Manfaat AINS Terhadap Nyeri Gangguan Muskuloskeletal Pada Usia Lanjut Aznan Lelo Zulkarnaen Rangkuty Yunita Sari Pane Fakultas Kedokteran Bagian Farmakologi dan Terapeutik Universitas Sumatera Utara Abstrak
Kejadian nyeri makin meningkat sesuai dengan pertambahan usia manusia. AINS kelihatannya menjadi analgetika yang selalu digunakan pada lansia, bukan berarti sediaan ini aman bagi pemakai. Nyeri pada lansia selalu berlangsung kronis, menuntut untuk memberikan AINS jangka lama. Timbulnya efek samping AINS yang tak berterima selalu menjadi penyebab untuk tidak meneruskan penggunaan AINS. Lansia sendiri sudah menjadi faktor risiko untuk terjadinya efek samping AINS. Salah satu obat yang paling banyak menjadi penyebab lansia untuk dirawat inap adalah obat analgetik antiinflamasi non-steroid (AINS). Untuk miningkatkan manfaat AINS, Badan Kesehatan Dunia WHO membolehkan kombinasi analgetik non-opiate dan analgetik opiat (misalnya kodein, morfin) terhadap penderita dengan tingkat nyeri menengah sampai berat. AINS bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim siklooksigenase (cyclooxygenase, COX), COX1 atau COX-2 atau keduanya. AINS yang selektif menghambat COX-2 (celecoxib dan rofecoxib) tidak lebih unggul sebagai analgetika dibandingkan AINS klasik non-selektif. AINS menunjukkan efek analgetik mengatap bila diberikan secara tunggal. Kombinasi AINS klasik (diclofenak, ibuprofen) dengan parasetamol akan meningkatkan khasiat masing-masing obat, berbeda bila AINS penghambat spesifik COX-2 rofecoxib digabungkan dengan parasetamol tidak meningkatkan khasiat analgetik. Risiko efek samping saluran cerna berbeda menurut jenis sediaan AINS, iritasi mukosa lambung lebih sedikit oleh AINS bersifat netral, dalam bentuk selaput enteric atau topical dan lebih selektif menghambat COX-2. Risiko efek samping kardiovaskuler (hipertensi dan trombosis) lebih nyata oleh AINS yang selektif menghambat COX-2. Kombinasi AINS dengan antihipertensi ACE-inhibitor dapat berakibat fatal, dan perlu dihindari. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan manfaat analgetik AINS pada lansia dengan nyeri akibat gangguan musculoskeletal secara umum dimulai dengan menggunakan sediaan topical, diikuti dengan dosis oral efektif terkecil AINS yang agak selektif menghambat COX-2 disamping COX-1 dengan waktu paruh singkat, lalu dosis ditingkatkan secara perlahan-lahan. Khasiat analgetik AINS yang tidak membutuhkan CYP2D6 akan meningkat bila dikombinasikan dengan parasetamol atau kodein.
1 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan Sesuai dengan pertambahan usia harapan hidup penduduk dunia, proporsi penderita lanjut usia (lansia) makin bertambah yang secara farmakologi merupakan kelompok khusus dan mempunyai problema tersendiri dalam pemberian obat-obatan. Lansia sendiri untuk kebanyakan obat merupakan faktor risiko mudahnya timbul efek samping (Lelo, 1998). Sebagai akibat semakin bertambahnya keluhan dan ragam penyakit maka terapi polifarmasi makin bertambah pada penderita lansia. Penggunaan beberapa macam obat akan meningkatkan risiko interaksi obat yang merugikan dan reaksi ikutan obat yang berbahaya. Cooper (1999) juga mendata faktor yang paling nyata menjadi penyebab penderita lansia dirawat inap akibat obat, ternyata jumlah obat yang digunakan merupakan faktor yang menentukan. Mereka yang dirawat inap akibat reaksi sampingan obat (7.9 +/- 2.6 item) menggunakan ragam obat yang lebih banyak daripada mereka yang dirawat inap bukan karena reaksi sampingan obat (3.3 +/- 1.3 item). Penderita lansia menggunakan obat-obatan yang diresepkan tiga kali lebih banyak dari penderita dewasa muda sebagai akibat makin meningkatnya kejadian penyakit kronis (Chrischilles dkk, 1992). Setiap jenis obat yang digunakan pada penderita lansia harus mempertimbangan secara khusus perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat karena pertambahan usia, dimana masa kerja obat menjadi lebih lama sebagai akibat eliminasi obat makin lambat (Greenblatt dkk, 1982). Perubahan farmakokinetik lain yang cukup menonjol adalah dalam hal ikatan protein dan metabolisme obat sebagai akibat makin berkurangnya masa hati, aliran darah hati dan aktivitas enzim. Penurunan protein plasma akan berakibat meningkatnya kadar obat bentuk bebas, terutama analgetik