CONTINUING MEDICAL EDUCATION CONTINUING CONTINUING MEDICAL MEDICAL EDUCATION EDUCATION
Akreditasi PB IDI–3 SKP
Penatalaksanaan Farmakologis Nyeri pada Lanjut Usia Jimmy Barus Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK Sejalan dengan meningkatnya populasi lansia, maka meningkat pula jumlah kasus nyeri terkait disabilitas dan perubahan degeneratif pada kelompok ini. Penggunaan analgetik pada lansia perlu pertimbangan khusus. Secara umum, asetaminofen/parasetamol merupakan pilihan pertama untuk kasus nyeri muskuloskeletal dengan pemantauan dosis dan efek samping. Jika perlu, COX 2 inhibitor lebih diutamakan untuk menghindari efek gastrointestinal, dan pemberian aspirin bersama PPI (Proton Pump Inhibitor) untuk mengurangi risiko kardiovaskuler. Penggunaan OAINS (Obat Anti-inflamasi Nonsteroid) sedapat mungkin dibatasi, karena berkaitan dengan efek samping gastrointestinal dan peningkatan risiko gangguan kardiovaskuler. OAINS harus dihindari pada gangguan ginjal. Opioid secara umum dianggap lebih aman, tetapi efek samping harus tetap diperhatikan. Analgetik adjuvan yang dianjurkan adalah antikonvulsan golongan gabapentin dan pregabalin, dan antidepresan golongan SNRI (Serotonin Norepinephrin Reuptake Inhibitor). Kata kunci: Nyeri, lanjut usia, penatalaksanaan farmakologis
ABSTRACT The increase of elderly population resulted in increasing problem of pain connected to degenerative diseases and disabilities. The use of analgetics among elderly needs special consideration. Acetaminophen/paracetamol is still the first choice for musculoskeletal pain with dose and side effect monitoring. COX2 inhibitor is preferred to avoid gastrointestinal effect, and aspirin in combination with PPI is used to minimize cardiovascular risk. NSAID (Nonsteroidal Anti-inflammatory Drug) use is limited as much as possible, because it is associated with gastrointestinal side effects and increased risk of cardiovascular disorders. NSAID should be avoided in renal insufficiency. Opioid is relatively safe but needs monitoring of side effect. Adjuvant analgesics that can be considered are anticonvulsants: gabapentin and pregabalin, and SNRI antidepressant. Jimmy Barus. Pharmacological Management of Pain in the Elderly. Keywords: Pain, elderly, pharmacological management
PENDAHULUAN Sejalan dengan meningkatnya populasi lansia, maka meningkat pula jumlah kasus nyeri terkait disabilitas dan perubahan degeneratif pada kelompok ini. Dokter umum sebagai tenaga pelayanan kesehatan lini pertama mendapat tantangan cukup signifikan terkait penatalaksanaan nyeri pada lansia.1 Prevalensi kasus nyeri terutama nyeri persisten (kronis) pada lansia berkisar antara 25 – 80%. Prevalensi nyeri pada lansia di komunitas adalah 25 – 50%, sementara yang berada di sarana perawatan khusus 45 – 80%.2 Nyeri muskuloskeletal merupakan kelompok kasus nyeri yang paling sering dialami oleh kelompok lansia di komunitas. Osteoartritis, Alamat korespondensi
penyakit degeneratif diskus, osteoporosis dan fraktur, serta gout merupakan kasus nyeri muskuloskeletal yang sering terjadi; kelompok kasus lainnya berupa sindrom nyeri neuropatik, seperti neuropati diabetika, neuralgia pasca-herpes, neuralgia trigeminal, nyeri sentral pasca-stroke, dan nyeri radikuler akibat penyakit degeneratif tulang belakang. Selain itu, kasus reumatologik seperti arthritis rheumatoid, polimialgia reumatika, dan fibromialgia sering juga dikeluhkan.2 Sebelum menentukan tatalaksana yang tepat, assessment yang komprehensif harus dilakukan. Evaluasi klinis sindrom nyeri, termasuk anamnesis, pemeriksaan fisik adekuat, pemeriksaan penunjang relevan perlu dilakukan sebelum menentukan pe-
