PENAPISAN FITOKIMIA DAN KAJIAN IN VITRO EKSTRAK DAUN KEMUNING (Murraya paniculata L. Jack) TERHADAP TRICHOSTRONGYLIDAE
GRESY EVA TRESIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul berjudul Penapisan Fitokimia dan Kajian in vitro Ekstrak Daun Kemuning (Murraya paniculata L. Jack) terhadap Trichostrongylidae adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Gresy Eva Tresia NIM D251150326
RINGKASAN GRESY EVA TRESIA. Penapisan Fitokimia dan Kajian in vitro Ekstrak Daun Kemuning (Murraya paniculata L. Jack) terhadap Trichostrongylidae. Dibimbing oleh DWIERRA EVVYERNIE dan RISA TIURIA. Nematoda saluran pencernaan terus menghambat produksi ternak ruminansia kecil karena resistensi obat cacing dan kurangnya produk yang efektif untuk pengendalian nematoda saluran pencernaan dalam tingkat produksi organik. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa herbal daun kemuning (Murraya paniculata L. Jack) memiliki kemampuan sebagai kandidat obat cacing pada ternak kambing PE laktasi dalam mengurangi telur tiap gram tinja (TTGT) dari Strongylida sebesar 43.67% dibandingkan dengan pemberian Oxfendazole 0.0005% secara oral sebagai kontrol. Untuk mengkonfirmasi hal tersebut, penelitian ini bertujuan menentukan dosis efektif dari daun kemuning dengan dua metode ekstraksi (infusa dan maserasi) dalam mereduksi Trichostrongylidae dan mengidentifikasi senyawa bioaktif yang terkandung dalam daun kemuning secara in vitro. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 11 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan tersebut terdiri dari kontrol, Oxfendazole (0.0005% dan 0.005%), ekstrak infusa daun kemuning dan ekstrak maserasi dengan level 1%, 3%, 5% dan 7% (b/v). Materi uji in vitro meliputi telur cacing dalam feses kambing PE laktasi, larva infektif dan cacing dewasa Trichostrongylidae. Tipe larva yang diamati adalah Trichostrongylus sp., Haemonchus sp., dan Cooperia sp. yang merupakan bagian famili Trichostrongylidae. Peubah yang diamati pada ekstrak adalah rendemen dan fitokimia secara kualitatif dan kuantitatif (flavonoid quarcetin, saponin, dan tanin). Peubah yang diamati pada uji in vitro adalah rataan jumlah kematian, persentase mortalitas, lethal time (LT50), dan lethal concentration terhadap perkembangan larva, larva infektif dan cacing dewasa Trichostrongylidae. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan sangat nyata (P<0.01) meningkatkan mortalitas dan mempercepat waktu kematian (lethal time) Trichostrongylidae. Semakin tinggi konsentrasi perlakuan maka efektifitasnya semakin tinggi. Ekstrak infusa memiliki rendemen 6.48% yang mengandung flavonoid quarcetin, saponin, tanin secara berturut-turut 0.53%, 2.38%, dan 1.35%. Ekstrak maserasi memiliki rendemen 2.87% yang mengandung flavonoid quarcetin, saponin, tanin secara berturut-turut secara berturut-turut 3.39%, 2.46%, dan 0.65%. Ekstrak infusa 7% memiliki rendemen dan kandungan tannin yang lebih tinggi dan lebih efektif dibanding ekstrak maserasi 7% dan Oxfendazole 0.005% terhadap perkembangan larva, larva infektif dan cacing dewasa Trichostrongylidae (masing-masing 93.14%, 94.39% dan 90%). Ekstrak maserasi 7% memiliki efektifitas terhadap perkembangan larva, larva infektif dan cacing dewasa Trichostrongylidae berturut-turut 72%, 84.34%, dan 86.64%. Konsentrasi ekstrak infusa dibutuhkan untuk menimbulkan mortalitas 50% pada perkembangan larva, larva infektif dan cacing dewasa masing-masing 1.78%, 3.10%, dan 4.12% sedangkan pada ekstrak maserasi masing-masing 6.77%, 3.77%, dan 5.65%. Konsentrasi 7% diprediksi dapat mereduksi 100% ttgt selama 6-7 hari secara in vivo. Simpulan dari penelitian ini bahwa secara in vitro 7%
ekstrak infusa daun kemuning dapat dikembangkan sebagai kandidat terbaik herbal obat cacing dalam mengendalikan infeksi Trichostrongylidae. Kata kunci : infusa, kemuning, maserasi, tanin, Trichostrongylidae
SUMMARY GRESY EVA TRESIA. Phytochemical Screening and in vitro Analysis Extract Kemuning Leaves (Murraya paniculata L. Jack) of Trichostrongylidae. Supervised by DWIERRA EVVYERNIE and RISA TIURIA. Gastrointestinal nematodes (GIN) continue to hinder small ruminant production because of anthelmintic resistance and lack of effective products for GIN control in organic production. In previous research, a herbs kemuning leaves (Murraya paniculata L. Jack) has capability as an anthelmintic candidate for PE dairy goats lactation by reducing 43.67% of the egg per gram (EPG) of Strongylida compared to 0.0005% oxfendazole orally as control. To confirm it, the aim of this in vitro research was to determine the effective dosage of the kemuning leaves from two extraction methods (infuse and maceration) to reduce the Trichostrongylidae and to evaluate the bioactive compounds of the leaves. This study used randomized complete design (RCD) with 11 treatments and 5 replicates. The treatment consisted of the control control, Oxfendazole (0.0005% and 0.005%), kemuning leaves infuse extract and maceration extract with level of each 1%, 3%, 5% and 7% (w/v). Materials for analysis in vitro were egg strongylid in feces etawah crossbreed goat, larva infective, and worm adult of Trichostrongylidae. The parameters of extract were measured yield extracts and screening phytochemicals as qualitative and quantitative (flavonoids quarcetin, saponins, tannins). The parameters in vitro were the average number of mortality, the percentage of mortality, lethal time, and lethal concentration of the larva development, the larva infective, and the adult worms Trichostrongylidae. Type of larvae were observed Trichostrongylus sp., Haemonchus sp., and Cooperia sp. which was part Trichostrongylidae’s family. The results showed that the treatments were significantly (P <0.01) increased mortality and accelerate lethal time. The higher the concentration extract kemuning have higher effectiveness. Infuse extract has yield 6.48% contain flavonoids quarcetin, saponins tannins 0.53%, 2.38%, and 1.35%, respectively.. Maceration extract had yield 4.04% contain flavonoids quarcetin, saponins tannins 3.39%, 2.46%, and 0.65%. The 7% kemuning leaves infuse extract, which had high yield and tannin was more effective than kemuning leaves maceration extract at 7% and Oxfendazole at 0.005% against larval development, the infective larvae and adult worms Trichostrongylidae (93.14%, 94.39% and 90%, respectively). Maceration extract concentration of 7% has effective against larval development, the infective larvae and adult worms Trichostrongyloidae 72%, 84.34% and 86.64%, respectively. Concentration of extract infuse caused 50% mortality in the larval development, the infective larvae and adult worms were 1.78%, 3.10%, and 4.12%, respectively while the maceration extract was 6.77%, 3.77%, and 5.65%. 4.12%, respectively and at concentration at 7% can be predicted to decrease 100% epg for 6-7 days in vivo. As conclusion from this in vitro research, the 7% kemuning leaves infuse extract was able promoted as the best candidate of herbs anthelmintic in controlling infections of Trichostrongylidae. Key words : infuse, kemuning, maceration, tannin, Trichostrongylidae
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENAPISAN FITOKIMIA DAN KAJIAN IN VITRO EKSTRAK DAUN KEMUNING (Murraya paniculata L. Jack) TERHADAP TRICHOSTRONGYLIDAE
GRESY EVA TRESIA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Indah Wijayanti STP MSi
Judul Tesis : Penapisan Fitokimia dan Kajian in vitro Ekstrak Daun Kemuning (Murraya paniculata L. Jack) terhadap Trichostrongylidae Nama : Gresy Eva Tresia NIM : D251150326
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc Ketua
Drh Risa Tiuria, MS PhD Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Yuli Retnani MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 8 Agustus 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2015 ini ialah antelmintika herbal, dengan judul Penapisan fitokimia dan kajian in vitro ekstrak daun kemuning (Murraya paniculata L. Jack) terhadap Trichostrongylidae. Bagian dari tesis ini sedang dalam proses penerbitan pada di Media Peternakan sebagai publikasi yang berjudul “Phytochemical Screening and in vitro Ovicidal, Larvacidal, Nematicidal Murraya paniculata [L.] Jack Extract on Gastrointestinal Parasites on Goat”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Dwierra Evvyernie MS MSc dan Ibu drh Risa Tiuria MS PhD selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, motivasi dan dukungan dana penelitian mandiri. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr Indah Wijayanti STP MSi dan Dr Ir Lilis Khotijah MSi selaku penguji yang telah banyak memberi saran untuk penyempurnaan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr drh Eva Herlina MSi yang berperan penting dalam penentuan topik penelitian dan Ketua program studi INP Prof Dr Ir Yuli Retnani MSc atas saran selama proses pendidikan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Eman staf dari Laboratorium Helmintologi, staf pascasarjana, teman-teman Sinergi INP angkatan ke-3 (Fast Track) dan kelas INP 2014 atas motivasi dan bantuannya. Ungkapan terima kasih terdalam juga disampaikan kepada ayahanda Paimin Sitorus, ibunda Senti Situmorang atas segala doa, limpahan kasih sayang, bimbingan moral dan materi yang tiada henti kepada penulis. Terimakasih juga kepada Bang Henry, Bang Gerry, Andreas, Rika dan Juan serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016 Gresy Eva Tresia
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian
1 1 2
2 METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Rancangan Percobaan dan Analisis Data
2 2 3 3 9
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Ekstraksi terhadap Kandungan Bioaktif dan Rendemen Ekstrak Daun Kemuning Pengaruh Ekstrak Daun Kemuning terhadap Pekembangan Larva Trichostrongylidae in vitro Pengaruh Ekstrak Daun Kemuning terhadap Larva Infektif Trichostrongylidae in vitro Pengaruh Ekstrak Daun Kemuning terhadap Cacing Dewasa Trichostrongylidae in vitro Lethal Concentration Ekstrak Daun Kemuning terhadap Trichostrongylidae Prediksi Kebutuhan Tepung Daun Kemuning secara in vivo
10 10 12 14 15 18 19
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
20 20 20
DAFTAR PUSTAKA
20
LAMPIRAN
25
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5.
Komponen bioaktif dan rendemen tepung dan ekstrak daun kemuning Rataan jumlah larva hidup dan persentase mortalitas perkembangan larva Trichostrongylidae Rataan waktu, jumlah kematian dan persentase mortalitas larva Trichostrongylidae Rataan waktu, jumlah kematian dan persentase mortalitas cacing Trichostrongylidae (Haemochus contortus) Lethal concentration ekstrak daun kemuning (%) terhadap Trichostrongylidae
11 13 15 16 19
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4.