AINS. Cooper (1999) mendata kejadian merugikan akibat obat sehingga penderita lansia harus dirawat inap. Obat yang paling banyak sebagai penyebab adalah obat anti-inflamasi non-steroid (AINS), psikotropika, kardiotonika digoxin dan antidiabetika insulin. Nyeri muskuloskeletal pada lansia Kejadian nyeri makin meningkat sesuai dengan pertambahan usia manusia. Nyeri pada lansia sangat berbeda dengan yang dijumpai pada dewasa muda. Banyak penderita lansia memiliki lebih dari satu macam penyebab nyeri. Penyebab nyeri yang paling sering pada lansia adalah arthritis (termasuk nyeri punggung bawah), polimialgia, Paget’s disease, neuropati, penyakit pembuluh darah perifer dan jantung serta proses keganasan. Oleh karena itu tujuan utama dalam penanggulangan nyeri pada lansia adalah (Davis dan Srivastava, 2003).: • Meredakan nyeri • Mengoptimalkan aktifitas harian • Mendapatkan dosis terendah dari obat yang digunakan Oleh karena itu prinsip dasar pendekatan farmakologi dalam penggunaan analgetika pada lansia adalah mulai dengan dosis rendah dan bila diperlukan secara perlahan-lahan dosis ditingkatkan. Petunjuk Badan Kesehatan Dunia WHO membolehkan kombinasi analgetik opiate dan non-opiat terhadap penderita dengan tingkat nyeri menengah sampai berat. Selain itu, pemilihan analgetika yang tepat juga dipengaruhi oleh kepatuhan penderita, polifarmasi, keparahan dan jenis nyeri, ketersediaan obat, keluhan dan gejala yang menyertai dan harga (Davis dan Srivastava, 2003). Opiate merupakan analgetik sentral menghambat transduksi syaraf didalam medulla spinalis. Sedangkan analgetik 2 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
non-opiat merupakan analgetik perifer menghambat aktivitas cyclooxygnase dalam pembentukan prostaglandin sehingga sistem nosiseptor perifer tidak teraktivasi. Masingmasing analgetik memberikan efek samping tertentu, dengan menggabungkan beberapa jenis analgetik dengan mekanisme kerja berbeda akan meningkatkan khasiat dan keamanannya dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat, seperti pada nyeri kanker (Ladner dkk, 2000). Fakta yang ada menunjukkan bahwa AINS berkhasiat sebagai analgetik, antipiretik dan antiinflamasi. Sediaan ini bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim siklooksigenase (cyclooxygenase, COX), apakah isoenzim COX-1 atau COX-2 atau keduanya, dalam pembentukan prostanoid prostaglandin (PG), prostacyclin dan tromboxan. Tiap sediaan OAINS akan memberikan efek analgetik anti-inflamasi yang sepadan apabila digunakan dosis yang sepadan pula (Simon & Strand, 1997). Namun ada kalanya dibutuhkan kombinasi parasetamol dengan AINS untuk meningkatkan khasiat analgetiknya. Pada kenyataannya tidak semua penambahan AINS dapat meningkatkan khasiat analgetik parasetamol. Breivik dkk (1999) mendemonstrasikan bahwa khasiat analgetika parasetamol akan makin meningkat bila ditambahkan OAINS diclofenac dan/atau kodein. Pickering dkk (2002) membandingkan efek sinergis ini pada anak-anak yang mengalami tonsilektomi dan mendapatkan bahwa penambahan COX-2 inhibitor spesifik rofecoxib tidak meningkatkan khasiat analgetik parasetamol, berbeda dengan penambahan AINS klasik ibuprofen. Nyeri muskuloskeletal dapat juga terjadi bukan sebagai akibat reaksi inflamasi. Satu sampai dua bulan setelah penggunaan antihiperlipidemia statin dapat terjadi gangguan muskuloskeletal berupa nyeri otot, nyeri sendi, kelemahan otot dan sebagainya. Statin menghambat enzim HMG CoA reductase sehingga cholesterol tidak terbentuk yang pada gilirannya akan diikuti dengan gangguan hormon dan fungsi sel-sel tubuh. Dalam penanggulangannya yang terbaik adalah dengan penghentian sediaan statin (Chazerain dkk, 2001). Problema penggunaan AINS pada lansia Meskipun AINS kelihatannya menjadi analgetika yang selalu digunakan pada lansia, bukan berarti sediaan ini aman bagi pemakai. Nyeri pada lansia selalu berlangsung kronis, menuntut untuk memberikan AINS jangka lama. Timbulnya efek samping AINS yang tak berterima selalu menjadi penyebab untuk tidak meneruskan penggunaan AINS. Lansia sendiri sudah menjadi faktor risiko untuk terjadinya efek samping AINS. Tambahan lagi, Tamblyn dkk (1997) menemukan sekitar 35% penderita mendapat resep AINS yang tidak diperlukan. Problema penggunaan AINS pada lansia antara lain adalah: • Efek samping AINS • AINS sebagai sediaan penyebab kaskade peresepan • AINS memberikan interaksi yang tak menguntungkan dengan obat lain Efek samping AINS Mekanisme kerja utama sediaan ini diperkirakan berkaitan dengan hambatan sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. Prostaglandin disintesis oleh dua enzim siklooksigenase (Cyclooxygenase, COX), yaitu COX-1 dan COX-2. Prostaglandin yang disintesis melalui jalur COX-1 dipercayai berperan dalam proses sistem keseimbangan 3 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
