MEDICAL REVIEW
Penatalaksanaan Gangguan Saluran Cerna dalam Kehamilan M. Adi Firmansyah PPDS Tahap Mandiri – Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo
ABSTRAK Selama kehamilan, hampir semua sistem organ termasuk gastrointestinal mengalami perubahan fisiologi. Keluhan gastrointestinal yang muncul pun beragam seperti mual, muntah, hiperemesis gravidarum, hingga penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal reflux disease/GERD). Mual dan muntah dialami sekitar 60%-70% perempuan pada trimester pertama kehamilan, hiperemesis terjadi pada 0,5% kehamilan dan heartburn terjadi pada 50%-80% kehamilan. Patogenesis yang mendasari gangguan gastrointestinal ini dikaitkan adanya perubahan hormon selama kehamilan, penurunan tekanan sfingter esofagus bawah, penurunan motilitas lambung, efek mekanik uterus gravid hingga faktor psikologis. Terapi yang diberikan tentunya harus memperhatikan manfaat dan risiko terutama keamanan obat tersebut dalam kehamilan. Kata kunci: kehamilan, mual, muntah, hiperemesis gravidarum, gerd
PENDAHULUAN Secara fisiologis, tubuh wanita hamil akan melakukan adaptasi, antara lain dengan perubahan anatomi, fisiologi serta biokimiawi sebagai adaptasi tubuh terhadap kehamilannya. Hampir semua sistem organ termasuk gastrointestinal mengalami perubahan fisiologi selama kehamilan. Keluhan gastrointestinal selama kehamilan antara lain muntah, hiperemesis gravidarum, penyakit refluks gastroesofageal, dan konstipasi.1 Mual terjadi pada hampir 50%-90% kehamilan dan muntah sekitar 25%-55% kehamilan Meski begitu keduanya bersifat self-limiting.2 Sebagian besar perubahan yang terjadi selama kehamilan ini akan kembali normal setelah selesainya masa persalinan dan laktasi. Secara umum, kehamilan lebih banyak mempengaruhi motilitas saluran cerna dibandingkan pengaruh terhadap fungsi sekresi dan absorbsi.1 Sekresi asam lambung dilaporkan juga mengalami peningkatan pada kondisi kehamilan,3,4,5 meski laporan lainnya menyebutkan bahwa tidak terjadi peningkatan.6,7 Perubahan motilitas ini terjadi pada hampir seluruh saluran cerna dan dikaitkan dengan peningkatan hormon selama kehamilan. Selain itu, uterus yang membesar dapat mengganggu waktu pengosongan lambung dan juga mempengaruhi gambaran klinis gangguan saluran cerna seperti apendisitis.7 Artikel ini akan membahas gangguan gastrointestinal terkait asam lambung yang terjadi selama kehamilan yakni mual, muntah, hiperemesis gravidarum dan penyakit refluks gastroesofageal. PERUBAHAN HORMON SELAMA KEHAMILAN Tiga hormon yang berperan pada perubahan fisiologi gastrointestinal adalah hormon hCG (human chorionic gonadotropin), progesterone dan estrogen. Hormon hCG yang disekresi oleh trofoblas dan kemudian oleh plasenta mencapai puncaknya pada trimester pertama kehamilan. Hormon ini berfungsi untuk menyokong corupus luteum sampai plasenta dapat menghasilkan progrestron untuk menyokong implantasi. Kadar puncak hormon ini selama trimester pertama kehamilan diduga berperan dalam patogenesis terjadinya keluhan mual dan muntah serta hiperemesis gravidarum. HcG memiliki struktur yang mirip sekitar 85% dengan hormon TSH (thyroid stimulating hormone) sehingga dapat
46
MEDICINUS
Vol. 27, No. 1 April 2014
medical review