Proses ekstraksi infusa Proses ekstraksi maserasi Pengujian in vitro Ekstrak Daun Kemuning terhadap Trichostrongylidae Mekanisme Saponin, Flavonoid dan Tanin sebagai Antelmintika
4 4 9 17
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Identifikasi larva infektif Hasil sidik ragam mortalitas perkembangan larva infektif Hasil sidik ragam kumulatif perkembangan larva infektif Hasil sidik ragam persentase mortalitas larva infektif Hasil sidik ragam jumlah kematian larva infektif Hasil sidik ragan Lethal Time (LT50) larva infektif Hasil sidik ragam persentase mortalitas cacing dewasa H.contortus Hasil sidik ragam jumlah kematian cacing dewasa H.contortus Hasil sidik ragam Lethal Time (LT50) cacing dewasa H.contortus Hasil uji lanjut Duncan mortalitas perkembangan larva infektif Hasil uji lanjut Duncan kumulatif perkembangan larva infektif Hasil uji lanjut Duncan persentase mortalitas larva infektif Hasil uji lanjut Duncan jumlah kematian larva infektif Hasil uji lanjut Duncan Lethal Time (LT50) larva infektif Hasil uji lanjut Duncan persentase mortalitas cacing dewasa H.contortus Hasil uji lanjut Duncan jumlah kematian cacing dewasa H.contortus Hasil uji lanjut Duncan Lethal Time (LT50) cacing dewasa H.contortus Hasil uji goodness of fit perkembangan larva Hasil uji goodness of fit larva infektif Hasil uji goodness of fit cacing dewasa H.contortus
25 25 25 25 25 26 26 26 26 26 27 27 28 28 29 29 29 30 30 30
21. 22. 23. 24. 25. 26.
Hasil uji regresi perkembangan larva Hasil uji regresi larva infektif Hasil uji regresi cacing dewasa H.contortus Spray dryer, daun kemuning, serbuk ekstrak infusa daun kemuning Rotary evaporator, ekstrak maserasi daun kemuning Pupukan Feses untuk uji larva infective Assay, vermiculite, pemanenan larva 27. Pupukan Feses untuk uji in vitro LDA, Mikroskop
30 30 31 31 31 32 32
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemeliharaan kambing merupakan salah satu upaya alternatif diversifikasi ternak penghasil susu atau daging disamping ternak sapi dalam pemenuhan kebutuhan susu dan daging di Indonesia. Usaha untuk meningkatkan produktivitas ternak seringnya dibatasi oleh dua hal yakni nutrisi dan kesehatan, sehingga untuk mengoptimalkan produktivitas kambing perlu diiringi dengan perbaikan kualitas dan kuantitas pakan serta manajemen kesehatan terpadu. Permasalahan yang sering dihadapi dalam pengembangan ternak kambing salah satunya penyakit kecacingan. Prevalensi penyakit kecacingan pada ternak kambing dan domba di Jawa Barat dilaporkan sekitar 80%, dengan derajat infeksi yang cukup tinggi terutama pada musim hujan (Beriajaya dan Stevenson 1986). Penyakit kecacingan (nematodiasis) menyebabkan tingginya kompetisi dalam nutrien dan kerusakan jaringan yang berasosiasi dengan menurunnya performa ternak, yaitu dapat menurunkan bobot badan dan menurunkan produktivitas susu ternak kambing sebesar 6.25%–21.5%, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi peternak (Alberti et al. 2012). Infestasi cacing pada saluran pencernaan kambing biasanya merupakan kelas Nematoda, Ordo Strongylida dengan Family Trichostrongylidae (Zanzani et al. 2014; Beriajaya dan Copeman 1997). Salah satu spesies dari Trichostrongylidae adalah Haemonchus contortus. Haemonchus contortus dapat menyebabkan gejala kronis dan morbiditas yang tinggi pada semua ruminansia, sehingga terdapat kebutuhan yang mendesak harus hadir dalam manajemen pemeliharaan untuk mengendalikan infeksi (Miller dan Horohov 2006). Pencegahan terhadap penyakit kecacingan yaitu dengan perbaikan tata laksana pemeliharaan, pemeriksaan feses secara berkala, pemberian obat cacing sesuai dengan dosis dan periode yang direkomendasikan, rotasi atau penggantian jenis obat cacing yang digunakan. Penanggulangan infeksi cacing dapat ditekan dengan melakukan tindakan pemberian obat cacing (antelmintika). Jenis antelmintika yang biasa digunakan berasal dari obat sintetis dapat menimbulkan beberapa efek samping yang merugikan seperti timbulnya galur cacing yang resisten terhadap obat cacing dan residu pada produk asal ternak (Kinsella et al. 2009). Kasus resistensi cacing yang pernah dilaporkan terjadi antara lain Oesophagostonum spp. yang menginfeksi babi, resisten terhadap Pyrantel dan Levamisol atau kasus Cyathostomes pada kuda resisten terhadap Benzimidazol (Dargatz et al. 2000), dan kasus Haemonchus contortus pada domba resisten terhadap Benzimidazol di daerah Kendal (Jawa Tengah), Ciomas (Jawa Barat) dan Dramaga (Jawa Barat) dengan resistensi tersebut berkisar antara 8-17% (Beriajaya 2002). Kasus resistensi tersebut kemungkinan besar karena penggunaan obat cacing yang terlalu sering dalam satu tahun (5-12 kali) (Dargatz et al. 2000). Oleh karena itu resiko dari obat sintetis ini telah mendorong pencarian bahan aktif baru yang tidak toksik dan lebih efisien. Salah satu alternatif tersebut mungkin dengan penggunaan tanaman obat. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi salah satunya banyaknya tanaman herbal. Salah satu tanaman herbal
2 yang potensial sebagai antelmintika adalah tanaman kemuning. Keampuhan herbal dapat diketahui dari hilangnya gejala klinis dan performa yang lebih baik. Hilangnya gejala klinis biasanya diketahui dari pengalaman yang diturunkan secara turun temurun, tetapi hal ini belum banyak dibuktikan secara ilmiah. Kemuning termasuk Kelas Magnoliopsida, Ordo Geraniales, Famili Rutaceae, Genus Murraya, Spesies Murraya paniculata. Senyawa aktif yang terkandung dalam daun kemuning berbeda di setiap pelarut/penyari dan media tanamnya (Gautam et al. 2012; Vaghasiya et al. 2012; Syahadat dan Aziz 2012). Senyawa aktif yang umumnya terdapat di dalam daun kemuning adalah flavonoid, saponin, dan tanin, sehingga daun ini dapat dijadikan antikanker, antimikroba, antoioksidan, antidiabetes (Ng et al. 2012) Pada penelitian sebelumnya, penggunaan tepung daun kemuning (Murraya paniculata L. Jack) sebesar 0.7% di dalam ransum kambing PE laktasi dengan rataan produksi susu 940 ml-1ekor-1hari1 yang terinfeksi parasit cacing alami ordo Strongylida, mampu mereduksi telur tiap gram tinja (TTGT) sebesar 21.28% pada minggu keempat (Winarni et al. 2014). Peningkatan reduksi TTGT selama 5 minggu menjadi 43.6% ketika konsentrasi tepung daun kemuning ditingkatkan menjadi 1% dengan kontrol yang digunakan berupa Oxfendazole pada kambing PE laktasi dengan rataan produksi susu 861 ml-1ekor-1hari-1yang terinfeksi parasit cacing alami ordo Strongylida (Tresia et al. 2015). Efek positif pada ternak dari kedua penelitian tersebut adalah terdeteksinya perbaikan profil darah mendekati normal dan berkurangnya sel-sel somatic dalam air susu ternak, sehingga meskipun belum dapat meningkatkan produksi susu, perbaikan kesehatan ternak telah terpacu dengan pemberian tepung daun kemuning di dalam ransum kambing PE laktasi. Berdasarkan penelitianpenelitian tersebut tampak bahwa pemberian daun kemuning belum memiliki dosis yang mampu mengurangi efek kecacingan secara signifikan, oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan pengujian dosis efektif secara in vitro tentang penggunaan daun kemuning dalam bentuk ekstrak yang tepat agar dapat mengoptimalkan kandungan senyawa bioaktif yang berperan sebagai antelmintika, sehingga dapat menghambat berkembangnya larva sampai reduksi cacing dewasa. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh metode ekstraksi yang berbeda (maserasi dan infusa) terhadap kandungan senyawa fitokimia dan aktivitas antelmintika terhadap Trichostrongylidae secara in vitro. Selain itu, menentukan konsentrasi yang paling efektif terhadap Trichostrongylidae.
2 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen IPHK FKH IPB; Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Seafast Center LPPM IPB; Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB; Laboratorium Balai Penelitian
3 Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro); dan Laboratorium Balai Penelitian Ternak (Balitnak). Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan yakni pada bulan Desember 2015 sampai dengan April 2016.
Materi Alat-alat yang digunakan adalah TLC Scanner, Spektrofotometer, shaker, timbangan, evaporator, jarum ose, mikroskop, spot plate, cawan petri, pengaduk, saringan, stopwatch, gunting, dan plastik. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung daun kemuning, akuades, etanol 96%, folin denis, Na2CO3 anhidrat denis, asam tanat, aluminium sheet silika gel 60 GF 254, CHCl3, alumunium foil, kloroform, H2SO4, reagen Dragendorf, Mayer, Wagner, metanol NaOH 10%, FeCl3 1%, NaCl fisiologis 0.9%, feses kambing PE, cacing Haemonchus contortus dan larva Trichostrongylidae. Prosedur Penelitian 1.
Persiapan Ekstrak dan Penapisan Fitokimia
Pembuatan Ekstrak Daun Kemuning Ekstraksi dilakukan untuk mendapatkan komponen bioaktif yang terkandung dalam daun kemuning. Daun kemuning yang digunakan merupakan daun kemuning yang diperoleh dari perkebunan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Jawa Tengah dan dikirim dalam bentuk tepung. Tepung daun kemuning diekstraksi dengan 2 metode yakni infusa dan maserasi serta dengan 2 penyari yaitu akuades dan etanol. a. Metode Infusa (Depkes 2000). Pembuatan sediaan infus daun kemuning dilakukan dengan cara menimbang tepung daun kemuning dan ditambahkan pelarut akuades dengan perbandingan daun kemuning dan aquades adalah 1:10 (b/v) di dalam panci infus, diaduk dan dipanaskan di atas penangas air selama 15 menit sejak suhu mencapai 90oC. Panci infus diangkat dan didinginkan, kemudian disaring dengan kain flanel, proses infusa dilakukan pengulangan pada tepung daun kemuning yang sama. Filtrat dipisahkan menggunakan penyaring kemudian dipekatkan dengan proses spray drying (mini spray dry Buchi 190). Ekstrak tersebut digunakan untuk pengujian in vitro. Proses pembutan ekstrak infusa yang dilakukan dengan alur seperti pada Gambar 1. b. Metode Maserasi (Depkes 2000). Tepung daun kemuning dengan pelarut etanol 96% perbandingan 1:10 (b/v), lalu dimasukkan ke dalam Erlemenyer didiamkan selama 24 jam, kemudian disaring. Proses maserasi dilakukan pengulangan pada tepung daun kemuning yang sama. Pelarut diuapkan menggunakan vacum rotary evaporator merk Buchi Rotavapor R-205 dengan suhu 55 ᵒC hingga diperoleh ekstrak pekat. Ekstrak tersebut akan dingunakan untuk pengujian in vitro. Proses dari ekstraksi maserasi yang dilakukan dengan alur seperti pada Gambar 2.