tubuh, sedangkan yang disintesis melalui jalur COX-2 dipercayai terlibat dalam proses inflamasi. Prostaglandin merupakan sediaan pro-inflmasi, tetapi juga merupakan sediaan gastroprotector. Oleh karena analgetika penghambat COX-2 diyakini tidak menghambat aktifitas isoenzim COX-1, maka sediaan ini diduga bebas dari berbagai efek samping yang menakutkan. Kejadian perdarahan saluran makanan bagian atas meningkat 2 – 6 kali lipat akibat penggunaan AINS oleh lansia, teristimewa perempuan (Johnson dan Day, 1991). Russell (1999) mengkaji factor risiko terjadinya efek samping gastrointestinal (dyspepsia, erosi, ulserasi, perdarahan atau perforasi) akibat AINS dan menemukan bahwa kejadian efek samping AINS pada saluran cerna makin meningkat apabila AINS: • Diberikan pada lansia (usia > 60 tahun; RR 5.52) daripada dewasa muda (usia < 60 tahun; RR 1.65), • Diberikan pada mereka dengan riwayat tukak peptic (RR 2,39), dan makin meningkat kejadian berikutnya (RR 4,76) • Digabungkan dengan kortikosteroid (RR 14,6) • Diberikan pada mereka yang sedang menggunakan dosis kecil asetosal Risiko efek samping saluran cerna berbeda menurut jenis sediaan, AINS yang memberikan risiko paling tinggi adalah azapropazone, ketoprofen dan piroxicam, dan yang memberikan risiko paling rendah adalah ibuprofen, diclofenac and etodolac (Russell, 1999). Tingkat keparahan efek toksik AINS pada saluran cerna berbeda diantara sediaan. AINS dengan waktu paruh panjang lebih toksik pada lansia. Berdasarkan hilangnya darah yang terpantau melalui tinja, Scharf dkk (1998) berkesimpulan bahwa AINS dengan waktu paruh pendek (diclofenac) dapat dikaitkan dengan toksisitas saluran cerna yang rendah dibandingkan dengan AINS dengan waktu paruh menengah (naproxen) dan panjang (piroxicam) (Scharf dkk, 1998). Sementara farmakokinetik diclofenac kelihatannya tidak dipengaruhi oleh usia, gangguan faal ginjal dan kronisitas pemberian obat (Kendall dkk, 1979). AINS meloxicam (Turck dkk, 1996) dan nimesulide (Olive & Rey,1993) menunjukkan hal yang sama, dimana tidak banyak perbedaan farmakokinetik ke dua sediaan ini dengan pertambahan usia sehingga tidak diperlukan penyesuaian dosis pada lansia. Davies dkk (2000) menyatakan farmakokinetik celecoxib berbeda antara dewasa muda dan lansia, dimana dijumpai penurunan bersihan pada lansia. Perubahan farmakokinetik AINS akibat pertambahan usia, mengharuskan pengurangan dosis AINS pada lansia yang sehat. Sementara bila penderita lansia mengalami penurunan faal ginjal dosis AINS diflunisal, indomethacin, sulindac dan asam mefenamat harus dikurangi. Karena eliminasi obat lebih lambat pada lansia, maka hindari penggunaan AINS dengan waktu paruh panjang, sebagai gantinya berikan sediaan dengan waktu paruh singkat yang pada dewasa muda digunakan 3 kali sehari, sedangkan pada lansia cukup digunakan sekali atau dua kali sehari (Lelo, 1998). AINS yang lebih selektiv menghambat COX-2 diperkirakan akan memberikan kejadian efek samping pada saluran cerna yang lebih rendah, paling tidak untuk waktu penggunaan yang singkat. Berdasarkan farmakodinamik AINS maka dapat diperkirakan bahwa sediaan AINS mampu mengganggu sistem kardiovaskular dalam bentuk perburukan klinis hipertensi dan payah jantung serta meningkatkan kejadian perdarahan akibat pencegahan agregasi trombosit melalui hambatan aktivitas COX-1. Penghambat COX-2 celecoxib, nimesulid dan lainnya secara eksperimental tidak mengganggu 4 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
