed 24 Februari 2015]
AndyC, 2010. Gantry, CT Gantry External View. Wiki Radiography. Available at: http://www.wikiradiography.net/page/Gantry. (Accessed 10 November 2015) AngioCalc, 2015. Neurovascular Coils. Available at: http://www.angiocalc. com/percent_volume.php. [Accessed 18 September 2015]. Ansga Erlis R., Helmi Lutsep, Stan Barnwell, Alexander Norbash, Lawrence Wechsler, Jungreis, Charles A. Woolfenden, Andrew; Redekop, Gary; Hartmann, Marius, Schumacher, Martin, 2004. Mechanical Thrombolysis in Acute Ischemic Stroke With Endovascular Photoacoustic Recanalization, Available at: http:// stroke.ahajournals.org. Anthony R., Lupetin, M.D., et al, 1996. Transcranial Doppler Sonography Part 1. Principles, Technique, and Normal Appearances, RadioGraphics, 15:179–191. Anvekar’s, B., 2012. Neuroradiology Cases. Effects of Oxygen on FLAIR. Neuroradiology Unit, S P Institute of Neurosciences,Solapur,Ma harashtra, INDIA. Available at: http://www.neuroradiologycases. com/2012_05_01_archive.html. [Accessed 11 Oktober 2015]. Anzalone N., Tartaro A. 2005. Intracranial MR Angiography. In: Schneider G, Prince M.R, Meaney J.F.M, Ho V.B (eds) Magnetic Resonance Angiography. Italia. Springer.pp. 103-112. Arepally Aravind, M.D. FSIR, 2011. Endovascular Therapy for Acute Ischemic Stroke, Stroke Conference Radiology Associates of 318
Pencitraan pada Stroke
Atlanta Director of Interventional Radiology Piedmont Hospital Atlanta, Georgia. Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga Jilid 2, Media Aesculavius, Jakarta: FKUI. Ashley W.W., et al. 2011. Neurovascular Imaging. In: Winn HR (ed.) Youmans Neurological Surgery, New York: Elsevier. Astrup J., Siesjo B.K., Symon L. 1985. Thresholds in Cerebral Ischemia – The Ischemic Penumbra. Stroke 12(6), 723–725. Aviv et al. 2009. Hemorrhagic Transformation of Ischemic Stroke: Prediction with CT Perfusion. Radiology, 250(3), p. 867. Aviva, 2015. Procedure: Having a CT Scan. Medical Encyclopedia. Available at: http://www.aviva.co.uk/health-insurance/home-ofhealth/medical-centre/medical-encyclopedia/entry/procedurehaving-a-ct-scan/. [Accessed 12 Oktober 2015]. Baldi, S. et al., 2003. Balloon-Assisted Coil Placement in Wide-Neck Bifurcation Aneurysms by Use of a New, Compliant Balloon Microcatheter. AJNR Am J Neuroradiol 24:1222–1225, Availablle at: http://www.ajnr.org/cgi/content-nw/full/24/6/1222/ [Accessed 18 September 2015]. Barber P.A., Demchuk A.M., Zhang J., Buchan A.M., 2000. Validity and Reliability of A Quantitative Computed Tomography Score in Predicting Outcome of Hyperacute Stroke Before Thrombolytic Therapy. ASPECTS Study Group. Alberta Stroke Programme Early CT Score. Lancet 355(9216), 1670–1674. Barber P.A., Zhang J., Demchuk A.M., Hill M.D., Buchan A.M. 2001. Why Are Stroke Patients Excluded from TPA Therapy? An Analysis of Patient Eligibility. Neurology 56(8), 1015–1020. Bathala, L., Man Mohan Mehndiratta, Vijay K Sharma, 2013. Transcranial doppler: Technique and common findings (Part 1). Annals of Indian Academy of Neurology. Official Journal of Indian Academy of Neurology. Volume : 16; Issue : 2; Page : 174-179. Available at: http://www.annalsofian.org/article.asp?issn=0972-2327;ye ar=2013;volume=16;issue=2;spage=174;epage=179;aulast =Bathala. [Accessed 13 Oktober 2015]. Baumgartner R.W., Arnold M., Gonner F. et al. 1997. Contrast-Enhanced Transcranial Color-Coded Duplex Sonography In Ischemic Cerebrovascular Disease, Stroke, 28: 2473-8 Bevelender, G., Ramaley J.A., 1988. Dasar-Dasar Histologi Ed ke-8. Penerjemah Gunarso I.,. Terjemahan dari Essentials of Histology, 8th Ed. Jakarta: Erlangga.
Daftar Pustaka
319
Beitz, A.J., Fletcher T.F., 2006. Nervous System. Di dalam: J.A. Eurell, B.L. Frappier (editor). Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-6. Oxford: Blackwell Publishing. Bejot Y., Benatru I., Rouaud O. et al. 2007. Epidemiology of Stroke in Europe: Geographic and Environmental Differences. J. Neurol. Sci. 262(1–2), 85–88. Bennet, J., Mafely, R., & Steinbach, H. 1959. The Significance of Bilateral Basal Ganglia Calcification. Radiology , 72: 368–378. Biology. Openstax Biology. 2015. The Central Nervous System. Available at: http://philschatz.com/biology-book/contents/m44749.html. [Accessed 22 September 2015]. Biology-Forums.com, 2013. The brain. (a) Superior (top) view. (b) Sagittal view of a sectioned brain to reveal internal feature. Available at: http://biology-forums.com/index.php?action=gallery;sa=view; id=9406. . [Accessed 22 September 2015]. Bontranger, K.L.,2001. Text Book of Radiographic Positioning and Related Anatomy Fifth Edition. St. Louis Missori: The CV Mosby Company. Bounameaux H., Cornuz J., Darioli R., Le Floch-Rohr J., Lyrer Ph., Mattle H., et.al. 1999. Introduction to the Management of Stroke. In: Bougousslavsky J. ed. Stroke Prevention by the Practitioner. Cerebrovasc Dis; 9 (suppl 4): 1-68. Boxerman J.L., Hamberg L.M., Rosen B.R., Weisskoff R.M., 1995. MR Contrast Due to Intravascular Magnetic Susceptibility Perturbations. Magn. Reson. Med. 34(4), 555–566. Brandstater M.E., 1996. Stroke rehabilitation. In: Rehabilitation Medicine, Principles and Practice, 3rd ed. Philadelpia: Lippincott-Raven Publishers. Britannica, 2005. Skull Anatomy. Available at: http://www.britannica. com/science/anatomy/images-videos/Lateral-and-frontal-viewsof-the-human-skull/70984. dan http://www.britannica.com/ science/anatomy/images-videos/Inferior-view-of-the-humanskull/74450 [Accessed 21 September 2015]. Britannica, 2015. Pituitary gland. Available at: http://www.britannica. com/science/pituitary-gland. [Accessed 22 September 2015]. Brown R., Piepgras D. 2004. Screening for Intracranial Aneurysms After Subarachnoid Hemorrhage: Do Our Patients Benefit? Neurology. 2004; 62:354–356. Bugnicourt, J.M., Chillon, J.-M., Massy, Z. A., Canaple, S., Lamy, C., Deramond, H., et al. (2009). High Prevalence of Intracranial Artery Calcification in Stroke Patients with CKD: A Retrospective 320
Pencitraan pada Stroke
Study. Clinical Journal of American Society of Nephrology, 284‑290. Burgess, L., 2015. CT Scans. Available at: https://www.pinterest.com/ riversgrayson/ct-scans/. [Accessed 13 Oktober 2015]. Bustan, M.N., 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta. Cahyono, ID; Listiyant, J; Harahap, MS. 2009. Regulasi Aliran Darah Cerebral Dan Aneurisma Cerebral. Jurnal Anestesiologi Indonesia. Volume I, Nomor 2. Caplan LR. 2000. Caplan’s Stroke: A Clinical Approach. 3rd ed. Butterworth-Heineman. Boston. Chemerinski E., Robinson R.G., Kosier J.T., 2001. Improved Recovery in Activities of Daily Living Associated with Remission of Post Stroke Depression. Stroke: 32: 113-117. Choi, P. M. C. L. J. V. S. V. M. H. C. W. H. M. d. P. T. G., 2011. Differentiating between Hemorrhagic Infarct and Parenchymal Intracerebral Hemorrhage. Radiology Research and Practice, pp. 1–12. Clark WM, Albers GW, Madden KP, Hamilton S. 2000. The rtPA (Alteplase) 0- to 6-Hour Acute Stroke Trial, Part A (A0276g): Results of a Double-Blind, Placebocontrolled, Multicenter Study. Thromblytic Therapy in Acute Ischemic Stroke Study Investigators. Stroke 31(4), 811–816. Coggins, A., 2013. Imaging in Acute Stroke and TIA. EmergencyPedia. Available at:https://emergencypedia.files.wordpress.com/2013/ 05/f1_large.jpg. [Accessed 10 September 2015]. Coltman, Glenn H. 2001. Magnetic Resonance Imaging for The Cerebrovascular System. Australian Prescriber Vol. 24 No. 6 2001. Copper Tube Coils, 2015. Helical Coils Built to Print. Available at:http:// www.coppertubecoils.com/ctcg/tube-coils/copper-helical-coils. html. [Accessed 18 September 2015]. Crossman, AR dan Neary, D. 2012. Blood Supply of The Brain dalam Neuroanatomy: An Illustrated Colour Text. Edisi ke 4. Elsevier. https://www.inkling.com/read/neuroanatomy-illustrated-colourtext-crossman-4th/chapter-7/blood-supply-of-the-brain Daghighi, M. H., Rezaei, V., Zarritan, S., & Pourfathi, H. 2007. Intracranial physiological calcifications in adults on computed tomography in Tabriz, Iran. Folia Morphol , Vol. 66, No. 2, pp. 115–119. Dahl A, Russell D, Nyberg Hansen R, Rootwelt K. 1989. Effect Of Nitroglycenn On Cerebral Circulation Measured By Transcranial Doppler And SPECT, Stroke, 20 1733-6. Daftar Pustaka
321
Davis SM, Donnan GA, Parsons MW et al. 2008. Effects of alteplase beyond 3 h after stroke in the Echoplanar Imaging Thrombolytic Evaluation Trial (EPITHET): a Placebocontrolled Randomised Trial. Lancet Neurol. 7(4), 299–309. Deepak, S., & Jayakumar, B. 2005. Intracranial Calcifications. J Assos Physicians India , 53:948. Delgado Almandoz JE, Schaefer PW, Forero NP, et al. 2009. Diagnostic Accuracy and Yield of Multidetector CT Angiography in The Evaluation of Spontaneous Intraparenchymal Cerebral Hemorrhage. AJNR Am J Neuroradiol;30:1213–21 Delgado Almandoz J.E., P.W. Schaefer J.N. Goldstein, J. Rosand, M.H. Lev, R.G. Gonza´ lez, J.M. Romero. 2010. Practical Scoring System for the Identification of Patients with Intracerebral Hemorrhage at Highest Risk of Harboring an Underlying Vascular Etiology: The Secondary Intracerebral Hemorrhage Score, AJNR Am J Neuroradiol 31:1653– 60. Demchuk AM, Hill MD, Barber PA, Silver B, Patel SC, Levine SR. 2005. Importance of early ischemic computed tomography changes using ASPECTS in NINDS rtPA Stroke Study. Stroke, 36(10), 2110–2115. Denis M., O’ Rouke S. Lewis S., Sharpe M., Warlow C., 2000. Emotional Outcome After Stroke: Factors Associated with Poor Outcome. Journal Neorosurg Psychiatry; 68: 42-47. Depkes. 2012. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2007. Epi., Info. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI. Hal 122-124 DeWitt
L.D. dan Wechsler L.R., Stroke;19(7):915-21.
1988.
Transcranial
Doppler.
Diagnostic Brain Imaging (Osborn) Stroke, Amyrsis, 2004. Di Carlo A, Launer LJ, Breteler MM et al. 2000. Frequency of stroke in Europe: a collaborative study of population-based cohorts. ILSA Working Group and the Neurologic Diseases in the Elderly Research Group. Italian Longitudinal Study on Aging. Neurology 54(11 Suppl. 5), S28–S33. Dimmick, S. J., & Faulder, K. C. 2009. Normal Variants of the Cerebral Circulation at Multidetector CT Angiography. Radiographics, 1027-43. Duncan P.W., 1998. Measuring Recovery of Function After Stroke. In: Goldstein L.B., Restorative Neurology, Advances in Pharmacotherapy for Recovery After Stroke. New York: Futura Publishing.