natalaksanaan yang paling tepat. Riwayat penyakit penyerta, seperti gangguan hati, ginjal, faktor risiko vaskuler, status fisik dan mental, penting diperhatikan karena akan sangat berkaitan dengan pilihan analgetik. Makalah ini akan menitikberatkan mengenai pembahasan penatalaksanaan nyeri pada lansia dari segi farmakologis. Perubahan Fisiologis pada Lansia yang Mempengaruhi Pilihan Terapi Obat Secara fisiologis, fungsi organ tubuh pada lansia akan mengalami perubahan. Hal ini penting dipertimbangkan sebelum menentukan pengobatan farmakologis yang tepat. Perubahan fisiologis pada lansia yang dapat mempengaruhi pilihan terapi obat dapat dilihat pada tabel 1.3
email:
[email protected]
CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015
167
CONTINUING MEDICAL EDUCATION Tabel 1. Perubahan fisiologis pada lansia3 Perubahan Sejalan dengan Proses Penuaan
Fungsi Fisiologis
Konsekuensi Klinis
Fungsi Absorbsi dan Traktus Gastrointestinal
• Pemanjangan waktu pengosongan • Peningkatan efek samping saluran cerna lambung dan penurunan fungsi terkait penggunaan obat yang dapat peristaltik usus mengurangi gerakan peristaltik, misalnya • Penurunan aliran darah di saluran cerna opioid
Distribusi
• Berkurangnya kandungan air tubuh • Berkurangnya distribusi obat yang larut • Meningkatnya proporsi lemak tubuh dalam air yang mengakibatkan obat yang larut • Obat yang larut dalam lemak akan dalam lemak akan terakumulasi cenderung mengalami penambahan • Konsentrasi protein plasma yang lebih waktu paruh rendah dan meningkatnya fraksi bebas • Meningkatnya potensi interaksi obat obat yang akan cenderung berikatan dengan protein
Metabolisme Hepar
• Berkurangnya aliran darah hepatik • Berkurangnya metabolisme obat yang • Berkurangnya massa hepar dan jumlah efektif sel hepatosit yang fungsional • Proses oksidasi obat menurun, akibatnya waktu paruh akan meningkat • Proses konjugasi biasanya tetap, efek individual sulit diprediksi
Ekskresi Renal
• • •
Menurunnya aliran darah renal Menurunnya filtrasi glomerulus Menurunnya sekresi tubulus
• Menurunnya ekskresi renal pada obat yang metabolitnya secara alami diekskresikan melalui renal, berakibat akumulasi dan efek memanjang
Perubahan Farmakodinamik
• •
Berkurangnya densitas reseptor Meningkatnya afinitas reseptor
• Peningkatan sensitivitas terhadap obat dan potensi efek samping
Pertimbangan Pemilihan Analgetik pada Lansia Prinsip penanganan nyeri adalah mengidentifikasi dan mengeliminasi kausa yang mendasari nyeri, misalnya tumor, infeksi, dll. Hal ini tidak selalu dapat dilakukan dengan mudah, sehingga pilihan masuk akal yang biasa dilakukan oleh klinisi adalah menangani keluhan/gejala dengan tujuan mengurangi nyeri. Meskipun nyeri tidak dapat dihilangkan, tetapi usaha maksimal dapat dilakukan dengan penilaian yang teliti tanpa melupakan evaluasi respons terapi. Penanganan nyeri pada lansia, sebagaimana penanganan nyeri pada umumnya, sebaiknya berdasarkan tipe, sifat, dan keparahan nyeri. Terapi farmakologis tetap memainkan peranan penting untuk mengatasi nyeri pada lansia. Penting untuk diingat bahwa pada lansia terdapat peningkatan sensitivitas terhadap kerja obat. Oleh karena itu, setiap pilihan analgetik perlu dimulai dari dosis kecil dan dinaikkan bertahap sesuai dengan toleransi pasien dan sasaran terapi. Titrasi
Tabel 2. Beers Criteria untuk kelas analgetik7 Obat
Rasional
Rekomendasi
Tinggi
Kekuatan Rekomendasi
Meperidine
Bukan analgetik oral yang efektif; dapat mengakibatkan neurotoksisitas
OAINS non-selektif (oral) • Aspirin >325 mg • Diklofenak • Diflunisal • Etodolak • Fenoprofen • Ibuprofen • Ketoprofen • Meklofenamat • Asam mefenamat • Meloksikam • Nabumeton • Naproksen • Oksaprozin • Piroksikam • Sulindak • Tolmetin