pembekuan darah. Namun sampai saat ini baru Crofford dkk (2000) yang melaporkan temuan mereka adanya trombosis pada penderita yang diobati dengan celecoxib. Bersamaan dengan meningkatnya proses vasokonstriksi, peningkatan pembekuan darah akibat makin bebasnya jalur COX-1 dalam mensintesis tromboxan akan mempermudah terjadinya serangan jantung pada pemakai AINS dengan penghambatan COX-2 yang sangat selektif. Pada penderita lansia, perubahan tekanan darah diluar batas yang terkontrol akan menjadi problema bila AINS dikonsumsi secara intermitten (Morgan dkk, 2000). Pengkajian meta-analisis sebelumnya oleh Pope dkk (1993) menunjukkan bahwa peninggian mean arterial pressure pada penderita hipertensi yang mendapat indometasin adalah 3.59 mm Hg dan yang mendapat naproxen adalah 3.74 mm Hg. Sementara perubahan mean arterial pressure pada mereka yang mendapat ibuprofen (0.83 mm Hg), piroxicam (0.49 mm Hg), dan sulindac (0.16 mm Hg) relatif sangat minimal. Data yang ada berkaitan dengan penggunaan AINS dengan hambatan selektif COX-2 pada tekanan darah penderita hipertensi sangat terbatas. Graves dan Hunder (2000) menemukan perburukan tekanan darah penderita hipertensi yang mendapat AINS dengan hambatan selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib dengan peninggian tekanan darah sistol (18 - 51 mmHg) dan diastole (10 - 22 mmHg) yang cukup besar. Page dan Henry (2000) melaporkan bahwa penggunaan AINS meningkatkan kejadian rawat inap pertama akibat payah jantung pada penderita lansia. Kejadian ini berhubungan dengan dosis dan waktu paruh sediaan AINS yang dikonsumsi. Pengembangan sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib membuat para dokter untuk lebih peduli dengan peran masing-masing COX-1 dan COX-2 pada faal ginjal. Bukti menunjukkan bahwa hambatan aktivitas COX2 akan menyebabkan retensi natrium. Hal ini sudah tentu dapat meninggikan tekanan darah penderita. Lebih lanjut, kejadian edema pada penderita osteoartritis yang mendapat sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 menunjukkan bahwa makin selektif (rofecoxib, 25 mg) makin nyata kejadian edemanya dibandingkan yang kurang selektif (celecoxib, 200 mg) (Whelton,2001). Kaskade peresepan obat pada lansia Penambahan obat baru untuk menanggulangi efek samping dari obat yang digunakan untuk terapi yang sedang dijalankan dikenal sebagai kaskade peresepan. Kaskade peresepan ini akan menambah jenis obat yang digunakan penderita (polifarmasi), ragam efek samping obat, interaksi obat dan biaya pengobatan. Problema kaskade peresepan dan terapi polifarmasi akan makin mengkhawatirkan bila terjadi pada penderita lansia (Tamblyn dkk,1997). Apa yang selalu ditemui dokter pasca peresepan AINS adalah dijumpainya keluhan atau gejala yang tak mengenakan, yang sebenarnya merupakan efek samping dari AINS yang diresepkan. Keluhan atau gejala efek samping ini selalu diterapi oleh dokter dengan menambahkan sediaan lain, yang sebenarnya akan hilang bila pemberian AINS dihentikan atau dosisnya diturunkan. Salah satu contoh kaskade peresepan obat pada penggunaan AINS adalah dijumpainya peninggian tekanan darah setelah penggunaan AINS. Gurwitz dkk (1994) mengkaji pada penderita lansia yang baru memulai terapi antihipertensi dan mendapatkan bahwa pemberian antihipertensi lebih banyak pada lansia yang selama ini menggunakan AINS dan makin meningkat dengan peningkatan dosis 5 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
AINS yang digunakan. Dengan demikian kelompok peneliti ini berkesimpulan bahwa penggunaan AINS berhubungan dengan risiko kaskade peresepan antihipertensi pada lansia. Interaksi AINS dengan obat lain Terapi polifarmasi selalu dijumpai pada lansia. Risiko interaksi AINS dengan obat-obatan lain atau AINS dengan penyakit penyerta pada penderita lansia disebabkan banyak sediaan obat diberikan untuk mengatasi klinis penyakit kronis yang ada (misalnya hipertensi, diabetes mellitus, tuberculosis, kanker dan sebagainya). Hipertensi dan rematik adalah dua penyakit yang selalu ditemui bersamaan pada penderita lansia dan kedua keadaan ini sangat membutuhkan obat-obatan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, AINS selalu memberikan interaksi obat yang tidak menguntungkan dengan obat-obat antihipertensi (diuretik, beta blocker, ACE-inhibitor) yang sering diresepkan pada lansia, sehingga pengaturan tekanan darah tidak optimal. Tekanan darah kembali normal setelah AINS tersebut dihentikan pemakaiannya. Oleh karena itu, jika tekanan darah penderita lansia sudah terkontrol dengan sediaan antihipertensi, penambahan AINS