berikiatan dengan reseptor TSH di kelenjar tiroid dan merangsang produksi kelenjar tiroid meski bersifat stimulator tiroid yang lemah. Diduga terjadinya hiperemesis bertalian langsung dengan kelenjar tiroid yang hiperaktif bukan dari hCG yang berlebihan karena seiring dengan membaiknya emesis maka hipertiroidnya juga membaik. Kondisi ini dikenal dengan istilah gestational transient thyrotoxicosis.8,9 Progesteron dan estrogen memiliki efek yang kuat terhadap otot polos uterus untuk mempertahankan miometrium dalam keadaan yang relatif relaksasi. Pengaruh ini juga terjadi pada otot polos sistem organ lain termasuk gastrointestinal. Selain itu, progestron juga menyebabkan waktu pengosongan lambung dan waktu transit intestinal memanjang sehingga dipikirkan menjadi faktor predisposisi terjadi mual dan muntah.10 MUAL, MUNTAH, DAN HIPEREMESIS GRAVIDARUM Mual dan muntah dialami sekitar 60%-70% perempuan pada trimester pertama kehamilan. Gejala ini merupakan bagian dari spektrum normal kehamilan trimester pertama dan umumnya membaik pada usia kehamilan 12-16 minggu. Istilah morning sickness yang lazim digunakan sehari-hari sebenarnya tidak terlalu tepat mengingat kondisi dapat terjadi pada setiap waktu bahkan dapat terjadi terus menerus sepanjang hari. Namun begitu, sebagian besar perempuan hamil yang mengalami mual dan muntah selama kehamilan umumnya dapat tetap cukup minum dan makan. Jika terjadi gejala mual dan muntah yang berat serta persisten sehingga mengakibatkan dehidrasi, gangguan asam basa dan elektrolit atau defisiensi nutrisi disebut sebagai hiperemesis gravidarum. Jika mual dan muntah dikatakan sebagai spectrum normal dari kehamilan maka kondisi hiperemesis ini dikatakan sebagai keadaan yang ekstrim. Diperkirakan 0,5% perempuan hamil mengalami kondisi ini. Tidak seperti mual dan muntah yang lebih ringan dan fisiologis, hiperemesis dapat berakibat buruk pada ibu hamil ataupun janin. Bila tidak ditatalaksana dengan adekuat dan tepat, hiperemesis dapat menyebabkan komplikasi pada ibu seperti ensefalopati Wernicke (dikaitkan dengan 40% kematian janin), central pontine myelinolisis, dan kematian.10,11,12 Patogenesis Patogenesis mual dan muntah sejatinya masih diperdebatkan namun beberapa teori telah diajukan seperti peningkatan hormon hCG. Pada sebuah studi komparatif, dilaporkan bahwa perempuan hamil yang mengalami keluhan mual dan muntah didapatkan peningkatan kadar hormon hCG12 meski studi lainnya tidak mendukung hal ini.13 Peranan hormon progesterone dan estrogen terhadap timbulnya mual muntah tampaknya sebagai mediator terjadinya gangguan motilitas lambung. Sebuah studi yang dilakukan Walsh dkk mendapati bahwa pada perempuan hamil yang mengalami mual muntah terdapat gangguan irama lambung (gastric dysrithmia) melalui pengukuran elekrogastrografi. Penelitian itu membandingkan dengan perempuan tidak hamil yang diberikan hormon progesterone dan atau estrogen, yang juga mengalami gangguan irama lambung dan mengalami keluhan mual muntah.14 Peranan sekresi asam lambung terhadap keluhan mual dan muntah tidak banyak dilaporkan. Peningkatan sekresi asam lambung selama kehamilan tampaknya lebih berperan terhadap patogenesis timbulnya penyakit refluks gastroesofageal selama kehamilan. Patogenesis hiperemesis gravidarum juga belum sepenuhnya jelas. Studi-studi menunjukkan hubungan langsung antara beratnya hiperemesis (yang ditandai dengan hasil tes fungsi hati dan gangguan elektrolit) dengan peningkatan kadar tiroksin, kadar homon hCG, dan kadar estriol. Selain itu, overaktif aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal, sistem imunitas yang overaktif, defisiensi vitamin, distensi saluran pencernaan bagian atas, disfungsi otonom, gangguan pengosongan lambung dan faktor psikologi juga dilaporkan berperan dalam terjadinya hiperemesis gravidarum.10,15 Infeksi Helicobacter pylori lebih sering ditemukan pada perempuan hamil dengan komplikasi hiperemesis gravidarum. Hayakawa dkk mendapati 61,8% perempuan hamil dengan hiperemesis ternyata positif terinfeksi Helicobacter pylori dan pemberian antibiotik dapat mengurangi keluhan mual dan muntah pada pasien dengan hiperemesis.17 Penurunan tekanan LES (lower esophageal sphincter), penurunan peristalsis gaster dan lambatnya pengosongan lambung dapat memperberat gejala hiperemesis meski diduga kondisi ini
Vol. 27, No. 1 April 2014
MEDICINUS
47
medical review
bukan penyebab tersendiri. Gambar 1 menunjukkan betapa rumitnya patogenesis dari hiperemesis gravidarum. Diagnosis Pada perempuan hamil, kondisi mual, muntah, produksi air liur berlebihan (ptyalism) dan hiperemesis biasanya terjadi antara minggu ke-6 dan ke-8 kehamilan dan membaik pada trimester kedua. Jika keluhan muncul setelah 12 minggu sejak amenore biasanya tidak berkaitan dengan hiperemesis gravidarum sehingga sebaiknya dipikirkan penyebab lain mual dan muntah ini. Karena hiperemesis umumnya berulang maka anamnesis riwayat hiperemesis pada kehamilan sebelumnya akan membantu mengarahkan diagnosis. Kehilangan berat badan dan massa otot dapat terjadi pada kasus-kasus yang berat. Begitu juga dengan gangguan cairan dan elektrolit, dehidrasi, keton uria dan asetonuria. Idealnya, usia kehamilan secara pasti harus diketahui dengan bantuan ultrasonografi uterus yang juga dapat membantu mengonfirmasi ada tidaknya kehamilan ganda ataupun mola hidatidosa. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang memberikan gambaran spesifik untuk hiperemesis. Umumnya yang dapat ditemui adalah abnormalitas fungsi hati, gangguan elektrolit, gangguan fungsi tiroid (penurunan kadar TSHs, peningkatan T4 bebas), dan ketonuria. Pada saat hiperemesis perbaikan, umumnya abnormalitas hasil laboratorium kembali normal.10,11 Diagnosis banding hiperemesis gravidarum yang perlu dipikirkan adalah gastritis, ulkus peptikum, hepatitis, pancreatitis, obstruksi usus, hiperparatiroidism, hipertiroidism, IBS, nefrolitiasis, infeksi saluran kemih hingga uremia.10
Gambar 1. Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis hiperemesis gravidarum (HG).15 Panah dengan garis sambung menunjukkan faktor yang telah diteliti. Garis putus-putus menunjukkan masih hipotesis. ACTH=adrenocorticotropic hormon; GIT=gastrointestinal tract; LESP=lower esophageal sphincter pressure
48
MEDICINUS
Vol. 27, No. 1 April 2014
medical review
Tata Laksana Umumnya, tata laksana mual dan muntah disesuaikan dengan beratnya keadaan. Pasien dapat dianjurkan untuk makan dengan porsi kecil namun sering (small but frequent) dan juga menghindari makanan/minuman ataupun kondisi yang dapat mencetuskan mual dan muntah. Medikamentosa umumnya jarang digunakan. Namun pada kondisi mual dan muntah sehingga timbul dehidrasi dan gangguan asupan maka terapi cairan intravena dan atau nutrisi parenteral dapat diberikan. Pemberian cairan infus dekstrose tidak dianjurkan karena selain dapat mencetuskan ensefalopati Wernicke, pada hiperemesis umumnya terjadi gangguan elektrolit sehingga cairan yang sesuai adalah normal saline atau ringer lactate atau cairan Hartmann.10,11,15 Suplementasi vitamin B1 (thiamin) hendaknya diberikan pada perempuan hamil yang memerlukan perawatan karena hiperemesis. Thiamin dapat diberikan per oral dalam bentuk tablet thiamin hidroklorida 3 x 25–50 mg. Jika tidak dapat mentolerir pemberian oral maka dapat diberikan secara intravena seminggu sekali dengan melarutkan 100 mg thiamin dalam 100 cc normal saline dan diinfus dalam 30–60 menit. Sedangkan pemberian vitamin B6 (piridoksin) diketahui dapat mengurangi mual namun tidak mengurangi muntah secara signifikan.15 Obat antiemetik seperti antagonis dopamine (metoclopramid dan domperidon misalnya Vometa®), fenotiazin (chlorpromazine dan prochlorperazine) dan antihistamin (promethazine) dari berbagai penelitian menunjukkan kurangnya efek teratogenik. Antihistamin (H1 blockers) seperti ranitidin diketahui aman untuk kehamilan sedangkan omeprazole termasuk kelas C (tidak dianjurkan pada ibu hamil). Meski infeksi Helicobacter pylori berperan dalam patogenesis hiperemesis gravidarum, tidak serta merta menjadikan terapi eradikasi langsung diberikan. Hal ini terkait karena masalah keamanannya.10,11,15 Terapi alternatif seperti bubuk jahe (powdered ginger root) diketahui memberikan efek signifikan dibandingkan plasebo dalam mengurangi gejala hiperemesis gravidarum.10,11 Pada kasus-kasus mual dan muntah yang persisten dengan pemberian terapi anti-emetik maka pemberian kortikosteroid dapat dibenarkan. Safari dkk melaporkan tingkat keberhasilan pem-
Vol. 27, No. 1 April 2014
berian metilprednisolon oral sebesar 94% pada 18 pasien dengan hiperemesis refrakter. Dosis metilprednisolon yang diberikan adalah 48 mg per hari selama 3 hari yang kemudian dititrasi turun dalam 2 minggu.16 Dukungan emosional hendaknya tidak dilupakan dalam penatalaksanaan hiperemesis mengingat adanya peranan faktor psikologi dalam patogenesisnya. Sikap yang bersahabat dari dokter dan staf medis akan membantu menentramkan hati pasien. Pada beberapa kasus, psikoterapi suportif, terapi perilaku (misalnya cognitive behavioral therapy) hingga hipnoterapi dilaporkan membantu pengobatan hiperemesis.10,11 PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL Gejala heartburn atau disebut juga sebagai pirosis diperkirakan terjadi pada 50%-80% perempuan hamil.18 Selain keluhan heartburn, perempuan hamil juga dapat mengalami refluks yang sering ditandai dengan batuk persiten dan mengi. Keluhan biasanya muncul saat akhir trimester kedua bahkan dapat menetap hingga masa partus dan dapat menjadi prediktor berkembangnya penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease/GERD) yang berulang.17 Faktor risiko terjadinya GERD ini pada kehamilan antara lain multiparitas, usia ibu saat hamil, peningkatan berat badan yang berlebihan, dan riwayat heartburn pada kehamilan sebelumnya.18 Meskipun terkadang keluhan dapat menjadi berat, namun esofagitis jarang terjadi dan biasanya GERD ini membaik setelah masa melahirkan. Patogenesis Mekanisme yang mendasari terjadinya GERD pada perempuan hamil dikaitkan dengan adanya perubahan hormon yang mempengaruhi motilitas esofagus, penurunan tonus otot sfinger esofagus bawah (lower esophageal sphincter/LES), dan pengosongan lambung. Kompresi lambung dan peningkatan tekanan intraabdominal akibat pembesaran uterus juga diyakini berperan dalam terjadinya GERD ini. Namun secara umum, dua mekanisme yang dapat menjelaskan terjadinya GERD adalah berkurangnya tekanan sfingter esofagus bawah dan efek mekanik uterus gravid.17 Penurunan tekanan LES diperkirakan sebagai akibat peranan hormon estrogen dan progesteron dan juga dikaitkan dengan efek mekanik dari
MEDICINUS
49
medical review
uterus gravid meski hanya sedikit.18,19 Diduga bahwa kompetensi LES memang sudah terganggu sejak awal kehamilan meskipun belum menunjukkan gejala yang berarti. Hormon progesterone saja ataupun kombinasi dengan estrogen dapat menurunkan tekanan LES sepanjang masa kehamilan, dimana titik nadirnya terjadi sesaat sebelum melahirkan. Hal ini dikaitkan karena pada saat tersebut, kadar hormon estrogen dan progesteron mencapai puncaknya. Selama kehamilan, LES sangat dipengaruhi oleh tekanan ekstrinsik maupun faktor intrinsik. Misalnya pembesaran uterus meningkatkan tekanan intra-abdominal dan tekanan intra gaster serta mengubah posisi menempati sfingter esofagus bawah sehingga segmen intra-abdominal LES menjadi hilang. Faktor mekanik lain yang diduga berperan adalah adanya perubahan struktur anatomi sekitar