• Meningkatkan risiko perdarahan traktus gastrointestinal dan • Hindari penggunaan Moderat ulkus peptikum pada kelompok risiko tinggi, yaitu usia >75 kronik, kecuali pilihan tahun, yang mendapat terapi kortikosteroid, antikoagulan, obat lain tidak efektif antiplatelet • Berikan agen proteksi • Penggunaan bersama PPI (proton pump inhibitor) dan lambung (PPI + / misoprostol dapat menurunkan, namun tidak menghilangmisoprostol) jika harus kan risiko menggunakan obat-obat • Perforasi, perdarahan saluran cerna atas, ulserasi terjadi pada ini 1% pasien yang menjalani pengobatan kontinu dalam 3-6 bulan dan 2-4% pada pengobatan 1 tahun
Kuat
Indometasin, ketorolak (termasuk parenteral)
• Meningkatkan risiko perdarahan saluran cerna dan ulkus Hindari peptikum pada kelompok risiko tinggi (sda) • Dari keseluruhan OAINS, indometasin memiliki efek samping yang paling berat
Indometasin: moderat Ketorolak: Tinggi
Kuat
Pentazosin
Analgetik opioid yang menyebabkan konfusi, halusinasi; lebih Hindari sering dibanding opioid lainnya
Rendah
Kuat
Relaksan otot • Carisoprodol • Siklobenzaprin • Klorzoksazon • Metoksalon • Metokarbamol • Orphenadrin
• Kebanyakan relaksan otot tidak ditoleransi baik pada lansia, Hindari karena efek samping antikolinergik, sedasi, risiko fraktur • Dosis terapeutik efektif, mungkin tidak dapat ditolerir oleh lansia
Moderat
Kuat
168
Hindari
Kualitas Bukti Ilmiah
Kuat
CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015
CONTINUING MEDICAL EDUCATION dosis sering tidak mengikuti ketentuan umum, karena pada umumnya lansia akan berespons berbeda dibanding populasi dewasa pada umumnya. Sedapat mungkin, pilihan analgetik didasari oleh mekanisme terjadinya nyeri. Sebagai contoh, nyeri inflamasi sebaiknya diterapi dengan antiinflamasi dan nyeri neuropatik diterapi dengan menggunakan analgetik adjuvan. Hal ini untuk menjaga agar terapi tepat sasaran. Kombinasi analgetik tidak diharamkan selama perhitungan efektivitas dan efek samping dilakukan dengan seksama. Sebagai contoh, pasien dapat diterapi dengan analgetik nonopioid, opioid, dan adjuvan selama memang dibutuhkan. Hindari kombinasi analgetik yang berasal dari golongan yang sama.4,5,6 Beers Criteria untuk Analgetik Dengan mempertimbangkan perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia, efektivitas obat sesuai bukti ilmiah, dan potensi penyalahgunaannya, maka American Geriatrics Society menerbitkan Beers criteria. Beers criteria berisi obat-obatan yang berpotensi terjadi penyalahgunaan atau penggunaan tidak sesuai pada lansia, khususnya lansia di komunitas. Beers Criteria khusus untuk analgetik dapat dilihat pada tabel 2. Tambahan Beers Criteria 2012: • Penggunaan tramadol harus secara hatihati, karena dapat menurunkan ambang batas kejang. Dapat diberikan jika kejang sudah terkontrol baik. Dapat juga digunakan sebagai alternatif pada pasien lansia dengan osteoartritis yang memiliki kontraindikasi terhadap obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS). • Alternatif untuk nyeri ringan dan sedang adalah kodein, asetaminofen, OAINS jangka pendek, obat topikal (kapsaisin atau OAINS), khususnya pada osteoartritis. • Alternatif untuk nyeri sedang atau berat adalah hidrokodon atau oksikodon. • Alternatif untuk nyeri neuropatik adalah duloksetin, venlafaksin, pregabalin, gabapentin, lidokain topikal, kapsaisin, desipramin, nortriptilin. • Penggunaan OAINS selektif COX-2 sebaiknya dihindari pada pasien gagal jantung, karena dapat memperberat edema sehingga memperburuk keadaan. • OAINS berhubungan dengan perburukan derajat gagal ginjal, oleh karena itu tidak dianjurkan pada pasien lansia dengan gagal ginjal.
CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015
Tabel 3. Terapi adjuvan nyeri persisten pada lansia1,8 Golongan obat
Rekomendasi
Antidepresan
• Golongan trisiklik, seperti amitriptilin dan imipramin, tidak dianjurkan untuk digunakan pada lansia sehubungan dengan efek retensi urin, hipotensi postural, sedasi, glaukoma, dan aritmia • Nortriptilin, mempunyai efek samping lebih sedikit dibanding antidepresan trisiklik lainnya, dapat dipergunakan dengan pengawasan • Golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) tidak efektif dalam penanganan nyeri persisten meskipun tolerabilitasnya lebih baik dibanding antidepresan trisiklik • Golongan SNRI (serotonin norepinephrine reuptake inhibitor), seperti duloksetin, cukup efektif untuk nyeri persisten, dengan tingkat tolerabilitas yang lebih baik dibanding antidepresan trisiklik
Antikonvulsan
• Antikonvulsan untuk nyeri persisten golongan gabapentin dan pregabalin lebih ditoleransi baik oleh lansia dibanding karbamazepin, fenitoin, dan asam valproat. Obat ini digunakan pada kasus nyeri neuropatik (postherpetik neuralgia, neuropati DM, dll). Gabapentin dan pregabalin juga lebih ditoleransi baik dibanding antidepresan trisiklik • Titrasi dosis diperlukan untuk meminimalisir efek samping
Analgetik topikal
• Lidokain : Sediaan lidokain 5% efektif untuk neuralgia postherpetika • OAINS : Efektif mengurangi nyeri dan menghindari efek samping sistemik • Kapsaisin : Dapat dipertimbangkan untuk kasus neuralgia postherpetika
Modifikasi WHO Step Ladder pada Lansia Dengan mempertimbangkan perubahan fisiologis pada lansia, maka WHO Step Ladder juga perlu disesuaikan (gambar 1). Penggunaan WHO analgesics step ladder pada awalnya dikhususkan untuk pendekatan tatalaksana nyeri kanker. Tetapi dewasa ini, pendekatan ini juga dapat diterapkan untuk penatalaksanaan nyeri kronis non-kanker dengan perhatian khusus. Modifikasi WHO analgesics step ladder pada lansia menunjukkan bahwa OAINS non-spesifik, termasuk aspirin dan propoksifen sebaiknya dihindari. Asetaminofen (parasetamol) merupakan obat pilihan pertama untuk tatalaksana nyeri kronik pada lansia, tetapi penting diingat bahwa penggunaannya sebaiknya diminimalisir karena efek samping kerusakan hati. Penggunaan asetaminofen sampai 4000 mg per hari dalam jangka panjang Level 3 (sever pain): Strong opioids–morphine, hydromorphone, fentanyl, oxycodone±adjuvants
Level 2 (moderate to severe pain): Acetaminophe, aspirin, nonspecific NSAIDs, COX-2–specific NSAIDs±adjuvants
Level 1 (mild to moderate pain): Acetaminophen plus opioid [hydrocodone, oxycodone, codeine; tramadol±adjuvants, propxyophene WHO l a dder (ada pted fo r the el derl y) Gambar 1. Modifikasi WHO Analgesics Step Ladder pada penatalaksanaan nyeri pada lansia (Argoff, 2005)
