Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil Oleh Prof.Dr. Yohanes Usfunan, Drs.,SH.,MH 1) Fakultas Hukum Universitas Udayana Struktur ketatanegaraan termasuk sistem presidensiil, mekanisme penyelenggaraan pemerintahan RI pasca amandemen DUD NRI Tahun 1945 dewasa ini secara konstitusional, telah tertata. Namun, demikian amandemen UUD NRI tersebut masih menimbulkan sejumlah masalah antara lain, terkait masi mengambangnya wewenang MPR dan belum sempumanya sistim presidensiil. Atas dasar itu, pengkajian dalam makalah ini terfokus pada dua hal terkait penataan wewenang MPR dan penegasan sistem presidensiil. l.Penataan Kewenangan MPR.
>
Kewenangan MPR menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara(GBHN).
Konseluensi amandemen UUD NRI Tahun 1945 mengakibatkan perubahan struktur kelembagaan negara, sehigga berdampak mengurangi wewenang MPR. Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pasca amademen, hanya memposisikan kedudukan MPR
sebagai lembaga Negara seperti halnya lembaga-lembaga negara lainnya. Padahal sebelum amandemen, MPR diposisikan sebagai lembaga tertinggi N egara. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) DUD 1945 sebelum amandemen, "Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketentuan tersebut, memposisikan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara dan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Pemegang
1 Makalah
ini Disampaikan Dalam,FGD Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil, Diselenggarakan MPR Beketjasama Fakultas Hukum Universitas Udayana, Hotel Pradise Sanur,1 Dcsember 20 16.
1
kedaulatan rakyat, bukan berarti semata-mata kedaulatan ada di tangan MPR, melainkan kedaulatan tetap di tangan rakyat dan MPR sebagai institusi tertinggi dalam mewakili kepentingan rakyat. Pasca amandemen ketentuan Pasal 1 ayat (2) DUD NRI 1945, berubah "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Memposisikan UU Dasar NRI 1945 sebagai hukum dasar / tertinggi yang befungsi membatasi wewenang MPR. Sistem konstitusi (hukum dasar) menempatkan konstitusi sebagai instrumen hukum tertinggi yang memiliki kedaulatan (supremasi ), mengingat konstitusi berfungsi untuk
2
a.menentukan pembataan kekuasaan.
b.memberikan ligitimasi kekuasaan.
c.sebagai instrumen (dasar) pengalihan kekuasaan.
d.sebagai kepala negara simbolik:
1.konstitusi sebagai simbol persatuan (symbol of unity))
2.lambang identitas dan keagungan nasional suatu bangsa (symbol of
Majesty of the nation).
3.Puncak atau pusat kehikmatan uapacara (centre of ceremony).
e.sebagai kitab suci simbolik dari suatu agama(symbolic of civil relegion):
1.konstitusi sebagai dokumen pengendali.
2.konstitusi sebagai dokumen perekayasaan.
Pembatasan kekuasaan dimaksud untuk mencegah lembaga MPR dan lembaga-lambaga tinggi negara lainnya, agar tidak menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya (de toumement de povoir/abuse of power), pelanggaran HAM, korupsi, kolusi,nepotisme, kejahatan dan bentuk bentuk pelanggaran hukum lainnya. Hal tersebut sejalan dengan tujuan amandemen UUD NRI 1945 yaitu: l.adanya kejelasan pengaturan terkait pembagian kekuasaan.
2.adanya kejelasan pengaturan terkait saling mengawasi dan
mengimbangi (checks and balances) antar lembaga negara.
3.Pembentukan lembaga-lambaga baru untuk mengakomodir
perkembangan kemajuan bangsa. 3
2 Prof.DrJimly Asshiddiqie,Tantangan Pelaksanaan UUD 1945 Pascaperubahan, Jurnal Hukum, Panta Rei, No.1-Desember 2007,Jakarta, hal.9. 3 Prof.Dr.Yohanes Usfunan, Drs.,SH.,MH,Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jurnal Hukum, Panta Rei, No.1
Jurnal Hukum, Panta Rei, No.1 - Desember 2007,Jakarta, hal.25
2
Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945 menentukan:
,
1. Majelis Pennusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. 2. Majelis Pennusyawaratan Rakyat melantik Presiden danlatau Wakil Presiden 3. Majelis Pennusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden danlatau Wakil Presiden dalam masajabatannya menurut UUD.