4
Gambar 1 Proses ekstraksi infusa
Gambar 2 Proses ekstraksi maserasi Pengujian Fitokimia (Harbone 1987) Analisa fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa aktif yang terdapat pada simplisia tepung daun kemuning dan ekstrak daun kemuning
5 secara kualitatif. Hasil analisa dengan senyawa aktif terbanyak akan diuji secara kuantitatif. a. Uji alkaloid. Sampel ekstrak/tepung daun kemuning dilarutkan dengan 10 mL kloroform-amoniak setelah itu disaring. Filtrat yang diperoleh ditetesi H2SO4 2N, kemudian dikocok sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan asam (tak berwarna) dipipet ke dalam tabung reaksi lain, kemudian larutan dibagi 3. Masing-masing larutan ditambahkan beberapa tetes reagen Dragendrorf, Mayer dan Wagner. Uji akan positif alkaloid apabila menghasilkan endapan yang berwarna orange setelah ditambah reagen Dragendrorf, endapan putih kekuningan setelah ditambah reagen Mayer dan endapan coklat setelah ditambah reagen Wagner. b. Uji flavonoid. Sampel ekstrak/tepung daun kemuning ditambahkan beberapa mL (terendam) etanol atau akuades kemudian dipanaskan sampai mendidih lalu disaring. Kemudian ditambahkan NaOH 10% dan akan muncul warna kuning. Setelah itu, akan warna akan memudar jika ditambahkan H2SO4 pekat yang menandakan positif adanya flavonoid. c. Uji Saponin dan Tanin. Sampel ekstrak/ tepung daun kemuning dilarutkan dengan akuades panas kemudian dipanaskan sampai mendidih. Kemudian disaring dan filtrat dibagi 2 ke dalam tabung reaksi. Bagian pertama untuk uji saponin larutan dibiarkan dulu agak dingin kemudian dikocok secara vertikal, apabila timbulnya busa yang stabil setinggi lebih kurang 1 cm selama 10 menit menandakan positif adanya saponin. Pada tabung reaksi kedua filtrat ditambahkan FeCl3 1% bila menghasilkan warna hijau, biru, hitam menandakan positif adanya tanin. d. Uji Triterpenoid dan Steroid. Sampel ekstrak/tepung daun kemuning dilarutkan dengan 25 ml etanol panas (50 ᵒC) kemudian hasilnya disaring ke dalam pinggan porselin dan diuapkan sampai kering. Residu ditambahkan eter dan ekstrak eter di pindahkan ke dalam lempeng tetes kemudian ditambahkan 3 tetes anhidrida asam asetat dan 1 tetes H2SO4 pekat (Uji LiebermanBurchard). Warna merah ungu menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan warna hijau positif mengandung steroid. Pengujian Fitokimia Kuantitatif (Flavonoid Quarcetin, Tanin, Saponin) Tingkat intensitas warna pada pengujian kualitatif yang positif kemudian diuji secara kuantitatif meliputi pengujian flavonoid quarcetin, saponin dan tanin dengan metode sebagai berikut : a. Analisis Flavonoid (sebagai quarcetin) (Depkes 2009). Sampel sebanyak 1 gram ditambahkan aquades dan direfluks selama 3 jam lalu diencerkan ke labu takar 500 mL. Setelah itu, larutan disaring menggunakan kertas saring, dipipet sebanyak 1 mL dan ditambahkan folin denis sebanyak 2 mL, Na2CO3 anhidrat denis sebanyak 5 mL. Kemudian larutan tersebut ditera dengan aquades dalam labu takar 100 mL. Larutan deretan strandar dibuat dengan konsentrasi 0 pm, 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4
6 ppm, 5 ppm dari standar induk asam tanat 100 ppm. Sampel dan standar diukur menggunakan spektrofotometer Hitachi U-2000 250 V dengan panjang gelombang 725 nm. [
s
s s
s
s s
x konsentrasi saponin standar (g x 10-2 g) x faktor pengenceran]
b. Analisis Saponin (Depkes 2009). Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL dan ditambahkan aquades hingga seperempat volume labu, kemudian dikocok dengan menggunakan shaker selama 2 jam. Setelah 2 jam, volume ditepatkan sampai tanda tera (25 mL) dan disimpan selama 24 jam. Filtrat disaring dan ditotolkan pada lempeng aluminium sheet silika gel 60 GF 254 sebanyak µL dengan menggunakan bahan pembanding saponin yang dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 190 ppm sebanyak 5 µL. Elusi dengan menggunakan eluen perbandingan CHCl3 : etanol adalah 49 : 1 yang ditambahkan beberapa tetes etil asetat sampat batas eluen ±15 cm. Setelah selesai dielusi, lempeng KLT dibiarkan kering dan diukur dengan menggunakan alat Thin Layer Chromatography (TLC) scanner Camag 3 pada panjang gelombang 292 nm. c. Analisa Tanin (Depkes 2009). Larutan standar dari asam tanat dengan konsentrasi 0.1 mg/mL diambil sebanyak 0.02 mL, 0.04 mL, 0.06 mL, 0.08 mL dan 0.10 mL lalu ditambahkan akuades hingga 0.5 mL kemudian ditambah 0.25 mL pereaksi Folin-Ciocalteu dan 1.25 mL larutan NaCO3. Setelah itu, larutan divortex selama 40 menit dan diukur absorbansnya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 725 nm. Larutan contoh diencerkan sebanyak 6 kali lalu diambil sebanyak 0.05 mL dijadikan 0.5 mL dengan penambahan akuades. Setelah itu, larutan contoh diperlakukan sama dengan larutan standar. Setelah itu dilakukan perhitungan konsentrasi tanin sampel dengan prosedur perhitungan sebagai berikut : [
s
s s
s
s s
x konsentrasi tanin standar (g x 10-2 g) x faktor pengenceran]
2. Pengujian in vitro Ekstrak Daun Kemuning terhadap Perkembangan Larva, Larva Infektif dan Cacing Dewasa Trichostrogylidae Pengambilan Sampel Feses Sampel feses diambil sebanyak 3 kali. Sampel diambil langsung dari anus 12 ekor kambing sebanyak 4 gram tiap ekor untuk analisa telur tiap gram tinja (TTGT). Pengambilan feses kedua diambil sebanyak 300 gram dari 4 ekor kambing dengan derajat TTGT paling tinggi (nilai TTGT lebih dari 2000 strongylid) diantara 12 ekor untuk pengujian larva infektif. Pengambilan feses ketiga sebanyak 140 gram dari satu ekor kambing untuk pengujian larva development assay (LDA). Analisis Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) (Permin dan Hansen 1998) Sampel tinja sebanyak 4 gram dilarutkan larutan pengapung (gula garam tidak jenuh), lalu dihomogenkan, dibiarkan selama 30 menit dan disaring. Sebanyak 0.3 mL supernatan dimasukkan ke dalam kamar hitung Mc Master dengan tiap kamar volumenya 0.15 mL. Setelah 3-5 menit, diamati dibawah
7 mikroskop dengan perbesaran 10 x 10. Rumus perhitungan telur cacing tiap gram tinja (TTGT) sebagai berikut : TTGT =
x
Keterangan : n : jumlah telur cacing dalam kamar hitung bt : berat tinja (g) Vtotal : volume larutan pengapung dan feses (mL) Vhitung : volume McMaster In vitro Perkembangan Larva / Larval Development Assay (Molan et al. 2003) Larva infektif diperoleh dari pembiakan telur cacing dari feses ternak kambing yang terinfeksi alami. Sampel tinja sebanyak 4 gram tinja dilumatkan dengan sendok, lalu dicampur dengan medium vermiculite sebagai penahan kelembapan dengan rasio volumenya 1:3. Setelah itu, campuran tersebut ditambahakan ditambahkan perlakuan (ekstrak daun kemuning atau oxfendazole), kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri diameter 7 cm yang dialasi kertas Whatman. Permukaannya diratakan, ditutup dan dibiarkan selama satu minggu. Bila tinja terlalu kering sebaiknya dibasahi dengan akuades, karena bila terlalu kering larva akan cepat mati sedangkan bila terlalu basah telur hanya sedikit yang menetas. Pupukan dieramkan pada suhu 25 ᵒC – 29 ᵒC atau suhu kamar. Setelah 7 hari larva dipanen dengan metode modifikasi Baerman (1917) selama 12 jam. Sebanyak 20 mL larutan yang mengandung larva tersebut diambil. Kemudian sebanyak 0.1 mL larutan tersebut diaambil dan dipindahkan ke 10 kaca objek dengan volume 0.01 mL tiap kaca objek dan diamati di bawah mikroskop (Nikon YS 100) dengan perbesaran 10 x 10. Proses pengujian ekstrak terhadap perkembangan larva secara in vitro dilakukan dengan alur seperti pada Gambar 3. Rumus untuk menghitung jumlah larva infektif dalam 20 mL larutan sebagai berikut ini. N1 = Keterangan : N1 = Jumlah larva infektif 20 mL N2 = Jumlah larva infektif 10 mL V1 = Volume larutan 20 mL V2 = Volume larutan 0.1 mL Pemupukan Larva Infektif (Molan et al. 2003) Sampel tinja sebanyak 300 gram dicampur medium vermiculite dengan rasio volumenya 1:3 dan dimasukan ke dalam cawan petri diameter 25 cm. Permukaannya diratakan, ditutup dan dibiarkan selama satu minggu, bila tinja terlalu kering dibasahi dengan akuades dan dieramkan selama 7 hari. Pemanenan Larva Infektif ( Modifikasi Metode Baermann 1917) Larva hasil pemupukan dipanen dengan menggunakan metode Baermann. Pupukan feses dimasukkan ke dalam wadah kemudian ditutup dengan saringan dan gelas mineral 240 mL yang telah dipotong ujungnya lalu, dijepit di gelas
8 Baermann yang telah diisi akuades sebelumnya ±280 mL. Selanjutnya ditunggu 12 jam, maka larva akan terendap dalam gelas Baermann dan bisa ditampung dengan membuka jepitannya. Cairan hasil penyaringan kurang lebih 20 mL dipindahkan dalam botol. Pengujian Larva Infektif / Larval Infective Assay (Dey et al. 2015) Sebanyak 0.01 mL cairan mengandung larva infektif diambil dan dimasukkan counting plate diameter 2 cm dan ditambahkan perlakuan. Jumlah larva diamati dibawah mikroskop perbesaran 4 x 10 dengan jumlahnya sebanyak 60-130 ekor larva infektif. Setiap jam selama 4 jam jumlah larva diamati. Proses pengujian ekstrak terhadap larva infektif secara in vitro dilakukan dengan alur seperti pada Gambar 3. Identifikasi Larva Infektif Trichostrongylidae (van Wyk dan Mayhew 2013) Sebanyak 0.01 mL cairan mengandung larva infektif diambil dengan mikropipet dipindahkan ke kaca objek dan ditambahkan lugol dan diamati di bawah mikroskop (Nikon Eclipse E600) perbesaran 10 x 10 dengan jumlah larva yang diamati 100 ekor dan sebanyak 3 ekor tiap jenis larva diukur panjang dan diamaternya dengan menggunakan mikroskop yang terhubung visual scaler (SVS 3000) dan monitor. Larva dibedakan berdasarkan ada tidaknya selubung, bentuk kepala, ada tidaknya refraktil, dan ukuran selubung ekor. Pengambilan Cacing Dewasa Trichostrongylidae (Beriajaya et al. 1998) Cacing dewasa dikoleksi dari abomasum dan usus halus kambing yang berasal dari Rumah Potong Hewan (RPH) Empang, Bogor. Abomasum kambing dibuka menggunakan gunting, kemudian isinya ditampung kedalam wadah berisi NaCl fisiologis isotonis 0.9 % (b/v). Selanjutnya wadah dibawa ke laboratorium Helmintologi untuk dilakukan pemisahan cacing dari isi abomasum,kemudian dengan pinset halus dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah diisi 10 mL NaCl isotonis. Identifikasi Cacing Dewasa Haemonchus contortus Identifikasi cacing dewasa Trichostrongylidae berdasarkan Manual of Veterinary Parasitological Laboratory Techniques (1971). Cacing Trichostrongylidae yang ditemukan pada sampel isi abomasum kambing dapat dibedakan dari ukuran, dan jenis kelamin cacing. Cacing dewasa yang digunakan adalah cacing betina dengan perbedaan jantan dan betina dilihat dari ukuran, warna dan alat kelamin yang diamati di bawah mikroskop perbesaran 4 x 10. Pengujian Ekstrak terhadap Cacing Dewasa Tipe Trichostrongylidae / Nematicidal Assay) (Beriajaya et al. 1998) Sebanyak 10 ekor cacing dewasa betina dimasukkan ke dalam cawan Petri diameter 9 cm yang masing-masing telah berisi 10 ml larutan sediaan ekstrak infus atau maserasi daun kemuning dalam berbagai konsentrasi dengan dilakukan 5 kali pengulangan. Cawan kontrol hanya berisi NaCl fisiologis dan tidak ditambahkan ekstrak daun kemuning maupun Oxfendazole. Kematian cacing diamati selama 24 jam dengan setiap 30 menit selama 6 jam. Cacing yang mati diamati kembali dengan ditandai dengan tidak bergeraknya tubuh cacing bila
9 disentuh. Proses pengujian ekstrak secara in vitro dilakukan dengan alur seperti pada Gambar 3.