322
Pencitraan pada Stroke
Dzialowski I, Hill MD, Coutts SB et al. 2006. Extent of Early Ischemic Changes on Computed Tomography (CT) Before Thrombolysis: Prognostic Value of The Alberta Stroke Program Early CT Score in ECASS II. Stroke 37(4), 973–978. Eddleman, Christopher S., Hyun Jeong, Ty A. Cashen, et al. 2009. Advanced Noninvasive Imaging of Spinal Vascular Malformations. Neurosurg Focus. 2009 January ; 26(1): E9. Edlow, J. e. a., 2012. Emergency Neurological Life Support: Subarachnoid Hemorrhage. Neurocrit Care. Elzawahri, H., 2013. Medscape. [Online] Available at: http://emedicine. medscape.com/article/1162437 [Accessed 27 Juli 2014]. Family Healthcare & Cardiac Center, 2015. Computed Tomography (CT Scan). Family Healthcare & Cardiac Center 7404 5th Avenue Brooklyn NY, 11209. Available at: http://www.nysmarthealth. com/patient-information/computed-tomography-ct-scan/. [Acessed 10 November 2015]. Farsad K,Mamourian AC, et al. 2009. Computed Tomographic Angiography as an Adjunct to Digital Subtraction Angiography for the PreOperative Assessment of Cerebral Aneurysms. Open Neurol J. http://openi.nlm.nih.gov/ detailedresult .php?img=2682841_ TONEUJ-3-1_F3&req=4. Felgin, V, 2006. Stroke. PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. Fiehler J, Albers GW, Boulanger JM et al. 2007. Bleeding Risk Analysis in Stroke Imaging Before Thrombolysis (BRASIL): Pooled Analysis of T2*-Weighted Magnetic Resonance Imaging Data From 570 Patients. Stroke 38 (10), 2738–2744. Forrest, W., 2007. First PET/MRI Brain Images Debut at SNM 2007. Available at: http://www.auntminnie.com/index.aspx?sec=ser& sub=def&pag=dis&ItemID=76221. [Accessed 28 September 2015]. Furlan AJ, Eyding D, Albers GW et al. 2006. Dose Escalation of Desmoteplase for Acute Ischemic Stroke (DEDAS): Evidence of Safety and Efficacy 3 to 9 Hours After Stroke Onset. Stroke 37(5), 1227–1231. Galcary Herald, 2014. Stroke treatment shouldn’t hinge on a stroke of luck: The Calgary Stroke Program. Available at: http:// calgaryherald.com/health/stroke-treatment-shouldnt-hingeon-a-stroke-of-luck-the-calgary-stroke-program. [Accessed 19 September 2015]. Garg, A., 2011. Vascular Brain Pathologies. Neuroimag Clin N Am, Volume 21, p. 897– 926.
Daftar Pustaka
323
Gasco, J. et al. 2009. Hemorrhagic Stroke with Intraventricular Extension in The Setting of Acute Posterior Reversible Encephalopathy Syndrome (PRES): Case Report. Neurocirugía, Volume 20, pp. 57–61. Georgios Tsivgoulis, MD, RVT; Vijay K. Sharma, MD, RVT; Steven L. Hoover, MD; Annabelle Y. Lao, MD; Agnieszka A. Ardelt, MD, PhD; Marc D. Malkoff, MD; Andrei V. Alexandrov, MD, RVT, 2008. Applications and Advantages of Power Motion-Mode Doppler in Acute Posterior Circulation Cerebral Ischemia, Stroke,;39: 1197–1204 Ghandehari, K., 2012. Asian Synopsis of Stroke. s.l.:s.n. van Gijn, J., Kerr, R. & Rinkel, G., 2007. Subarachnoid Hemorrhage. Lancet 2007, Volume 369, p. 306–18. Gilman, S. 1998. Imaging the Brain. N Engl J Med , 338:812–820. Given, C. e. a., 2003. Pseudo-Subarachnoid Hemorrhage: A Potential Imaging Pitfall Associated with Diffuse Cerebral Edema. American Journal of Neuroradiology, 24(2), pp. 254–256. Go, J., & Zee, C. 1998. Unique CT imaging advantages. Hemorrhage and Calcification. Neuroimaging Clin N Am , 542–558. Goel, Ayush, Muzio, & Bruno, D. 2014, Intracranial arterial calcification. Retrieved March 7, 2015, from Radiopaedia.org. Available at: http://radiopaedia.org/articles/intracranial-arterial-calcification-1 Goldfarb S; Mcculough,P;et al. 2009. Contrast-Induced Acute Kidney Injury: Specialty-Specific Protocols for Interventional Radiology, Diagnostic Computed Tomography Radiology, and Interventional Cardiology. Mayo Clin Proc.;84(2):170-179. Available at: http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2664588/. Goldstein, L.B., Adams, R., Alberts, M.J., Appel, L.J., Brass, L.M., Bushnell, C.D., Culebras, A., DeGraba, T.J., Gorelick, P.B., Guyton, J., hart, R.G., Howard, G., Kelly-Hayes, M., Nixon, J.V. dan Sacco, R.L. 2006. Primary Prevention of Ischemic Stroke: A Guideline From the American Heart Association / American Stroke Association Stroke Council. Stroke.37:1583-1633. Golzarian J. S., Sun M. J. Sharafuddin, 2006. Vascular Embolotherapy A Comprehensive Approach.Volume 1General Principles,Chest, Abdomen,and Great Vessels, Springer Berlin Heidelberg New York. Grigoryan, M; Qureshi, AI. 2010. Acute Stroke Management: Endovascular Options for Treatment. Seminar In Neurology/Volume 30, no. 5. Available at: https://www.thieme-connect.com/products/ ejournals/pdf/10.1055/s-0030-1268868.pdf.
324
Pencitraan pada Stroke
Grotta JC, Chiu D, Lu M et al. 1999. Agreement and Variability in The Interpretation of Early CT Changes in Stroke Patients Qualifying for Intravenous rtPA Therapy. Stroke 30(8), 1528–1533. Grunwald, I.Q.; Wakhloo, A.K.; Walter, S.; Molyneux, A.J.; Byrne, J.V.; Nagel, S.; Kühn, A.L.; Papadakis, M.; Fassbender, K.; Balami, J.S.; Roffi, M.; Sievert, H.; Buchan., 2007. A Endovascular Stroke Treatment Today, American Journal of Neuroradiology”. Available at: “http://www.ajnr.org,20113 Guardian, 2012. Quick Response Can Halt Major Stroke Damage. Available at: http://www.guardian.co.tt/lifestyle/2012-01-30/ quick-response-can-halt-major-stroke-damage. [Accessed 18 September 2015]. Gunny, R. & Lin, D., 2012. Imaging of Pediatric Stroke. Magn Reson Imaging Clin N Am , Volume 20, pp. 1–33. Hacke W, Kaste M, Fieschi C et al. 1995. Intravenous Thrombolysis with Recombinant Tissue Plasminogen Activator for Acute Hemispheric Stroke. The European Cooperative Acute Stroke Study (ECASS). JAMA 274(13), 1017–1025. Hacke W, Kaste M, Fieschi C et al. 1998. Randomised DoubleBlind Placebocontrolled Trial of Thrombolytic Therapy with Intravenous Alteplase in Acute Ischaemic Stroke (ECASS II). Second European–Australasian Acute Stroke Study Investigators. Lancet 352(9136), 1245–1251. Hacke, W., Kaste, M., Bogousslavsky, J., et al. 2003. European Stroke Initiative Recommendation for Stroke Management Update 2003. Cerebrovasculer Disease, 16: 311-37. Hacke W, Albers G, Al-Rawi Y et al. 2005. The Desmoteplase in Acute Ischemic Stroke Trial (DIAS): a Phase II MRI-based 9-Hour Window Acute Stroke Thrombolysis Trial with Intravenous Desmoteplase. Stroke 36(1), 66–73. Hacke W, Kaste M, Bluhmki E et al. 2008. Thrombolysis with Alteplase 3 to 4.5 Hours After Acute Ischemic Stroke. N. Engl. J. Med. 359(13), 1317–1329. Hadizadeh DR; Falkenhausen MV, et al. 2008. Cerebral Arteriovenous Malformation: Spetzler-Martin Classification at SubsecondTemporal-Resolution Fourdimensional MR Angiography Compared with That at DSA.RSNA Volume 246: Number 1— January 2008 http://pubs.rsna.org/doi/pdf/10.1148/radiol. 2453061684. Halbach, V.V., Christopher F. Dowd, Randall T. Higashida, Peter A. Balousek, and Ross W. Urwin. 1998. Preliminary Expe rience with an Electrolytically Detachable Fibered Coil. AJNR Daftar Pustaka
325
Am J Neuroradiol 19:773–777, Available at: http://www. google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images &cd=&ved=0CAkQ5TVqFQoTCODszLPK_scCFQMajgodAHk LpQ&url=http%3A%2F%2Fwww.ajnr.org%2Fcontent%2 F19%2F4%2F773.full.pdf&psig= AFQjCNFR7mExupYYxIuIDt CXIZviK3CkDw&ust=1442596904191743. [Accessed 18 September 2015]. Han, A. dan Gillian Lieberman, 2004. Functional Brain Imaging with Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT). Available at: eradiology.bidmc.harvard.edu/.../central/Han.pdf. [Acessed 6 November 2015]. Handschu R, Garling A, Heuschmann PU, Kolominsky-Rabas PL, Erbguth F, Neundorfer B. 2001. Acute Stroke Management in The Local General Hospital. Stroke 32(4), 866–870. Hankey GJ. 2002. Stroke: Your Questions Answered. Edinburg: Churchill Livingstoke. Hanson, Eric H., Cayce J. Roach, Erik n. Ringdahl, et al. 2011. Developmental Venous Anomalies: Appearance on WholeBrain CT Digital Subtraction Angiography and CT Perfusion. Neuroradiology (2011) 53:331–341. Hardie K., Hankey G.J., Jamrozik K., Broadhurst R.J., Anderson C. 2004. American Heart Association/American Stroke Association. Ten Years Risk of First Recurrent Stroke and Disability After First Ever Stroke in the Perth Community Stroke Study. Stroke. AHA Journal; 35: 731-735. Harnsberger, H., Osborn, A., Ross, J., Moore, K., Salzman, K., Carrasco, C., et al. 2007. Diagnostic and Surgical Imaging Anatomy: Brain, Head and Neck, Spine. 3rd ed. Salt Lake City, Utah.: Amirsys. Harold P. Adams J, et al. 2007. Guidelines for the Early Management of Adults With Ischemic Stroke. Circulation, 115, 478-534. Harrigan, MR ; Deveikis JP. 2013. Diagnostic Cerebral Angiography dalam Handbook of Cerebrovascular Disease and Neurointerventional Technique, DOI 10.1007/978-1-61779-946-4_2, © Springer Science+Business Media New York, p 87–116 Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press, Edisi Kedua, Yogyakarta. Harsono, 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi Pertama. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
326
Pencitraan pada Stroke
Heiss WD. 2008. Imaging The Penumbra: The Pathophysiologic Basis for Therapy of Ischemic Stroke. Presented at: 10th International Symposium on Thrombolysis and Acute Stroke Therapy. Budapest, Hungary, 21–23 September 2008. Heggie J. C. D., Liddell N. A., Maher K. R., 1997. Applied Imaging Technology, 3rd Ed, St. Vincent’s Hospital, Melboune. Hennerici M, Rautenberg W, Schwartz A. 1987. Transcranial Doppler Ultrasound for The Assessment of Intracranial Arterial Flow Velocity—Part 2. Evaluation of Intracranial Arterial Disease. Surg Neuroi;27:523–532 Herring W, 2007. Recognizing some comman causes of intracranial pathology. In: Herring W (ed.) Learning Radiology Recognizing the Basics. Philadelphia: Elsevier-Mosby Herzig, R; Burˇval,S et al. 2004. Comparison of Ultrasonography, CT Angiography, and Digital Subtraction Angiography in Severe Carotid Stenoses. European Journal of Neurology 11: 774–781. Hesselink, J.R. 2015. Basic Principles of MR Imaging. Available at: http://spinwarp.ucsd.edu/neuroweb/Text/br-100.htm. [Accessed 9 Oktober 2015]. Hidayati, S.C., 2009. Perbaikan Citra Dalam Digital Subtraction Angiography Melalui Pengurangan Motion Artifact. Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Available at: http:// digilib.its.ac.id/ITS-Undergraduate-3100009036213/7107. [Accessed 12 Oktober 2015]. Higashida R.T., Furlan AJ, Roberts H et al. 2003. Trial Design and Reporting Standards for Intra-Arterial Cerebral Thrombolysis for Acute Ischemic Stroke. Stroke 34(8), e109–e137. Higgs ZC, Macafee DA, Braithwaite BD, Maxwell-Armstrong CA. 2005. The Seldinger Technique: 50 years on. Lancet 366 (9494): 1407–9. Hill MD, Rowley HA, Adler F et al. 2003. Selection of Acute Ischemic Stroke Patients for Intra-Arterial Thrombolysis with Prourokinase by Using ASPECTS. Stroke 34(8), 1925–1931. Hirai,T; Korogi, Y;et al. 2002. Prospective Evaluation of Suspected Stenoocclusive Disease of the Intracranial Artery: Combined MR Angiography and CT Angiography Compared with Digital Subtraction Angiography. AJNR Am J Neuroradiol 23:93–101,. Available at: http://www.ajnr.org/content/23/1/93.full. [Accessed 2 Februari 2002].