Ketentuan tersebut, mengalami perubahan karena rumusan Pasal 3 sebelum amandemen yaitu, MPR menetapkan DUD dan GBHN. Perubahan ketentuan dalam Pasall ayat (2) dan Pasal 3 tersebut mengamputasi wewenang MPR terkait posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan kewenangan menerbitkan Ketetapan MPR. Belakangan ini ada waeana perlunya MPR diberikan kembali wewenang untuk menetapkan instrumen hukum dalam bentuk Ketetapan (TAP) MPR terkait Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang bersifat mengatur dan TAP MPR lainnya yang bersifat besehking.
Dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Paraturan Perundang-Undangan menempatkan, Ketetapan Majelis Pennusyawaratan Rakyat dalam hierarki kedua setelah UUD NRI Tahun 1945. Menurut penjelasan ketentuan ini, yang dimaksud dengan "TAP MP adalah TAP MPRS dan TAP MPR yang masih berlaku segaimana dimaksud dalam Pasa12 dan Pasa14 TAP MPR No.: VMPRl2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPRS/MPRTahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. Menurut Tap MPR No.V2003 ini, maka Tap MPRS dan Tap MPR yang berjumlah 139 dikelompokan dalam 6 kategori yaitu: Pertama, kategori TAP MPRS/MPR yang dieabut dan 3
t. l I
umum pembangunan nasional. Meskipun kedudukan MPR hanya sebagai lembaga Negara (bukan lembaga tertinggi versi DUD 45 sebelum amendemen), namun kedudukan MPR tetap istimewa dan strategis karena memiliki wewenang mengubah DUD NRI Tahun 1945. Wacana pemberian wewenang menetapkan Tap MPR tentang GBHN memunculkan pandangan yang setuju maupun pandangan yang kontra. Pandangan yang kontra memberi alasan: l.Wewenang MPR menetapkan GBHN mengesankan seolah-olah MPR posisinya lebih tinggi dari Presiden. 2.Konsekuensinya tidak sejalan dengan sistem Presidensiil.
Menurut hemat saya, untuk menJamman kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam arti luas, maka dari perspektif hukum tata negara / hukum pemerintahan mulai sekarang MPR perlu menggunakan wewenang secara langsung menerbitkan TAP MPR yang bersifat penetapan terkait hal-hal yang bersifat seremonial. Menurut hemat saya :
l.Tap MPR sebagai instrumen hukum berfungsi sebagai dasar hukum bagi MPR dalam mengangkat maupun memberhentikan Presiden!Wakil Presiden. 2.Tap MPR berfungsi meletigimasi pengangkatan dan/atau pemberhentian Presiden dan Wapres karenajabatannya berakhir (keadaan normal). 3.Tap MPR berfungsi sebagai dasar hukum pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden setelah dinyatakan bersalah melanggar hukum dan pelanggaran lain oleh Mahkamah Konstitusi. 4.Tap MPR berfungsi sebagai dasar hukum penyelenggaraan seremonial pelantikan dan! seremoni pemberhentian karena masa jabatan berakhir atau pemberhentian tidak dengan hormat (keadaan abnoffilal).
5
)
/
,I"
"
Sedangkan pembentukan Tap MPR terkait GBHN menurut hemat saya, dapat dilakukan dengan opsi: pertama, diatur dalam UUD NRI 1945. Kedua, GBHN diatur dengan UU dan ketiga, diatur dengan Tap MPRIPeraturan Istimewa MPR. Pengaturan GBHN dalam UUD 1945 membawa konsekuensi perlunya amandemen kelima sesuai Pasal 37 ayat (2) UUD NRI 1945, dengan mengusulkan pasal-pasal perubahan beserta alasan terkait GBHJ'l". Namun, perubahan semacam hendaknya dilakukan secara cermat dan berhati-hati, agar tidak menyentuh hal-hal fundamental, agar menutup kemungkinan masuknya ideologi lain yang berseberangan dengan Pancasila, kebinekaan dan NKRI.
Kedua, kemungkinan GBHN diatur dengan UU berdasarkan kewenangan diterima dari Pasal dalam UUD NRI 1945 tentang kelima) . GBHN tersebut memuat Pob Cm:.;m rangkaian
GB~ I
sesuai pembnbm LTD 19-1S _ ~... dalam UU karma GBHN. sebagai basil
J
.
t
......
!IIIIlI&.......
'!
'
!IIiM . . . . . . . .
ptn;MSJaw. . . . . . .qI~.A¥A¥ ..... JIll
ini dikarenakan MPR merupakan lembaga yang ist:imewa (menetapkan Presiden "-apres.. dan . memberhentikan Presiden / Wakil Presiden dan berwenang merubah DUD 1945).