dalam terapi yang ada mengharuskan penderita untuk selalu memantau tekanan darahnya. Bentuk interaksi lain antara gabungan AINS dan antihipertensi dilaporkan oleh peneliti lain. Kurata dkk (1999) melaporkan kejadian sinkope sebagai efek samping pemberian gabungan laxoprofen dan ACE inhibitor imidapril pada nenek tua (85tahun). Akibat gabungan kedua sediaan ini, nenek tersebut mengalami hiperkalemia, diikuti dengan bradikardia dan sinkop. Sedangkan Hay dkk (2002) mendapatkan interaksi COX2 specific inhibitor dan ACE-inhibitor enalapril berakibat hiperkalemia yang fatal. Davie dkk (2000) mendapatkan bahwa dosis kecil asetosal tetap mampu melawan efek vasodilatasi asam arachidonat. Meskipun dinyatakan bahwa AINS yang selektif menghambat COX-2 celecoxib dan rofecoxib sangat minimal mencederai mukosa saluran cerna, hasil kajian Fiorucci dkk (2002) pada tikus menunjukkan bahwa celecoxib dan rofecoxib secara signifikan meningkatkan keparahan efek samping asetosal pada lambung. Kemudian Fiorucci dkk (2003) mengkajinya pada manusia sehat dan membuktikan bahwa bila celecoxib digabung dengan asetosal maka pencederaan mukosa saluran cerna lebih banyak bila diberikan sendiri-sendiri. Celecoxib dan rofecoxib secara nyata meningkatkan keparahan kerusakan mukosa saluran cerna. Upaya mengoptimalkan AINS sebagai antinyeri muskuloskeletal pada lansia Berbagai efek samping yang dapat terjadi akibat penggunaan AINS mengharuskan dokter hati-hati dalam memilih dan meresepkan AINS pada lansia. Diantara strategi yang ada untuk meningkatkan khasiat dan meminimalkan efek samping AINS maka secara farmakologis AINS yang diinginkan adalah sediaan yang sudah terbukti: 1. berkhasiat seimbang sebagai analgetik dan antiinflamasi. Hambatan aktivitas COX-2 berkhasiat dalam mengatasi inflamasi, namun sediaan yang makin lebih selektif menghambat COX-1 menunjukkan khasiat analegtika yang lebih nyata. Pannuti dkk (1999) mengkaji perbedaan khasiat analgetik dan toksisitas 6 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
AINS yang lebih selektiv menghambat COX-1 ketorolak dengan yang agak selektif menghambat COX-2 diclofenak dalam menanggulangi nyeri kanker. Kedua sediaan ternyata menunjukkan khasiat analgetik dan toksisitas yang sepadan, sebagaimana ditunjukkan oleh area under the pain-intensity time curve (AUC0-8), efek maksimum,atau masa kerja ke dua sediaan. Yang menarik adalah peningkatan gangguan lambung setelah ketorolak diberikan pada mereka yang sebelumnya diterapi dengan AINS lain. Salo dkk (2003) membandingkan efek analgetik COX-2 spesific inhibitor AINS bersifat netral celecoxib (200 dan 400 mg) tidak berbeda bermakna dengan AINS klasik yang tidak selektif yang bersifat asam ibuprofen (600 mg) terhadap penanggulangan nyeri akut. Grup peneliti mendapatkan perbaikan nyeri yang bermakna hanya pada kelompok ibuprofen. Malahan efek analgetik dosis besar (400 mg) celecoxib kelihatannya lebih kecil daripada dosis lazim (200 mg). Hasil kajian ini kembali menunjukkan adanya efek mengatap (ceiling effect) khasiat analgetik suatu AINS. Niederberger dkk (2001) menunjukkan kejadiaan tersebut pada celecoxib, dimana dengan dosis 800 mg per-hari memberikan khasiat analgetik yang tidak lebih besar daripada dosis optimum yang dianjurkan (200 mg), malah lebih rendah daripada dosis 200 mg perhari. Oleh karena semua AINS menunjukkan efek mengatap, kenyataan ini akan membatasi khasiatnya pada penanggulangan nyeri rematik yang makin meningkat parah, sehingga penggunaan dosis yang lebih besar dari yang semestinya tidak dianjurkan. Penggabungan beberapa jenis analgetik (opiate dan non-opiat) dengan mekanisme kerja berbeda akan meningkatkan khasiat dan keamanannya dalam pengobatan nyeri kanker (Ladner dkk, 2000). Salah satu gabungan yang dapat dilakukan adalah kombinasi AINS dengan analgetik opiate lemah kodein AINS. Beberapa pertimbangan perlu dikemukakan sebelum menggabungkan kodein dengan AINS, diantaranya biotransformasi kodein menjadi morfin yang sangat bergantung dengan aktivitas enzyme sitokrom P4502D6 (CYP2D6). Salah satu sediaan yang mampu menghambat kerja CYP2D6 adalah AINS celecoxib. Werner dkk (2003) mendapati bahwa celecoxib menghambat metabolisme beta-blocker metoprolol (substrat CYP2D6) yang ditandai dengan peningkatan area under the plasma concentration-time curve metoprolol. Hal yang sama diperkirakan akan terjadi bila digabungkan celecoxib dengan kodein (substrat CYP2D6), yang pada gilirannya akan tercegah biotransformasi kodein menjadi morfin. 