17
PENANGGULANGAN KEMISKINAN: ANTARA KEBIJAKAN DAN KEGIATAN SOSIAL Erie Sudewo Social Entrepreneur (Domisili Jakarta)
Abstract As a citizen of Indonesia, naturally we said Indonesia has many advantages. But not every country has its advantages and disadvantages. So Bangladesh can be proud. Although the country is not fertilized Indonesia, Bangladesh had the pearls so living monument. What is it? Grameen Bank. Be grateful We must be grateful indeed. Although not as popular as the Grameen Bank, we have a variety of BRI and microfinance institutions. There is also Gema PKM with RB and its KSM KSP. So microfinance model of the Credit Union, so unique that originally grew in the middle of the jungles of Borneo. That should never be forgotten too tough to survive Kospin Services based in Pekalongan. Even that is no less amazing, since 1993 until now, appeared thousands of Islamic Microfinance in Indonesia BMT models. An Islamic Microfinance institutions in the world that is only available in Indonesia. Favors what else shall we deny the Almighty God for His grace in Indonesia. Can anyone say the Earth Indonesia infertile. See Indonesian beautiful panoramic exotic and suave people. Tourists also often because once his friendly smile, while small children selling food said: "Buy me, sir. Buy me! ' But if there are neighboring and foreign countries who want to and imitate something from Indonesia? Bangladesh may not have a lot of advantages. However, many countries that want to follow and turn the Grameen Bank in the country. Similarly, in Indonesia. How many NGOs are inspired to apply the pattern of Grameen Bank in the country's Emerald of the Equator. Other other bottom fish. Japan and Korea could be an example of the lack of natural resources. But why they can move forward. Indonesia's resource rich, why not as advanced as Malaysia and Singapore. RESOURCE RICH or POOR was GRACE. People say, this is the destiny that God has the power. But SO RICH COUNTRIES and the ADVANCED OPTIONS. This talk MANAGEMENT, POLICY talk, talk how to manage. PENDAHULUAN Tak Berdiri Sendiri Sepanjang sejarah dunia, kita tak pernah mendengar ada rakyat di
sebuah negara yang menggugat Tuhan karena negerinya tak diberi sumber daya kaya. Bicara kekayaan alam
18
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akutansi I Vol. 22 No. 1 Juni 2014
memang bicara misteri-Nya, Hak Prerogatif-Nya. Sia-sia ketika kita paksa-paksa menggugat Tuhan. Namun pantaskah Indonesia digugat? Mengapa digugat? Karena buminya kaya raya tetapi rakyatnya sebagian masih hidup miskin. Mengapa dipertanyakan? Karena ini bicara KEBIJAKAN, bicara pengelolaan dan visi arah Indonesia ke depan. BPS mencatat, orang miskin di Indonesia ada 30-an juta. Di tahun 2010-an, ditengarai orang kaya Indonesia tumbuh jadi 100 juta. Dengan penduduk Indonesia yang 230 juta, maka ada selisih 100 juta orang yang tidak kaya dan tidak miskin. Pertanyaannya, tercatat dimana mereka? Jawabnya ada ketika kita pakai data World Bank. Di situ dikatakan orang miskin di Indonesia berjumlah hampir 50%. Data ILO lebih menyeramkan. ILO yakin orang miskin di Indonesia mencapai 60%. Begitulah ada negara yang tak punya kekayaan sumber daya alam