Gambar 3 Pengujian in vitro Ekstrak Daun Kemuning terhadap Trichostrongylidae Rancangan Percobaan dan Analisis Data Perlakuan Penelitian ini terdiri dari 11 perlakuan dengan 5 ulangan. Perlakuan yang digunakan masing-masing terdiri dari : P0 = Kontrol (tanpa ekstrak daun kemuning atau oxfendazole) P1 = Ekstrak infusa daun kemuning konsentrasi 1% P2 = Ekstrak infusa daun kemuning konsentrasi 3% P3 = Ekstrak infusa daun kemuning konsentrasi 5% P4 = Ekstrak infusa daun kemuning konsentrasi 7% P5 = Ekstrak maserasi daun kemuning konsentrasi 1% P6 = Ekstrak maserasi daun kemuning konsentrasi 3% P7 = Ekstrak maserasi daun kemuning konsentrasi 5% P8 = Ekstrak maserasi daun kemuning konsentrasi 7% P9 = Oxfendazole konsentrasi 0.0005% P10 = Oxfendazole konsentrasi 0.005% Analisis data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 11 perlakuan dan 5 ulangan. Analisis data menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan jika perlakuan berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan menggunakan SPSS 16.0, sedangkan untuk lethal concentration menggunakan analisa probit Minitab 14.0. Model matematika RAL sebagai berikut: Yij = μ + τi + εij Keterangan Yij = Respon pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = Rataan umum
:
10 τi = Pengaruh perlakuan ke-i ε j = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Peubah Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah 1. Rendemen s
Rendemen ekstrak =
x 100%
2. Kandungan kualitatif dan kuantitatif senyawa fitokimia tepung daun kemuning dan ekstrak daun kemuning 3. Rataan jumlah kematian cacing dewasa, larva infektif dan perkembangan larva Trichostrongylidae (ekor). 4. Persentase kematian (%) % Kematian =
x 100%
5. Larva Development Assay (LDA) LDI =
-j j
6. Lethal Time (LT50) LT50 adalah waktu yang dibutuhkan untuk menimbulkan kematian pada 50% jumlah cacing pada konsentrasi tertentu dengan menggunakan persamaan regresi linear. 7. Lethal Concentration Dosis ekstrak daun kemuning yang efektif ditentukan dengan penghitungan lethal concentration 50% (LC50), 60% (LC60), 70% (LC70), 80% (LC80), dan 90% (LC90) yaitu konsentrasi yang diperlukan untuk dapat membunuh persentase mortalitas tersebut pada waktu tertentu dengan menggunakan analisa probit.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Ekstraksi terhadap Kandungan Bioaktif dan Rendemen Ekstrak Daun Kemuning Khasiat dari tumbuhan herbal berhubungan dengan komponen kimia bersifat aktif yang terdapat pada tumbuhan tersebut, terutama kandungan senyawa metabolit sekunder. Tabel 1 menunjukkan rendemen yang lebih tinggi dan komponen bioaktif secara kualitatif lebih beragam dalam ekstrak infusa daun kemuning dibanding tepung daun kemuning maupun ekstrak maserasi daun kemuning, namun kandungan flavonoid sebagai quarcetin lebih rendah 2.73% dan saponin lebih rendah 0.08% serta tanin lebih tinggi 0.7% pada ekstraksi dengan metode infusa dibanding maserasi sehingga mengindikasikan bahwa metode
11 maserasi lebih baik dalam menyari flavonoid jenis quarcetin dan saponin namun tidak pada kandungan tanin dibanding metode infusa. Hal ini juga menunjukkan bahwa banyaknya kandungan flavonoid jenis lain selain quarcetin yang terkandung dalam ekstrak infusa. Banyaknya senyawa bioaktif dan tingginya rendemen pada ekstrak infus kemungkinan disebabkan oleh lebih mudahnya senyawa bioaktif (tanin, flavonoid dan alkaloid) yang tersaring di dalam ekstrak penyari pada infusa dibandingkan dengan penyari pada maserasi atau dengan kata lain lebih banyak zat yang tersaring. Banyaknya zat yang terlarut dipengaruhi oleh perbedaan daya larut dalam proses ekstraksi. Faktor perbedaan daya larut ini disebabkan oleh kepolaran pelarut dan zat terlarut serta pemanasan. Pelarut yang baik adalah pelarut yang memiliki daya melarutkan yang tinggi terhadap zat terlarut dengan dapat melarutkan zat tertentu sesuai dengan kepolaran, pelarut akuades merupakan pelarut polar sedangkan etanol merupakan pelarut semipolar. Dengan demikian, ekstrak daun kemuning (EDK) ini tergolong ekstrak yang bersifat polar karena lebih banyak tersari dalam pelarut polar (akuades). Selain perbedaan kepolaran pelarut, adanya pengaruh proses pemanasan pada sedian infus dapat meningkatkan daya larut sehingga menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibanding sediaan maserasi. Namun dampak pemanasan juga dapat menurunkan kandungan tanin. Rehman dan Shah (2005) juga melaporkan bahwa konsentrasi tanin akan menurun 0.20-1.40% akibat pemanasan (suhu 121 ᵒC) selama 10 menit. Tabel 1 Komponen bioaktif dan rendemen tepung dan ekstrak daun kemuning Parameter
TDK*) Ekstrak Infusa Kualitatif Kualitatif Kuantitatif 1) 1) (%) 6.48
Ekstrak Maserasi Kualitatif Kuantitatif 1) (%) 2.87
Rendemen (%) Komponen Bioaktif Flavonoid +++ +++ 0.53 2) +++ 3.39 2) Tanin +++ ++ 1.35 3) 0.65 3) 2) Saponin ++ ++ 2.38 ++ 2.46 2) Steroid + +++ Triterpenoid Alkaloid Mayer + Wagner + Dragendorf +++ Quinon *) Tepung daun kemuning; 1) Hasil analisis Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB (2016); 2) Flavonoid quarcetin, Hasil analisis Balittro (2016); 3) Hasil analisis Balitnak (2016). (-) Tidak ada, (+) Positif lemah, (++) Positif, (+++) Positif kuat, (++++) Positif sangat kuat.
Tepung daun kemuning yang ditambahkan etanol dapat menyari senyawa steroid sehingga ditemukan positif pada fitokimia TDK dan ekstrak maserasi, sedangkan pada penyari akuades tidak dapat menyari steroid sehingga apabila ditambahkan etanol dalam pengujian fitokimia steroid tidak ditemukan senyawa tersebut. Hal ini disebabkan oleh steroid dan etanol merupakan senyawa semi
12 polar dan akuades senyawa polar, dan begitu pula terjadi pada senyawa alkaloid yang merupakan senyawa polar meskipun dengan konsentrasi yang cenderung sedikit. Jenis alkaloid yang terdapat pada daun kemuning adalah yuehchuken (Ng et al. 2012). Kemampuan ekstrak daun kemuning sebagai antelmintika berkaitan dengan keberadaan saponin dan tanin yang diketahui sebagai antinutrisi. Adanya senyawa anti nutrisi dalam bahan pakan dapat menjadi pembatas penggunaannya dalam ransum, karena senyawa antinutrisi ini akan menimbulkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi ternak tergantung pada dosis yang masuk ke dalam tubuh. Batas toleransi saponin di ruminansia adalah sebesar 0.002%-0.87% bahan kering (Onwuka 1992) dan batas toleransi terhadap tanin <6% dimana level 7% sudah dapat mengganggu performa ternak seperti menurunkan konsumsi, pertumbuhan dan mengganggu aktivitas mikroba rumen (Molan et al. 2003). Melalui perhitungan level penggunaan ekstrak terhadap kandungan total didapatkan bahwa pada level 7% ekstrak daun kemuning infusa memiliki kandungan tanin dan saponin berturut-turut 0.09 % dan 0.17%, sedangkan pada metode maserasi 0.04% dan 0.17%. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian saponin dan tanin yang terkandung dari kedua ekstrak ini pada level tertinggi yakni 7% dapat ditolerir oleh ruminansia dan diharapkan potensial sebagai antelmintika yang tidak menimbukan pengaruh negatif pada ternak.
Pengaruh Ekstrak Daun Kemuning terhadap Pekembangan Larva Trichostrongylidae in vitro Rataan kumulatif mortalitas dan persentase mortalitas perkembangan larva Trichostrongylidae pada 7 hari pemupukan dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan sangat nyata (P<0.01) mempengaruhi jumlah kematian larva, dan persentase mortalitas larva. Semakin tinggi konsentrasi larutan yang dipakai untuk pemupukan larva, maka makin tinggi efikasi untuk membunuh larva, dengan efikasi paling tinggi pada konsentrasi 5% (P3) dan 7% (P4) sediaan infusa, 7% (P8) sediaan maserasi dan kontrol positif (P9 dan P10) yaitu berkisar 88%-93%. Bila dibandingkan antara sediaan infusa dan sediaan maserasi maka tampak sediaan infusa lebih efektif sebagai ovisidal daripada sediaan maserasi karena sediaan infusa membutuhkan konsentrasi yang lebih rendah untuk menimbulkan efikasi yang sama. Keberhasilan perkembangan larva pada kontrol dalam penelitian ini adalah sebesar 40%. Menurut klasifikasi dengan indeks efikasi diusulkan oleh Asosiasi Dunia untuk Kemajuan Hewan (Parasitologi World Association for the Advancement of Veterinary Parasitology) produk efektif ketika tindakan antelmintika adalah di atas 90%, efektif sedang bila aksinya berkisar antara 80% dan 90%, kurang efektif bila tindakan berkisar antara 60% dan 80%, dan tidak efektif pada tingkat di bawah 60% (Wood et al. 1995). Oleh karena itu ekstrak infusa konsentrasi 7% (P4) dan Oxfendazole dianggap efektif dalam penghambatan perkembangan larva Trichostrongylidae.
13 Tabel 2 Rataan jumlah larva hidup dan persentase mortalitas perkembangan larva Trichostrongylidae Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
Jumlah Larva (x102 ekor) 10.00±0.50a 6.67±0.29b 6.33±0.29bc 1.17±0.58e 0.67±0.58e 4.50±0.00d 5.50±0.00c 6.00±0.87bc 1.33±0.29e 1.00±0.87e 0.67±0.29e
Mortalitas (%) 0.00±0.00e 33.14±6.11d 36.48±5.78cd 88.23±3.49a 93.16±5.93a 54.92±2.26b 44.91±2.76c 40.15±6.44cd 86.64±6.44a 90.24±8.46a 93.32±2.89a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01).