Daftar Pustaka
327
Hirsch,R.G.Gonzalez, J.A. W.J. Koroshetz,M.H. Lev, P. Schaefer. 2006. Acute Iscemic Stroke Intervention and Imaging, Springer Berlin Heidelberg, NewYork. Ho dler j von Schulthess Gk• Ch.L. Zollikofer (Eds), 2008. Diseases of the Brain, Head & Neck, Spine Diagnostic Imaging and Interventional Techniques, Springer-Verlag Italia. Holzer, K., Suwad Sadikovic, Lorena Esposito, Angelina Bockelbrink, Dirk Sander, Bernhard Hemmer and Holger Poppert, 2009. Transcranial Doppler Ultrasonography Predicts Cardiovascular Events After TIA, BioMed Central Ltd. Available at: http://www. biomedcentral.com/1471-2342/9/13, [Accessed 5 Januari 2015]. Horton M, et al. 2013. Refinement of Imaging Predictors of Recurrent Events Following Transient Ischemic Attack and Minor Stroke. PLOS ONE, 8 Hoyert D.L., Xu J. 2012. NVSS. Deaths: Preliminary Data for 2011. National Vital Statistics Report;61(6):1-4. Hurst
Robert W. Rosenwasser H Rober, 2008. Interventional Neuroradiology, Informa Healthcare USA, New York.
Il-Ho, P., Song-Jong, S., Hyuk, C., Tae-Hoon, K., Seung, H., Sang-Hag, L., et al. 2010. Volumetric Study in The Development of Paranasal Sinuses by CT Imaging in Asian: A Pilot Study. International Journal of Pediatric Otorhinolaringology , 1347–1350. Interactive and Atracctive Physics, 2010. Transducer Doppler (TCD). Available at: http://deriyanfisika.blogspot.co.id/2010/03/ transducer-doppler-tcd.html. [Accessed 13 Oktober 2015]. Japardi, I., 2003. Anatomi Tulang Tengkorak. Available at: repository.usu. ac.id/bitstream/123456789/1985/1/bedah-iskandar54.pdf. [Accessed 21 september 2015]. Joe Niekro Foundation.2015 What is a Hemorrhagic Stroke? Available at: http://www.joeniekrofoundation.com/understanding/what-isa-hemorrhagic-stroke/. [Accessed 24 Oktober 2015]. Johnson MH & Kubal WS, 1999. Stroke. In: Lee SH, et al. (eds.) Cranial MRI and CT. United States: McGraw-Hill. Jones et al. 2013. Radipedia: Internal Carotid Artery. Available at: http:// radiopaedia.org/articles/internal-carotid-artery-1. Joseph, N., dan Taffi R., 2010. Quality Assurance and The Helical (Spiral) Scanner. CEEssentials. Online Radiography Continuing Education for Radiologic X ray Technologist. Jotania, Badal, M., Patel, S.V., Patel, S.M., Patel, P., Patel, S.M., et al. 2014. Study of Age Related Calcifications in Pineal Gland, 328
Pencitraan pada Stroke
Choroid Plexus and Falx Cerebri Based on Cranio-Cerebral Computed Tomograms. International Journal of Research in Medicine , 3(3);1–7. Jung-Gon, L., Kyung-Bok, L., Hakjae, R., Moo-Young, A., Hee-Joon, B., Ji-Sung, L., et al. 2014. Intracranial Arterial Calcification Can Predict Early Vascular Events after Acute Ischemic Stroke. Journal of Stroke and Cerebrovascular Disease, e331–e337. Junquereira, L.C., Carneiro J. 1982. Histologi Dasar Ed ke-3. Penerjemah Dharma A., Terjemahan dari: Basic Histology. Jakarta: EGC. Kanamalla US, Jungreis C, Kochan P, 2008. Direct arotid Cavernous Fistule dalam Interventional Neuroradiology, Informa health Care USA, New York. Kane I, Sandercock P, Wardlaw J. 2007. Magnetic Resonance Perfusion Diffusion Mismatch and Thrombolysis in Acute Ischemic Stroke: a Systematic Review of The Evidence to Date. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 78(5), 485–491. Katz M.L. 2001. Intracranial Cerebrovascular Evaluation. In: Textbook of Diagnostic Ultrasonography. Mosby, St. Louis. Katz M.L. and Alexandrov AV. 2003. A Practical Guide to Transcranial Doppler Examinations. Summer Publishing Company, Littleton, CO. Kava M.P., Tullu MS, et al. 2002. Primary Angitis of the Central Nervous System. Indian Pediatrics; 39:684–689. Available at: http:// www.indianpediatrics.net/july2002/july-684-689.htm. Kaufman, JA. 2008. Invasive Vascular Diagnosis dalam Image-Guided Interventions, Saunders, An imprint of Elsevier Inc. Vol 1. Philadelphia, Pennsylvania. Kauhanen M.L., 1999. Quality of Live After Stroke: Clinical Functional, Psychosocial and Cognitive Correlates. Department of Neurology, University of Oulu and Departmen of Rehabilitation. Oulu Deaconess Institute. Available at: http://herkules.oulu.fi/ isbn9514279/html/index.html. Kidwell CS, Saver JL, Mattiello J et al. 2000. Thrombolytic Reversal of Acute Human Cerebral Ischemic Injury Shown by Diffusion/ Perfusion Magnetic Resonance Imaging. Ann. Neurol. 47(4), 462–469. Kidwell CS, Saver JL, Mattiello J et al. 2001. Diffusion-Perfusion MRI Characterization of Post-Recanalization Hyperperfusion in Humans. Neurology 57(11), 2015–2021. Kidwell CS, Alger JR, Saver JL. 2004. Evolving Paradigms in Neuroimaging of The ischemic Penumbra. Stroke 35, 2662–2665. Daftar Pustaka
329
Kıroğlu, Y., Çallı, C., Karabulut, N., & Öncel, Ç. 2010. Intracranial Calcifications on CT. Turkish Society of Radiology , 16:263–269. Koenig M, et al. 1998. Perfusion CT of the Brain: Diagnostic Approach for Early Detection of Ischemic Stroke. Radiology, 209, 85–93. Koenig M, Klotz E, Luka B, Venderink DJ, Spittler JF, Heuser L. 1998. Perfusion CT of The Brain: Diagnostic Approach for Early Detection of Ischemic Stroke. Radiology 209(1), 85–93. Kohl, & Gerhard. 2005. The Evolution and State-of-the-Art Principles of Multislice Computed Tomography. Proceedings of the American Thoracic Society , Vol. 2, No. 6 (2005), pp. 470–476. Kohrmann M, Juttler E, Huttner HB, Nowe T, Schellinger PD. 2007. Acute stroke imaging for thrombolytic therapy – an update. Cerebrovasc. Dis. 24(2–3), 161–169. Kornienko VN & Pronin IN, 2009. Diagnostic Neuroradiology, Rusia, Springer, 101-60. Korosec F.R. 2009. Principles of Magnetic Resonance Angiography. In: Rubin G.D, Rofsky N.M (eds) CT and MR Angiography Comprehensive Vascular Assessment. Lippincott Williams & Wilkins. Pp. 54–73. Kotilla M., Numinnen H., Waltimo, Kaste M., 1998. Depression After Stroke: Result of The Finnstroke Study. Stroke; 29: 368-372. Krieger DW, et al. 1999. Early Clinical and Radiological Predictors of Fatal Brain Swelling in Ischemic Stroke. Stroke, 30, 287–92. Kumar, G., Jayantee Kalita, Bishwanath Kumar, Vikas Bansal, Sunil K. Jain, dan UshaKant Misra. 2010. Magnetic Resonance Angiography Findings in Patients with Ischemic Stroke from North India. Journal of Stroke and Cerebrovascular Diseases, Vol. 19, No. 2 (March-April), 2010: pp 146-152. Available at: http://www. researchgate.net/profile/Gyanendra_Kumar5. [Accessed 23 September 2015]. Kummer Rv, et al. 1997. Acute Stroke: Usefulness of Early CT Findings before Thrombolytic Therapy. Radiology, 205, 327–33. Kwon et al. 2011. Is Fasting Necessary for Elective Cerebral Angiography?. AJNR Am J Neuroradiol 32:908 –10. http://www.ncbi.nlm.nih. gov/pubmed/21415144. Ku, YK; Wong,HF, et al. 2010. Subarachnoid Hemorrhage with a Cerebral Aneurysm not Recognized at Conventional Angiography: A Retrospective Study. Chin J Radiol, 35: 201-208. www.rsroc. org.tw/db/Jrs/article/V35/N4/350402.pdf. Kyung-Il Jo, Jong-Soo Kim, Seung-Chyul Hong, Jung-Il Lee, 2012. Hemodynamic Changes in Arteriovenous Malformations After 330
Pencitraan pada Stroke
Radiosurgery: Transcranial Doppler Evaluation Review Article, World Neurosurgery, Volume 77, Issue 2, February 2012, Pages 316–321. Lai S.M., Duncan P.W., Keighley J., Johnson D., 2002. Depressive Symptoms and Independence in BADL and IADL. Journal of Rehabilitation Research and Development; 39 (5): 589-96. Lanni, G. et al. 2011. Pediatric Stroke: Clinical Findings and Radiological Approach. Stroke Research and Treatment, pp. 1–12. Latour LL, Kang DW, Ezzeddine MA, Chalela JA, Warach S. 2004. Early Blood–Brain Barrier Disruption in Human Focal Brainnischemia. Ann. Neurol. 56(4), 468–477. Lazzaro, MA; Zaidat, O, et al. 2011. Endovascular Embolization of Head and Neck Tumors. Front. Neurol., 17 October 2011| doi: 10.3389/fneur.2011.00064. Available at: http://journal. frontiersin. orgJournal/10.3389/fneur.2011.00064/full. Lemonick, D., 2010. Subarachnoid Hemorrhage: State of the Artery. American Journal of Clinical Medicine, 7(2), pp. 62–73. Lewis, D. H., Toney, L. K. & Baron, J.-C., 2012. Nuclear Medicine in Cerebrovascular Disease. Semin Nucl Med, Volume 42, pp. 387-405. Liao MM, 2011. Transient Iischemic Attack and Cerebrovascular Accident. In: Markovchick VJ, et al. (eds.) Emergency Medicine Secrets. Elsevier. Liebeskind, D. S., 2014. Hemorrhagic Stroke. [Online] Available at: http:// emedicine.medscape.com/article/1916662. Lindegaard K, Bakke SJ, Grolimund P, Aaslid R, Huber P, Nornes H. 1985. Assessment of Intracranial Hemodynamics In Carotid Artery Disease By Transcranial Doppler Ultrasound, J. Neurosurg; 63:890–898. Live Map Discovery, 2015. Early Development of The Nervous System, Available at: http://discovery.lifemapsc.com/library/review-ofmedical-embryology/chapter-135-early-development-of-thenervous-system, [Accessed 21 September 2015]. Live Map Discovery, 2015. General Development of The Central Nervous System, Available at: http://discovery.lifemapsc.com/ library/review-of-medical-embryology/chapter-137-generaldevelopment-of-the-central-nervous-system. [Accessed 21 September 2015]. Liy, N., 2014., CT Scanner, PET, MIR, SPECT. Available at: http://noorliys. blogspot.co.id/2014/12/ct-scanner-pet-mir-spect.html. [Acessed 6 November 2015] Daftar Pustaka
