Pencantuman Peraturan Perundang-undangan di Dalam Dasar Hukum Mengingat (Tips menyusun Peratur Kamis, 22 Desember 2011 13:45 - Terakhir Diupdate Kamis, 22 Desember 2011 14:11
Dasar hukum mengingat merupakan salah satu bagian di dalam sistematika peraturan
perundang-undangan. Sistematika Peraturan Perundang-undangan sendiri terbagi atas
judul, pembukaan, batang tubuh, penutup, penjelasan, dan lampiran. Letak dasar hukum
mengingat di dalam sistematika tersebut ada di bagian pembukaan.
Jika kita membaca berbagai jenis peraturan perundang-undangan baik itu Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah,
dan lain-lain, maka pada bagian awal kita akan menemukan penyebutan peraturanperaturan
perundang-undangan yang didahului dengan kata �mengingat�.
Banyak orang yang tidak memahami apa fungsi pencantuman peraturan perundangundangan
di dalam dasar hukum mengingat tersebut, bahkan di kalangan praktisi penyusun
peraturan perundang-undangan yang dikenal dengan istilah �legal drafter� masih belum
mempunyai pemahaman yang sama terhadap fungsi dasar hukum mengingat dan
bagaimana teknik penulisan peraturan perundang-undangan yang dicantumkan.
Di dalam prakteknya, banyak juga yang menganggap dasar hukum mengingat seperti
daftar pustaka, sehingga segala peraturan perundang-undangan yang dirasa ada hubungan
dengan materi di dalam batang tubuh perlu untuk dicantumkan. Ada juga yang beranggapan
bahwa di dalam dasar hukum mengingat perlu mencantumkan sebanyak-banyaknya
peraturan karena jika peraturan tersebut tidak dicantumkan maka dianggap tidak berlaku
atau tidak diakui. Ketidaksepahamaman ini kadang menimbulkan perdebatan panjang
tentang perlu tidaknya pencantuman sebuah peraturan perundang-undangan dan terkadang
pula untuk menghindari perdebatan tersebut maka pencantuman peraturan perundangundangan
dilakukan secara asal, yang penting usul pencantuman peraturan dari salah satu
pihak dapat terakomodir.
Ketidaksepahaman tentang dasar hukum mengingat tidak hanya mengenai fungsinya
tetapi juga dari teknik penulisannya. Teknik penulisan peraturan perundang-undangan di
dalam dasar hukum mengingat cukup beragam, meskipun sudah ada kaidah-kaidah tentang
teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tetapi khusus tentang penulisan di
dalam dasar hukum mengingat masih banyak perbedaan-perbedaan gaya dan kreasi
penulisan yang dipengaruhi oleh tafsir masing-masing �drafter�. Dalam beberapa hal, masih
ada teknik penulisan yang belum disepakati akibat perkembangan-perkembangan terbaru di
dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
yang menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 memberikan
pedoman penulisan dasar hukum mengingat. Undang-Undang ini sebenarnya berusaha
memperbaiki atau menyempurnakan teknik di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004, tetapi ternyata masih ada beberapa hal yang belum terselesaikan sehingga
ketidaksepahaman tentang fungsi dan ketidakseragaman penulisan masih kerap terjadi.
Untuk mengurai masalah tersebut maka perlu sebuah pembahasan yang
mengkombinasikan teori hukum, peraturan perundang-undangan, dan tata bahasa sebagai
alat analisa.
Fungsi Dasar Hukum Mengingat
Di dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, pada butir 28 memberikan dua kategori untuk peraturan
perundang-undangan yang dapat dicantumkan dalam dasar hukum mengingat, yaitu:
a. dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
b. peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Kategori pertama, yaitu dasar kewenangan pembentukan peraturan perundangundangan
atau disebut juga dengan istilah landasan formil
1/5
Pencantuman Peraturan Perundang-undangan di Dalam Dasar Hukum Mengingat (Tips menyusun Peratur Kamis, 22 Desember 2011 13:45 - Terakhir Diupdate Kamis, 22 Desember 2011 14:11
konstitusional adalah peraturan
perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada sebuah lembaga untuk
membuat sebuah peraturan. Khusus untuk Peraturan Daerah, angka 39 Lampiran II
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa, dasar hukum pembentukan
Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah, dan Undang-
Undang tentang Pemerintahan Daerah.
Ketiga Peraturan-Perundang-undangan tersebut menjadi landasan formil
konstitusionil karena di dalamnya memberi kewenangan atributif kepada daerah untuk
membuat Peraturan Daerah. Kewenangan tersebut bersifat umum, artinya Daerah dapat
membuat Peraturan Daerah terkait kewenangan dan urusan yang dimiliki daerah dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi
khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi meskipun tidak ada perintah langsung dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi untuk membuat Peraturan Daerah.