Hal ini berbeda dengan Nery et al. (2010) yang membuktikan bahwa efikasi ekstrak penyari air (infusa) dari daun Anacardium humile lebih efektif dibandingkan ekstrak maserasi dengan efikasi ekstrak penyari air 15% terhadap LDA sebesar 97.3% dan ekstrak penyari etanol (maserasi) 8% sebesar 99.6% . Meskipun demikian, kedua ekstrak daun kemuning memiliki efikasi yang sebanding dengan penelitian tersebut (Nery et al. 2010) namun tidak sebaik ekstrak penyari akuades Genipa americana yang mampu menghambat 99.6% dan 100% LDA pada level 50 mg mL-1 (5%) dan 100 mg mL-1 (10%) dengan kandungan senyawa hidrolisis tanin dan flavonoid (Noguera et al. 2014). Perbedaan efikasi ini setiap tanaman herbal ini disebabkan oleh kandungan senyawa bioaktif tanaman dan tersari dalam ekstraksi tersebut, senyawa aktif yang beragam dengan konsentrasi yang tinggi belum tentu memiliki efikasi yang lebih baik karena kemungkinan adanya reaksi sinergis dan antagonis antara senyawa aktif. Diduga saponin, tanin dan flavonoid memiliki aktivitas sinergis sebagai agen penghambat perkembangan larva (ovisidal). Botura et al. (2013) melaporkan bahwa fraksi flavonoid memiliki kemampuan ovisidal lebih besar dibanding larvasidal dan nematosidal, sedangkan senyawa saponin sebaliknya. Meskipun demikian, ekstraksi dengan infusa daun kemuning lebih efektif dibanding maserasi yang memiliki flavonoid quarcetin yang lebih tinggi sehingga kandungan quarcetin belum menjadi tolak ukur aktivitas antelmintika terhadap perkembangan larva karena secara kualitatif flavonoid dalam infusa positif lebih kuat dibanding maserasi. Oleh karena itu, adanya kemungkinan jenis flavonoid lain yang terkandung dalam daun kemuning selain quarcetin memilki kemampuan antelmintika. Selain itu, efikasi terhadap perkembangan larva pada infusa yang lebih tinggi ini juga dipengaruhi oleh adanya konsentrasi tanin yang lebih tinggi dalam ekstrak infusa dibanding maserasi memiliki pengaruh menghambat perkembangan larva dan dibuktikan oleh Molan et al. (2002) bahwa ekstrak condessed tannin hijauan (400 µg CT mL1 ) mampu menghambat penetasan telur dan perkembangan larva infektif nematoda
14 sebesar 87% dan 100%. Penetasan telur nematoda dimulai oleh ransangan lingkungan dan dihasilkan pelepasan enzim seperti protease, lipase, dan kitinase oleh larva muda yang berfungsi mendegradasi membran sel telur (Mansfield et al. 1992). Saponin, tanin dan flavonoid yang hadir dalam fraksi maserasi dan infusa daun kemuning dapat bertindak menghambat aktivitas enzim ini, dengan tindakan flavonoid dikaitkan dengan perubahan aktivitas enzim dan proses metabolisme parasit seperti meningkatkan produksi nitrit oxide (NO) (Kerboeuf et al. 2008; Brunet et al. 2007). Terganggunya sekresi enzim akan menghambat proses degradasi dan tidak terbentuk larva baru.
Pengaruh Ekstrak Daun Kemuning terhadap Larva Infektif Trichostrongylidae in vitro Rataan kumulatif mortalitas, waktu kematian 50% dan persentase mortalitas Trichostrongylidae pada pengamatan selama 3 jam tersaji pada Tabel 3. Hasil uji sidik ragam menunjukkan perlakuan sangat nyata (P<0.01) mempengaruhi jumlah kematian larva, waktu kematian larva (LT50) dan persentase mortalitas larva. Semakin tinggi konsentrasi larutan yang dipakai untuk perendaman larva, maka makin cepat larutan tersebut mempunyai efikasi untuk membunuh larva, dengan efikasi paling tinggi pada konsentrasi 7%. Pada Tabel 4 terlihat bahwa efikasi tertinggi terdapat pada ekstrak infusa konsentrasi 7% (P4) dengan persentase mortalitas yang tinggi sekitar 94% dan waktu kematian tersingkat 1 jam. Berdasarkan klasifikasi dengan indeks efikasi diusulkan oleh Asosiasi Dunia untuk Kemajuan Hewan, ekstrak infusa konsentrasi 7% (P4) dianggap efektif dalam terhadap larva infektif Trichostrongylidae (Wood et al. 1995). Adapun tipe larva yang diamati adalah Trichostrongylus sp, Haemonchus sp, dan Cooperia sp. yang merupakan bagian Family Trichostrongylidae Ordo Strongylida kelas Nematoda. Bila dibandingkan antara sediaan infusa dan sediaan maserasi maka tampak sediaan infusa lebih efektif daripada sediaan maserasi karena sediaan infusa membutuhkan konsentrasi yang lebih rendah dan waktu yang lebih singkat untuk meningkatkan persentase mortalitas, namun ada kemungkinan pada konsentrasi 7% ekstrak maserasi (P8) memiliki aktivitas yang sama atau lebih baik dibanding dengan ekstrak infusa karena dapat menurunkan jumlah kematian dengan siginifikan. Namun, kedua eksrak daun kemuning ini lebih optimal dalam meningkatkan mortalitas larva infektif dibandingkan cacing dewasa. Bila dibandingkan sediaan infusa dengan Oxfendazole sebagai kontrol positif tampak bahwa sediaan infusa lebih efektif pada konsentrasi 3% (P2), 5% (P3) dan 7% (P4) dengan waktu perendaman yang lebih singkat. Dey et al. (2015) melaporkan bahwa efikasi 5% ekstrak metanol tanaman neem, tamak, bunga korolla, daun korolla, halud, chatim, sharna latta, lazzabati terhadap larva infektif Haemonchus contortus berturut-turut adalah 80%, 60%, 80%, 60%, 40%, 40%, 60%, 40% dan kontrolnya 20%. Diduga saponin, tanin dan flavonoid memiliki aktivitas sinergi sebagai agen penyebab kematian larva infektif (larvasidal).
15 Tabel 3 Rataan waktu, jumlah kematian dan persentase mortalitas larva Trichostrongylidae Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
Jumlah Kematian (ekor) 9.80±2.49e 71.60±15.53bc 81.80±11.80b 70.60±11.48bc 68.25±14.93bc 48.20±14.02d 58.60±13.35cd 66.25±24.72bcd 118.75±10.8a 77.00±7.48bc 82.20±15.79b
Lethal Time 50% (jam) * 2.05±0.08cd 1.72±0.20e 1.09±0.47f 1.09±0.45f 3.38±0.11a 2.39±0.13b 1.83±0.36de 1.72±0.22e 2.24±0.05bc 2.04±0.23cd
Mortalitas (%) 8.50±2.09f 75.39±6.46c 87.16±4.45ab 91.85±4.64ab 94.39±3.78a 42.06±4.62e 61.75±6.11d 75.58±15.56c 84.34±7.53b 63.07±2.11d 73.49±2.55c
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01); *) waktu kematian lebih dari 4 jam.
Saponin dan tanin diduga memiliki efektifitas yang lebih baik dibanding dengan flavonoid sebagai larvasidal. Barau et al. (2005) melaporkan flavonoid (flavonol glikosida dari Onobrychis viviifola) memiliki khasiat yang rendah terhadap kematian larva infektif Haemonchus contortus dan juga dilaporkan tidak mempengaruhi kematian larva Haemonchus contortus (Botura et al. 2013). Saponin dari Calendula officinalis dan Beta vulgaris terbukti mengurangi kelangsungan hidup larva infektif (L3) in vitro (75%) dari Heligmosomoides sp, nematoda tikus (Doligalska et al. 2011). Meskipun demikian, efektivitas dari saponin dan tanin semakin meningkat dengan adanya flavonoid. Hal ini didukung oleh Ademola et al. (2009) yang melaporkan bahwa metabolit sekunder dari Khaya senegalensi memiliki aktivitas terhadap larva infektif H.contortus, dan metabolit ini termasuk saponin (A), saponin dan alkaloid (B), saponin, terpenoid, flavonoid, tannin (C), dan saponin dan tanin (D) dengan LC50 secara berurutan adalah 80.81, 63.73, 44.03, dan 63.90 mg mL-1dengan nilai LC50 yang semakin kecil menunjukkan semakin besar fungsi antelmintiknya. Tanin kondensasi mampu menghambat proses pelepasan kutikula larva cacing nematoda, melalui penghambatan enzim yang berperan dalam proses pelepasan kutila larva infektif (Brunet et al. 2007). Dengan demikian, pada tahap parasitik dalam tubuh ternak, mekanisme penghambatan dalam proses pelepasan kutila larva infektif akan menyebabkan penurunan jumlah larva yang mampu berkembang menjadi cacing dewasa. Pengaruh Ekstrak Daun Kemuning terhadap Cacing Dewasa Trichostrongylidae in vitro Rataan kumulatif mortalitas cacing dewasa, waktu kematian 50% dan persentase mortalitas Haemonchus contortus pada pengamatan selama 6 jam tersaji pada Tabel 4. Hasil uji sidik ragam menunjukkan perlakuan sangat nyata (P<0.01) mempengaruhi jumah kematian cacing, waktu kematian cacing (LT50) dan persentase mortalitas cacing. Semakin tinggi konsentrasi larutan yang dipakai
16 untuk perendaman cacing, maka makin cepat larutan tersebut mempunyai efikasi untuk membunuh cacing, dengan efikasi paling tinggi pada konsentrasi 7% (P4). Berdasarkan klasifikasi dengan indeks efikasi diusulkan oleh Asosiasi Dunia untuk Kemajuan Hewan, ekstrak infusa konsentrasi 7% (P4) dianggap efektif dalam terhadap cacing dewasa Trichostrongylidae (Wood et al. 1995). Bila dibandingkan antara sediaan infusa dan sediaan maserasi maka tampak sediaan infusa lebih efektif daripada sediaan maserasi karena sediaan infusa membutuhkan konsentrasi yang lebih rendah, sedangkan bila dibandingkan sediaan infusa dengan oxfendazole sebagai kontrol positif tampak bahwa sediaan infusa lebih efektif pada konsentrasi 5% (P3) dan 7% (P4)dan waktu perendaman yang lebih singkat pada level 7% untuk menimbulkan efikasi yang sama. Akan tetapi, waktu yang dibutuhkan untuk membunuh sebagian dari 10 cacing dewasa Haemonchus contortus pada level yang sama 7% sediaan infusa konsentrasi sama dengan sediaan maserasi. Hal ini tidak sama dengan Dey et al. (2015) yang melaporkan bahwa efikasi 5% ekstrak metanol dan akuades dari tanaman lazabati, sharna lata, halud adalah sama berturut-turut 40%, 60%, dan 40%, sedangkan pada tanaman neem, tamak, buah korolla, daun korolla, dan chatim efikasi 5% ekstrak metanol lebih tinggi dibanding ekstrak akuades berturut-turut 100%, 100%, 80%, 60%, dan 80%. Perbedaan efikasi ini setiap tanaman herbal ini disebabkan oleh kandungan senyawa bioaktif tanaman dan tersari dalam ekstraksi tersebut. Meskipun demikian, efikasi dari kedua ekstrak ini sebanding dengan beberapa tanaman yang diteliti oleh Dey et al. (2015). Diduga saponin, tanin dan flavonoid memiliki aktivitas sinergis sebagai agen penyebab kematian cacing Haemonchus contortus (nematisidal). Tabel 4 Rataan waktu, jumlah kematian dan persentase mortalitas cacing Trichostrongylidae (Haemochus contortus) Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
Jumlah Kematian (ekor) 0.40±0.55g 1.60±0.55f 4.00±0.71d 7.00±0.71b 9.00±0.71a 2.80±0.84e 4.20±1.10d 4.80±1.30cd 7.20±1.30b 2.80±0.45d 5.40±0.55c
Lethal Time 50% (jam) * * *
5.34±0.35a 4.00±0.39b * * *
4.09±1.02b *
5.12±0.50a
Mortalitas (%) 4.0±5.48g 16.0±5.48f 40.0±7.07d 70.0±7.07b 90.0±7.07a 28.0±8.37e 42.0±10.95d 48.0±13.04cd 72.0±13.04b 28.0±4.47d 54.0±5.48c
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan *) berbeda sangat nyata (P<0.01); jumlah kematian kurang dari 50%.