331
Look For Diagnosis, 2014. Tomography, X-Ray Computed (CAT Scan, X-Ray; CT Scan, X-Ray; Computerized Tomography, X-Ray; Tomography, Transmission Computed; X-Ray Tomography, Computed; CineCT; Tomodensitometry; Electron Beam Computed Tomography; Computed Tomography). Available at: http://www. lookfor diagnosis.com/mesh_info.php?term=Tomography%2C+XRay+Computed&lang=1. [Accessed 12 Oktober 2015]. Looney, C. B. e. a., 2007. Intracranial Hemorrhage in Asymptomatic Neonates: Prevalence on MR Images and Relationship to Obstetric and Neonatal Risk Factors. Radiology, 242(2), pp. 535–542. Lovbald, K.-O. & Pereira, V. M., 2013. Neuroimaging of Stroke: The Complemetary Roles of CT and MRI. Clinical Neurology, Volume 2, pp. 36–44. de Lucas, Enrique Marco, Elena Sanchez, Agustin Gutierrez, et al. 2008. CT Protocol for Acute Stroke: Tips and Tricks for General Radiologists. RadioGraphics 2008; 28:1673–1687. Lucas EMd, et al. 2008. CT Protocol for Acute Stroke: Tips and Tricks for General Radiologists. RadioGraphics, 28, 1673–87. Lumbantobing, SM, 2003. Bencana Peredaran Darah di Otak. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Lumbantobing, SM, 2001. Neurogeriatri. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Magistris, F. B. S. M. J., 2013. Intracerebral Hemorrhage: Pathophysiology and Diagnosis, MUMJ, 10(1), pp. 15–22. Makariou, E., & Patsalides, A. D. 2009. Intracranial Calcifications. Applied Radiology , 48–60. Maldonado, I.L. dan Alain Bonafé, 2012. Stent-Assisted Techniques for Intracranial Aneurysms. Intech, Open Science Open Minds, Available at: http://www.intechopen.com/books/aneurysm/stentassisted-techniques-for-intracranial-aneurysms. [Accessed 18 September 2015]. Mangla R, et al. 2011. Border Zone Infarcts: Pathophysiologic and Imaging Characteristics. RSNA, 31, 1201–14. Mark, D. e. a., 2013. Nontraumatic Subarachnoid Hemorrhage in the Setting of Negative Cranial Computed Tomography Results: External Validation of a Clinical and Imaging Prediction Rule. Annals of emergency medicine , 62(1), pp. 1–10.e1. Marks MP, 2008. Cerebral Ischemia and Infarction. In: Atlas SW (ed.) MRI of the Brain and Spine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
332
Pencitraan pada Stroke
Markus, H.S., Alice King, Martin Shipley, Raffi Topakian, Marisa Cullinane, Sheila Reihill, Natan M Bornstein, dan Arjen Schaafsmad, 2010. Asymptomatic Embolisation for Prediction of Stroke in the Asymptomatic Carotid Emboli Study (ACES): a Prospective Observational Study. Lancet Neurol. 9(7): 663–671. Marincek Borut, Robert F. Dondelinger, 2007. Emergency Radiologi Imaging and Intervention, Springer Berlin Heidelberg New York. Maulaz A, Piechowski-Jozwiak B, Michel P, Bogousslavsky J. 2005. Selecting Patients for Early Stroke Treatment with Penumbra Images. Cerebrovasc. Dis. 20(Suppl. 2), 19–24. Mauro, M A., Murphy KP , et al. 2014. Image-Guided Interventions. Edisi ke 2. Elsevier. Masjhur, J.S., 2009. Perkembangan Aplikasi Teknologi Nuklir Dalam Bidang Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Mayo Clinic Staff, 2015. Tests and Procedures, SPECT Scan, Mayo Clinic, Available at: http://www.radiologyinfo.org/en/gallery/index.cfm? image=836. [Acessed 6 November 2015] Mayo Clinic, 2015. Stroke, Symptoms and Causes. Available at: http:// www.mayoclinic.org/diseases-conditions/stroke/symptomscauses/dxc-20117265, [Accessed 18 September 2105]. Medical Expo, 2015. Occlusion catheter/vascular/balloon/double-lumen HyperGlide™. Available at: http://www.medicalexpo.com/ prod/covidien/product-74674-552299.html. [Accessed 18 September 2015]. Merino, J. & Warach, S., 2010. Imaging of Acute Stroke. Nat. Rev. Neurol, Volume 6, pp. 560–571. Messe SR, Kasner SE, Chalela JA et al. 2007. CT-NIHSS mismatch does not correlate with MRI diffusion–perfusion mismatch. Stroke 38 (7), 2079–2084. Miller Medical, 2015. Fat Injection – Harvesting Cannulas (Luer Lock Hub). Available at: http://www.miller-medical.com/physicians/ products-page/fat-injection/injection-cannulas-luer-lock-hub/, [Accessed 17 September 2015]. Mirsen TR, 2014. Stroke. In: Parrillo JE & Dellinger RP (eds.) Critical Care Medicine: Principles of Diagnosis and Management in the Adult. Elsevier. Misbach J., Kalim H. 2011. Stroke Mengancam Usia Produktif [Online]. Jakarta.Available:http://medicastore.com/ stroke/ Stroke_ Pembunuh_ No_3_di_Indonesia.php. 2011. Accessed 27 0ctober 2011]. Moeller T.B, Reif E. 2000. MRI Special Daftar Pustaka
333
Investigation. In: Moeller T.B, Reif E (eds) Normal Findings in CT and MRI. New York. Thieme. Pp. 217–222. Modern Cancer Hospital Guangzhou, 2012. PET/CT. Available at: http://www.asiancancer.com/technology-equipment/111.html. [Acessed 7 November 2015]. Moeller, T. B., & Reif, E. 2000. Normal Findings in CT and MRI. Stuttgart - New York: Thieme. Moeller, Tornsten B., Reif, Emil., 2003. MRI Parameter and Positioining, Thieme, New York. Moeller T.B, Reif E. 2003. Magnetic Resonance Angiography. In: Moeller T.B, Reif E (eds) MRI Parameters and Positioning. New York. Thieme. Pp. 177–195. Moey, AW; Koblar, SA, et al. 2012. Endovascular Therapy After Stroke in a Patient Treated with Dabigatran. MJA 2012; 196: 469–471. doi: 10.5694/mja11.11617. Available at: https://www.mja. com.au/journal/2012/196/7/endovascular-therapy-after-strokepatient-treated-dabigatran. Mohr et al, 2010. Ica 7 Segmen à Calcification of The Left Internal Carotid Artery and Its Implications: a Case Report in Human Mohr, H., Nazer, MB. and Campos, Available at: http://jms.org. br/PDF/v27n1a10.pdf. Molina CA, Saver JL. 205. Extending Reperfusion Therapy for Acute Ischemic Stroke: Emerging Pharmacological, Mechanical, and Imaging Strategies. Stroke 36 (10), 2311–2320. Moore KL, Dalley AR. 2007. Clinically Oriented Anatomy, 5th Ed., Lippincott Williams & Wilkins, Toronto. Copyright. Moppett, I.K., dan R. P. Mahajan, 2004. Transcranial Doppler Ultrasonography in Anaesthesia and Intensive Care, British Journal of Anaesthesia, Volume 93, Issue 5, Pp. 710-724. Morgan, T. e. a., 2002. Intracranial Hemorrhage in Infants and Children With Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (OslerWeber-Rendu Syndrome). Pediatrics, 109(e12), pp. 1–7. Moriya Y et al. 2013. Predictors for Hemorrhagic Transformation with Intravenous Tissue Plasminogen Activator in Acute Ischemic Stroke. Tokai J Exp Clin Med., 38(1), pp. 24–27. Moyer, B., 2015. Medical Applications. An Overview of Medical Imaging. Mouser Electronics. Available at: http://www.mouser.com/ applications/medical-imaging-overview/. [Accessed 15 Oktober 2015].
334
Pencitraan pada Stroke
Mullins,E Mark ,MD ,Phd, 2005. Modern Emergent Stroke Imaging, Pearl, Protocols, and Pifalls, Elsevier, Available at: http://www. radiologic.theclinics.com. Mullins ME, 2006. Modern Emergent Stroke Imaging: Pearls, Protocols, and Pitfalls. In: Wolf RL (ed.) Neuroradiology Essentials. Philadelphia: Elsevier. My 29 Live, 2015. Nuclear Heart Scan. Available at: http://my29lives. blogspot.co.id/2015/03/nuclear-heart-scan.html. [Acessed 7 November 2015]. MyHuman Body.Ca, 2014. The Central Nervous System (3/3). Available at: http://www.corpshumain.ca/en/Cerveau3_en.php. [Accessed 21 September 2105] National Health Service (NHS). 2009. Transcranial Doppler Scanning for Children with Sickle Cell Disease. Available at: http://www.library.nhs.uk/GUIDELINESFINDER/ ViewResource.aspx?resID=315317 © 2009 Sickle Cell Society/ UK Thalassemia Society. Nasissi, Denise. 2010. Hemorrhagic Stroke. Emedicine Medscape. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/793821overview]. [Accessed 25 Oktober 2015]. Nasissi, Denise. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape, 2010. [diunduh dari:http://emedicine.medscape.com/article/793821overview] Neeb, L. V. K. G. I. G.-D. F. G. R. G. D. K. C. G. U. F. J., 2013. Adapting the Computed Tomography Criteria of Hemorrhagic Transformation to Stroke Magnetic Resonance Imaging. Cerebrovasc Dis Extra, Volume 3, pp. 103–110. Netter F.H, Craig J.A. 2000. Neuroanatomy. In: Netter F.H, Craig J.A (eds) Atlas Of Neuroanatomy and Neurophysiology. USA. Icon Custom Communications. pp. 13–19 Neuroscience, 2012. Experimental Drug May Extend Therapeutic Window for Stroke. Available at: http://neurosciencenews.com/tpa-tissueplasminogen-activator-3k3a-apc-stroke-medicine/. [Accessed: 24 September 2015]. NHS, 2015. Open Magnetic Resonance Imaging (MRI) Scanning Commissioning Policy. Health Protection Manager, Bath & North East Somerset Council Public Health Department. Nitz W., 2006. Magnetic Resonance Angiography, Technical and Principles. In: Reimer P, Parizel P.M, Stichnoth F.A (eds) Clinical MR Imaging. 2nd edition. New York. Springer. Pp. 36-40.