LES, terbentuknya hiatal hernia, dan melambatnya pengosongan lambung. Selain itu, dilaporkan juga bahwa kemampuan pembersihan esofagus menurun akibat meningkatnya frekuensi kontraksi-kontraksi meski dengan amplitudo yang rendah.10 Diagnosis Gambaran klinis GERD pada kehamilan tidak jauh berbeda dengan kondisi populasi umum dimana heartburn menjadi gejala utama selain regugirtasi, mual, muntah dan disfagia. Gambaran klasik heartburn biasanya berupa rasa panas substernal yang terjadi setelah makan atau pada keadaan posisi berbaring. Jangan lupa bahwa gejala refluks kerap mirip dengan gejala batuk persisten, mengi ataupun nyeri dada. Gejala-gejala GERD ini umumnya timbul pada akhir trimester kedua dan dapat memburuk selama trimester ketiga. Namun begitu, komplikasi yang ditimbulkan jarang berakibat serius. Komplikasi yang dapat terjadi misalnya esofagitis, perdarahan dan striktur. Gejala heartburn memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi (hampir 90%) untuk mendiagnosis GERD sehingga seringkali pemeriksaan penunjang radiologi tidak diperlukan selain karena alasan teratogenisitas radiasi. Meski manometri esofagus dan endoskopi aman dilakukan selama kehamilan namun jarang dilakukan. Endoskopi hanya dilakukan bila dicurigai terjadi komplikasi seperti striktur atau ulserasi. Sedasi yang digunakan dalam endoskopi misalnya midazolam, meperidine, fentanil, dan diazepam cukup aman digunakan meskipun FDA mengkategorikan meperidine dan fen-
50
MEDICINUS
tanil sebagai kategori C serta midazolam dan diazepam sebagai kategori D. Karena alasan inilah, maka sebaiknya esofagogastroduodenoskopi sebaiknya dilakukan hanya pada kasus-kasus refrakter dengan obat-obatan atau bila ada komplikasi serius. EGD sebaiknya ditunda sampai setelah melewati trimester pertama kehamilan. Tata Laksana Tujuan utama tata laksana adalah untuk mengurangi refluks dan netralisasi volume lambung. Umumnya untuk gejala yang ringan, dapat dilakukan dengan modifikasi perilaku dan diet seperti menghindari berbaring atau terlentang setelah makan, menghindari makanmakanan tertentu yang mencetuskan sekresi asam lambung (misalnya kopi, coklat, alkohol, makanan asam ataupun makanan berlemak, dan me-rokok), serta dengan meninggikan kepala saat berbaring.10,18 Pada gejala GERD sedang sampai berat, dapat dilakukan pemberian obat-obatan dengan mempertimbangkan manfaat dan risikonya terhadap kehamilan. Antacid dan sukralfat dianggap aman sebagai terapi lini pertama bila digunakan pada trimester pertama dan ketiga kehamilan.18,19 Antacid berbasis magnesium harus dihindari karena magnesium sulfat dapat mengganggu kotraksi otot persalinan dan dapat menyebabkan kejang. Begitu juga dengan antacid yang mengandung natrium-bikarbonat, karena dapat menyebabkan alkalosis metabolik pada ibu dan janin serta dapat mengakibatkan retensi cairan. Pada perempuan hamil dengan anemia defisiensi besi yang mendapatkan preparat besi, pemberian antacid ini sebaiknya diberikan dengan waktu berbeda untuk menghindari interaksi yang dapat mengganggu absorbsi besi.10 Jika tidak ada respon, maka dapat dilanjutkan dengan pemberian antagonis reseptor H-2 yakni ranitidine. Simetidin harus dihindari karena adanya efek anti-androgenik. Penghambat pompa proton (proton pump inhibitor–PPI) sebaiknya diberikan pada kasus-kasus dengan gejala persisten atau bila ada komplikasi.18,19 Omeprazol tidak boleh diberikan selama kehamilan karena termasuk kategori C (menimbulkan efek teratogenik pada janin) sedangkan golongan PPI lainnya termasuk kategori B.18 Tabel 1 berikut menunjukkan keamanan obat GERD dalam kehamilan dan algoritma tata laksana GERD dalam kehamilan disajikan dalam gambar 2.
