Publico, Volume 2, Nomor 1, Februari 2017
PENANGGULANGAN BENCANA SEBAGAI KEPENTINGAN UMUM Rudi Kristian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara jondimitri77@gmail. com
ABSTRAK Bencana merupakan bentuk realitas dalam menguji pondasi kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia. Sebagai ukuran dalam melihat sejauh mana pemerintah dan masyarakat menghadapi dan bisa bertahan terhadap dampak yang ditimbulkan. Bencana erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo terjadi tahun 2010 dan kembali erupsi pada September tahun 2013 yang hingga kini aktivitasnya tidak berhenti. Bencana ini membawa dampak yang sangat luar biasa khususnya bagi 26 desa di sekitarnya dan umumnya sebagian besar Kabupaten Karo. Erupsi gunung Sinabung memberikan pengalaman baru bagi pemerintah Indonesia dalam memberikan respon penanggulangan bencana. Kebijakan bisa dipahami sebagai alat/tools pemenuhan kepentingan umum. Jadi bila alat/tolls tersebut tidak efektif maka alat tersebut bisa diperbaiki atau diganti. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data wawancara. Kebijakan yang perlu di tinjau ulang adalah Peraturan Kepala BNPB No 3 tahun 2008 terkait Pedoman Pembentukan BPBD dan Permendagri No 46 Tahun 2008. Pembentukan BPBD harus dilakukan di setiap daerah terutama daerah yang memiliki potensi bencana. Peninjauan ulang bertujuan menempatkan kepentingan umum sebagai acuan utama penerbitan kebijakan. Kata kunci: Bencana, kebijakan, kepentingan umum.
PENDAHULUAN Bencana dan dampaknya merupakan bentuk realitas untuk menguji pondasi kebijakan Penanggulangan bencana di Indonesia. Sebagai benturan untuk melihat sejauh mana pemerintah dan masyarakat bisa menghadapi dan bertahan terhadap dampak/cost yang ditimbulkan. Kehadiran bencana seyogyanya bukanlah sebuah hal yang patut disyukuri, namun bila ingin melihat perkembangan kemampuan penanggulangan bencana kita, bencana merupakan hal yang tepat untuk diundang agar kita bisa melihat sejauh mana kemampuan kita menghadapi bencana dan bisa bertahan bahkan bisa memukul balik bencana tersebut. Bencana terdiri dari beberapa bentuk, bencana alam, bencana sosial dan bencana non alam atau yang disebabkan oleh manusia. Secara geologis posisi Indonesia terletak diantara tiga lempeng tektonik besar, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Menurut Loui (dalam Kodoatie, 2006:46), pertemuan lempeng-lempeng ini membuat Indonesia sebagai salah satu Negara yang paling banyak perubahan geologinya di dunia. Kepungan tiga lempeng tektonik dunia tersebut membentuk Pasific Ring Of Fire, yang juga merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia yang setiap saat dapat meletus dan mengakibatkan datangnya bencana. Pasific Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik disinyalir adalah daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Sehingga kita akan sering bersinggungan dengan erupsi gunung api dan gempa bumi. Menurut penelitian badan survei geologi Amerika Serikat/USGS (dalam greenjournalist. net) sejak tahun 1900 di sepanjang jalur cincin api setiap tahunnya rata-rata terjadi 20 gempa bumi dengan kekuatan lebih dari 7, 0 skala richter. Di 49
Publico, Volume 2, Nomor 1, Februari 2017 jalur cincin api ini ada 40 persen gunung berapi yang masih aktif. PVMBG mencatat kita memiliki kurang lebih 127 gunung aktif, artinya kapan saja dan dimana saja, kita akan berhadapan dengan gunung api, namun yang sayangnya tidak ada yang bisa memastikan kapan gunung tersebut akan erupsi/meletus. Salah satu gunung yang tak disangka akan meletus adalah Gunung Api Sinabung di Kabupaten Karo. Sejak erupsi pada tahun 2010, dan kemudian kembali erupsi pada September tahun 2013 yang hingga kini aktivitasnya tidak berhenti, bahkan di penghujung tahun 2016 berada pada level tertinggi. Membawa dampak yang sangat luar biasa khususnya bagi 26 desa di sekitarnya dan umumnya hampir seluruh daerah di Kabanjahe terkena dampak abu. Erupsi Gunung Sinabung memberikan pengalaman baru dan berharga bagi pemerintah Indonesia dalam memberikan respon penanggulangan bencana. Bila di bandingkan dengan beberapa gunung di Indonesia seperti gunung Merapi, saat gunung Merapi erupsi, dampak