Daftar Pustaka
335
Noerjanto M., 20012. Masalah-masalah Dalam Diagnosis Stroke Akut. In: Management Acute Stroke Temu regional Neurologi JatengDIY ke-XIX. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 1-15. Noltej J & Sundsten J, 2009. Blood Supply of the Brain. In: Noltej J & Sundsten J (eds.) Human Brain: An Introduction to Its Functional Anatomy. Elsevier. Notosiswoyo, M. , Susy Suswati, 2004, Pemanfaatan Magnetic Resonance Imaging (MRI) sebagai Sarana Diagnosa Pasien. Media Litbang Kesehatan Volume XIV Nomor 3. Nouira, S. e. a., 2008. Accuracy of Two Scores in the Diagnosis of Stroke Subtype in a Multicenter Cohort Study. Annals of Emergency Medicine, 53(3), pp. 373–378. Nuttawan, J. 2004, CT Protocol, Radiology Departement Of Takshin Hospital, Bangkok. N. Valadi, MD, et al, 2006. Transcranial Doppler Ultrasonography in Adults with Sickle Cell Disease, Departments of Neurology (N.V., D.R., F.T.N., R.J.A.) and Hematology (A.K.) and School of Nursing (L.S.B.), Medical College of Georgia, Augusta; and Departments of Neurology (G.S.S., A.R.M.), Hematology (P.V.), and Infectious Diseases (A.C.F.), Federal University of São Paulo, Brazil. Osborn A.G, Blaser S.I, Salzman K, et al. 2004. Diagnostic Brain Imaging. Canada. Amirsys. pp.I.4.4–I.4.10. Ostergaard L, Weisskoff RM, Chesler DA, Gyldensted C, Rosen BR. 1996. High Resolution Measurement of Cerebral Blood Flow Using Intravascular Tracer Bolus Passages. Part I: Mathematical Approach and Statistical Analysis. Magn. Reson. Med. 36(5), 715–725. Ostergaard L, Sorensen AG, Kwong KK, Weisskoff RM, Gyldensted C, Rosen BR. 1996. High Resolution Measurement of Cerebral Blood Flow Using Intravascular Tracer Bolus Passages. Part II: experimental comparison and preliminary results. Magn. Reson Med.. 36(5), 726–736. Pandian JD, Henderson RD, et al. 2006. Cerebral Vasculitis in Ulcerative Colitis. Arch Neurol. 2006;63(5):780. doi:10.1001/ archneur.63.5.780. http://archneur. jamanetwork.com /article. aspx?articleid=791296. Paula, B., 2009. Imaging of the Brain after Aneurismal Subarachnoid Hemorrhage. Kuopio: Kuopio University Publication. Patestas M.A, Gartner L.P., 2006. Vascular Supply of The Central Nervous System. In: Patestas M.A, Gartner L.P (eds) A Textbook of Neuroanatomy. Australia. Blackwell Publishing. pp. 99–117. 336
Pencitraan pada Stroke
Pelberg, Robert, Wojciech Mazur. 2011. Vascular CT Angiography Manual. Springer Dordrecht Heidelberg London New York. PERDOSSI, P. S., 2011. Guideline Stroke Tahun 2011, Jakarta, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) Perron, A. D. 2008. How To Read a Head CT Scan. Chicago, Illinois: Saunders Elsevier. Pexman, J. W. e. a., 2001. Use of Alberta Stroke Program Early CT Score (ASPECTS) for Assessing CT Scan for Patients with Acute Stroke. AJNR Am J Neuroradiol , Volume 22, p. 1534–1542. Pexman JH, Barber PA, Hill MD et al. 2001. Use of the Alberta Stroke Program Early CT Score (ASPECTS) for Assessing CT Scans in Patients with Acute Stroke. Am. J. Neuroradiol. 22(8), 1534– 1542. Pokhrel, R., 2015. SCALP. Available at: http://www.slideshare.net/ rongon28us/scalp-49531339. [Accessed 21 September 2015]. Powers, W. J. & Zazulia, A. R., 2010. PET in Cerebrovascular Disease. PET Clin, Volume 5, pp. 83–106. Prasetiyono, E., 2014. Kedokteran Nuklir Sebagai Modalitas (Staging) Pemeriksaan Ca Hepar. Radiografer RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Available at: https://eljauhary.files.wordpress.com/.../ kedokteran-nuklir-edi-prasetiyon... [Acessed 6 November 2015]. Price, SA, Wilson, LM, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Price S.A., Wilson L.M., 2005. Patofisiologi:Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2 Ed/6. Jakarta: EGC. QU, H; Yang, M. 2013. Early Imaging Characteristics of 62 Cases of Cerebral Venous Sinus Thrombosis. Experimental and Therapeutic Medicine 5: 233-236. DOI: 10.3892/etm.2012.796. Available at: http://www.biomedsearch.com/ attachments/00/23/25/ 12/23251274/etm-05-01-0233.pdf. Questions and Answers in MRI, 2014. Motion Artifact. Why are Motion Artifacts Propagated in The Phase-Encode Direction Instead of The Frequency-Encode Direction? AD Elster, ELSTER LLC. Available at: http://mri-q.com/motion-artifact-direction.html. [Accessed 11 Oktober 2015]. Questions and Answers in MRI, 2014. Emergency Shut Down. Does the Scanner Have an Emergency "Stop" Button? AD Elster, ELSTER LLC. Available at: http://mri-q.com/emergency-stop-button.html [Accessed 11 Oktober 2015]. Daftar Pustaka
337
Quizlet, 2015. Examination of Head & Neck. Available at: https:// quizlet.com/7590276/examination-of-head-neck-flash-cards/. [Accessed 21 September 2015]. Rabinstein AA & Resnick SJ, 2009. Acute Stroke Imaging. Practical Neuroimaging in Stroke , First Edition. Saunders. Rabinstein, A. A., 2013. Subarachnoid Hemorrhage. Neurology, Volume 80, pp. e56–e59. Ralph L., Adams R., Albers G., Alberts M.J., Benavente O., Furie K., et al., 2006. American Heart Association/American Stroke Association. Guideline for Prevention of Stroke in Patients with Ischemic Stroke or Transient Ischemic Attack. Stroke. AHA Journals;37:577-617. RadiologiInfo, 2015. Positron Emission Tomography – Computed Tomography (PET/CT). Available at: www.RadiologyInfo.org. [Acessed 7 November 2015]. Radiology Info, 2015. CT Angiography (CTA). Available at: http://www. radiologyinfo.org/en/info.cfm?pg=angioct. [Accessed 12 Oktober 2015]. Radiology Info, 2015. MR Angiography (MRA). Available at: http:// www.radiologyinfo.org/en/info.cfm?pg=angiomr. [Accessed 12 Oktober 2015]. Ramadhani, P., 2006. Elektronika Kedokteran “CT Scanner”. Jurusan Elektro Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar, Available at :www.unhas.ac.id/...CT%20Scan/PUTRI%20 RAMADHANI%20D411030. [Accessed 12 Oktober 2015]. Rao, Chrisna C. V. G., Lee, S. Howard, 1999. Cranial MRI and CT, McGraw-Hill, New York. Rasad, dkk. 1999. Radiologi Diagnostik, Gaya Baru: Jakarta. Rasad, Sjahriar, 2006. Radiologi Diagnostik, Ed. II, Balai Penerbitan FKUI, Jakarta. Rasulo FA, De Peri E, Lavinio A, 2008. Transcranial Doppler Ultrasonography In Intensive Care, Institute of Anesthesiology and Intensive Care, Spedali Civili University Hospital of Brescia, Piazzale Spedali Civili, Brescia, Italy.
[email protected], Eur J Anaesthesiol Suppl.;42:167–73. Read SJ, Hirano T, Abbott DF et al. 2000. The Fate of Hypoxic Tissue on 18F-Fluoromisonidazole Positron Emission Tomography After Ischemic Stroke. Ann. Neurol. 48(2), 228–235. Ribo M, Molina CA, Rovira A et al. 2005. Safety and Efficacy of Intravenous Tissue Plasminogen Activator Stroke Treatment 338
Pencitraan pada Stroke
in The 3- to 6-Hour Window Using Multimodal Transcranial Doppler/MRI Selection Protocol. Stroke 36 (3), 602–606. Ridgway, J.P., 2012. Cardiovascular Magnetic Resonance Physics for Clinicians: part II. Journal of Cardiovascular Magnetic Resonance, 14:66 doi:10.1186/1532-429X-14-66. Available at: http://www.jcmr-online.com/content/14/1/66. [Accessed 15 Oktober 2015]. Ritzl A, Meisel S, Wittsack HJ et al. 2004. Development of Brain Infarct Volume as Assessed by Magnetic Resonance Imaging (MRI): Follow-up of Diffusion-Weighted MRI Lesions. J. Magn. Reson. Imaging 20(2), 201–207. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Volume 2 Ed/7. Jakarta : EGC. Robin Smithuis, 2008. Brain Anatomy, Radiology Department, Rijland Hospital Leiderdorp, the Netherlands, Radiologyassistant. Rohkamm R., 2004. Color Atlas of Neurology. New York. Thieme. pp. 12–20. van Rooija, W.J. dan M. Sluzewskia, 2007. Packing Performance of GDC 360° Coils in Intracranial Aneurysms: A Comparison with Complex Orbit Coils and Helical GDC 10 Coils, AJNR, 28: 368370, Available at: http://www.ajnr.org/content/28/2/368.figuresonly, [Accessed 18 September 2015]. Romero JM, Artunduaga M, Forero NP, et al. 2009. Accuracy of CT Angiography for The Diagnosis of Vascular Abnormalities Causing Intraparenchymal Hemorrhage in Young Patients. Emerg Radiol;16:195–201. Rooks, V. e. a., 2008. Prevalence and Evolution of Intracranial Hemorrhage in Asymptomatic Term Infants. AJNR, Volume 29, pp. 1082–1090. Rosen, D. a. R. M., 2005. Subarachnoid Hemorrhage Grading Scales: A Systematic Review. Neurocrit. Care, Volume 2, pp. 110–118. Rubin, Geoffrey D., Neil M. Rofsky. 2009. CT and MR Angiography: Comprehensive Vascular Assessment. 1st Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Ryerson S.D., 1995. Hemiplegi in Neurological Rehabilitation. 3rd ed. St. Louis: Mosby-Year Book Inc. Sadikin Cindy ,SpRad (K), 2012. Endovascular Treatment of Acute Stroke, PIT intervensional Radiologi Makasar, Makasar. Sadler T. W, 1997. Embriologi Kedokteran Langman, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Daftar Pustaka
339