Ketiga, GBHN diatur dengan Tap MPRIPeraturan Istimewa MPR.Oleh kerena kharakter ketetapan (MPR) bersifat konkret, individual, final, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang/badan hukum perdata dan bersifat einmalig, kiranya tidak tepat GBHN diatur dengan
Ketetapan. Atas dasar itu, menurut hemat saya perlu dipertimbangkan/ diperdebatkan konsep Peraturan Istimewa MPR sebagai pengganti Tap MPR. Alasanya:
6
!
--1li3...•...'1I!i;. ...__.·1'
i;w . . . . . . . . . . . . . -u·_ _•. I
pt:i'."1$iMI
yE'1=':
kerrm.mft..- .:bbm. ............
p~ ~liIii:__.';
kontin~UIa5 pnrgJ!£ll ~ ~,
dele-o-;20-~
Sedangkan pembentukan Tap MPR terkait GBHN menumt hemal
5aJ''''
dengan opsi: pertama, diatur dalam UUD NRl 1945. Kedua, GBHN dialm"" C ketiga, diatur dengan Tap MPRiPeraturan lstimewa MPR. Pengaturan GBHN dalam UUD 1945 membawa konsekuensi perlunya amandemen kelima sesuai Pasal 37 ayat (2) UUD NRI 1945, dengan mengusulkan pasal-pasal perubahan beserta alasan terkait GBHN. Namun, perubahan semacam hendaknya dilakukan secara cermat dan berhati-hati, agar tidak menyentuh hal-hal fundamental, agar menutup kemungkinan masuknya ideologi lain yang berseberangan dengan Pancasila, kebinekaan dan NKRI.
Kedua, kemungkinan GBHN diatur dengan UU berdasarkan kewenangan
del~;:JSi
diterima dari Pasal dalam UUD NRI 1945 tentang GBW\ ( kemunstin:m d&laIn kelima) . GBHN tersebut memuat Pola Cmwn
P~""'UmIl ~..... ~
rangkaian kontinyutas program pembangunan ~ ~
j • _
Y'''"''::
~
h:DsI
,
+
j
E
sesuai pembukaan UUD 1945-. Meskipun dennban dabm '-asi __ GIIIDi IiIIIIk lisa ..... dalam UU karena GBHN, sebagai hasil pemmusan. pennusyawaratan dan tepdlilSMI MI'Il.IIaI
ini dikarenakan MPR merupakan lembaga yang istimewa (menetapkan Presiden\Vapres., dan
!
memberhentikan Presiden / Wakil Presiden dan berwenang merubah DUD 1945).
Ketiga, GBHN diatur dengan Tap MPRIPeraturan lstimewa MPR.Oleh kerena kharakter ketetapan (MPR) bersifat konkret, individual, final, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang/badan hukum perdata dan bersifat einmalig, kiranya tidak tepat GBH1V diatur dengan
Ketetapan. Atas dasar itu, menurut hemat saya perlu dipertimbangkan/ diperdebatkan konsep Peraturan lstimewa MPR sebagai pengganti Tap MPR. Alasanya:
6
Pertama, penggunaan konsep Peraturan lebih tepat karena jangkauan pengaturan dari instrumen hukum yang satu ini lebih luas, berlaku untuk setiap orang. Kedua, menggunakan istilah Istimewa dibelakang Peraturan karena dikeluarkan oleh MPR sebagai lembaga negara yang istimewa. Keistimewaan lain dari MPR tersebut dapat dipahami dari keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah. Dari perspektif wewenang, hanya MPR yang memiliki wewenang "istimewa"untuk merubah UUD, menetapkan dan memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam situasi normal maupun abnormal. Kecuali itu,
MPR juga
merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
Ketiga, dengan menggantikan kC'Il...'4' ~~~ ~WR ~~
_*__ ...'..
:Iii".~,."
tata urutan paraturan per;n.~JiETl:!,~J!!!iIriJmpa:~ .t_".~~"_"1111 tersebut jPg:a
~. £
I
IS-'."• •I."
. ...
~--lJIIIlWl'j:-_-·
r dibedw'-
2' SI:aIa
jdB + U
Peraturan Gubemur, Petatlilau 8upIIi dsb_ ..
5
...
a
Paraturan Istimewa terkait GHN, maka hal itu tidak bmuri MPR ldJih IiBgzi dID Ptesith Keenam, dengan menggantikan Ketetapan MPR dengan konsep Peraturan Istimewa MPR berarti MPR memproduk instrumen hukum yang bersifat mengatur.