yang ditimbulkan tidak memakan waktu yang cukup lama, karena setelah Merapi erupsi, level gunung Merapi berangsur turun, sehingga masyarakat tidak perlu berlama-lama di pos pengungsian. Sedangkan erupsi gunung Sinabung masih terus erupsi sampai sekarang. Hal ini jelas sangat menyita tenaga, materi dan psikis semua kalangan. Dan hal ini belum pernah dihadapi sebelumnya. Penanggulangan Bencana Penanggulangan bencana terdiri dalam 3 siklus, yakni pra bencana, tanggap darurat (saat bencana terjadi) dan pasca bencana. Dalam penanggulangan bencana, akan sering menghadapi masalah. Beberapa masalah yang sering muncul dilapangan dalam penanggulangan bencana adalah: (1) Keterbatasan sumber daya manusia. Tenaga yang ada umumnya mempunyai tugas rutin yang lain, Sumber daya manusia belum terlatih sehingga tidak memiliki kapasitas dalam menghadapi bencana; (2) Keterbatasan sarana dan prasarana. Tidak tersedianya penampungan/pusat pelayanan untuk jumlah korban skala besar. Pada erupsi gunung Sinabung, budaya lokal seperti jambur atau wisma menjadi tempat pengungsian walaupun memiliki dinding yang terbuka, tapi setidaknya menjadi tempat pengungsian sementara sambil menunggu bantuan tenda pengungsi; (3) Sistem Kesehatan. Belum tersedia secara khusus untuk menghadapi bencana, terutama bencana yang berpotensi menimbulkan jumlah korban yang besar. Sistem rumah sakit pada umumnya belum disiapkan untuk menghadapi korban bencana skala besar (sumber: no name) Disamping masalah yang dihadapi oleh pemerintah di atas, korban erupsi gunung sinabung yang menjadi pengungsi juga memiliki banyak masalah sebagai dampak dari bencana erupsi Sinabung. Salah satu Desa yakni Sigaranggarang, masalah yang sampai sekarang belum ditemukan jalan keluarnya adalah fungsi sosial masyarakat tersebut, mulai bosan dengan kehidupan di pos pengungsian, terkait kepemilikan lahan, dulunya pengungsi memiliki lahan yang cukup untuk membiayai seluruh keluarganya, sekarang tidak punya lahan, sehingga untuk bertahan hidup, mereka ada yang bekerja di ladang orang lain sebagai aron (pekerja harian), dulu punya lahan dan mempekerjakan orang lain, sekarang malah menjadi pekerja bagi orang lain. Hal ini masih sulit untuk diterima oleh pengungsi. Dulu di rumah bebas mau beraktivitas, sekarang harus beraktivitas secara terbatas karena harus berbagi dengan pengungsi lainnya, dan ada pembagian waktu dalam melakukan aktivitas, contohnya jam makan, makan harus pada jam tertentu. Lain lagi dengan pengungsi yang sudah menetap di Siosar yang berasal dari desa Simacem, Bekerah dan Suka Meriah, masyarakat mendapat rumah dan lahan untuk ditanami, lahan seluas ½ Ha diberikan hak pinjam pakai selama 20 tahun. Walaupun begitu ada kesamaan dengan pengungsi yang berasal dari desa Sigaranggarang terkait lahan, dulunya yang tinggal satu rumah terdiri dari 2-3 kepala keluarga dan mengerjakan lahan yang luas sehingga bisa menghidupi seluruh keluarga setelah di Siosar, mereka hanya mendapat 1 rumah karena kebijakan rumah ganti rumah, demikian juga dengan lahan 50
Publico, Volume 2, Nomor 1, Februari 2017 yang mereka terima, ½ Ha dibagi untuk 2-3 kepala keluarga, jelas ini menjadi tantangan baru bagi mereka. Sehingga banyak pengungsi yang terpaksa menyewa lahan untuk ditanami, menjadi aron di ladang orang lain. Demikian juga dengan warga yang di desanya dulu merupakan penyewa rumah dan tidak memiliki ladang, bagaimana dengan mereka?, mereka tidak dapat rumah dan juga tidak dapat ganti rugi lahan. Hal tersebut menjadi tantangan juga bagi pemerintah. Memang bencana tidak memberikan solusi terhadap dampak dari bencana, untuk itulah pemerintah harus bisa memberikan solusi. Pemerintah mungkin tidak akan bisa mengakomodir semua kebutuhan pengungsi, tapi sebaiknya pemerintah bisa memberikan alternatif bagi masyarakat/korban bencana. Kebijakan Penanggulangan Bencana Dalam pembuatan kebijakan, pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kepentingan umum. Karena esensi dari pembuatan kebijakan adalah respon terhadap kepentingan umum itu sendiri. Menurut Thomas R. Dye kebijakan publik sebagai “whatever governments choose to do or not to do, why they do it, and what differences it makes”. Disini