Sanelli, Pina C., Matthew J. Mifsud, Natalie Zelenko, Linda A. Heier. 2004. CT Angiography for The Evaluation of Cerebrovascular Diseases. AJR 2005;184:305–312 0361–803X/05/1841–305. Sarmiento, d. l., Lecumberri, C. G., Lecumberri, C. I., Oleaga, Z. L., Isusi, F. M., & Grande, I. D. 2006. Intracranial Calcifications on MRI. Radiologia, 48 (1), 19–26. Sasaki M, Kudo K, Oikawa H. 2006. CT Perfusion for Acute Stroke: Current Concepts on Technical Aspects and Clinical Applications. Int. Congr. Ser. 1290, 30–36. Satyanegara, Roslan Y.H., Syafrizal A., Achmad J.M., Erliano S., Ibnu B., Sendjaja M., Jovita S., Ivan A., Imam Y., Anne S., 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi ke-4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Schatlo, B. dan Ryszard M. Pluta, 2007. Clinical Applications of Transcranial Doppler Sonography, Surgical Neurology Branch, National Institutes of Neurological Disorders and Stroke, National Institutes of Health, Bethesda, MD, USA, Recent Clinical Trials, 2, 49-57. Schneider, G., M.R. Prince, J.F.M. Meaney, V.B. Ho, E.J. Potchen, 2005. Magnetic Resonance Angiography: Techniques, Indications and Practical Applications. Springer. Verlag Italia. Schramm P, Schellinger PD, Fiebach JB et al. 2002. Comparison of CT and CT Angiography Source Images with Diffusion-Weighted Imaging in Patients with Acute Stroke Within 6 Hours After Onset. Stroke 33(10), 2426–2432. Schulte,E; Schumacher,U; Rude J. 2010. Blood vessel of The Brain dalam Thieme Atlas of Anatomy : Hed and Neuroanatmy. Available at: http://books.google.co.id/books ?id=wlGDPwz_7KoC&printsec= frontcover#v=onepage&q&f=false. Schwamm Nogueira, R.G.;, L.H.; Hirsch, J.A, 2009. Endovascular Approaches to Acute Stroke, Part 1: Drugs, Devices, and Data, American Society of Neuroradiology, Avaiable at: http://www. ajnr.org. Schwartz et al. 2010. Review of vascular closure devices. J Invasive Cardiol. Dec;22(12):599-607. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/21127366. Schellinger PD, Fiebach JB, Jansen O et al. 2001. Stroke Magnetic Resonance Imaging Within 6 Hours After Onset of Hyperacute Cerebral Ischemia. Ann. Neurol. 49(4), 460–469. Schellinger PD, Fiebach JB, Hacke W. 2003. Imaging-Based Decision Making in Thrombolytic Therapy for Ischemic Stroke: Present Status. Stroke 34(2), 575–583. 340
Pencitraan pada Stroke
Schummer W, Schummer C, Gaser E, Bartunek R. 2002. Loss of The Guide Wire: Mishap or Blunder? British journal of anaesthesia 88 (1): 144–6. Seldinger SI. 1953. Catheter Replacement of The Needle in Percutaneous Arteriography; A New Technique. Acta Radiologica 39 (5): 368– 76. Setyopranoto, I., 2011. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185/ Vol.38 no.4/Mei-Juni 2011. Sherin, A. K. A. R. S. S. N. H. S. G. Z. M., 2011. Comparability and Validity of Siriraj Stroke and Allen Stroke Score in Differentiation of Acute Ischaemic and Hemorrhage Stroke. JPMI, 25(3), pp. 206–216. Sheta, Y. A.-S. A.-G. a. M. E.-M., 2012. Accuracy of Clinical Sub-typing of Stroke in Comparison to Radiological Evidence. British Journal of Science, 6(2). Siemonsen S, Fitting T, Thomalla G et al.2008. T2´ Imaging Predicts Infarct Growth Beyond The Acute Diffusion-Weighted Imaging Lesion in Acute Stroke. Radiology 248(3), 979–986. Siswanto Y. 2010. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stroke Berulang (Studi Kasus RS DR. Kariadi Semarang). Semarang: Universitas Diponegoro. Sloan, M.A.,Alexandrov A.V., Tegeler C.H., Spencer M.P., Caplan L.R., Feldmann E., Wechsler L.R., Newell D.W., Gomez C.R., Babikian V.L., Lefkowitz D., Goldman R.S., Armon C., Hsu C.Y., Goodin D.S., 2004. Assessment: Transcranial Doppler Ultrasonography: Report of the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology. 62(9):1468-81. Smilowitz et al. 2012. Practices and Complications of Vascular Closure Devices and Manual Compression in Patients Undergoing Elective Transfemoral Coronary Procedures. Am J Cardiol. 2012 Jul 15;110(2):177-82. doi: 10.1016/j.amjcard.2012.02.065. Epub 2012 Apr 4. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/22482861. Smith, E., Rosand, J. & Greenberg, S. M., 2006. Imaging of Hemorrhagic Stroke. Magn Reson Imaging Clin N Am, Volume 14, p. 127– 140. Smith, S. D., Eskey & J., C., 2011. Hemorrhagic Stroke. Radiol Clin N Am, pp. 27–45. Smithuis R, 2008. Brain Ischemia - Vascular territories [Online]. Radio logy department of the Rijnland Hospital in Leiderdorp, the Netherlands. Available at: http://www.radiologyassistant.nl/ Daftar Pustaka
341
en/p484b8328cb6b2/brain-ischemia-vascular-territories.html [Accessed 7 Desember 2014]. Snell, R. S., 1997. Anatomi Klinik, Ed. III, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Soertidewi L., Misbach J. 2007. Epidemiologi Stroke. Jakarta: Universitas Indonesia. Sotirios AT,. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery. NewYork. Thieme Stuttgart. 2000. Spaeth, J., Krügelstein, U., & Schlöndorff, G. 1997. The Paranasal Sinuses in CT-Imaging: Development From Birth to Age 25. International Journal of Pediatric and Otorhinolaryngoly , 39(1):25–40. Sprawls, P., 2015. Chapter 2 Magnetic Resonance Imaging System Components. Sprawls Educational Fundational, Available at: http://www.sprawls.org/mripmt/MRI02/index.html. [Accessed 11 Oktober 2015]. Srinivasan A, et al. 2006. State-of-the-Art Imaging of Acute Stroke. RadioGraphics, 26, S75–S95. Stroobant, N; Vingerhoets, G. 2000. Transcranial Doppler Ultrasonography Monitoring of Cerebral Hemodynamics During Performance of Cognitive Tasks: A review. Neuropsychology review 10 (4): 213– 31.PMID 11132101. Stroke. 2001. Recovery and Rehabilitation, Available at: file://: nbmediastroke.htm2001, [Accessed 15 September 2015]. Stroke Association. 2013. Stroke Statistics. London. Stroke. Validation and Determination of The Penumbra Threshold Against Quantitative PET. Stroke 39, 870–877. Stewart, C., 2013. Single Photon Emission Computed Tomography. MyField Clinic and Spine Institute.Cincinnati Ohio. Availabe at: www.myfieldclinic.com. [Acessed 6 November 2015] Sumber:
Wikipedia, 2015. Single-Photon Emission Computed Tomography. Available at: https://en.wikipedia.org/wiki/Singlephoton_emission_computed_tomography. [Acessed 6 November 2015]
Tasfir, Abel. 2012. CT Scan (Computed Tomography Scanner). Available at: http://abel-tasfir.blogspot.co.id/2012/05/ct-scan-computedtomography-scanner.html. [Accessed 12 Oktober 2015]. The Bangalore Hospital, 2005. Cardiac Catheterisation Laboratory. Cardiology Department.Availble at: http://www.bangalorehospital. co.in/dept_medi_card.htm. [Accessed 12 Oktober 2015]. 342
Pencitraan pada Stroke
Takasawa M, Jones PS, Guadagno JV et al. 2008. How Reliable is Perfusion MR in Acute. Tamraz J.C, Comair Y.G. 2006. Atlas of Regional Anatomy of the Brain Using MRI. New York. Springer. pp. 101–113. Taveras, Juan M, 1996. Neuroradiology, 3rd Ed., Williams & Wilkins Company, USA. Teasdale EM & Aitken S, 2009. Vascular Imaging in Ischaemic Stroke and TIA. An Atlas and Practical Guide Multidetector CT In Neuroimaging. United Kingdom: Atlas Medical Publishing Ltd. Terumo Interventional Systems, 2015. Glidewire® GT Guidewire. Available at: http://www.terumois.com/products/guidewires/glidewire-gt. html. [Accessed 18 September 2015]. The National Institute of Neurological Disorders and Stroke rt-PA Stroke Study Group. 1995. Tissue Plasminogen Activator for Acute Ischemic Stroke. N. Engl. J. Med. 333(24), 1581–1587. Thomas,B; Krishnamoorthy,T; et al. 2005. Isolated Left Vein of Labbe Thrombosis. Neurology 2005;65;1135, DOI 10.1212/01. wnl.0000181352.14678.18. Available at: http://www. neurology .org/content/65/7/1135.full.pdf+html. Thurnher, M., 2008. Brain Ischemia - Imaging in Acute Stroke. Radiology Assistant. Department of Radiology, Medical University of Vienna. Available at: http://www.radiologyassistant.nl/en/ p483910a4b6f14/brain-ischemia-imaging-in-acute-stroke.html Tortorici, Marianne R., Patrick Apfel. 1995. Advanced Radiographic and Angiographic Procedures with an Introduction to Specialized Imaging. Philadelphia: F. A. Davis. Tofteland & Salyers, 2007. Subarachnoid Hemorrhage. Hospital Physician, pp. 31-42. Towbin, R., & Dunbar, J. 1982. The Paranasal Sinuses in Childhood. Radiographics, 2:253–279. Turanjanin N, et al. 2012. Frequency of Ischémie Stroke Subtypes in Relation to Risk Factors for Ischémie Stroke. HealthMED, 10, 3463–8. Uduma, F., Pius, F., & Mathieu, M. (2012). Computed Tomographic Pattern of Physiological Intracranial. Global Journal of Health Science, 4(1):184–91. UF Health, 2015. Stroke Background. UF Health. Center for Translational Research in Neurodegenerative Disease. College of Medcine. Available at: http://ctrnd.med.ufl.edu/research/stroke/strokebackground/. [Accessed 24 Oktober 2015].
Daftar Pustaka
343
Usman, FS ; Sani, AG; dan Husain, S. 2012. Safety of Cerebral Digital Subtraction Angiography : Complication Rate Analysis. Jurnal Univ Med Vol. 31 No.1. Available at: http://www.univmed.org/ wp-content/uploads/2012/05/Frizt-Sumantri.pdf. Venti, M., Acciarresi, M. & Agnelli, G., 2011. Subarachnoid Hemorrhage: A Neurological Emergency. The Open Critical Care Medicine Journal, Volume 4, pp. 56–60. Verulashvili, I., Glonti, L., Miminoshvili, D., Maniia, M., & Mdivani, K. 2006. Basal Ganglia Calcification: Clinical Manifestations and Diagnostic Evaluation. Georgian Med News, 39–43. Victor M., Ropper A.H., 2001. Principles of Neurology. 7th ed. New York: The Mc Graw-Hill Companies Inc.: 1608-1624. Viet Can, 2010. Services, How Does an MRI Differ from Other Procedures? Medical Radiation Imaging. Available at: http://www.vietcan medical.com/services. [Accessed 10 Oktober 2015]. Wanke, F. F. M., 2007. Imaging of Intracranial Hemorrhage: A Review Article. Iran. J. Radiol., 4(2), pp. 65–76. Warach S, Chien D, Li W, Ronthal M, Edelman RR. 1992. Fast Magnetic Resonance Diffusion-Weighted Imaging of Acute Human Stroke. Neurology 42(9), 1717–1723. Weber, Alfred L. 2001. History of Head and Neck Radiology: Past, Present, and Future. Radiology 2001; 218:15–24. Wechsler LR, Sekhar LN, Luyckx K, Kiok M: The Effects Of Endarterectomy On The Intracranial Circulation Studied By Transcranial Doppler, Neurology 1987;37:317. Wetzel, SG; Kirsch, E, et al. 1999. Cerebral Veins: Comparative Study of CT Venography with Intraarterial Digital Subtraction Angiography. AJNR Am J Neuroradiol 1999;20:249-255. Available at: http:// www.ajnr.org/content/20/2/249.long. [Accessed 22 Maret 2014]. WHO. Stroke, Cerebrovascular Accident [Online]. Available at: http://www. who.int/topics/cerebrovascular_accident/en/. 2011. [Accessed 26 Oktober 2011]. What-When-How, 2015. The Nervous System (Structure and Function) (Nursing) Part 2. Available at: http://what-when-how.com/ nursing/the-nervous-system-structure-and-function-nursingpart-2/. [Accessed 22 September 2015]. Wibowo, S. 2001. Farmakoterapi Dalam Neurologi. Jakarta: Salemba Medika.