Respon pada TDK 1% lebih tinggi (Tresia et al. 2015) dibanding dengan mortalitas cacing dewasa secara in vitro dalam penelitian ini. Hal ini memungkinkan bahwa mekanisme dari herbal daun kemuning lebih efektif dalam membatasi reproduksi cacing strongylida dibanding menimbulkan mortalitas pada cacing. Hal ini didukung oleh pernyataan Martínez-Ortíz-de-Montellano et al.
17 (2010) bahwa terjadinya penurunan pada ttgt, fekunditi betina (kerusakan vulva) dan panjang cacing akibat pemberian tanin dari tzalam 1200 µg mL-1.
Gambar 4 Mekanisme Saponin, Flavonoid dan Tanin sebagai Antelmintika (1)Melzig et al 2001 dalam Wang 2010; 2) Wang 2010; 3) Murphy 1999 dalam Kerboeuf et al 2008; 4) Kar et al. 2004 dalam Kerboeuf et al 2008; 5) Kar et al. 2004 dalam Kerboeuf et al 2008; 6) Apinhasmit dan Subhon 1996 dalam Kerboeuf et al 2008; 7) Reibero et al. 1998 dalam Kerboeuf et al 2008; 8) Hoste et al. 2006), ↑ ;↓ . Saponin, tanin dan flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun kemuning diduga bekerja sinergis sebagai antelmintika. Mekanisme dari flavonoid, saponin dan tanin dikaji dalam Gambar 7. Saponin dan tanin mampu merusak kutikula parasit, saponin dapat mengubah bentuk pori dan permeabilitas kutikula parasit dan tanin mampu mengikat protein kutikula parasit (Kerboeuf et al. 2008; Wang et al. 2010). Diduga melalui mekanisme tersebut akan memudahkan flavonoid difusi (terjadi peningkatan pemaparan flavonoid). Tanin dan flavonoid dapat menghambat sekresi enzim (tyrosin kinase, nonspesifik of colinesterase and esterase), sehingga terjadi ketidakstabilan intraseluler parasit yang fatal seperti disorganisasi neuromuscular (sel saraf dan otot) dan metabolisme energi. Hal ini akan menyebabkan hilangnya fleksibilitas, kelumpuhan, dan kekurangan energi pada Trichostrongylidae dan akan berujung kematian (Hoste et al. 2006; Kerboeuf et al. 2008). Ketiga senyawa aktif ini potensial sebagai antelmintika terhadap Trichostrongylidae kelas nematoda sedangkan, Oxfendazole telah dikaji memiliki spektrum yang luas sebagai antelmintika terhadap nematoda dan cestoda. Berdasarkan farmokologinya, golongan Benzimidazole bila dilepaskan dalam darah dapat mengganggu aktivitas tubulin pada usus Trichostrongylidae sehingga menganggu penyerapan glukosa dan pada akhirnya parasit akan kekurangan energi dan mati (SCOPS 2012). Diluar mekanisme senyawa bioaktif dan
18 Oxfendazole, waktu kematian dan persentase mortalitas Trichostrongylidae dipengaruhi juga oleh kondisi in vitro yang tidak sama 100% dengan kondisi lingkungan sebenarnya (in vivo). Cacing dengan habitatnya berada dalam abomasum kambing yang secara fisiologis terdapat cairan abomasum berisi makanan dan enzim yang dapat mendukung kelangsungan hidup cacing, sedangkan NaCl hanya mampu menjaga keseimbangan cairan dan ion Trichostrongylidae. Penelitian sebelumnya penggunaan daun kemuning masih rendah (Tresia et al. 2015) sehingga reduksi belum mencapai 50% meskipun pemberian sudah selama 5 minggu jika dibandingkan dengan pemberian Oxfendazole. Ketika dibandingkan dengan Oxfendazole 0.0005% (hanya sekali tanpa pengulangan) pada kambing PE laktasi dapat mereduksi ttgt 100%. Hal ini karena senyawa aktif yang terserap masih jauh dibawa efektifitasnya dalam mereduksi TTGT. Oleh karena itu, untuk benar membuktikan bahwa herbal kemuning dapat digunakan sebagai alternatif Oxfendazole, maka konsentrasi 7% harus lolos dari organ rumen, yang berarti 90% dapat bertindak membunuh cacing. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan secara in vivo diterapkan modifikasi atau rekayasa herbal daun kemuning sehingga yang terkandung dalam daun kemuning bisa masuk organ pasca rumen akan tetapi tanpa menyebabkan efek negatif pada mikroorganisme rumen, mengingat mikrooganisme mudah mati akibat antinutrisi, dan didapatkan respon yang sama dengan kajian in vitro. Lethal Concentration Ekstrak Daun Kemuning terhadap Trichostrongylidae Lethal concentration (LC) merupakan konsentrasi yang diperlukan untuk dapat membunuh persentase mortalitas tertentu pada waktu tertentu. Tingkat toksisitas atau daya antelmintika dari ekstrak tanaman dapat dinyatakan dengan melihat hasil dari LC-nya, yaitu semakin kecil LC yang dihasilkan maka semakin toksik dan semakin besar fungsi antelmintikanya. Dosis letal ekstrak infusa dan maserasi daun kemuning pada cacing dewasa, larva infektif dan perkembangan larva tersaji pada Tabel 5. Konsentrasi sediaan infusa untuk membuat mortalitas pada tiap fase tersebut lebih rendah dibanding maserasi. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak infusa memiliki fungsi antelmintika yang lebih baik dibanding ekstrak maserasi. Konsentrasi yang dibutuhkan untuk membuat mortalitas cacing 50%-80% lebih tinggi diikuti dengan LD dan larva infektif untuk sediaan infusa maupun sediaan maserasi. Secara umum juga cacing dewasa memiliki waktu kematian yang lebih lambat dibandingkan dengan larva infektif. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan perkembangan dari morfologi seperti perbedaan dalam struktur antara kutikula larva maupun cacing nematoda (Mansfield et al. 1992), sistem metabolisme, sistem pertahanan tubuh dari tiap fase cacing Trichostrongylidae. Konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat perkembangan telur menjadi larva infektif (L3) lebih tinggi dibanding dengan larva infektif (LC90 ekstrak maserasi). Hal ini dapat disebabkan karena pada pengujian perkembangan larva tidak menggunakan telur strongylid murni, namun bercampur dengan mikroorganisme dalam tinja sebagai makanannya sedangkan pada L3 faktor tersebut dihindarkan. Johnstone (2000) mengemukakan bahwa L3
19 mempertahankan diri dengan menggunakan nutrisi siap pakan dari hasil makan pada tahap L1 dan L2. Tabel 5 Lethal concentration ekstrak daun kemuning (%) terhadap Trichostrongylidae Paramater
Ekstraksi
Cacing dewasa
Infusa Maserasi Infusa Maserasi Infusa Maserasi
Larva Infektif Perkembangan Larva
50 4.12±0.07 5.05±0.12 1.78±0.10 3.67±0.09 3.10±0.09 3.77±0.15
Lethal Concentration (%) 60 70 80 4.72±0.08 6.04±0.15 2.64±0.09 4.55±0.11 3.67±0.09 4.86±0.18
5.36±0.09 7.10±0.18 3.56±0.10 5.51±0.13 4.29±0.10 6.03±0.23
6.11±0.10 8.34±0.23 4.64±0.12 6.62±0.16 5.01±0.12 7.40±0.29
90 7.15±0.13 10.06±0.31 6.12±0.17 8.17±0.22 6.00±0.15 9.31±0.40
Kebutuhan dosis ekstrak untuk membuat mortalitas berdasarkan kerja dari kandungan senyawa bioaktifnya yang diduga dari kandungan flavonoid bukan hanya quarcetin, saponin, dan tanin yang memiliki peran besar sebagai antelmintika dalam ekstrak daun kemuning. Beberapa senyawa flavonoid yang telah diteliti memiliki aktivitas antelmintika, seperti flavon (2-phenyl cromone) terhadap nematoda (Lee et al. 2008), apigenin terhadap larva nematoda (L2) (Yoon et al. 2006), chalcone (trans-1,3-diphenylpropenone), flavone glycosides linaroside, lantanoside, ratenone terhadap nematoda (Ohri dan Panuu 2010). Tandon et al. (2003) melaporkan bahwa genistein memiliki aktivitas metacestodasidal yang mempengaruhi metabolisme glikogen dan karbohidrat cestoda Raillietina echinobothrida (Tandon dan Das 2007). Senyawa flavonoid lainnya adalah artemisinin yang aktif terhadap protoskolek dan metacestoda Echinococcus (Spicher et al. 2008). Mekanisme sinergisitas antara quarcetin dan tanin belum banyak diketahui, namun Klongsiriwit et al. (2015) melaporkan bahwa quarcetin (30 dan 60 µM) dan tanin kondensasi (150 dan 300 µg) memiliki sinergi setelah 40-60 menit. Prediksi Kebutuhan Tepung Daun Kemuning secara in vivo Pada penelitian sebelumnya oleh Tresia et al. (2015) bahwa dengan analisis regresi pemberian tepung daun kemuning (TDK) sebagai additive sebesar 1% setara ekstrak dengan pemadatan freeze dry (atau sebesar 0.003% ekstrak infusa dalam penelitian ini) dapat mereduksi ttgt hingga 100% selama 38 hari. Uhlinger et al.(1992) melaporkan bahwa jumlah cacing Haemonchus contortus di Amerika Serikat merupakan 75%-100% dari jumlah telur tiap gram tinja (ttgt). Melalui pendekatan inilah dapat diperhitung secara sederhana kebutuhan tepung daun kemuning. Pada taraf 1% ekstrak infusa dapat menimbulkan mortalitas H.contortus sebesar 16%, sehingga pada taraf 7 % selama 6-7 hari dapat mereduksi ttgt sebesar 100%. Tepung daun kemuning memiliki kandungan BK 70.16%, TDN 58.16%, PK 14.28%, LK 4.54%, dan SK 21.22%. Aplikasi in vivo 7% ekstrak infusa, sebagai feed additive pada ransum kambing laktasi awal dengan kebutuhan berat kering 3.92% (NRC 2007) dalam ransum berbasis konsentrat 35%, dibutuhkan tepung daun kemuning sebesar 0.59 Kg ekor-1 hari-1 dan selama 6-7 hari sebesar 3.55-
20 4.14 Kg ekor-1, sedangkan kebutuhan daun kemuning segar 0.84 Kg ekor-1 hari-1 dan selama 6-7 hari membutuhkan 5.05-5.89 Kg ekor-1. Siklus hidup cacing Haemonchus contortus terdiri dari fase preparasitik, parasitik dan prepaten (Soulsby 1965 dalam Casey 2014). Fase preparasitik adalah tahap dari telur dalam tinja menjadi larva infektif (L3) selama 5-7 hari. Pada tahap ini ternak yang mengkonsumsi tepung daun kemuning akan mengeluarkan senyawa yang bersifat polar cenderung tidak dapat dicerna dan kemungkinan dapat tercampur dengan telur strongylid dalam tinja. Apabila pada manajemen peternakan memakai feses sebagai salah satu unsur hara hijauan dapat diminalkan terjadinya tahap parasitik dalam tubuh ternak karena ekstrak infusa sudah menghambat ±70% perkembangan larva. Sedangkan fase parasitik adalah dari tahap tertelannya larva infektif menjadi cacing dewasa. Pada pemberian EDK dalam periode 6-7 hari kemungkinan dapat menghambat fase parasitik, namun ada kekhawatiran diperlukannya ekstrak infusa setelah perlakuan selesai yakni 18-21 hari berikutnya akan terdapat cacing dewasa pada saluran pencernaan dan setelah 17-21 hari terdapat telur strongylid dalam feses yang disebut sebagai fase prepaten.