Vol. 27, No. 1 April 2014
medical review
reference 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. 12.
13.
14. 15. 16. 17. 18.
Gambar 2. Algoritme terapi GERD pada kehamilan.10
Vol. 27, No. 1 April 2014
19.
Roy PK, Chelmow D. Gastrointestinal disease and pregnancy. http://www. emedicine.medscape.com; 2011. [disitasi 1 September 2012].. Koch KL. Gastrointestinal factors in nausea and vomiting of pregnancy. Am J Obstet Gynecol 2002;186:198-203. Lilja B, Svensson SE, Gastric secretion during pregnancy and lactation in the rat. J Physiol 1967;190:261-72. Crean GP, Rumsey RD. Hyperplasia of the gastric mucosa during pregnancy and lactation in the rat. J Physiol 1971;215:181-97. Al-Amri SM. Twenty-four hour pH monitoring during pregnancy and at postpartum: a preliminary study [abstrak]. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2002;102:127-30. Bianco A, Lockwood CJ, Barss VA. Maternal gastrointestinal tract adaptation to pregnancy. Uptodate; 2012. [disitasi 1 September 2012]. Tersedia di: http://www.uptodate.com. Waldum HL, Straume BK, Lundgren R: Serum group I pepsinogens during pregnancy [abstrak]. Scand J. Gastroenterology 1980; 15:61-63. Glinoer D. The regulation of thyroid function in pregnancy: pathways of endocrine adaptation from physiology to pathology. Endocrine Reviews 1997;18:404-34. Fantz CR, Jack SD, Ladenson JH, Gronowski AM. Thyroid function during pregnancy. Clinical Chemistry 1999;45:2250-8. Fauzi A, Rani AA. Gangguan sistem gastrointestinal pada kehamilan. Dalam: Laksmi PW, Alwi I, Setiati S, Mansjoer A, Ranita R; editor. Penyakitpenyakit pada kehamilan: peran seorang internis. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam 2008; 91-102. Malagelada JR, Malagelada C. Nausea and Vomiting. Dalam: Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ, editor. Sleisenger and Fordtran’s gastrointestinal and liver disease. Edisi ke-9. Philadelphia: Saunders 2010: 197-209. Masson GM, Anthony F, Chau E. Serum chorionic gonadotrophin (hCG), schwangerschaftsprotein 1 (SP1), progesterone and oestradiol levels in patients with nausea and vomiting in early pregnancy [abstrak]. Br J Obstet Gynaecol 1985;92:211-5. Soules MR, Hughes CL Jr, Garcia JA, Livengood CH, Prystowsky MR, Alexander E. Nausea and vomiting of pregnancy: role of human chorionic gonadotropin and 17-hydroxyprogesterone [abstrak]. Obstet Gynecol 1980;55:696-700. Walsh JW, Hasler WL, Nugent CE, Owyang C. Progesterone and estrogen are potential mediators of gastric slow-wave dysrhythmias in nausea of pregnancy [abstrak]. Am J Physiol 1996;270:506-14. Verberg MFG, Gillott DJ, Al-Fardan N, Grudzinskas N. Hyperemesis gravidarum, a literature review. Human Reproduction Update 2005;5:527–39. Safari H, Alsulyman O, Gherman R, Goodwin TM. Experience with oral methylprednisolone in the treatment of refractory hyperemesis gravidarum [abstrak]. Am J Obstet Gynecol 1998; 178:1054-8 Hayakawa S, Nakajima N, Karasaki-Suzuki M, Yoshinaga H, Arakawa Y, Satoh K, et al. Frequent presence of Helicobacter pylori genome in the saliva of patients with hyperemesis gravidarum. Am J Perinatol 2000;17:243-7. Esposti SD, Reinus JF. Gastrointestinal and hepatic disorders in the pregnant patient. Dalam: Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ, editor. Sleisenger and Fordtran’s gastrointestinal and liver disease. Edisi ke-9. Philadelphia: Saunders 2010: 625-38. Richter JE: Gastroesophageal reflux disease during pregnancy [abstrak]. Gastroenterol Clin North Am 2003; 32:235.
MEDICINUS
51