344
Pencitraan pada Stroke
William L.S., Yilmaz E.Y., Yunez A.M.L. 2000. Retrospective Assesment of Initial Stroke Severity With the NIH Stroke Scale. Stroke. 31: 858-62. Williandry, M. 2014. Deteksi Stroke Awal dengan CT Scan dan MRI. Available at: http://rspondokindah.co.id/en/health-articles/ detail/2/deteksi-stroke-awal-dengan-ct-scan-dan-mri#sthash. bH2FZipN.dpuf. [Accessed 5 Maret 2015]. Wintermark M, Reichhart M, Thiran JP et al. 2002. Prognostic Accuracy of Cerebral Blood Flow Measurement by Perfusion Computed Tomography, at The Time of Emergency Room Admission, in Acute Stroke Patients. Ann. Neurol. 51(4), 417–432. Wintermark M, Meuli R, Browaeys P et al. 2007. Comparison of CT Perfusion and Angiography and MRI in Selecting Stroke Patients for Acute Treatment. Neurology 68(9), 694–697. Wintermark M, Albers GW, Alexandrov AV et al. 2008. Acute Stroke Imaging Research Roadmap. AJNR Am. J. Neuroradiol. 29(5), e23–e30. Warach S. 2001. Use of Diffusion and Perfusion Magnetic Resonance Imaging as a Tool in Acute Stroke Clinical Trials. Curr. Control Trials Cardiovasc. Med. 2, 38–44. Xavier, RA; Qureshi, AI, et al. 2003. Neuroimaging of Stroke: A Review. South Med J. 2003;96(4). Available at: http://www.medscape. com/viewarticle/452843_4. [Accessed: 21 Maret 2014]. Xu, H. et al. 2013. CT Perfusion Imaging Predicts One-Month Outcome in Patients with Acute Spontaneous Hypertensive Intracerebral Hemorrhage. Advances in Computed Tomography, Volume 2, pp. 107–111. Xue, Z., Sameer Antani, L. Rodney Long, Dina Demner-Fushman, dan George R. Thoma, 2012. Window Classification of Brain CT Images in Biomedical Articles. AMIA Annu Symp Proc. 1023– 1029. Yates, P. A. e. a., 2014. Cerebral Microbleeds: a Review of Clinical, Genetic and Neuroimaging Association. Frontiers in Neurology, Volume 4, pp. 1–13. Yayasan Stroke Indonesia. 2012. Tahun 2020 Penderita Stroke Meningkat 2 Kali. Available at: http://www.yastroki.com/, [Accessed: 1 Desember 2014]. Yeung R, Ahmad T, Aviv RI, et al. 2009. Comparison of CTA to DSA in Determining The Etiology of Spontaneous ICH. Can J Neurol Sci;36:176–80. Yoon DY, Chang SK, Choi CS, et al. 2009. Multidetector Row CT Angiography in Spontaneous Lobar Intracerebral Hemorrhage: a Daftar Pustaka
345
Prospective Comparison with Conventional Angiography. AJNR Am J Neuroradiol;30:962–67. Yuan, M.-K. e. a., 2005. Detection of Subarachnoid Hemorrhage at Acute and Subacute/Chronic Stages: Comparison of Four Magnetic Resonance Imaging Pulse Sequences and Computed Tomography. J Chin Med Assoc, 68(3), pp. 131–7. Zak, I. T., Dulai, H. S. & Kish, K. K., 2007. Imaging of Neurologic Associated with Pregnancy and the Post Partum Period. RadioGraphics, Volume 27, p. 95–108. Zhen, W., Sandeep, M., Karl, K., Yingjian, Y., Hu, J., & Haacke, E. M. 2009. Identification of Calcification with Magnetic Resonance Imaging Using Susceptibility-Weighted Imaging: A Case Study. J Magn Reson Imaging, 29(1): 177–182. Zimmerman, R., & Bilaniuk, L. 1982. Age-Related Incidence of Pineal Calcification Detected by Computed Tomography. Radiology, 142: 659–662. Zimmerman RD, 2010. Vascular Diseases of the Brain. In: Yousem DM & Grossman RI (eds.) The Requisities Neuroradiology Philadelphia: Mosby Elsevier. Zivin JA, 2012. Approach To Cerebrovascular Diseases. Goldman’s Cecil Medicine. New York: Elsevier. Zsolt Garami, MD, Andrei V. Alexandrov, MD, RVT, 2008. Neurosonology, Methodist DeBakey Heart and Vascular Center, Department of Cardiovascular Surgery, The Methodist Hospital, 6550 Fannin Street, Houston, TX 77030, USA, The University of Alabama at Birmingham, USA. [Accessed 21 Oktober 2014].
346
Pencitraan pada Stroke
Glosarium Analgesia = menghilangkan rasa nyeri. Arachnoid = membran impermiabel halus yang menutupi otak dan terletak di antara pia mater dan dura mater. Arteri = pembuluh darah berdinding tebal yang membawa darah beroksigen dari jantung ke jaringan di semua organ. Biplane angiography = standar untuk angiografi serebral yang memungkinkan untuk mendapatkan gambar ortogonal yang secara bersamaan dengan injeksi kontras tunggal sehingga membatasi waktu dan jumlah kontras yang dibutuhkan untuk memvisualisasikan pembuluh darah otak secara adekuat. Cairan serebrospinal = cairan yang berada di otak dan sterna serta ruang subrachnoid yang mengelilingi otak dan medulla spinalis. Cairan serebrospinal mempunyai tekanan yang konstan dan seluruh ruangan berhubungan satu sama lain. Cavernoma = kelainan vaskular otak yang ditandai dengan sinosoid yang dilapisi oleh endotel dan tidak memiliki parenkim otak di antara sinosoid tersebut. Cella media index = salah satu metode yang digunakan untuk menilai ukuran ventrikel terhadap jaringan otak dan atrofi serebri. Computed tomography (CT) perfusi = melukiskan jaringan iskemia (penumbra) dengan menunjukkan peningkatan waktu transit yang berarti penurunan aliran darah otak (CBF) dan volume darah otak normal atau meningkat (CBV), sedangkan jaringan infark bermanifestasi dengan nyata menurun CBF dan CBV menurun. Contrast-enhanced magnetic resonance angiography = merupakan teknik pilihan untuk pencitraan pada pembuluh darah yang banyak mengalami perkembangan tidak hanya pada kualitas gambar namun juga pada kecepatan, ketersediaan, dan kemudahan penggunaannya. CT angiography = pemeriksaan radiologi invasif minimal dengan memasukkan media kontras melalui pembuluh darah vena yang bertujuan untuk melihat pembuluh darah pada tubuh dengan menggunakan modalitas CT scan. Peran utamanya yaitu untuk menunjukkan arteri intrakranial dan dengan demikian dapat 347
membantu menentukan letak oklusi, menggambarkan diseksi arteri, aliran darah kolateral, dan penyakit aterosklerosis. CT scan = sebuah pemeriksaan di bidang medis seperti sinar-X konvensional yang menghasilkan pencitraan atau gambaran multipel dari struktur dalam tubuh. Digital subtraction angiography = modifikasi cerebral angiografi yang merupakan suatu upaya diagnostik dengan cara menginjeksikan kontras ke arah pembuluh darah menuju otak yang akan diperiksa melalui kateter. Dilator = kateter plastik pendek dengan ujung meruncing dan biasanya terbuat dari bahan yang lebih kaku daripada kateter angiografi diagnostik. Duramater = lapisan yang terdiri atas 2 lapis dan menempel rapat kecuali pada tempat-tempat tertentu yang terpisah dan membentuk sinus-sinus venosus, menutupi tabula interna kalvaria dan basis kranii. Embriologi = bidang ilmu yang mempelajari bagaimana sel tunggal membelah dan berubah selama perkembangan untuk membentuk organisme multiseluler. Faktor eksposi = faktor-faktor yang berpengaruh terhadap eksposi yang meliputi tegangan tabung (KV), arus tabung (mA), dan waktu eksposi. Gantry = beberapa perangkat yang keberadaannya sangat diperlukan untuk menghasilkan suatu gambaran yang terdiri atas tabung sinar-X, kolimator, dan detektor. Gantry tilt = sudut yang dibentuk antara bidang vertikal dengan gantry (tabung sinar-X dan detektor). Hematokrit = merupakan persentase dari jumlah sel darah merah yang menentukan viskositas darah. Infark lakunar = lesi kecil yang disebabkan oleh oklusi arteri perforans yang disebut juga “microstroke”, dengan ukuran mulai dari 1–1,5 cm. Iskemia penumbra = didefinisikan sebagai jaringan dengan fungsi yang terganggu, namun secara struktural bentuknya utuh yang mengelilingi daerah yang infark.
348
Pencitraan pada Stroke
Kolimator = alat yang berfungsi untuk mengurangi radiasi hambur, membatasi jumlah sinar yang sampai ke tubuh pasien, serta untuk meningkatkan kualitas gambar. Magnetic resonance angiography = suatu metode menciptakan gambaran pembuluh darah dengan MRI. MRA merupakan modalitas pencitraan di bidang medis yang dapat memperlihatkan gambaran pembuluh darah untuk tujuan diagnosis dan terapi. Magnetic resonance imaging = salah satu alat penunjang diagnostik yang cukup sensitif untuk mendeteksi kelainan pada jaringan otak dan sekitarnya. MRI mampu melakukan 3 macam irisan dan dapat membedakan jaringan lunak dibandingkan dengan alat pencitraan yang lain. Mesencephalon = segmen pendek batang otak di atas pons, melintang hiatus pada tentorium cerebelli, mengandung cerebral peduncles, tectum, colliculi (corpora quadrigeminal). Piamater = membran vaskular yang dengan erat membungkus otak, menutupi gyri dan menuruni sulki yang paling dalam. Penumbra = daerah perifer yang mengalami iskemia, tetapi masih hidup. Daerah ini mempertahankan terjadinya metabolisme energi dan hanya memiliki perubahan fungsional. Positron = atau anti elektron ialah antipartikel atau antimateri dari elektron. Positron memiliki muatan listrik sebesar +1e, spin ½, dan memiliki massa sama seperti elektron. Ketika positron berenergi rendah bertumbukan dengan elektron energi rendah, pemusnahan terjadi, yang menghasilkan foton sinar gamma. Positron emission tomography (PET) = adalah metode visualisasi metabolisme tubuh menggunakan radioisotop pemancar positron. Oleh karena itu, citra (image) yang diperoleh adalah citra yang menggambarkan fungsi organ tubuh. Fungsi utama PET adalah mengetahui kejadian di tingkat sel yang tidak didapatkan dengan alat pencitraan konvensional lainnya. Radiografi konvensional = pencitraan 2 dimensi dari struktur 3 dimensi sehingga bergantung pada kepadatan jaringan yang dilalui oleh sinar-X. Radionuklida = atau radioisotop adalah isotop dari zat radioaktif. Radionuklida mampu memancarkan radiasi. Radionuklida dapat terjadi secara alamiah atau sengaja dibuat oleh manusia dalam reaktor penelitian. Glosarium
349
Range = perpaduan/kombinasi dari beberapa slice thickness. Pemanfaatan range adalah untuk mendapatkan ketebalan irisan yang berbeda pada satu lapangan pemeriksaan. Rekonstruksi algoritma = prosedur matematis yang digunakan dalam merekonstruksi gambar. Rekonstruksi matriks = deretan baris dan kolom dari picture element (piksel) dalam proses perekonstruksian gambar. Sindroma subclavian steal = sindroma dimana darah “dicuri” dari sirkulus Willisi untuk mencukupi aliran darah ke ekstremitas superior. Single photon emission computed tomography (SPECT) = pencitraan fungsional otak dengan tomografi emisi foton tunggal (single photon emission tomography/SPET) yang memungkinkan gambar tiga dimensi aliran darah serebral yang berasal dari data dua dimensi. Sirkulasi vertebro-basilar = sirkulasi yang terdiri atas arteri vertebral, arteri basilar, dan posterior serebral anterior. Sirkulus Willisi = sistem anastomose yang terpenting di antara sistem karotid dan vertebrobasilar. Sirkulus ini juga menghubungkan sirkulasi hemisfer kiri dan kanan karena itu memberikan mekanisme yang memungkinkan untuk kompensasi hemodinamik pada kasus-kasus stenosis berat atau oklusi ICA dan/atau arteri basilar. Sistem vena profunda = sistem vena yang terdiri atas subependimal, terminal, kaudatus anterior, dan vena-vena septal yang bergabung menjadi internal cerebral vein (ICV). Slice thickness = tebalnya irisan atau potongan dari objek yang diperiksa. Stroke = gangguan pasokan darah otak yang dapat terjadi karena beberapa kondisi patologis termasuk aterosklerosis, trombosis, emboli, hipoperfusi, vaskulitis dan stasis vena yang dapat mempengaruhi pembuluh otak dan menyebabkan stroke. Stroke iskemia = tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Stroke iskemia merupakan akibat yang ditimbulkan secara umum oleh aterotrombosis pembuluh darah serebral, baik yang besar maupun yang kecil.
350
Pencitraan pada Stroke
Supine = merupakan posisi pasien terbaring terlentang dengan kedua tangan dan kaki lurus dalam posisi horizontal dan posisi ini merupakan posisi yang paling umum dilakukan. Teknik Seldinger = sebuah teknik yang dilakukan dengan pertukaran kateter dan memasukkan preshaped wire dan kateter. Tracer = disebut juga bahan radioaktif merupakan penanda yang memungkinkan dokter untuk melihat bagaimana darah mengalir ke jaringan dan organ. Transcranial color Soppler = merupakan pemeriksaan untuk mengukur blood flow velocity yang ditimbulkan oleh pembuluh darah basal intraserebral. Keuntungannya yaitu non invasif, murah, dapat dikerjakan dengan mesin yang portable, dan dapat digunakan untuk monitoring jangka panjang, serta mempunyai resolusi yang tinggi sehingga sangat ideal untuk memantau respon dinamik serebrovaskular. Transient ischemic attack (TIA) = gangguan neurologis fungsional yang mendadak dan terbatas pada wilayah vaskular dan biasanya berlangsung kurang dari 15 menit dengan resolusi lengkap selama 24 jam. Ultrasonografi = sebuah metode untuk memvisualisasikan bagianbagian internal tubuh atau janin dalam rahim dengan menggunakan gelombang suara ultrasonik, yaitu gelombang suara yang memiliki frekuensi sangat tinggi (250 kHz – 2000 kHz). Vena = pembuluh darah yang membawa darah menuju jantung. Darahnya banyak mengandung karbon dioksida. Umumnya terletak dekat permukaan tubuh dan tampak kebiru-biruan. Dinding pembuluhnya tipis dan tidak elastis. Watershed infark = lesi iskemia yang terjadi di lokasi dengan karakteristik di persimpangan antara dua wilayah arteri utama. Window level = nilai tengah dari window yang digunakan untuk penampilan gambar. Window width = rentang nilai computed tomography yang dikonversi menjadi gray levels untuk ditampilkan dalam TV monitor.