berhubungan dengan kerusakan fungsi hati pada orang dewasa. Sesuai rekomendasi Food and Drugs Administration USA (FDA-USA), penggunaan asetaminofen untuk kasus nyeri kronis pada lansia sebaiknya dibatasi sampai 2000 mg/hari. Jika ingin memberikan OAINS, maka pilihan utama adalah OAINS yang selektif bekerja menghambat COX 2 karena efek gastrointestinal yang minimal (Argoff, 2005). Yang dimaksud dengan analgetik adjuvan pada gambar 1 adalah obat-obat golongan antikonvulsan dan antidepresan yang dapat dipergunakan pada nyeri persisten. Secara umum, pilihan terapi adjuvan untuk nyeri persisten pada lansia dapat dilihat pada tabel 3. Opioid pada Lansia Penggunaan opioid untuk kasus nyeri persisten pada lansia, tidak hanya pada kasus nyeri kanker, dewasa ini semakin dapat diterima. Opioid terutama digunakan pada kasus nyeri sedang atau berat. Meskipun demikian, sediaan opioid juga dapat dipertimbangkan jika didapatkan kontraindikasi terhadap penggunaan obat lain, terutama OAINS. Adiksi pada lansia jarang terjadi. Meskipun potensi itu ada, tidak boleh dijadikan alasan kurang teratasinya nyeri pada lansia.1 Kodein dapat digunakan pada nyeri ringan. Untuk nyeri sedang dan berat dapat digunakan morfin, hidromorfon, oksikodon, bahkan fentanil. Morfin terutama dikeluarkan melalui ginjal, sehingga perlu hati-hati pada pasien lansia dengan gangguan fungsi ginjal. Hidromorfon, oksikodon, dan fentanil lebih
169
CONTINUING MEDICAL EDUCATION aman pada kondisi ini. Meskipun demikian, potensi sedasi, dizziness, gangguan gait, risiko jatuh, dan gangguan motilitas usus perlu dipertimbangkan setiap kali memberikan opioid pada lansia. Efek samping tersebut akan hilang bersamaan dengan timbulnya toleransi terhadap opioid, kecuali gangguan motilitas usus. Pemberian laksansia harus selalu dipertimbangkan bersamaan dengan opioid. Obat golongan opioid yang sebaiknya dihindari pada lansia adalah: • Propoksifen, karena efek gangguan susunan saraf pusat • Metadon, karena efek long acting sehingga respons pada lansia sulit diperkirakan • Meperidine, karena efek gangguan susunan saraf pusat, bahkan banyak referensi menganggapnya tidak efektif sebagai analgetik • Penggunaan fentanil patch diutamakan pada nyeri stabil, tanpa eksaserbasi atau breakthrough (pada nyeri kanker). Penggunaan pada lansia perlu pemantauan khusus, karena absorbsinya terlalu bervariasi, dan saat dilepaskan dari kulit efek terapeutiknya tidak langsung berhenti. Selain itu, obat ini membutuhkan lebih kurang 48 jam untuk mencapai efek terapeutik maksimal setelah ditempelkan di kulit. Fentanil patch tidak dianjurkan pada pasien yang opioid naïve. • Tramadol dapat memicu kejang pada pasien epilepsi, karena menurunkan ambang batas kejang. Efek ini akan minimal jika kejang sudah terkontrol baik.9 Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (OAINS) dan Hubungannya dengan Gangguan Kardiovaskuler Obat anti-inflamasi non-steroid konvensional (non-selektif ) yang menghambat siklooksigenase (COX) 1 dan 2, seperti ibuprofen, diklofenak, mefenamat, diketahui mempunyai efek samping gangguan gastrointestinal. Hal ini terutama dimediasi oleh efek terhadap COX 1. Untuk itu, dikembangkanlah OAINS yang selektif menghambat COX 2 dengan harapan tidak mengakibatkan gangguan gastrointestinal. Tetapi dalam perjalanannya, banyak penelitian telah membuktikan bahwa OAINS non-selektif maupun selektif dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Hal ini telah terbukti sejalan dengan penarikan rofekoksib dari peredaran, karena berkaitan dengan peningkatan risiko kardiovaskuler.