ditekankan bahwa kebijakan publik merupakan keputusan yang dibuat oleh pemerintah terkait sesuatu hal, baik dengan membuat keputusan atau mengabaikannya. James Anderson dalam Nugroho (2013:3), kebijakan publik sebagai a relative stable, purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern. Subarsono (2005:2) memberikan pengertian singkat dari definisi James Anderson sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Disini penekanannya ada pada aktor pembuat kebijakan tersebut, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/aparat otomatis merupakan kebijakan yang bertujuan untuk kepentingan publik. Berdasarkan pengertian kebijakan publik tersebut, menurut Subarsono (2005:3) kebijakan publik bisa berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah Kota/Kabupaten, dan Keputusan Walikota/Bupati. Secara tidak langsung bisa diambil kesimpulan bahwa kebijakan dapat pula dipandang sebagai sistem. Dan harus diingat bahwa kebijakan yang diambil pemerintah merupakan untuk kepentingan orang banyak/umum, sehingga apabila kebijakan pada akhirnya tidak mengakomodir kepentingan orang banyak maka perlu dilakukan evaluasi terhdap kebijakan tersebut. Karena kebijakan berdiri untuk pemenuhan kepentingan umum, bilamana kepentingan umum tidak bisa dipenuhi, kebijakan perlu dibatalkan walaupun ada resiko terhadap pembatalan kebijakan tersebut. Disini kebijakan bisa dipahami sebagai alat/tools untuk pemenuhan kepentingan umum. Jadi bila alat/tolls tersebut tidak efektif maka alat tersebut bisa diperbaiki atau diganti. Untuk membahas kepentingan umum maka tidak bisa lepas dari etika dalam konteks kebijakan publik. Menurut Kumorotomo (1992: 361) etika ada dua yaitu etika individual dan etika societal. Etika Individual menyangkut standar perilaku profesional bagi birokrat atau administrator. Sedangkan etika societal merujuk kepada tujuan-tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat yang merupakan pedoman bagi arah kebijakan publik. Kebijakan penanggulangan bencana harus mengutamakan kepentingan umum, sehingga bila kebijakan yang diambil menghambat pemenuhan kepentingan umum sudah seharusnya kebijakan tersebut ditinjau ulang. Karena tidak memenuhi etika societal. Atau bila ternyata kebijakan yang dibuat belum menyinggung kebutuhan-kebutuhan publik, sehingga perlu dibuat kebijakan baru.
51
Publico, Volume 2, Nomor 1, Februari 2017 Salah satu kebijakan yang perlu di tinjau ulang adalah Peraturan Kepala BNPB No 3 tahun 2008 terkait Pedoman Pembentukan BPBD dan Permendagri No 46 Tahun 2008. Pembentukan BPBD harus dilakukan di setiap daerah terutama daerah yang memiliki potensi bencana, seperti keberadaan gunung api aktif, sejarah banjir bandang, longsor dan sebagainya. Peninjauan ulang bertujuan menempatkan kepentingan umum sebagai acuan terbitnya kebijakan. Keterlambatan pembentukan BPBD di Kabupaten Karo tidak bisa dipungkiri merupakan sebagai akibat dari peraturan ini, sehingga penanggulangan bencana masih ada pada Dinas Sosial dan Bakesbanglinmas (BPBD Karo dibentuk sekitar bulan Februari 2014). Demikian juga dengan sanksi, seharusnya perlu diberikan kepada daerah yang tidak memiliki BPBD dan peraturan daerah terkait penanggulangan bencana. Memang keberadaan BPBD didaerah bukan bagian dari komando BNBP tetapi, tujuan berdirinya lembaga-lembaga tersebut adalah untuk pemenuhan kepentingan umum dimana BNPB menjadi koordinator nasional dalam penanggulangan bencana. Sampai saat ini peraturan daerah terkait pengurangan resiko bencana di Kabupaten Karo masih pada tahap prolegda, sudah diajukan sejak tahun 2015, harapannya tahun ini bisa disetujui dan diterbitkan. Kondisi gunung Sinabung yang masih terus erupsi dan tidak bisa diprediksi mungkin akan memberi dampak kepada desa-desa di sekitarnya. Sehingga perlu dilakukan penanggulangan bencana pada tahap pra bencana. Pembangunan dan Kepentingan Umum Pembangunan merupakan intervensi yang terorganisir oleh pemerintah terhadap isu dan masalah yang berkembang dalam masyarakat. Pembangunan sejatinya adalah proses perubahan menuju ke arah yang lebih baik dengan kemungkinan terjadinya gangguan/hambatan dan kemandegan dalam proses tersebut. Pembangunan memiliki tujuan utama