Glosarium
351
352
Pencitraan pada Stroke
Indeks A ACA 64 Agen pelindung saraf 15 Agitasi paradoks 139 Anamnesis 11 Aneurisma 29 Anatomi otak 45 Angiogram Persiapan -- 133 Anterior cerebral artery 64 Aplikasi Klinis TCD 195 Arachnoid 53 arteri basilaris 60 Arteri karotis interna 60, 62 Arteriotomi 148 Arteri vertebralis 60 Ateroma 14 Aterotrombotik Stroke -- 16 AVM 285
CT Scan 87–88 Chiasma Optikus 93 Cold spot 105 Collection effeciency 98 Computed tomographic angiography 159 Computed Tomography 93 Constant flush 138 Contrast-Enhanced MRA 187 Cornu anterior 91 Couch 80 CTA 159, 169 Indikasi -Kontraindikasi -CT angiografi Peran utama -- , 229 CT scan 93 Checklist membaca -- 87 Dasar-dasar -- 81 CT Scan prinsip kerja -- 81
B
D
Bahan kontras 139 Berat otak 59 Biplane angiography 141 Botterell Skala klinis -- 38
Daerah penumbra 15 Defisit neurologis fokal 35 Detektor 79 Diabetes Pasien -- 151 Diagnosis 10 Diagnostik kateter angiografi 131 Diencephalon 55 Dilator 137 DSA Definisi -- 130 Indikasi -- 131 Kontraindikasi -- 131 Peralatan -- 135
C Cairan Serebrospinal 56 Cavernoma 28 Cella media index 90 CEMRA 187 Cerebral amyloidosis 286 Cerebral hemispheres 55 Checklist
353
Pesawat -- 130 Serebral -- 130 Duramater 52
Gray matter 54 Guidewire 136 Gyri serebri 55
E
H
eGFR 134 Emboli jantung 16 Embriologi otak 45 Endapan lemak 14 Epidemiologi stroke 7 Evaluasi preprosedur DSA 132 MRI 123 preprosedur DSA 132
Hamil Pasien -- 151 Hand injection 140 Hct. lihat Hematokrit Hematokrit 213 Hemodinamik 17 Hipertensi 26 Hipofisis 93 Hipoglikemia 213 Houndsfield unit. lihat juga Nilai rata-rata HU
F Faktor eksposi 83 risiko 9 Falx 53 Fase kronis 16 subakut 18 Field of View 83 Fissura sylvii 55 FLAIR imaging 223 Flow effects 183–186 Flushing 140 ganda 140 Foley catheter 135 Foramen 56,58 Foton 79 FOV 83
G Ganglionik Sistem -- 68 Gantry tilt 83 Germinal Matrix HemorrhageIntraVentricular Hemorrhage 304 354
I Impairment 10 Indikasi CTA DSA 131 Infark hiperakut 237 lakunar 17 Isian gas 80
J Janin 64 Jarum 135
K Kaku kuduk 36 Katerisasi arteri karotis 147 arteri vertebralis 148 Kateter 137 angiografi 137 diagnostik 138 Navigasi -- 140 Katrin Holzer 194 Pencitraan pada Stroke
Kavernoma 283 Kawat pemandu 136 Klasifikasi stroke 8 hemoragik 8 iskemia 8 pembuluh darah 9 stadium/pertimbangan waktu 8 Koagulopati 150 Koefisien atenuasi 85 Kolimator 79 Komplikasi Angka -- 152 neuroangiografi 153 neurologis 152 non-neurologis 153 Kompresi manual 149 Konsul 80 Kontelasi klinis stroke 33 Kontraindikasi CTA DSA 131 Kortikal Sistem -- 68 Sistem arteri -- 69 Kriteria identifikasi pembuluh darah 209 Kriteria visualisasi pencitraan 85 k-space 189 Kulit kepala 50
L Laju frame digital 144 Laju frame DSA 144 Lebar vena optalmika 91 ventrikel III 91
M Magnetic resonance imaging 109 Indeks
MCA 65 Meja pemeriksaan 80 Meningen 52, 54 Metformin 151 Metode Seldinger 144 Middle cerebral artery 65 Mikropunktur 151 MRA Contrast-Enhanced -- 187 Perbandingan pemeriksaan -- 175 TOF -- 184 MR fluoroscopic 189 MRI 109 Interpretasi dasar -- 116 Parameter -- 115 Pencitraan -- 115 MRI kepala 120–122 MRI Kepala Interpretasi -- 123 Multiple mieloma penyakit --
N Navigasi kateter 140 Nervus optikus 92 Neural plate 76 Neurocranium 51 Neuroimaging 14, 21 Nilai atenuasi normal 90 Nilai rata-rata HU pada beberapa zat 86 Nyeri kepala 36
O Obat penenang 139 Onset 36 Ovulasi 46
355
P Pars servikal 69 Pasien diabetes 151 hamil 151 Pediatrik 40 Pemeriksaan fisik 11 penunjang 11 TCD 199 Pencitraan CEMRA 188 vaskular invasif 144 perfusi otak 225 Pengelolaan stroke 10 Penumbra Daerah -- 15 Penurunan aliran darah 15 Peralatan DSA 135 Perangkat penutupan vaskular 149 Perbaikan stroke 9 Perfusion-Weighted Imaging 225 Periode embrionik 45 Persiapan pasien 84 Pesawat DSA 130 PET 101, 102 Risiko -- 105 PET-CT 102 Phase Contrast 186 Piamater 53 Piksel 85 Posisi bola mata 92 Posisi pasien 84 Positron Emission Tomography 102 Post angiografi Manajemen -- 150 Prosedur CT scan 84 356
Proyeksi foto angiografi 141 Proyeksi PA standar dan lateral 142 Pulsatility index 198
R radio frekuensi tinggi 114 Radio frequency pulses 115 Radiografi 81, 94 Radiolog Peran -- 2 Radiologi intervensi 134 Radiopaque contrast 130 Range 83 Rekonstruksi algoritma 84 matriks 83 Restorasi aliran darah 15
S SCALP 76 Scan parameter 85 unit 78 Sedasi 139 Seldinger Metode -- 144 Teknik -- 145 Seldinger, Sven 144 Selubung 138 Serebral DSA 156 Sheath 138 Sinar-X 81–82 Sinus dural 72 kavernosus 73, 74 occipitalis 74 petrosal 73 petrosus inferior 75 petrosus superior 75 rektus 74 Pencitraan pada Stroke
sagitalis 74 sagitalis inferior 74 sagitalis superior 74 sigmoideus 74 transversus 74 venosus 73–74 Sirkulasi karotis 60 vertebro-basilar 60, 61 Sirkulasi karotis 60 Sirkulasi vertebro-basilar 61, 66 Sirkulus wilisi 62, 68, 70 Sirkulus willisi Skema -- 68 Sistem arterial intrakranial 60 ganglionik 68 konsul 80 kortikal 68 skoring 34 Allen 34 Siriraj 35 Skala Hess dan Hund 38 klinis 38 Skema pembagian otak 54 Skor ABCD 20 ROSIER 33 Skrening faktor risiko AKI 134 Slice thickness 83 Solid state 80 SPECT 98 Mesin -- 99, 100 Risiko -- 101 Spektral gelombang Doppler 196 Sphenoid wing 202 Standar emas 148, 149 Stroke aterotrombotik 16 Definisi WHO 5 hemodinamik 17 hemoragik 23 Indeks
iskemia 13 Stroke iskemia Definisi -- 13 Superakut 17 Sven Seldinger 144
T TCD 193 Aplikasi Klinis -- 195 Definisi -- 195 Kelemahan -- 214 operator 199 Pemeriksaan -- 199 Peralatan -- 198 posisi pasien 199 Prinsip Dasar -- 196 Teknik -- 195 Teknik Seldinger 145 subtraksi 130 TCD 195 Terapi insulin 151 TGC 201 TIA 19, 21 Time-Of-Flight 183 Times gain compensation 201 Tirah baring 149, 150 TOF MRA 184 Transcranial Color Doppler 193 Definisi -- 195 Transducer 198 Transformasi hemoragik 292 Transient ischemic attack 19, 21 Trombositopenia 151 Tulang tengkorak 51 Tumor 29, 287 Tusukan arteri femoralis 146
U Ukuran-ukuran normal dalam CT scan 90–92 357
Ultrasonografi 3
V Vascular closure devices 149 Vaskulitis 29 Vaskullitis 286 VCD. lihat Perangkat penutupan vaskular Velocity 197 Vena serebri 71 Venosus 73 Ventrikel 50, 57 Viscerocranium 51 Volume investigasi 85
W Warfarin 151 Watershed infark 19, 21 WFNS 38 White matter 54 Window 205 Contoh -- 86 level 84 submandibular 208 suboccipital 205 transorbital 207 transtemporal 200 width 84 Windowing 86
X Xanthochromia 36
Z Zat kontras intravaskular
358
Pencitraan pada Stroke
Riwayat Penulis
D
oktor yang bernama lengkap Yuyun Yueniwati ini lahir di Malang, 31 Oktober 1968. Ia merupakan anak pertama dari Bapak Wadjib (almarhum) dan Ibu R.A. Siti Suparsiyah (almarhum). Hasil pernikahannya dengan dr. Eko Arisetijono Sp.S. (K) membuahkan 2 orang putra dan seorang putri. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di SDN Ngaglik I Batu, Malang pada tahun 1981 lalu menempuh pendidikan menengah pertama di SMPN I Batu, Malang. Setelah itu, masuk pendidikan menengah atas di SMA PPSP IKIP Malang dan lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1987, ia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang dan lulus pada tahun 1994. Untuk mengembangkan kemampuannya sebagai dokter, ia mengambil Program Pasca Sarjana di Universitas Airlangga Surabaya dan lulus sebagai Magister (M.Kes.) dalam bidang ilmu FAAL pada tahun 2000. Ia berhasil menjadi lulusan terbaik IKD Pasca Sarjana UNAIR. Tidak berhenti di situ, ia pun melanjutkan studinya dengan mengambil spesialisasi radiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, dan lulus pada tahun 2007. Saat itu, ia berhasil meraih prestasi sebagai juara III Ujian Nasional BPNRI. Pendidikan tertingginya ia tempuh dengan mengambil Program Doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, dan lulus sebagai Doktor pada tahun 2012 dengan prestasi lulus dengan predikat cum laude dan sebagai wisudawan terbaik UNAIR periode Juli 2012. Pada tahun 2013, ia mendapatkan gelar konsultan Neuroradiologi dari Kolegium Radiologi Indonesia (KRI). Selain menempuh pendidikan formal di atas, ia juga menempuh beberapa pendidikan nonformal yang diikutinya baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam dunia tulis menulis, ia telah menerbitkan dua buku. Buku pertamanya yang berjudul “Prosedur Pemeriksaan Radiologi” dan buku keduanya dengan judul “Deteksi Dini Stroke Iskemia” telah mendapatkan insentif buku ajar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sementara itu, untuk buku ketiganya ini telah mendapatkan Program Hibah Penulisan Buku Ajar Perguruan Tinggi Tahun 2015 dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Direktorat
359
Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Awal karirnya dimulai dengan menjadi seorang dokter PTT di Puskesmas Bareng, Malang. Pada tahun 1996-sekarang, ia aktif sebagai pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya-RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Ia juga dipercaya sebagai Sekretaris Program Studi Radiologi FKUB dari tahun 2012 sampai sekarang.
360
Pencitraan pada Stroke