tetapi tetap jadi negeri maju dan makmur. Mengapa? Karena KEBIJAKAN negara (pemerintah). Ada juga negeri yang alamnya kaya raya, tapi malah jadi miskin. Mengapa? Karena juga KEBIJAKAN. Maka di manapun, MAJU dan MAKMUR-nya negeri TAK BERDIRI SENDIRI. Berarti KEMISKINAN juga TAK BERDIRI SENDIRI. Dan yang harus digaris bawahi, kemiskinan di Indonesia oleh sebagian ahli dikategorikan dalam KEMISKINAN STRUKTURAL. Itulah ketika kebijakan pemerintah mendukung sebagian, sudah pasti berimbas pada lumpuhnya di sebagian yang lain. Ketika kita juga tidak jujur mengungkap data, maka
persoalan hidup miskin rakyat hanya jadi ‘barang mainan’ dan ‘angka statistik’. Karena politis dan ada kepentingan tertentu, hidup rakyat seolah jadi dadu yang bisa dilempar sambil bergurau. Kehidupan jadi liar seolah tak terkendali. Hukum tak tegak. Yang di rimba manusia, hukum punya postulat sendiri: ‘maju tak gentar membela yang bayar’. BUMN = Social Enterprise Ada alasan amat penting BUMN dan BUMD didirikan. Maka harus ada alasan dashyat ketika BUMN diprivatisasi. Membenahi BUMN tak otomatis harus dengan menjual. Memang terlampau menggampangkan soal bila dikatakan membenahi BUMN cukup dengan mengutak atik. Namun dengan total melepas BUMN, bukankah lebih menyederhanakan lagi persoalan bangsa. Jangan-jangan ini namanya ‘menembak nyamuk dengan meriam’. Pepatah Cina bilang: “Jika ingin merubah pagar, tanya dulu siapa yang membuat pagar”. Sedang Hoegeng, mantan Kapolri yang legendaris itu, karena sudah punya menolak mobil dinas. Sebagai Menteri Iuran Negara, beliau berkata: “Tugas saya mencari uang. Bukan malah menghamburhamburkan uang negara”. Dengan menjual BUMN, uang bukan lagi terhambur tapi telah lepas total. Mengapa BUMN diangkat? Inilah pertanyaan kunci. Perusahaan dan BUMN sama sosoknya, sama-sama perusahaan. Namun asal usul pendiriannya jelas berbeda. Perusahaan didirikan, motifnya jelas profit. Ketika akhirnya perusahaan juga bervisi membangun bangsa, itu perkembangan
Penanggulangan Kemiskinan : Antara kebijakan dan… (Erie Sudewo)
lebih lanjut. Sedang saat didirikan BUMN, tujuannya jelas memakmurkan negeri. Profit sudah pasti. Tetapi benefit untuk bangsa dan rakyat tetap jadi panduan utama. Benefit, itulah yang harus diterjemahkan, sebesar-besarnya untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Karena motif profit, hampir tiap perusahaan didirikan tanpa visi. Sedang BUMN, sekecil apapun, dia sudah dilandasi visi membangun negeri. Maka BUMN harus mampu menangkap pesan, the vision comes before the plan. Maka visi tanpa aksi hanya mimpi. Sedang aksi tanpa visi cuma rutinitas. Namun visi dan aksi meniscayakan hal-hal yang mustahil. Inilah sesungguhnya pesan yang harus ditangkap BUMN. Tak salah bila Ma Zedong, Bapak bangsa China, mengatakan: “Sebesar apapun persoalan keluarga adalah kecil. Tetapi sekecil apapun persoalan negara adalah besar”. Dari sosoknya, perusahaan dan BUMN memang sama. Tapi ditilik dari ruh atau jiwa jelas bedanya. Bagaimanapun perusahaan yang dibangun secara pribadi, swasta atau partikelir, jelas murni bisnis. Karena sekecil apapun harus punya visi, maka BUMN tak lain merupakan social enterprise sesungguhnya. BUMN memang perusahaan, tetapi tidak murni bisnis. Setidaknya ada dua (2) ciri yang menjadi ruh, mengapa BUMN atau BUMD dikatakan social enterprise. 1. Ciri pertama adalah KEPEMILIKAN 2. Ciri kedua adalah PERAN SOSIAL Pertama dalam kepemilikan, jelas negara pemiliknya. Dengan dimiliki negara, berarti sebesar-