170
Tabel 4. Risiko gangguan kardiovaskuler terkait penggunaan OAINS11
NSAID
Major Vascular Events: Rate Ratio (95% Cl)
P value
Major Coronary Events: Rate Ratio (95% Cl)
P value
Coxib
1,37 (1,14 - 1,66)
.0009
1,76 (1,31 - 2,37)
.0001
Diclofenac
1,41 (1,12 - 1,78)
.0036
1,70 (1,19 - 2,41)
.0032
Ibuprofen
1,44 (0,89 - 2,33)
NS
2,22 (1,10 - 4,48)
.0253
High-dose naproxen
0,93 (0,69 - 1,27)
NS
0,84 (0,52 - 1,35)
NS
Inhibitor COX 2 selektif dan OAINS nonselektif menghambat produksi prostasiklin dalam derajat yang sama. Prostasiklin adalah zat vaskuloprotektif yang secara fisiologis menghambat agregasi platelet dan proses aterogenesis. Aspirin berperan dalam proteksi terhadap gangguan kardiovaskuler dengan cara menghambat COX 1 di platelet secara ireversibel. Meskipun OAINS nonselektif juga menghambat COX 1, tetapi tampaknya tidak cukup untuk memberikan efek yang sama bila dibanding dengan aspirin. Kecuali naproksen, sebagian besar OAINS non-selektif dianggap berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler. Risiko ini dapat dikurangi dengan menambahkan aspirin pada pasien dengan risiko tinggi penyakit kardiovaskuler yang mendapat terapi OAINS non-selektif, tetapi efek gastrointestinalnya akan meningkat signifikan.10 Tabel 4 menunjukkan potensi risiko gangguan kardiovaskuler
terkait penggunaan beberapa OAINS. Simpulannya, baik penggunaan OAINS non-selektif maupun selektif pada pasien yang mempunyai faktor risiko vaskuler dan pasien lansia harus dilakukan secara hatihati. Rekomendasi penggunaan analgetik pada pasien yang diketahui berisiko tinggi mengalami penyakit kardiovaskuler menurut American Heart Association (AHA) dapat dilihat pada gambar 2. SIMPULAN Penggunaan analgetik pada lansia perlu pertimbangan khusus. Secara umum, parasetamol tetap merupakan pilihan pertama untuk kasus nyeri muskuloskeletal dengan pemantauan dosis dan efek samping. Penggunaan OAINS sedapat mungkin dibatasi, karena berkaitan dengan efek samping gastrointestinal dan peningkatan risiko gangguan kardiovaskuler. Jika perlu, diutamakan pemberian COX 2 inhibitor
Gambar 2. Rekomendasi AHA tentang penggunaan analgetik pada kasus nyeri muskuloskeletal pada pasien risiko tinggi penyakit kardiovaskuler12
CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015
CONTINUING MEDICAL EDUCATION untuk menghindari efek gastrointestinal, dan aspirin bersama PPI untuk mengurangi risiko kardiovaskuler. OAINS harus dihindari
pada gangguan ginjal. Opioid secara umum dianggap lebih aman tetapi efek samping harus tetap diperhatikan. Analgetik adjuvan
yang dianjurkan adalah antikonvulsan golongan gabapentin dan pregabalin, serta antidepresan golongan SNRI.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Cavalieri TA. Management of pain in older adults. JAOA 2005;105(3):S12-S17.
2.
Bruckenthal P. Assessment of pain in the elderly adult. Clin Geriatr Med. 2008;24:213-36.
3.
Abdulla A, Adams N, Bone M, Gaffin J, Jones D, Elliott AM, et al..Guidance on the management of pain in older people. Age and Aging 2013:42;i1-i57.
4.
Katz B. Pharmacological management of pain in older people. J Pharm Pract Res. 2007;37:63-6.
5.
Strassels SA, McNicol E, Suleman R. Pharmacotherapy of pain in older adults. Clin Geriatr Med. 2008;24:275-98.
6.
Gordon DB. Pain management in the elderly. J Perianesthesia Nurs. 1999;14(6):367-72.
7.
The American Geriatrics Society. American geriatrics society updated beers criteria for potentially inappropriate medication use in older adults. J Am Geriatr Soc. 2012.
8.
Argoff CE. Pharmacoterapeutics options in pain management. In: Chronic Pain Management in the Elderly. Supplement for Geriatrics, Advanstar Communication Inc USA; 2005
9.
Ginsburg M, Silver S, Berman H. Prescribing opioids to older adults: A guide to choosing and switching among them. Geriatrics and Aging 2009;12(1):4-52.
10. British Heart Foundation. Non steroidal anti-inflammatory drugs and cardiovascular disease [Internet]. 2007. Available from: http://www/bhf.org.uk/factfiles. 11. Jeffrey S., Risk for CVD events with NSAIDs can be predicted [Internet]. 2013 May 30. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/804976#2 12. Antman EM, Bennet JS, Daugherty A, Furberg C, Roberts H, Taubert KA. Use of nonsteroidal antiinflammatory drugs: An update for clinicians: A scientific statement from the American Heart Association. Circulation 2007;115:1634-42.
CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015
171