2. mula kerja AINS yang segera (dini) Biasanya berkaitan dengan kecepatan penyerapan obat, makin cepat kadar puncak obat tercapai makin dini efek AINS muncul. Mula kerja obat biasanya berkaitan dengan kecepatan penyerapan obat, makin cepat kadar puncak obat tercapai makin dini efek AINS muncul. Diklofenak bila diberikan peroral akan diserap dengan cepat dan sempurna (Davies & Anderson, 1997) akan memberikan mula kerja yang segera. Contoh sediaan AINS lain yang juga cepat penyerapannya adalah asam mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, nimesulide dan lainnya. 3. masa kerja AINS yang lama (panjang) Biasanya, makin panjang waktu paruh AINS makin lama masa kerja AINS. Sebaiknya suatu AINS bekerja lama kalau perlu lebih dari 24 jam sehingga cukup 7 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
diberikan satu kali dalam satu minggu. Biasanya, makin panjang waktu paruh AINS makin lama masa kerja AINS. Namun di sisi lain makin panjang waktu paruh AINS (misalnya t ½ piroxicam = 50 jam atau lebih dari 2 hari 2 malam ) makin mudah terjadi akumulasi (penumpukan) AINS di dalam tubuh penderita, apabila AINS tersebut diberikan lebih sering (kurang dari waktu paruhnya). Sebagai akibatnya makin mudah terjadi efek toksik. Contoh AINS dengan segala risiko. sediaan dengan waktu paruh yang panjang adalah dari golongan oxicam (meoxicam dan piroxicam), coxib (celecoxib dan rofecoxib) serta fenil butazon. Sedangkan contoh AINS dengan waktu paruh pendek adalah diclofenac, ibuprofen dan nimesulide (Lelo, 1998). 4. efek samping AINS yang minimal. Sebagai model obat yang digunakan pada lansia, AINS yang selalu tidak bebas dari efek samping yang tak mengenakkan, maka dianjurkan untuk menggunakan AINS dengan waktu paruh pendek seperti diclofenac atau ketoprofen (Fam, 1998). Selain itu ada berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya efek samping analgetika AINS pada lansia, yaitu dengan urutan sebagai berikut: Bila hanya ingin menanggulangi rasa sakit, sedapat mungkin • gunakan analgesik sederhana. Bila ingin mengurangi efek iritasi langsung pada mukosa lambung dapat digunakan: • sediaan topical/salep • sediaan prodrug, yang akan menjadi aktif setelah dimetabolisme di dalam tubuh • sediaan dengan pKa mendekati netral • sediaan dalam bentuk buffer • sediaan dalam bentuk tablet salut enteric • sediaan cepat larut (terdispersi dengan cepat) • sediaan parenteral (injeksi, suppositoria) Bila khawatir akan efek samping pada saluran cerna, • gunakan AINS yang lebih selektif menghambat COX-2. • menggabungkan AINS dengan obat preventif (misoprostol, atau penghambat pompa proton) • tidak menggabungkannya dengan sediaan AINS lain atau kortikosteroid. Bila khawatir akan efek samping pada sistem kardiovaskuler Seperti telah diketahui bahwa keadaan hyprecoagulable dapat sebagai akibat selalu berbaring (statis) atau penyakit cancernya, inflammation, protein abnormal dan stasis serta terapi antikanker, pembedahan, kemoterapi dan terapi hormone (Caine dkk, 2002). • gunakan AINS yang juga menghambat COX-1 • tidak menggabungkannya dengan antikoagulan • tidak menggabungkannya dengan sediaan hemat kalium (Spironolakton, triamterene, ACE-inhibitor) untuk mengurangi efek samping secara umum, • gunakan dosis efektif terkecil, karena toksisitas AINS berhubungan dengan dosis yang digunakan. • bila perlu ditingkatkan perlahan-lahan, yaitu setelah: • 3 – 4 hari untuk AINS dengan waktu paruh kurang dari 12 jam 8 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
• •
7 hari untuk AINS dengan waktu paruh yang lebih panjang. gunakan AINS dengan waktu paruh yang pendek dan tidak menggunakan AINS dengan waktu paruh yang panjang