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ekstraksi daun kemuning dengan 2 metode yang berbeda yaitu maserasi dan infusa diperoleh rendemen tepung daun kemuning tertinggi sebesar 6.48% dari metode ekstraksi infusa yang mengandung 0.53% flavonoid quarcetin, 2.38 % saponin, dan 1.35% tanin. Konsentrasi 7% ekstrak infusa merupakan konsentrasi paling efektif dalam menurunkan atau mematikan 93.16% perkembangan larva, 94.39% larva infektif, dan 90% cacing dewasa.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pengujian senyawa metabolit sekunder lain seperti flavonoid total, steroid, dan alkaloid pada ekstrak daun kemuning secara kuantitatif. Selain itu, perlu dilakukan isolasi senyawa aktif serta pengujian ekstrak daun kemuning secara in vitro pada jenis cacing berbeda dan kajian in vivo level 7 % selama 6-7 hari sebagai feed additive pada ransum kambing perah atau ternak lain.
DAFTAR PUSTAKA Ademola IO, Fagbemi BO, Idowu SO. 2009. Bioseparation and activity of Khaya senegalensis fractions against infective larvae of Haemonchus contortus. Vet. Parasitol. 165: 170–174.
21 Alberti EJ, Zanzani SA, Ferrari N, Bruni G, Manfredi MT. 2012. Effects of gastrointestinal nematodes on milk productivity in three dairy goat breeds. Small Rumin. Res. 106 : 12–17. Barrau E, Fabre N, Fouraste I, Hoste H. 2005. Effect of bioactive compounds from Sainfoin (Onobrychis viciifolia Scop.) on the in vitro larval migration of Haemonchus contortus: role of tannins and flavonol glicosides. Parasitology 131: 531–538. Beriajaya, Haryuningtyas D, Gray GD. 2002. Kejadian resistensi terhadap antelmintik pada domba dan kambing di Jawa barat, Jawa tengah, dan Yogyakarta. Di dalam : Haryanto B, editor. Inovasi teknologi peternakan dan veteriner dalam menunjang keterpaduan usaha peternakan yang berdaya saing, editor. Bogor 30 September-1 Oktober 2002, Bogor, Indonesia. Bogor (ID) : Deptan. Hal 403-407. Beriajaya, Murdiati TB, Herawaty M. 1998. Anthelmintic effect of Zingiber purpureum infuse and extract on adult worms of Haemonchus contortus in vitro. JITV 3(4): 277-282. Beriajaya, Murdiati TB, Herawaty M. 1998. Anthelmintic effect of Zingiber purpureum infuse and extract on adult worms of Haemonchus contortus in vitro. JITV 3(4): 277-282. Beriajaya, Copeman DB. 1997. An estimate of seasonality and intensity of infection with gastrointestinal nematodes in sheep and goats in West Java. JITV 2(4) :270-276. Beriajaya, Stevenson P. 1986. Reduced productivity in small ruminant in Indonesia as a result of gastrointestinal nematode infections. Livestock Production and Diseases in the Tropics. Proceeding 5th Conference Institute Tropical Veterinary Medicine. Botura MB, dos Santos CDG, da Silvi GD, de limar HG, Olivera JVA, de Almeida MAO, Batatinha MJM, Branco A.2013. In vitro ovicidal and larvicidal activity of Agave sisalana Perr. (sisal) on gastrointestinal nematodes of goats. Vet. Parasitol. 192 (1-3): 211– 217. Abstract Brunet S, Fourquaux I, Hoste H. 2011. Ultrastructural changes in the third-stage, infective larvae of ruminant nematodes treated with sainfoin (Onobrychis viciifolia) extract. Parasitol. Int. 60 (4): 419-424. Brunet S, Aufrere J, El Babili F, Fouraste I, Hoste H. 2007. The kinetics of exsheathment of infective nematode larvae is disturbed in the presence of a tannin-rich plant extract (sainfoin) both in vitro and in vivo. Parasitology 134 (9):1253–1262. Casey SJ. 2014. Haemonchus contortus Infections in Alpacas and Sheep.[Tesis]. Blacksburg (US) : Virginia Polytechnic Institute. Dargatz DA, Dargatz JLT, Sangster NC. 2000. Antimicrobic and anthelmintic resistance. Veterinary Clinic of North America 16 (3) : 515-536. Departemen Kesehatan RI. 2000. Acuan Sediaan Herbal. Jakarta (ID) : Direktorat Jendral POM –Depkes RI. Departemen Kesehatan RI. 2009. Farmakope Herbal Indonesia. Jakarta (ID) : Direktorat Jendral POM –Depkes RI. Dey AR, Akhter S, Hossain S, Dey TR, Begum N. 2015. In vitro anthelmintic effect of some medical plants against Haemonchus contortus. J. Anim. Sci. Adv. 5(1): 1162-1170.
22 Doligalska M, Józwicka K, Kiersnowska M, Mroczek A, Paczkowski C, Janiszowska W. 2011. Triterpenoid saponins affect the functionof Pglycoprotein and reduce the survival of the free living stages of Heligmosomoides bakeri. Vet. Parasitol. 179 (1-3) : 144–151. Gautam MK, Gangwar M, Nath G, Rao CV, Goel RK. 2012. In–vitro antibacterial activity on human pathogens and total phenolic, flavonoid contents of Murraya paniculata Linn. Leaves. APJTB 2(3):S1660-S1663. Gulnaz AR, Savitha G. 2013. Evaluation of anthelmintik activity different leaf and stem extract of Sida cordata burm. Int J. Curr. Microbiol. App. Sci 2(11): 247-255. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Edisi II. Terjemahan Kosasih Padma Winata dan Iwang Soedirjo. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Hoste H, Jackson F, Athanasiadou S, Thamsborg SM, Hoskin SO. 2006. The effects of tannin-rich plants on parasitic nematodes in ruminants. Trends Parasitol. 22 (6): 253-261. Johstone C. 2000. The Trichostrongyloidea. [diakses pada 29 Maret 2016]. Tersedia pada: http/ca;.ubc.upenn.edu/merial/Trichos/trich_2.htm Kerboeuf D, Riou M, Guegnard F. 2008. Flavonoid and related compounds in parasitic disease control. Min.Rev. Med. Chem. 8 (2): 116-128. Kinsella B, Lehotay SJ, Mastovska K, Lightfield AR, Furey A, Danaher M. 2009. New method for the analysis of flukicide and other anthelmintic residues in bovine milk and liver using liquid chromatography–tandem mass spectrometry. Anal. Chim. Acta. 637 (1-2) : 196–207. Klongsiriwet C, Quijada J, Williams AR, Mueller-Harvey I, Williamson L, Hoste H. 2015. Synergistic inhibition of Haemonchus contortus exsheathment by flavonoid monomers and condensed tannins. Int. J.Parasitol. Drugs Drug Resist 5 (3):127-134. Lee YU, Kawasaki I, Lim Y, Oh WS, Pail YK,Shim YH. 2008. Inhibition of developmental processes by flavone in Caenorhabditis elegans and its application to the pinewood nematode, Bursaphelenchus xylophilus. Mol. Cells 26 (2) : 171-174. Mansfield, LS, Gamble HR, Fetterer RH. 1992. Characterization of the eggshell of Haemonchus contortus–I, structural components. Comp. Biochem. Physiol. 103(3) : 681–686. Manual of Veterinary Parasitological Laboratory Techniques. 1971. [Internet]. [diunduh 2015 November 10] Tersedia dalam http://www.kashvet.org/pdf/ lab_manual_parasite.pdf Miller JE, Horohov DW. 2006. Immunological aspects of nematode parasite control in sheep. J. Anim. Sci 84 :124-132. Min BRD, Hart SP. 2003. Tannin for suppresion of internal parasites. J. Anim. Sci. 81(2):102-109. Molan AL, Meagher LP, Spencer PA, Sivakumaran S. 2003. Effect of flavan-3ols on in vitro egg hatching, larval development and viability of infective larvae of Trichostrongylus colubriformis. Int. J. Parasitol. 33(14): 1691–1698. Molan Al, Waghorn GC,McNabb WC. 2002. The impact of condensed tannin on egg hatching and larval development of Trichostrongylus colubriformis in vitro. Vet. Rec. 150 (3):65-69.
23 Martínez-Ortíz-de-Montellano C, Arroyo-López C, Fourquaux I , Torres-Acosta JFJ, Sandoval-Castro C, Hoste H. 2013. Scanning electron microscopy of Haemonchus contortus exposed to tannin-rich plants under in vivo and in vitro conditions. Exp. Parasitol. 133(3):281-286. Naguleswaran A, Spicher M, Vonlaufen N, Ortegamora LM, Torgerson P, Gottstein B, Hemphill A. 2006. In vitro metacestodicidal activities of genistein and other isofl avones against Echinococcus multilocularis and Echinococcus granulosus. Antimicrob. Agents Cemother. 50 (11):3770-3778. Nery PS, Nogueira FA, Martins ER, Duarte ER. 2010. Effect of Anacardium humile on the larval development of gastrointestinal nematodes of sheep. Vet Parasitol. 171 (3-4):361–364. Ng MK, Abdulhadi NY, Cheah YK, Yeap Sk, Alitheen NB. 2012. Bioactive studies and chemical constituents of Murraya paniculata (Linn) Jack. IFRJ 19(4):1307-1312. Nogueira FA, Nery PS, Morais-costa F, Oliveira NJ, Martins ER, Duarte ER. 2014. Efficacy of aqueous extracts of Genipa americana L. (Rubiaceae) in inhibiting larval development and eclosion of gastrointestinal nematodes of sheep. JAAR 42(3):356-360. Onwuka CFI. 1992. Tannin and Saponin Contents of some tropical browse species fed to goats. Trop. Agric 69: 176 – 180. Permin A, Nansen P, Bisgard M, Fradsen, Pearman M. 1998. Studies on Ascarida galli in chickenss kept at different stocking rates. J.Avi.Pathol. 27(4) : 382389. Rehman Z, Shah WH. 2005. Thermal heat processing effects on antinutrients, protein and starch digestibility of food legumes. Food Chemistry 91(2): 327– 331 Sharker MS, Israt JS , Hasanuzzaman M.2009. Antinociceptive and bioactivity of leaves of Murraya paniculata (L.) Jack, Rutaceae. Braz. J. Pharmacog. 19(3): 746-748 Spicher M, Roethlisberger C, Lany C, Stadelmann B, Keiser J, Ortegamora LM, Gottstein B, Hemphil A. 2008. In vitro and in vivo treatments of Echinococcis protoscoleces and metacestodes with artemisinin and artemisinin derivates. Antimicrob. Agents Cemother. 52 (9):3447-3450. Syahadat RM, Aziz SA. 2012. Pengaruh komposisi media dan fertigasi pupuk organik terhadap kandungan bioaktif daun tanaman kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack) di pembibitan. Bul. Littro 23(2): 142-147. Tandon V, Das B, Saha N. 2003. Anthelmintic effi cacy of Flemingia vestita (Fabaceae): effect of genisten on glycogen metabolism in the cestode, Raillietina echinobothrida. Parasitol. Int. 52 (2):179-183. Tandon V, Das B. 2007. In vitro testing of anthelmintic efficacy of Flemingia vestita (Fabaceae) on carbohydrate metabolism in Raillietina echinobothrida. Methods 42 (4):330-338. Tresia GE, Evvyernie D, Herlina E, Sukria H. 2015. Benefit of kemuning leaves meal to supres infestation gastrointestinal parasites of PE goats. Di dalam : Wiryawan, IKG, Sumatri C, editor. Sustainable Animal Production for Better Human Welfare and Enviroment. 17-18 September 2015; Bogor, Indonesia. Bogor (ID) : Prosiding ISAI 3rd. Hal 216-219.
