PENARIKAN WAKAF TANAH OLEH AHLI WARIS Studi Kasus di Kelurahan Manding Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : LIA KURNIAWATI 21108005
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) SALATIGA 2012
PENARIKAN WAKAF TANAH OLEH AHLI WARIS Studi Kasus di Kelurahan Manding Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : LIA KURNIAWATI 21108005
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) SALATIGA 2012
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara : Nama
: Lia Kurniawati
NIM
: 21108005
Jurusan
: Syari’ah
Program studi
: Ahwal al-Syakhshiyah
Judul
: PENARIKAN WAKAF TANAH OLEH AHLI WARIS (
Studi
Kasus
di
Kelurahan
Manding
Kecamatan
Temanggung Kabupaten Temanggung ) telah kami setujui dimunaqosahkan.
Salatiga, 21 Juli 2012 Pembimbing
Drs. Machfudz, M. Ag NIP. 19610210 198703 1006
SKRIPSI
PENARIKAN WAKAF TANAH OLEH AHLI WARIS Studi Kasus di Kelurahan Manding Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung
DISUSUN OLEH LIA KURNIAWATI 21108005
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ) Salatiga, pada tanggal 31 Agustus 2012 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Hukum Islam. Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji
: Agus Waluyo, M.Ag
Sekretaris Penguji
: Dr. Faqih Nabhan, MM
Penguji I
: Dr. Adang Kuswaya, M.Ag
Penguji II
: Haryo Aji Nugroho, M.A
Penguji III
: Drs. Machfudz, M.Ag
Salatiga, 31 Agustus 2012 Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M. Ag NIP. 195808271983031002
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Lia Kurniawati
NIM
: 21108005
Jurusan
: Syari’ah
Program studi
: Ahwal al-Syakhshiyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jipalakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 21 Juli 2012 Yang menyatakan,
Lia Kurniawati
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO Sebesar apapun kesulitan yang kita hadapi, semuanya akan terasa ringan jika kita tetap berusaha semaksimal mungkin.
PERSEMBAHAN Untuk kedua orang tuaku ( Bapak Hanzari dan Ibu Trimah ), kedua kakakku (mas Ari dan Mbak Rosma ) dan keponakan ( kakak rafi dan dedek fawas ), masku tercinta ( mas syarif ) dan keluarga, para dosenku, sahabat-sahabatku yang telah memberikan dorongan dan membantu dalam penyelesaian skripsiku.
ABSTRAK
Kurniawati, Lia. 2012. Penarikan Wakaf Tanah Oleh Ahli Waris ( Studi Kasus di Kelurahan Manding Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung ). Pembimbing: Drs. Machfudz, M. Ag. Skripsi. Jurusan Syari’ah Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Wakaf adalah memindahkan hak pribadi kepada hak umum untuk dimanfaatkan demi kesejahteraan umum. Idealnya wakaf tidak dapat ditarik kembali, diwariskan, dan dihibahkan. Wakaf menurut fiqih adalah melepaskan harta bendanya untuk dipergunakan demi kemaslahatan umum dimana yang mewakafkan sudah tidak berhak lagi atas harta tersebut, harta wakaf juga tidak boleh diwariskan, dihibahkan, ditarik kembali dan dijual. Kemudian jika menurut undang-undang wakaf adalah menyerahkan harta benda miliknya untuk dipergunakan demi kepentingan umum untuk selama-lamanya atau dalam jangka waktu tertentu. Penelitian mengangkat kasus tentang penarikan wakaf tanah yang dilakukan oleh ahli waris yang terjadi di Kelurahan Manding. Masyarakat Kelurahan Manding mayoritas Islam dan memiliki tradisi Keagamaan yang berjalan dengan baik. Pertanyaan menarik adalah : Mengapa kasus penarikan tanah wakaf itu bisa terjadi dalam konstraksi masyarakat religius ini ?. Pertanyaan ini akan dijawab menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan metode analisis induktif dan komparatif, mengenai penarikan tanah wakaf oleh ahli waris ( Bapak Bagus ) di Kelurahan Manding Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung. Kesimpulan penelitian ini menemukan bahwa praktek perwakafan yang terjadi di Kelurahan Manding itu tanpa di buatkan akta ikrar wakaf, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum, hal itu memungkinkan seseorang untuk melakukan penarikan kembali tanah wakafnya. Terjadinya penarikan tanah wakaf yang terjadi di Kelurahan Manding disebabkan karena belum adanya bukti tertulis dan sebab lain juga karena keadaan ekonomi yang memaksa serta lemahnya pengetahuan agama.
Kata kunci : Penarikan Wakaf Tanah, Ahli Waris.
KATA PENGANTAR
Tiada sepatah kata pun yang pantas terucap selain alhamdulillahi rabbil’alamin, karena pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “ Penarikan Wakaf Tanah Oleh Ahli Waris ( Studi Kasus di Kelurahan Manding Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung )” ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan Syari’ah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah menerima bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1.
Drs. Machfudz M. Ag., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan penuh kesabaran dan pengertian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2.
Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si., selaku Kaprogdi Ahwal Al-Syakhshiyyah yang dengan dukungan dan dorongan serta motivasi yang diberikannya kepada penulis untuk menyelesaikan studi S1, sehingga penulis mampu menyalakan api semangatnya kembali setelah redup beberapa waktu yang cukup lama karena sesuatu hal yang menghambat dalam penyelesaian studi penulis.
3.
Informan-informan dan dinas terkait yang telah membantu dan memberikan informasi dalam penelitian skripsi ini Semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih baik atas kebaikan yang
telah diberikannya kepada penulis ( jazahumullahu ahsanal jaza’ ).
Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan penulis sendiri, baik keterbatasan dalam hal ilmu pengetahuan, keterbatasan waktu, maupun keterbatasan sarana prasarana. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.
alatiga, 21 Juli 2012 Penulis,
Lia Kurniawati
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i PENGESAHAN NASKAH SKRIPSI ......................................................... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..............................................................
v
ABSTRAK ................................................................................................. vi KATA PENGANTAR ................................................................................ vii DAFTAR ISI .............................................................................................. BAB I
ix
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Penegasan Istilah................................................................... 4 C. Rumusan Masalah ................................................................
5
D. Tujuan Penelitian .................................................................. 6
BAB II
E. Kegunaan Penelitian ............................................................
6
F. Metode Penelitian ................................................................
7
G. Sistematika Penulisan ..........................................................
9
KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Wakaf Menurut Hukum Islam ( Fiqih ).................
10
B. Konsep Wakaf Menurut Perundang-undang di Indonesia ... 21 C. Perubahan Peruntukan Wakaf ...........................................
28
BAB III KONDISI WAKAF DI KELURAHAN MANDING A. Kondisi geografis, sosial-budaya dan ekonomi ................
33
B. Kondisi perwakafan...........................................................
40
C. Sebab-sebab terjadinya penarikan wakaf...........................
42
D. Dampak terjadinya penarikan tanah wakaf ......................
43
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM ( FIQIH ) DAN PERUNDANGUNDANGAN DI INDONESIA A. Tinjauan hukum islam ( fiqih )........................................
45
B. Tinjauan perundang-undangan di Indonesia ...................
48
C. Komparasi antara hukum Islam ( fiqih ) dan perundangundangan di Indonesia .................................................... BAB V
52
PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................
74
B. Saran..................................................................................
75
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Wakaf adalah bentuk perbuatan ibadah yang sangat mulia di mata Allah SWT karena memberikan harta bendanya secara cuma – cuma, yang tidak setiap orang bisa melakukannya dan merupakan bentuk kepedulian, tanggung jawab terhadap sesama dan kepentingan umum yang banyak memberikan manfaat. Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW. Wakaf disyariatkan saat beliau hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam ( fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan Syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid ( Direktori Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 4 ). Kemudian ada pendapat sebagian ulama’ yang mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat wakaf adalah Umar bin Khathab. Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan Umar bin Khathab disusul oleh Abu Thalhah yang selanjutnya disusul oleh Abu Bakar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan ‘Aisyah isteri Rasulullah SAW ( Direktori Pemberdayaan Wakaf, 2007:5 ). Wakaf merupakan bentuk ajaran Islam yang telah ditanamkan Rasulullah sejak zaman dahulu, banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits yang
menjelaskan akan pentingnya melakukan wakaf, misalkan dalam surat Ali Imran ayat 92 berikut yang artinya : “ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna ) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui “. Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk Indonesia pada pertengahan abad ke-13 M atau kurang lebih 900 tahun yang lalu hingga sekarang, yang merupakan salah satu sarana keagamaan yang erat hubungannya dengan sosial ekonomi.
Wakaf
telah
banyak
membantu
pembangunan
secara
menyeluruh di Indonesia, baik dalam pembangunan sumber daya manusia maupun dalam pembangunan sumber daya sosial. Tak dapat dipungkiri, bahwa sebagian besar rumah ibadah, perguruan Islam dan lembagalembaga Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf. Pranata wakaf merupakan pranata yang berasal dari Hukum Islam, oleh karena itu jika berbicara tentang masalah perwakafan pada umumnya dan perwakafan tanah pada khususnya, kita tidak bisa melepaskan diri dari pembicaraan tentang konsep wakaf menurut Hukum Islam. Akan tetapi, di dalam hukum Islam tidak ada konsep yang tunggal tentang wakaf, karena banyak pendapat yang sangat beragam. Menurut mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, dan wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan ( Direktori Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 3 ). Artinya harta yang diwakafkan sudah tidak bisa diminta kembali,
dipindahtangankan atau dijual atau yang lainnya. Harta wakaf
hanya
dimanfaatkan sesuai dengan ikrar wakaf yang telah diucapkan. Menurut Imam Abu Hanifah ( Imam Hanafi ), wakaf adalah penahanan pokok sesuatu harta dalam tangan pemilik wakaf dan penggunaan hasil barang yang diwakafkan itu untuk tujuan amal saleh. Jadi tidak hanya harta pokoknya yang ditahan, tetapi hasil dari pemanfaatannya juga ditahan dalam arti harta pokok dan hasilnya sudah tidak menjadi milik yang berwakaf. Dari pengertian-pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa harta yang sudah diwakafkan tidak bisa ditarik kembali oleh pemiliknya, karena hukum asal dari wakaf adalah menahan harta yang sudah diwakafkan, harta yang sudah diwakafkan juga tidak boleh diwariskan, dihibahkan atau dijual. Ada juga dalam hadist Rasulullah yaitu Dari Ibnu Umar, ia berkata : “ Umar mengatakan kepada Nabi SAW. Saya mempunyai seratus dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi SAW mengatakan kepada Umar : Tahanlah ( jangan jual, hibahkan dan wariskan ) asalnya ( modal pokok ) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah” ( HR. Bukhari dan Muslim ). Dalil syari’at ibadah wakaf terlalu miskin. Sehingga hukum-hukum tentang wakaf lebih didasarkan pada ijtihad para fuqoha ( Direktori Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 14 ). Perbedaan pendapat mereka terjadi antara satu ulama’ dengan ulama’ yang lainnya. Penulis yang tinggal di Kelurahan Manding sejak kecil hingga sekarang dan telah mengenal kelurahan tersebut, merasakan adanya kesenjangan antara keadaan
masyarakat Manding yang agamis di satu sisi dengan penyimpangan praktek wakaf yang tidak sesuai dengan hukum Islam yaitu wakaf yang dilakukan, bisa ditarik kembali oleh ahli warisnya dengan mudah dikarenakan belum adanya bukti tertulis dari proses wakaf tersebut. Dari latar belakang tersebut penulis bermaksud untuk melakukan penelitian tentang persoalan yang terjadi di Kelurahan Manding . B. Penegasan Istilah Agar terdapat kejelasan pengertian dalam penelitian ini dan supaya terhindar dari kerancuan atau kesalahan penafsiran istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka penulis merasa perlu untuk memberikan penjelasan dan penegasan istilah sebagai berikut : 1.
Penarikan Mempunyai pengertian hal (perbuatan, cara dsb) ( KUBI, 2006 : 1214 ). Yang saya maksud dengan penarikan disini adalah mengambil kembali.
2.
Wakaf Dalam penelitian ini penulis mengambil pengertian wakaf menurut Imam Syafi’i dan Ahmad adalah melepaskan harta dari kepemilikan pribadi. Setelah harta tersebut diwakafkan maka wakif tidak berhak lagi dengan harta yang diwakafkan, harta tersebut juga tidak boleh diambil kembali atau diwariskan karena harta tersebut
sudah menjadi milik Allah SWT ( Direktori Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 3 ). 3.
Ahli Waris Adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris ( KHI, 1998 : 81 ). Jadi dari penegasan istilah tersebut dapat disimpulkan bahwa
dalam judul skripsi ini mempunyai pengertian tanah yang telah diwakafkan itu diambil kembali oleh ahli warisnya. C. Rumusan Masalah Dari paparan latar belakang masalah tersebut di atas, masalah yang hendak dicari jawabannya melalui penelitian ini adalah : 1)
Bagaimana prosedur perwakafan tanah di Kelurahan Manding Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung ?
2)
Mengapa kasus penarikan tanah yang sudah diwakafkan terjadi di Kelurahan
Manding
Kecamatan
Temanggung
Kabupaten
Temanggung ? 3)
Bagaimana tinjauan hukum Islam ( fiqih ) dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terhadap penarikan tanah yang sudah diwakafkan tersebut ?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui prosedur pengurusan wakaf tanah. 2. Mengetahui faktor-faktor penyebab penarikan tanah wakaf di Kelurahan
Manding
Kecamatan
Temanggung
Kabupaten
Temanggung. 3. Mengetahui tinjauan hukum Islam ( fiqih ) dan undang-undang di Indonesia terhadap perilaku penarikan tanah wakaf tersebut. E. Kegunaan Penelitian Kegunaan atau manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut : a. Bagi Masyarakat 1) Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat mengetahui dengan jelas tentang konsep wakaf dan prosedur kepengurusannya. 2) Agar masyarakat mencatatkan wakafnya supaya berkekuatan hukum.
b. Bagi akademik Diharapkan
hasil
penelitian
ini
dapat
menjadi
tambahan
pengetahuan mengenai alasan-alasan perilaku masyarakat yang berkaitan dengan masalah hukum. c. Bagi Departemen Agama Memberikan gambaran nyata mengenai latar belakang dan proses terjadinya praktek wakaf di Kelurahan Manding sehingga dapat
merencanakan penyuluhan agama dan perbaikan sistem kepengurusan wakaf secara lebih intensif. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus dengan metode deskriptif kualitatif, yakni sebuah metode penelitian di mana peneliti menjelaskan kenyataan yang didapatkan dari kasus-kasus di lapangan sekaligus berusaha untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak nampak dari luar agar khalayak dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. 2. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Data dikumpulkan dengan mewawancarai ahli waris, tokoh agama, tokoh masyarakat sekitar, yang menerima wakaf, dan instansi terkait. Selain itu wawancara juga dilakukan kepada masyarakat setempat. Sebagai data penunjang sekaligus untuk mengetahui tanggapan masyarakat. b. Observasi Observasi adalah menentukan status fenomena dengan tidak memberikan pertanyaan tetapi dengan pengamatan. Pada kasus yang diteliti, observasi dilakukan dalam bentuk observasi partisipasi, yakni observasi di mana pengamat sungguh-sungguh menjadi bagian dan ambil bagian pada situasi yang diamati, yaitu
ikut melihat proses reka ulang penarikan wakaf tanah tersebut. ( Sumanto, 1995 : 88-90 ). 3. Metode Analisis Data a. Deduktif Apa saja yang dipandang benar pada semua peristiwa dalam suatu kelas antar jenis, berlaku juga untuk semua peristiwa yang termasuk dalam kelas/jenis itu. Dalam arti apa yang berlaku pada suatu yang bersifat umum berlaku juga pada sesuatu yang sejenis ( Hadi, 1991 : 36 ). b. Komparatif Cara
pembahasan
dengan
mengadakan
analisis
perbandingan antara beberapa pendapat, kemudian diambil suatu pengertian atau kesimpulan yang memiliki faktor-faktor yang ada hubungannya dengan situasi yang diselidiki dan dibandingkan antara suatu faktor dengan faktor lain ( Surachmad, 1978 : 135 ).
G. Sistematika Penulisan Bab I pendahuluan, meliputi uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II kajian pustaka, yang menguraikan tentang ketentuanketentuan wakaf secara hukum Islam ( fiqih ) serta perundang-undangan yang ada di Indonesia. Bab III paparan data dan temuan penelitian, yang berisi mengenai data-data yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan praktek terjadinya wakaf di Kelurahan Manding Temanggung dan proses terjadinya wakaf, serta sebab dan dampak dari kekeliruan praktek wakaf yang terjadi, melalui wawancara maupun observasi. Bab IV pembahasan,
memuat
tentang
kronologis
terjadinya
praktek wakaf di Kelurahan Manding Temanggung serta perbandingan antara praktek nyata dilapangan dengan hukum yang telah ditetapkan secara hukum Islam ( fiqih ) dan Perundang-undangan. Bab V penutup, merupakan bagian terakhir penulisan skripsi ini. Pada bab ini akan disimpulkan keseluruhan isi skripsi mengenai hasil penelitian penarikan wakaf tanah oleh ahli warisnya, serta berisi saran terhadap akademika lembaga kampus STAIN Salatiga, khususnya terhadap program studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah ( AS ).
BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bagian kajian pustaka ini, penulis akan membahas tentang ketentuanketentuan wakaf secara hukum Islam ( fiqih ) serta perundang-undangan yang ada di Indonesia.
A.
Konsep Wakaf Menurut Hukum Islam ( Fiqih ) 1.
Pengertian wakaf menurut hukum Islam Kata “ Wakaf ” atau “ wacaf ” berasal dari bahasa Arab “ waqafa ”. Asal kata “ Waqafa ” berarti “ menahan “ atau “ berhenti ” atau “ diam di tempat ” atau tetap “ berdiri ” ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 1 ). Menurut istilah, para ahli fiqih berbeda dalam mendefinisikan wakaf, sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut : a)
Menurut Abu Hanifah, Wakaf adalah penahanan pokok sesuatu harta dalam tangan pemilikan wakaf dan penggunaan hasil barang itu, yang dapat disebutkan ariah atau commodate loan untuk tujuan-tujuan amal saleh. Sementara itu pengikut Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Imam Muhammad memberikan pengertian wakaf sebagai penahanan pokok suatu benda dibawah hukum benda Tuhan Yang Mahakuasa, sehingga hak pemilikan dari wakif berakhir dan berpindah kepada Tuhan Yang Mahakuasa untuk sesuatu tujuan, yang hasilnya dipergunakan untuk manfaat makhuk - Nya ( Usman, 2009 : 52 ).
b)
Menurut mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif,
namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 2 ). c)
Menurut syafi’i dan ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah
sempurna
prosedur
perwakafan
(
Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 3 ). Dengan demikian, yang dimaksud dengan wakaf
adalah
menyediakan suatu harta benda yang dipergunakan hasilnya untuk kemaslahatan umum ( Usman, 2009 : 52 ). Dalam pandangan umum harta tersebut adalah milik Allah, dan oleh sebab itu, persembahan itu adalah abadi dan tidak dapat dicabut kembali. Harta itu sendiri ditahan dan tidaklah dapat dilakukan pemindahan. Selanjutnya wakaf tersebut tidak dapat diakhiri, ia milik Allah dan haruslah diabadikan, sesuai dengan kecerdasan manusia untuk menjamin keabadian itu dengan suatu fiksi hukum yang menyatakan bahwa harta itu telah berpindah milik ke tangan Tuhan Yang Mahakuasa. Karenanya harta yang dijadikan wakaf tersebut tidak habis karena dipakai, dengan arti biarpun faedah harta itu diambil, tubuh benda itu masih tetap ada ( Usman, 2009 : 53 ). 2.
Dasar hukum wakaf menurut islam
a.
Dasar wakaf yang bersumber dari Al-Quran
( ٧٧:ﻥﹶ )ﺍﳊﺞﻮﺤﻔﹾﻠ ﺗﻠﹶﻜﹸﻢﻟﹶﻌﺮﻴﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾﺨﺍﻓﹾﻌﻭ Artinya: “ Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan ” ( QS : al-Hajj : 77 ).
ﺊﻴ ﺷﻦﺍ ﻣﻘﹸﻮﻔﻨﺎ ﺗﻣﻥﹶ ﻭﻮﺒﺤﺎ ﺗﻤﺍ ﻣﻘﹸﻮﻔﻨﻰ ﺗﺘ ﺣﺎﻟﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾﺒﹺﺮﻨ ﺗﻟﹶﻦ ( ٩٢ : ) ﺍ ﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ. ﻢﻴﻠ ﻋﻓﹶﺈﹺﻥﱠ ﺍﷲَ ﺑﹺﻪ Artinya: “ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna ) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui” ( QS: Ali Imran : 92 ).
ﺖﺘﺒ ﺍﹶﻧﺔﺒﺜﹶﻞﹺ ﺣﻞﹺ ﺍﷲِ ﻛﹶﻤﺒﹺﻴ ﺳﻲ ﻓﻢﺍﻟﹶﻬﻮﻥﹶ ﺍﹶﻣﻘﹸﻮﻔﻨ ﻳﻦﻳﺜﹶﻞﹸ ﺍﻟﱠﺬﻣ ﻦﻤ ﻟﻒﺎﻋﻀﺍﷲُ ﻳ ﻭﺔﺒﺎﺋﹶﺔﹸ ﺣ ﻣﻠﹶﺔﺒﻨ ﻛﹸﻞﱢ ﺳﻲﺎﺑﹺﻞﹶ ﻓﻨ ﺳﻊﺒﺳ ( ٢٦١ : ) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ.ﻢﻴﻠ ﻋﻊﺍﺳﺍﷲُ ﻭﺎﺀُ ﻭﺸﻳ Artinya: “ Perumpamaan ( nafkah yang dikeluarkan oleh ) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan butiran benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipat gandakan ( ganjaran ) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas ( karunia-Nya ) lagi Maha Mengetahui ” ( QS : Al-Baqarah : 261 ). b.
Dasar wakaf yang bersumber dari Hadist
ﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ ﺻﺒﹺﻲﻠﻨ ﻟﺮﻤ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻋ: ﻗﹶﺎﻝﹶﺮﻤﻦﹺ ﻋﻦﹺ ﺍﺑﻋ
ﺠﹺﺐﻂ ﺍﹸﻋ ﺎﻻﹰ ﻗﹶ ﱡ ﻣﺐ ﺍﹸﺻﻟﹶﻢﺮﺒﻴ ﺑﹺﺨﻲ ﻟﻲﻢﹺ ﺍﻟﱠﺘﻬﻥﹾ ﺋﹶﺔﹶ ﺳﺍ ﺻﻠﻌﻢﺒﹺﻲ ﻓﹶﻘﹶﺎ ﻝﹶ ﺍﻟﻨ, ﺎ ﺑﹺﻬﻕﺪﺼ ﺍﹶﻥﹾ ﺍﹶﺗﺕﺩ ﺍﹶﺭﺎ ﻗﹶﺪﻬﻨﻟﹶﻰ ﻣﺍ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺮﻯ ﻭﻣﺴﻠﻢ.ﺎﻬﻧﺮﻞﹾ ﺛﹶﻤﺒﺳﺎ ﻭﻠﹶﻬ ﺍﹶﺻﺒﹺﺲﺍﹶﺣ Artinya: Dari Ibnu Umar, ia berkata : “ Umar mengatakan kepada Nabi SAW Saya mempunyai seratus dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi SAW mengatakan kepada Umar : Tahanlah ( jangan jual, hibahkan dan wariskan ) asalnya ( modal pokok ) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah ” ( HR. Bukhari dan Muslim ). 3.
Syarat dan rukun wakaf Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf ada empat ( 4 ), yaitu : a. Wakif ( orang yang mewakafkan harta ) b. Mauquf’bih ( barang atau harta yang diwakafkan ) c. Mauquf”Alaih ( pihak yang diberi wakaf / peruntukan wakaf ) d. Shighat ( pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya ) ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 21 ) Adapun syarat dari wakaf adalah: a.
Syarat Wakif Orang yang mewakafkan ( wakif ) disyaratkan memiliki kecakapan hukum dalam membelanjakan hartanya, yang meliputi 4 kriteria, yaitu :
1) Merdeka Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak ( hamba sahaya ) tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya ( Direktorat pemberdayaan Wakaf, 2007 : 22 ). 2) Berakal sehat Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya. 3) Dewasa Tidak sah hukumnya wakaf yang berasal dari anakanak yang belum baligh. Sebab, jika dia belum dapat membedakan sesuatu, dia tidak layak untuk bertindak sekehendaknya. Walaupun dia adalah anak yang sudah mengerti, dia tidak layak membuat satu keputusan, bersedekah dan segala bentuk kesepakatan yang akan membahayakannya sendiri. 4) Tidak berada di bawah pengampuan ( boros/ lalai ) Orang
yang
berada
di
bawah
pengampuan
dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan, maka
wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 23 ). b.
Syarat Mauquf Bih Pada pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, tentang syarat sahnya harta yang diwakafkan, kedua, tentang kadar benda yang diwakafkan. a) Syarat sahnya harta wakaf Harta yang akan diwakafkan harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1)
Harta yang diwakafkan harus mutaqawwam Adalah segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal ( bukan dalam keadaan darurat ).
2)
Diketahui dengan yakin ketika diwakafkan Harta yang akan diwakafkan harus diketahui dengan yakin, sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 27 ).
3)
Milik wakif Hendaklah harta yang diwakafkan milik penuh dan mengikat bagi wakif ketika ia mewakafkannya ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 28 ).
4)
Terpisah, bukan milik bersama ( musya’ )
( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 29 ). 5)
Syarat-syarat yang ditetapkan wakif ( terkait harta wakaf ) Syarat-syarat yang ditetapkan wakif dalam ikrar
wakafnya itu atas kemauannya sendiri, sebagai wadah untuk mengungkapkan keinginannya tentang pengelolaan wakafnya. Syarat-syarat ini tidak mungkin dibatasi mengingat beragamnya tujuan dan keinginan wakif. Namun mungkin saja membatasi macam-macamnya ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 35 ). b) Kadar harta yang diwakafkan Yaitu harta yang akan diwakafkan seseorang tidak dibatasi dengan jumlah tertentu sebagai upaya menghargai keinginan wakif, berapa saja yang ingin diwakafkan. Apabila wakif ketika wafat meninggalkan salah seorang ahli warisnya tersebut, dan wakif mewakafkan harta kepadanya, maka wakafnya sah dan dilaksanakan. Akan tetapi apabila wakif ketika wafat meninggalkan salah seorang dari ahli warisnya, dan wakif mewakafkan hartanya kepada yang bukan ahli warisnya, maka wakafnya tidak dilaksanakan kecuali dalam batas sepertiga dari jumlah harta pusakanya ketika ia wafat, sedangkan sisanya
sebanyak dua pertiga diberikan kepada ahli warisnya ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 39 ). c.
Syarat Mauquf’Alaih ( penerima wakaf ) Yang dimaksud dengan mauquf’alaih adalah tujuan wakaf ( peruntukan wakaf ). Namun terdapat perbedaan pendapat antara para faqih mengenai jenis ibadat disini. Menurut
madzhab
Hanafi
mensyaratkan
agar
mauquf’alaih ditujukan untuk ibadah menurut pandangan Islam
dan
menurut
keyakinan
wakif
(
Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 46 ). Menurut
madzhab
Maliki
mensyaratkan
agar
mauquf’alaih untuk ibadat menurut pandangan wakif. Sah wakaf muslim kepada semua syi’ar Islam dan badan-badan sosial umum. Dan tidak sah wakaf non muslim kepada masjid dan syiar-syiar Islam. Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali mensyaratkan agar mauquf’alaih adalah ibadat menurut pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan wakif. Karena itu sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti penampungan, tempat peristirahatan, badan kebajikan dalam Islam seperti masjid. Dan tidak sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial yang tidak sejalan dengan
Islam seperti gereja ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 47 ). d.
Syarat Shighat ( Ikrar wakaf ) Shighat wakaf ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Namun shighat wakaf cukup dengan ijab saja dari wakif tanpa memerlukan qabul dari mauquf’alaih. Begitu juga qabul tidak menjadi syarat sahnya wakaf dan juga tidak menjadi syarat untuk berhaknya mauquf’alaih memperoleh manfaat harta wakaf, kecuali pada wakaf yang tidak tertentu. Status shighat adalah salah satu rukun wakaf. Wakaf tidak sah tanpa shighat. Setiap shighat mengandung ijab, dan mungkin mengandung qabul pula. Dasar perlunya shighat ialah karena wakaf adalah melepaskan hak milik dan benda dan manfaat atau dari manfaat saja dan memilikkan kepada yang lain. Maksud tujuan melepaskan dan memilikkan adalah urusan hati. Tidak ada yang menyelami isi hati orang lain secara jelas, kecuali melalui pernyataan sendiri. Karena itu pernyataanlah jalan untuk mengetahui maksud tujuan seseorang. Ijab wakif tersebut mengungkapkan dengan jelas keinginan wakif memberi wakaf. Ijab dapat berupa kata-kata. Bagi wakif yang tidak mampu
mengungkapkannya dengan kata-kata, maka ijab dapat berupa tulisan atau isyarat ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 55 ). 4.
Macam-macam wakaf Bila ditinjau dari segi peruntukan, wakaf dibagi menjadi 2 macam : a. Wakaf Ahli Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 14 ). b. Wakaf Khairi Yaitu wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama ( keagamaan ) atau kemasyarakatan ( kebajikan umum ) ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 16 ).
5.
Status hukum hak milik harta wakaf Setelah selesai dilakukan ijab qabul, maka harta wakaf tersebut menjadi milik Allah SWT, yang selanjutnya dikelola dan diurus oleh seseorang. Dalam hukum Islam orang yang mengelola dan mengurus harta wakaf ini dinamakan dengan qayyim atau nadhir atau mutawali. Mutawali atau nadhir inilah yang mengelola dan mengurus harta wakaf tersebut. Untuk sekadarnya mutawali dibenarkan untuk mengambil sebagian dari manfaat harta wakaf dalam
rangka
menjalankan
fungsi
kepengurusan
dan
kepengelolaannya atas harta wakaf yang diserahkan kepadanya. Mutawali diangkat dan diberhentikan oleh orang yang memberikan wakaf. Apabila tidak ada mutawali maka kewajiban itu dikerjakan oleh Pemerintah ( Usman, 2009 : 63 ). Jabatan mutawali dapat dicabut apabila wakif berkhianat dalam mengurus harta wakaf, atau tidak menjaga dengan baik, atau menyalahi syarat-syarat wakaf yang sudah dibuat, dan diminta kerugian wakaf lantaran kesalahan-kesalahan itu walaupun dia itu wakif sendiri ( Usman, 2009 : 64 ).
B.
Konsep Wakaf Menurut Perundang-Undangan di Indonesia 1.
Peraturan-peraturan perundang-undangan tentang wakaf a.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ( Usman, 2009 : 153 ).
b.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ( Usman, 2009 : 181 ).
c.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik ( Usman, 2009 : 220 ).
d.
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik ( Usman, 2009 : 234 ).
e.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik ( Usman, 2009 : 242 ).
f.
Instruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1978 dan Nomor 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik ( Usman, 2009 : 249 ).
g.
Keputusan Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 422 Tahun 2004 dan Nomor 3 / SKB / BPN / 2004 tentang Sertifikat Tanah Wakaf ( Usman, 2009 : 251 ).
2.
Kedudukan Harta Wakaf Dalam pandangan Al-Maududi bahwa pemilikan harta dalam Islam itu harus disertai dengan tanggung jawab moral. Artinya, segala sesuatu ( harta benda ) yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga, secara moral harus diyakini secara teologis bahwa ada sebagian dari harta tersebut menjadi hak bagi pihak lain, yaitu untuk kesejahteraan sesama yang secara ekonomi kurang atau tidak mampu.
Azas keseimbangan dalam kehidupan atau keselarasan dalam hidup merupakan azas hukum yang universal. Azas tersebut diambil dari tujuan perwakafan. Yaitu untuk beribadah atau pengabdian kepada Allah swt sebagai wahana komunikasi dan keseimbangan
spirit
antara
keseimbangan tersebut
manusia
dengan
Allah.
Titik
pada gilirannya akan menimbulkan
keserasian dirinya dengan hati nuraninya untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban dalam hidup. Azas keseimbangan telah menjadi azas pembangunan, baik di dunia maupun di akhirat, yaitu antara spirit dengan materi dan individu dengan masyarakat banyak ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 67 ). Azas pemilikan harta benda adalah tidak mutlak, tetapi dibatasi atau disertai dengan ketentuan-ketentuan yang merupakan tanggung jawab moral akibat dari kepemilikan tersebut. Pengaturan manusia berhubungan dengan harta benda merupakan hal yang esensiil dalam hukum dan kehidupan manusia. Pemilikan harta benda menyangkut
bidang hukum, sedang pencarian dan
pemanfaatan harta benda menyangkut bidang ekonomi dan keduanya bertalian erat yang tidak bisa dipisahkan. Sejalan dengan konsep kepemilikan harta dalam Islam, maka harta yang telah diwakafkan memiliki akibat hukum, yaitu ditarik dari lalu lintas peredaran hukum yang seterusnya menjadi milik Allah, yang dikelola oleh perorangan dan atau lembaga
Nazhir,
sedangkan
manfaat
bendanya
digunakan
untuk
kepentingan umum ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 68 ). Sebagai konsep sosial yang memiliki dimensi ibadah, wakaf juga disebut amal shadaqah jariyah, dimana pahala yang didapat oleh wakif akan selalu mengalir selama harta tersebut masih ada dan bermanfaat. Untuk itu harta yang telah diikrarkan untuk diwakafkan, maka sejak itu harta tersebut terlepas dari kepemilikan wakif dan kemanfaatannya menjadi hak-hak penerima wakaf. Dengan demikian, harta wakaf tersebut menjadi amanat Allah kepada orang atau badan hukum untuk mengurus dan mengelolanya. Apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah untuk pemeliharaan lembaga pendidikan atau balai pengobatan yang dikelola oleh suatu yayasan, maka sejak diikrarkan sebagai harta wakaf, tanah tersebut terlepas dari hak milik si wakif, pindah menjadi hak Allah dan merupakan amanat pada lembaga atau yayasan yang menjadi tujuan wakaf. Sedangkan yayasan tersebut memiliki
tanggung
memberdayakannya
jawab secara
penuh
untuk
maksimal
mengelola
demi
dan
kesejahteraan
masyarakat banyak ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 69 ). 3.
Barang yang boleh diwakafkan Jenis harta benda wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf terdiri dari :
a.
Benda tidak bergerak Yang dimaksud dalam Undang-Undang wakaf dapat dijabarkan sebagai berikut : 1) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang sudah maupun yang belum terdaftar. 2) Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada poin pertama. 3) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah. 4) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5) Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan prinsip syari’ah dan peraturan perundang-undangan.
b.
Benda bergerak selain uang, dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Benda digolongkan sebagai benda bergerak karena sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan atau karena ketetapan Undang-Undang. 2) Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan dan yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian.
3) Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian tidak dapat diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediaannya berkelanjutan. 4) Benda bergerak yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian dapat diwakafkan dengan memperhatikan ketentuan prinsip syari’ah ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 71 ). c.
Benda bergerak berupa uang, dapat dijabarkan sebagai berikut 1) Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah. 2) Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah. 3) Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk :
a.
Hadir di Lembaga Keuangan Syari’ah Penerima Wakaf Uang ( LKS-PWU ) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya.
b.
Menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan.
c.
Menyetorkan secara tunai sejumlah uang ke LKSPWU.
d.
Mengisi formulir pernyataan kehendak Wakif yang berfungsi sebagai akta ikrar wakaf. · Dalam hal Wakif tidak dapat hadir, maka Wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya. · Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada Nazhir di hadapan PPAIW yang selanjutnya Nazhir menyerahkan akta
ikrar
wakaf
tersebut
kepada
LKS
( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007 : 73 ). 4.
Pembinaan dan pengembangan wakaf melalui Badan Wakaf Indonesia Dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 juga dibentuk Badan Wakaf Indonesia ( BWI ) sebagai suatu lembaga independen yang bertugas untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional di Indonesia. BWI ini berkedudukan di ibu kota negara dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan / atau kabupaten / kota sesuai dengan kebutuhan dan sebelumnya Badan Wakaf Indonesia telah berkonsultasi dengan pemerintah daerah setempat ( Usman, 2009 : 132 ). Melihat kepada tugas-tugas yang dibebankan kepada BWI, badan ini mempunyai fungsi sangat strategis terutama dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap nazhir untuk dapat melakukan pengelolaan wakaf secara produktif. Diperlukan
sumber daya manusia yang benar-benar mempunyai kemampuan dan kemauan dalam mengelola wakaf, berdedikasi tinggi dan memiliki komitmen dalam pengembangan wakaf serta memahami masalah wakaf serta hal-hal yang terkait dengan wakaf. Untuk dapat diangkat menjadi anggota BWI, setiap calon anggota harus memenuhi persyaratan, yaitu warga negara Indonesia, beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, memiliki pengetahuan, kemampuan, dan / atau pengalaman di bidang perwakafan dan / atau ekonomi, khususnya di bidang ekonomi syari’ah, dan mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan
perwakafan
nasional.
Pertimbangan
BWI
ditetapkan oleh para anggota. Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya tadi, susunan organisasi BWI terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan. Badan Pelaksana BWI merupakan unsur pelaksana tugas BWI dan Dewan Pertimbangan BWI merupakan unsur pengawas pelaksanaan tugas BWI. Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan BWI masing-masing dipimpin oleh 1 orang Ketua dan 2 orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Susunan keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan BWI ditetapkan oleh para anggota ( Usman, 2009 : 134 ).
C.
Perubahan Peruntukan Wakaf 1.
Ditinjau dari Hukum Islam ( fiqih ) Harta wakaf bersifat kekal, artinya manfaat dari harta wakaf itu boleh dinikmati, tetapi harta wakafnya sendiri tidak boleh diasingkan. Bila timbul masalah, misalnya harta wakaf sudah tidak bermanfaat lagi, maka akan menjadi lebih bermanfaat lagi apabila harta tersebut dipindahkan, contohnya dijual. Sayyid sabiq menyatakan apabila wakaf telah terjadi, tidak boleh dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan sesuatu yang menghilangkan kewakafannya. Bila orang yang berwakaf mati, wakaf tidak diwariskan sebab yang demikian inilah yang dikehendaki oleh wakaf dan karena ucapan Rasulullah SAW seperti yang disebut dalam hadist Ibnu Umar, bahwa “ tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan” ( Sabiq, 1996 : 156 ). Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, apabila manfaat wakaf itu dapat digunakan wakaf itu boleh dijual dan uangnya dibelikan kepada gantinya. Contoh : 1) Mengganti atau mengubah masjid 2) Memindahkan masjid dari satu kampung ke kampung yang lain 3) Dijual, uangnya untuk mendirikan masjid di lain kampung 4) Karena kampung yang lama tidak berkehendak lagi kepada masjid misalnya sudah rubuh. Hal tersebut jika dilihat dari kemaslahatannya.
Ibnu Taimiyah berkata bahwa sesungguhnya yang menjadi pokok disini guna menjaga kemaslahatannya. Allah telah mengutus pesuruh-Nya guna menyempurnakan kemaslahatan dan melenyapkan segala kerusakan ( Rasjid, 1954 : 327 ). Demikian juga menurut Ibnu Qudamah salah seorang mazhab Hambali bahwa apabila harta wakaf rusak hingga tidak dapat membawakan manfaat sesuai tujuannya, hendaklah dijual saja dibelikan barang lain yang mendatangkan kemanfaatan sesuai dengan tujuan wakaf, dan barang yang dibeli itu berkedudukan sebagai harta wakaf seperti semula. Dengan
demikian,
harta
wakaf
yang
tidak
dapat
dimanfaatkan lagi dibenarkan untuk diasingkan atau dijual guna mendapatkan manfaatnya. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar yang terdapat di dalam hukum Islam, bahwa kemaslahatan yang lebih diutamakan dalam menentukan suatu hukum. Pada dasarnya benda wakaf tidak dapat diubah atau dialihkan. Dalam pasal 225 KHI ( Kompilasi Hukum Islam ) ditentukan, bahwa benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Ketentuan yang dimaksud hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala KUA Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan, karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh waqif dan karena kepentingan umum. 2.
Ditinjau dari Perundang-Undangan di Indonesia Memanfaatkan benda wakaf berarti menggunakan benda wakaf tersebut. Sedang benda asalnya / pokoknya tetap tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Namun, kalau suatu ketika benda wakaf itu sudah tidak ada manfaatnya, atau kurang memberi manfaat demi kepentingan umum kecuali harus melakukan perubahan pada benda wakaf tersebut, seperti menjual, merubah bentuk / sifat, memindahkan ketempat lain atau menukar dengan benda lain. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf juga mengatur tentang perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah dianggap tidak atau kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri. Secara prinsip, harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang : a.
dijadikan jaminan;
b.
disita;
c.
dihibahkan;
d.
dijual;
e.
diwariskan;
f.
ditukar; atau
g.
dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Namun, ketentuan tersebut dikecualikan apabila harta benda
wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang ( RUTR). Berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syari’ah. Pelaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 )
hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh ijin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian tersebut wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang – kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. Dengan demikian perubahan benda wakaf pada prinsipnya bisa dilakukan selama memenuhi syarat-syarat tertentu dan dengan mengajukan alasan-alasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang yang berlaku. Ketatnya prosedur perubahan benda wakaf itu bertujuan untuk meminimalisir penyimpangan peruntukan dan menjaga keutuhan harta wakaf agar tidak terjadi tindakantindakan yang dapat merugikan eksistensi wakaf itu sendiri. Sehingga wakaf tetap menjadi alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak.
BAB III KONDISI WAKAF DI KELURAHAN MANDING A.
Kondisi Geografis, Sosial Budaya dan Ekonomi 1.
Kondisi Geografis Desa Manding termasuk salah satu desa yang berada di lereng Gunung Sumbing. Dari Kota Kabupaten hanya berjarak kurang lebih 1 km. Dengan demikian Desa Manding sudah diikutsertakan menjadi Kelurahan. Perubahan tersebut betulbetul membawa dampak yang sangat baik. Itu dapat dilihat dengan didirikannya Rumah Sakit Gunung Sawo, pom bensin dan swalayan. Udara di desa sejuk dan masih sangat segar, karena masih banyak pohon-pohon besar dan belum ada polusi udara. Pemandangan di sekitar tempat kami juga bagus, karena masih banyak sawah dengan tanaman yang hijau yang menyejukkan
mata. Di samping itu ada juga Sungai Progo yang mengalir. Yang dapat dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk diambil batu dan pasirnya yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan. 2.
Kondisi Sosial Budaya a.
Agama Mayoritas di kelurahan adalah Islam. Terbukti adanya 8 masjid dan 3 mushola. Saat Bulan Ramadhan, shalat terawih ada yang 23 rakaat dan ada juga yang 11 rakaat. Begitu juga waktu shalat Id kadang-kadang tidak bersamaan.
Namun
hal tersebut
tidak
menjadikan
permasalahan. Di kelurahan kami, sebagian kecil ada yang memeluk agama Budha dan Kristen, sehingga di tempat kami juga ada Wihara. b.
Tradisi Masyarakat Walaupun sebagian besar beragama Islam. Namun, di tempat kami masih terdapat nyadran, kenduri dan peringatan hari kematian. Nyadran diadakan setiap tanggal 14 Ruwah ( Sya’ban ). Semua warga dalam satu RT, sehabis shalat dhuhur berkumpul di suatu tempat ( rumah salah satu warga yang besar ) dengan membawa nasi beserta lauk
pauknya. Setelah sesepuh RT selesai membacakan doa maka
dimulailah
makan
bersama
dengan
saling
menawarkan makanan yang dibawa. Kenduri diadakan menjelang bayi berumur tujuh hari, sebelum anak mau sunat juga pada remaja yang akan menikah. Kenduri dihadiri oleh warga yang sebelumnya sudah diberitahu lebih dulu. Pelaksanakannya dipimpin oleh KaUr Kesra untuk membacakan doa. Dalam kenduri ada yang berupa nasi, lauk dan snak. Ada juga yang berupa sembako. Bayi
yang
menjelang
berumur
tujuh
hari
mengadakan selamatan dengan menyembelih kambing. Untuk anak laki-laki dua ekor sedangkan anak perempuan satu ekor. Daging kambing tersebut dimasak lalu dibagikan kepada warga yang di undang. Dengan dilengkapi telur ayam, oseng-oseng, kerupuk, buah dan snak. Malam itu diadakan berjanjen dan srakal. Bayi tersebut digendong, dipayungi dan ada sesepuh yang memotong sebagian rambut bayi tersebut. Bagi anak yang mau sunat, di tempat kami ratarata berumur 13 tahun. Sebelum sunat, malam harinya diadakan selamatan. Ada yang mendatangkan mantri tetapi ada juga yang datang kerumah dokter. Setelah
pulang, tetangga dan kerabat berdatangan memberikan uang saku pada anak tersebut. Tetapi kalau selamatan itu dirayakan
besar-besaran
maka
kita
datang
untuk
nyumbang. Untuk yang sederhana, cukup snak. Tetapi bagi yang mewah, uang sumbang diberikan kepada orang tuanya. Nikah adalah akhir dari masa remaja. Sebelumnya diadakan mahar. Di tempat kami umumnya, kecuali seperangkat alat shalat juga berupa uang dan pakaian. Pelaksanakannya ada yang sederhana ( hanya ke KUA ). Tetapi ada juga yang memboyong bapak penghulu ke rumah ( mbedol pengulu ). Upacara tersebut ada yang cukup
di
tempat
pengantin
perempuan
saja
( diglundungke ). Ada yang dengan cara budhal payung ( selesai resepsi pengantin wanita diboyong ke rumah pengantin pria ). Ada juga dengan cara pendhakan ( setelah pernikahan berselang lima hari maka pengantin perempuan diantar ke rumah pengantin pria ) oleh kerabat. Peringatan hari kematian diadakan hari ke 3, 7, 40, 100, 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh semua warga. Malam ke 1 sampai ke 7 diadakan tahlil dan membaca yasin, yang diikuti sebagian besar
dari
kelurahan
tersebut.
Untuk
peringatan
selanjutnya, umumnya mengundang warga satu RT ditambah keluarga. Sebagai ucapan terima kasih karena sudah mendoakan, ada yang memberi berupa makanan dan ada juga yang berupa sembako. c.
Sosial Kerukunan antar warga ditempat kami, walapun ada yang berbeda agama, tetapi tetap baik. Contoh : kerja bakti, ronda dan kerjasama baik susah maupun senang. Kerja bakti merupakan sarana untuk menyatukan warga antara si kaya dan si miskin. Semua pekerjaan dilakukan
bersama-sama
menurut
kemampuannya.
Pemberitahuannya biasanya diumumkan pada selapanan ( rapat RT ). Waktu istirahat dan makan snak, semua tetap bersama tanpa ada keistimewaan. Bagi yang tidak berangkat
tanpa
kecuali
harus
didenda
sebesar
Rp 50.000,00. Uang tersebut masuk kas RT. Ronda adalah tugas pada malam hari untuk menjaga keamanan, membangunkan warga untuk saur dan ikut bertanggung jawab pada kerepotan warga. Ronda diadakan secara bergiliran yang setiap malamnya terdiri dari 5 atau 6 orang. Datang di poskampling paling lambat pukul 22.00 WIB. Bila di kampung ada kerusuhan maka petugas ronda harus lapor. Pada Bulan Ramadhan petugas ronda
juga harus membangunkan warga sekitar pukul 02.30 WIB, dengan
keliling
sambil
membunyikan
kentongan.
Kerepotan warga juga menjadi tugas yang ronda. Misalnya, ada warga yang sakit dan malam itu akan dibawa ke RSU, maka petugas ronda harus siap bila diperlukan. d.
Ekonomi Mata pencaharian penduduk kelurahan sebagian adalah petani. Agar tanaman dapat menghasilkan panen yang maksimal harus dipilih bibit unggul. Bibit tersebut dapat dibeli dari Dinas Pertanian. Perairan harus cukup. Dengan demikian, di kelurahan kami banyak dibangun irigasi agar tanaman cukup air. Pemupukan harus dilaksanakan tepat waktu. Pupuk yang digunakan dapat berupa pupuk kandang, kompos maupun pupuk buatan pabrik. Hama yang merusak tanaman cukup banyak. Diantaranya wereng, tikus dan ulat. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan penyemprotan. Dari ketiga hama tersebut yang paling sulit diberantas adalah tikus. Semua itu karena ulah manusia juga. Yang sebetulnya ular sawah dapat memangsa tikus di sawah, tetapi ular tersebut sering ditangkap manusia untuk dijual.
Sehabis panen tanah dibajak dengan menggunakan traktor. Karena lebih cepat, murah dan praktis. Pengolahan dapat lebih singkat sehingga langsung dapat ditanami palawija ( jagung, ketela dan kedelai ). Ada juga yang ditanami tembakau, karena tembakau merupakan aset terbesar di Kabupaten Temanggung. Banyak sekali didirikan gudang-gudang untuk menyimpan tembakau di luar Kota Temanggung. Ketika panen tembakau tiba, pasar maupun toko berubah menjadi lebih ramai. Begitu juga untuk orangorang disekitarnya juga mendapatkan rejeki, misalnya memetik daun tembakau, memisahkan dan menjemur. Sehingga yang tadinya tidak mempunyai pekerjaan, pada musim tembakau dapat ikut merasa senang. Kecuali pertanian di kelurahan kami juga terdapat home industri ( pembuatan tempe, keripik talas dan keripik pisang ). Untuk pembuatan tempe diperlukan kedelai. Kedelai tadi tidak dibeli dari tengkulak, tetapi dibeli dari koperasi. Jadi kecuali berbelanja juga sambil menabung. Tabungan tersebut akan dibagi menjelang hari raya, yang berupa uang dan hadiah THR.
Untuk pembuatan keripik pisang dan talas, bahan dasarnya dibeli dari luar daerah. Pembuatan keripik tersebut
alat-alatnya
mendapatkan
bantuan
dari
Pemerintah. Hasil produksinya tidak hanya dipasarkan di daerah sendiri tetapi juga sampai keluar daerah. Dengan demikian, juga memberikan lapangan pekerjaan kepada orang-orang yang membutuhkan. Keadaan ekonomi pada umumnya sudah layak. Artinya perbedaan tidak terlalu mencolok. B.
Kondisi Perwakafan Pada umumnya wakaf digunakan untuk masjid. Tahap-tahap penyerahan wakaf, pertama kali pemilik wakaf menyerahkan kepada pengurus masjid dengan disaksikan sekurang-kurangnya dua orang saksi. Selanjutnya pihak pengurus masjid melapor kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, untuk permohonan kepada Camat untuk mendaftar perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestariannya. Hal tersebut untuk memperoleh kekuatan hukum. Karena di Kelurahan kami pernah terjadi peristiwa penarikan wakaf.
Yang
disebabkan
belum
adanya
bukti
tertulis
( sertifikat ). Penelitian di Keluruhan Manding menemukan peristiwa penarikan wakaf yang dilakukan oleh ahli waris. Dalam penulisan ini, nama dan jabatan kami samarkan. Pasangan Bapak Amin dan Ibu Karti mempunyai dua orang anak.
Semuanya laki-laki. Kehidupan keluarga tersebut sangat sederhana, sehari-harinya menjual pakaian bekas. Suatu saat dia membeli sawah tahunan yang ditanami tembakau dan kentang. Hasilnya sangat bagus dan harga tembakaunya sangat tinggi. Dari hasil tersebut dia dapat menyekolahkan kedua putranya sampai lulus sarjana. Memang, nasib yang beruntung, putra pertama ( Bagus ) menjadi pengusaha sukses dan putra kedua ( Bagas ) menjadi PNS yang punya jabatan. Sebelum Bapak Amin dan Ibu Karti meninggal, mereka mewariskan sebagian tanah kepada kedua orang putranya dan sebagian diwakafkan. Dalam menjalankan usahanya Bagus sangat lancar. Tetapi setelah beberapa tahun kemudian mengalami kebangkrutan. Sehingga semakin lama sebagian harta yang dimiliki mulai habis dan kondisi badannya sakit-sakitan. Biaya untuk berobat sangat mahal, sehingga harta kekayaannya sudah habis terjual dan dia tinggal bersama anaknya. Karena keadaan yang sangat mendesak ( untuk berobat ), akhirnya tanah yang sudah diwakafkan oleh orang tuanya ke masjid ditarik kembali untuk dijual. Dalam melaksanakan perwakafan tanahnya seluas 250 m2 ( sebelah timur rumah Bapak Mutakin, barat rumah Bapak Syahroni, selatan rumah Bapak Hanzari dan utara jalan raya ) dengan panjang 25 m2 dan lebar 10 m2 , Bapak Amin hanya melalui pembicaraan saja.
Yang diserahkan kepada salah satu pengurus masjid ( Bapak Subagio ). Dalam penyerahan wakaf tersebut tidak ada saksi. Setelah pembicaraan itu selesai pengurus masjid menunjuk Bapak Yumanto sebagai nazhir. Tetapi karena belum adanya bukti tertulis dari pemberi wakaf maka nazhir masih ragu-ragu dalam menjalankan tugasnya. Yang sebetulnya tanah tersebut perlu segera mendapatkan penanganan secepatnya karena ditumbuhi oleh pohon-pohon liar. Sedangkan tujuan wakaf tersebut akan dipergunakan sebagai sarana pendidikan ( Taman Kanak-Kanak ). Tentang keagamaan Bagus. Dia seorang yang berpendidikan sedangkan orang tuanya termasuk orang yang patuh pada agama. Namun karena keadaan ekonomi yang memaksa dan lemahnya pengetahuan agama maka penarikan wakaf tanah tersebut bisa terjadi. Dari penarikan tersebut, Bagus datang kepada pengurus masjid yang dulu diserahi wakaf tersebut oleh orang tuanya. Dengan mengatakan kalau dia mau mengambil lagi wakaf tersebut yang alasannya karena keadaan yang mendesak. Mendengar hal tersebut pengurus masjid tidak membolehkan. Tapi ketika Bagus meminta bukti tertulisnya, pengurus masjid langsung bingung, mau mengatakan apa kepada Bagus. Karena memang tidak ada bukti tertulisnya ketika tanah tersebut diwakafkan. Akhirnya hal tersebut terjadi. Dari kejadian di atas menjadikan masyarakat kurang peduli terhadap Bagus, dikucilkan dan ada yang merusak tanaman di halaman rumah Bagus. Sedangkan tokoh agama di desa kami menyayangkan
perbuatan yang dilakukannya dan melakukan pendekatan kepadanya dengan jalan memberi nasehat agar tidak mengulangi lagi perbuatannya tersebut.Menanggapi hal tersebut, bagi orang yang memahami masalah perwakafan maka sangat menyayangkan atas tindakan Bagus. C.
Sebab-Sebab Terjadinya Penarikan Wakaf 1. Keadaan ekonomi yang memaksa. Dari kehidupan yang tadinya berkecukupan, tiba-tiba usahanya bangkrut ditambah kondisi badannya yang sakit-sakitan. Bagi Bagus merupakan beban yang sangat berat. Ditambah lagi isterinya meninggal dunia. Sehingga akhirnya dia tinggal bersama putranya. Untuk mengatasi hal tersebut ( berobat ), tidak ada jalan lain kecuali menarik tanah wakaf tersebut untuk dijual. 2. Lemahnya pengetahuan agama. Tidak semua orang walaupun beragama Islam, belum tentu memahami ketentuan wakaf. Sehingga
kadang-kadang
orang
melakukan
sesuatu
yang
menyimpang dari aturan. Kecuali berdosa dia juga menanggung beban malu terhadap masyarakat dan penerima wakaf. 3. Belum mempunyai bukti yang sah. Kebiasaan masyarakat di kelurahan kami sering hanya dilandasi saling percaya. Kadangkadang hal tersebut tidak dapat diterapkan pada semua orang. Sehingga dapat merugikan berbagai pihak. Untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan, sebaiknya dibuktikan dengan penulisan di
atas materai atau lebih kuat lagi disahkan oleh dinas yang berwenang. D.
Dampak Terjadinya Penarikan Tanah Wakaf 1.
Merugikan pihak yang diberi wakaf. Calon penerima wakaf sudah merancang penggunakan tanah dan penggalangan dana. Tetapi sehubungan dengan hal ini menjadikan terhambatnya kemajuan masjid. Karena sebetulnya dengan wakaf tersebut, pembangunan akan lebih lancar dan sasarannya akan mudah tercapai.
2.
Reaksi masyarakat menjadi kurang baik. Masyarakat di kelurahan Manding umumnya berpengetahuan masih kurang, sehingga kalau terjadi sesuatu akan menjadi omongan terutama hal-hal yang kurang cocok. Terhadap Bagus masyarakat selalu menilai kurang
baik,
tidak
simpati
dan
kadang-kadang
juga
memperpanjang masalah tersebut sampai ke tempat lain. 3.
Dikucilkan oleh masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Walaupun kaya tetap masih membutuhkan pertolongan orang lain. Demikian juga halnya
dengan
Bagus.
Karena
tindakannya,
dia
dibenci
masyarakat. Kalau ada kerja bakti atau menjenguk orang sakit tidak
diajak.
Karena
hal
tersebut,
meninggalkan kampung halamannya.
akhirnya
dia
pergi
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM (FIQIH) DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Tinjauan Hukum Islam ( Fiqih ) Di tengah problem sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi akhir-akhir ini, keberadaan lembaga wakaf menjadi sangat strategis. Disamping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi ( dimensi sosial ). Karena itu, pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan menjadi sangat strategis. Wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan ( pemilikan ) asal ( tahbisul ashli ), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa wakaf ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dihibahkan,
digadaikan, disewakan dan sejenisnya, yang cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf ( wakif ) tanpa imbalan. Juga menurut madhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, wakaf didefinisikan tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus sebagai milik Allah SWT dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan ( sosial ). Jadi jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkan kepada mauquf alaih ( yang di beri wakaf ) sebagai sedekah yang mengikat sehingga wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangan tersebut. Apabila waqif melarangnya maka qadli berhak memaksa agar memberikan kepada mauquf alaih. Dari hal tersebut di atas maka kejadian di Kelurahan Manding sangat bertolak belakang dengan pendapat madhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal. Hal tersebut disebabkan karena adanya tekanan ekonomi, lemahnya pengetahuan agama dan belum adanya bukti tertulis. Sehingga wakaf tersebut dapat ditarik kembali oleh pemberi wakaf ( wakif ). Hal tersebut merupakan perbuatan yang merugikan banyak pihak. Tanah tersebut yang sedianya mau dibangun sarana pendidikan, karena letaknya yang sangat strategis maka dengan adanya penarikan wakaf tersebut akhirnya dipindahkan ke tempat lain.
Menurut hukum islam ( fiqih ), pahala wakaf akan terus mengalir selama masih dipergunakan. Tetapi jika sebaliknya, maka bukan pahala yang didapat melainkan sindiran dari masyarakat. Pada dasarnya hal tersebut berawal dari rasa saling percaya, sehingga tidak dibuatkan bukti yang kuat. Kejadian tersebut membuat penerima wakaf selanjutnya lebih berhati-hati. Lemahnya pengetahuan agama sering membuat orang tidak takut dosa dan tidak menyadari akibat dari perbuatannya itu. Hanya dengan ijab qabul, menurut hukum islam ( fiqih ) itu sudah dianggap sah. Namun kadang-kadang orang meremehkan aturan tersebut. Sedangkan rukun wakaf ada empat, yaitu a. Pemberi wakaf; b. Penerima wakaf; c. Benda yang diwakafkan; d. Ikrar wakaf. Wakaf tidak sah tanpa shigat. Setiap shighat mengandung ijab dan mungkin mengandung qabul pula. Orang yang menarik wakaf berarti : a. Tidak mengikuti jejak nabi; b. Harta yang diwakafkan berpindah kepada Allah yang pengelolaannya diserahkan kepada nazhir; c. Wakaf merupakan suatu ibadat;
Agar wakaf tidak ditarik kembali menurut ketentuan pasal 223 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ), pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf suratsurat sebagai berikut : a. Tanda bukti pemilikan harta benda b. Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud. c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan. Selanjutnya benda wakaf tadi harus didaftarkan di Kecamatan guna menjaga
keutuhan
dan
kelestariannya.
Kompilasi
Hukum
Islam
( pasal 224 ) menentukan bahwa setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan, maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama nazhir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftar perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestariannya. B. Tinjauan Perundang-Undangan di Indonesia Wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat yang pengaturannya belum lengkap dan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Menurut pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004, wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Barang yang sudah diwakafkan tidak boleh ditarik kembali. Hal tersebut dapat dilihat pada BAB IV pasal 40 yang isinya “ harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang : a.
Dijadikan jaminan
b.
Disita
c.
Dihibahkan
d.
Dijual
e.
Diwariskan
f.
Ditukar
g.
Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya Sedangkan pengertian wakaf menurut UU No. 1 Tahun 2004
pasal 1, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syari'ah. Dalam Undang-Undang terdapat ikrar wakaf, menurut pasal 17 : 1. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakaf kepada nazhir dihadapan PPAIW ( Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ) dengan disaksikan oleh 2 ( dua ) orang saksi.
2. Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dinyatakan secara lisan dan / atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW ( Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ). Jadi setelah diucapkan dihadapan PPAIW, kemudian dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf, setelah terbit Akta Ikrar Wakaf, maka perbuatan wakaf tersebut akan menjadi sah menurut hukum yang berlaku. Apabila waqif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat dua orang saksi. Sedangkan wakif untuk melaksanakan ikrar wakaf atau kuasanya menyerahkan surat atau bukti kepemilikan harta benda wakaf kepada PPAIW ( Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ). Akta Ikrar Wakaf paling sedikit memuat : a. Nama dan identitas wakif b. Nama dan identitas nazhir c. Data dan keterangan harta benda wakaf d. Peruntukan harta benda wakaf e. Jangka waktu wakaf Apabila harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, nazhir melalui PPAIW ( Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ) mendaftarkan kembali kepada instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya
itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf. Dalam pengelolaan harta benda wakaf oleh nazhir dilaksanakan sesuai dengan : a.
Prinsip syariah
b.
Secara produktif
c.
Digunakan lembaga penjamin syari’ah Mengenai kasus penarikan tanah wakaf di Kelurahan Manding,
tidak dapat disalahkan, karena perbuatan wakafnya tidak dibuatkan Akta Ikrar Wakaf. Meskipun sudah terjadi ikrar wakaf menurut hukum islam ( fiqh ) antara orang tua si penarik wakaf dengan pihak masjid, karena belum adanya bukti yang kuat maka hal tersebut sah-sah saja. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanakan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, pasal 17. 1. Hak atas tanah yang dapat diwakafkan terdiri dari : a. Hak milik atas tanah baik yang sudah atau belum terdaftar. b. Hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai di atas tanah negara. c. Hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan atau hak milik wajib mendapat ijin tertulis pemegang hak pengelolaan atau hak milik. d. Hak milik atas satuan rumah susun.
2. Apabila wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) huruf c dimaksudkan sebagai wakaf untuk selamanya, maka diperlukan pelepasan hak dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik. 3. Hak atas tanah yang diwakafkan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) wajib dimiliki atau dikuasai oleh Wakif secara sah serta bebas dari segala sitaan, perkara, sengketa dan tidak dijaminkan. C. Komparasi Antara Hukum Islam ( Fiqih ) dan Perundang-Undangan di Indonesia Menurut hukum Islam ( fiqih ), wakaf dinyatakan sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf ada 4 ( empat ), yaitu : 1. Waqif ( orang yang mewakafkan harta ); 2. Mauquf Bih ( barang atau harta yang diwakafkan ); 3. Mauquf Alaih ( pihak yang diberi wakaf / peruntukan wakaf ); 4. Shighat ( pernyataan atau ikrar wakaf sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya ). Syarat wakaf, yaitu : 1.
Syarat waqif Orang yang mewakafkan ( waqif ) diisyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah ( Legal competent ) dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak di sini meliputi empat ( 4 ) kriteria, yaitu : a.
Merdeka
Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak ( hamba sahaya) tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya. Namun demikian Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqaha sepakat, budak itu boleh mewakafkan hartanya bila ada ijin dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya. b.
Berakal sehat Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyis dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya.
c.
Dewasa ( Baligh ) Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa ( baligh ) hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.
d.
Tidak berada di bawah pengampuan ( boros / lalai ) Dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan ( taharru’ ), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. Tetapi berdasarkan istihsan, wakaf orang yang berada dibawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta
wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain. 2.
Syarat mauquf bih ( harta yang diwakafkan ) a.
Syarat sahnya harta wakaf
1) Harta yang diwakafkan harus mutaqauwwam Pengertiannya menurut Mazhab Hanafi ialah segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal ( bukan dalam keadaan darurat ). Karena itu mazhab ini memandang tidak sah mewakafkan : a.
Sesuatu yang bukan harta, seperti mewakafkan manfaat dari rumah sewaan untuk ditempati.
b.
Harta yang tidak mutaqauwwam seperti alat musik yang tidak halal digunakan atau buku-buku anti Islam.
2) Diketahui dengan yakin ketika diwaqifkan Harta yang akan diwakafkan harus diketahui dengan yakin ( ‘ainun ma’lumun ), sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan. 3) Milik waqif Hendaklah harta yang diwakafkan milik penuh dan mengikat bagi waqif ketika ia mewakafkannya. Untuk itu tidak sah mewakafkan sesuatu yang bukan milik waqif.
4) Terpisah, bukan milik bersama ( musya’ ) Hukum wakaf benda milik bersama ( musya’ ). Mewakafkan sebagian dari musya’ untuk dijadikan masjid atau pemakaman tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum kecuali apabila bagian yang diwakafkan tersebut dipisahkan dan ditetapkan batas-batasnya. b.
Kadar harta yang diwakafkan Harta yang akan diwakafkan seseorang tidak dibatasi dalam jumlah tertentu sebagai upaya menghargai keinginan waqif, berapa saja yang ingin diwakafkan. Sehingga dapat menimbulkan penyelewengan sebagian waqif, karena dapat menimbulkan derita keluarga yang ditinggalkan.
3.
Syarat mauquf alaih ( penerima wakaf ) Yang dimaksud mauquf alaih adalah tujuan wakaf ( peruntukan wakaf ). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan syari’at Islam. Karena pada dasarnya wakaf merupakan amal yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhan. Karena itu mauquf alaih haruslah pihak kebajikan. Para fiqih sepakat bahwa infak kepada pihak kebajikan itulah yang membuat wakaf sebagai ibadah yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya.
4.
Syarat shighat ( ikrar wakaf ) a.
Pengertian shighat
Shighat wakaf ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Shighat wakaf cukup dengan ijab dari waqif tanpa memerlukan qabul dari mauquf alaih. Ini menurut pendapat sebagian mazhab.
b.
Status shighat Wakaf tidak sah tanpa shighat. Setiap shighat mengandung ijab dan mungkin mengandung qabul pula.
c.
Dasar shighat Dasar atau dalil perlunya shighat ialah karena wakaf adalah melepaskan hak milik dan benda dan manfaat atau dari manfaat saja dan memilikkan kepada orang lajn. Maksud tujuan melepaskan dan memilikkan adalah urusan hati, tidak ada orang lain yang tahu kecuali pernyataannya sendiri. Ijab waqif mengungkapkan dengan jelas keinginan waqif memberi wakaf. Ijab dapat berupa kata-kata, tulisan atau isyarat. Lafadz shighat wakaf ada 2 macam, yaitu : a.
Lafadz yang jelas ( sharih )
ﻠﹾﺖﺒ ﺳ ﻭﺖﺴﺒ ﺣ ﻭ ﻗﹶﻔﹾﺖﻭ
Bila lafadz ini dipakai dalam ijab wakaf, maka sah lah wakaf tersebut, sebab lafadz tersebut tidak mengandung suatu pengertian lain kecuali kepada wakaf b.
Lafadz kiasan ( kinayah )
ﺕﺪﺃﹶﺑ ﻭﺖﻣﺮ ﺣ ﻭﻗﹾﺖﺪﺻ Kalau lafadz ini dipakai, harus dibarengi dengan niat wakaf. Sebab lafadz “ Tashadd aqtu ” bisa berarti sedekah wajib seperti zakat dan sedekah. Sunah lafadz “ harramtu ” bisa berarti dzihar, tapi bisa juga berarti wakaf. Oleh karena itu harus ada ketegasan niat untuk wakaf. Kemudian lafadz “ abbadtu ” juga bisa berarti semua pengeluaran harta benda untuk selamanya. Sehingga semua lafadz kiasan yang dipakai untuk mewakafkan sesuatu harus disertai dengan niat wakaf secara tegas. Pedoman susunan lafadz shighat adalah 1.
Menggunakan kata yang sharih ( jelas ), yang menunjukkan pemberian wakaf. Penggunaan kata yang sharih tidak perlu diperkuat dengan niat wakaf.
2.
Menyebutkan obyek wakaf, seperti tanah, rumah dan lainlain.
3.
Menyebutkan seperlunya keterangan yang jelas tentang keadaan obyek wakaf, seperti luas tanah, keadaan bangunan dan alamat.
4.
Tidak perlu mencantumkan kalimat “ saya lepaskan dari milik saya ”.
5.
Memperhatikan 4 syarat-syarat wakaf. Perbedaan pendapat yang timbul dapat diatasi dengan menerapkan peraturan tertentu. Syarat-syaratnya ialah a.
Ta’bid Arti ta’bid ialah memberi wakaf kepada : 1)
Yang selalu ada dari masa ke masa seperti fakir dan miskin.
2)
Atau yang akan lenyap, kemudian dilanjutkan kepada yang akan selalu ada masa demi masa seperti waqif mengatakan : Saya mewakafkan kebun kepada anak saya, setelah itu kepada orang-orang fakir dan miskin. Syarat ta’bid adalah hasil ijtihad, karena itu
ada yang mewajibkannya dan ada pula yang mengijinkan wakaf dalam batas tertentu. b.
Tanjiz Tanjiz ialah wakaf itu diberikan kepada yang sudah ada, bukan yang akan ada, karena wakaf adalah
akad yang mengandung unsur pemindahan hak milik pada saat pemberian wakaf. Karena itu waqif tidak boleh menggantungkannya. Menurut Mazhab Syafi’i wakaf seperti ini batal. c.
Al-llzam ( mengikat ) Sejak
wakif
menyatakan
mewakafkan
hartanya, maka wakaf itu mengikat dan lenyaplah hak kepemilikan waqif dari harta yang diwakafkannya. Dengan demikian waqif tidak boleh menyertakan dalam pemberian wakaf, syarat yang bertentangan dengan status wakaf, seperti syarat khiyar, yaitu hak melanjutkan atau mengurungkan pemberian wakaf. Ada pendapat bahwa wakafnya batal. Adapula pendapat, bahwa wakafnya sah, tetapi syaratnya batal. d.
Menjelaskan pihak yang diberi wakaf Waqif meski menyebutkan dalam pernyataan pemberian wakafnya tempat penyaluran wakafnya. Bahkan Al-Qaffal memandang perlu lebih jelas lagi yaitu menyebutkan tujuannya.
Adapula
shighat
secara
umum
tanpa
menguraikan
tujuannya. Contohnya saya mewakafkan ... saya untuk kebajikan ( “ ala sabilil bir awi khair ” ) atau untuk mendapatkan pahala ( ats-Tsaub ). Hukum wakafnya sah.
“ Untuk kebajikan ” atau “ untuk mendapatkan pahala ” sangat luas pengertiannya, sehingga wakafnya disalurkan kepada : 1.
Kerabat waqif.
2.
Jika tidak ada kerabat, disalurkan kepada mustahiq zakat.
3.
Untuk
memperbaiki
jembatan,
benteng
pertahanan,
pemakaman dan lain-lain. Secara garis umum, syarat sahnya shighat ijab baik berupa ucapan maupun tulisan ialah :
a.
Shighat harus munjazah ( terjadi seketika / selesai ). Maksudnya adalah shighat tersebut menunjukkan terjadi dan terlaksananya wakaf seketika setelah shighat ijab diucapkan atau ditulis.
b.
Shighat tidak diikuti syarat batil ( palsu ) Maksudnya ialah syarat yang menodai atau mencederai dasar wakaf atau meniadakan hukumnya, yakni kelaziman dan keabadian. Misalnya waqif berkata : “ Saya wakafkan rumah ini untuk diri saya sendiri seumur hidup, kemudian setelah saya meninggal untuk anak-anak dan cucu saya dengan syarat saya boleh menjual atau menggadaikan atau jika saya meninggal wakaf ini menjadi harta waris bagi para ahli waris saya.” Apabila wakaf diikuti syarat seperti
ini, hukumnya tidak sah karena penyertaan shighat yang demikian menjadikan wakaf itu tidak menunjukkan arti wakaf menurut syara’. c.
Shighat tidak diikuti pembatasan waktu tertentu, dengan kata lain bahwa wakaf tersebut tidak untuk selamanya. Wakaf adalah shadaqah yang di syari’atkan untuk selamanya, jika dibatasi waktu berarti bertentangan dengan syari’at, oleh karena itu hukumnya tidak sah.
d.
Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali waqaf yang sudah dilakukan. Sedangkan
menurut
perundang-undangan,
perbuatan wakaf dikatakan sah jika ada bukti hitam di atas putihnya. Dengan kata lain diucapkan dihadapan PPAIW ( Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ), kemudian dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf, maka perbuatan wakaf tersebut akan menjadi sah menurut hukum yang berlaku. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 untuk adanya wakaf tanah milik harus dipenuhi 4 ( empat ) rukun yaitu : 1. Adanya orang berwakaf ( waqif ); 2. Adanya benda yang diwakafkan ( mauquf ); 3. Adanya penerima wakaf ( nazhir ); 4. Adanya ‘aqad atau lafaz atau pernyataan penyerahan waqaf dari tangan waqif kepada orang atau tempat berwakaf ( si mauquf alaih ).
Dalam ketentuan Pasal 3 ayat ( 1 ) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang dapat menjadi waqif yaitu 1.
Badan-badan hukum Indonesia;
2.
Orang-orang yang telah memenuhi syarat-syarat : a. Telah dewasa; b. Sehat akalnya; c. Oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum d. Atas kehendak sendiri; e. Tanpa paksaan dari pihak-pihak lain; f. Memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut ketentuan Pasal 3 ayat ( 2 ) Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977 bahwa yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum. Badan-badan hukum Indonesia yang bertindak sebagai waqif tersebut hanyalah badan-badan hukum yang mempunyai hak milik atas tanah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Pembatasannya meliputi : a.
Bank negara sepanjang untuk penunaian tugas-tugas dan usahanya yang tertentu serta untuk perumahan bagi pegawai-pegawainya memerlukan tanah hak milik;
b.
Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian, yang luasnya tidak boleh lebih dari batas maksimum kepemilikan tanah pertanian;
c.
Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian / Agraria setelah mendengar Menteri Agama sepanjang untuk yang langsung berhubungan dengan usaha keagamaan;
d.
Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian / Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial sepanjang untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha sosial. Syarat-syarat
menjadi
waqif
diatas
dimaksudkan
untuk
menghindari tidak sahnya perbuatan mewakafkan, baik karena adanya faktor intern ( cacat atau kurang sempurna cara berfikir) maupun faktor ekstern karena merasa dipaksa orang lain. Dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 ini diperkenalkan adanya badan hukum di samping orang sebagai waqif ini tidak ditemui secara khusus dalam pembicaraan kitab fiqih. Mengenai obyek wakaf tanah milik diatur dalam ketentuan Pasal 4 PP Nomor 28 Tahun 1977. Berdasarkan ketentuan tersebut, obyek wakaf tanah milik harus merupakan tanah hak milik yang bebas dari segala : a. Pembebanan b. Ikatan c. Sitaan d. Perkara
Perbuatan mewakafkan suatu perbuatan yang suci, sesuai ajaran agama Islam, karenanya tanah yang akan diwakafkan betul, milik bersih dan tidak ada cacatnya ditinjau dari segi kepemilikan. Berdasarkan pandangan tersebut tanah yang mengandung pembebanan, tanah dalam sengketa tidak dapat diwakafkan sebelum masalahnya diselesaikan terlebih dahulu. Tanah yang hendak diwakafkan pun terbatas pada tanah milik, sifat atau tujuan perwakafan untuk “ mengekalkan ” selama-lamanya harta benda seseorang sesuai dengan peruntukan wakafnya. Karena itulah tanah hak milik yang paling tepat dijadikan sebagai obyek perwakafan tanah. Dalam UUPA hanya hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan bulat sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai hanya mempunyai jangka waktu yang terbatas, sehingga tidak mempunyai hak dan kewenangan seperti halnya pemegang hak milik. Berhubung masalah perwakafan tersebut bersifat untuk selama-lamanya ( abadi ), maka hak atas tanah yang jangka waktunya terbatas tidak dapat di wakafkan. Tanah yang berstatus hak milik secara hakiki tidak terbatas jangka waktunya, sehingga dapat di wakafkan. Apabila tanah yang akan di wakafkan itu bukan tanah hak milik, maka tanah yang bersangkutan harus ditingkatkan statusnya lebih dahulu menjadi hak milik.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 PP Nomor 28 Tahun 1977 yang diserahi mengelola wakaf, yaitu kelompok orang atau badan hukum yang dinamakan nadzir ( nazhir ). Nadzir dapat berbentuk : 1.
Perorangan
2.
Badan hukum Apabila nadzir tersebut perorangan harus merupakan suatu
kelompok sekurang-kurangnya tiga orang dan satu diantaranya sebagai ketua. Jumlah nadzir perorangan dalam satu desa hanya ada satu orang nadzir. Syarat-syarat nadzir yang berbentuk perorangan diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat ( 1 ) PP Nomor 28 Tahun 1977 yaitu : a.
Warga negara Republik Indonesia
b.
Beragama Islam
c.
Sehat jasmani dan rohaniah
d.
Tidak berada di bawah pengampuan
e.
Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanah yang di wakafkan Menurut ketentuan Pasal 8 ayat ( 2 ) Peraturan Menteri Agama
Nomor 1 Tahun 1978 bahwa seorang anggota nadzir berhenti dari jabatannya apabila : a.
Meninggal dunia
b.
Mengundurkan diri
c.
Dibatalakan kedudukannya sebagai nadzir, karena: 1.
Tidak memenuhi syarat sebagai nadzir
2.
Melakukan kejahatan yang berhubungan dengan jabatannya sebagai nadzir
3.
Tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai nadzir.
Adapun syarat-syarat nadzir yang berbentuk badan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat ( 2 ) PP Nomor 28 Tahun 1977 dan Lampiran Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep / D / 75 / 78 tanggal 18 April 1978 yaitu : a.
Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
b.
Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letak tanah yang di wakafkan
c.
Badan hukum yang tujuan dan alamat usahanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum sesuai ajaran agama Islam. Ketentuan dalam Pasal 9 ayat ( 3 ) PP Nomor 28 Tahun 1977
menentukan bahwa jumlah nadzir yang berbentuk badan hukum ditentukan sebanyak badan hukum yang ada di kecamatan yang bersangkutan. Syarat lainnya bagi nadzir menurut Pasal 6 ayat ( 3 ) PP Nomor 28 Tahun 1977, bahwa nadzir harus didaftarkan pada KUA kecamatan setempat untuk mendapat pengesahan. Tujuannya untuk menghindari perbuatan perwakafan yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga untuk memudahkan pengawasan. Kewajiban utama nadzir adalah untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya, dimana secara berkala membuat laporan
secara tertulis atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf yang diurus dan diawasinya. Secara rinci kewajiban nadzir, yaitu : 1.
Mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf a.
Menyimpan lembar salinan-salinan Akta Ikrar Wakaf
b.
Memelihara dengan memanfaatkan tanah wakaf serta berusaha meningkatkan hasil wakaf
c.
Menggunakan hasil wakaf sesuai ikrar wakaf
d.
Menyelenggarakan pembukuan administrasi yang melipitu : - Buku catatan tentang keadaan tanah wakaf - Buku catatan tentang pengelolaan hasil tanah wakaf - Buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf
2.
3.
Memberikan laporan perubahan anggota nadzir apabila a.
Meninggal dunia
b.
Mengundurkan diri
c.
Melakukan tindak pidana kejahatan
d.
Tidak memenuhi syarat lagi
e.
Tidak dapat melakukan kewajibannya
Mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama dengan Kepala Bidang Urusan Agama Islam melalui Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, apabila diperlukan perubahan penggunaan tanah wakaf karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.
4.
Adapun hak nadzir dalam ketentuan Pasal 8 PP Nomor 28 Tahun 1977 dan Pasal 11 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, yaitu menerima penghasilan dari tanah wakaf yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama dengan Kepala saksi dengan ketentuan tidak melebihi 10% ( sepuluh perseratus ) dari hasil tanah wakaf dan nadzir berhak menggunakan fasilitas tanah wakaf. Demikian pula sebelum melaksanakan tugas, nadzir harus
mengucapkan sumpah di hadapan Kepala KUA Kecamatan dengan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 ( dua ) orang saksi. Sehubungan dengan rukun wakaf yang terakhir, yaitu adanya shighat atau lafadz timbang terima, pelaksanakan wakaf harus diikrarkan yang berisikan pernyataan kehendak dari waqif untuk mewakafkan tanah miliknya. Dalam ketentuan Pasal 5 PP Nomor 28 Tahun 1977 ditentukan, bahwa wakif harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nadzir, yaitu : 1.
Dilakukan di hadapan PPAIW
2.
Dituangkan dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf
3.
Disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 ( dua ) orang saksi Dengan demikian berdasarkan PP Nomor 28 Tahun 1977,
pelaksanakan wakaf tanah milik harus dilakukan secara tertulis, tidak cukup dengan ikrar lisan saja. Tujuannya untuk memperoleh bukti yang
autentik yang dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan dan untuk pendaftaran pada kantor BPN Kabupaten / Kota dan untuk keperluan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul kemudian hari tentang tanah yang diwakafkan. Menurut ketentuan dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 yang menjadi Pejabat Akta Ikrar Wakaf adalah Kepala KUA Kecamatan setempat yang diangkat dan di berhentikan oleh Menteri Agama. Untuk kelancarannya Menteri Agama dengan Keputusan Nomor 73 Tahun 1978 mendelegasikan wewenangnya kepada KUA Kecamatan sebagai PPAIW kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Privinsi. Dalam hal suatu Kecamatan tidak ada KUA nya maka Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi menunjuk Kepala KUA Kecamatan terdekat sebagai PPAIW di Kecamatan tersebut. Selanjutnya apabila di suatu Kabupaten / Kota Kantor Departemen Agama belum ada KUA Kecamatan, maka Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi menunjuk Kepala Saksi Urusan Agama Islam pada Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota itu sebagai PPAIW di daerah tersebut. Jikalau waqif tidak dapat menghadap PPAIW, menurut ketentuan Pasal 2 ayat ( 2 ) Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, maka waqif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kepala Kantor Departemen Agama yang mewilayahi tanah wakaf.
Adapun persyaratan saksi diatur dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 yang menentukan bahwa saksi Ikrar Wakaf harus : 1) Dewasa 2) Sehat akalnya 3) Oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum Sebelum melakukan ikrar wakaf, calon waqif harus membawa serta dan menyerahkan kepada PPAIW surat-surat berikut : a.
Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah seperti ketitir tanah, petuk, girik.
b.
Surat keterangan Kepala Desa diperkuat Camat setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut suatu sengketa.
c.
Surat keterangan pendaftaran tanah.
d.
Izin dari Bupati / Walikota dengan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional setempat. Tugas pokok PPAIW wajib menyelenggarakan daftar Akta Ikrar
Wakaf yaitu : a.
Meneliti kehendak wakif, tanah yang hendak di wakafkan, suratsurat bukti pemilikan dan syarat-syarat wakif serta ada tidaknya halangan hukum bagi waqif untuk melepaskan hak atas tanahnya.
b.
Meneliti dan mengesahkan susunan nadzir begitu pula anggota nadzir yang baru apabila ada perubahan.
c.
Meneliti saksi-saksi Ikrar Wakaf.
d.
Mengajukan permohonan atas nama nadzir yang bersangkutan Kepala Kantor BPN Kabupaten / Kota setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan, selambat-lambatnya dalam waktu 3 ( tiga ) bulan sejak dibuatnya Akta Ikrar Wakaf dengan mengisi formulir yang dilampiri : 1) Sertifikat tanah yang bersangkutan 2) Akta Ikrar Wakaf ( asli lembar kedua ) 3) Surat pengesahan Nadzir Dalam hal tanah milik yang diwakafkan belun ada sertifikatnya,
harus dilampiri surat-surat berikut : 1.
Surat permohonan penegasan hak atas tanah
2.
Surat-surat bukti pemilikan tanahnya serta surat-surat keterangan lainnya yang diperlukan sehubungan dengan penegasan haknya
3.
Akta Ikrar Wakaf ( asli lembar kedua )
4.
Surat pengesahan nadzir. Dalam kasus penarikan tanah wakaf di Kelurahan Manding, hal
tersebut wajar jika terjadi, dikarenakan masyarakat masih mengandalkan rasa saling percaya, dimana tidak ada kekuatan hukum yang mengikat dalam perjanjian tersebut dan belum adanya bukti tertulis. Untuk mengefektifkan pendayagunaan pranata keagamaan wakaf yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi maka dibentuklah UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ini dicantumkan dan dikembangkan ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, disamping berbagai pokok pengaturan yang baru diantaranya kewajiban pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf untuk sahnya perbuatan wakaf. Kebendaan yang diwakafkan tidak terbatas pada kebendaan tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, dapat pula benda wakaf bergerak. Peruntukan benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial, melainkan diarahkan pula untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara meningkatkan potensi dan manfaat ekonomi benda wakaf dan diadakannya BADAN WAKAF INDONESIA ( BWI ). Dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 juga dibentuk Badan Wakaf Indonesia ( BWI ) sebagai suatu lembaga independen yang bertugas untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional di Indonesia. Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di Ibukota Negara dan membentuk perwakilan di Provinsi atau Kabupaten sesuai dengan kebutuhan dan sebelumnya Badan Wakaf Indonesia ( BWI ) telah berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah setempat. Badan Wakaf Indonesia ( BWI ) beranggotaan paling sedikit 20 ( dua puluh ) orang dan paling banyak 30 ( tiga puluh ) orang yang berasal dari unsur masyarakat. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia ( BWI )
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden untuk masa jabatan selama 3 ( tiga ) tahun. Dan dapat diangkat kembali untuk 1 ( satu ) kali masa jabatan. Melihat kepada tugas-tugas yang dibebankan kepada Badan Wakaf Indonesia ( BWI ), badan ini mempunyai fungsi sangat strategis, terutama dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap nazhir untuk dapat melakukan pengelolaan wakaf secara produktif. Implikasi wakaf bagi umat Islam sangat baik karena : 1) Segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga, secara moral harus diyakini secara teologis, bahwa ada sebagian dari harta tersebut menjadi hak bagi pihak lain, yaitu untuk fakif miskin, yatim piatu, anak-anak terlantar dan fasilitas sosial. 2) Ada keseimbangan antara manusia dengan Allah. 3) Pemilikan harta benda tidak mutlak yang merupakan tanggung jawab secara moral. 4) Kepemilikan benda dalam ajaran Islam disebut amanah (kepercayaan) artinya barang yang dimiliki harus dipergunakan sesuai ketentuan yang diatur Allah. Dengan demikian harta benda yang dimiliki sebagian perlu diwakafkan. Dan wakaf dianggap sah apabila : 1. Harta yang diwakafkan harus mutaqawwam artinya dapat disimpan dan halal digunakan.
2. Diketahui
dengan
yakin
ketika
diwakafkan
sehingga
tidak
menimbulkan persengketaan. 3. Milik waqif. Karena kalau bukan milik waqif menjadi tidak sah. 4. Terpisah, bukan milik bersama ( musya’ ).
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1.
Prosedur perwakafan di Kelurahan Manding, pertama kali pemilik wakaf menyerahkan kepada pengurus masjid dengan disaksikan sekurang-kurangnya 2 orang saksi. Selanjutnya pihak pengurus masjid melapor kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat. Atas nama nazhir yang bersangkutan diharuskan mengajukan
permohonan
kepada
Camat
untuk
mendaftar
perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestariannya.
2.
Penarikan tanah wakaf di Kelurahan kami terjadi karena belum adanya
bukti tertulis dan sebab lain juga karena keadaan ekonomi
yang memaksa serta lemahnya pengetahuan agama. 3.
Wakaf menurut hukum islam ( fiqih ) adalah tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus sebagai milik Allah SWT dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial). Jadi jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Sebaiknya disalurkan kepada mauquf alaih dan apabila wakif melarang maka qadhi berhak memaksanya. Pengertian wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Bab I pasal 1, wakaf adalah perbuatan hukum waqif untuk memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah. Penarikan tanah wakaf bila ditinjau dari perundang-undangan di Indonesia tidak boleh ditarik kembali. Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 40 yang isinya “ harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang : a. Dijadikan jaminan b. Disita c. Dihibahkan d. Dijual e. Diwariskan
f. Ditukar g. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya B. Saran 1. Bagi masyarakat Mencatatkan wakafnya dengan notaris atau kementrian agama atau lembaga terkait. 2. Bagi Departemen Agama a. Diharapkan selalu memberikan penyuluhan tentang wakaf, sehingga masyarakat awam tahu tentang aturan-aturan wakaf. b. Membenahi sistem wakaf.
3. Bagi STAIN Bagi perguruan tinggi yang didalamnya mengajarkan tentang Perwakafan dalam Perspektif Hukum Islam, diharapkan mampu memberikan penyuluhan kepada lingkungan dan mahasiswanya.
DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, Ahmad. Shohih Bukhori , ter., CV. Asy Syifa’. Semarang. 1993 Departemen Agama EL. Al-Qur’an dan Terjemah. Terj. Yayasan Penyelenggara Penterjemah. CV Toha Putera Semarang Direktori Pemberdayaan Wakaf, Fiqih Wakaf, Dirjend Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 2007 Hadi, Sutrisno. Metodologi Researcah I, Fakultas Psikhologi UGM, Yogyakarta, 1991. Kompilasi Hukum Islam ( Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan ), CV. Nuansa Aulia. Bandung. 2009. Rasjid, Sulaiman. H. Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1954. Sabiq, Sayyid.. Fikih Sunnah Jilid 14, alih bahasa Mudzakir A.S. PT Alma’arif, Bandung, 1996 Sumanto, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Andi Offset, Yogyakarta, 1995. Surachmad, Winarno. Dasar-dasar dan Tekhnik Riset, Tarsito, Bandung, 1978. Usman, Rachmadi SH., MH., Hukum Perwakafan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta : 2009 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta : 2006
DAFTAR NILAI SKK
Nama
: Lia Kurniawati
NIM
: 21108005
Jurusan
: Syari’ah / Ahwal Al Syakhshiyyah
PA
: Evi Ariyani, S.H, M.H
No
JENIS KEGIATAN
PELAKSANAKAN
JABATAN
NILAI
1.
Orientasi Program Studi dan 25 s/d 27 Agustus 2008 Pengenalan Kampus (OSPEK) oleh STAIN Salatiga
Peserta
3
2.
Masa Taaruf Mahasiswa ( MASTA ) 12 September 2008 oleh IMM Kota Salatiga
Peserta
3
3.
24 September 2008 Dialog Interaktif “ Bela Negara untuk Mahasiswa ” dan Buka Bersama oleh Resimen Mahasiswa Mahadipa Sat. 953 KALIMOSODO STAIN Salatiga
Peserta
3
4.
Pelatihan Komputer Wibsite.
Peserta
3
5.
Bedah buku Zero to hero dengan 7 Februari 2009 tema: ”Melangitkan jiwa melejitkan fitrah illahi”.
Peserta
2
6.
Sarasehan Keagamaan dengan tema 14 September 2009 “ Optimalisasi Peran Badan Amil Zakat ( BAZ ) dalam Pengelolaan Zakat sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan ”
Peserta
3
7.
Seminar Nasional dan Sarasehan 17 Oktober 2009 Gubernur JATENG dengan tema “ MEMBERDAYAKAN EKONOMI MASYARAKAT DI JAWA
Panitia
6
Pendidikan Tehnisi 10 s/d 12 Desember dan Cara Pembuatan 2008
TENGAH ” 8.
Seminar Regional dengan tema 22 Maret 2010 “ Peran Lembaga Publik sebagai Alat Kontrol Pemerintah Demi Terciptanya Good Governance ” oleh SEMA STAIN Salatiga
Peserta
4
9.
Bedah Buku “ Jalan Cinta Para 24 April 2010 Pejuang ” Karya Salim A. Fillah oleh LDK Darul Amal STAIN Salatiga
Peserta
2
10.
Sarasehan Nasional dengan tema 08 Mei 2010 “ Simpul Budaya Indonesia ” oleh Teater Getar STAIN Salatiga
Peserta
6
11.
Surat Keputusan ( SK ) Ketua 11 Mei 2010 Jurusan Syari’ah Tentang : Susunan Pengurus HMJ Syari’ah Periode 2010-2011
Pengurus
3
12.
Public Hearing dengan tema 15 Mei 2010 “ Membangun Demokrasi Kampus yang Harmonis ” oleh SEMA STAIN Salatiga
Peserta
3
13.
Praktikum Pelatihan Ikhtibar al- 31 Juli s/d 22 Agustus Lughah al-Arabiyah Ka Lughah 2010 Ajnabiyah ( ILAIK )
Peserta
3
14.
Praktikum Pelatihan TOEFL
Peserta
3
15.
Piagam Penghargaan Sebagai Tenaga 16 Agustus 2010 Pengajar Tehnisi Komputer di Perpustakaan Reksawacana Tahun 2009 s/d 2010
Tenaga Pengajar
3
16.
Pelatihan Advokasi Kebijakan 12 s/d 13 Oktober 2010 Anggaran dengan tema “ Penguatan Peran Mahasiswa dalam Mengadvokasi Anggaran untuk
Peserta
3
31 Juli s/d 22 Agustus 2010
Kesejahteraan Rakyat ” oleh Salatiga
DEMA
STAIN
17.
Seminar Nasional Ekonomi Islam 30 November 2010 dengan tema “ The Challenge on Islamic Economy in Fostering Economy Prosperity ” oleh Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga
Peserta
18.
National Workshop of Entrepreneurship and Basic Cooperation 2010 oleh KOPMA FATAWA STAIN Salatiga
Peserta
6
19.
Diskusi Bersama Polisi dan Civitas 24 Maret 2011 Akademika dengan tema “ Kontribusi Peran Pemangku Hak dalam Arena Pemilukada Kota Salatiga 8 Mei 2011 ” oleh Lembaga Percik Salatiga
Peserta
3
20.
Pelatihan Microsoft Excel dengan 27 Mei 2011 tema “ Penggunaan Microsoft Excel yang Baik dan Benar ”
Peserta
3
21.
Seminar dengan tema “ Radikalisme Keagamaan Indonesia “ oleh STAIN Salatiga
Peserta
3
19 Desember 2010
1 Juni 2011
6
di
22.
Seminar Nasional 22 Juni 2011 “Pilar-Pilar Penanggulangan Korupsi di Indonesia Perspektif Agama, Budaya dan Negara” oleh HMJ Syari’ah STAIN Salatiga
Peserta
6
23.
Seminar dengan tema “ Radikalisme 23 Juni 2011 Keagamaan di Indonesia ” oleh Lembaga Percik Salatiga
Peserta
3
24.
Seminar Internasional “ Accelerating 14 Juli 2011 the Corruption Eradication in Indonesia : Positive and Islamic Law Perspectives ” oleh Jurusan Syari’ah
Peserta
25.
Seminar dengan tema “ Melihat 12 25 Oktober 2011 Tahun Perjalanan Reformasi Keamanan dari Sisi Peningkatan Kerjasama, Pelayanan dan Kemitraan Sejati antara Polisi dan Masyarakat ” oleh Lembaga Percik Salatiga
Peserta
26.
Seminar Regional Kebangsaan 30 November 2011 dengan tema “ Negara Islam dalam Tinjauan Islam Indonesia & NKRI ” oleh IPNU Kab. Semarang dan PMII Kota Salatiga
Peserta
4
27.
Seminar Ekonomi Islam dengan tema 14 Januari 2012 “ Peran Ekonomi Islam dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Global ” oleh Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga
Peserta
3
28.
Seminar Nasional Kristologi & 20 Mei 2012 Tabligh Akbar dengan tema “ Membangun Pemahaman Agama Menuju Khoirul Ummah ”
Peserta
6
Jumlah
6
3
105 Salatiga, 11 Agustus 2012
Mengetahui, Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan
H. Agus Waluyo, M. Ag NIP. 1975 02112000031003
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Lia Kurniawati
Tempat/ tanggal lahir
: Temanggung, 20 Oktober 1990
Jenis Kelamin
: Wanita
Alamat
: Lingk. Kauman Rt 003 Rw 002 Kelurahan Manding Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung
Riwayat Pendidikan : 1. SDN Manding lulus tahun 2002 2. SMPN 1 Temanggung lulus tahun 2005 3. MAN Temanggung lulus tahun 2008 4. STAIN Salatiga Jurusan Syari’ah Progdi Al- Ahwal Al- Syakhshiyyah
Demikian daftar riwayat hidup yang saya buat dengan sebenar-benarnya.
Salatiga, 11 Agustus 2012 Penulis,
Lia Kurniawati