Meskipun demikian apakah hanya tiga peraturan perundang-undangan tersebut yang
merupakan landasan formil konstitusional? Sedangkan di berbagai peraturan perundangundangan
lain ada juga yang memberikan kewenangan atributif kepada Daerah di dalam
bidang tertentu untuk membuat kebijakan, contohnya di dalam Undang-Undang Nomor 32
tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup di dalam Pasal 63 ayat (2) dan (3) memberikan
kewenangan kepada Daerah untuk menyusun kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di
tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai urusannya. Adapun bentuk kebijakan sendiri dapat
berupa regeling atau beschiking yang ditingkat daerah berupa Peraturan Daerah, Peraturan
Kepala Daerah, Keputusan Kepala Daerah, Surat Edaran, dan lain-lain. Contoh lain adalah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial khususnya dalam
Pasal 28 dan Pasal 30 yang memberi wewenang kepada Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk menetapkan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang
selaras dengan kebijakan pembangunan nasional di bidang kesejahteraan sosial.
Dengan demikian sebenarnya Landasan formil konstitusional yang dapat
dicantumkan di dalam Peraturan Daerah sebenarnya tidak terbatas pada tiga Peraturan
Perundang-undangan yang disebutkan dalam angka 39 Lampiran II Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2011, melainkan juga dapat mencantumkan Peraturan Perundang-undangan lain
yang di dalam batang tubuhnya terdapat Pasal yang secara eksplisit memberi wewenang
kepada Daerah untuk membuat kebijakan dalam bidang tertentu.
Kategori kedua, yaitu peraturan perundang-undangan yang memerintahkan
pembentukan peraturan perundang-undangan atau yang sering disebut landasan materiil
konstitusional adalah peraturan perundang-undangan yang di dalam batang tubuhnya
secara eksplisit menyebutkan perintah untuk membuat sebuah Peraturan Daerah dengan
materi tertentu, contoh : Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam Pasal 25 menyebutkan �Penetapan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan pada wilayah kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ditetapkan dengan Peraturan Daerah�. Jika di dalam batang tubuh terdapat norma yang
berbunyi perintah seperti contoh tersebut maka Peraturan Perundang-undangan tersebut
harus dicantumkan di dalam dasar hukum mengingat. Sebagai tambahan, peraturan
perundang-undangan yang dapat dicantumkan tentu saja peraturan perundang-undangan
yang masih berlaku.
Lalu bagaimana dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang tidak
memenuhi kedua kriteria tersebut tetapi berhubungan erat dengan materi
2/5
Pencantuman Peraturan Perundang-undangan di Dalam Dasar Hukum Mengingat (Tips menyusun Peratur Kamis, 22 Desember 2011 13:45 - Terakhir Diupdate Kamis, 22 Desember 2011 14:11
muatan di dalam
Peraturan Daerah, apakah tetap dicantumkan atau tidak dicantumkan? Sesuai dengan
teknik penyusunan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 maka peraturanperaturan
tersebut tidak perlu dicantumkan. Jika peraturan perundang-undangan yang
terkait perlu disebutkan maka hal tersebut dapat dilakukan di dalam penjelasan umum atau
penjelasan pasal demi pasal untuk menjelaskan keterkaitan Materi muatan Peraturan
Daerah dengan peraturan perundang-undangan terkait. Dengan demikian pencantuman
peraturan perundang-undangan yang terlalu banyak dan kesan dasar hukum mengingat
seperti daftar pustaka dapat dihindari.
Pendapat yang mengatakan bahwa dengan peraturan perundang-undangan yang
tidak dicantumkan berarti tidak diakui keberlakuannya dan tidak mengikat tentu saja tidak
tepat karena keberlakuan dan daya ikat sebuah peraturan perundang-undangan ditentukan
dengan diundangkannya sebuah peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara,
Berita Negara, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
Teknik Penulisan Dasar Hukum Mengingat.
Di dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 angka 44 sampai
dengan 52 memberikan panduan tentang bagaimana menuliskan Peraturan Perundangundangan
di dalam dasar hukum mengingat. Beberapa teknik penulisan dasar hukum
mengingat antara lain adalah sebagai berikut:
- Dasar hukum yang diambil dari pasal atau beberapa pasal Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau
beberapa pasal tersebut. Sedangkan dasar hukum yang bukan dari Undang-Undang
Dasar tidak perlu menyebutkan pasal.
- Penulisan jenis peraturan perundang-undangan diawali dengan huruf kapital.
- Penulisan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dilengkapi dengan pencantuman
Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
- Penulisan Peraturan Daerah dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman
Lembaran Daerah dan Tambahan Lembaran Daerah yang diletakkan di antara tanda
baca kurung.
- Dasar hukum yang berasal dari Peraturan Perundang-undangan zaman Hindia Belanda
atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda atau yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis dulu
terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan kemudian judul asli Bahasa Belanda dan
dilengkapi dengan tahun dan nomor Staatblad yang dicetak miring diantara tanda baca
kurung.