~ Kewenangan MPR melakukan Tafsir Konstitusi Dalam Pengujian UU Terhadap
UUD 945 Oleh Mahkamah Konstitusi.
7
MPR sebagai 1embaga negara yang merupakan penje1maan se1uruh rakyat Indonesia memi1iki wewenang atribusi untuk me1akukan interpretasi historis da1am hal pengujian UU terhadap UUD 1945. Hal ini karena pertama, MPR memi1iki wewenang as1i untuk merubah dan merumuskan
pasa1-pasa1 da1am UUD 1945.Kedua, dari perspektif kapasitas dan
pengetahuan anggota MPR 1ebih memahami
asa1 usu1 suatu ketentuan atau sejum1ah
ketentuan berupa pasa1, ayat-ayat atau bab dsb.
Ketiga, karena a1asan memiliki wewenang dan kapasitas, maka MPR wajib diberikan kesempatan menyampaikan pendapat dan atau I melakukan interpretasi historis terhadap setiap pengujian UU terhadap UUD 1945. Keempat, dalam pasal 54 UU No.24/2003 yang telah dirubah dengan UU No.8/2011 tentang MK, hanya memberikan wewenang diskresi kepada MPR,DPR,DPD daniPresiden.Wewenang diskresi tersebut
lercennin
dari rumill53D
MK dapat meminta keterangan atau risalah rapat...dst.
II. Peoegasao Sistem Presideosiil.
Pembahasao dalam bagiao ioi terkait, *) Penyederhanaan Parpol Konsekuensi Terhadap Pembentukan fraksi Di DPR, *) Hak Veto Presideo, *) DPR diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap hak Presiden dalam hal pengangkatan pejabat Negara, *) Kedudukan dan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) da1am fungsi legislasi dan fungsi anggaran.
Da1am bagian ini dipaparkan dua pandangan yang re1evan sebagai acuam terkait, sistem pemerintahan presidensiil. Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensii1. 6
6
Rod Hague, dalam Supannan, Perbadingan Lembaga Kepresidenan Rl & Amerika Serikat, Usaha Nasional Surabaya,1982,h.121
8
l
a. Presiden memangkujabatan sebagai kepa1a pemerintahan dan kepa1a negara. b. Presiden dip1ih me1a1ui pemi1u 1angsung oleh rakyat c. Anggota 1egis1atif dipi1ih 1angsung oleh rakyat me1a1ui pemi1ihan umum (pemi1u) d. Presiden mempunyai hak prerogratif listimewa untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri. e. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. f. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Parlemen karena tidak dipi1ih oleh Parlemen. g. Parlemen memi1iki kekuasaan 1egis1atif sebagai 1embaga perwaki1an. h. Presiden tidak berada di bawah pengawasan 1angsung parlemen. i. Kekuasaan eksekutiftidak bertanggungjawab kepada Parlemen. j. Kekuasaan eksekutiftidak dapat dijatuhkan Par1emen. Namun demikian secara hakiki, menurut hemat saya pembatasan wewenang Presiden sesuai UUD NRI Tahun 1945
harus jelas mengingat kemungkinan sistem pemerintahan
presidensii1 menga1ami kegaga1an da1am pe1aksanaannya karena :
~
Kemungkinan timbulnya demokrasi Caesarisme I
,
a-t w i " -1IIlI2111-
IDenlf'L~
koous;axr
ek...~
".'_.AL
1. The Assembly remains an as Assemb(v on(v. 2. Die executive is not divided but is a President elected by the people for a definite term at the time ofAssembly elections. 3. The Head of Government is Head ofState. 4. The President appoints heads ofdepartments who are his subordinates. 5. The President is sole executive. 6. Members of the Assembly are not eligible for office in the administration and vice versa. 7. The executive is responsible to the constitution. 8. The President cannot dissolve or coerce the Assembly. 9. The Assembly is ultimately supreme over the other branches of government and there is no fusion ofthe executive and legislative branches as in a parliament.
7
Verney, dalam C.F Strong, 1966, Modern and Political Constitutions. An Introduction To The Comparative Study ofTheir Historv and Existing Form, The English Language Book Society and Sidwick & Jackson Limited, London ..
9
,/
I
/
10. The executive is directly responsible to the electrorate. 11. There is no focus ofpower in the political system. Bertitik tolak dari pandangan tersebut, dapat dideskripsi dan dianalisis sbb.: ~
Majelis tetap sebagai majelis saja. Dalam sistem parlementer memberi jalan pada majelis dan eksekutif dilebur ke dalam satu lembaga yang dikenal dengan Parlemen, sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial dituntut agar legslatif tetap terpisah dengan eksekutif sesuai teori trias politika.