Kesimpulan Dengan adanya kenyataan bahwa banyak kemungkinan penyebab nyeri pada lansia, sungguh sukar untuk menentukan analgetika AINS mana yang paling berkhasiat pada penderita. Tiap AINS memiliki kekhasan farmakokinetik (ikatan protein dan waktu paruh) dan farmakodinamik (potensi dan efek samping), yang merupakan pertimbangan farmakologi sebelum peresepannya. Selama khasiat sediaan dengan selektivitas penghambatan COX-2 tidak lebih superior dibandingkan AINS yang ada, secara farmakologi menggunakan AINS yang cepat diabsorpsi akan memberikan efek lebih dini, dan sediaan dengan waktu paruh yang pendek akan terhindar dari kemungkinan akumulasi obat dan dengan demikian akan memberikan tingkat keamanan yang lebih baik. AINS dengan selektivitas penghambatan COX-2 yang sangat nyata hanya digunakan pada penderita dengan rawan terhadap kejadian efek samping pada saluran cerna. AINS menunjukkan efek analgetik mengatap bila diberikan secara tunggal. Kombinasi AINS klasik (diclofenak, ibuprofen) dengan parasetamol akan meningkatkan khasiat masing-masing obat, berbeda bila AINS penghambat spesifik COX-2 rofecoxib digabungkan dengan parasetamol tidak meningkatkan khasiat analgetik. Risiko efek samping saluran cerna berbeda menurut jenis sediaan AINS, iritasi mukosa lambung lebih sedikit oleh AINS bersifat netral, dalam bentuk selaput enteric atau topical dan lebih selektif menghambat COX-2. Risiko efek samping kardiovaskuler (hipertensi dan trombosis) lebih nyata oleh AINS yang selektif menghambat COX-2. Kombinasi AINS dengan antihipertensi ACE-inhibitor dapat berakibat fatal, dan perlu dihindari. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan manfaat analgetik AINS pada lansia dengan nyeri akibat gangguan musculoskeletal secara umum dimulai dengan menggunakan sediaan topical, diikuti dengan dosis oral efektif terkecil AINS yang agak selektif menghambat COX-2 disamping COX-1 dengan waktu paruh singkat, lalu dosis ditingkatkan secara perlahan-lahan. Khasiat analgetik AINS yang tidak membutuhkan CYP2D6 akan meningkat bila dikombinasikan dengan parasetamol atau kodein.
9 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Daftar Pustaka Breivik K, Barkvoll P, Skovlund E. Combining diclofenac with acetaminophen or acetaminophen-codeine after oral surgery; a randomized, double blind single dose study. Clin Pharmacol Ther 66:625-35,1999. Caine GJ, Stonelake PS, Lip GY, Kehoe ST. The hypercoagulable state of malignancy: pathogenesis and current debate. Neoplasia. 4(6):465-73,2002. Chazerain P, Hayem G, Hamza S, Best C, Ziza JM. Four cases of tendinopathy in patients on statin therapy. Joint Bone Spine 68(5):430-3,2001. Chrischilles EA, Foley DJ, Wallace RB, Lemke JH, Semla TP, Hanlon JT, Glynn RJ, Ostfeld AM, Guralnik JM. Use of medications by persons 65 and over: data from the established populations for epidemiologic studies of the elderly. J Gerontol 47(5):M137-44,1992 Cooper JW. Adverse drug reaction-related hospitalizations of nursing facility patients: a 4-year study. South Med J 92(5):485-90,1999 Crofford LJ, Oates JC, McCune WJ, Gupta S, Kaplan MJ, Catella-Lawson F, Morrow JD, McDonagh KT, Schmaier AH. Thrombosis in patients with connective tissue diseases treated with specific cyclooxygenase 2 inhibitors. A report of four cases. Arthritis Rheum 43(8):1891-6,2000 Davie AP, Love MP, McMurray JJ. Even low-dose aspirin inhibits arachidonic acidinduced vasodilation in heart failure. Clin Pharmacol Ther 67(5):530-7,2000. Davies NM, Anderson KE. Clinical pharmacokinetics of diclofenac. Therapeutic insights and pitfalls. Clin Pharmacokinet. 33(3):184-213,1997. Davies NM, McLachlan AJ, Day RO, Williams KM. Clinical pharmacokinetics and pharmacodynamics of celecoxib: a selective cyclo-oxygenase-2 inhibitor. Clin Pharmacokinet 38(3):225-42,2000 Davis MP, Srivastava M. Demographics, assessment and management of pain in the elderly. Drugs Aging 20(1):23-57,2003 Fam AG. Gout in the elderly. Clinical presentation and treatment. Drugs Aging 13(3):229-43,1998 Fiorucci S, de Lima OM Jr, Mencarelli A, Palazzetti B, Distrutti E, McKnight W, Dicay M, Ma L, Romano M, Morelli A, Wallace JL. Cyclooxygenase-2-derived lipoxin A4 increases gastric resistance to aspirin-induced damage. Gastroenterology. 123(5):1598-606,2002. Fiorucci S, Santucci L, Wallace JL, Sardina M, Romano M, del Soldato P, Morelli A. Interaction of a selective cyclooxygenase-2 inhibitor with aspirin and NOreleasing aspirin in the human gastric mucosa. Proc Natl Acad Sci U S A. 100(19):10937-41,2003. Graves JW, Hunder IA. Worsening of Hypertension by Cyclo-oxygenase-2 Inhibitors. J Clin Hypertens 2(6):396-8,2000 Greenblatt DG, Sellers EM, Shader RI. Drug disposition in old age. N Engl J Med. 306:1081-8,1982. Gurwitz J H, Avorn J, Bohn R L, Glynn R J, Monane M, Mogun H. Initiation of antihypertensive treatment during nonsteroidal anti-inflammatory drug therapy. JAMA 272:781-6,1994. 