24 Vagashiya Y, Dave R, Chandra S. 2011. Phytochemical analysis of some medical plants from western region of India. Res. J. Med. Plant 5(5): 567-576. Van Wyk JA, Mayhew E. 2013. Morphological identification of parasitic nematode infective larvae of small ruminants and cattle: A practical lab guide. Onderstepoort Journal of Veterinary Research 80(1):1-14. Wang Y, Zhang Y, Zhu Z, Zhu S, Li Y, Li M, Yu B. 2007. Exploration of the correlation between the structure, hemolytic activity, and cytotoxicity of steroid saponins. Bioorg. Med. Chem. 15 (7): 2528–2532. Whitlock HV. 1948. Some modification of the Mc Master helminth egg-counting technique and apparatus. J. Counc. Sci. Ind. Res. 21: 117 - 118. Winarni A, Harlina E, Evvyernie D. 2014. Effect of Saga and Kemuning Leaves Meal on Parasites Infection of Etawah Crossbred Goat. Indonesia Traditional Medicine for Human Welfare. 4-6 June 2014; Tawangmangu, Indonesia. Tawangmangu (ID) : Prosiding International Symposium on Medicinal Plant and Traditional Medicine. Wood IB, Amaral NK, Bairden K, Duncan JL, Kassai T, Malone Jr JB, Pankavich JA, Reinecke RK, Slocombe O, Taylor SM, Vercruysse J. 1995. World Association for the Advancement of Veterinary Parasitology (WAAVP) second edition of guidelines for evaluating the efficacy of anthelmintics in ruminants (bovine, ovine, caprine). Vet. Parasitol. 58 (3): 181–213. Yoon YA, Kim H, Lim Y, Shim YH. 2006. Relationships between the larval growth inhibition of Caenorhabditis elegans by apigenin derivatives and their structures. Arch. Pharm. Res. 29 (7): 582-586. Zanzani SA,Gazzonis AL, Cerbo AD, Varady M,Manfredi MT. 2014. Gastrointestinal nematodes of dairy goats, anthelmintic resistance and practices of parasite control in Northern Italy. Vet. Rec. 10:114-124.
25 Lampiran 1 Identifikasi larva infektif Parameter
Tipe larva infektif Trichostrongylus sp. Haemonchus sp. 83.1 8.92
Total (%) Faktor klasifikasi Selubung Bentuk Kepala Refraktil Diameter (µm) Panjang (µm) Literatur* (µm)
Ada Kotak Tidak ada 18.87±0.21 653.40±39.74 730±50
Ada Bulat Tidak ada 22.49±1.36 803.30±30.63 882.13±102.63
Cooperia sp. 7.98 Ada Kotak Ada 33.84±3.55 919.07±5.37 1005±123
Gambar
*Panjang larva infektif oleh van Wyk dan Mayhew (2013) Lampiran 2 Hasil sidik ragam mortalitas perkembangan larva infektif SK Perlakuan Galat Total
db 10 22 32
JK 33 010.91 3 160.00 36 170.91
KT 3 301.09 71.82
F hitung 45.96
F0.01 2.75
P 0.00
SK = sumber keragaman, db = derajat bebas, JK = jumlah kuadrat, KT = kuadrat tengah. Lampiran 3 Hasil sidik ragam kumulatif perkembangan larva infektif SK Perlakuan Galat Total
db 10 44 54
JK 330.11 31.60 361.71
KT 33.01 0.72
F hitung 45.97
F0.01 2.75
P 0.00 0.00
F0.01 2.75
P 0.00
F0.01 2.75
P 0.00 0.00
Lampiran 4 Hasil sidik ragam persentase mortalitas larva infektif SK Perlakuan Galat Total
db 10 44 54
JK 31 543.76 1 881.23 33 424.99
KT 3 154.38 42.76
F hitung 73.78
Lampiran 5 Hasil sidik ragam jumlah kematian larva infektif SK Perlakuan Galat Total
db 10 44 54
JK KT F hitung 32 105.87 3 210.59 17.21 7 647.05 186.51 39 753 92
26 Lampiran 6 Hasil sidik ragan Lethal Time (LT50) larva infektif SK Perlakuan Galat Total
db 10 44 54
JK 34.77 1.24 36.01
KT 3.48 0.03
F hitung 123.18
F0.01 2.75
P 0.00 0.00
Lampiran 7 Hasil sidik ragam persentase mortalitas cacing dewasa H.contortus SK Perlakuan Galat Total
db 10 44 54
JK KT F hitung 33 010.91 3 301.09 45.97 3 160.00 71.82 36 170.91
F0.01 2.75
P 0.00
Lampiran 8 Hasil sidik ragam jumlah kematian cacing dewasa H.contortus SK Perlakuan Galat Total
db 10 44 54
JK 330.11 31.60 361.71
KT 33.01 0.72
F hitung 45.97
F0.01 2.75
P 0.00 0.00
Lampiran 9 Hasil sidik ragam Lethal Time (LT50) cacing dewasa H.contortus SK Perlakuan Galat Total
db 3 16 19
JK 7.14 6.24 13.38
KT 2.38 0.4
F hitung 6.103
F0.01 5.29
P 0.06
Lampiran 10 Hasil uji lanjut Duncan mortalitas perkembangan larva infektif Perlakuan P0 P1 P5 P9 P2 P6 P7 P10 P3 P8 P4 Sig.
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
1 0,4
2
3
Subset 4
5
6
7
1,6 2,8 2,8 4 4,2 4,8
4,8 5,4 7 7,2
1.00
1.00
1.00
0.17
0.27
0.17
9 1.00
27
Lampiran 11 Hasil uji lanjut Duncan kumulatif perkembangan larva infektif Perlakuan
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
P0 P1 P5 P9 P2 P6 P7 P10 P3 P8 P4 Sig.
1 4
2
Subset 4
3
5
6
7
16 28 28 40 42 48
48 54 70 72
1.00
1.00
1.00
0.17
0.27
0.71
90 1.00
Lampiran 12 Hasil uji lanjut Duncan persentase mortalitas larva infektif Perlakuan P0 P5 P6 P9 P10 P1 P7 P8 P2 P3 P4 Sig.
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Subset 1 8,502
2
3
4
5
6
42,064 61,752 63,074 73,49 75,392 75,578 84,336 87,162 91,846 1.00
1.00
0.75
0.64
0.09
87.16 91.85 94.39 0.11
28 Lampiran 13 Hasil uji lanjut Duncan jumlah kematian larva infektif Perlakuan
N
1 9,8
5 5 5 4 4 5 5 5 5 5 4
P0 P5 P6 P7 P4 P3 P1 P9 P2 P10 P8 Sig.
2 48,2 58,6 66,25
1.00
0.06
Subset 3
58,6 66,25 68,25 70,6 71,6 77
0.08
4
5
66,25 68,25 70,6 71,6 77 81,8 82,2 118,75 1.00
0.13
Lampiran 14 Hasil uji lanjut Duncan Lethal Time (LT50) larva infektif Perlakuan
N
P4 P3 P2 P8 P7 P10 P1 P9 P6 P5 P0 Sig.
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
1 1,2918 1,2926
2
1,717 1,7194 1,8312
3
1,8312 2,0436 2,05
Subset 4
2,0436 2,05 2,237
5
6
7
2,237 2,3924 3,3774
0.99
0.32
0.06
0.09
0.15
1.00
4 1.00
29 Lampiran 15 Hasil uji lanjut Duncan persentase mortalitas cacing dewasa H.contortus Perlakuan
N
P0 P1 P5 P9 P2 P6 P7 P10 P3 P8 P4 Sig.
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
1 4
2
3
Subset 4
5
6
7
16 28 28 40 42 48
48 54 70 72
1.00
1.00
1.00
0.17
0.27
90 0.71 1.00
Lampiran 16 Hasil uji lanjut Duncan jumlah kematian cacing dewasa H.contortus Perlakuan
N
P0 P1 P5 P9 P2 P6 P7 P10 P3 P8 P4 Sig.
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
1 0,4
2
3
Subset 4
5
6
7
1,6 2,8 2,8 4 4,2 4,8
4,8 5,4 7 7,2
1.00
1.00
1.00
0.17
0.27
9 0.71 1.00
Lampiran 17 Hasil uji lanjut Duncan Lethal Time (LT50) cacing dewasa H.contortus Perlakuan P4 P8 P10 P3 Sig.
N 5 5 5 5
Subset 1 3.99 4.09
0.82
2
5.11 5.34 0.58
30 Lampiran 18 Hasil uji goodness of fit perkembangan larva Ekstrak Infusa Maserasi
Metode Pearson Deviance Pearson Deviance
db 3 3 3 3
X2 110.46 129.15 273.47 312.25
X2tabel 0.11 0.11 0.11 0.11
P 0.00 0.00 0.00 0.00
X2 456.05 586.14 165.07 233.62
X2tabel 0.11 0.11 0.11 0.11
P 0.00 0.00 0.00 0.00
Lampiran 19 Hasil uji goodness of fit larva infektif Ekstrak Infusa Maserasi
Metode Pearson Deviance Pearson Deviance
db 3 3 3 3
Lampiran 20 Hasil uji goodness of fit cacing dewasa H.contortus Ekstrak Infusa Maserasi
Metode Pearson Deviance Pearson Deviance
db 3 3 3 3
X2 33.99 53.69 107.74 151.96
X2tabel 0.11 0.11 0.11 0.11
P 0.00 0.00 0.00 0.00
SE 0.07 0.02
Z -20.20 24.00
P 0.00 0.00
0.06 0.01
-15 16.20
0.00 0.00
Lampiran 21 Hasil uji regresi perkembangan larva Ekstrak Infusa
Maserasi
SK Konstan Level Respon natural Konstan Level Respon natural
Koefisien -1.372 0.44 0 -0,87 0.23 0
Lampiran 22 Hasil uji regresi larva infektif Ekstrak Infusa
Maserasi
SK Konstan Level Respon natural Konstan Level Respon natural
Koefisien -5.239 0.29 0 -1.041 0.28 0
SE 0.04 0.01
Z -12.080 24.39
P 0.00 0.00
0.05 0.01
-21.970 24.81
0.00 0.00
31 Lampiran 23 Hasil uji regresi cacing dewasa H.contortus Ekstrak Infusa
Maserasi
SK Konstan Level Respon natural Konstan Level Respon natural
Koefisien -1.742 0.42 0 -1.292 0.26 0
SE 0.06 0.01
Z -28.710 30.24
P 0.00 0.00
0.05 0.01
-25.290 22.17
0.00 0.00
Lampiran 24 Spray dryer, daun kemuning, serbuk ekstrak infusa daun kemuning
Lampiran 25 Rotary evaporator, ekstrak maserasi daun kemuning
32 Lampiran 26 Pupukan Feses untuk uji larva infective Assay, vermiculite, pemanenan larva
Lampiran 27 Pupukan Feses untuk uji in vitro LDA, Mikroskop
33
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 5 Agustus 1993 dari Bapak Paimin Sitorus dan Ibu Senti Situmorang. Penulis merupakan anak ketiga dari 6 (enam) bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN 02 Jatisampurna Bekasi 1999-2003, SDN Cilangkap 03 Jakarta Timur pada tahun 2003-2005. Pendidikan dilanjutkan di SMPN 230 Jakarta 2005-2008. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN 58 Jakarta pada tahun 2008-2011. Penulis diterima di S1 IPB Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2011 dan lulus pada 8 Mei 2015. Sejak semester 7 program S1 tahun 2014 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program Sinergi S1-S2 (Fast Track) program studi Ilmu Nutrisi dan Pakan Sekolah Pascasarjana IPB. Semasa kuliah, penulis menjadi asisten mata kuliah Metode Statistika dan Pengantar Ilmu Nutrsi. Karya ilmiah y j “Benefit of Kemuning Leaves Meal to Supress Gastrointestinal Parasites of PE Goat” sis yang telah dipublikasikan melalui International Seminar on Animal Industry (ISAI 3 rd). K y y j “Phytochemical Screening and in vitro Ovicidal, Larvacidal, Nematicidal Murraya paniculata [L.] Jack Extract on Gastrointestinal Parasites on Goat” ss y saat ini sampai tahap penelaahan oleh mitra bestari jurnal Media Peternakan.