sebagai pencipta kesejahteraan sosial, namun tujuan utama tersebut tetap memiliki ekses dan aksi yang cenderung destruksi. (Dr. Sri Moeljani dalam Sumule, 2003: 343) Sehingga pembangunan harus memiliki keserasian dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dan harus diingat pembangunan tidak hanya menyangkut antroposentrisme, namun juga cosmocentrism dantheocentrism. Keserasian dalam seluruh aspek pembangunan diharapkan bisa melahirkan pembangunan yang adil. John Rawls berpendapat bahwa pembangunan yang adil adalah dengan memaksimalkan peluang, kesempatan, dan hak bagi mereka yg paling papa dan tertinggal (dalam Prasetyantoko et al. , 2012: 6). Dengan memaksimalkan peluang, kesempatan dan hak yang dimaksud oleh John Rawls tersebut akan muncul pembangunan inklusif yaitu pembangunan untuk semua. Pembangunan yang menjadikan kesejahteraan umum sebagai tujuan utamanya secara tidak langsung akan pro terhadap pengutamaan kepentingan umum. Penanggulangan bencana sebagai bagian dari kepentingan umum tidak bisa dilepaskan dari tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan. Sehingga pembangunan dalam penanggulangan bencana tetap harus memiliki tujuan untuk kepentingan umum dan bermuara pada kesejahteraan sosial. Artinya penanggulangan bencana menjadi prioritas dalam pembangunan di suatu daerah terutama daerah yang sedang di landa bencana dan memiliki potensi bencana. Daerah-daerah yang tidak bisa membentuk BPBD karena terbentur dengan peraturan pemerintah (Permendagri No 46 Tahun 2008), harus mengutamakan asas kepentingan umum. Sedangkan ketidakmampuan dalam finansial perlu dibentuk lembaga-lembaga yang berbasiskan masyarakat untuk bekerjasama dengan pemerintah dalam menggalang dana (fund raising). Pemerintah yang terbatas dalam dana tidak serta merta membuat pemerintah tidak bisa berbuat, namun pemerintah bisa memiliki inisiatif, menjadi pendorong dan pembuat regulasi.
52
Publico, Volume 2, Nomor 1, Februari 2017 PENUTUP Penanggulangan bencana harus dilakukan, sehingga diperlukan payung hukum yakni peraturan daerah dalam pelaksanaannya. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa Perda ini harus mendapatkan komitmen dari semua pihak, pemerintah daerah, lembaga-lembaga masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Atau bila ini sering menjadi salah satu tantangan dalam penanggulangan bencana, maka perlu dilakukan kaji ulang terhadap keberadaan BPBD agar berada di bawah satu garis komando BNPB, hal ini mungkin akan lebih rumit, tetapi bila ini dilaksanakan, maka akan terbentuk penanggulangan bencana yang merata dan sinergi. Penanggulangan bencana tidak boleh terhenti karena kendala dalam pembentukan lembaga dan penerbitan peraturan pendukungnnya. Harus diingat bahwa kepentingan umum tidak terbatas hanya sandang pangan, namun juga kepastian mendapatkan perlindungan, salah-satunya perlindungan dan dukungan dari pemerintah terkait menghadapi bencana. Perlindungan dan dukungan bisa berupa regulasi/kebijakan penanggulangan bencana yang mengakomodir pendekatan mitigasi bencana sesuai platform penanggulangan bencana di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Kodoatie, Robert. 2006. Analisa ancaman bencana hydro-meteorologis di Indonesia. Sheep Indonesia: Yogyakarta Prasetyantoko, A. , Budiantoro, Setyo, Bahagijo, Sugeng. 2012. Pembangunan Inklusif, Prospek dan Tantangan Indonesia, LP3ES: Jakarta: Riant, Nugroho. 2008. Public policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo ------------------. 2012. Public policy (Edisi Keempat Revisi). PT Elex Media Komputindo: Jakarta Samudra, Wibawa. 1994. Evaluasi kebijakan publik, PT. Grafindo Persada: Jakarta Subarsono, AG. 2005. Analisis kebijakan publik, konsep, teori dan aplikasi. Pustaka Fajar: Yogjakarta Sumule, Agus. 2003. Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Syamsul, Maarif. 2012. Pikiran dan gagasan; penanggulangan bencana di Indonesia. BNPB: Jakarta Syamsul, Maarif et al. , 2012. Kontestasi pengetahuan dan pemaknaan tentang ancaman bencana alam. Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012, hal 1-13 Winarno, Budi. 2013. Etika Pembangunan. Center for Academic Publishing Service (CAPS): Yogyakarta
53