19
besarnya laba dikhidmatkan bagi rakyat. Ketika BUMN diprivatisasi, soalnya bukan lagi anomaly tapi tatanan jadi rusak. Dengan privatisasi, pertanyannya, untuk siapa laba yang diperoleh. Jika pun ada untuk rakyat, berapa besar. Ketika dijual, pertanyaan lanjutan, atas dasar apa BUMN dijual. Ingat pengelola hanya pemegang amanah bukan pemilik. Maka kembali ditegaskan, atas dasar apa BUMN yang milik negara dijual kepada perorangan. Dengan privatisasi BUMN, generasi penjual jelas tak paham UNTUK APA dan UNTUK SIAPA BUMN itu dibangun. Dengan tak paham, inilah yang kita khawatirkan. Negeri ini dilahirkan oleh para PEMIMPIN dan PEMIKIR. Tetapi jangan-jangan negeri ini kini hanya dipimpin para MANAJER ADMINISTRATIF saja. Mereka piawai mengutak atik keuntungan, dari satu target ke target berikut. Tetapi mereka tak paham kapal ini sedang berlayar kemana. Pasti ada alasan mengapa BUMN dijual. Tetapi lebih banyak alagi alasan, mengapa pemimpin negeri harus membuat BUMN. Ketika alasannya tuntutan globalisasi, masalahnya mengapa kita harus “menari di atas gendang orang lain”. Memang jadi tertuduh saat bersiasah tak larut dalam LIAR-nya GLOBALISASI. Namun apakah tak lebih pelik, lebih berat, dan lebih sulit mengatasi sebagian besar hidup rakyat yang terkena imbasnya. Lebih jauh lagi, bukankah kebijakan ini mewarisi persoalan dashyat pada generasi mendatang. Ciri kedua adalah peran social. Mengingat pemilik adalah rakyat, maka
20
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akutansi I Vol. 22 No. 1 Juni 2014
wajar pengelolaan BUMN tak seperti swasta. Ketika perusahaan partikelir mencari laba sebesar-besarnya, justru BUMN jadi penetralisir sekaligus penstabilitas harga. Karena milik rakyat, laba tak perlu total diserahkan pada kas negara. Dengan mengurangi harga, itulah laba sesungguhnya yang langsung bisa dinikmati rakyat seharihari. Ini hanya bicara siasah kebijakan. Dengan peran social, BUMN akan ditertawai perusahaan lain. Yang jadi soal, mengapa kita resah dibicarakan orang. Tapi resahlah jika kita tidak paham prinsip mengapa BUMN dibangun. Bunda Theresa berujar: “Ketika hendak berbuat baik dibicarakan orang, tetaplah untuk berbuat baik”. Maka tak usah resah pula, bila dituding BUMN mencampurkan soal bisnis dan social. Karena justru itu kelebihan BUMN yang social enterprise. Ada model bisnis yang mempertemukan hal itu. Ketika ditertawai, pasti oleh pihak yang tidak mengusung konsep social enterprise. CSR Dua ciri social enterprise tersebut, jelas menandai itulah CSR (Corporate Social Responsibility) sesungguhnya. Tegasnya CSR yang melekat dalam BUMN sebagai social enterprise sedari awal telah mencegah dampak buruk yang ditimbulkan perusahaan. Inilah konsep terbaik, inilah The Real CSR. Sebuah tanggung jawab sesungguhnya, karena mencegah kerusakan sejak awal. Berbeda dengan madzhab CSR sekarang, bertindak guna mengatasi dampak buruk perusahaan. Bukan berarti CSR sekarang tak bermanfaat. Sungguh bermanfaat,