Contoh penulisan:
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
Mengingat : 1. �;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel,
Staatblad 1847:23);
Meskipun pedoman teknik penulisan dasar hukum mengingat sudah diatur, tetapi ternyata
masih ada cara penulisan dasar hukum mengingat yang belum seragam. Penulisan yang
belum seragam tersebut adalah dalam hal pencantuman peraturan perundang-undangan
yang telah mengalami perubahan, terutama peraturan perundang-undangan yang telah
mengalami perubahan lebih dari sekali. Berikut ini adalah contoh dari ketidakseragaman
penulisan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di dalam
dasar hukum mengingat di berbagai Peraturan Perundang-undangan:
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
3/5
Pencantuman Peraturan Perundang-undangan di Dalam Dasar Hukum Mengingat (Tips menyusun Peratur Kamis, 22 Desember 2011 13:45 - Terakhir Diupdate Kamis, 22 Desember 2011 14:11
/>Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Contoh 2
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
(menggunakan frase beberapa kali terakhir dengan)
Contoh 3
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
(setelah kata diubah diberi tanda koma dan tidak ada kata beberapa kali)
Contoh 4
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
(Tidak menyebut judul Undang-Undang perubahan)
Dari keempat contoh tersebut maka ketidakseragaman yang terlihat adalah
penggunaan frase beberapa kali terakhir dengan dan penyebutan nama peraturan yang
mengubah.
Untuk penyebutan nama peraturan yang mengubah memang sudah seharusnya
dicantumkan secara lengkap karena sesuai dengan teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan bahwa dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar perlu
menyebut jenis dan nama peraturan perundang-undangan tersebut, tentunya termasuk
peraturan yang mengubahnya harus dituliskan secara lengkap karena itu akan memberi
penjelasan untuk kali ke berapa peraturan tersebut telah diubah.
Sedangkan penggunaan frase �beberapa kali terakhir dengan� merupakan sebuah
perkembangan di dalam praktek yang menjadi kebiasaan dan diikuti oleh banyak drafter. Hal
tersebut juga tidak diatur secara khusus di dalam teknik peraturan perundang-undangan dan
karena hanya sebuah kebiasaan tentu saja tidak memiliki konsekuensi hukum jika tidak
diikuti. Sebuah pendapat menyatakan bahwa kata beberapa digunakan jika sebuah
peraturan perundang-undangan telah dilakukan lebih dari 3 (tiga) kali). Hal ini jika dikaji dari
sisi bahasa tentu saja kurang tepat karena kata beberapa di dalam kamus bahasa Indonesia
merupakan nomina tidak tentu, artinya kata beberapa digunakan jika seseorang tidak
mengetahui secara pasti tentang sebuah jumlah. Kata beberapa sendiri berarti lebih dari dua
tetapi tidak banyak.
Contoh:
Beberapa anak bermain di jalan.
Saya memiliki beberapa buku di rumah.
Saya bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.
Contoh di atas menyebutkan jumlah tak tentu yang disebabkan si subjek tidak dapat
menjelaskan berapa banyak jumlah anak, buku, atau hari tersebut. Tentu saja jika ini
digunakan di dalam bahasa peraturan perundang-undangan menjadi tidak tepat karena
secara jelas di dalam dasar hukum mengingat maka nama peraturan yang mengubah harus
disebut secara jelas (contoh 1, 2, dan 3), artinya
4/5
Pencantuman Peraturan Perundang-undangan di Dalam Dasar Hukum Mengingat (Tips menyusun Peratur Kamis, 22 Desember 2011 13:45 - Terakhir Diupdate Kamis, 22 Desember 2011 14:11
banyaknya perubahan diketahui secara
pasti jumlahnya yaitu dua kali.
Terhadap contoh 1, beberapa drafter berpendapat bahwa rumusan seperti itu kurang
menjelaskan riwayat perubahan, seolah-olah perubahan hanya dilakukan satu kali yaitu oleh
peraturan perundang-undangan perubahan yang disebutkan dan tidak mengakui
perubahan-perubahan sebelumnya sehingga kemudian frase �beberapa kali terakhir
dengan� ditambahkan dengan maksud untuk menjelaskan historis perubahan seperti yang
terlihat di dalam contoh 2. Tetapi penulis sendiri berpendapat bahwa dari segi tata bahasa
penggunaan frase tersebut tidak tepat karena terjadi ketidakkonsistenan dan pertentangan
makna beberapa yang merupakan nomina tak tentu dengan nama judul peraturan
perubahan yang menyebut secara pasti jumlah perubahan tersebut. Sebagai jalan tengah,
rumusan contoh 3 merupakan rumusan yang ideal yang dapat mengakomodir pendapat
para drafter tentang riwayat perubahan sebuah peraturan perundang-undangan tanpa harus
mempertentangkan makna tak tentu dengan jumlah perubahan di dalam nama peraturan
perundang-undangan yang mengubah.
Pemahaman yang benar atas pencantuman peraturan perundang-undangan dan
penulisannya di dalam dasar hukum mengingat setidaknya akan mengurangi perdebatan
yang tidak perlu diantara para drafter pada awal-awal penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah, sehingga perdebatan lebih fokus kepada hal-hal yang substantif di dalam batang
tubuh.
? Penulis adalah Perancang Muda Peraturan Peraturan Perundang-undangan pada Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia DIY.
5/5