~
Eksekutif tidak dibagi tetapi hanya ada seorang Presiden yang dipilih 01eh cl"!-:n
unr~
masa jabatan tertentu pada saat majelis dipilih
"""_"'."'1III
_~.b ~A:J[ 7"";'. 1!N'DICii"i!!c.lIIn.]_~p.JIIII8 __
i~i"'-'''_'''''''''''''''''
.aa ~ -
... pm-p.-.... 8.J~ bp* •
__ IDi+_·I.. ,.,'
§AM jIIp ."qlr-l'!a',,-=-.aM:iI ...
C,.
dalam presidensial kepala pemerintahan yang juga kepala negara. tetapi presiden dipilih oleh rakyat, para pemilih memilih pemimpin politik: untuk masa jabatan yang telah
ditentukan secara pasti dalam konstitusi. ~
Presiden mengangkat Kepala Departemen yang merupakan bawahannya. Dalam sistem pemerintahan parlementer, Perdana Menteri mengangkat rekannya di Majelis untuk membentuk pemerintahan. Sedangkan dalam sistem presidensial, kepala pemerintahan (Presiden) mengangkat pembantunya sebagai kepala departemen, seperti di
10
Amerika Serikat dimintakan persetujuan Senat dan di Philipina dimintakan persetujuan komisi pengangkatan j abatan.
>-
Presiden adalah eksekutif tunggal. Dalam sistem pemerintahan parlementer bersifat kolektif dan perdana menteri setara dengan menteri nya. Sedangkan pemerintahan presidensial cenderung bersifat individual dan para menteri merupakan pembantu presiden.
>-
Anggota Majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan dan sebaliknya. Dalam sistem pemerintahan parlementer seseorang dapat duduk di ekselLltif dan legislatif sekaligus, pada pemerintahan presidensial tidak boleh
meran~kap jaba.tan
d:i .iua ~
tersebut.
~
Jh
:Jt&
lee!'
X .... '
, 7
.....C11I.'.. "j -
•
-
a
&
• ' E • niSL
a =........11111111.
'Ja-- 41·111·. . . . .
..--
_.1iI
11''''0_.-- --- ,,
a. '2"'--11:. .l1li__
7
• 7
Presiden. Tanggung jawab politik dalam kaitan hubWlgan keIja sehari-hari antara pemerintah dengan Maje1is.
>-
Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa Majelis Majelis tidak dapat memberhentikan Presidendari jabatannya, begitu pula Presiden tidak dapat membubarkan Majelis. Mereka tidak saling memaksa, sehingga para ahli menyebutnya
check
and
baances
system.
11
Sistem
pemerintahan
presidensial
memperlihatkan hubungan saling membutuhkan antara cabang kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudisial. Y Majelis berkedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintah lain dan tidak ada peleburan bagian eksekutif dan legislative seperti dalam sebuah parlemen. Dalam sistem pemerintahan parlementer, eksekutif dan majelis tidak berkedudukan lebih tinggi, karena keduanya merupakan bagian institusi parlemen. Dalam sistem pemerintahan presidensial, peleburan kekuasaan legislatif dan eksekutif digantikan dengan pemisahan kekuasaan, masing-masing memiliki ruang lingkup tugas sendiri sendiri. Tindakan mereka dapat dinyatakan inskonstitusional oleh yudisial. Dalam hal ini, kedudukan konstitusi memiliki tempat yang sangat sentral untuk sebuah kepastian. Dalam sistem pemerintahan parlementer, konstitusi dapat diubah oleh eksekutif dan Majelis yang bertindak sebagai parlemen, sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial Majelis dapat mengubah konstitusi dengan keterlibatan dari Presiden. Y Eksekutifbertanggungjawab langsung kepada para pernilih, Pernerintah dalarn sistern pernerintahan parlernenter diangkat oleh kepala negara, rnereka tidak dipilih, sebaliknya presidensial tergantung kepada suara rakyat dan presiden (dan Wakil Presiden) dipilih oleh badan pernilih, sehingga kedua lembaga dapat rnengklairn diri bahwa ia rnewakili rakyat. Y Tidak ada fokus kekuasaan dalarn sistern politik. Kegiatan politik pada sistern pemerintahan parlernenter berturnpu kepada Parlernen, kepala negara, pernerintah, wakil rakyat, partai, kelornpok kepentingan, dan para pernilih rnengakui Supremasi Parlernen. Dalarn sistern pernerintahan presidensial tidak ada
12