hanya bertindak setelah terjadi dampak buruk. Bagi negara, konsep social enterprise yang menjadi ruh The Real CSR, boleh dikatakan jadi blessing in disguise. Para perumus BUMN paham akan konsep ini. Yang bisa jadi justru ini tak dipahami generasi penerus. Alangkah baiknya konsep yang melekat pada BUMN ini dilestarikan sebagai KEBIJAKAN negara yang amat penting. Mengapa dikatakan penting, ada beberapa hal yang patut dijadikan catatan seperti di bawah ini. Pertama bicara harga. BUMN punya CSR terbaik yang tak dimiliki perusahaan lain. Apa itu? Keleluasaan BUMN dalam menekan harga dari barang dan jasa produksinya. Mengapa leluasa? Karena pemilik BUMN adalah rakyat yang dikelola pemerintah, sedang pembelinya juga rakyat. Dari rakyat, oleh pemerintah, dan untuk rakyat. Maka ini berkait dengan masalah subsidi. Bukan rakyat yang disubsidi, tapi tetaplah subsidi BUMN. Tujuannya agar bisa memberi harga yang bisa dijangkau rakyat. Artinya ketika salah mengurus BUMN dan sumber daya, jangan dibiaskan dengan istilah subsidi. Ini indah di-retorika, tetapi mengacaukan tatanan pengelolaan negara. Tak lagi jelas siapa bertanggung jawab apa. Dengan BUMN tak dimiliki negara, pemilik baru tentu keberatan dengan konsep social enterprise. Jika bisa ambil untung sebesar-besarnya, ya just do it. Akhirnya bukan subsidi yang jadi soal. Masalahnya konsep social enterprise BUMN belum dipahami baik. Kedua bicara inflansi. Dengan harga diredam, sedikit banyak juga bisa
Penanggulangan Kemiskinan : Antara kebijakan dan… (Erie Sudewo)
jadi factor penahan gejolak inflansi yang seolah tak pernah kompromi. Pasti bakal terjadi gejolak dan protes dari sana sini. Dalam bisnis ini wajar. Yang jadi masalah, mana lebih penting: Apakah kita harus kompromi pada protes itu? Atau kita konsen pada citacita negara dalam memudahkah hidup rakyatnya? Bukankah negara dibangun dengan tugas utama menjamin rakyat agar bisa hidup baik. Ketiga bicara lokomotif. Dengan keleluasan menekan harga, sungguh akhirnya BUMN-pun bisa jadi lokomotif pembangunan. Bisa berkelanjutan, adil, dan merata bagi seluruh negeri. Bukankah ini cita-cita yang diimpikan pendiri negeri agar kita bisa hidup mandiri di kaki sendiri. Sekali lagi bukankah ini The Real CSR. Manfaat BUMN jelas bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya untuk urusan community development yang terbatas di sekitar lokasi operasi perusahaan. Dengan BUMN konsep community development berubah jadi nation development. Keempat bicara tak memiskinkan. Dengan harga wajar yang dimotori BUMN, cara ini tak memiskinkan negeri. Semakin banyak rakyat yang bisa membeli, semakin pula BUMN bisa eksis dan makin berkembang.. Dengan harga wajar, berangsur-angsur rakyat bisa hidup tidak lagi di bawah garis kemiskinan. Ini bukti dan tindakan langsung dalam menanggulangi kemiskinan. Kelima tentang lapangan kerja. Dengan kiprah seperti itu, BUMN tertata makin professional. Produk makin baik, layanan jasa juga makin memikat. Permintaan akan barang dan
21
jasa meningkat, otomatis permintaan SDM bertambah. Bisa jadi juga akan tumbuh usaha turunan, baik di lingkungan BUMN maupun di masyarakat. Lapangan kerja pun akan terus bertambah yang otomatis gerak kemiskinan dihambat. Keenam tak perlu privatisasi. Dengan pola kerja BUMN yang professional di atas, pertanyaannya, perlukah BUMN diprivatisasi? Privatisasi bukan satu-satunya jalan keluar bagi BUMN bermasalah. Pahami profile BUMN yang sesungguhnya social enterprise. Setidaknya ada lima (5) hal seperti dituang di atas, yang memetakan peran strategis BUMN. Sebagai garda amat penting dan terdepan dalam menormalkan bahkan mensejahterakan rakyat, jelas harusnya BUMN dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Privatisasi bukan hanya mencenderai makna kepemilikan BUMN dan manfaat sosialnya. Yang paling mengkhawatirkan, asset negara berubah pemilik. Seiring perubahan pemilikan, tatanan kehidupan ekonomi bangsa rusak. Yang ada cuma perlombaan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Lantas ekspansi bisnis juga merambah apapun, dimanapun, dan kapanpun. Maka seperti Mahatma Gandhi katakan: “Bumi ini cukup untuk 7 generasi. Tetapi tidak cukup untuk 7 pengusaha serakah”. Bagi BUMN, kekhawatiran Mahatma Gandhi tak beralasan. Karena semakin besar BUMN, semakin sejahtera rakyat. Semakin kaya BUMN, artinya rakyat jelas semakin baik pula kehidupannya. Justu BUMN yang
22
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akutansi I Vol. 22 No. 1 Juni 2014
menyadari peran social enterprise, pasti jadi mitra terbaik dalam memaknai ucapan Mahatma Gandhi. Sebab BUMN ini bakal berdiri di garda terdepan dalam menaklukan keserakahan perusahaan ambisius yang ingin mencaploki apapun. PKBL
BUMN adalah KEBIJAKAN negara. Sedang PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) di BUMN hanyalah KEGIATAN SOSIAL. Esensinya PKBL pun merupakan kebijakan. Tetapi sama seperti adanya Depsos, memang kebijakan tetapi kebijakan lakukan kegiatan social. Setelah ada dampak buruk, baru kegiatan social berfungsi. Ketidakadaan dampak buruk, maka perlukah diadakan kegiatan social? Untuk menjawabnya perhatikan kehidupan orang tak miskin. Orang yang cukup mapan atau kaya, perlukah disantuni? Perbedaan antara PKBL dengan social enterprise, itulah ada pada cara. Social enterprise sejak awal sudah mencegah munculnya kemiskinan. Sedang PKBL baru berjalan setelah ada masalah. Maka PKBL berfungsi untuk mengatasi semampu-mampunya dampak yang ditimbulkan. Dari segi manfaat, tentu saja PKBL pun sangat bermanfaat. Bahkan PKBL menambah pendulum pemberdayaan di masyarakat. Masalahnya PKBL dianggap primadona sejumlah BUMN. Dalam konteks belum dipahaminya social enterprise ini tidak keliru. Bahkan memang harus menjadi satu andalan penting pemberdayaan. Tetapi mau tak mau, kita harus mulai memaknai social
enterprise sebagai jiwa BUMN. Hanya dengan itu kita bisa memahami mengapa BUMN dibangun oleh pencetus negeri ini. Maka ada beberapa tugas kita saat ini. Pertama kembalikan BUMN kembali kepada khittahnya. Yakni pahami maksud tujuan didirikannya BUMN di awal dahulu. Dengan mengulik makna social enterprise, kita jadi paham bahwa tugas utama negara melalui BUMN adalah memakmurkan dan tidak memiskinkan negeri. Karenanya kedua pertegas bahwa menjual BUMN bukan cara yang maruf dan bijak. Ini amat bertentangan dengan asal muasal mengapa BUMN didirikan. Alasan Banyak alasan mengapa Indonesia putuskan kebijakan import. Tapi lebih banyak lagi alasan mengapa kita harus hidup-hidupkan produk lokal. Mana lebih strategis: Impor pangan atau gigih berjuang bangkitkan ketahanan pangan? Memutuskan impor atau dukung ketahanan pangan, keduaduanya kebijakan. Bagi pebisnis, fokus pada import atau ketahanan pangan hanyalah pilihan. Sebab keduanya juga menghasilkan laba. Orang kaya dan pengusaha sudah bisa urus dirinya, mengapa kita justru setengah hati mengurus rakyat jelata. Kebijakan import hanya untungkan pihak luar dan importir. Sedang kebijakan bangun ketahanan produk lokal, untungkan anak negeri dan tentu para pengusaha juga. Importir pun bakal balance hidupnyakarena akhirnya juga bakal
Penanggulangan Kemiskinan : Antara kebijakan dan… (Erie Sudewo)
banyak mengekpor produk Indonesia ke luar. Mendukung para pebisnis dengan kebijakan tentulah penting. Namun yang tak kalah penting, Indonesia harus rumuskan kebijakan yang TIDAK MEMISKINKAN negeri. Ada banyak kendala benahi BULOG. Daripada sekadar jadi pedagang beras terbesar di Indonesia, tentu jihad kembalikan BULOG pada khittahnya. Sebagai BUMN, BULOG harus jadi penjaga ketahanan pangan Indonesia. Tak sedikit alasan Syang Hyang Seri belum terlirik. Namun masihkah diperlukan alasan, agar BUMN ini jadi lapis utama dalam mendukung ketahanan pangan. Membangun perumahan juga perkara penting. Masalahnya ketika kebutuhan lahan harus mengorbankan lahan-lahan produktif, bukankah kebijakan ini perlu ditinjau ulang. Rumah tetap rumah meski dibangun di atas tanah apapun. Rumah tak lantas tumbuh subur ketika dibangun di lahan sawah. Juga rumah tak jadi kurus kering karena didirikan di atas tanah bebatuan. Tetapi padi pasti jadi masalah ketika ditanam di lahan tak subur. Kebijakan yang tutup mata atas digusurnya lahan-lahan sawah, tegastegas menggoyang dan merapuhkan sendi-sendi ketahanan pangan. Tentu prihatin melihat bendungan yang sedikit banyak dibangun dengan utang, akhirnya tak berperan maksimal. Begitulah lahan sawah irigasi, kini terus berubah fungsi. Sawah hilang sedang utang belum lunas. Sawah hilang, ada yang lantas mengatakan: “Impor saja”.
23
Maka perhatikan. Orang lapar itu biasa. Sebab dalam kondisi tertentu, tiap orang bisa lapar. Tetapi ketergantungan akan impor makanan pokok jelas berbahaya. Ini menyangkut soal keamanan bangsa. Dengan impor beras sebesar-besarnya, kita pertaruhkan hidup bangsa pada pasokan luar. Begitu impor bermasalah karena berbagai sebab, kerawanan terjadi di dalam negeri. Inilah bom social yang letupannya hanya masalah waktu. Masalah lain BBM misalnya, dengan soscial enterprise harusnya tak lagi jadi isu siginifikan. Sebab Pertamina memang punya peran social. Jika Pertamina hanya memburu laba, yang harus diingat, Pertamina bukan milik perorangan. Ketika Pertamina digugat pesaing karena menstabilkan harga, memang itulah social enterprise yang punya fungsi social. Jangan sibuk mengurus tetangga, namun sudahkah kita penuhi kebutuhan orang rumah. Peran negara melalui Pertamina, atau BUMN lainnya, mengatasi kesulitan hidup rakyat. Tugas negara yang terpenting, mewujudkanwelfare state Beda Sudut Pandang Dalam kaca mata saya, awalnya Grameen Bank hanya kegiatan pemberdayaan. Ketika kini telah jadi kekuatan, entah apakah kondisi Bangladesh sama dengan Indonesia. Artinya kebijakan perbankan Bangladesh, apakah membolehkan Bank Umum merambah juga skala mikro. Jika jawabnya YA, Grameen Bank memang layak dipelajari sungguhsungguh. Ketika jawabnya TIDAK, maka tegas “lain lubuk lain ikannya”. Saya
24
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akutansi I Vol. 22 No. 1 Juni 2014
tidak tahu, apakah Grameen Bank jadi PESAING atau MITRA pemerintah Bangladesh. Di Indonesia, Bank Umum diizinkan bahkan difasilitasi masuk ke ranah mikro. Tujuan pasti baik, membantu orang bawah dapat kesempatan. Tetapi kebijakan ini tak melihat sisi lain. Tak bijak merumus kebijakan hanya dengan satu atau dua pertimbangan saja. Dalam arena tinju, tak boleh petinju Kelas Berat melawan Kelas Bulu. Maka dengan diizinkannya Bank Umum ke sector mikro, kebijakan ini menjungkal fondasi institusi microfinance yang sudah ada di masyarakat. Ketika lembaga mikro ini bisa bertahan, bukan karena hebat. Cuma karena tak ada pilihan, bagaimanapun terpaksa harus bertahan hidup. Dengan kebijakan ini, bisakah tumbuh lembaga keuangan mikro setangguh Grameen Bank? BRI yang total disokong pemerintah pun tak punya kesempatan mendapat nobel seperti Grameen Bank. Dengan kebijakan yang tak mendukung, bisakah tumbuh lembaga-lembaga pemberdayaan yang kuat di masyarakat? RUU Ormas kini tengah digugat LSM. Di ranah yang tak berbeda, UU nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, kini masuk dalam Judicial Review di MK. Mengapa? Karena UU itu tak lagi mengizinkan lembaga berbasis zakat beroperasi. Entah apakah sudut pandang pemerintah, harus selalu bertolak belakang dengan masyarakat. Keberhasilan institusi di masyarakat, kadang dipersepsi berbeda. Alih-alih mendapat karpet merah, malah
tersudut jadi pesaing. Padahal lembaga pemberdayaan di masyarakat hanya sekadar membantu mengatasi kemiskinan yang tak dirambah pemerintah. Pasti ada alasan ketika kiprah institusi masyarakat ini dipalu godam dengan UU. Seiring padamnya institusi itu, sejumlah kearifan yang tumbuh dalam prose’s profesionalitas itu juga turut musnah. Sesungguhnya apa yang dilakukan masyarakat hanyalah kegiatan social. Sedang UU adalah produk kebijakan. Kebijakan tentu lebih kuat ketimbang kegiatan. Padahal kemiskinan di Indonesia adalah KEMISKINAN STRUKTURAL yang terjadi karena kekeliruan KEBIJAKAN. Kemiskinan ini tak bisa dilawan dengan kegiatan social. Kemiskinan structural harus dilawan dengan kebijakan pula. Apa kebijakan untuk itu? Di antaranya jangan jual, dan kembalikan peran BUMN pada khittahnya sebagai social enterprise. Tak bisa kemiskinan hanya dilawan dengan PKBL dan CSR. Keduanya baik PKBL dan CSR adalah contoh kegiatan social. Ketika pemerintah tak mau kembalikan BUMN pada cita-cita asal muasal didirikan, maka pemerintah telah melakukan dua kekeliruan besar. Kekeliruan pertama, tugas BUMN yang memakmurkan negeri tak berjalan. Dengan beralihnya kepemilikan BUMN, kemakmuran jadi tak merata. Seperti telah dijelaskan di atas, dengan tak berfungsinya peran stabilitas harga dan lokomotif ekonomi, akhirnya hanya sebagian orang yang mampu hidup normal. Dampak luasnya kemiskinan pun terproduksi tak tercegah.
Penanggulangan Kemiskinan : Antara kebijakan dan… (Erie Sudewo)
Kekeliruan kedua, untuk mengatasi kemiskinan, pemerintah tegaskan bahwa PKBL jadi salah satu senjata ampuh BUMN. Kendati kebijakan pemerintah, PKBL tetap di ranah kegiatan social. Kemiskinan di Indonesia tak bisa hanya diatasi dengan kegiatan social. Harus dilawan dengan KEBIJAKAN pula. Apa itu? Tinjau ulang PRIVATISASI BUMN. Kesimpulan Begitulah BUMN jadi satu kasus menarik. Karena ada dua (2) kebijakan penting yang antagonistis. Pertama kebijakan menjual BUMN yang mengurangi peran strategisnya. Lantas dalam mengatasi dampaknya, ternyata pemerintah hanya mengatasi dengan PKBL. Suatu kebijakan tapi sekadar untuk kegiatan social saja. Mengatasi 100 keluarga miskin, itulah KEGIATAN SOSIAL. Mengatasi 100 ribu keluarga miskin, itulah kiprah perusahaan. Tapi mengatasi 1 juta keluarga miskin, itulah KEBIJAKAN NEGARA. Ada banyak alasan mengapa Indonesia dibangun. Tapi lebih banyak lagi alasan, mengapa Indonesia harus mengusung konsep welfare state. Ada kegundahan luar biasa ketika The Fund for Peace memasukkan Indonesia dalam kategori ‘Negara Gagal’. Kita paham harus ada alasan untuk menolak kategori itu. Tetapi apakah masih dicar-cari alasan untuk mengatasi kegagalan Indonesia. Pasti kita resah dikatakan Negara Gagal. Tetapi apakah kita sungguh-sungguh resah mengapa kita dikatakan gagal. Sungguh-sungguhkah kita resah melihat angka kemiskinan di negeri yang subur makmur ini.
25
Lihat semua harga di Indonesia terus melambung. Dulu uang pernah dipotong dari Rp 1.000 jadi Rp 1,- saja. Dollar pun kini makin kuat dan tetap bertengger di angka Rp 9.000-an per US$ 1. Maka Soekarno pun seolah bisa merasai apa yang bakal terjadi di Indonesia kelak. Dia berkata: “Barangkali kita memang harus hidup sederhana. Tapi itu tak mengapa. Asal kita masih punya harga diri”. Barangkali Soekarno ingin menyindir kondisi hari ini: “Harga terus melambung kecuali harga diri”. Sebagian kita telah hidup mapan. Tetapi sebagai negara apakah Indonesia memang masih punya harga diri? Simpul terkuat sebuah bangsa terletak pada simpul terlemahnya. Apa simpul terlemah Indonesia? Itulah kemiskinan. Dengan mengatasi kemiskinan, bakal tumbuh orang kuat baru. Kemiskinan berangsur teratasi, otomatis negara bakal menjadi makin kuat karena terus ditopang oleh orang-orang yang jadi kuat. Maka kini masihkah diperlukan alasan untuk sungguh-sungguh mengatasi kemiskinan? Abraham Lincoln mengatakan: “Kita dapat berbohong pada semua orang di satu masa. Kita juga dapat berbohong pada sebagian orang dalam waktu lama. Tapi kita tak dapat berbohong pada semua orang selama-lamanya”. Saya juga kurang sependapat Indonesia dikatakan ‘Negara Gagal”. Sebab negeri ini terlampau kaya. Tak sedikit warga Indonesia yang belum tersentuh pembangunan. Toh mereka tetap bisa hidup di pelosok-pelosok negeri. Jelas ‘Negara Indonesia’ tak gagal. Maka dengan beribu-ribu
26
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akutansi I Vol. 22 No. 1 Juni 2014
permohonan maaf, mungkin yang gagal adalah pemerintah kita. Dengan mengakui bahwa kita gagal, itu cara tepat agar tak terperosok ke ‘Negara Gagal”. Artinya dengan mengakui, kita akan serius berbenah. Sebaliknya ketika enggan mengakui, kita pun hanya berada di lajur yang kita anggap sudah on the right track.
Ketika ini yang dipilih, sungguh kelak Indonesia benar-benar bakal jadi ‘Negara Gagal’. Ironis bukan. Kelas mapan kita ada di angka 100 juta. Sebuah jumlah yang tiga kali lipat dibanding penduduk Malaysia. Soalnya, mengapa kita tetap dikategorikan ‘Negara Gagal’? Wallahu’alam