10 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Hay E, Derazon H, Bukish N, Katz L, Kruglyakov I, Armoni M. Fatal hyperkalemia related to combined therapy with a COX-2 inhibitor, ACE inhibitor and potassium rich diet. J Emerg Med 22(4):349-52,2002. Johnson AG, Day RO. The problems and pitfalls of NSAID therapy in the elderly (Part I). Drugs Aging 1(2):130-43,1991 Kendall MJ, Thornhill DP, Willis JV. Factors affecting the pharmacokinetics of diclofenac sodium (Voltarol). Rheumatol Rehabil Suppl 2:38-46,1979. Kurata C, Uehara A, Sugi T, Yamazaki K. Syncope caused by nonsteroidal antiinflammatory drugs and angiotensin-converting anzyme inhibitora. Jpn Circ J 63(12):1002-3,1999. Ladner E, Plattner R, Friesenecker B, Berger J, Javorsky F. Non-opioid analgesics-irreplaceable in cancer pain therapy? Anasthesiol Intensivmed Notfallmed Schmerzther. 35(11):677-84,2000. Lelo A. Pemberian obat-obatan pada penderita lanjut usia. Nusantara XXVIII(4):2018,1998. Morgan T, Anderson A. The effect of nonsteroidal anti-inflammatory drugs on blood pressure in patients treated with different antihypertensive drugs. J Clin Hypertens 5(1):53-7,2003 Morgan TO, Anderson A, Bertram D. Effect of indomethacin on blood pressure in elderly people with essential hypertension well controlled on amlodipine or enalapril. Am J Hypertens 13(11):1161-7,2000 Niederberger E, Tegeder I, Vetter G, Schmidtko A, Schmidt H, Euchenhofer C, Bräutigam L, Grösch S, Geisslinger G. Celecoxib loses its anti-inflammatory efficacy at high doses through activation of NF- B. FASEB 15:1622-4,2001. Olive G, Rey E. Effect of age and disease on the pharmacokinetics of nimesulide. Drugs 46 Suppl 1:73-8,1993 Page J; Henry D.: Consumption of NSAIDs and the development of congestive heart failure in elderly patients: an underrecognized public health problem. Arch Intern Med 160(6):777-84,2000. Pannuti F, Robustelli della Cuna G, Ventaffrida V, Strocchi E, Camaggi CM. A doubleblind evaluation of the analgesic efficacy and toxicity of oral ketorolac and diclofenac in cancer pain. The TD/10 recordati Protocol Study Group. Tumori. 85(2):96-100,1999. Pickering AE, Bridge HS, Nolan J, Stoddart PA. Double-blind, placebo-controlled analgesic study of ibuprofen or rofecoxib in combination with paracetamol for tonsillectomy in children. Br J Anaesth 88(1):72-7,2002. Pope JE, Anderson JJ, Felson DT. A meta-analysis of the effects of nonsteroidal antiinflammatory drugs on blood pressure. Arch Intern Med. 153:477-84,1993. Russell RI. Defining patients at risk of non-steroidal anti-inflammatory drug gastropathy. Ital J Gastroenterol Hepatol. 31 Suppl 1:S14-8,1999 Salo DF, Lavery R, Varma V, Goldberg J, Shapiro T, Kenwood A. A randomized, clinical trial comparing oral celecoxib 200 mg, celecoxib 400 mg, and ibuprofen 600 mg for acute pain. Acad Emerg Med 10(1):22-30,2003. Scharf S, Kwiatek R, Ugoni A, Christophidis N. NSAIDs and faecal blood loss in elderly patients with osteoarthritis: is plasma half-life relevant? Aust N Z J Med 28(4):436-9,1998 11 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Simon LS, Strand V. Clinical response to nonsteroidal antiinflammatory drugs. Arthritis Rheum. 40(11):1940-3,1997 Tamblyn R, Berkson L, Dauphinee WD, Gayton D, Grad R, Huang A, Isaac L, McLeod P, Snell L. Unnecessary Prescribing of NSAIDs and the Management of NSAIDRelated Gastropathy in Medical Practice. Ann Intern Med. 127:429-38,1997. Turck D, Roth W, Busch U. A review of the clinical pharmacokinetics of meloxicam. Br J Rheumatol 35 Suppl 1:13-6,1996 Werner U, Werner D, Rau T, Fromm MF, Hinz B, Brune K. Celecoxib inhibits metabolism of cytochrome P450 2D6 substrate metoprolol in humans. Clin Pharmacol Ther. 74(2):130-7,2003. Whelton A. COX-2 specific inhibitors and the kidney – effect on hypertension and edema. Cardiovascular and renal effects of COX-2 specific inhibitors: emerging Pathophysiologically and clinical perspectives. Satellite Symposium at Congress of the European Society of Hypertension, Milan, Italy, June 14-19, 2001
12 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara