PENAPISAN KOMUNITAS BAKTERI RIZOSFER SECARA IN PLANTA UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN JAGUNG DI LAHAN KERING
ERNIN HIDAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Penapisan Komunitas Bakteri Rizosfer secara In Planta untuk Meningkatkan Pertumbuhan Jagung di Lahan Kering adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2015
Ernin Hidayati NIM G361100071
RINGKASAN ERNIN HIDAYATI. Penapisan Komunitas Bakteri Rizosfer secara In Planta untuk Meningkatkan Pertumbuhan Jagung di Lahan Kering. Dibimbing oleh ARIS TRI WAHYUDI, ANTONIUS SUWANTO dan RAHAYU WIDYASTUTI. Indonesia mempunyai ketersediaan lahan kering yang luas yang potensial untuk pengembangan berbagai komoditas tanaman penting seperti jagung, namun peningkatan kapasitasnya masih terkendala oleh berbagai permasalahan antara lain kekeringan dan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Aplikasi mikrob untuk meningkatkan produktivitas lahan kering telah banyak dilakukan. Meskipun demikian pencarian inokulum mikrob yang efektif yang sesuai dengan permasalahan lahan kering harus terus dilakukan. Dalam penelitian ini, dilakukan penapisan in planta untuk mendapatkan komunitas bakteri rizosfer yang potensial sebagai pemacu pertumbuhan tanaman jagung di lahan kering. Kelompok bakteri dominan yang merupakan bagian dari komunitas bakteri yang terseleksi secara in planta juga dipelajari untuk mengetahui karakter pemacu tumbuhnya serta potensi dan peranannya dalam pertumbuhan tanaman jagung pada penelitian skala rumah kaca. Sebanyak 11 sampel tanah rizosfer (TR A, TR B, TR C, TR D, TR E, TR F, TR G, TR H, TR I, TR J, dan TR K) dikoleksi dari tanaman jagung terpilih yang tumbuh di dua lokasi pengembangan lahan kering di Pulau Lombok, NTB. Hasil percobaan pada skala rumah kaca terhadap pengaruh penambahan 100 g tanah rizosfer pada media tanam jagung menunjukkan bahwa TR D memberikan pengaruh yang paling baik terhadap pertumbuhan. Pada kadar air media tanam 50% kapasitas lapang, perlakuan TR D menghasilkan rerata peningkatan berat basah biomassa bagian atas sebesar 47.1%, berat kering biomassa bagian atas sebesar 45.2% dan berat kering akar sebesar 33.4%. Berdasarkan kajian awal terhadap jumlah dan jenis bakteri yang dikultur menggunakan empat macam media kultur, diketahui bahwa TR D dihuni oleh paling sedikitnya 22 isolat bakteri dan 5.72 x 107 sel bakteri per gram tanahnya. Jumlah isolat tersebut lebih banyak dibanding jumlah isolat yang ditemukan pada sampel tanah rizosfer lainnya. Analisis T-RFLP dengan pendekatan metagenom menunjukkan bahwa sebanyak 8 T-RF terdeteksi pada komunitas bakteri TR D. Jumlah T-RF tersebut lebih banyak dibanding jumlah T-RF yang terdeteksi pada komunitas lainnya. Pada pendekatan pengkulturan, sebanyak 7 T-RF terdeteksi pada komunitas TR D. Jumlah T-RF tersebut sama dengan jumlah T-RF yang terdeteksi pada komunitas TR A. Pada metagenom, keanekaragaman komunitas bakteri TR D berdasarkan indeks Shannon adalah 1.60. Tingkat keanekaragaman tersebut lebih tinggi dibanding komunitas lainnya. Pada pengkulturan, keanekaragaman komunitas bakteri TR D adalah 1.58. Tingkat keanekaragaman tersebut lebih rendah dibanding komunitas TR A dan lebih tinggi dibanding komunitas lainnya. Komunitas TR D tersusun antara lain oleh kelompok Burkholderiales, Pseudomonas, Bacillus, Candidatus, Alphaproteobacteria, Betaproteobacteria, Rhizobiales, Sinobacteraceae, dan Acidobacteria. Burkholderiales merupakan kelompok bakteri yang terdeteksi paling dominan pada metagenom dengan tingkat kelimpahan relatif sebesar 45.83%. Pseudomonas sp. terdeteksi paling dominan pada pengkulturan dengan tingkat kelimpahan relatif
sebesar 42.88% dan terdeteksi pada metagenom dengan tingkat kelimpahan relatif sebesar 17.38%. Pseudomonas sp. strain L485 merupakan sebagian kelompok Pseudomonas sp. penyusun komunitas TR D. Bakteri ini merupakan bakteri rizosfer penghasil asam indol asetat (IAA) dan eksopolisakarida (EPS). Pada medium King’s cair yang mengandung 5 ppm L-triptofan, bakteri ini memproduksi IAA sebanyak 4.97 ppm pada saat jumlah sel mencapai 3.74 x 1010 sel per ml dan 11.95 ppm pada saat populasi sel berada pada tahap stasioner. Kultur berumur 3 hari yang tumbuh pada medium King’s agar dapat memproduksi EPS sebanyak 0.058 mg per mg sel kering dengan konsentrasi D-glukosa sebesar 30.272 ppm per mg EPS kering. Pada skala rumah kaca, dengan perlakuan dosis pupuk NPK 100%, 75%, 50%, dan 0% serta pengaturan kadar air media tanam 100%, 75% dan 50% kapasitas lapang menunjukkan bahwa aplikasi Pseudomonas sp. strain L485 pada kecambah dan media tumbuh dapat memacu pertumbuhan tanaman jagung. Di antara ketiga kondisi air media tanam yang diuji, rerata nilai variabel pertumbuhan paling tinggi terlihat pada perlakuan kadar air 50% kapasitas lapang. Bila dibandingkan dengan tanpa inokulum, pemberian inokulum Pseudomonas sp. strain L485 dapat meningkatkan berat basah biomassa bagian atas sebesar 51.2% dan berat kering biomassa bagian atas sebesar 48.2%. Peningkatan tertinggi terutama terlihat pada berat kering akar yaitu sebesar 66.7%. Kata kunci: komunitas bakteri, rizosfer, in planta, tanaman jagung, lahan kering, T-RFLP
SUMMARY ERNIN HIDAYATI. In Planta Screening of Bacterial Community for Maize Growth Promoting in Dryland. Supervised by ARIS TRI WAHYUDI, ANTONIUS SUWANTO and RAHAYU WIDYASTUTI. Indonesia has wide proportion of dryland and its potential for the development of a variety of important crops, such as maize. Increment of the dryland capacity is still constrained by various problems, among others, drought and low soil fertility. Microbial applications to increase the dryland productivity have been carried out. However, effective microbial inoculum for specific problems in the dryland should continue to explore. In this study, in planta screening was done to obtain potential rhizosphere bacterial community for growth promoting of maize in dryland. The dominant bacterial group from selected bacterial community was also analysed for plant growth promoting characteristics and its potency and role in the growth of maize in greenhouse. A total of 11 rhizosphere soil samples (TR A, TR B, C TR, TR D, TR E, F TR, TR G, H TR, TR I, J TR, and TR K) were collected from selected maize grown in two farm of dryland development located in Lombok, West Nusa Tenggara. In green house screening, a 100 g of each rhizosphere soil sample was added to maize growth medium. The results showed that TR D gave the best growth performance of maize. In the 50% water content of growing media, TR D treatment generally showed increased fresh weight of upper biomass (47.1%), dry weight of upper biomass (45.2%) and highest increase of root dry weight (33.4%). Based on cultivation method using four culture media showed that at least 22 bacterial isolates and 5.72 x 107 cells g-1 of soil were found in the TR D. Those number of isolate was higher compared with the others rhizosphere soil samples. T-RFLP analysis of bacterial community inhabitant of TR D showed that 8 T-RFs were detected based on metagenomic approach and 7 T-RFs based on cultivationdependent approach. Those number of T-RF based on metagenomic approach was higher compared with the others communities in this study. Based on Shannon index, the diversity level of bacterial community of TR D was 1.6 in metagenomic and 1.58 in cultivation-dependent approach. The diversity level in metagenomic approach was higher compared with the others communities. The bacterial community structure of TR D included Burkholderiales, Pseudomonas, Bacillus, Candidatus, Alphaproteobacteria, Betaproteobacteria, Rhizobiales, Sinobacteraceae, and Acidobacteria. Burkholderiales is the dominant group in metagenomic approach with eveness value was 45.83%. Pseudomonas sp. strain L485 is the dominant group in cultivation-dependent approach with eveness value was 42.88%. Pseudomonas sp. strain L485 also detected in metagenomic with eveness value was 17.38%. Based on estimation of the dominance and existence in metagenomic and cultivation-dependent approaches, Pseudomonas sp. strain L485 was chosed to plant growth promoting characteristics and tested for its ability to promote the growth of maize in the greenhouse. Pseudomonas sp. L485 is the maize rhizosphere bacteria producing indole acetic acid (IAA) and exopolysaccharide (EPS). The amount of IAA produced by this strain in King's broth medium supplemented with 5 ppm L-tryptophan was about 4.97 ppm when the cell density reached 3.74 x 1010 cells ml-1 and 11.95 ppm
when the strain reached the stationary phase of growth. Approximately 0.058 mg EPS per mg of cell dry weight with 30.272 ppm D-glucose content per mg of EPS dry weight was produced at 3 days when the strain grown on King's agar medium. Maize was grown with treatments various dosage of NPK fertilizer (100%, 75%, 50%, and 0%), water content of growing media (100%, 75% and 50% field capacity) and inoculation of maize seed and growing media with the strain. The results showed that Pseudomonas sp. L485 inoculum can promote maize growth. The highest average value of growth variables showed in treatment 50% water content of growing media. As compare with control (uninoculated treatment), inoculum treatment showed increased fresh weight of upper biomass (51.2%), dry weight of upper biomass (48.2%) and highest increase of root dry weight (66.7%). Keywords: bacterial community, in planta, rhizosphere, maize, dryland, T-RFLP
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENAPISAN KOMUNITAS BAKTERI RIZOSFER SECARA IN PLANTA UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN JAGUNG DI LAHAN KERING
ERNIN HIDAYATI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Mikrobiologi (MIK)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
2
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Iman Rusmana, MSi (Departemen Biologi, Fakultas MIPA IPB) 2. Dr Ir Suryo Wiyono, MScAgr (Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr Ir Suryo Wiyono, MScAgr (Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB) 2. Dr Edi Husen, MSc (Badan Litbang Pertanian, Balai Penelitian Tanah Bogor)
3 Judul Disertasi Nama NIM
: Penapisan Komunitas Bakteri Rizosfer secara In Planta untuk Meningkatkan Pertumbuhan Jagung di Lahan Kering : Ernin Hidayati : G361100071
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Aris Tri Wahyudi, MSi Ketua
Prof Dr Antonius Suwanto, MSc Anggota
Dr Rahayu Widyastuti, MScAgr Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Mikrobiologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Anja Meryandini, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian Tertutup : 9 Juli 2015 Tanggal Sidang Promosi : 13 Agustus 2015
Tanggal Lulus:
4
5
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan karunia dan kasih sayangNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak Agustus 2012, dengan judul Penapisan Komunitas Bakteri Rizosfer secara In Planta untuk Meningkatkan Pertumbuhan Jagung di Lahan Kering. Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang mendalam kepada komisi pembimbing, Bapak Prof Dr Aris Tri Wahyudi, Bapak Prof Dr Antonius Suwanto dan Ibu Dr Rahayu Widyastuti, MScAgr atas semua bimbingan, arahan dan pembelajaran yang sangat bermakna yang diberikan dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab. Serta atas segala kemudahan dalam berdiskusi dan urusanurusan yang berkaitan dengan pembimbingan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Suryo Wiyono, MScAgr atas semua kebaikannya serta kritik dan sarannya sejak ujian lisan prakualifikasi calon doktor, ujian tertutup dan ujian terbuka. Kepada Bapak Dr Edi Husen, MSc penulis sampaikan terima kasih atas dukungan, kritik dan sarannya pada ujian terbuka, juga kepada Bapak Dr Iman Rusmana, MSi atas arahan, kritik dan saran perbaikan disertasi pada saat ujian tertutup. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr Nisa Rahmania Mubarik, MSi atas kritik dan sarannya pada saat ujian lisan prakualifikasi calon doktor. Ucapan terima kasih juga tak lupa disampaikan kepada Rektor dan Dekan FMIPA Universitas Mataram atas izin dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar di IPB. Selain itu, kepada Bapak Prof Suwardji, PhD dan Bapak Sri Tejowulan, MSc PhD, penulis mengucapkan terima kasih atas diskusi dan kemudahan yang telah diberikan selama penulis melaksanakan penelitian di Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Kepada Direktur PT Alaska Dwipa Perdana yang telah memberikan keleluasaan untuk menggunakan laboratoriumnya, penulis ucapkan terima kasih. Untuk keluarga tercinta, suamiku terkasih M. Sukri Aruman, SPt dan putra putri tercinta M. Zamzami Sangga Firdaus dan Tiara Zahra Kamalia, adikku tersayang Eliza Roswati, SSiApt dan Arman Suryadi, SPt, ibundaku Hj. Hadeniyah dan ayahandaku H. Abdul Kadir (alm) yang terkasih dan tersayang, serta ibu mertua Seeinenn dan bapak mertuaku Guru Aruman (alm), terima kasih yang tulus penulis sampaikan atas dukungan, semangat, pengertian dan semua doa yang senantiasa diberikan. Semoga disertasi ini bermanfaat. Amin. Bogor, Juli 2015 Ernin Hidayati
6
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Nilai Kebaruan
1 3 4 4 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Lahan Kering dan Pemanfaatannya untuk Pertanaman Jagung di NTB Beberapa Upaya dalam Meningkatkan Produktivitas Lahan Kering Peranan Bakteri dalam Pertumbuhan Tanaman Upaya Pencarian dan Pengembangan Agen Hayati Komunitas Mikrob sebagai Tolok Ukur Perubahan Lingkungan Komunitas Bakteri Rizosfer pada Tanaman Jagung
6 7 7 8 9 10
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Alat Penapisan Komunitas Bakteri Rizosfer secara In Planta Kajian Awal Komunitas Bakteri Terkultur dari Sampel Tanah Rizosfer Kajian Komunitas Bakteri Rizosfer Menggunakan Teknik T-RFLP dengan Pendekatan Metagenom dan Pengkulturan Kajian Karakter Pemacu Tumbuh dan Potensi Isolat Bakteri Dominan sebagai Pemacu Tumbuh Tanaman Jagung 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Komunitas Bakteri Rizosfer yang Menghasilkan Tanaman Jagung dengan Pertumbuhan Terbaik Kajian Awal terhadap Jumlah dan Jenis Isolat Bakteri Penghuni Tanah Rizosfer Komunitas Bakteri Rizosfer Berdasarkan Analisis T-RFLP Karakter Pemacu Tumbuh dan Potensi Pseudomonas sp. strain L485 dalam Memacu Pertumbuhan Tanaman Jagung
12 12 12 12 15 16 20
24 31 39 54
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
63 64
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
65 73
7
DAFTAR TABEL 1
Rerata nilai kumulatif variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap I 2 Pengaruh perbedaan kadar air media tanam terhadap rerata nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap I 3 Rerata nilai kumulatif variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap II 4 Pengaruh perbedaan kadar air media tanam terhadap nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap II 5 Data parsial nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap III pada setiap perlakuan pemupukan 6 Karakter morfologi beberapa koloni dan sel isolat bakteri rizosfer tanaman jagung asal lahan kering Pulau Lombok 7 Konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA komunitas mikrob pada setiap sampel tanah pada preparasi metagenom (A) dan pengkulturan (B) 8 Afiliasi filogenetik dari setiap ukuran T-RF 9 Perbandingan jumlah T-RF, tingkat keanekaragaman dan kemerataan komunitas bakteri rizosfer hasil analisis T-RFLP dengan pendekatan metagenom dan pengkulturan 10 Rerata nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari dengan perlakuan penambahan inokulum Pseudomonas sp. strain L485, pengaturan kadar air media tanam dan pemberian beberapa dosis pupuk 11 Rerata nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada interaksi perlakuan pemberian inokulum Pseudomonas sp. strain L485 pada beberapa kadar air media tanam (100%, 75% dan 50% kapasitas lapang)
25 26 27 28 29 32 40 48
50
57
61
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
5
Diagram alir langkah kerja ( ) dan hasil penelitian ( ) Distribusi area pertanaman jagung di Indonesia tahun 2000 Skala jarak antar nilai setiap variabel pertumbuhan tanaman jagung yang dihasilkan dengan perlakuan penambahan tanah rizosfer Perbandingan penampilan pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari hasil penanaman tahap III pada beberapa dosis pupuk NPK. Kode lapang 1K: perlakuan penambahan TR K1 (tanah rizosfer steril); kode lapang 2K: perlakuan tanpa penambahan TR; kode lapang D: perlakuan penambahan TR D Total jumlah dan jenis isolat (A) serta rerata jumlah sel bakteri (B) yang terisolasi menggunakan 4 media kultur pada setiap tanah rizosfer. Huruf yang berbeda yang ada di atas grafik batang menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan pada taraf uji 5% (uji Tukey)
5 6 28
30
33
8 6
7
8 9
10
11
12 13
14
15 16 17
18
19
Total jumlah dan jenis isolat (A) serta rerata jumlah sel bakteri (B) yang terisolasi menggunakan 4 media kultur pada setiap kadar air media tanam. Huruf yang berbeda yang ada di atas grafik batang menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan pada taraf uji 5% (uji Tukey) Total jumlah dan jenis isolat bakteri yang terkultur pada media SEA, NAln, NAln-SE, dan NAln-RE. Setiap angka yang berada dalam lingkaran yang bersinggungan menunjukkan jumlah isolat yang sama yang ditemukan pada lingkaran yang bersinggungan Perbedaan morfologi bakteri yang terkultur pada media SEA, NAln, NAln-SE, dan NAln-RE dari pengenceran 10-3 setelah 6 hari inkubasi Kemampuan antibiosis isolat CDL 19 (A), CDL 32 (B) dan CDL 25 (C) saat ditumbuhkan pada medium SEA. Kemampuan antibiosis tidak muncul saat ditumbuhkan pada media NAln (D), NAln-SE (E) dan NAln-RE (F) Fragmen 16S rDNA komunitas bakteri yang diperoleh dengan pendekatan metagenom dan pengkulturan. M: marker, sumur 1: TR D, sumur 2: TR A, sumur 3: TR K1, sumur 4: K0 Perbandingan profil fragmen 16S rDNA komunitas bakteri hasil potongan enzim EcoRI, BspI, HindIII, HhaI, dan MspI. U1: profil fragmen dari pendekatan pengkulturan, U2: profil fragmen dari pendekatan metagenom Perbandingan T-RF hasil pemotongan enzim MspI dan HhaI terhadap isolat CDL 6, CDL 30 dan CDL 32 Perbandingan jumlah total T-RF yang diperoleh dengan pendekatan metagenom dan pengkulturan (A) serta jumlah dan ukuran T-RF yang muncul pada komunitas TR D, TR A, TR K1, dan K0 (B) Perbandingan pola fingerprint T-RFLP komunitas bakteri rizosfer dengan pendekatan metagenom (A) dan pengkulturan (B). Tanda lingkaran menunjukkan ukuran T-RF yang berbeda. Tanda panah menunjukkan ukuran T-RF yang sama yang diperoleh pada pendekatan metagenom dan pengkulturan pada sampel tanah yang sama Kelimpahan relatif setiap ukuran T-RF yang muncul dari komunitas bakteri rizosfer pada pendekatan metagenom (A) dan pengkulturan (B) Komposisi komunitas bakteri rizosfer pada pendekatan metagenom (A) dan pengkulturan (B) Nilai koefisien keserupaan dan pengelompokan komunitas TR D, TR A, TR K1, dan K0 yang disusun berdasarkan korelasi Jaccard dengan metode UPGMA. Pendekatan metagenom (A) dan pengkulturan (B) Kekeruhan kultur sel dan produksi IAA oleh Pseudomonas sp. strain L485. Isolat ditumbuhkan pada 100 mL medium cair King’s yang mengandung 5 ppm L-triptofan dengan waktu inkubasi berbeda. Kekeruhan kultur, Konsentrasi IAA Produksi eksopolisakarida dan konsentrasi D-glukosa EPS pada Pseudomonas sp. strain L485. Isolat ditumbuhkan pada medium King’s agar dengan waktu inkubasi berbeda. Konsentrasi D-glukosa EPS; Berat kering EPS
35
36 37
39
41
41 42
43
45 47 49
52
55
55
9 20 Perbandingan penampilan pertumbuhan antara tanaman jagung umur 30 hari tanpa pemberian inokulum (A) dan dengan pemberian inokulum Pseudomonas sp. strain L485 (B) 21 Perbandingan nilai berat basah biomassa bagian atas tanaman jagung umur 30 hari tanpa pemberian inokulum ( ) dan dengan pemberian inokulum Pseudomonas sp. strain L485 ( ) pada perlakuan penambahan beberapa dosis pupuk dan kadar air media tanam. Huruf yang berbeda yang ada di atas grafik batang pada masing-masing pasangan kombinasi perlakuan menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan pada taraf uji 5% (uji Tukey) 22 Perbandingan nilai berat kering biomassa bagian atas tanaman jagung umur 30 hari tanpa pemberian inokulum ( ) dan dengan pemberian inokulum Pseudomonas sp. strain L485 ( ) pada perlakuan penambahan beberapa dosis pupuk dan kadar air media tanam. Huruf yang berbeda yang ada di atas grafik batang pada masing-masing pasangan kombinasi perlakuan menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan pada taraf uji 5% (uji Tukey) 23 Perbandingan nilai berat kering akar tanaman jagung umur 30 hari tanpa pemberian inokulum ( ) dan dengan pemberian inokulum Pseudomonas sp. strain L485 ( ) pada perlakuan penambahan beberapa dosis pupuk dan kadar air media tanam. Huruf yang berbeda yang ada di atas grafik batang pada masing-masing pasangan kombinasi perlakuan menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan pada taraf uji 5% (uji Tukey)
59
60
60
61
DAFTAR LAMPIRAN 1
2 3 4 5 6
7
8
Lokasi pengambilan sampel tanah rizosfer tanaman jagung di Desa Akar Akar, Kabupaten Lombok Utara (A) dan Dusun Bukit Keramat Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur (B) Perhitungan kadar air media tanam pada penanaman tahap I. Angka merupakan rerata dari 5 ulangan Media dan komposisinya yang digunakan dalam penelitian Matriks sebaran nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap I Rerata nilai kumulatif variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap III Ukuran T-RF hasil pemotongan enzim MspI yang muncul pada komunitas bakteri rizosfer tanaman jagung dengan pendekatan metagenom dan pengkulturan Uji hipersensitivitas Pseudomonas sp. strain L485 pada daun tembakau. Sebagai kontrol positif digunakan bakteri patogen Xanthomonas oryzae. Strain L485 tidak menunjukkan respon HV berupa terbentuknya nekrosis seperti pada X. oryzae. Respon yang terbentuk serupa dengan yang ditunjukkan oleh medium King’s cair steril (kontrol negatif ) Reaksi perubahan warna yang dihasilkan oleh Pseudomonas sp. strain L485 pada uji produksi IAA (A) dan EPS (B)
73 74 75 76 77
78
80 81
10
VV
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan akan lahan pertanian terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan pangan global. Tingginya laju degradasi dan alih fungsi lahan pertanian subur yang cepat mengakibatkan ekspansi kegiatan pertanian mengarah pada lahan kering. Berdasarkan data MEA (2005), lebih dari 40% daratan dunia merupakan lahan kering. Luas lahan kering tersebut cenderung terus meningkat sejalan dengan meluasnya kekeringan sebagai akibat perubahan iklim global. Sejak tahun 1950 sampai 2008, area yang mengalami kekeringan meningkat sekitar 1.74% dan cenderung akan terus meluas pada masa yang akan datang (Dai 2011; Dai 2013). Tampak bahwa kekeringan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan pertanian global pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Indonesia mempunyai ketersediaan lahan kering seluas 78% dari luas daratannya (Abdurachman et al. 2008). Wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan bagian dari lahan kering tersebut. NTB mempunyai lahan kering bertipe iklim kering seluas 1673476.307 ha atau sekitar 83% dari luas wilayahnya yang meliputi Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Namun dari total luas lahan kering yang ada, baru sekitar 626034.60 ha yang dapat dikembangkan (BAPPEDA NTB 2003). Ditinjau dari potensi, andalan dan unggulan yang dimiliki NTB, lahan kering tersebut sudah selayaknya dioptimalkan sesuai dengan kepentingan lokal untuk mempercepat laju pembangunan pertanian daerah. Lahan kering tersebut kini sedang giat dimanfaatkan untuk pertanaman berbagai komoditas, salah satu diantaranya adalah tanaman jagung. Sebagai komoditas unggulan, pengembangan tanaman jagung di lahan kering masih memerlukan berbagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan dan kapasitas produksinya. Pada kenyataannya, pemanfaatan dan pengembangan pertanian lahan kering dari tahun ke tahun belum memberikan hasil yang memuaskan karena berbagai kendala (Suwardji & Tejowulan 2002). Menurut Abdurachman et al. (2008), pengembangan lahan kering untuk kegiatan pertanian terkendala oleh banyak faktor, terutama kekeringan dan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Berbagai inovasi telah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan kering Indonesia, antara lain dengan melibatkan peranan mikrob. Penyertaan mikrob sebagai bagian dari pengembangan lahan kering merupakan langkah yang sudah tepat mengingat kontribusinya yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, menjaga stabilitas ekosistem tanah, serta menjamin keberlanjutan ekosistem. Berbagai penelitian menjelaskan bahwa mikrob tanah berperan antara lain terhadap kesehatan tanah, produktivitas tanaman dan siklus karbon (van der Heijden et al. 2008; Fierer et al. 2012; Li et al. 2014). Kemampuan tanah dalam memberikan fungsinya sebagai ekosistem sangat tergantung pada keanekaragaman komunitas mikrob tanah karena hampir 90% proses penting yang terjadi di dalam tanah melibatkan peranan mikrob tanah (Nannipieri et al. 2003; Sengupta & Dick 2015). Peranan pentingnya tersebut mengakibatkan keanekaragaman mikrob tanah sering digunakan sebagai indeks utama dalam mengevaluasi kualitas tanah (Zhang et al. 2013).
2 Komunitas bakteri rizosfer merupakan salah satu kelompok mikrob tanah yang hidup di daerah perakaran tanaman. Banyak jenis bakteri rizosfer telah dikembangkan sebagai agen hayati untuk memacu pertumbuhan tanaman. Agen hayati merupakan alternatif yang potensial dibanding pupuk kimia karena beberapa alasan antara lain tidak bersifat toksik serta aman dan murah bagi lingkungan. Oleh sebab itu, seiring dengan berbagai inovasi yang ada, pengembangan agen hayati perlu terus dilakukan. Namun permasalahan yang sering dihadapi dalam pengembangan agen hayati bahwa tidak semua jenis agen hayati efektif dan memberikan hasil yang konsisten selama aplikasi. Laporan banyaknya kasus hambatan dan kegagalan aplikasi agen hayati sejalan dengan laporan tingkat keberhasilan aplikasinya (Bashan & Dubrovsky 1996; Malusa et al. 2012; Mazid & Khan 2014). Penyebab kegagalan yang sering dilaporkan antara lain karena berkurangnya tingkat efektifitas agen hayati, ketidakmampuannya berkompetisi dengan mikrob indigenos dan ketidaksesuaian dengan kondisi lingkungan. Kemungkinan lain bahwa agen hayati berbasis strain tunggal dan multiple strain yang dikembangkan saat ini tidak mampu memberikan peranannya secara optimal dalam kompleksitas ekosistem tanah. Oleh sebab itu, perlu ditemukan strategi pengembangan agen hayati dan cara mendapatkan agen hayati yang efektif untuk tipe permasalahan lahan kering. Beberapa peneliti berpendapat bahwa tidak ada strain bakteri pemacu tumbuh yang dapat bekerja dengan baik pada semua kondisi lahan (Bashan et al. 2014). Hasil penelitian Bashan dan Dubrovsky (1996) sebelumnya menjelaskan bahwa peningkatan hasil yang diberikan oleh pupuk hayati dapat menjadi tidak konsisten karena kondisi lingkungan dan agronomi yang berbeda. Pada kondisi tanah dan iklim yang berbeda, strain kemungkinan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan, bahkan dapat berdampak merusak tanaman yang sama (Upadhyay et al. 2011). Agar mampu bekerja lebih efektif, strain lokal dapat menjadi pilihan terutama untuk lahan suboptimal seperti lahan dengan kondisi kekurangan air (Bashan et al. 2014). Berkaitan dengan permasalahan dalam pengembangan tanaman jagung lahan kering, maka dalam penelitian ini pencarian sumber agen hayati dilakukan berbasis lokasi dengan menggali potensi komunitas bakteri rizosfer tanaman jagung dari lahan kering. Dalam bentuk konsorsium secara bersama-sama dalam komunitasnya, bakteri diharapkan lebih mampu memberikan peranannya secara lebih efisien dan efektif terutama karena adanya kesesuaian dengan kondisi lingkungan. Proses pengembangan inokulan bakteri melibatkan berbagai tahapan. Potensi kesuksesan pengembangan inokulan bakteri yang dilakukan selama ini lebih diandalkan pada teknik formulasi dan metode aplikasi (Malusa et al. 2012; Bashan et al. 2014). Pada tahap awal, sumber sampel dipilih dari berbagai tipe lingkungan atau rizosfer dari berbagai jenis tumbuhan. Selanjutnya dilakukan isolasi bakteri target, karakterisasi sifat pemacu tumbuh dan identifikasi isolat. Isolat terpilih kemudian diaplikasikan pada tanaman target pada skala rumah kaca (Bashan et al. 2014). Prosedur ini umum dilakukan oleh berbagai kalangan dalam mencari isolat potensial (Khalid et al. 2004; Husen et al. 2011; Thijs et al. (2014). Seleksi isolat dengan cara demikian kurang efisien dan rentan untuk mendapatkan isolat target yang tidak tepat karena seleksi isolat dilakukan berdasarkan sifat unggulnya berdasarkan uji in vitro. Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan untuk melakukan seleksi secara in planta yaitu berdasarkan kemampuannya memacu pertumbuhan secara langsung pada tanaman target. Upaya ini lebih memungkinkan untuk
3 mendapatkan agen hayati yang efektif dan efisien sesuai dengan target aplikasi. Hal ini karena komunitas bakteri yang terseleksi secara in planta kemungkinan dihuni oleh bakteri yang berpotensi sebagai pemacu tumbuh. Selain komunitas bakteri secara keseluruhan, perlu juga dipelajari potensi dan peranan kelompok bakteri dominan yang merupakan bagian dari komunitas dalam memacu pertumbuhan tanaman jagung. Penapisan strain bakteri yang dikembangkan sebagai inokulan umumnya masih berdasarkan pada informasi bakteri terkultur (culturable bacteria). Namun mengingat bahwa sekitar 99% mikrob tanah bersifat tidak dapat dikultur (Torsvik et al. 2002), maka informasi berdasarkan bakteri terkultur kurang akurat karena belum mampu menggambarkan status keberadaan bakteri dalam komunitas alaminya. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh mengenai struktur komunitas bakteri rizosfer yang diteliti, pendekatan pengkulturan dan metagenom digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas. Kelompok bakteri dominan yang merupakan bagian dari komunitas juga ditentukan dengan mempertimbangkan status keberadaannya pada komunitas metagenomnya. Beberapa teknik analisis komunitas yang dapat digunakan antara lain Temperature/Denaturing Gradient Gel Electroforesis (T/DGGE), Single Strand Conformation Polymorphism (SCCP), Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis (ARDRA), Restriction Fragment Length Polymorphism/ Terminal RFLP (RFLP/T-RFLP), Ribosomal Intergenic Spacer Analysis/Automatic RISA (RISA/ ARISA), dan pyrosequencing. Di antara berbagai analisis komunitas, T-RFLP lebih populer dan banyak digunakan. Menurut Caffaro-Filho et al. (2007), T-RFLP mempunyai kelebihan dibanding metode lain karena dapat menganalisis sampel dalam jumlah banyak dengan cepat, tingkat ketelitian tinggi, serta data profil dapat dianalisis secara kualitatif maupun kuantitatif menggunakan berbagai metode statistik untuk memperoleh kesimpulan secara komprehensif.
Perumusan Masalah Indonesia mempunyai ketersediaan lahan kering yang luas yang potensial untuk pengembangan berbagai komoditas unggulan seperti jagung, namun peningkatan kapasitasnya masih terkendala antara lain oleh faktor kekeringan dan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Pengembangan agen hayati perlu terus dilakukan untuk mendapatkan agen hayati yang lebih baik dan sesuai untuk mengatasi kendala spesifik lahan kering dan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman jagung di lahan kering. Dalam penelitian ini, penggalian potensi bakteri pemacu tumbuh untuk tanaman jagung lahan kering dilakukan berdasarkan pendekatan komunitas bakteri rizosfer yang diseleksi secara in planta. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah komunitas bakteri rizosfer yang terseleksi secara in planta dapat memacu pertumbuhan tanaman jagung pada kondisi kering? 2. Bagaimana struktur komunitas bakteri terseleksi ? 3. Bagaimana karakter pemacu tumbuh dan potensi bakteri rizosfer dominan yang merupakan bagian dari komunitas dalam memacu pertumbuhan tanaman jagung pada skala rumah kaca?
4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memperoleh komunitas bakteri rizosfer pemacu pertumbuhan tanaman jagung lahan kering melalui penapisan in planta. 2. Memperoleh gambaran mengenai struktur komunitas bakteri rizosfer. 3. Menjelaskan karakter pemacu tumbuh dan potensi bakteri dominan yang merupakan bagian dari komunitas bakteri rizosfer dalam memacu pertumbuhan tanaman jagung.
Manfaat Penelitian Pemanfaatan komunitas bakteri rizosfer merupakan pengembangan dari agen hayati strain tunggal dan multiple strain yang ada sampai saat ini. Cara seleksi in planta dan inokulum berbasis komunitas bakteri rizosfer dapat diterapkan untuk mendapatkan agen hayati untuk tipe ekosistem lain, jenis tanaman lain atau untuk pengembangan agen hayati dengan keperluan tertentu. Komunitas bakteri rizosfer dan isolat bakteri yang merupakan bagian dari komunitas terseleksi dapat dieksplorasi lebih lanjut dan dikembangkan sebagai inokulan, terutama untuk tanaman jagung lahan kering. Gambaran struktur komunitas bakteri rizosfer yang terseleksi dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi peneliti dan sebagai pembanding dalam mempelajari pola komunitas bakteri rizosfer tanaman jagung asal lahan kering Pulau Lombok, NTB. Pola struktur komunitas yang diperoleh juga dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam memanipulasi komunitas bakteri rizosfer untuk pertumbuhan tanaman.
Ruang Lingkup Penelitian Kegiatan penelitian meliputi 1) penapisan komunitas bakteri rizosfer secara in planta yang berasal dari tanah rizosfer tanaman jagung lahan kering Pulau Lombok, 2) isolasi bakteri rizosfer dan analisis komunitas bakteri dengan teknik TRFLP melalui pendekatan metagenom dan pengkulturan, 3) analisis karakter pemacu tumbuh yang dimiliki bakteri rizosfer dominan, 4) uji kemampuan bakteri rizosfer dominan dalam memacu pertumbuhan tanaman jagung pada skala rumah kaca. Rangkaian kegiatan penelitian disajikan dalam bentuk diagram alir pada Gambar 1. Nilai Kebaruan Nilai kebaruan penelitian ini berkaitan dengan pengembangan komunitas bakteri rizosfer dan cara seleksi in planta untuk mendapatkan inokulum bakteri pemacu pertumbuhan tanaman jagung lahan kering, gambaran struktur komunitas bakteri rizosfer, serta informasi mengenai karakter pemacu tumbuh, potensi dan peranan bakteri dominan yang diperoleh.
5 PENELITIAN TAHAP I Penapisan komunitas bakteri rizosfer secara in planta dari tanah rizosfer tanaman jagung asal lahan kering Pemilihan individu tanaman jagung lahan kering yang menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik
Individu-individu tanaman jagung terpilih sebagai sumber sampel tanah rizosfer
Koleksi sampel tanah rizosfer dari tanaman jagung terpilih
Sampel-sampel tanah rizosfer - Gambaran pertumbuhan tanaman pada penanaman tahap I dan koleksi sampelsampel tanah rizosfer terpilih. - Gambaran pertumbuhan tanaman pada penanaman tahap II dan koleksi sampelsampel tanah rizosfer terpilih - Jenis sampel tanah rizosfer (komunitas bakteri) yang berpengaruh memberikan pertumbuhan yang terbaik
Aplikasi tanah rizosfer pada media tumbuh tanaman jagung dan seleksi tanaman jagung yang mempunyai pertumbuhan yang lebih baik (Seleksi pada penanaman tahap I dan II pada penelitian skala rumah kaca)
Uji pengaruh pemberian sampel tanah rizosfer terbaik terhadap pertumbuhan tanaman jagung pada beberapa dosis pemupukan dan kadar air media tanam 50% (Penanaman tahap III pada penelitian skala rumah kaca )
Gambaran pertumbuhan tanaman yang diberi perlakuan tanah rizosfer (komunitas bakteri) terbaik pada kondisi beberapa dosis pemupukan dan kadar air media tanam 50%
PENELITIAN TAHAP II Kajian komunitas bakteri rizosfer penghuni tanah rizosfer Desain media kultur bakteri
Kultivasi, isolasi, karakterisasi, dan kajian awal komunitas bakteri penghuni sampel tanah rizosfer
Analisis komunitas bakteri penghuni sampel tanah rizosfer menggunakan teknik T-RFLP (pendekatan pengkulturan dan metagenom): ekstraksi genom, amplifikasi sekuen 16S rDNA, purifikasi amplikon, pemilihan enzim restriksi, pemotongan amplikon dengan enzim restriksi, pengiriman sampel hasil restriksi, analisis data
Media-media kultur bakteri - Isolat bakteri rizosfer - Gambaran awal komunitas bakteri terkultur penghuni sampel tanah rizosfer terbaik dan beberapa sampel tanah rizosfer lainnya - Informasi hubungan antara status komunitas bakteri terkultur penghuni sampel tanah rizosfer dengan penampilan pertumbuhan tanaman jagung - Pola fingerprint komunitas bakteri rizosfer pada pengkulturan dan metagenom, jumlah dan ukuran TRF pada setiap komunitas, gambaran keanekaragaman, kelimpahan, kesamaan antar komunitas, dan afiliasi filogenetik setiap ukuran T-RF. Informasi hubungan antara pola fingerprint komunitas dengan penampilan pertumbuhan tanaman jagung. - Gambaran struktur komunitas bakteri rizosfer
PENELITIAN TAHAP III Kajian potensi isolat dominan yang merupakan bagian dari komunitas Analisis karakter pemacu tumbuh: kemampuan melarutkan fosfat, degradasi kitin, produksi HCN, antifungi patogen, produksi IAA, dan produksi EPS
Karakter pemacu tumbuh dari isolat dominan
Uji kemampuan isolat dominan dalam memacu pertumbuhan tanaman jagung pada penelitian skala TINJAUANrumah PUSTAKA kaca
Informasi kemampuan isolat dominan dalam memacu pertumbuhan tanaman jagung pada penelitian skala rumah kaca
Gambar 1 Diagram alir langkah kerja (
) dan hasil penelitian (
)
6
2 TINJAUAN PUSTAKA Lahan Kering dan Pemanfaatannya untuk Pertanaman Jagung di NTB Indonesia mempunyai beberapa tipe lahan suboptimal seperti lahan kering, rawa, lebak, pasang surut, dan gambut. Bila ditinjau dari luas lahan, potensi, ekologi, dan sosial ekonomi, maka lahan kering layak dioptimalkan pemanfaatannya sebagai lahan pertanian produktif (RENSTRA KEMENTAN 2009). Lahan kering merupakan hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian kecil waktu dalam setahun, yang terdiri dari lahan kering dataran rendah dan lahan kering dataran tinggi (DITJEN PSP 2011). Dalam kebijakan peningkatan ketahanan pangan nasional, jagung merupakan komoditas pangan utama setelah padi. Provinsi NTB mempunyai potensi dan peluang dalam pengembangan tanaman jagung mengingat sumber daya lahan, jenis tanah, topologi, dan agroklimat yang sesuai, terutama di lahan kering (Sudarto 2012). Bersama dengan daerah lainnya, NTB merupakan salah satu daerah penghasil jagung di Indonesia. Berdasarkan data penelitian Swastika et al. (2004) menunjukkan bahwa pada tahun 2000 sekitar 1% dari total luas area pertanaman jagung di Indonesia berada di NTB (Gambar 2).
19 Provinsi lain 15%
Sumatera Utara 7%
Sulawesi Selatan 6% NTT 6% NTB 1%
Gambar 2 Distribusi area pertanaman jagung di Indonesia tahun 2000 Jumlah produksi jagung di NTB terus meningkat. Pada tahun 2009, rerata produksi sebanyak 3.79 ton ha-1 dari area panen seluas 81,543 ha. Pada tahun 2013, rerata produksi sebanyak 5.75 ton ha-1 dari area panen seluas 110273 ha (BAPPEDA NTB 2014). Meskipun demikian, jumlah produksi tersebut masih rendah dibanding rerata produksi nasional. Menurut Sudarto (2012), kurangnya manajemen budidaya, tidak tersedianya benih dan pupuk pada saat diperlukan merupakan penyebab rendahnya produksi tersebut.
7 Beberapa Upaya dalam Meningkatkan Produktivitas Lahan Kering Lahan kering mempunyai berbagai keterbatasan berkaitan dengan pengembangannya sebagai lahan pertanian. Berbagai upaya terus dilakukan untuk meningkatkan kapasitas pemanfaatannya. Usaha dan teknologi yang umum diterapkan untuk meningkatkan produktivitas lahan kering antara lain dengan konservasi air, melindungi tanah dari erosi, meningkatkan kadar lengas tanah, serta memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Idjudin & Marwanto 2008). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan di lahan kering, misalnya mengembangkan model pengelolaan lahan kering dengan pola tumpang sari dan pergiliran tanaman (Pujiharti et al. 2008, Edy et al. 2011) dan pertanian yang terintegrasi dengan usaha ternak (Rahardjo & Suryo 2013). Metode untuk meningkatkan kandungan bahan organik dan fosfat merupakan bidang kajian yang telah banyak dilakukan, misalnya dengan penambahan fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dan pupuk kandang (Noor 2008). Pemanfaatan agen hayati merupakan salah satu metode yang banyak dikaji kemampuannya dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman di lahan kering. Surbakti et al. (2014) menggunakan Bradyrhizobium japonicum dan kombinasi pupuk jerami untuk mengetahui respon pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan kering. Pada penelitian Astiko et al. (2013), mikoriza indigenos dikombinasikan dengan pupuk kandang digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi jagung di lahan kering Lombok Timur, NTB. Pemanfaatan mikoriza juga pernah dilakukan oleh Sastrahidayat et al. (2011). Selain itu, kombinasi berbagai jenis pupuk hayati dan pupuk kimia dosis rendah pernah dicoba di lahan kering untuk menyeleksi genotif tanaman jagung yang efisien hara (Moelyohadi et al. 2012).
Peranan Bakteri dalam Pertumbuhan Tanaman Di dalam tanah, mikrob berada dalam agregat tanah dan dapat ditemukan melimpah pada daerah perakaran atau rizosfer. Mikrob rizosfer dapat bersifat menguntungkan dan merugikan bagi tanaman. Salah satu kelompok mikrob rizosfer yang menguntungkan adalah bakteri pemacu tumbuh tanaman (PGPR, plant growth promoting rhizobacteria). Kelompok bakteri ini telah lama diketahui peranannya sebagai pemacu pertumbuhan baik secara langsung maupun tak langsung. Mekanisme secara langsung antara lain dengan memfasilitasi penyediaan nutrien seperti nitrogen, fosfor dan besi, serta dengan menghasilkan fitohormon seperti sitokinin, giberelin, asam indol asetat, dan etilen. Mekanisme secara tak langsung antara lain sebagai biokontrol dengan menghasilkan siderofor, antibiotik dan enzim litik, serta menginduksi resistensi sistemik pada tanaman sebagai bentuk respon terhadap infeksi patogen (Glick 2012). Fosfor dan nitrogen merupakan nutrien penting bagi tanaman. Meskipun jumlah fosfor melimpah di dalam tanah, namun seringkali berada dalam bentuk terikat sehingga tidak dapat digunakan oleh tumbuhan. Beberapa jenis bakteri rizosfer pelarut fosfat antara lain Burkholderia sp., Bacillus sp., Pseudomonas sp., dan Flavobacterium sp. (Hussain et al. 2013). Rhizobia dan Frankia merupakan
8 dua kelompok bakteri simbiotik penambat nitrogen yang telah dipelajari secara mendalam. Selain menambat nitrogen, Rhizobia juga mampu memobilisasi fosfat menjadi bentuk yang tersedia bagi tumbuhan (Alikhani et al. 2006). Selain fosfor dan nitrogen, besi juga merupakan elemen yang mempunyai peranan penting bagi semua organisme sehingga seringkali terjadi kompetisi dalam mendapatkan besi. Salah satu mekanisme PGPR adalah menghasilkan siderofor yaitu komponen dengan berat molekul rendah yang berperan sebagai agen pengkhelat besi. Pseudomonas sp. merupakan salah satu bakteri yang selain mampu menghasilkan siderofor tetapi juga mampu menggunakan siderofor yang dihasilkan oleh mikrob lain dalam habitatnya (Loper & Henkels 1999). Hormon pertumbuhan sangat penting sebagai mekanisme respon tumbuhan terhadap lingkungan. Terdapat empat kelompok utama fitohormon yaitu auksin, giberelin, etilen, sitokinin, dan asam absisat (Saharan & Nehra 2011). Beberapa jenis bakteri diketahui mampu menghasilkan fitohormon asam indol asetat (IAA, indole-3-acetic acid). Kemampuan menghasilkan IAA sering digunakan sebagai salah satu dasar seleksi untuk mendapatkan PGPR yang efektif (Spaepen et al. 2007). Kajian produksi IAA pada Rhizobium menunjukkan bahwa bakteri tersebut menghasilkan IAA hanya bila berasosiasi dengan beberapa jenis legum sebagai inangnya (Basu & Gosh 2001). Selain IAA, etilen juga merupakan fitohormon yang penting bagi tumbuhan, namun dalam kondisi cekaman, hormon tersebut akan diproduksi secara berlebihan oleh tumbuhan sehingga dapat menghambat pertumbuhan. ACC deaminase yang dihasilkan oleh banyak jenis PGPR dapat menghidrolisis 1-aminocyclopropane-1-carboxylate (ACC) yang merupakan prekursor etilen. Selain bermanfaat bagi tanaman, bakteri rizosfer juga dapat bersifat merugikan. Salah satu mekanismenya adalah dengan menimbulkan penyakit pada tanaman. PGPR mempunyai mekanisme dalam menekan pertumbuhan mikrob penyebab penyakit dengan cara menghasilkan antibiotik. Di antara berbagai jenis bakteri penghasil antibiotik, Pseudomonas kelompok fluoresen diketahui mampu menghasilkan antifungi phenazin (Mazurier et al. 2009) dan 2,4-diacetyl phloroglucinol (DAPG) (Showkat et al. 2014). PGPR juga dapat menghasilkan sianida dan kitinase sebagai mekanisme melawan patogen. Tumbuhan mempunyai berbagai mekanisme pertahanan diri sebagai respon terhadap patogen dan parasit. Induced systemic resistance (ISR) dan systemic acquired resistance (SAR) merupakan dua bentuk resistensi pada tumbuhan, keduanya dibedakan berdasarkan sumber elisitor dan jalur regulasinya. Beberapa strain PGPR telah dikarakterisasi dengan baik berhubungan dengan kemampuannya dalam menginduksi resistensi pada berbagai jenis tumbuhan.
Upaya Pencarian dan Pengembangan Agen Hayati Pupuk hayati pertama kali dikembangkan pada tahun 1885 oleh Nobbe dan Hiltner dalam bentuk kultur rhizobia. Setelah itu, pupuk hayati kemudian berkembang di berbagai negara. Penelitian dalam pencarian dan pengembangan pupuk hayati juga semakin giat dilakukan sampai saat ini. Penapisan in vitro terhadap isolat terduga mulai dari isolasi, identifikasi dan seleksi karakter pemacu tumbuh merupakan cara yang umum dilakukan. Berbagai variasi percobaan sering
9 dilakukan tergantung pada tujuan yang diinginkan, misalnya isolasi mikrob endofit dari tanaman sehat untuk mendapatkan mikrob yang mampu melawan mikrob penyebab penyakit tanaman. Husen et al. (2011) melakukan pengembangan inokulum untuk menemukan bakteri pemacu tumbuh dan penekan penyakit tanaman. Bakteri diisolasi dari rizosfer tanaman kedelai kemudian diuji kemampuannya dalam menghasilkan ACC deaminase. Selanjutnya dilakukan penelitian skala rumah kaca untuk melihat kemampuan isolat dalam meningkatkan pertumbuhan dan mereduksi penyakit pada kedelai. Kecambah kedelai diinokulasi dengan isolat dan ditanam pada media tanah steril dan nonsteril yang mengandung cendawan patogen seperti F. oxysporum, S. rolfsii dan R. solani. Metode yang mirip juga pernah dilakukan oleh Khalid et al. (2004) dengan mengisolasi bakteri dari rizosfer tanaman gandum yang tumbuh di berbagai lokasi. Isolat yang menunjukkan pertumbuhan yang baik pada media agaragar kemudian diuji kemampuannya dalam menghasilkan auksin. Kecambah gandum dengan kultivar yang berbeda diinokulasikan dengan isolat terpilih lalu ditumbuhkan pada kondisi gnotobiotik. Berdasarkan kemampuannya memproduksi auksin dan aktivitas pemacu tumbuhnya, empat isolat kemudian diuji kemampuannya dalam menghasilkan auksin pada tanah steril (pot percobaan) dan nonsteril (percobaan lapang). Pada skala pot percobaan, perlakuan inokulasi menunjukkan peningkatan biji gandum sebanyak 14.7% dan pada percobaan lapang sebanyak 27.5%. Dalam upayanya mengembangkan konsorsium bakteri pendegradasi 2,4dinitrotoluene (DNT) dan pemacu pertumbuhan tanaman, Thijs et al. (2014) juga melakukan isolasi dari tanah padang rumput dan tanah terkontaminasi DNT. Isolat diseleksi secara in vitro berdasarkan resistensinya terhadap beberapa bentuk cekaman, kemampuan degradasi DNT dan beberapa sifat pemacu tumbuh. Isolat terpilih kemudian diidentifikasi dan konsorsium dibuat dari enam isolat terpilih. Konsorsium diinokulasikan pada kecambah Arabidopsis thaliana yang ditumbuhkan secara vertikal pada media agar-agar. Respon tanaman diamati setelah 9 hari dengan melihat pertumbuhan akarnya. Menurut Thijs et al. (2014), lingkungan yang terkontaminasi juga berpotensi sebagai sumber isolat pemacu tumbuh dan penekan pengaruh DNT.
Komunitas Mikrob sebagai Tolok Ukur Perubahan Lingkungan Komunitas mikrob tanah mempunyai peranan dan hubungan timbal balik dengan faktor lingkungan, sehingga keanekaragaman dan komposisinya dapat berubah sejalan dengan perubahan lingkungan. Oleh sebab itu, berbagai kondisi lingkungan dan proses perubahan lingkungan dapat dijelaskan dengan mempelajari keanekaragaman komunitas mikrob tanah. Banyak peneliti juga telah mempelajari komposisi komunitas mikrob untuk mengetahui dampak dari perlakuan yang diberikan pada ekosistem. Otsuka et al. (2008) mempelajari komunitas mikrob tanah di hutan Kalimantan pascakebakaran. Keanekaragaman komunitas mikrob tanah pada hutan nonklimaks pascakebakaran lebih heterogen dibanding hutan klimaks yang tidak mengalami kebakaran. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa komunitas mikrob tanah berperan dalam proses suksesi. Perubahan komunitas mikrob
10 berkaitan dengan pola pengelolaan lahan petanian di Sumatera pernah dijelaskan oleh Prijambada et al. (2012) bahwa sistem pertanian berbasis pohon lebih mampu mempertahankan keanekaragaman komunitas mikrob tanah dibandingkan dengan sistem pertanian yang lebih intensif. Bever et al. (2013) dan beberapa peneliti juga pernah merekayasa komposisi mikrob untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman. Dengan mempelajari komposisi komunitas cendawan mikoriza arbuskular (AMF, arbuscular mycorrhizal fungi) diketahui bahwa penggunaan pupuk kandang berdampak pada peningkatan biomassa hifa dan spora AMF. Adapun pupuk anorganik hanya meningkatkan biomassa spora (Qin et al. 2015). Dampak penggunaan fungisida terhadap komunitas mikrob tanah pernah dilaporkan oleh Bending et al. (2007). Dampak fungisida dalam mereduksi aktivitas dehidrogenase bervariasi pada komunitas mikrob dengan tingkat keanekaragaman yang rendah tetapi tidak pada komunitas dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi.
Komunitas Bakteri Rizosfer pada Tanaman Jagung Rizosfer merupakan lingkungan yang sangat selektif yang terbentuk karena tumbuhan menyeleksi bakteri yang paling berperan terhadap pertumbuhannya melalui eksudat akar yang dikeluarkan (Saharan & Nehra 2011). Pada saat berinteraksi dengan tanah, tanaman juga secara langsung berinterkasi dengan mikrob tanah. Melalui nutrien yang disediakan, tanaman dapat mengubah komunitas mikrob yang berasosiasi dengannya dan menyeleksi komunitas bakteri rizosfernya sesuai dengan kebutuhan tanaman tersebut (Bell et al. 2015). Oleh sebab itu, komunitas dan keanekaragaman mikrob rizosfer berbeda pada setiap jenis tanaman (Garbeva et al. 2008). Efek rizosfer juga mengakibatkan perbedaan komposisi komunitas bakteri rizosfer dengan komunitas bakteri pada tanah yang jauh dari perakaran (Bouffaud et al. 2012; Garcia-Salamanca et al. 2012). Pada komoditas tanaman penting seperti jagung, kajian komunitas bakteri rizosfernya telah banyak dilakukan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa komunitas bakteri rizosfer tanaman jagung dipengaruhi antara lain oleh jenis tanah dan lokasi lahan, genotif tanaman serta tahap pertumbuhan tanaman. Arruda et al. (2013) melakukan kajian terhadap komunitas bakteri tanaman jagung yang ditanam di 5 lokasi di Rio Grande, Brazil. Hasil analisis RFLP menunjukkan bahwa komunitas bakteri tersebut disusun oleh Gammaproteobacteria, Betaproteobacteria, Alphaproteobacteria, Firmicutes, Actinobacteria, dan Bacteroidetes. Genus utama dari Gammaproteobacteria adalah Citrobacter, Klebsiella, Serratia, Pantoea, Stenotrophomonas, Enterobacter dan Pseudomonas. Burkholderia merupakan genus yang paling melimpah di antara genus lain yang termasuk dalam Betaproteobacteria. Pada beberapa penelitian juga disebutkan bahwa Burkholderia merupakan kelompok bakteri yang umum ditemukan pada rizosfer tanaman jagung (Balandreau et al. 2001; Pirone et al. 2005). Bersama dengan Pantoea, Bacillus dan Klebsiella, Burkholderia juga terdeteksi sebagai endofit pada sampel tanaman jagung asal Brazil (Ikeda et al. 2013). Peiffer et al. (2013) melakukan analisis pyrosequencing terhadap 27 jenis tanaman jagung hasil persilangan yang ditanam di 5 lokasi lahan berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kekayaan jenis unit taksonomi operasional (OTU, operational
11 taxonomy unit) komunitas mikrob rizosfer lebih dipengaruhi oleh lokasi lahan dibandingkan dengan jenis persilangan. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan Bouffaud et al. (2012) bahwa berdasarkan hasil penelitian skala rumah kaca, genotif tanaman jagung berpengaruh terhadap komunitas mikrob rizosfernya. Tahap pertumbuhan tanaman berpengaruh terhadap komposisi komunitas mikrob rizosfer. Pada tanaman jagung varietas Doge yang ditanam di Dragoni, Italia, berdasarkan bakteri terkultur yang dikultur menggunakan medium Tryptic Soy Agar (TSA) menunjukkan bahwa umur tanaman tidak berpengaruh terhadap kepadatan total bakteri, tetapi lebih berpengaruh dalam menyeleksi kelompokkelompok bakteri rizosfer (Chiarini et al. 1998). Hasil penelitian yang sama ditunjukkan oleh Cavaglieria et al. (2009) saat mempelajari struktur komunitas bakteri, fungi dan total komunitas mikrob rizosfer terkultur pada 5 tahap pertumbuhan tanaman jagung. Tingkat keanekaragaman komunitas bakteri, fungi dan total komunitas mikrob meningkat mulai dari tahap I (umur 20 hari), II (umur 35 hari) dan paling tinggi pada tahap pertumbuhan III (umur 60 hari) yaitu pada saat tanaman memasuki fase perbungaan. Pada tahap IV (umur 80 hari) dan V (umur 130 hari) terjadi penurunan tingkat keanekaragaman. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tahap pertumbuhan tanaman tidak berpengaruh terhadap kepadatan total mikrob tetapi lebih cenderung sebagai faktor seleksi terhadap kelompok mikrob rizosfer. Adanya dinamika struktur komunitas bakteri rizosfer tanaman jagung pada tahap pertumbuhan yang berbeda juga ditunjukkan pada penelitian Li et al. (2014). Analisis DGGE dan pyrosequencing menunjukkan bahwa rizosfer tanaman jagung yang ditanam di Illionis, USA, lebih banyak dihuni oleh Proteobacteria, Bacteroidetes dan Actinobacteria. Setiap phylum diwakili oleh satu atau dua kelompok bakteri dominan, antara lain Massilia, Burkholderia, Ralstonia, Dyella, Chitinophaga, dan Sphingobium. Deteksi pada tingkat taksonomi yang lebih lebih rendah (famili, genus dan OTU) menunjukkan bahwa struktur komunitas tersebut berubah mengikuti tahap pertumbuhan tanaman. Pada tahap pertumbuhan awal, kelompok yang terdeteksi melimpah adalah Massilia, Flavobacterium, Arenimonas, dan Ohtaekwangia. Tahap pertumbuhan akhir didominasi oleh kelompok Burkholderia, Ralstonia, Dyella, Chitinophaga, Sphingobium, Bradyrhizobium, dan Variovorax. Berdasarkan perbandingan komunitas bakteri rizosfer tanaman jagung dari wilayah yang berbeda menunjukkan bahwa beberapa kelompok bakteri merupakan penghuni yang umum ditemukan. Adanya kelompok yang berbeda kemungkinan dipengaruhi oleh faktor spesifik lokasi seperti kondisi tanah.
12
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai Agustus 2012 sampai Januari 2015. Lokasi pengambilan sampel tanaman jagung di Demplot Penelitian dan Pengembangan Lahan Kering Universitas Mataram di Desa Akar Akar, Kabupaten Lombok Utara, dan Dusun Bukit Keramat Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur. Penelitian skala rumah kaca bertempat di Rumah Kaca Gaharu Fakultas Pertanian, Universitas Mataram. Isolasi dan karakterisasi bakteri rizosfer dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA, Universitas Mataram. Analisis T-RFLP dan uji karakter pemacu tumbuh dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA Institut Pertanian Bogor. Bahan Bahan utama yang digunakan adalah tanaman jagung BISI 2 (Zea mays cv. BISI 2) (PT Bisi International Tbk, Surabaya) umur 2 bulan yang memiliki pertumbuhan yang lebih baik yang tumbuh di lahan kering Pulau Lombok dengan kondisi lahan berkapasitas produksi 5 ton ha-1; sampel tanah rizosfer yang dikoleksi dari tanaman jagung BISI 2 umur 2 bulan yang memiliki pertumbuhan yang lebih baik yang tumbuh di lahan kering Pulau Lombok; biji jagung BISI 2; pupuk NPK (Phonska, PT Petrokimia, Gresik); media kultur berupa Soil Extract Agar (HIMEDIA, Mumbai, India), Nutrient Agar low nutrient (NAln), Nutrient Agar low nutrient+soil extract (NAln-SE), Nutrient Agar low nutrient+root extract (NAlnRE), King’s, Pikovskaya Agar, Malt Extract Agar, Nutrient Broth (HIMEDIA, Mumbai, India); kit ekstraksi DNA (Power Soil, Mo Bio Laboratories, Inc.); PCR mix (GoTaq(R) Green, Promega); kit purifikasi DNA (QIAquick, Qiagen, Germany); primer 27F-FAM/1492R, primer 63F/1387R, dan enzim MspI (Fermentas). Alat Alat utama yang digunakan adalah mikroskop (Primo Star, Zeiss) dengan kamera RaciCam ERc 5s, alat sentrifugasi (miniSpin, Eppendorf), mesin PCR (Swift MiniPro, Esco Micro Pte. Ltd.), GelDoc (Bio-Rad), NanoDrop (Thermo Scientific, Inc.), perangkat elektroforesis (BioRad), vortex (Thermolyne 37600), shaker waterbath (Memmert TZN4M), dan spektrofotometer (GENESYS 20, Thermo Spectronic).
Penapisan Komunitas Bakteri Rizosfer secara In Planta Sampel tanah rizosfer dan penanganannya Sampel tanah rizosfer (TR) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah TR yang melekat atau berada di sekitar rambut-rambut akar tanaman jagung hibrida BISI 2 yang tumbuh di dua lokasi pertanaman jagung lahan kering di Pulau Lombok, NTB.
13 Sampel TR dikoleksi pada bulan Agustus 2012 dari tanaman jagung yang tumbuh di dua lokasi pengembangan lahan kering di Pulau Lombok yaitu Desa Akar Akar, Kabupaten Lombok Utara (S 08º13’42.4’’, E 116º21'24.4'') dan Dusun Bukit Keramat Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur (S 08º31’39.3’’, E 116º 37'49.3''). Peta kedua lokasi tersebut disajikan pada Lampiran 1. Tanaman jagung yang dijadikan sebagai sumber sampel adalah individu tanaman yang berumur 2 bulan dan menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibanding individu lainnya. Sebanyak 7 tanaman jagung (Kode A, B, C, D, E, F, dan G) terpilih dari 2 hektar luasan lahan pertanaman jagung di Desa Akar Aka, Kabupaten Lombok Utara dan 4 tanaman jagung (Kode H, I, J, dan K) terpilih dari 2 hektar luasan lahan pertanaman jagung di Dusun Bukit Keramat Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur. Sampel TR dikoleksi dengan langkah sebagai berikut. Pangkal batang tanaman dipotong dan diambil bongkahan tanah perakarannya lalu bongkahan dimasukkan ke dalam kantong plastik berlabel. TR diambil dari daerah bongkahan yang paling padat perakarannya dan paling sedikit terpengaruh oleh dekomposisi serasah dan aktivitas akar rumput-rumputan yang tumbuh di atas tanah sekitar perakaran (Zhao et al. 2010). Helaian cabang akar dipotong kemudian dikibaskibaskan untuk memisahkan akar dari partikel tanah yang tidak melekat pada akar. TR kemudian dikikis menggunakan spatula dan disimpan dalam kantong plastik steril. Sebanyak 11 sampel TR dikoleksi pada tahap ini (TR A, TR B, TR C, TR D, TR E, TR F, TR G, TR H, TR I, TR J, dan TR K). Penanaman tahap I Pada penanaman tahap I, 11 sampel TR diseleksi untuk mendapatkan TR yang dapat menghasilkan tanaman jagung dengan pertumbuhan yang lebih baik. Penanaman dilakukan di rumah kaca selama 30 hari masa tanam. Faktor uji berupa penambahan TR pada media tanam dan pengaturan kadar air media tanam pada 75% dan 50% kapasitas lapang. Ulangan dibuat sebanyak 3 kali. Percobaan didesain menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Persiapan kecambah jagung dan media tanam. Permukaan biji jagung didisinfeksi dengan NaOCl 0.5% selama 2 menit dan alkohol 75% selama 1 menit. Tingkat sterilitas permukaan biji diperiksa dengan meletakkan biji di atas permukaan medium Nutrient Agar lalu diinkubasi pada 28 0C selama 24 - 48 jam. Selanjutnya biji dikecambahkan selama 2 hari dalam cawan petri menggunakan media kapas steril yang dilembabkan. Kecambah yang dipilih adalah kecambah yang mempunyai panjang radikula yang seragam yaitu antara 5 - 7 mm. Media tanam berupa 3 kg pasir sungai yang telah dicuci dan dikeringkan. Pasir diayak dengan pengayak tanah berdiameter lubang 3.35 mm. Sebanyak 3 kg pasir dikemas dalam kantong plastik lalu disterilisasi selama 1 jam selanjutnya pasir dikemas dalam pot percobaan (polybag). Penambahan tanah rizosfer, pengaturan kadar air media tanam dan pemupukan. Media tanam dipersiapkan di rumah kaca dengan jarak antar pot 50 cm x 50 cm. Sebanyak 100 g sampel TR diletakkan di lubang penanaman kecambah jagung yang dibuat di bagian tengah media tanam dengan diameter 3 cm dan kedalaman 3 cm. Sebanyak satu kecambah jagung ditanam pada lubang penanaman. Kadar air media tanam diatur pada 50% dan 75% kapasitas lapang. Cara perhitungan untuk menentukan kadar air media tanam disajikan pada Lampiran 2.
14 Penyiraman dengan air steril dilakukan dua kali sehari yaitu pada jam 09.00 dan jam 13.00. Jumlah air yang diberikan disesuaikan dengan jumlah air pada setiap kapasitas lapang dan ditentukan dengan cara ditimbang. Pemberian pupuk dilakukan 5 hari setelah tanam. Pupuk yang diberikan berupa Urea (Daun Buah, PT Pupuk Kaltim) sebanyak 225 mg, SP-36 (Kebomas, PT Petrokimia Gresik) sebanyak 150 mg dan fosfat alam (Mekarindo, CV Bumi Mitra Niaga) sebanyak 200 mg, serta KCl (Kebomas, PT Petrokimia Gresik) sebanyak 150 mg. Dosis pupuk tersebut merupakan dosis pupuk 75% dari dosis rekomendasi. Pada penanaman tahap I dibuat dua perlakuan kontrol. Kontrol 1 (TR K1) berupa media tanam yang diberi pupuk dasar dengan dosis 75% dan ditambahkan 100 g tanah rizosfer yang telah disterilisasi terlebih dahulu. TR steril tersebut diberi kode TR K1. Kontrol 2 berupa media tanam yang diberi jenis pupuk yang sama tetapi dengan dosis 100%. Analisis variabel pertumbuhan tanaman dan analisis statistik. Setelah 30 hari tanam, dilakukan pengukuran variabel pertumbuhan meliputi jumlah daun, lebar daun ke-7, panjang daun ke-7, panjang tanaman, tinggi tanaman, berat basah biomassa bagian atas, berat kering biomassa bagian atas, dan berat kering akar. Pemanenan dilakukan dengan memotong pangkal batang sehingga diperoleh dua bagian biomassa tanaman yaitu biomassa bagian atas dan biomassa bagian bawah (akar). TR dari setiap unit perlakuan dikoleksi dan disimpan pada suhu 4 – 7 0C untuk analisis selanjutnya. Berat basah biomassa bagian atas diukur segera setelah panen. Berat kering biomassa bagian atas dan akar diukur setelah dikeringkan menggunakan oven. Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman jagung dianalisis menggunakan analysis of variance (ANOVA). Perlakuan yang menunjukkan adanya perbedaan nyata diuji lanjut dengan uji Tukey pada taraf 5% menggunakan program pengolahan data Minitab 16. Penanaman tahap II Sebanyak 5 sampel TR pada penanaman tahap I yang menghasilkan nilai variabel pertumbuhan yang lebih baik diseleksi kembali pada penanaman tahap II. Selain 5 sampel TR tersebut, dipilih juga satu sampel TR yang menghasilkan nilai variabel pertumbuhan yang paling rendah. Penanaman dilakukan di rumah kaca selama 30 hari masa tanam. Faktor uji terdiri dari perlakuan tanah rizosfer (TR A, TR B, TR D, TR F, TR G, TR K, dan TR K1) dan kadar air media tanam (100%, 75% dan 50% kapasitas lapang). Ulangan dibuat sebanyak 3 kali. Percobaan didesain menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Persiapan kecambah jagung, media tanam, penambahan tanah rizosfer, dan penyiraman dilakukan seperti pada penanaman sebelumnya. Adapun pupuk yang diberikan berupa pupuk NPK hanya pada dosis 75% dari dosis rekomendasi (234 mg). Sebagai pembanding digunakan perlakuan TR K1 (Kontrol 1) yaitu penambahan tanah rizosfer steril. Analisis variabel pertumbuhan tanaman dan analisis statistik dilakukan seperti pada penanaman sebelumnya. Penanaman Tahap III Sampel TR yang menghasilkan nilai variabel pertumbuhan yang paling baik pada penanaman tahap II kemudian diuji kembali pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman jagung pada kondisi kadar air media tanam 50% kapasitas lapang. Penanaman dilakukan di rumah kaca selama 30 hari masa tanam. Faktor
15 uji terdiri dari perlakuan tanah rizosfer dan pemupukan (dosis 100%, 75%, 50%, dan 0%). Ulangan dibuat sebanyak 3 kali. Percobaan didesain menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Persiapan kecambah jagung, media tanam, penambahan tanah rizosfer, dan penyiraman dilakukan seperti pada penanaman sebelumnya. Pupuk yang diberikan berupa pupuk NPK. Sebagai pembanding digunakan perlakuan TR K1 (Kontrol 1) yaitu penambahan tanah rizosfer steril dan perlakuan tanpa penambahan TR dijadikan (Kontrol 2). Analisis variabel pertumbuhan tanaman dan analisis statistik dilakukan seperti pada penanaman sebelumnya.
Kajian Awal Komunitas Bakteri Terkultur dari Sampel Tanah Rizosfer Pada tahap penelitian ini dilakukan kajian terhadap jumlah dan jenis isolat bakteri yang menghuni sampel TR. Sampel TR yang dianalisis adalah sampel hasil penanaman tahap II. Sebagai pembanding dilakukan juga analisis terhadap sampel tanah alami lahan kering Pulau Lombok (K0) yang diambil dari lokasi yang sama tetapi tidak pernah ditanami tanaman komoditas. Penyiapan media kultur Bakteri dikultivasi menggunakan empat media kultur yaitu 1) media komersial Soil Extract Agar (SEA), 2) Nutrient Agar rendah nutrisi (NAln), 3) Nutrient Agar rendah nutrisi yang ditambahkan 50% ekstrak tanah (NAln-SE), dan 4) Nutrient Agar rendah nutrisi yang ditambahkan 25% ekstrak akar tanaman jagung (NAln-RE). Media dan komposisinya disajikan pada Lampiran 3. Ekstrak tanah dipersiapkan dengan langkah sebagai berikut. Tanah diambil dari lokasi pertanaman jagung di lahan kering Pulau Lombok. Tanah dibersihkan dari sisa serasah dan dikeringkan, lalu diayak menggunakan ayakan tanah dengan ukuran lubang 2 mm. Sebanyak 1 bagian tanah disuspensikan dengan 2 bagian air steril (w/v) lalu diaduk sampai membentuk lumpur tanah kemudian disterilisasi selama 1 jam (O'Neill et al. 2009). Lumpur tanah yang telah steril dibiarkan selama 24 jam pada suhu ruang sampai endapan dan supernatannya terpisah. Supernatan (ekstrak tanah) diambil dengan cara disaring menggunakan kapas steril yang disusun padat dan berlapis-lapis dengan ketebalan 8 cm. Ekstrak tanah yang diperoleh kemudian disimpan pada 6 - 7 0C. Ekstrak akar dipersiapkan dengan langkah sebagai berikut. Akar tanaman jagung diambil dari tanaman jagung hibrida BISI 2 yang masih segar. Akar dicuci dan dikeringanginkan. Sebanyak 1 bagian akar dicampur dengan 2 bagian air steril (w/v) lalu dihaluskan dengan cara diblender, kemudian disterilisasi selama 20 menit. Campuran akar yang telah steril dibiarkan selama 24 jam pada suhu ruang sampai endapan dan supernatannya terpisah. Supernatan (ekstrak akar) diambil dan disimpan dengan cara yang sama seperti pada ekstrak tanah. Kultivasi dan karakterisasi bakteri Sebanyak 10 g sampel tanah disuspensikan dalam 90 ml garam fisiologis steril (NaCl 0.85%). Suspensi tanah dikocok pada kecepatan 125 rpm selama 15 menit. Sebanyak 100 μl suspensi dari pengenceran 10-3, 10-4, 10-5, 10-6, dan 10-7 disebarkan di atas permukaan media kultur. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 7 hari.
16 Pengamatan meliputi total jumlah sel dalam setiap gram sampel tanah yang diukur berdasarkan jumlah koloni yang muncul (CFU, colony forming unit), jumlah isolat yang muncul dan jumlah koloni masing-masing isolat. Pengamatan karakter kultur meliputi kecepatan pertumbuhan, ada dan tidaknya dominansi pertumbuhan, morfologi koloni (warna dan tekstur koloni, bentuk koloni, bentuk pinggiran dan permukaan koloni, ukuran diameter koloni) dan pigmentasi. Untuk menghindari identifikasi ganda, pengamatan karakter koloni isolat yang sama juga dilakukan pada keempat media kultur yang digunakan. Koloni dengan karakter yang berbeda kemudian diberi nama berbeda. Pengamatan karakter sel meliputi jenis kelompok Gram, bentuk dan susunan sel, serta panjang dan lebar sel. Pengamatan karakter sel dilakukan menggunakan mikroskop Primo Star (Zeiss) dengan kamera RaciCam ERc 5s dan program AxioVision Rel. 4.8. Isolat murni disimpan dalam bentuk biakan agar-agar miring dan disimpan pada 6 - 7 0C. Uji antibiosis Uji antibiosis dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya kemampuan antibiosis yang dimiliki oleh isolat bakteri rizosfer yang diteliti. Isolat yang terduga mempunyai kemampuan antibiosis selanjutnya disebut isolat terduga sedangkan isolat lain yang diperoleh dalam penelitian ini yang diujikan terhadap isolat terduga selanjutnya disebut isolat uji. Isolat terduga digoreskan secara vertikal pada bagian pinggir media SEA, NAln, NAln-SE, dan NAln-RE lalu diinkubasi pada 28 0C. Setelah 2-3 hari inkubasi, isolat uji digoreskan secara horizontal pada jarak 5 mm dari isolat terduga. Inkubasi dilanjutkan sampai 2 minggu. Isolat terduga dianggap mempunyai kemampuan antibiosis bila mampu menghambat pertumbuhan isolat uji.
Kajian Komunitas Bakteri Rizosfer Menggunakan Teknik T-RFLP dengan Pendekatan Metagenom dan Pengkulturan Empat komunitas bakteri yang dianalisis pada tahap ini adalah komunitas yang berasal dari sampel TR D, TR A dan TR K1 yang merupakan hasil penanaman tahap II. Sebagai pembanding dilakukan juga analisis komunitas bakteri dari sampel K0 (tanah alami lahan kering). Ekstraksi genom dari preparasi metagenom Pada preparasi metagenom, genom komunitas diperoleh melalui ekstraksi genom langsung dari masing-masing sampel tanah. Sebanyak 10 g sampel tanah disuspensikan dalam 90 ml garam fisiologis steril, lalu dikocok pada kecepatan 125 rpm selama 15 menit. Suspensi tanah dipindahkan ke dalam tabung falcon 50 ml, selanjutnya disentrifugasi pada 10000 x g selama 30 menit. Pelet tanah yang diperoleh dikeringkan pada 60 0C selama 30 menit. Ulangan dibuat sebanyak 3 kali. Pelet tanah yang telah kering dikumpulkan dari ketiga ulangan lalu dicampur merata. Sebanyak 0.25 g pelet tanah kemudian dijadikan sebagai sumber genom. Genom diekstraksi menggunakan kit ekstraksi DNA Power Soil dengan tahapan sesuai petunjuk manufaktur sebagai berikut. Sebanyak 0.25 g sampel dimasukkan ke dalam tabung PowerBead, lalu ditambahkan 60 µl Solution C1 dan divortex singkat. Tabung divortex bersamaan selama 10 menit dengan posisi
17 horizontal, selanjutnya disentrifugasi pada 10000 x g selama 30 detik. Sebanyak 500 µl supernatan dipindahkan ke tabung koleksi 2 ml lalu ditambahkan 250 µl Solution C2 dan divortex selama 5 detik kemudian diinkubasi pada 4 0C selama 5 menit. Setelah itu tabung disentrifugasi pada 10000 x g selama 1 menit. Sebanyak 600 µl supernatan diambil dan dipindahkan ke tabung koleksi yang baru. Sebanyak 200 µl Solution C3 ditambahkan ke dalam supernatan tersebut kemudian divortex singkat. Setelah diinkubasi pada 4 0C selama 5 menit, tabung disentrifugasi pada 10000 x g selama 1 menit. Sebanyak 750 µl supernatan yang terbentuk dipindahkan ke dalam tabung koleksi yang baru lalu ditambahkan 1200 μl Solution C4 dan divortex selama 5 detik. Supernatan kemudian disaring dengan Spin Filter dengan cara disentrifugasi pada 10000 x g selama 1 menit. Cairan hasil saringan dibuang dan Spin Filter diletakkan dalam tabung 2 ml yang baru, lalu dibilas dengan 500 μL Solution C5 dan disentrifugasi pada 10000 x g selama 30 detik. Setelah cairan hasil bilasan dibuang, selanjutnya disentrifugasi kembali pada 10000 x g selama 1 menit. Spin Filter diambil dan diletakkan dalam tabung koleksi 2 ml. Sebanyak 100 μl Solution C6 ditambahkan ke bagian tengah membran filter kemudian disentrifugasi pada 10000 x g selama 30 detik. Spin Filter diangkat dari tabung koleksi dan cairan suspensi DNA yang terkumpul di bagian bawah tabung koleksi kemudian disimpan pada 4 0C. Kualitas dan kuantitas genom hasil ekstraksi dianalisis menggunakan NanoDrop. Ekstraksi genom dari preparasi pengkulturan Sebanyak 10 g masing-masing sampel tanah disuspensikan dalam 90 ml garam fisiologis steril lalu dikocok pada kecepatan 125 rpm selama 15 menit. Sebanyak 100 μl suspensi dari seri pengenceran 10-3, 10-4 dan 10-5 disebar di atas permukaan media agar-agar SEA, NAln, NAln-SE, dan NAln-RE. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 7 hari. Ulangan dibuat sebanyak 3 kali. Komunitas bakteri yang tumbuh pada setiap media kultur dari ketiga ulangan diambil dengan cara menuangkan 1 ml air steril di atas koloni. Setelah itu koloni dikeruk dan dimasukkan ke dalam tabung falcon 50 ml kemudian dikeringkan pada 60 0C selama 30 menit. Koloni yang telah kering dikumpulkan dan dicampur merata. Sebanyak 0.25 g koloni kering kemudian dijadikan sebagai sumber genom. Genom diekstraksi menggunakan kit ekstraksi DNA Power Soil dengan tahapan sesuai petunjuk manufaktur. Kualitas dan kuantitas genom hasil ekstraksi dianalisis menggunakan NanoDrop. Pada tahap ini juga dilakukan ekstraksi genom dari isolat murni (isolat tunggal) yang diperoleh pada tahap penelitian sebelumnya. Genom dari isolat murni selanjutnya diperlakukan sama seperti genom komunitas dari preparasi metagenom dan pengkulturan. Amplifikasi dan purifikasi fragmen 16S rDNA Fragmen 16S rDNA diamplifikasi menggunakan primer 27F berlabel 6–FAM carboxyfluorescein (5’-AGAGTTTGATCCTGGCTCAG-‘3) dan 1492R non label (5’-TACGGTTACCTTGTTACGACT-‘3). Total volume Polymerase Chain Reaction (PCR) dibuat sebanyak 50 µl yang terdiri dari 25 µl GoTaq(R) Green (Promega), 1 µl (10 pmol) masing-masing primer, 5 µl (sekitar 200 ng) DNA template, dan 18 µl nuclease free water (NFW). Ulangan dibuat sebanyak 3 kali. PCR dijalankan pada kondisi 1 siklus denaturasi awal pada 98 0C selama 3 menit; 30 siklus yang terdiri dari denaturasi pada 98 0C selama 45 detik; annealing pada
18 55 0C selama 45 detik, dan pemanjangan pada 72 0C selama 45 detik; serta 1 siklus pemanjangan akhir pada 72 0C selama 7 menit. Produk PCR dielektroforesis pada 1% gel agarosa selama 45 menit. Adanya fragmen 16S rDNA yang teramplifikasi divisualisasi dengan GelDoc. Produk PCR dimurnikan menggunakan kit purifikasi DNA QIAquick. Produk PCR murni dimasukkan dalam tabung mikro dan disimpan dalam wadah yang tertutup aluminium foil dan selanjutnya disimpan pada -20 0C. Untuk produk PCR murni dari preparasi pengkulturan, produk dari setiap media kultur dalam satu jenis sampel tanah yang sama digabung menjadi satu. Pemotongan fragmen 16S rDNA dengan enzim restriksi Hasil pemotongan fragmen 16S rDNA oleh enzim restriksi akan menghasilkan terminal restriction fragmen (T-RF). Ukuran T-RF yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah antara 50 - 500 bp. Pada tahap ini dilakukan pemilihan enzim restriksi yang dapat menghasilkan ukuran sesuai dengan yang dikehendaki. Sebanyak 5 enzim restriksi (EcoRI, BspI, HindIII, HhaI, dan MspI) dicobakan pada fragmen 16S rDNA komunitas. Komposisi reaksi masing-masing enzim disusun sesuai petunjuk manufaktur. Hasil restriksi dielektroforesis pada 2% gel agarosa selama 1 jam. Berdasarkan pola potongan yang tervisualisasi maka dipilih MspI (Fermentas) untuk penelitian selanjutnya. Komposisi rekasi untuk pemotongan oleh MspI terdiri dari 5 µl produk PCR murni, 1 µl enzim, 2 µl 10x Buffer Tanggo, dan 12 µl NFW. Campuran reaksi diinkubasi pada 37 0C selama 3 jam. Ulangan dibuat sebanyak 3 kali. Aktivitas reaksi dihentikan dengan diinkubasi dengan waterbath pada 65 0C selama 20 menit. Produk hasil restriksi dimasukkan dalam wadah yang tertutup aluminium foil dan disimpan pada -20 0C dan segera dianalisis. Analisis T-RFLP komunitas bakteri dan analisis profil T-RF Produk hasil restriksi dikirim ke perusahaan jasa 1st Base Malaysia untuk analisis T-RFLP. Analisis T-RF dilakukan menggunakan software GeneMapper v4.0. Profil T-RF pada setiap sampel tanah dianalisis dengan langkah sebagai berikut. T-RF yang berukuran kurang dari 50 bp dan lebih dari 500 bp tidak digunakan dalam analisis. T-RF yang mempunyai selisih ukuran basa kurang dari 0.5 bp pada sampel yang sama yang dipotong dengan enzim yang sama dikelompokkan sebagai T-RF yang sama (Dunbar et al. 2001; Smith et al. 2005). Ukuran T-RF kemudian dibulatkan ke puluhan terdekat. Selanjutnya, T-RF yang mempunyai luas area kurang dari 1% dari total area semua T-RF pada sampel yang sama dianggap sebagai pengotor sehingga tidak digunakan dalam analisis (Zhang et al. 2008). Prediksi afiliasi filogenetik ukuran T-RF yang muncul dalam komunitas dilakukan dengan cara mencari padanannya dengan ukuran T-RF bakteri yang ada pada basis data Ribosomal Database Project (RDP) Soil database based on RDP r12u10 by RuLi dan (R10, U27)700.829 Good Quality (>1200 Bacterial) dan menggunakan program Microbial Community Analysis III (MICA3) Vitual Digest (ISPaR) (http://mica.ibest.uidaho.edu/digest.php). Ukuran T-RF yang sama dengan ukuran T-RF pada basis data diprediksi mempunyai hubungan filogenetik yang sama. Data diambil pada Agustus 2014.
19 Analisis kelimpahan relatif, keanekaragaman, kemerataan, dan keserupaan komunitas bakteri Kelimpahan relatif (%) ukuran T-RF tertentu merupakan banyaknya proporsi T-RF tersebut dalam komunitasnya. Kelimpahan relatif dihitung berdasarkan luas wilayah puncak (peak area) dengan rumus sebagai berikut: =
Luas peak area T-RF ukuran tertentu X 100% Total luas peak area seluruh ukuran T-RF
Keanekaragaman komunitas ditentukan berdasarkan keanekaragaman jenis T-RF yang muncul. Keanekaragaman komunitas dihitung menggunakan indeks Shannon (H’) sebagai berikut: H’ = -∑(Pi x logPi) Pi = niN-1, ni adalah peak area dan N adalah jumlah total peak area. Kemerataan komunitas ditentukan berdasarkan tingkat sebaran T-RF dalam komunitasnya. Kemerataan komunitas dihitung menggunakan indeks Pielous (J) (Pielou's evenness index) sebagai berikut: E = H'/ln(S) S adalah jumlah total T-RF Keserupaan antar komunitas bakteri merupakan tingkat keserupaan yang dikonstruksi berdasarkan data biner ada dan tidak adanya ukuran T-RF yang sama pada komunitas yang dibandingkan. Tingkat keserupaan tersebut dihitung menggunakan koefisien keserupaan Jaccard (J) (Jaccard similarity coefficient) sebagai berikut: J = a x (a + b + c)-1 a adalah jumlah T-RF yang ada pada kedua sampel b adalah jumlah T-RF yang ditemukan pada sampel ke-1 tetapi tidak ditemukan pada sampel ke-2 c adalah jumlah T-RF yang ditemukan pada sampel ke-2 tetapi tidak ditemukan pada sampel ke-1 Determinasi kedekatan hubungan antar sampel dalam bentuk dendogram disusun berdasarkan koefisien keserupaan Jaccard (J) menggunakan metode unweighted pair group with mathematical averages (UPGMA). Simulasi dendrogram diprogram menggunakan R v2.8.1 (www.R-project.org). Penentuan isolat dominan dan identifikasinya Profil T-RFLP pada pendekatan metagenom dan pengkulturan dibandingkan untuk mengetahui ukuran-ukuran T-RF yang muncul pada kedua pendekatan tersebut. Ukuran T-RF yang sama tersebut kemudian dipilih ukuran T-RF yang dominan yaitu yang mempunyai nilai kelimpahan relatif yang tinggi. Untuk
20 mengetahui kelompok bakteri atau jenis bakteri yang diwakili oleh ukuran T-RF tersebut, maka dilakukan pencocokan dengan ukuran T-RF yang dimiliki oleh isolat-isolat tunggal. Isolat-isolat tunggal tersebut merupakan hasil isolasi pada tahap sebelumnya. Isolat yang mempunyai ukuran T-RF yang sama dengan T-RF dominan kemudian ditentukan sebagai bagian dari bakteri yang mewakili ukuran T-RF dominan. Identifikasi isolat dominan dilakukan berdasarkan fragmen 16S rDNA. Fragmen 16S rDNA isolat dominan diamplifikasi menggunakan pasangan primer 63F dan 1387R. Fragmen hasil amplifikasi kemudian dikirim ke perusahaan jasa sekuensing 1st Base Malaysia. Urutan basa DNA hasil sekuensing selanjutnya dianalisis secara komparatif dengan urutan basa 16S rDNA yang tersedia pada basis data GenBank (http://www.ncbi. nlm.nih.org.).
Kajian Karakter Pemacu Tumbuh dan Potensi Isolat Bakteri Dominan sebagai Pemacu Tumbuh Tanaman Jagung Kajian potensi isolat dominan meliputi karakterisasi sifat pemacu tumbuh (kemampuan melarutkan fosfat, degradasi kitin, produksi hidrogen sianida (HCN, hydrogen cyanide), kemampuan antifungi, produksi IAA, dan produksi eksopolisakarida (EPS, exopolysaccharide) serta uji kemampuan isolat dalam memacu pertumbuhan tanaman jagung pada skala rumah kaca. Uji reaksi hipersensitivitas Reaksi hipersensitivitas (HR) diuji berdasarkan metode Klement (1963). Sebanyak 1 ml suspensi (109 sel ml-1) diinfiltrasi ke dalam jaringan mesofil daun tembakau (Nicotiana tabacum L.) umur 3 bulan menggunakan syringe steril 1 ml. Sebagai kontrol positif digunakan bakteri patogen Xhantomonas oryzae dan sebagai kontrol negatif digunakan E. coli DH5α, medium King’s cair steril dan akuades steril. Reaksi HV diamati setelah 3 hari. Bakteri dianggap mempunyai reaksi HR positif bila menunjukkan gejala yang sama seperti yang ditunjukkan oleh Xhantomonas oryzae. Uji kemampuan melarutkan fosfat Bakteri ditumbuhkan pada medium Pikovskaya Agar (5.0 g l-1 Ca3PO4, 0.2 g -1 l NaCl, 0.2 g l-1 KCl, 0.1 g l-1 MgSO4, 0.005 g l-1 FeSO4, 0.5 g l-1 (NH4)2SO4, 10 g l-1 glukosa, 0.5 g l-1 ekstrak khamir, dan 18 g l-1 agar-agar, pH 6.8 - 7.3). Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 7 hari. Terbentuknya zona bening disekitar koloni mengindikasikan adanya aktivitas pelarutan fosfat. Uji kemampuan mendegradasi kitin Bakteri ditumbuhkan pada medium minimal yang ditambahkan kitin koloid (5 g l-1 kitin koloid, 0.3 g l-1 pepton, 0.3 g l-1 ekstrak khamir, 0.7 g l-1 K2HPO4, 0.3 g l-1 KH2PO4, 0.5 g l-1 MgSO4 .7H2O, 2 g l-1 NH4NO3, 1 g l-1 NaCl, dan 18 g l-1 agar-agar). Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 7 hari. Terbentuknya zona bening disekitar koloni mengindikasikan adanya aktivitas degradasi kitin.
21 Uji produksi HCN Produksi HCN diukur dengan metode Bakker dan Schippers (1987) yang telah dimodifikasi. Bakteri ditumbuhkan pada medium Nutrient Agar miring yang ditambahkan 4.4 g l-1 glisin. Sepotong kertas saring (5 cm x 0.5 cm) yang telah dijenuhkan dengan pewarna indikator (5% asam pikrat dalam larutan yang mengandung 2% Na2CO3) dimasukkan ke dalam tabung reaksi pada posisi berseberangan dengan goresan bakteri. Tabung ditutup rapat dengan parafilm dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Terjadinya perubahan warna pada kertas saring dari kuning menjadi coklat oranye mengindikasikan adanya HCN. Uji produksi senyawa antifungi Bakteri diuji kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan dua jenis fungi patogen yaitu Fusarium oxysporum dan Ganoderma sp. Potongan miselia segar fungi patogen ditanam di bagian tengah medium Malt Extract Agar (MEA) dan isolat bakteri digoreskan dipinggir medium berseberangan dengan fungi patogen. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 7 hari. Terhambatnya pertumbuhan miselia fungi ke arah koloni bakteri mengindikasikan bahwa bakteri mempunyai kemampuan antifungi. Pengukuran produksi IAA Bakteri ditumbuhkan pada medium King’s cair dan diinkubasi selama 12 jam. Sebanyak 2 ml kultur cair bakteri diinokulasikan ke dalam 100 ml King’s cair yang mengandung 5 ppm L-triptofan. Selanjutnya diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang dengan kondisi digoyang pada kecepatan 125 rpm. Konsentrasi IAA yang dihasilkan diukur setiap 12 jam dengan mengikuti metode Patten dan Glick (2002). Sebanyak 2 ml kultur disentrifugasi pada 10000 x g selama 10 menit. Sebanyak 1 ml supernatan yang terbentuk dipindahkan ke dalam tabung reaksi kemudian direaksikan dengan 4 ml reagen Salkowski (150 ml H2SO4 pekat, 250 ml air destilasi, 7.5 ml FeCl3·6H2O 0.5 M). Campuran dihomogenkan dan dibiarkan pada suhu ruang selama 20 menit dalam kondisi gelap. Terjadinya reaksi perubahan warna dari kuning menjadi pink mengindikasikan adanya IAA. Deteksi kualitatif produksi IAA dilakukan dengan mengukur absorbansi hasil reaksi pada panjang gelombang 535 nm menggunakan spektrofotometer. Kuantifikasi konsentrasi IAA dilakukan dengan membandingkan nilai absorbansi yang diperoleh dengan nilai absorbansi pada kurva standar konsentrasi IAA. Bersamaan dengan pengukuran konsentrasi IAA, dilakukan juga pengukuran absorbansi kepadatan sel pada panjang gelombang 620 nm. Pengukuran produksi EPS Bakteri ditumbuhkan pada medium King’s agar dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Koloni bakteri umur 1 hari, 3 hari dan 7 hari diambil dengan cara mengeruknya dengan spatula dan dilakukan pengukuran terhadap berat basah koloni. Koloni kemudian dipindahkan ke dalam tabung mikro 2 ml, ditambahkan 1 ml ddH2O, divortex dengan posisi horizontal pada kecepatan maksimal selama 30 menit, lalu disentrifugasi pada 10000 x g selama 10 menit. Pelet sel dikeringkan sedangkan supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro, ditambahkan etanol 95% sebanyak 3 kali volume, dibolak-balik sebanyak 5 kali, lalu diinkubasi pada 4 0 C selama 12 jam. Presipitat EPS dipanen dengan cara disentrifugasi pada 10000 x
22 g selama 10 menit. Presipitasi etanol diulangi kembali sebanyak satu kali. EPS yang diperoleh dikeringkan dan ditimbang, selanjutnya dilarutkan dalam 1 ml ddH2O. Konsentrasi glukosa yang dihasilkan diukur dengan mengikuti metode Dubois et al. (1956). Sebanyak 1 ml larutan EPS direaksikan dengan 1 ml fenol 5% dan 5 ml H2SO4 pekat. Campuran dihomogenkan dan dibiarkan pada suhu ruang selama 20 menit. Terjadinya reaksi perubahan warna dari bening menjadi kuning oranye mengindikasikan adanya EPS. Deteksi kualitatif produksi EPS dilakukan dengan mengukur absorbansi hasil reaksi pada panjang gelombang 490 nm menggunakan spektrofotometer. Kuantifikasi konsentrasi glukosa yang terkandung dalam EPS dilakukan dengan membandingkan nilai absorbansi yang diperoleh dengan nilai absorbansi pada kurva standar konsentrasi D-glukosa. Uji kemampuan bakteri dalam memacu pertumbuhan tanaman jagung Uji dilakukan pada skala rumah kaca selama 30 hari masa tanam. Faktor uji terdiri dari perlakuan pemberian inokulum dan tanpa inokulum, pemupukan (100%, 75%, 50%, dan 0%) serta kadar air media tanam (100%, 75% dan 50% kapasitas lapang). Percobaan didesain menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Ulangan dibuat sebanyak 3 kali. Semua unit perlakuan berjumlah 72 unit. Persiapan benih, kecambah jagung, media tanam, pemupukan, penyiraman, pengamatan dan analisis statistik dilakukan dengan cara yang sama seperti pada penanaman sebelumnya. Metode inokulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah inokulasi pada kecambah dan media tanam. Bakteri ditumbuhkan pada medium King’s cair selama 24 jam atau sampai sel mencapai kepadatan 109 sel ml-1. Radikula kecambah jagung direndam selama 10 detik dalam kultur bakteri yang mengandung sekitar 3 x 109 sel ml-1. Sebelum kecambah ditanam, sebanyak 10 ml kultur sel diinokulasikan ke dalam lubang penanaman. Perlakuan tanpa inokulum (medium King’s cair steril) dijadikan sebagai kontrol. Terdapat 24 kombinasi perlakuan dalam percobaan ini yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
T/100/100% : Tanpa inokulum/ dosis pupuk 100%/ kadar air media tanam 100% kapasitas lapang T/100/75% : Tanpa inokulum/ dosis pupuk 100%/ kadar air media tanam 75% kapasitas lapang T/100/50% : Tanpa inokulum/ dosis pupuk 100%/ kadar air media tanam 50% kapasitas lapang T/75/100% : Tanpa inokulum/ dosis pupuk 75%/ kadar air media tanam 100% kapasitas lapang T/75/75% : Tanpa inokulum/ dosis pupuk 75%/ kadar air media tanam 75% kapasitas lapang T/75/50% : Tanpa inokulum/ dosis pupuk 75%/ kadar air media tanam 50% kapasitas lapang T/50/100% : Tanpa inokulum/ dosis pupuk 50%/ kadar air media tanam 100% kapasitas lapang T/50/75% : Tanpa inokulum/ dosis pupuk 50%/ kadar air media tanam 75% kapasitas lapang T/50/50% : Tanpa inokulum/ dosis pupuk 50%/ kadar air media tanam 50% kapasitas lapang
23 10. T/0/100%
: Tanpa inokulum/ dosis pupuk 0%/ kadar air media tanam 100% kapasitas lapang 11. T/0/70% : Tanpa inokulum/ dosis pupuk 0%/ kadar air media tanam 75% kapasitas lapang 12. T/0/50% : Tanpa inokulum/ dosis pupuk 0%/ kadar air media tanam 50% kapasitas lapang 13. P/100/100% : Penambahan inokulum bakteri / dosis pupuk 100%/ kadar air media tanam 100% kapasitas lapang 14. P /100/75% : Penambahan inokulum bakteri / dosis pupuk 100%/ kadar air media tanam 75% kapasitas lapang 15. P /100/50% : Penambahan inokulum bakteri / dosis pupuk 100%/ kadar air media tanam 50% kapasitas lapang 16. P /75/100% : Penambahan inokulum bakteri / dosis pupuk 75%/ kadar air media tanam 100% kapasitas lapang 17. P /75/75% : Penambahan inokulum bakteri / dosis pupuk 75%/ kadar air media tanam 75% kapasitas lapang 18. P /75/50% : Penambahan inokulum bakteri / dosis pupuk 75%/ kadar air media tanam 50% kapasitas lapang 19. P /50/100% : Penambahan inokulum bakteri / dosis pupuk 50%/ kadar air media tanam 100% kapasitas lapang 20. P /50/75% : Penambahan inokulum bakteri / dosis pupuk 50%/ kadar air media tanam 75% kapasitas lapang 21. P /50/50% : Penambahan inokulum bakteri / dosis pupuk 50%/ kadar air media tanam 50% kapasitas lapang 22. P /0/100% : Penambahan inokulum bakteri / dosis pupuk 0%/ kadar air media tanam 100% kapasitas lapang 23. P /0/70% : Penambahan inokulum bakteri / dosis pupuk 0%/ kadar air media tanam 75% kapasitas lapang 24. P /0/50% : Penambahan inokulum bakteri / dosis pupuk 0%/ kadar air media tanam 50% kapasitas lapang Pasangan perlakuan T dan P pada dosis pupuk dan kadar air media tanam yang sama selanjutnya disebut pasangan kombinasi perlakuan.
24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Komunitas Bakteri Rizosfer yang Menghasilkan Tanaman Jagung dengan Pertumbuhan Terbaik Sampel tanah rizosfer yang diperoleh Sebanyak 11 sampel tanaman jagung terpilih sebagai sumber sampel tanah rizosfer. Tanaman jagung berkode A, B, C, D, E, F, dan G berasal dari lahan kering Desa Akar Akar, Kabupaten Lombok Utara, sedangkan H, I, J, dan K berasal dari lahan kering Dusun Bukit Keramat Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur. Tanah rizosfer (TR) dari masing-masing tanaman tersebut dikoleksi dan diberi kode TR A, TR B, TR C, TR D, TR E, TR F, TR G, TR H, TR I, TR J, dan TR K. Pertumbuhan tanaman jagung pada penanaman tahap I Analisis statistik terhadap perlakuan penambahan sampel TR menunjukkan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung dibanding perlakuan Kontrol 1 (penambahan 100 g TR steril) dan Kontrol 2 (pemupukan pada dosis 100% dan tanpa penambahan TR) (Tabel 1). Meskipun demikian, terlihat adanya kecenderungan bahwa pada perlakuan penambahan jenis TR tertentu menghasilkan nilai variabel pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding Kontrol 1 dan Kontrol 2. Adapun perlakuan pengaturan kadar air media tanam pada 75% dan 50% kapasitas lapang berpengaruh nyata terhadap nilai variabel pertumbuhan (Tabel 2). Untuk melihat kecenderungan sebaran jenis TR yang memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan tanaman jagung, maka dibuat matriks (Lampiran 4) yang menggambarkan urutan jenis TR yang menghasilkan nilai variabel pertumbuhan mulai dari urutan nilai yang lebih tinggi. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa meskipun tanaman diberi pupuk pada dosis yang lebih rendah (75%), tetapi dengan penambahan 100 g TR dapat menghasilkan nilai variabel pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang diberi pupuk pada dosis 100% tanpa penambahan TR (Kontrol 2). Data tersebut mengindikasikan bahwa penambahan tanah rizosfer pada media tanam jagung dapat menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa penambahan TR meskipun diberi pupuk pada dosis 100%. Berdasarkan hasil penanaman tahap I selanjutnya dipilih 5 sampel TR yang menghasilkan nilai variabel pertumbuhan yang lebih baik. Kelima sampel TR tersebut dievaluasi kembali pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman jagung pada penanaman tahap II. Matriks pada Lampiran 4 dijadikan pertimbangan untuk menentukan jenis sampel TR yang dipilih. Berdasarkan hasil pemetaan pada matriks tersebut, maka TR K, TR F, TR B, TR D, dan TR G dipilih untuk dikaji kembali pada penanaman tahap II. Sebagai pembanding dipilih TR A karena menghasilkan nilai variabel pertumbuhan yang paling rendah. Pertumbuhan tanaman jagung pada penanaman tahap II Analisis statistik terhadap perlakuan penambahan TR menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai variabel pertumbuhan pada beberapa jenis TR tertentu dan pada beberapa variabel pertumbuhan tertentu bila dibandingkan dengan TR K1 (Kontrol 1) (Tabel 3). Perlakuan pengaturan kadar air media tanam pada 50%, 75%
25
Tabel 1 Rerata nilai kumulatif variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap I
Panjang daun ke-7 (cm)
Variabel Pertumbuhan Lebar Tinggi Panjang daun ke-7 tanaman tanaman (cm) (cm) (cm)
Berat basah biomassa atas (g)
Berat kering Berat kering biomassa akar atas (g) (g)
10.50 a 10.33 a 10.66 a 10.83 a 10.66 a 10.00 a 10.33 a 10.66 a 10.33 a 10.33 a 10.83 a 10.00 a
23.67 cde 28.55 a 24.25 bcde 24.98 abcde 26.17 abcd 28.02 ab 27.23 abc 21.22 e 25.72 abcd 25.03 abcde 24.60 abcde 22.52 de
2.68 abc 2.98 a 2.88 abc 2.68 abc 2.83 abc 2.93 ab 2.93 ab 2.5b c 2.77 abc 2.80 abc 2.92 ab 2.52 c
29.88 abc 35.22 ab 31.57 abc 30.73 abc 34.03 abc 36.37 a 34.05 abc 30.43 abc 35.10 ab 33.95 abc 32.42 abc 27.18 c
41.80 abc 48.28 a 42.62 abc 44.00 abc 45.88 abc 48.53 a 46.88 abc 42.12 abc 47.70 ab 46.30 abc 44.62 abc 40.00 c
18.01 a 19.77 a 20.23 a 21.08 a 19.86 a 19.61 a 20.11 a 19.58 a 20.71 a 18.08 a 20.54 a 13.76 a
2.75 a 3.47 a 3.08 a 3.13 a 3.39 a 3.35 a 3.32 a 2.79 a 3.28 a 3.05 a 3.44 a 2.40 a
1.59 ab 2.14 a 1.92 ab 1.93 ab 2.05 a 2.05 a 1.84 ab 1.54 ab 1.98 ab 1.69 ab 2.09 a 1.32 b
10.00 a
22.73 de
2.72 abc
28.87b c
41.03 bc
15.89 a
2.62 a
1.47 ab
Jenis tanah rizosfer
Jumlah daun (helai)
TR A TR B TR C TR D TR E TR F TR G TR H TR I TR J TR K Kontrol 1 (TR K1) Kontrol 2
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey).
26
Tabel 2 Pengaruh perbedaan kadar air media tanam terhadap rerata nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap I Variabel pertumbuhan Jumlah daun (helai) Panjang daun ke-7 (cm) Lebar daun ke-7 (cm) Tinggi tanaman (cm) Panjang tanaman (cm) Berat basah biomassa atas (g) Berat kering biomassa atas (g) Berat kering akar (g)
Kadar air media tanam 75% 10.9 a 26.6 a 2.9 a 36.9 a 49.0 a 24.1 a 3.9 a 2.1 a
50% 10.0 b 23.7 b 2.7 b 28.3 b 40.8 b 14.4 b 2.3 b 1.6 b
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey).
dan 100% kapasitas lapang tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung (Tabel 4). Data hasil penanaman tahap I dan II menunjukkan bahwa faktor lingkungan seperti kadar air media tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman jagung (khususnya pada penanaman tahap I dan pada berat basah biomassa atas pada penanaman tahap II). Setelah pengaruh air media tanam dihilangkan (pada penanaman tahap II) terlihat bahwa perlakuan penambahan TR menunjukkan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Untuk mendapatkan gambaran jenis TR yang memberikan nilai tertinggi pada masing-masing variabel pertumbuhan maka dibuat skala jarak seperti yang disajikan pada Gambar 3. Pada Gambar 3 terlihat bahwa perlakuan TR D menghasilkan nilai tertinggi pada beberapa variabel kecuali pada panjang daun dan lebar daun. Jarak nilai yang cukup jauh yang dihasilkan oleh perlakuan TR D terlihat pada panjang tanaman, berat basah dan berat kering biomassa atas, serta berat kering akar. Berdasarkan skala tersebut, TR D dikategorikan sebagai tanah rizosfer yang mampu menghasilkan pertumbuhan yang paling baik pada tanaman jagung. Perlakuan TR A dikategorikan kurang baik dan TR G dikategorikan medium. TR D sebagai tanah rizosfer yang dikategorikan paling baik, selanjutnya diuji pada penanaman tahap III untuk melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman jagung pada kadar air media tanam (50%) kapasitas lapang. Pertumbuhan tanaman jagung pada penanaman tahap III Pada kondisi kadar air media tanam 50% kapasitas lapang, perlakuan penambahan TR D memberikan hasil pertumbuhan yang berbeda nyata dibanding Kontrol 1 dan Kontrol 2. Hal ini terlihat dari nilai kumulatif semua taraf pemupukan yang lebih tinggi pada semua variabel yang diamati dibanding Kontrol 1 dan Kontrol 2 (Lampiran 5). Bila dilihat secara parsial berdasarkan dosis pemupukan (Tabel 5), pada umumnya tanaman jagung menunjukkan pertumbuhan yang semakin baik sejalan dengan semakin banyaknya dosis pupuk yang diberikan, baik pada perlakuan penambahan TR D, TR K1 (Kontrol 1) maupun tanpa penambahan tanah rizosfer (Kontrol 2). Namun demikian, dengan perlakuan TR D menghasilkan
27
Tabel 3 Rerata nilai kumulatif variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap II Jenis tanah rizosfer TR A TR B TR D TR F TR G TR K Kontrol 1 (TR K1)
Jumlah daun (helai)
Nilai Variabel Pertumbuhan Panjang Lebar Tinggi Panjang Berat basah Berat kering Berat daun ke-7 daun ke-7 tanaman tanaman biomassa biomassa kering (cm) (cm) (cm) (cm) atas (g) atas (g) akar (g)
10.67 a 11.22 a 11.76 a 10.78 a 11.00 a 11.22 a 10.56 a
21.61 a 24.81 a 27.50 a 27.44 a 28.72 a 28.68 a 13.03 b
2.54 ab 2.66 ab 3.03 a 3.07 a 3.20 a 3.09 a 2.09 b
30.30 ab 30.52 ab 35.43 a 29.11 ab 34.44 a 32.62 ab 26.62 b
39.96 b 43.03 ab 49.33 a 41.72 b 43.42 ab 45.87 ab 32.63 c
20.02 ab 22.07 ab 28.94 a 21.24 ab 26.04 a 24.14 a 13.94 b
2.28 bc 2.47 b 3.52 a 2.43 b 2.83 ab 3.10 ab 1.51 c
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey).
2.45 ab 2.40 ab 3.35 a 2.48 ab 2.81 a 3.15 a 1.45 b
28
Tabel 4 Pengaruh perbedaan kadar air media tanam terhadap nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap II Kadar air media tanam Variabel pertumbuhan
100%
75%
50%
Jumlah daun (helai) Panjang daun ke-7 (cm) Lebar daun ke-7 (cm) Tinggi tanaman (cm) Panjang tanaman (cm) Berat basah biomassa atas (g) Berat kering biomassa atas (g) Berat kering akar (g)
11.1 a 25.1 a 2.9 a 32.2 a 42.9 a 25.1 a 2.8 a 2.7 a
11.0 a 24.7 a 2.9 a 30.9 a 42.7 a 22.1 ab 2.5 a 2.7 a
11.0 a 23.9 a 2.6 a 30.8 a 41.2 a 19.8 b 2.4 a 2.4 a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey).
Gambar 3 Skala jarak antar nilai setiap variabel pertumbuhan tanaman jagung yang dihasilkan dengan perlakuan penambahan tanah rizosfer nilai variabel pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding Kontrol 2. Data visual perbandingan pertumbuhan tanaman jagung antar perlakuan disajikan pada Gambar 4. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa TR D dapat meningkatkan pertumbuhan pada semua dosis pemupukan dengan peningkatan pertumbuhan paling tinggi terutama pada perlakuan pemupukan 0%. Pada pemupukan 0%,
29
Tabel 5 Data parsial nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap III pada setiap perlakuan pemupukan Nilai variabel pertumbuhan Jenis perlakuan
Pemupukan 100% TR D Kontrol 1 (TR K1) Kontrol 2 Pemupukan 75% TR D Kontrol 1 (TR K1) Kontrol 2 Pemupukan 50% TR D Kontrol 1 (TR K1) Kontrol 2 Pemupukan 0% TR D Kontrol 1 (TR K1) Kontrol 2
Jumlah daun (helai)
Panjang daun ke-7 (cm)
Lebar Tinggi daun ke-7 tanaman (cm) (cm)
Panjang tanaman (cm)
Berat basah Berat kering Berat kering biomassa atas biomassa atas akar (g) (g) (g)
12.33 a 11.33 a 11.33 a
39.63 a 34.07 a 34.77 a
4.07 a 3.63 a 3.60 a
45.50 a 37.63 a 35.83 a
62.90 a 52.17 b 51.43 b
32.53 a 21.14 ab 19.00 b
3.77 a 2.79 ab 2.38 b
2.25 a 1.77 ab 1.56 b
12.33 a 10.67 a 10.00 a
41.77 a 33.93 a 37.73 a
4.20 a 3.33 a 3.70 a
42.00 a 31.67 b 34.20 b
59.07 a 49.97 a 53.13 a
27.20 a 16.93 a 13.43 a
3.66 a 2.09 ab 1.92 b
2.29 a 1.83 ab 1.48 b
12.00 a 10.33 b 10.33 b
38.03 a 38.77 a 30.83 a
4.23 a 3.30 b 3.17 b
40.87 a 32.20 a 32.93 a
53.37 a 53.20 a 46.93 a
26.23 a 11.33 a 16.01 a
3.22 a 1.98 b 1.81 b
2.21 a 1.23 b 1.75 ab
12.00 a 10.67 a 10.00 a
36.10 a 24.93 a 23.40 a
3.87 a 3.00 b 2.87 b
33.30 a 30.97 a 30.60 a
49.73 a 46.43 a 38.47 a
24.51 a 10.42 b 10.50 b
3.06 a 1.67 ab 1.45 b
2.27 a 1.07 b 1.21 b
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey).
30
1K
2K
D
Tanpa pemberian pupuk
1K
2K
D
Pemberian pupuk dengan dosis 100% Gambar 4 Perbandingan penampilan pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari hasil penanaman tahap III pada beberapa dosis pupuk NPK. Kode lapang 1K: perlakuan penambahan TR K1 (tanah rizosfer steril); kode lapang 2K: perlakuan tanpa penambahan TR; kode lapang D: perlakuan penambahan TR D dibanding Kontrol 1, perlakuan TR D menghasilkan peningkatan berat basah biomassa bagian atas sebesar 57.5%, berat kering biomassa bagian atas sebesar 44.5% dan berat kering akar sebesar 52.6%. Bila dibandingkan dengan Kontrol 2, perlakuan TR D menghasilkan peningkatan berat basah biomassa bagian atas sebesar 57.2%, berat kering biomassa bagian atas sebesar 52.6% dan berat kering akar sebesar 46.6%. Adapun berdasarkan rerata peningkatan pertumbuhan pada semua dosis pemupukan menunjukkan bahwa dibandingkan dengan Kontrol 2, perlakuan TR D menghasilkan peningkatan berat basah biomassa bagian atas sebesar 47.1%, berat kering biomassa bagian atas sebesar 45.2% dan berat kering akar sebesar 33.4%. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi kadar air media tanam 50% kapasitas lapang, semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan mengakibatkan pertumbuhan tanaman semakin baik. Namun pemupukan yang diikuti dengan penambahan TR D dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung.
31 Sebagai tempat tumbuh tanaman, tanah merupakan ekosistem yang kompleks dan terbuka, sehingga pertumbuhan tanaman dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Menurut de Deyn dan van der Putten (2005), ada hubungan antara keanekaragaman biota yang berada di bagian atas dan bagian bawah tanah. Berbagai penelitian terdahulu juga melaporkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara tumbuhan dan mikrob tanah (Zak et al. 2003; Reynolds et al. 2003). Sorensen dan Sessitsch (2006) menjelaskan bahwa komposisi komunitas mikrob tanah berpengaruh terhadap penampilan tumbuhan. Diperkirakan 1 g tanah mengandung lebih dari 107 bakteri dengan kisaran 40007000 spesies berbeda dengan kepadatan biomassa 300-30.000 kg ha-1 (RoselloMora & Amann 2001). Dengan kepadatan dan keanekaragaman yang dimilikinya, bakteri tanah berkontribusi memberikan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman. Berdasarkan skala nilai variabel pertumbuhan (Gambar 3) terlihat bahwa setiap jenis TR memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Diduga bahwa komunitas bakteri yang menghuni setiap jenis TR berperan dalam memberikan bentuk penampilan pertumbuhan yang berbeda pada tanaman jagung. Untuk mengetahui hubungan antara bakteri penghuni TR dengan pertumbuhan tanaman jagung, maka pada penelitian selanjutnya dilakukan kajian terhadap jumlah dan jenis bakteri terkultur penghuni TR D, TR G, TR A, dan Kontrol 1 (TR K1).
Kajian Awal terhadap Jumlah dan Jenis Isolat Bakteri Penghuni Tanah Rizosfer Media kultur SEA, NAln, NAln-SE, dan NAln-RE digunakan untuk mengisolasi bakteri dari TR D, TR G, TR A, dan Kontrol 1 (TR K1) hasil penanaman tahap II. Sebagai pembanding, kajian juga dilakukan terhadap sampel tanah K0 yaitu tanah alami lahan kering yang diambil dari lokasi yang sama tetapi tidak pernah ditanami tanaman komoditas. Jumlah dan jenis isolat bakteri Sebanyak 42 isolat bakteri diperoleh dari semua sampel tanah rizosfer yang dikultur menggunakan empat media kultur. Isolat tersebut diberi kode CDL. Sebagian dari 42 isolat yang diperoleh, beberapa diantaranya disajikan pada Tabel 6. TR D dihuni oleh paling sedikitnya 22 isolat dan lebih sedikit berturut-turut pada TR A (15 isolat), TR G (14 isolat), K0 (9 isolat), dan TR K1 (7 isolat) (Gambar 5A). Paling sedikitnya sebanyak 6.52x107 sel bakteri terdapat dalam setiap gram TR G dan lebih sedikit berturut-turut pada TR D (5.72x107), TR A (4.31x107), TR K1 (1.68x107), dan K0 (5.16x105) (Gambar 5B). Pertumbuhan tanaman jagung yang baik dihasilkan oleh TR D yang mempunyai jumlah isolat yang lebih banyak meskipun dengan total jumlah sel yang lebih sedikit dibanding TR G. Pertumbuhan yang medium dihasilkan oleh TR G yang mempunyai total jumlah sel yang lebih banyak meskipun dengan jumlah isolat yang lebih sedikit dibanding TR D. Pada TR A, meskipun mempunyai jumlah isolat yang lebih banyak dibanding TR G, tetapi dengan total jumlah sel yang lebih sedikit, kemungkinan berpengaruh menghasilkan pertumbuhan yang lebih rendah
32 Tabel 6 Karakter morfologi beberapa koloni dan sel isolat bakteri rizosfer tanaman jagung asal lahan kering Pulau Lombok Nama isolat/karakter
CDL 6 - Putih susu transparan, koloni bermucus/lendir, tekstur liat - Bulat-rata - Cembung-rata - Rerata diameter koloni 3 mm - Gram negatif - Bulat - Sel 0.5 µm -
CDL 16 Kuning muda Bulat-rata Cembung-rata Rerata diameter koloni 2 mm Gram positif Basil rantai pendek Sel 1.34 µm x 0.59 µm
-
CDL 19 Putih susu Bulat-rata Agak cembung-rata Rerata diameter koloni 3 mm Gram negatif Basil pendek Sel 1.11 µm x 0.5 µm
-
CDL 25 Coklat susu Bulat- rata Cembung-rata Diameter koloni 1-3 mm Gram negatif Diplobasil Sel 1.69 µm x 0.52 µm
CDL 32 - Putih susu, bermucus, tekstur lengket - Bulat-bergelombang - Cembung-bening dibagian pinggir - Diameter koloni 3-6 mm - Gram negatif - Basil - Sel 1.36 µm x 0.47 µm
Penampilan koloni
Penampilan sel
Jumlah dan jenis isolat
33
22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 TR D CDL 1 CDL 8 CDL 15 CDL 22 CDL 29 CDL 36
TR G CDL 2 CDL 9 CDL 16 CDL 23 CDL 30 CDL 37
TR A
CDL 3 CDL 10 CDL 17 CDL 24 CDL 31 CDL 38
CDL 4 CDL 11 CDL 18 CDL 25 CDL 32 CDL 39
TR K1 CDL 5 CDL 12 CDL 19 CDL 26 CDL 33 CDL 40
K0 CDL 6 CDL 13 CDL 20 CDL 27 CDL 34 CDL 41
CDL 7 CDL 14 CDL 21 CDL 28 CDL 35 CDL 42
Jumlah sel (CFU x107)/g tanah rizosfer
A
B Gambar 5 Total jumlah dan jenis isolat (A) serta rerata jumlah sel bakteri (B) yang terisolasi menggunakan 4 media kultur pada setiap tanah rizosfer. Huruf yang berbeda yang ada di atas grafik batang menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan pada taraf uji 5% (uji Tukey)
34 dibanding TR G. Pada TR K1, jumlah isolat dan total jumlah sel yang lebih sedikit kemungkinan berpengaruh menghasilkan pertumbuhan yang rendah. Berkaitan dengan perbedaan nilai variabel pertumbuhan yang dihasilkannya (Gambar 3), data pada Gambar 5 mengindikasikan bahwa jumlah isolat bakteri yang lebih banyak yang terdapat dalam tanah rizosfer kemungkinan lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan dibandingkan dengan total jumlah sel. Meskipun demikian diperlukan jumlah total sel yang mencukupi untuk dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. pH tanah merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi komunitas bakteri tanah (Fierer & Jackson 2005; Lauber et al. 2009). Cekaman lingkungan seperti kadar garam tinggi dan kekeringan juga merupakan faktor yang mempengaruhi kehidupan mikrob (Bouasria et al. 2012; de Oliveira 2013). Pada lingkungan yang dibatasi oleh satu atau lebih faktor lingkungan, maka faktor pembatas tersebut dapat menjadi faktor utama yang menentukan komunitas mikrob tanah. Hasil penelitian Huang et al. (2015) menunjukkan bahwa air dan nitrogen merupakan faktor pembatas pada lingkungan gurun sehingga dapat berpengaruh terhadap komunitas mikrob tanah meskipun pengaruhnya lebih tergantung pada jenis habitat. Dalam penelitian ini, kadar air media tanam merupakan salah satu faktor yang diuji pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu, kemungkinan adanya pengaruh kadar air media tanam terhadap komunitas bakteri penghuni TR perlu dijelaskan. Jumlah dan jenis isolat berdasarkan kadar air media tanam Kemunculan isolat bakteri pada setiap kadar air media tanam disajikan pada Gambar 6. Total jumlah isolat yang muncul pada kadar air media tanam 50% kapasitas lapang lebih banyak (34 isolat) dibanding kadar air 75% (31 isolat) dan 100% (25 isolat) (Gambar 6A). Rerata jumlah koloni yang muncul pada kadar air media tanam 50% kapasitas lapang juga lebih banyak (5.31x107 sel g-1) dibanding kadar air 100% (4.67x107 sel g-1) dan kadar air 75% (3.68x107 sel g-1) (Gambar 6B). Asumsi dari hasil penelitian sebelumnya terhadap total jumlah sel dan jenis bakteri penghuni TR, bahwa jumlah isolat bakteri lebih berperan dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman dibanding total jumlah sel. Namun pada Gambar 6 menunjukkan bahwa meskipun total jumlah sel dan jumlah isolat bakteri yang muncul pada perlakuan kadar air 50% kapasitas lapang lebih banyak dibanding pada kadar air 75% dan 100% kapasitas lapang, tetapi hasil kumulatif pertumbuhan tanaman jagung pada perlakuan kadar air 50% kapasitas lapang cenderung lebih rendah, meskipun tidak berbeda nyata, dibanding perlakuan kadar air 75% dan 100% kapasitas lapang. Data tersebut menunjukkan bahwa air merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman jagung dan komunitas bakteri rizosfer yang diteliti. Pertumbuhan tanaman cenderung lebih baik pada kondisi media tanam yang lebih basah dibanding kondisi yang lebih kering. Sebaliknya, jenis bakteri terkultur cenderung muncul lebih banyak pada kondisi media tumbuh yang lebih kering dibanding kondisi yang lebih basah. Oleh sebab itu, ada indikasi bahwa banyak di antara isolat bakteri lahan kering tersebut yang lebih menyukai kondisi yang lebih kering. Diduga bahwa bahwa tidak semua isolat yang muncul pada perlakuan kadar air 50% kapasitas lapang memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan tanaman jagung tetapi kemungkinan lebih berkaitan dengan kemampuan toleransinya terhadap kondisi lingkungan yang lebih kering.
Jumlah dan jenis isolat
35
Jumlah sel (CFUx107)/g tanah rizosfer
Kadar air media tanam A
Kadar air media tanam B Gambar 6 Total jumlah dan jenis isolat (A) serta rerata jumlah sel bakteri (B) yang terisolasi menggunakan 4 media kultur pada setiap kadar air media tanam. Huruf yang berbeda yang ada di atas grafik batang menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan pada taraf uji 5% (uji Tukey)
36 Mempelajari komunitas mikrob berdasarkan pengkulturan sangat tergantung pada kondisi lingkungan laboratorium dan jenis media kultur yang digunakan. Berbagai inovasi terus dilakukan dalam kajian komunitas mikrob berdasarkan pengkulturan. Sebagian besar diantaranya berhubungan dengan modifikasi nutrien media kultur untuk mengeksplorasi jumlah dan jenis mikrob yang lebih banyak (Aagot et al. 2001; O’Neill et al. 2009; Louvel et al. 2011). Oleh sebab itu, adanya pengaruh media kultur yang digunakan dalam penelitian ini terhadap jumlah dan jenis isolat bakteri rizosfer yang diperoleh perlu diketahui. Jumlah dan jenis isolat pada setiap jenis media kultur Pola distribusi kemunculan isolat bakteri pada setiap jenis media kultur disajikan pada Gambar 7. Pada Gambar 7 terlihat bahwa sebanyak 15 isolat bakteri terkultur pada SEA, 18 isolat pada NAln, 17 isolat pada NAln-RE, dan 14 isolat pada NAln-SE. Isolat yang terkultur pada SEA umumnya tidak terkultur pada NAln, NAln-SE dan NAln-RE sehingga dari SEA diperoleh jenis isolat yang umumnya berbeda dibandingkan dari tiga media lainnya. Adapun dari NAln, NAln-SE dan NAln-RE diperoleh jenis isolat yang sebagian besar sama. Sebanyak 28 isolat (dari 42 isolat) dapat terkultur menggunakan media yang dimodifikasi (NAln, NAln-SE dan NAln-RE). Data tersebut menunjukkan bahwa dengan menggunakan media yang dimodifikasi, jumlah isolat bakteri rizosfer yang diperoleh meningkat sekitar 67%.
Gambar 7 Total jumlah dan jenis isolat bakteri yang terkultur pada media SEA, NAln, NAln-SE, dan NAln-RE. Setiap angka yang berada dalam lingkaran yang bersinggungan menunjukkan jumlah isolat yang sama yang ditemukan pada lingkaran yang bersinggungan
37 Penampilan pertumbuhan koloni pada keempat media kultur disajikan pada Gambar 8. Koloni yang terkultur pada SEA mulai muncul setelah diinkubasi selama 1-2 hari dengan pertumbuhan koloni yang cepat, rerata diameter koloni 2.0-2.5 mm dan penampilan morfologi yang jelas sehingga dapat dibedakan antara satu koloni dengan koloni lainnya. Pada media NAln, NAln-SE dan NAln-RE, koloni mulai muncul setelah diinkubasi selama lebih dari 2 hari, rerata diameter koloni 0.5-2.0 mm dan penampilan morfologi koloni yang sebagian besar tipis dan tansparan. Adanya perbedaan penampilan isolat yang terkultur pada SEA dengan isolat yang terkultur pada NAln, NAln-SE dan NAln-RE dapat dipengaruhi oleh komposisi nutrien yang berbeda.
SEA
NAln
NAln-SE
NAln-RE
Gambar 8 Perbedaan morfologi bakteri yang terkultur pada media SEA, NAln, NAln-SE, dan NAln-RE dari pengenceran 10-3 setelah 6 hari inkubasi
Seperti media laboratorium lainnya, medium komersial SEA mempunyai komposisi nutrien standar untuk isolasi mikob tanah. Pada NAln, NAln-SE dan NAln-RE, komposisi nutriennya lebih rendah yaitu 1% dari komposisi Nutrient Broth standar yang digunakan di laboratorium (Lampiran 3). Komposisi nutrien yang tinggi pada SEA memberikan kesempatan pada kelompok bakteri tertentu untuk tumbuh dengan cepat. Pada NAln, NAln-SE dan NAln-RE, komposisi nutrien yang rendah memberikan kondisi yang memungkinkan bagi kelompok bakteri yang tumbuh lambat dan bakteri yang kemungkinan masih dorman untuk tumbuh. Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Brozel dan Cloete (1992) dan Joseph et al. (2003). Ekstrak tanah dan ekstrak akar yang ditambahkan pada media kultur dapat berperan sebagai faktor seleksi terhadap jenis bakteri yang
38 tumbuh. Menurut O’Neill et al. (2009), komunitas bakteri tanah memerlukan waktu inkubasi yang lebih lama untuk tumbuh pada media yang dibuat dari ekstrak tanah dibanding media komersial. Peneliti lain juga melaporkan bahwa penambahan ekstrak tanah pada media kultur sesuai untuk menumbuhkan bakteri tanah yang sulit terkultur (Davis et al. 2005) sedangkan penambahan eksudat akar artifisial dapat mereduksi keanekaragaman dan dominansi bakteri yang tumbuh cepat (Kozdroj & van Elsas 2000). Selain menunjukkan morfologi koloni dan kecepatan tumbuh yang berbeda, medium SEA sering kali ditumbuhi secara dominan oleh satu atau dua bakteri terutama pada pengenceran lebih dari 10-5. Pertumbuhan koloni bakteri dominan tersebut diikuti oleh perubahan karakter fisiologi yaitu dihasilkannya warna kekuning-kuningan disekitar koloninya. Penampilan pertumbuhan koloni tersebut tidak ditemukan pada bakteri selama terkultur pada NAln, NAln-SE dan NAln-RE. Terdeteksi paling sedikitnya sebanyak 6 isolat bakteri yang menunjukkan penampilan pertumbuhan demikian yaitu CDL 12, CDL 19, CDL 25, CDL 26, CDL 30, dan CDL 32. Keenam isolat tersebut mengasilkan warna kekuning-kuningan di sekitar koloninya saat ditumbuhkan pada SEA, tetapi tidak saat ditumbuhkan pada NAln, NAln-SE dan NAln-RE. Menurut penjelasan Rao et al. (2005), faktor dominansi berkontribusi terhadap kemampuan organisme untuk menghasilkan komponen ekstraseluler antibakteri. Tamaki et al. (2005) menambahkan bahwa satu atau lebih isolat yang ada dalam kultur campuran dapat menghambat pertumbuhan isolat lain dengan cara menghasilkan substansi antibakteri. Dengan merujuk hasil penelitian Tamaki et al. (2005) dan Rao et al. (2005), ada kemungkinan bahwa beberapa jenis isolat bakteri rizosfer yang ditemukan dalam penelitian ini juga mempunyai kemampuan menghasilkan substansi antibakteri. Dugaan tersebut kemudian dibuktikan dengan melakukan uji antibiosis terhadap 6 isolat terduga (CDL 12, CDL 19, CDL 25, CDL 26, CDL 30, dan CDL 32). Hasil uji antibiosis Hasil uji antibiosis menunjukkan bahwa isolat CDL 12, CDL 19, CDL 25, CDL 26, CDL 30, dan CDL 32 dapat menghambat pertumbuhan isolat lainnya saat ditumbuhkan pada SEA (Gambar 9 A, B, C) tetapi tidak saat ditumbuhkan pada NAln, NAln-SE dan NAln-RE (Gambar 9 D, E, F). Data tersebut menunjukkan bahwa kemampuan antibiosis yang dimiliki oleh bakteri rizosfer tersebut tidak hanya berhubungan dengan dominansinya saat berada dalam bentuk kultur campuran tetapi ada hubungan antara jenis media kultur yang digunakan dengan kemampuan antibiosis yang dimilikinya. Kondisi tersebut dapat menjadi sumber bias yang berpengaruh terhadap total jumlah koloni dan jenis isolat yang diperoleh. Untuk menghindari bias yang bersumber dari kultur, misalnya kemungkinan munculnya dominansi dan ketidakmampuan media kultur dalam mengkultur sebagian besar mikrob, umumnya peneliti juga melakukan analisis metagenom terhadap sampel lingkungan (Hardoim et al. 2014; del Campo et al. 2013; Dokic et al. 2010). Menurut Degnan dan Ochman (2012), metode pengkulturan tidak dapat menampilkan keanekaragaman komunitas sebenarnya secara akurat. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh mengenai komunitas bakteri, termasuk fraksi unculturable bacteria, maka pada langkah penelitian selanjutnya dilakukan analisis komunitas dengan teknik T-RFLP menggunakan pendekatan metagenom dan pengkulturan.
39
A
B
C
D
E
F
Gambar 9 Kemampuan antibiosis isolat CDL 19 (A), CDL 32 (B) dan CDL 25 (C) saat ditumbuhkan pada medium SEA. Kemampuan antibiosis tidak muncul saat ditumbuhkan pada media NAln (D), NAln-SE (E) dan NAlnRE (F)
Komunitas Bakteri Rizosfer Berdasarkan Analisis T-RFLP Total koloni dan ekstrak DNA komunitas bakteri Konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA komunitas mikrob pada TR D, TR A, TR K1, dan K0 pada pendekatan metagenom dan pengkulturan disajikan pada Tabel 7. Pada pengkulturan dan metagenom, konsentrasi DNA terbanyak diperoleh dari TR D dan paling sedikit dari K0. Pada pengkulturan, sumber ekstrak DNA pada TR D dan TR A diperoleh dari komunitas mikrob yang tumbuh pada media SEA, NAln, NAln-SE, dan NAln-RE. Pada TR K1 dan K0, tidak ada mikrob yang tumbuh pada NAln-SE dan NAln-RE sehingga sumber ekstrak DNA hanya diperoleh dari komunitas mikrob yang tumbuh pada SEA dan NAln (Tabel 7A). Data tersebut menunjukkan bahwa hasil analisis komunitas mikrob dengan pengkulturan tergantung pada jenis media kultur dan kemampuan tumbuh mikrob pada masing-masing media kultur yang digunakan. Amplifikasi fragmen 16S rDNA komunitas bakteri dari masing-masing sampel tanah menggunakan pasangan primer 27F 6-FAM dan 1492R non label menghasilkan fragmen berukuran sekitar 1500 bp (Gambar 10). Pola pita hasil pemotongan enzim restriksi Pemilihan enzim restriksi yang tepat merupakan salah satu tahap penting dalam analisis komunitas mikrob menggunakan teknik T-RFLP. Pada tahap
40 Tabel 7 Konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA komunitas mikrob pada setiap sampel tanah pada preparasi metagenom (A) dan pengkulturan (B) A No 1.
2.
3.
4.
Sampel tanah TR D TR DSEA TR DNAln TR DNAln-SE TR DNAln-RE
Rerata jumlah sel
Konsentrasi DNA (ng µl-1)
Perbandingan Perbandingan 260/280 260/230
1.78 x 107 4.55 x 107 8.23 x 107 2.60 x 107
7634.2 6184 527.2 722.8
2.00 1.98 1.95 1.97
2.18 2.15 1.76 1.91
TR A TR ASEA TR ANAln TR ANAln-SE TR ANAln-RE
7.54 x 105 5.98 x 106 8.81 x 107 8.05 x 107
1222.5 359.5 357.5 116.9
1.94 1.94 1.95 1.51
2.09 1.64 1.48 1.20
TR K1 TR K1SEA TR K1NAln
1.42 x 106 7.28 x 106
356.9 379.3
1.89 1.89
1.42 1.76
K0 K0SEA K0NAln
4.43 x 105 7.57 x 104
260.4 192.4
2.07 2.04
1.63 1.22
Sampel tanah yang diikuti dengan nama medium kultur menunjukkan komunitas bakteri yang dikultur pada medium tersebut dan selanjutnya digunakan sebagai sumber genom.
B No Sampel tanah 1. 2. 3. 4.
TR D TR A TR K1 K0
Konsentrasi DNA (ng µl-1) 50.4 40.1 13.3 10.2
Perbandingan Perbandingan 260/280 260/230 1.81 1.51 1.61 0.64 1.76 1.24 1.51 0.37
penelitian ini dilakukan pemilihan enzim restriksi untuk mendapatkan enzim yang menghasilkan potongan fragmen antara 50-500 bp. Di antara 5 enzim restriksi yang diseleksi (EcoRI, BspI, HindIII, HhaI, dan MspI), hasil restriksi dengan HhaI dan MspI menunjukkan adanya potongan fragmen berukuran sekitar 50-500 bp yang tervisualisasi pada gel agarosa elektroforesis (Gambar 11). Selanjutnya MspI dan HhaI diseleksi kembali dengan melihat pola restriksinya terhadap isolat tunggal. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi kesesuaian enzim dengan sampel komunitas dan kemungkinan adanya sifat partial digest atau pemotongan yang tidak sempurna.
41 M
METAGENOM 1 2 3 4
PENGKULTURAN 1 2 3 4
1500 bp
Gambar 10 Fragmen 16S rDNA komunitas bakteri yang diperoleh dengan pendekatan metagenom dan pengkulturan. M: marker, sumur 1: TR D, sumur 2: TR A, sumur 3: TR K1, sumur 4: K0
EcoRI BspI HindIII HhaI MspI M U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2
500 bp 400 bp 300 bp 200 bp 100 bp
Gambar 11 Perbandingan profil fragmen 16S rDNA komunitas bakteri hasil potongan enzim EcoRI, BspI, HindIII, HhaI, dan MspI. U1: profil fragmen dari pendekatan pengkulturan, U2: profil fragmen dari pendekatan metagenom
42 Hasil pemotongan kedua enzim tersebut terhadap beberapa isolat tunggal disajikan pada Gambar 12. Pemotongan dengan MspI menghasilkan 1 T-RF pada semua isolat. Hal ini menunjukkan bahwa MspI bekerja secara sempurna. Adapun HhaI menghasilkan 1 T-RF pada isolat CDL 6 dan CDL 32 dan 8 T-RF pada CDL 30.
MspI CDL 6
CDL 30
CDL 32
HhaI CDL 6
CDL 30
CDL 32
Gambar 12 Perbandingan T-RF hasil pemotongan enzim MspI dan HhaI terhadap isolat CDL 6, CDL 30 dan CDL 32
43 Pemotongan yang menghasilkan lebih dari satu T-RF tersebut menandakan bahwa HhaI bekerja tidak sempurna pada CDL 30. Pemotongan yang tidak sempurna merupakan masalah teknik yang umum ditemukan sehingga T-RF yang dihasilkan tidak dapat dijadikan sebagai indikator yang baik untuk analisis keanekaragaman bakteri (Park et al. 2006). Engebretson dan Moyer (2003) melakukan seleksi terhadap 18 enzim restriksi untuk mengetahui tingkat ketelitian enzim dalam mendeterminasi keanekaragaman mikrob dengan teknik T-RFLP. Hasil seleksi tersebut menunjukkan bahwa MspI merupakan salah satu dari empat enzim restriksi lainnya yang mempunyai tingkat ketelitian tertinggi. Pada penelitian ini, data pada Gambar 12 menunjukkan bahwa HhaI kurang sesuai untuk sampel komunitas bakteri rizosfer yang dianalisis. Oleh sebab itu, MspI dipilih sebagai enzim restriksi yang digunakan dalam penelitian ini.
Jumlah T-RF
Jumlah dan ukuran T-RF hasil pemotongan MspI Hasil pemotongan fragmen 16S rDNA komunitas bakteri menggunakan MspI disajikan pada Gambar 13 dan Lampiran 6. Total sebanyak 20 T-RF muncul dari keempat komunitas bakteri. Pada metagenom muncul sebanyak 16 T-RF dan pada pengkulturan sebanyak 11 T-RF. Sebanyak 7 T-RF yang sama ditemukan pada metagenom dan pengkulturan (Gambar 13A). Pada metagenom, jumlah T-RF yang muncul pada komunitas TR D lebih banyak (8 T-RF) dan lebih sedikit berturutturut pada TR A (6 T-RF), TR K1 (5 T-RF), dan K0 (2 T-RF). Pada pengkulturan, jumlah T-RF pada komunitas TR D dan TR A lebih banyak (7 T-RF) dan lebih sedikit pada TR K1 (3 T-RF) dan K0 (2 T-RF) (Gambar 13B).
A B Gambar 13 Perbandingan jumlah total T-RF yang diperoleh dengan pendekatan metagenom dan pengkulturan (A) serta jumlah dan ukuran T-RF yang muncul pada komunitas TR D, TR A, TR K1, dan K0 (B)
44 Menurut Ding et al. (2013), ukuran T-RF tertentu menunjukkan kelompok bakteri tertentu. Spesies bakteri yang berhubungan dekat biasanya mempunyai ukuran T-RF yang sama, tetapi satu atau lebih kelompok taksonomi yang berbeda juga dapat mempunyai ukuran T-RF yang sama. Sjoberg et al. (2013) menambahkan bahwa T-RF dapat digunakan untuk identifikasi pada tingkat genus, tetapi pada beberapa kasus, ukuran T-RF yang berbeda dapat dimiliki oleh genus yang sama. Oleh sebab itu, banyaknya jumlah T-RF yang muncul dalam suatu komunitas menggambarkan banyaknya jenis kelompok mikrob dalam komunitas tersebut. Jumlah kelompok mikrob yang sebenarnya bahkan dapat lebih banyak dari jumlah T-RF yang ditemukan. Pada penelitian ini, data pada Gambar 13 menunjukkan bahwa pendekatan metagenom mempunyai tingkat eksplorasi yang lebih tinggi dalam menggambarkan komunitas bakteri rizosfer dibandingkan dengan pendekatan pengkulturan. Pola fingerprint T-RFLP komunitas bakteri rizosfer dan afiliasi filogenetik TRF Pola fingerprint T-RFLP komunitas bakteri rizosfer disajikan pada Gambar 14. Terdapat 2 kelompok ukuran T-RF yang muncul pada keempat komunitas yaitu T-RF dengan kisaran 100 bp dan 400 bp. Pola berbeda ditemukan pada TR D, disamping T-RF kisaran 100 bp dan 400 bp juga ditemukan T-RF berukuran 89 pada metagenom dan T-RF berukuran 201 pada pengkulturan. Kedua T-RF tersebut mempunyai luas area yang relatif sempit dibandingkan dengan T-RF lainnya yaitu 2.71% untuk T-RF 89 dan 3.47 % untuk T-RF 201. T-RF dengan ukuran yang sama antara metagenom dan pengkulturan yang ditemukan pada TR D yaitu T-RF 485, pada TR A yaitu T-RF 142 dan T-RF 151, dan pada TR K1 yaitu T-RF 488. Pada K0 tidak ditemukan adanya T-RF berukuran sama antara metagenom dan pengkulturan. Prediksi afiliasi filogenetik setiap ukuran T-RF berdasarkan hasil perbandingan pada pustaka T-RF pada basis data RDP disajikan pada Tabel 8. Komposisi komunitas dan kelimpahan relatif kelompok bakteri Status kelimpahan relatif setiap ukuran T-RF dalam komunitas pada pendekatan metagenom dan pengkulturan disajikan pada Gambar 15. Berdasarkan data pada Gambar 15 dan Tabel 8 dibuat grafik yang menggambarkan komposisi setiap kelompok bakteri dalam komunitasnya berdasarkan metagenom dan pengkulturan (Gambar 16). Pada Gambar 16 terlihat bahwa komposisi komunitas bakteri rizosfer tanaman jagung antara lain terdiri dari Burkholderiales, Pseudomonas, Bacillus, Rhizobiales, Bacilli, Sinobacteraceae, Acidobacteria, Candidatus, Alphaproteobacteria, Betaproteobacteria, dan Deltaproteobacteria. Kelompok yang terdeteksi hanya pada metagenom yaitu Candidatus, Alphaproteobacteria dan Betaproteobacteria. Kelompok yang terdeteksi hanya pada pengkulturan yaitu Rhizobiales, Sinobacteraceae dan Acidobacteria. Pada metagenom, Burkholderiales ditemukan pada semua komunitas dan terdeteksi paling melimpah pada komunitas TR D (45.83%) dan K0 (65.17%). Bacillus sp. ditemukan paling melimpah pada TR K1 (43.60%). Pada pengkulturan, Pseudomonas sp. ditemukan paling melimpah pada komunitas TR D (42.88%), Bacillus sp. pada TR A (39.96%) dan Burkholderiales pada TR K1 (61.33%). Pseudomonas sp. juga terdeteksi predominan pada komunitas TR D metagenom
45 Komunitas TR D
Komunitas TR A
Gambar 14 Perbandingan pola fingerprint T-RFLP komunitas bakteri rizosfer dengan pendekatan metagenom (A) dan pengkulturan (B). Tanda lingkaran menunjukkan ukuran T-RF yang berbeda. Tanda panah menunjukkan ukuran T-RF yang sama yang diperoleh pada pendekatan metagenom dan pengkulturan pada sampel tanah yang sama
46 Lanjutan Gambar 14 Komunitas TR K1
Komunitas K0
dan sedikit terdeteksi pada komunitas TR A pengkulturan. Kelimpahan Burkholderiales pada komunitas tanah dan rizosfer juga pernah dilaporkan oleh Pirone et al. (2005). Demikian juga dengan Pseudomonas (Garcia-Salamanca et al. 2012; Arruda et al. 2013). Adanya persamaan dan perbedaan kelompok bakteri yang muncul pada metagenom dan pengkulturan menggunakan teknik T-RFLP tidak terlepas dari pengaruh kekurangan dan kelebihan teknik tersebut dan pendekatan yang digunakan. Menurut Orcutt et al. (2009), salah satu kekurangan teknik T-RFLP yaitu tidak dapat mendeteksi taksa yang kelimpahannya rendah, terutama pada komunitas yang mempunyai tingkat keanekaragaman tinggi. Mikrob yang termasuk dalam kategori spesies jarang (rare species) yang ada dalam sampel kemungkinan
Kelimpahan relatif (%)
47
Kelimpahan relatif (%)
A
B Gambar 15 Kelimpahan relatif setiap ukuran T-RF yang muncul dari komunitas bakteri rizosfer pada pendekatan metagenom (A) dan pengkulturan (B)
48 Tabel 8 Afiliasi filogenetik dari setiap ukuran T-RF Ukuran T-RF
Jenis komunitas (dan pendekatan)
Prediksi afiliasi filogenetik
89
TR D (pm)
132
TR A (pm) K0 (pm)
Flavobacteriii Rhizobiales Geobacteraceae Rhizobiales Firmicutes Bacteroidetes
136
TR D (pm)
Bacillus sp.
142
TR D (pp) TR A (pm/pp) TR K1 (pp) K0 (pp)
Actinobacteria Bacteroidetes
145
TR A (pp) TR K1 (pm)
Bacillus sp.
151
TR D (pp) TR A (pm/pp) TR K1 (pp) K0 (pp)
Actinobacteria Betaproteobacteria
153
TR A (pm)
Bacillus sp.
154
TR A (pp) TR K1 (pm)
Bacilli
158
TR K1 (pm)
Verucomicrobia Xanthomonadales Firmicutes
166
TR A (pp) TR K1 (pm)
Deltaproteobacteria
191 201 441 449 459
TR D (pm) TR D (pp) TR D (pp) TR D (pm) TR D (pp)
Bacteria Acidobacteria Rhizobiales Alphaproteobacteria Pseudomonadales Burkholderiales
481
TR D (pm) TR A (pm)
Candidatus
485
TR D (pm/pp) TR A (pp)
Pseudomonas sp.
488
TR D (pm) TR A (pm) TR K1 (pm/pp) K0 (pm)
Burkholderiales
491
TR D (pm)
Betaproteobacteria
492
TR D (pp) TR A (pp)
Sinobacteraceae Pseudomonas sp Burkholderiales (pm): pendekatan metagenom; (pp): pendekatan pengkulturan
49
B
Komunitas K0
Komunitas TR K1
Komunitas TR A
Komunitas TR D
A
Gambar 16 Komposisi komunitas bakteri rizosfer pada pendekatan metagenom (A) dan pengkulturan (B)
tidak menghasilkan amplikon fluorescen yang cukup sehingga tidak terdeteksi. Schutte et al. (2008) menambahkan bahwa pada komunitas dengan lebih dari 50 unit taksonomi operasional (OTU, operational taxonomic unit), tidak ada satupun enzim restriksi yang dapat menghasilkan OTU lebih dari 70%. Beberapa peneliti kemudian menyimpulkan bahwa T-RFLP kurang sesuai diaplikasikan untuk komunitas yang mempunyai tingkat keanekaragaman tinggi tetapi sesuai untuk mengidentifikasi populasi dominan, perkiraan kekayaan jenis dan keseragaman pada komunitas yang mempunyai tingkat keanekaragaman rendah (Engebretson & Moyer 2003; Orcutt et al. 2009; Schutte et al. 2008). Pada pengkulturan, kelompok
50 bakteri yang bersifat mudah terkultur sementara yang lain sulit terkultur dapat mengakibatkan bias pada hasil kajian keanekaragaman komunitas berdasarkan pengkulturan (Park et al. 2006). Hasil penelitian pada tahap ini menunjukkan bahwa kajian komunitas berdasarkan jenis isolat (pada tahap sebelumnya) dan T-RF memberikan hasil yang berbeda. Ukuran T-RF spesifik yang muncul perlu dikonfirmasi dengan ukuran T-RF dari isolat yang diperoleh. Tingkat keanekaragaman dan kemerataan komunitas Indeks keanekaragaman menggambarkan tingkat keanekaragaman T-RF yang muncul pada komunitas bakteri sedangkan indeks kemerataan menggambarkan tingkat kemerataan sebaran T-RF dalam komunitasnya. Perbandingan tingkat keanekaragaman dan kemerataan pada setiap komunitas dalam sampel tanah disajikan pada Tabel 9. Pada metagenom, komunitas TR D mempunyai keanekaragaman paling tinggi (1.60) dan lebih rendah berturut-turut pada TR A (1.37), TR K1 (1.44) dan K0 (0.65). Tingkat kemerataan paling tinggi dimiliki oleh K0 (0.93) dan lebih rendah berturut-turut pada TR K1 (0.89) dan TR D dan TR A (0.77). Data metagenom tersebut menunjukkan bahwa komunitas TR D mempunyai tingkat keberagaman T-RF yang lebih tinggi dibanding komunitas TR A, TR K1 dan K0. Meskipun demikian, indeks kemerataan yang lebih rendah pada TR D menunjukkan bahwa sebaran anggota komunitas kurang merata, kemungkinan karena adanya anggota komunitas yang bersifat dominan. Pada komunitas TR D, dominansi tersebut terutama ditunjukkan oleh T-RF 488 (Gambar 15A). Pada pengkulturan, komunitas TR A mempunyai keanekaragaman paling tinggi (1.65) dan lebih rendah berturut-turut pada TR D (1.58), TR K1 (0.85) dan K0 (0.39). Tabel 9 Perbandingan jumlah T-RF, tingkat keanekaragaman dan kemerataan komunitas bakteri rizosfer hasil analisis T-RFLP dengan pendekatan metagenom dan pengkulturan
Komunitas bakteri
TR D TR A TR K1 K0
Jumlah T-RF 8 6 5 2
Metagenom H' E'
1.602 1.372 1.440 0.646
0.771 0.766 0.895 0.933
Jenis pendekatan Pengkulturan Jumlah H' E' T-RF 7 7 3 2
1.575 1.648 0.854 0.391
0.810 0.847 0.778 0.564
H': indeks keanekaragaman E': indeks kemerataan
Tingkat kemerataan paling tinggi terlihat pada komunitas TR A (0.85) dan lebih rendah berturut-turut pada TR D (0.81), TR K1 (0.78) dan K0 (0.56). Data pengkulturan tersebut menunjukkan bahwa komunitas TR A mempunyai tingkat keberagaman T-RF yang lebih tinggi dengan sebaran anggota komunitas yang lebih merata dibanding komunitas TR D, TR K1 dan K0. Hal ini terlihat dari komposisi kelimpahan anggota komunitas TR A yang lebih seimbang dengan jumlah kelimpahan relatif tertinggi (T-RF 145 sebesar 39.96%) yang lebih rendah
51 dibanding TR D (T-RF 485 sebesar 42.88%), TR K1 (T-RF 488 sebesar 61.33%) dan K0 (T-RF 132 sebesar 86.74% ) (Gambar 15B). Data perbandingan antara pendekatan metagenom dan pengkulturan (Tabel 9) menunjukkan bahwa dibandingkan dengan metagenom, indeks keanekaragaman umumnya lebih rendah pada pengkulturan, kecuali pada TR A. Hal ini dapat disebabkan karena pada pengkulturan hanya komunitas culturable bacteria yang teranalisis sebagai sumber keanekaragaman. Pada metagenom, tingkat keanekaragaman yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pengkulturan dapat disebabkan karena sumber keanekaragaman berasal dari komunitas culturable bacteria dan unculturable bacteria. Khususnya pada TR A, tingkat keanekaragaman pada pengkulturan lebih tinggi dibanding metagenom. Hal ini dapat terjadi jika TR A mempunyai jumlah kelompok culturable bacteria yang lebih banyak dibanding unculturable bacteria (Gambar 13B). Meskipun TR A dan TR D mempunyai jumlah T-RF yang sama pada pengkulturan (Gambar 13B), tetapi adanya perbedaan perbandingan kelimpahan jenis T-RF antar keduanya (Gambar 15) mengakibatkan perbedaan pada indeks keanekaragaman. Adanya perbedaan tingkat keanekaragaman antar komunitas yang dianalisis dengan pendekatan pengkulturan dapat disebabkan oleh perbandingan banyaknya jumlah dan perbandingan kelimpahan kelompok unculturable bacteria dan culturable bacteria. Jumlah dan kelimpahan kelompok culturable bacteria yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh jenis media kultur yang digunakan. Berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa pengkulturan cenderung menurunkan tingkat keanekaragaman komunitas bakteri. Tingkat keserupaan antar komunitas Nilai koefisien keserupaan dan dendogram jarak keserupaan antar komunitas bakteri disajikan pada Gambar 17. Gambar 17A menunjukkan bahwa pada metagenom, komunitas TR A dan TR D menujukkan keserupaan hanya dengan K0 dan tidak serupa dengan K1. Meskipun demikian, antara komunitas TR D dan TR A tidak menunjukkan keserupaan. Komunitas TR A dan K0 mempunyai indeks keserupaan paling tinggi (0.33) yang berarti bahwa kedua komunitas tersebut mempunyai komposisi T-RF yang paling mirip dibanding yang lain. Hal ini juga terlihat dari dendogram yang menempatkan kedua komunitas tersebut dalam satu kelompok. Komunitas TR D dan K0 mempunyai indeks keserupaan yang lebih rendah (0.08) yang berarti bahwa kedua komunitas tersebut mempunyai komposisi T-RF yang kurang mirip dibandingkan antara TR A dan K0. Pada metagenom juga menunjukkan bahwa komunitas TR K1 tidak mempunyai keserupaan dengan komunitas lainnya. Pada dendogram juga terlihat bahwa komunitas TR K1 terpisah dengan jarak yang paling jauh. Pada Gambar 17B terlihat bahwa pada pengkulturan, komunitas bakteri pada semua sampel tanah menunjukkan keserupaan satu dengan lainnya dengan tingkat keserupaan yang berbeda-beda. Komunitas TR K1 dan K0 mempunyai nilai koefisien keserupaan paling tinggi (0.67) yang berarti bahwa kedua komunitas tersebut mempunyai banyak kemiripan pada komposisi T-RF bakteri terkulturnya. Pengelompokan pada dendogram memperlihatkan bahwa komunitas TR K1 dan K0 berada dalam satu kelompok. Komunitas TR D dan TR A mempunyai tingkat keserupaan paling rendah (0.04) yang berarti bahwa kedua komunitas tersebut mempunyai kemiripan yang rendah pada komposisi T-RF bakteri terkulturnya.
52
Komunitas bakteri
Komunitas bakteri
A
B
Gambar 17 Nilai koefisien keserupaan dan pengelompokan komunitas TR D, TR A, TR K1, dan K0 yang disusun berdasarkan korelasi Jaccard dengan metode UPGMA. Pendekatan metagenom (A) dan pengkulturan (B) Pada dendogram menunjukkan bahwa kedua komunitas tersebut berada dalam satu kelompok dengan jarak yang jauh dengan kelompok komunitas TR K1 dan K0. Seperti pada metagenom, pola keserupaan yang sama juga terlihat pada pengkulturan bahwa komunitas TR D dan TR A menunjukkan keserupaan yang lebih tinggi dengan K0 (0.29) dibanding TR K1 (0.25). Demikian halnya antara komunitas TR D dan TR A menunjukkan tingkat keserupaan komposisi yang paling rendah. Berbeda dengan tingkat keanekaragaman yang cenderung lebih rendah pada pendekatan pengkulturan dibanding metagenom (Tabel 9), tingkat keserupaan komunitas bakteri pada pengkulturan menunjukkan nilai koefisien keserupaan yang lebih tinggi dibanding metagenom. Pada metagenom, antara komunitas TR D, TR A dan TR K1 tidak mempunyai keserupaan tetapi pengkulturan mengakibatkan ketiga komunitas tersebut mempunyai keserupaan satu dengan yang lain. Data tersebut menunjukkan bahwa pengkulturan cenderung mengakibatkan semakin tingginya tingkat keserupaan antar komunitas bakteri yang diamati. Terlepas dari adanya bias yang muncul pada teknik pengkulturan, hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan pendekatan metagenom, komunitas TR D mempunyai jumlah kelompok bakteri yang lebih banyak (Gambar 13B) dan menunjukkan tingkat keanekaragaman komunitas yang lebih tinggi dibanding komunitas lainnya (Tabel 9). Kondisi tersebut kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan tanaman jagung yang lebih baik yang dihasilkan dengan perlakuan pemberian TR D dibandingkan dengan TR lainnya. Pada berbagai kajian komunitas
53 mikrob menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman dan komposisi komunitas mikrob berhubungan dengan kualitas dan fungsi yang dapat diberikan pada ekosistem. Adanya hubungan positif antara keanekaragaman mikrob rizosfer dan pertumbuhan tanaman juga dijelaskan oleh van der Heijden et al. (1998) bahwa ketidakhadiran AMF atau hadirnya beberapa spesies AMF mengakibatkan rendahnya produktivitas tanaman. Kehadiran 8 atau 15 AMF mengakibatkan tingginya keanekaragaman dan produktivitas tanaman. Weidner et al. (2015) menambahkan bahwa bakteri yang beranekaragam akan memberikan timbalbalik yang lebih banyak dibanding bakteri secara individu. Keanekaragaman yang rendah akan menghasilkan enzim yang kurang dan siklus nutrien yang lambat sehingga pertumbuhan tanaman juga lambat. Dalam ekosistem tanah yang kompleks, berbagai kemungkinan dapat terjadi dalam hubungan antara tanah, tumbuhan dan mikrob. Pada hasil penelitian lain menyebutkan bahwa kehadiran kelompok bakteri tertentu dalam komunitas sangat berperan sebagai penggerak perubahan dalam ekosistem maupun dalam hubungan interaksi komunitas dengan tanaman. Vogelsang et al. (2006) mempelajari jenis, kelimpahan dan keanekaragaman AMF terhadap keanekaragaman dan produktivitas tallgrass praire berkaitan dengan ketersediaan fosfat di lingkungan. Satu jenis inokula AMF mempunyai pengaruh yang sama dengan lebih dari satu inokula. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman dan produktivitas tumbuhan lebih dipengaruhi oleh jenis AMF dari pada keanekaragaman AMF, tergantung pada faktor pembatas dalam ekosistem. Pada model hubungan interaksi antara Rhizobium dan tanaman akasia yang dipelajari oleh Barrett et al. (2015) menunjukkan bahwa produktivitas tanaman lebih rendah pada saat diinokulasi dengan banyak strain dibandingkan dengan strain tunggal yang mempunyai sifat pemacu tumbuh yang merupakan salah satu bagian dari kumpulan strain. Rendahnya produktivitas tersebut mungkin disebabkan oleh adanya kompetisi antar rhizobia. Adanya pengaruh koinokulasi juga terlihat dalam penelitian tersebut. Strain mempunyai kemampuan pemacu tumbuh yang baik saat diinokulasikan secara tunggal, tetapi menampilkan kemampuan yang rendah saat diinokulasikan secara bersama-sama. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya strain tertentu dalam inokulum mengakibatkan munculnya variasi pertumbuhan pada tanaman akasia. Pada penelitian ini, kajian berdasarkan pendekatan metagenom menunjukkan bahwa selain keanekaragaman yang lebih tinggi, komunitas TR D juga diketahui mempunyai indeks kemerataan yang lebih rendah (Tabel 9) yang mengindikasikan adanya dominansi dalam komunitas tersebut sehingga tingkat sebaran anggota komunitas menjadi kurang merata. Berdasarkan komposisi komunitas (Gambar 16), TR D disusun oleh beberapa kelompok bakteri yang terkenal reputasinya sebagai bakteri pemacu tumbuh tanaman yaitu Burkholderiales, Pseudomonas, Bacillus, dan Rhizobiales (Gambar 16). Terkait dengan pertumbuhan tanaman jagung yang lebih baik yang dihasilkan oleh komunitas TR D, selain karena keanekaragaman yang lebih tinggi dan komposisi kelompok bakteri yang menghuninya, diduga bahwa beberapa diantara kelompok bakteri yang menyusun komunitas TR D merupakan kelompok bakteri bermanfaat yang dapat memacu pertumbuhan tanaman jagung. Untuk membuktikan dugaan tersebut maka pada tahap penelitian selanjutnya dipelajari karakter pemacu tumbuh salah satu kelompok bakteri
54 penyusun komunitas TR D dan pernanannya dalam pertumbuhan tanaman jagung. Bakteri yang dipilih adalah bakteri yang terdeteksi dominan. Bakteri dominan yang merupakan bagian dari komunitas TR D Hasil kajian komunitas dengan teknik T-RFLP menunjukkan bahwa ukuran T-RF yang terdeteksi p aling dominan pada metagenom adalah T-RF 488. Namun ukuran T-RF tersebut tidak muncul pada pengkulturan. T-RF 485 relatif dominan pada metagenom dan ukuran T-RF tersebut muncul pada pengkulturan. Oleh sebab itu, T-RF 485 dipilih untuk dipelajari lebih lanjut. Berdasarkan data ukuran T-RF isolat tunggal, ukuran T-RF 485 dimiliki oleh isolat CDL 32. Isolat ini selanjutnya dipelajari karakter pemacu tumbuhnya, potensi dan peranannya pada pertumbuhan tanaman jagung. Hasil identifikasi berdasarkan keserupaan fragmen 16S rDNA dengan fragmen yang ada pada basis data GenBank NCBI menunjukkan bahwa isolat CDL 32 mempunyai keserupaan 99 % dengan Pseudomonas sp. Selanjutnya isolat ini dinamakan Pseudomonas sp. strain L485. Fragmen basa nukleotida dari isolat ini telah tersimpan di GenBank dengan nomer akses KR181836.
Karakter Pemacu Tumbuh dan Potensi Pseudomonas sp. strain L485 dalam Memacu Pertumbuhan Tanaman Jagung Karakter pemacu tumbuh Pseudomonas sp. strain L485 Strain L485 tidak menunjukkan reaksi HR positif pada tanaman tembakau (Lampiran 7). Hasil uji kualitatif pada beberapa sifat pemacu tumbuh menunjukkan bahwa bakteri ini tidak terdeteksi melarutkan fosfat dan kitin, tidak terdeteksi menghasilkan HCN, dan tidak dapat menghambat pertumbuhan fungi patogen Ganoderma sp. dan Fusarium sp. Bakteri ini terdeteksi menghasilkan IAA dan EPS. Pada uji produksi IAA, terjadinya perubahan warna larutan supernatan dari kuning menjadi pink setelah direaksikan dengan reagen Salkowski menandakan bahwa strain L485 mampu menghasilkan IAA (Lampiran 8A). Analisis kuantitatif (Gambar 18) menunjukkan bahwa IAA diproduksi oleh strain L485 sejalan dengan bertumbuhnya populasi sel. Laju produksi IAA tercepat terjadi pada inkubasi 24 36 jam. Pada inkubasi 24 jam, konsentrasi IAA mencapai 4.97 ppm pada saat jumlah sel mencapai 3.74 x 1010 sel ml-1 dan terus meningkat sampai kultur memasuki waktu inkubasi 60 jam (11.84 ppm) kemudian cenderung sama sampai waktu inkubasi 72 jam (11.95 ppm) pada saat populasi sel cenderung stasioner. Deteksi kualitatif produksi EPS menunjukkan bahwa strain L485 positif menghasilkan EPS. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan warna supernatan dari bening menjadi kuning oranye setelah direaksikan dengan fenol dan asamsulfat (Lampiran 8B). Analisis kuantitatif (Gambar 19) menunjukkan bahwa kultur berumur 1 hari menghasilkan EPS sebanyak 0.008 mg mg-1 sel kering dan meningkat pada kultur berumur 3 hari (0.058 mg) dan 7 hari (0.212 mg). Konsentrasi D-glukosa yang terkandung dalam EPS pada kultur berumur 1 hari sebanyak 5.862 ppm mg-1 EPS kering dan meningkat pada kultur berumur 3 hari (30.272 ppm) dan 7 hari (60.953 ppm). Data tersebut menunjukkan bahwa produksi EPS oleh strain L485 dan D-glukosa yang terkandung dalam EPS cenderung meningkat sejalan dengan semakin lamanya umur kultur.
55
Gambar 18 Kekeruhan kultur sel dan produksi IAA oleh Pseudomonas sp. strain L485. Isolat ditumbuhkan pada 100 mL medium cair King’s yang mengandung 5 ppm L-triptofan dengan waktu inkubasi berbeda. Kekeruhan kultur, Konsentrasi IAA
60.953 0.212
Konsentrasi D-Glukosa EPS (ppm)/ EPS kering (mg)
60
0.24 0.22
55
0.20
50
0.18
45
0.16
40
0.14
35
30.272
0.12
30 0.10
25
0.08
20
0.058 0.06
15 10 5
Berat EPS kering (mg)/ Berta sel kering (mg)
65
0.04
5.862 0.008
0.02
0
0.00 1
3
7
Waktu Inkubasi (hari)
Gambar 19 Produksi eksopolisakarida dan konsentrasi D-glukosa EPS pada Pseudomonas sp. strain L485. Isolat ditumbuhkan pada medium King’s agar dengan waktu inkubasi berbeda. Konsentrasi D-glukosa EPS; Berat kering EPS
56 Potensi dan Peranan Pseudomonas sp. strain L485 dalam memacu pertumbuhan tanaman jagung pada skala rumah kaca Kemampuan strain L485 dalam memacu pertumbuhan tanaman jagung diukur berdasarkan 8 nilai variabel pertumbuhan seperti yang disajikan pada Tabel 10. Data visual perbandingan penampilan antara tanaman jagung yang diberi inokulum Pseudomonas sp. strain L485 dan tanpa inokulum disajikan pada Gambar 20. Pemberian inokulum terhadap berat basah biomassa bagian atas menghasilkan nilai variabel yang lebih tinggi dibanding tanpa inokulum (Gambar 21). Perbedaan nyata terlihat pada beberapa pasangan kombinasi perlakuan yaitu antara P/100/75% dan T/100/75%, P/75/100% dan T/75/100%, P/75/75% dan T/75/75%, P/50/100% dan T/50/100%, P/0/100% dan T/0/100%, serta P/0/50% dan T/0/50%. Peningkatan berat basah biomassa bagian atas tertinggi yaitu sebesar 70.1% dihasilkan antara P/75/100% dan T/75/100%. Pemberian inokulum juga menunjukkan berat kering biomassa bagian atas yang lebih tinggi pada semua pasangan kombinasi perlakuan (Gambar 22). Perbedaan nyata terlihat pada beberapa kombinasi perlakuan yaitu antara P/100/75% dan T/100/75%, P/75/100% dan T/75/100%, P/75/75% dan T/75/75%, P/50/100% dan T/50/100%, P/0/100% dan T/0/100%, serta P/0/50% dan T/0/50%. Peningkatan berat kering biomassa bagian atas tertinggi yaitu sebesar 75.5% dihasilkan antara P/50/100% dan T/50/100%. Perlakuan pemberian inokulum juga terlihat dapat meningkatkan berat kering akar pada semua kombinasi perlakuan (Gambar 23). Perbedaan nyata terlihat pada beberapa pasangan kombinasi perlakuan yaitu antara P/100/75% dan T/100/75%, P/100/50% dan T/100/50%, P/75/100% dan T/75/100%, P/75/75% dan T/75/75%, serta P/0/50% dan T/0/50%. Peningkatan berat kering akar tertinggi yaitu sebesar 83.2% dihasilkan antara P/100/50% dan T/100/50%. Berdasarkan data dari semua perlakuan terlihat bahwa aplikasi Pseudomonas sp. strain L485 pada kecambah dan media tanam dapat memacu pertumbuhan tanaman jagung pada skala rumah kaca. Tabel 11 menyajikan rerata nilai variabel pertumbuhan pada perlakuan interaksi antara pemberian inokulum dan kadar air media tanam. Pemberian inokulum dapat memacu pertumbuhan pada ketiga kondisi air media tanam, terutama menghasilkan nilai variabel pertumbuhan paling tinggi pada kadar air 50% kapasitas lapang. Pada kadar air 50% kapasitas lapang, bila dibandingkan dengan tanpa inokulum, pemberian inokulum dapat meningkatkan berat basah biomassa bagian atas sebesar 51.2% dan berat kering biomassa bagian atas sebesar 48.2%. Peningkatan tertinggi terlihat pada berat kering akar yaitu sebesar 66.7%. Kemampuan strain L485 dalam menghasilkan IAA dan EPS diduga sebagai faktor pemacu pertumbuhan tanaman jagung. IAA merupakan salah satu fitohormon yang diketahui berperan penting dalam mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Selain dihasilkan oleh tumbuhan, IAA juga dihasilkan oleh banyak jenis bakteri rizosfer, salah satu diantaranya adalah Pseudomonas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aplikasi Pseudomonas spp. penghasil IAA pada bibit tanaman dapat meningkatkan panjang akar (Patten & Glick 2002), perkembangan akar samping yang lebih baik dan perkembangan biomassa bagian atas yang lebih baik (Kochar et al. 2011).
57
Tabel 10 Rerata nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari dengan perlakuan penambahan inokulum Pseudomonas sp. strain L485, pengaturan kadar air media tanam dan pemberian beberapa dosis pupuk Perlakuan Tanpa/ dengan inokulum T
P
Dosis pupuk (%)
Variabel Pertumbuhan Kadar air media tanam
Jumlah daun (helai)
Panjang Lebar Tinggi daun ke-7 daun ke-7 tanaman (cm) (cm) (cm)
Panjang tanaman (cm)
Berat basah biomassa atas (g)
Berat kering Berat biomassa kering akar atas (g) (g)
100
100% 75% 50%
10.7 ab 11.0 ab 11.3 ab
2.7 bcd 4.5 abcd 50.9 abcd 3.6 bcd 46.0 cd 3.7 abcd
76.9 abcd 72.8 abcd 66.0 abcd
89.4 abcde 93.7 abcde 86.0 abcde
46.1 bcde 43.0 cde 41.9 cde
9.4 bcd 6.6 cd 6.9 cd
5.8 c 4.4 c 3.5 c
75
100% 75% 50%
8.7 b 10.3 ab 10.0 ab
49.0 abcd 3.4 abcd 54.1 abcd 3.7 abcd 56.9 abcd 3.8 abcd
60.4 bcd 65.3 abcd 64.5 abcd
72.5 de 82.6 bcde 75.3 cde
23.8 de 35.2 cde 34.8 cde
3.6 d 5.4 cd 7.4 cd
2.3 c 4.0 c 5.0 c
50
100% 75% 50%
10.0 ab 10.7 ab 10.3 ab
50.5 abcd 3.8 cd 53.0 abcd 4.1 abcd 56.3 abcd 4.0 abcd
54.8 cd 68.2 abcd 64.6 abcd
76.7 cde 88.2 abcde 88.4 abcde
30.8 de 42.3 cde 48.2 bcde
4.6 cd 7.4 cd 8.2 cd
3.7 c 4.9 c 5.0 c
0
100% 75% 50%
9.0 b 10.7 ab 9.0 b
45.0 d 2.8 d 51.6 bcd 3.6 bcd 48.5 abcd 3.4 cd
54.0 d 63.5 abcd 56.9 bcd
66.5 e 94.0 bcde 78.4 abcde
16.5 e 34.5 cde 28.7 de
2.8 d 5.9 cd 4.9 cd
2.6 c 5.2 c 3.3 c
100
100% 75% 50%
9.7 ab 12.3 ab 13.0 a
54.4 abcd 4.1 abc 69.2 a 5.2 a 66.0 abc 5.3 a
72.6 abcd 89.1 a 82.4 abc
90.9 abcde 119.4 a 113.4 ab
62.3 abcde 105.8 ab 110.8 a
12.1 abcd 18.8 ab 20.2 a
9.1 bc 15.3ab 20.6 a
58 Lanjutan Tabel 10 Perlakuan Tanpa/ dengan inokulum P
Dosis pupuk (%)
Variabel Pertumbuhan
Kadar air media tanam
Jumlah daun (helai)
Panjang Lebar Tinggi daun ke-7 daun ke-7 tanaman (cm) (cm) (cm)
Panjang tanaman (cm)
Berat basah Berat kering Berat kering biomassa biomassa atas akar (g) atas (g) (g)
75
100% 75% 50%
12.0 ab 12.3 ab 12.3 ab
67.8 ab 4.9 abc 65.6 abc 5.1 ab 61.1 abcd 4.2 abcd
85.0 ab 81.2 abcd 78.8 abcd
109.7 abc 104.8 abcd 106.5 abcd
79.8 abcd 82.0 abcd 76.5 abcd
12.7 abcd 14.1 abc 12.4 abcd
8.5 bc 9.5 bc 9.9 bc
50
100% 75% 50%
11.3 ab 11.3 ab 11.3 ab
55.6 bcd 4.3 abcd 61.7 bcd 4.5 abc 61.0 abcd 4.7 abc
74.2 abcd 78.1 abcd 74.2 abcd
96.8 abcde 99.9 abcde 98.1 abcde
93.1 abc 61.3 abcde 64.0 abcde
18.8 ab 10.2 abcd 10.8 abcd
10.5bc 9.2bc 10.3bc
0
100% 75% 50%
10.7 ab 11.0 ab 11.3 ab
53.3 abcd 3.9 abcd 52.4 abcd 4.1 abcd 56.5 abcd 4.0 abcd
62.0 abcd 71.0 abcd 75.4 abcd
86.0 abcde 91.5 abcde 103.3 abcde
53.4 abcde 53.2 abcde 63.6 abcde
8.4 bcd 8.5 bcd 9.6 bcd
6.0 c 8.1 bc 9.5 bc
Keterangan: T: tanpa diberi inokulum, diberi medium King’s cair steril; P: diberi inokulum Pseudomonas sp. strain 485 yang ditumbuhkan pada medium King’s cair.
59
A
B
Perlakuan kadar air media tanam 50% kapasitas lapang dan dosis pupuk 100%
A
B
Perlakuan kadar air media tanam 50% kapasitas lapang dan tanpa pemupukan Gambar 20 Perbandingan penampilan pertumbuhan antara tanaman jagung umur 30 hari tanpa pemberian inokulum (A) dan dengan pemberian inokulum Pseudomonas sp. strain L485 (B) Menurut Farooq et al. (2009), rhizogenesis merupakan salah satu strategi adaptif yang dikembangkan oleh tumbuhan untuk menghadapai cekaman kekeringan. Pada kondisi pertumbuhan normal, sitokinin yang disintesis di tudung akar mengakibatkan akar primer tumbuh aktif dan menghambat pertumbuhan akar lateral. Pada kondisi lingkungan tertentu yang dapat memicu biosintesis IAA, misalnya kekeringan, IAA akan disintesis sehingga dapat menginduksi pertumbuhan akar baru sementara pertumbuhan akar primer terhenti. Namun pada kondisi cekaman kering, tumbuhan hanya mampu memproduksi IAA dalam jumlah sedikit sehingga tersedianya IAA eksogen dapat membantu tanaman bertahan pada kondisi kekeringan. Pada penelitian ini terlihat bahwa dengan kemampuannya menghasilkan IAA, Pseudomonas sp. strain L485 mempengaruhi pertumbuhan tanaman jagung melalui peranannya pada perkembangan akar. Hal ini diindikasikan
60
a
b
b b
b
a
a
a
a
b b
a
a
a
a
a
a
a
a a
a
a
a
T/0/50% P/0/50%
T/0/75% P/0/75%
T/0/100% P/0/100%
T/50/50% P/50/50%
T/50/75% P/50/75%
T/50/100% P/50/100%
T/75/50% P/75/50%
T/75/75% P/75/75%
T/75/100% P/75/100%
T/100/50% P/100/50%
T/100/75% P/100/75%
a
T/100/100% P/100/100%
Berat basah biomassa atas (g)
120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Perlakuan
a b
b
b b
a a
a a a a
b
a a
a
T/0/50% P/0/50%
T/0/75% P/0/75%
T/50/50% P/50/50%
T/50/75% P/50/75%
T/75/50% P/75/50%
a
T/75/75% P/75/75%
T/75/100% P/75/100%
b
a
a
a
T/100/50% P/100/50%
a
T/50/100% P/50/100%
a
a
T/0/100% P/0/100%
a
T/100/75% P/100/75%
22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
T/100/100% P/100/100%
Berat kering biomassa atas (g)
Gambar 21 Perbandingan nilai berat basah biomassa bagian atas tanaman jagung umur 30 hari tanpa pemberian inokulum ( ) dan dengan pemberian inokulum Pseudomonas sp. strain L485 ( ) pada perlakuan penambahan beberapa dosis pupuk dan kadar air media tanam. Huruf yang berbeda yang ada di atas grafik batang pada masing-masing pasangan kombinasi perlakuan menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan pada taraf uji 5% (uji Tukey)
Perlakuan
Gambar 22 Perbandingan nilai berat kering biomassa bagian atas tanaman jagung umur 30 hari tanpa pemberian inokulum ( ) dan dengan pemberian inokulum Pseudomonas sp. strain L485 ( ) pada perlakuan penambahan beberapa dosis pupuk dan kadar air media tanam. Huruf yang berbeda yang ada di atas grafik batang pada masing-masing pasangan kombinasi perlakuan menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan pada taraf uji 5% (uji Tukey)
61 22
b
20
Berat kering akar (g)
18 b
16 14 12 10
a
b
a
a
b
a
a
b a
8 6
a a
4
a
a
a
a
a
a
a
a a
a
a
T/0/50% P/0/50%
T/0/75% P/0/75%
T/0/100% P/0/100%
T/50/50% P/50/50%
T/50/75% P/50/75%
T/50/100% P/50/100%
T/75/50% P/75/50%
T/75/75% P/75/75%
T/75/100% P/75/100%
T/100/50% P/100/50%
T/100/75% P/100/75%
0
T/100/100% P/100/100%
2
Perlakuan
Gambar 23 Perbandingan nilai berat kering akar tanaman jagung umur 30 hari tanpa pemberian inokulum ( ) dan dengan pemberian inokulum Pseudomonas sp. strain L485 ( ) pada perlakuan penambahan beberapa dosis pupuk dan kadar air media tanam. Huruf yang berbeda yang ada di atas grafik batang pada masing-masing pasangan kombinasi perlakuan menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan pada taraf uji 5% (uji Tukey) Tabel 11 Rerata nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada interaksi perlakuan pemberian inokulum Pseudomonas sp. strain L485 pada beberapa kadar air media tanam (100%, 75% dan 50% kapasitas lapang) Perlakuan T/100% T/75% T/50% P/100% P/75% P/50%
Berat basah biomassa atas (g) 29.32 c 38.73 bc 38.39 bc 72.12 ab 75.55 a 78.72 a
Berat kering biomassa atas (g) 5.08 b 6.29 ab 6.87 ab 13.01 a 12.09 ab 13.27 a
Berat kering akar (g) 3.57 c 4.59 bc 4.11 c 8.51 abc 10.52 ab 12.55 a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey). T: tanpa inokulum; P: pemberian inokulum.
oleh berat kering akar yang lebih tinggi dengan perlakuan pemberian inokulum dibanding tanpa inokulum. EPS merupakan biopolimer rantai panjang yang tersusun dari unit gugusan gula yang berulang yang dihubungkan oleh rantai glikosida (Mehta et al. 2014). Bagi mikrob, EPS yang dihasilkannya dapat berperan antara lain sebagai
62 mekanisme interaksi atau simbiosis dengan tanaman inang (Skorupska et al. 2006) pembentukan biofilm (Ghafoor et al. 2011), proteksi terhadap cekaman kering dan meningkatkan daya kelulushidupan (Roberson & Firestone 1992; Chang et al. 2007), resisten terhadap logam berat (Kavitha et al. 2011), dan perlekatan sel (Frank & Belfort 2003). Selain berperan untuk bakteri yang menghasilkannya, EPS juga berperan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan memperbaiki struktur tanah. Di bidang pertanian, aplikasi Pseudomonas spp. penghasil EPS dapat meningkatkan toleransi tanaman jagung terhadap kekeringan (Naseem & Bano 2014) dan tanaman padi terhadap cekaman garam (Jha et al. 2011), meningkatkan produksi tanaman bunga matahari pada lingkungan semiarid (Tewari & Arora 2014). Alami et al. (2000) dan Sandhya et al. (2009) menjelaskan bahwa EPS yang dihasilkan oleh inokulum bakteri dapat melindungi tanaman dari kekeringan melalui beberapa mekanisme antara lain memperbaiki sifat fisik tanah yang melekat di perakaran (RAS, root adhering soil). Hal ini terlihat dari permeabilitas RAS yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tanpa inokulum bakteri penghasil EPS. Permeabilitas RAS yang baik akan meningkatkan kemampuan agregasi tanah dan meningkatkan potensial air di sekitar perakaran. Kondisi ini memungkinkan meningkatnya penyerapan nutrien dan air oleh tumbuhan. Pada penelitian ini, diduga bahwa kemampuan Pseudomonas sp. strain L485 dalam menghasilkan EPS berpengaruh memacu pertumbuhan tanaman jagung terutama pada kondisi kadar air media tanam yang lebih sedikit. Hal ini diindikasikan oleh nilai variabel pertumbuhan yang lebih tinggi dengan perlakuan pemberian inokulum dibanding tanpa inokulum.
63
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan TR D merupakan contoh tanah rizosfer hasil penapisan secara in planta. Hasil percobaan pada skala rumah kaca terhadap penambahan 100 g tanah TR D pada media tanam jagung dengan kadar air media tanam 50% kapasitas lapang menunjukkan rerata peningkatan berat basah biomassa bagian atas sebesar 47.1%, berat kering biomassa bagian atas sebesar 45.2% dan berat kering akar sebesar 33.4%. TR D dihuni oleh paling sedikitnya 22 isolat bakteri dan mengandung 5.72x107 sel bakteri per gram tanahnya. Berdasarkan analisis T-RFLP dengan pendekatan metagenom, sebanyak 8 T-RF terdeteksi pada komunitas bakteri TR D. Pada pendekatan pengkulturan, terdeteksi sebanyak 7 T-RF. Pola fingerprint TRFLP menunjukkan bahwa terdapat 2 kelompok ukuran T-RF yang muncul pada komunitas TR D yaitu T-RF kisaran 100 bp dan 400 bp. Selain itu juga terdeteksi T-RF 89 pada metagenom dan T-RF 201 pada pengkulturan. Kedua ukuran T-RF tersebut tidak terdeteksi pada komunitas TR lainnya. Tingkat keanekaragaman komunitas TR D berdasarkan indeks Shannon adalah 1.60 pada metagenom dan 1.58 pada pengkulturan. Struktur komunitas TR D disusun antara lain oleh Burkholderiales, Pseudomonas, Bacillus, Candidatus, Alphaproteobacteria, Betaproteobacteria, Rhizobiales, Sinobacteraceae, dan Acidobacteria. Burkholderiales merupakan kelompok bakteri yang terdeteksi paling dominan pada metagenom dengan tingkat kelimpahan relatif sebesar 45.83%. Kelompok bakteri ini tidak terdeteksi pada pengkulturan. Pseudomonas sp. terdeteksi pada metagenom dengan tingkat kelimpahan relatif sebesar 17.38%. dan terdeteksi paling dominan pada pengkulturan dengan tingkat kelimpahan relatif sebesar 42.88%. Pseudomonas sp. strain L485 merupakan sebagian dari kelompok Pseudomonas sp. yang menyusun komunitas TR D. Bakteri ini merupakan bakteri penghasil IAA dan EPS. Bakteri ini memproduksi IAA sebanyak 4.97 ppm pada saat jumlah sel mencapai 3.74 x 1010 sel ml-1 ketika ditumbuhkan pada medium King’s cair yang mengandung 5 ppm L-triptofan. Kultur umur 3 hari yang tumbuh pada medium King’s agar memproduksi EPS sebanyak 0.058 mg mg-1 sel kering dengan konsentrasi D-glukosa sebesar 30.272 ppm mg-1 EPS kering. Pada skala rumah kaca, nilai kumulatif variabel pertumbuhan dengan perlakuan dosis pupuk NPK 100%, 75%, 50%, dan 0% serta kadar air media tanam 100%, 75% dan 50% kapasitas lapang menunjukkan bahwa aplikasi inokulum Pseudomonas sp. strain L485 pada kecambah dan media tumbuh tanaman jagung dapat memacu pertumbuhan. Pada ketiga kondisi air media tanam yang diuji, rerata nilai variabel pertumbuhan paling tinggi terlihat pada perlakuan kadar air 50% kapasitas lapang. Dibandingkan dengan tanpa inokulum, pemberian inokulum dapat meningkatkan berat basah biomassa bagian atas sebesar 51.2% dan berat kering biomassa bagian atas sebesar 48.2%. Peningkatan tertinggi terutama terlihat pada berat kering akar yaitu sebesar 66.7%.
64 Saran Penggunaan media kultur yang lebih bervariasi perlu dilakukan untuk menumbuhkan lebih banyak isolat bakteri. Penggunaan dua atau lebih enzim restriksi juga perlu dilakukan agar mampu mendeteksi lebih banyak jumlah T-RF dan lebih akurat dalam menentukan kelompok bakteri berdasarkan data RDP.
65
DAFTAR PUSTAKA Aagot N, Nybroe O, Nielsen P, Johnsen K. 2001. An altered Pseudomonas diversity is recovered from soil by using nutrient-poor Pseudomonas-selective soil extract media. Appl Environ Microbiol. 67(11): 5233-5239. doi: 10.1128/aem.67.11.5233- 5239.2001. Abdurachman A, Dariah A, Mulyani A. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. J Litbang Pertanian. 27: 3-49. Alami Y, Achouak W, Marol C, Heulin T. 2000. Rhizosphere soil aggregation and plant growth promotion of sunflower by an exopolysaccharide-producing Rhizobium sp. strain isolated from sunflower roots. Appl Env Microbiol. 66(8): 3393-3398. Alikhani HA, Saleh-Rastin N, Antoun H. 2006. Phosphate solubilization activity of rhizobia native to Iranian Soil. Plant Soil. 287: 35-41. doi: 10.1007/s11104006-9059-6. Arruda L, Beneduzi A, Martins A, Lisboa B, Lopes C, Bertolo F, Passaglia LMP, Vargas LK. 2013. Screening of rhizobacteria isolated from maize (Zea mays L.) in Rio Grande do Sul State (South Brazil) and analysis of their potential to improve plant growth. Appl Soil Ecol. 63: 15-22. Astiko W, Sastrahidayat IR, Djauhari S, Muhibuddin A. 2013. The role of indigenous mycorrhiza in combination with cattle manure in improving maize yield (Zea Mays L) on sandy loam of Northern Lombok, Eastern of Indonesia. J Trop Soils. 18(1):53-58. Bakker AW, Schippers B. 1987. Microbial cyanide production in the rhizosphere in relation to potato yield reduction and Pseudomonas spp-mediated plant growth-stimulation. Soil Biol Biochem. 19(4):451-457. Balandreau J, Viallard V, Cournoyer B, Coenye T, Laevens S, Vandamme P. 2001. Burkholderia cepacia genomovar III is a common plant-associated bacterium. Appl Environ Microbiol. 67(2): 982-985. doi:10.1128/AEM.67.2.982–985.2001. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). 2003. Rencana strategis pengembangan wilayah lahan kering Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2003-2007. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). 2014. Luas panen, rata-rata produksi dan produksi jagung menurut Kabupaten/Kota. Barrett LG, Bever JD, Bissett A, Thrall PH. 2015. Partner diversity and identity impacts on plant productivity in acacia–rhizobial interactions. J Ecol. 103: 130142. doi: 10.1111/1365-2745.12336. Bashan Y, de-Bashan LE, Prabhu SR, Hernandez JP. 2014. Advances in plant growth-promoting bacterial inoculant technology: Formulations and practical perspectives (1998-2013). Plant Soil. 378:1-33. doi: 10.1007/s11104-013-1956x. Bashan Y, Dubrovsky JG. 1996. Azospirillum spp. participation in dry matter partitioning in grasses at the whole plant level. Biol Fert Soils. 23: 435–440.
66 Basu PS, Gosh AC. 2001. Production of Indole Acetic Acid in cultures by a Rhizobium species from the root nodules of a monocotyledonous tree, Roystonea regia. Acta Biotechnol. 21: 65-72. Bell CW, Asao S, Calderon F, Wolk B, Wallenstein MD. 2015. Plant nitrogen uptake drives rhizosphere bacterial community assembly during plant growth. Soil Biol Biochem. 85:170-182. Bending GD, Rodrıguez-Cruz MS, Lincoln SD. 2007. Fungicide impacts on microbial communities in soils with contrasting management histories. Chemosphere. 69: 82-88. doi:10.1016/j.chemosphere.2007.04.042. Bever JD, Broadhurst LM, Thrall PH. 2013.Microbial phylotype composition and diversity predicts plant productivity and plant–soil feedbacks. Ecol Lett. 16: 167174. doi: 10.1111/ele. 12024. Bouasria A, Mustafa T, de Bello F, Zinger L, Lemperiere G, Geremia RA, Choler P. 2012. Changes in root-associated microbial communities are determined by species-specific plant growth responses to stress and disturbance. Eur J Soil Biol. 52: 59e66. Bouffaud ML, Kyselkova M, Gouesnard B, Grundmann G, Muller D, And Yvan Moenne-Loccoz, Y. 2012. Is diversification history of maize influencing selection of soil bacteria by roots? Mol Ecol. 21: 195–206. doi: 10.1111/j.1365294X.2011.05359.x. Brozel VS, Cloete TE. 1992. Evaluation of nutrient agars for the enumeration of viable aerobic heterotrophs in colling water. Wat Res 26(8):1111-1117. doi:10. 1016/0043-1354(92)90148-W. Caffaro-Filho RA, Fantinatti-Garboggini F, Durrant LR. 2007. Quantitative analysis of terminal restriction fragment length polymorphism (T-RFLP) microbial community profiles: Peak height data showed to be more reproducible than peak area. Brazilian J Microbiol. 38:736-738. Cavaglieria L, Orlandoa J, Etcheverrya M. 2009. Rhizosphere microbial community structure at different maize plant growth stagesand root locations. Microbiol Res. 164: 391-399. doi:10.1016/j.micres.2007.03.006. Chang W, van de Mortel M, Nielsen L, de Guzman GN, Li X, Halverson LJ. 2007. Alginate production by Pseudomonas putida creates a hydrated microenvironment and contributes to biofilm architecture and stress tolerance under water-limiting conditions. J Bacteriol. 182(22): 8290-8299. doi: 10.1128/JB. 00727-07. Chiarini L, Bevivino A, Dalmastri C, Nacamulli C, Tabacchioni S. 1998. Influence of plant development, cultivar and soil type on microbial colonization of maize roots. Appl Soil Ecol. 8: 11-18. Dai A. 2011. Characteristics and trends in various forms of the Palmer Drought Severity Index during 1900–2008. J Geophy Res. 116, D12115. doi:10.1029/ 2010JD015541. Dai A. 2013. Increasing drought under global warming in observations and models. Nature Clim Change. 3: 52-58. doi:10.1038/nclimate1633. Davis KE, Joseph SJ, Jansen PH. 2005. Effects of growth medium, inoculums size, and incubation time on culturability and isolation of soil bacteria. Appl Environ Microbiol 71 (2): 826-834. doi: 10.1128/AEM.71.2.826-834.2005 Degnan PH, Ochman H. 2012. Illumina-based analysis of microbial community diversity. ISME J. 6: 183-194. doi:10.1038/ismej.2011.74.
67 de Deyn GB, van der Putten WH. 2005. Linking aboveground and belowground diversity. Trends Ecol Evol. 20(11): 625-633: doi:10.1016/j.tree.2005.08.009. del Campo J, Balagué V, Forn I, Lekunberri I, Massana R. 2013. Culturing bias in marine heterotrophic flagellates analyzed through seawater enrichment incubations. Microb Ecol. 66: 489-499. doi: 10.1007/s00248-013-0251-y. de Oliveira AB, Alencar NLM, Gomes-Filho E. 2013. Comparison between the water and salt stress effects on plant growth and development. In S Akinci. Editor. Responses of Organisms to Water Stress. InTech. pp. 67-94. Ding T, Palmer MW, Melcher U. 2013. Community terminal restriction fragment length polymorphisms reveal insights into the diversity and dynamics of leaf endophytic bacteria. BMC Microbiol. 13(1):1-11. [DITJEN PSP] Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2011. Pedoman Teknis Perluasan Tanaman Pangan pada Lahan Kering. Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan Kementerian Pertanian. Dokic L, Savic M, Narancic T, Vasiljevic B. 2010. Metagenomic analysis of soil microbial communities. Arch Biol Sci. 62(3): 559-564. doi:10.2298/abs1003559j. Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Colorimetric method for determination of sugars and related substances. Anal Chem. 28(3):350-356. Dunbar J, Ticknor LO, Kuske AR. 2001. Phylogenetic specificity and reproducibility and new method for analysis of terminal restriction fragment profiles of 16S rRNA genes from bacterial communities. Appl Environ Microbiol. 67(1):190-197. doi: 10.1128/Aem.67.1.190–197.2001. Edy, Tohari, Indradewa D, Shiddieq D. 2011. Respon tanaman jagung tumpangsari kacang hijau terhadap perlakuan parit pada lahan kering. J Agrotropika. 16(1): 38-44. Engebretson JJ, Moyer CL. 2003. Fidelity of select restriction endonucleases in determining microbial diversity by Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism. Appl Environ Microbiol. 69(8):4823-4829. doi: 10.1128/AEM. 69.8.4829.2003. Farooq M, Wahid A, Kobayashi N, Fujita D, Basra SMA. 2009. Plant drought stress: effects, mechanisms and management. Agron Sustain Dev. 29: 185-212. doi: 10.1051/agro:2008021. Fierer N, Jackson RB. 2005. The diversity and biogeography of soil bacterial communities. PNAS. 103(2): 626-631. Fierer N, Leff JW, Adams BJ, Nielsen UN, Bates ST, Lauber CL, Owens S, Gilbert JA, Wall DH, Caporaso JG. 2012.Cross-biome metagenomic analyses of soil microbial communities and their functional attributes. PNAS. 109(52):2139021395. Frank BP, Belfort G. 2003. Polysaccharides and sticky membrane surfaces: critical ionic effects. J Membrane Sci. 212:205-212. Garbeva P, van Elsas JD, van Veen JA. 2008. Rhizosphere microbial community and its response to plant species and soil history. Plant Soil. 302: 19-32. doi: 10.1007/s11104-007-9432-0. Garcia-Salamanca A, Molina-Henares MA, van Dillewijn P, Solano J, PizarroTobías P, Roca A, Duque E, Ramos JL. 2012. Bacterial diversity in the
68 rhizosphere of maize and the surrounding carbonate-rich bulk soil. Microbial Biotechnology. doi:10.1111/j.1751-7915.2012.00358.x. Ghafoor A, Hay ID, Rehm BHA. 2011. Role of exopolysaccharides in Pseudomonas aeruginosa biofilm formation and architecture. Appl Environ Microbiol. 77(15):5238-5246. Glick BR. 2012. Plant Growth-Promoting Bacteria: Mechanisms and applications. Scientifica.: 1-15. Hardoim CP, Cardinale M, Cúcio AB, Esteves AS, Berg G, Xavier J, Cox C, Costa R. 2014. Effects of sample handling and cultivation bias on the specificity of bacterial communities in keratose marine sponges. Front Microbiol. 5 (article 611). doi: 10.3389/fmicb.2014.00611. Huang G, Li Y, Su YG. 2015. Divergent responses of soilmicrobial communities towater and nitrogen addition in a temperate desert. Geoderma. 251–252: 55–64. Husen E, Wahyudi AT, Suwanto A, Giyanto. 2011. Soybean response to 1aminocyclopropane-1-carboxylate deaminase-producing Pseudomonas under field soil conditions. Am J Agr Biol Sci. 6: 273-278. doi: 10.3844/ajabssp. 2011.273.278. Hussain MI, Asghar HN, Akhtar MJ, Arshad M. 2013. Impact of phosphate solubilizing bacteria on growth and yield of maize. Soil Environ. 32(1): 71-78. Idjudin AA, Marwanto S. 2008. Reformasi pengelolaan lahan kering untuk mendukung swasembada pangan. J Sumber Daya Lahan. 2(2):115-125. Ikeda AC, Bassani LL, Adamoski D, Stringari D, Cordeiro VK, Glienke C, Steffens MB, Hungria M, Galli-Terasawa LV. 2013. Morphological and genetic characterization of endophytic bacteria isolated from roots of different maize genotypes. Microb Ecol. 65(1): 154-60. doi: 10.1007/s00248-012-0104-0. Jha Y, Subramanian RB, Patel S. 2011. Combination of endophytic and rhizospheric plant growth promoting rhizobacteria in Oryza sativa shows higher accumulation of osmoprotectant against saline stress. Acta Physiol Plant. 33: 797-802. Joseph SJ, Hugenholtz P, Sangwan P, Osborne CA, Janssen PH. 2003. Laboratory cultivation of widespread and previously uncultured sail bacteria. Appl Environ Microbiol 69 (12): 7210-7215. doi: 10.1128/AEM.69.12.7210-7215.2003. Kavitha V, Radhakrishnan N, Gnanamani A, Mandal AB. 2011. Management of chromium induced oxidative stress by marine Bacillus licheniformis. Biology and Medicine. 3(2):16-26. Khalid A, Arshad M, Zahir ZA. 2004. Screening plant growth-promoting rhizobacteria for improving growth and yield of wheat. J Appl Microbiol. 96: 473-480. doi:10.1046/j.1365-2672.2003.02161.x. Klement Z. 1963. Rapid detection of pathogenicity of phytopathogenic Pseudomonads. Nature. 199: 299-300. Kochar M, Upadhyay A, Srivastava S. 2011. Indole-3-acetic acid biosynthesis in the biocontrol strain Pseudomonas fluorescens Psd and plant growth regulation by hormone overexpression. Res Microbiol. 162:426-435. doi:10.1016/j.resmic. 2011.03.006 Kozdroj J, van Elsas JD. 2000. Response of the bacterial community to root exudates in soil polluted with heavy metals assessed by molecular and cultural approaches. Soil Biol Biochem. 32: 1405-1417.
69 Lauber CL, Hamady M, Knight R, Fierer N. 2009. Pyrosequencing-based assessment of soil pH as a predictor of soil bacterial community structure at the continental scale. Appl Emviron Microbiol. 75(15): 5111-5120. doi:10.1128/ AEM.00335-09. Li X, Rui J, Mao Y, Yannarell A, Mackie R. 2014. Dynamics of the bacterial community structure in the rhizosphere of a maize cultivar. Soil Biol Biochem. 68:392-401. Loper JE, Henkels MD. 1999. Utilization of heterologous siderophores enhances levels of iron available to Pseudomonas putida in the rhizosphere. Appl Environ Microbiol. 65(12): 5357-5363. Louvel B, Cebron A, Leyval C. 2011. Root exudates affect phenanthrene biodegradation, bacterial community and functional gene expression in sand microcosms. Int Biodeter Biodegr. 65: 947e953. doi:10.1016/j.ibiod.2011. 07.003. Malusa E, Sas-Paszt L, Ciesielska J. 2012. Technologies for beneficial microorganisms inocula used as biofertilizers. Sci World J. doi:10.1100/2012 /491206. Mazid M, Khan TA. 2014. Future of bio-fertilizers in Indian agriculture: An overview. Int J Agric Food Res. 3 (3): 10-23. Mazurier S, Corberand T, Lemanceau P, Raaijmakers JM. 2009. Phenazine antibiotics produced by fluorescent pseudomonads contribute to natural soil suppressiveness to Fusarium wilt. ISME J. 3: 977-991. doi:10.1038/ismej. 2009. 33. [MEA] Millennium Ecosystem Assessment. 2005. Ecosystems and Human Wellbeing. Island Press, Washington, DC. Mehta A, Sidhu C, Pinnaka AK, Choudhury AR. 2014. Extracellular polysaccharide production by a novel osmotolerant marine strain of Alteromonas macleodii and its application towards biomineralization of silver. PLoS ONE 9(6):e98798. doi: 10.1371/journal.pone.0098798. Moelyohadi Y. 2012. Pemanfaatan berbagai jenis pupuk hayati pada budidaya tanaman jagung (Zea mays. L) efisien hara di lahan kering marginal. J Lahan Suboptimal. 1(1):31-39. Nannipieri P, Ascher J, Ceccherini MT, Landi L, Pietramellara G, Renella G. 2003. Microbial diversity and soil function. Eur J Soil Sci. 54: 665-670. Naseem H, Bano A. 2014. Role of plant growth-promoting rhizobacteria and their exopolysaccharide in drought tolerance of maize. J Plant Interact. 9(1):689-701. doi: 10.1080/17429145.2014.902125. Noor A. 2008. Perbaikan sifat kimia tanah lahan kering dengan fosfat alam, bakteri pelarut fosfat dan pupuk kandang untuk meningkatkan hasil kedelai. J Tanah Trop. 13(1):49-58. O’Neill B, Grossman J, Tsai MT, Gomes JE, Lehmann J, Peterson J, Neves E, Thies JE. 2009. Bacterial community composition in brazilian anthrosol and adjacent soils characterized using culturing and molecular identification. Microb Ecol. 58(1):23-35. doi: 10.1007/s00248-009-9515-y. Orcutt B, Balley B, Staudigel H, Tebo BM, Edwards KJ. 2009. An interlaboratory comparison of 16S rRNA gene-based terminal restriction fragment length polymorphism and sequencing methods for assessing microbial diversity of seafloor basalts. Environ Microbiol. 11(7):1728-1735.
70 Otsuka S, Sudiana IM, Komor A, Isobe K, Deguchi S, Naishiyama M, Shimizu H, Senoo K. 2008. Community structure of soil bacteria in a tropical rainforest several years after fire. Microbes Environ. 23(1): 49-56. doi: 10.1264/ jsme2 .23.49. Park S, Ku YK, Seo MJ, Kim DY, Yeon JE, Jeong SC, Yoon WK, Kim HM. 2006. The characterization of bacterial community structure in the rhizosphere of watermelon (Citrullus vulgaris SCHARD.) using culture-base approach and terminal restriction fragment length polymorphism (T-RFLP). Appl Soil Sci. 33:79-86. doi: 10.1016/j.apsoil.2005.08.006. Patten CL, BR Glick. 2002. Role of Pseudomonas putida indoleacetic acid in development of the host plant root system. Appl Environ Microbiol. 68(8):37953801. doi: 10.1128/AEM.68.8.3795-3801.2002. Peiffer JA, Spor A, Koren O, Jin Z, Tringe SG, Dang JL, Buckler ES, Ley RE. 2013. Diversity and heritability of the maize rhizosphere microbiome under field conditions. PNAS. 110 (16): 6548-6553. doi:10.1073/pnas.1302837110/-/ DCSupplemental. Pirone L, Chiarini L, Dalmastri C, Bevivino A, Tabacchioni S. 2005. Detection of cultured and uncultured Burkholderia cepacia complex bacteria naturally occurring in the maize rhizosphere. Environ Microbiol. 7 (11): 1734-1742. doi:10.1111/j.1462-2920.2005.00897.x. Prijambada ID, Sitompul RA, Widada J, Widianto D, 2012. Impact of agricultural intensification practices on bacterial community in agro-ecosystems of southern Sumatra, Indonesia. Int J Agric Biol. 14: 816-820. Pujiharti Y, Haridjaja O, Eriyatno, Rusastra IW. 2008. Model pengelolaan lahan kering berkelanjutan pada sistem agribisnis jagung. J Tanah Trop. 13(1): 67-76. Qin H, Lu K, Strong PJ, Xu Q, Wu Q, Xu Z, Xu J, Wang H. 2015. Long-term fertilizer application effects on the soil, root arbuscular mycorrhizal fungi and community composition in rotation agriculture. Appl Soil Ecol. 89: 35-43. Rahardjo M, Suroyo. 2013. Beef cattle integration on dry-land farming in Sragen Central-Java Indonesia: Improvements of economic and environmental carrying capacity aspects. Animal Production. 15(2):135-143. Rao D, Webb JS, Kjelleberg S. 2005. Competitive interactions in mixed-species biofilms containing the marine bacterium Pseudoalteromonas tunicate. Appl Environ Microbiol. 71(4): 1729-1736. doi: 10.1128/AEM.71.4.17291736.2005 [RENSTRA KEMENTAN] Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Kementerian Pertanian 2009. Reynolds H, Packer A, Bever JD, Clay K. 2003. Grassroots Ecology: Plantmicrobe-soil interactions as drivers of plant community structure and dynamics. Ecology. 84: 2281-2291. Roberson EB, Firestone MK. 1992. Relationship between desiccation and exopolysaccharide production in soil Pseudomonas sp. Appl Environ Microbiol. 58(4):1284-1291. Rosello-Mora R, Amann R. 2001. The species concept for prokaryotes. FEMS Microbiol Rev. 25:39-67. Saharan BS, Nehra V. 2011. Plant growth promoting rhizobacteria: A critical review. LSMR: 1-30. Sandhya V, Ali SKZ, Grover M, Reddy G, Venkateswarlu B. 2009. Alleviation of drought stress effects in sunflower seedlings by the exopolysaccharides
71 producing Pseudomonas putida strain GAP-P45. Biol Fertil Soils. 46:17-26. doi: 10.1007/s00374-009-0401-z. Sastrahidayat IR, Djauhari S, Saleh N, Muhibuddin A. 2011. Control of dumping off disease caused by Sclerotium rolfsii SACC. using actinomycetes and VAM fungi on soybean in the dry land base on microorganisms diversity of rhizosphere zone. J Agrivita. 33(1):40-46. Schutte UME, Abdo Z, Bent SJ, Shyu C, Williams CJ, Pierson JD, Forney LJ. 2008. Advances in the use of terminal restriction fragment length polymorphism (TRFLP) analysis of 16S rRNA genes to characterize microbial communities. Appl Microbiol Biotechnol. 80:365-380. doi: 10.1007/200253-008-1565-4. Sengupta A, Dick WA. 2015. Bacterial community diversity in soil under two tillage practices as determined pyrosequencing. Microb Ecol. doi:10.1007/ s00248-015-0609-4. Showkat S, Murtaza I, Bhat MA, Abid S, Ali A. 2014. HPLC based estimation and molecular characterization of 2,4-DAPG from Pseudomonas fluorescens isolates of Kashmir. Intl J Agri Crop Sci. 7 (7): 411-416. Sjoberg F, Nowrouzian F, Rangel I, Hannoun C, Moore E, Adlerberth I, Wold AE. 2013. Comparison between terminal-restriction fragment length polymorphism (T-RFLP) and quantitative culture for analysis of infants' gut microbiota. J Microbiol Methods. 94:37-46. Skorupska A, Janczarek M, Marczak M, Mazur A, Król J. 2006. Rhizobial exopolysaccharides: Genetic control and symbiotic functions. Microb Cell Fact. 1-19. Smith CJ, Danilowicz BS, Clear Ak, Costello FJ, Wilson B, Meijer WG. 2005. TAlign, a web-based tool for comparison of multiple terminal restriction fragment length polymorphism profiles. FEMS Microbiol Ecol. 54:375-380. doi: 10.1016/j.femsec.2005.05.002. Sorensen J, Sessitsch A. 2006. Plant-associated bacteria-Lifestyle and molecular interactions. In: JD van Elsas et al., editor. Modern Soil Microbiology. Second Ed. Boca Raton, Florida. CRC Press. pp. 212-236. Spaepen S, Vanderleyden J, Remans R. 2007. Indole-3-acetic acid in microbial and microorganisms-plant signalling. FEMS Microbiol Rev. 31: 425-448. doi: 10.1111/j.1574-6976.2007.00072.x. Sudarto. 2012. Perbenihan jagung komposit sebagai upaya pengembangan jagung untuk mendukung ketahanan pangan dan meningkatkan pendapatan petani di NTB. Infotek Balai Pengkajian Teknolohi Pertanian 1(11):13-16. Surbakti YP, Y Hasanah, L Mawarni. 2014. Respons pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max L. (Merill)) di lahan kering terhadap inokulasi Bradyrhizobium japonicum yang diinduksi genistein dan pemberian pupuk organik. J Agroekoteknologi. 2(2):661-668. Suwardji, Tejowulan S. 2002. Pengembangan wilayah lahan kering di Provinsi NTB untuk Mendukung Otonomi Daerah: Seminar Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Pertanian dan Penerapan Teknologi Tepat Guna. ISBN: 979-95405-3-4. Swastika DKS, Kasim F, Sudana W, Hendayana R, Suhariyanto K, Gerpacio RF, Pingali PL. 2004. Maize in Indonesia: Production Systems, Constraints, and Research Priorities. International Maize and Wheat Improvement Center (CIMMYT). Mexico. pp. 1-7. ISBN: 970-648-114-1.
72 Tamaki H, Sekiguchi Y, Hanada S, Nakamura K, Nomura N, Matsumura M, Kamagata M. 2005. Comparative analysis of bacterial diversity in freshwater sediment of a shallow eutrophic lake by molecular and improved cultivationbased techniques. Appl Environ Microbiol. 71(2): 2162-2169. doi:10.1128/aem. 71.4.2162–2169.2005. Tewari S, Arora NK. 2014. Multifunctional exopolysaccharides from Pseudomonas aeruginosa PF23 involved in plant growth stimulation, biocontrol and stress amelioration in sunflower under saline conditions. Curr Microbiol. doi: 10.1007/s00284-014-0612-x. Thijs S, Weyens N, Sillen W, Gkorezis P, Carleer R, Vangronsveld J. 2014. Potential for plant growth promotion by a consortium of stress-tolerant 2,4dinitrotoluene-degrading bacteria: isolation and characterization of a military soil. Microb Biotechnol. 7(4): 294-306. doi:10.1111/1751-7915.12111. Torsvik V, Ovreas L. 2002. Microbial diversity and function in soil: from genes to ecosystems. Curr Opin Microbiol. 5: 240-245. Upadhyay SK, Singh JS, Singh DP. 2011. Exopolysaccharide-producing plant growth-promoting rhizobacteria under salinity condition. Pedosphere. 21(2):214-222. van der Heijden MGA, Klironomos JN, Ursic M, Moutoglis P, Streitwolf-Engel, Boller T, Wiemken A, Sanders IR. 1998. Mycorrhizal fungal diversity determines plant biodiversity, ecosystem variability and productivity. Nature. 396: 69-72. van der Heijden MGA, Bardgett RD, van Straalen NM. 2008. The unseen majority: Soil microbes as drivers of plant diversity and productivity in terrestrial ecosystems. Ecol Lett. 11: 296-310. doi: 10.1111/j.1461-0248.2007.01139.x. Vogelsang KM, Reynolds HI, Bever JD. 2006. Mycorrhizal fungal identity and richness determine the diversity and productivity of a tallgrass prairie system. New Phytologist. 172: 554-562. doi: 10.1111/j.1469-8137.2006.01854.x. Weidner S, Koller R, Latz E, Kowalchuk G, Bonkowski M, Scheu S, Jousset A. 2015. Bacterial diversity amplifies nutrient-based plant-soil feedbacks. Funct Ecol. doi: 10.1111/1365-2435.12445. Zak DR, Holmes WE, White DC, Peacock AD, Tilman D. 2003. Plant diversity, soil microbial communities, and ecosystem function: Are there any links? Ecology. 84(8): 2042-2050. Zhang R, Thiyagarajan V, Qian P. 2008. Evaluation of terminal-restriction fragment length polymorphism analysis in contrasting marine environments. FEMS Microbiol Ecol.: 1-10. doi: 10.1111/j.1574-6941.2008.00493.x. Zhang X, Ma L, Gilliam FS, Wanga Q, Li C. 2013. Effects of raised-bed planting for enhanced summer maize yield on rhizosphere soil microbial functional groups and enzyme activity in Henan Province, China. Field Crops Res. 130:28-37. doi: 10.1016/j.fcr.2012.02.008. Zhao Q, Zeng DH, Fan ZP. 2010. Nitrogen and phosphorus transformations in the rhizospheres of three tree species in a nutrient-poor sandy soil. Appl Soil Ecol. 46:341-346.
73
LAMPIRAN Lampiran 1 Lokasi pengambilan sampel tanah rizosfer tanaman jagung di Desa Akar Akar, Kabupaten Lombok Utara (A) dan Dusun Bukit Keramat Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur (B)
A
B
74 Lampiran 2 Perhitungan kadar air media tanam pada penanaman tahap I. Angka merupakan rerata dari 5 ulangan Kondisi media tanam (pasir steril): Berat pasir pada kondisi normal (kering angin): 100 g Berat kering oven pasir pada kondisi normal : 98.424g Berat pasir pada kondisi jenuh air : 119.46 g Berat kering oven pasir pada kondisi jenuh air : 97.7 g Jumlah (%) kandungan air dalam pasir pada kondisi normal: = =
100 g - 98.424 g X 100% 98.424 g 1.601%
Jumlah (%) kandungan air dalam pasir pada kondisi jenuh air: =
119.46 g - 97.7 g
=
97.7 g 22.3%
X 100%
Selisih kandungan air antara pasir pada kondisi jenuh air dan kondisi normal: = 22.3% - 1.601% = 20.67% Jumlah air (ml) yang ditambahkan pada kadar air 100% kapasitas lapang untuk 3 kg media tanam: = =
20.67% X 3 kg 620.10 ml
Jumlah air (ml) yang ditambahkan pada kadar air 75% kapasitas lapang untuk 3 kg media tanam: = =
75% X 620.10 ml 465 ml
Jumlah air (ml) yang ditambahkan pada kadar air 50% kapasitas lapang untuk 3 kg media tanam: = =
50% X 620.10 ml 310 ml
Pada penelitian tahap II dan III, kondisi media tanam (pasir steril) yang sedikit berbeda mengakibatkan hasil perhitungan yang berbeda.
75 Lampiran 3 Media dan komposisinya yang digunakan dalam penelitian A. Soil Extract Agar (Himedia, Mumbai-India) g l-1 1. Glukosa 1.00 2. Dipotassium phosphate 0.50 3. Ekstrak tanah 17.75 4. Agar-agar 15.00 pH: 6.8 ± 0.2 B. Nutrient Agar rendah nutrisi (NAln) 1.
2.
Nutrient Broth (Criterion, USA): 8 g l Gelatin peptone (5 g) Beef extract (3g) Agar-agar pH: 7.0
-1
g l-1 1%
15.00
C. Nutrient Agar rendah nutrisi dengan penambahan ekstrak tanah (NAln-SE) g l-1 1. Nutrient Broth (Criterion, USA): 8 g l-1 1% (w/v) Gelatin peptone (5 g) Beef extract (3g) 2. Ekstrak tanah 50% (v,v) 3. Agar-agar 15.00 pH: 7.0 D. Nutrient Agar rendah nutrisi dengan penambahan ekstrak akar tanaman jagung (NAln-RE) g l-1 -1 1. Nutrient Broth (Criterion, USA): 8 g l 1% (w/v) Gelatin peptone (5 g) Beef extract (3g) 2. Ekstrak akar tanaman jagung var BISI 2 25% (v,v) 3. Agar-agar 15.00 pH: 7.0 Media disterilisasi pada 121 0C selama 15 menit. Sebanyak 50 μg ml-1 antifungi Nystatin ditambahkan pada media.
76 Lampiran 4 Matriks sebaran nilai variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap I
77
Lampiran 5 Rerata nilai kumulatif variabel pertumbuhan tanaman jagung umur 30 hari pada penanaman tahap III
Perlakuan
TR D Kontrol 1 (TR K1) Kontrol 2
Jumlah daun (helai)
Variabel Pertumbuhan Panjang Lebar Tinggi Panjang Berat basah daun ke-7 daun ke-7 tanaman tanaman biomassa (cm) (cm) (cm) (cm) atas (g)
Berat kering biomassa atas (g)
Berat kering akar (g)
12.17 a 10.75 b
38.88 a 32.92 b
4.09 a 3.32 b
40.41 a 33.12 b
56.27 a 50.44 b
27.62 a 14.96 b
3.43 a 2.14 b
2.25 a 1.48 b
10.67 b
31.68 b
3.33 b
33.39 b
47.49 b
14.73 b
1,89 b
1.50 b
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey).
78
Lampiran 6 Ukuran T-RF hasil pemotongan enzim MspI yang muncul pada komunitas bakteri rizosfer tanaman jagung dengan pendekatan metagenom dan pengkulturan A. Metagenom Enzim
Jenis Sampel
Dye/Sample Peak
Sample File Name
MspI
TR D
B,15
TR A
TR K
K0
Marker
Size
Height
Area
1st_BASE_181667_ER_1.fsa FAM
89.4
257
1666
B,20
1st_BASE_181667_ER_1.fsa FAM
135.81
321
2422
B,26
1st_BASE_181667_ER_1.fsa FAM
190.65
145
834
B,38
1st_BASE_181667_ER_1.fsa FAM
449.49
405
3514
B,47
1st_BASE_181667_ER_1.fsa FAM
481.33
863
8515
B,49
1st_BASE_181667_ER_1.fsa FAM
485.12
1186
10687
B,50
1st_BASE_181667_ER_1.fsa FAM
487.85
1930
28185
B,52
1st_BASE_181667_ER_1.fsa FAM
491.4
611
5681
B,16
1st_BASE_181668_ER_2.fsa FAM
132.08
4900
26987
B,19
1st_BASE_181668_ER_2.fsa FAM
141.91
595
3510
B,23
1st_BASE_181668_ER_2.fsa FAM
151.09
797
6175
B,24
1st_BASE_181668_ER_2.fsa FAM
152.9
802
4666
B,42
1st_BASE_181668_ER_2.fsa FAM
481.3
259
2258
B,44
1st_BASE_181668_ER_2.fsa FAM
487.93
477
4592
B,16
1st_BASE_181669_ER_3.fsa FAM
144.75
1808
14180
B,20
1st_BASE_181669_ER_3.fsa FAM
153.64
735
4977
B,22
1st_BASE_181669_ER_3.fsa FAM
157.56
1247
6702
B,23
1st_BASE_181669_ER_3.fsa FAM
165.78
519
2949
B,34
1st_BASE_181669_ER_3.fsa FAM
487.99
378
3712
B,18
1st_BASE_181670_ER_4.fsa FAM
132.01
361
1975
B,27
1st_BASE_181670_ER_4.fsa FAM
487.92
420
3695
79 Lanjutan Lampiran 6 B. Pengkulturan Enzim
Jenis Sampel
Dye/Sample Peak Sample File Name
Marker Size
Height Area
MspI
TR D
B,31
1st_BASE_182290_ER_9.fsa
FAM
142.19
265
1742
B,34
1st_BASE_182290_ER_9.fsa
FAM
151.25
94
773
B,37
1st_BASE_182290_ER_9.fsa
FAM
200.74
93
581
B,42
1st_BASE_182290_ER_9.fsa
FAM
441.2
74
594
B,44
1st_BASE_182290_ER_9.fsa
FAM
459.2
237
2209
B,47
1st_BASE_182290_ER_9.fsa
FAM
485.39
551
7173
B,50
1st_BASE_182290_ER_9.fsa
FAM
491.59
380
3656
B,23
1st_BASE_182291_ER_10.fsa
FAM
142.21
1134
6170
B,24
1st_BASE_182291_ER_10.fsa
FAM
144.9
1906
11987
B,25
1st_BASE_182291_ER_10.fsa
FAM
151.35
271
1464
B,26
1st_BASE_182291_ER_10.fsa
FAM
153.85
341
2171
B,28
1st_BASE_182291_ER_10.fsa
FAM
165.69
136
1048
B,35
1st_BASE_182291_ER_10.fsa
FAM
485.11
218
2807
B,37
1st_BASE_182291_ER_10.fsa
FAM
491.69
439
4347
B,17
1st_BASE_182292_ER_11.fsa
FAM
142.21
1940
10713
B,19
1st_BASE_182292_ER_11.fsa
FAM
151.36
398
2485
B,35
1st_BASE_182292_ER_11.fsa
FAM
488.17
2024
20936
B,15 B,16
1st_BASE_182293_ER_12.fsa 1st_BASE_182293_ER_12.fsa
FAM FAM
142.21 151.36
7894 1166
45541 6961
TR A
TR K1
K0
80 Lampiran 7 Uji hipersensitivitas Pseudomonas sp. strain L485 pada daun tembakau. Sebagai kontrol positif digunakan bakteri patogen Xanthomonas oryzae. Strain L485 tidak menunjukkan respon HV berupa terbentuknya nekrosis seperti pada X. oryzae. Respon yang terbentuk serupa dengan yang ditunjukkan oleh medium King’s cair steril (kontrol negatif )
81 Lampiran 8 Reaksi perubahan warna yang dihasilkan oleh Pseudomonas sp. strain L485 pada uji produksi IAA (A) dan EPS (B) A
B
82
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan 31 Desember 1974 di Teros, Lombok Timur, NTB sebagai putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak H Abdul Kadir (alm) dan Ibu Hj Hadeniyah. Penulis menikah dengan M. Sukri Aruman, SPt dan dikaruniai putra putri yaitu M. Zamzami Sangga Firdaus dan Tiara Zahra Kamalia. Penulis menempuh pendidikan sarjana pada Jurusan Biologi, Fakultas MIPA Universitas Udayana, masuk melalui jalur Penelusuran Bibit Unggul Daerah (PBUD) dan lulus pada tahun 1997. Selanjutnya pada tahun 1999 menempuh pendidikan Magister Sains pada Sekolah Tinggi Ilmu Hayati, Institut Teknologi Bandung melalui beasiswa BPPS DIKTI. Pada tahun 2010, penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi program Doktor di Program Studi Mikrobiologi, Institut Pertanian Bogor, melalui beasiswa BPPS DIKTI. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar sejak tahun 2003 di Jurusan Biologi, Fakultas MIPA Universitas Mataram. Selain mengajar, penulis juga aktif sebagai anggota Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia dan Perhimpunan Mikologi Indonesia. Selama mengikuti pendidikan Doktor, penulis telah membuat dua tulisan dari hasil penelitian disertasi. Tulisan pertama berjudul ”Abundance of Culturable Bacteria Isolated from Maize Rhizosphere Soil Using Four Different Culture Media” dan telah diterbitkan pada jurnal Microbiology Indonesia 8(1): 33-40, 2014. Tulisan kedua berjudul ”Study of Maize Rhizobacterial Community from Lombok Dryland, Indonesia Using Cultivation-Dependent and T-RFLP Methods” dan diterima untuk diterbitkan pada jurnal Advances in Environmental Biology.