PENANGANAN MASALAH ANAK; (Studi Implementasi Penangan Anak Jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan) Managing Problem Child; a Study of Policy Implementation of Children on the Road in South Sulawesi Province Syafri Arief, Suratman Nur, Alwi dan Muhammad Rusdi
Administrasi Publik Universitas Hasanuddin
Abstrak Penelitian ini bertujuan memverifikasi implementasi kebijakan penanganan anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Model analisis dilakukan secara interaktif siklus. Lokasi penelitian adalah Dinas Sosial Provinsi Sulawesi dan Dinas Sosial Kota Makassar. Data empiris diperoleh melalui pengamatan, teknik wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan penanganan masalah anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan berdasarkan standar dan sasaran kebijakan melalui standarisasi pelayanan sosial anak jalanan secara melembaga (berbasis panti sosial, keluarga, masyarakat, dan semi panti) atas prinsip - prinsip pelayanan sosial anak jalanan dan penetapan komponen standar pelayanan dan perlindungan. Dalam implementasi kebijakan penanganan anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan, faktor komunikasi antar pelaksana, sumberdaya manusia, struktur birokrasi dan disposisi sangat menentukan dalam pelaksananannya. Akan tetapi ditemukan dalam penelitian ini beberapa kelemahanan terhadap faktor-faktor tersebut yaitu kelemahan pada faktor kelembagaan dengen terdapat kurangnya komunikasi antar organisasi pelaksana, keterbatasan anggaran, dan kurangnya sumberdaya manusia pelaksana baik tenaga profesional maupun jumlah pekerja sosial. Kata Kunci: Implementasi Kebijakan, Anak Jalanan
Abstract This aims of the study is to verify the implementation of on the road children management policy in South Sulawesi Province. This type of the research is a qualitative case study. The analysis model is an interactive circular. The results of the study indicated that the implementation of on the road children management policy in South Sulawesi Province is conducted according to the policy standard and target of on the road children through institutionalized social service standardization (based on social orphanage, relatives, community, and semi orphanage) on the principles of social services for on the road
2
children and determination of service and protection standard component. In the implementation of on the road children management policy in South Sulawesi Province, factors of communication among implementors, human resources, bureaucratic structure and disposition are determinants to the implementation. However, this research found some weaknesses on those factors, such as institutional factors, in which a weakness of communication among implementing organization, exist, limitedfinance, and limited human resources, either profesional or number of social workers in its implementation Keywords: Policy Implementation of Children.on the road PENDAHULUAN Anak jalanan masih merupakan masalah kesejahteraan sosial yang serius di Indonesia. Menurut Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, jumlah anak jalanan Tahun 2004 sebesar 98.113 Anak. Jumlah tersebut tersebar di 30 Provinsi. Sebagai perbandingan di tahun 1999, berdasarkan survey dan pemetaan sosial anak jalanan yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan Departemen Sosial dengan dukungan Asia Development Bank, jumlah anak jalanan adalah 39.861 anak yang tersebar di 12 kota besar. Besarnya angka ini mencerminkan bahwa masalah kemiskinan yang diperparah oleh krisis ekonomi pada tahun 1997 telah menambah permasalahan anak jalanan semakin kompleks. Kemudian memasuki tahun 2008, jumlah anak jalanan terus mengalami peningkatan yaitu 105.497 anak yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia (Departemen Sosial, 2008) Berdasarkan data Departemen Sosial tahun 2008, bahwa di Sulawesi Selatan terdapat 24 jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang ditetapkan oleh pemerintah. Dari 24 PMKS tersebut, diantaranya termasuk anak jalanan dan rentan turun jalanan sebesar 1.786 orang. Selain anak jalanan, anak telantar juga jumlahnya banyak yaitu 153.098 orang, anak nakal 8.274 orang, anak korban tindak kekerasan sebanyak 237 orang, wanita korban tindak kekerasan sebesar 625 orang, bahkan data PMKS juga menunjukkan tingginya angka anak balita telantar yang mencapai 2.858 orang (Dinas Kesejahteraan Sosial dan Perlindungan Masyarakat Sulawesi Selatan, 2008, 3 – 4). Anak jalanan tersebut sebagian sudah di tangani baik melalui pelayanan panti, semi panti dan sebagian belum, bahkan ada yang sudah mendapat penanganan tetapi tetap turun ke jalan. Kecenderungan semakin meningkatnya jumlah anak jalanan merupakan fenomena yang perlu segera ditingkatkan penanganannya secara lebih baik, sebab jika permasalahan tidak segera ditangani maka di khawatirkan menimbulkan permasalahan sosial baru. Anak jalanan rawan dengan berbegai persoalan seperti ancaman kecelakaan, eksploitasi,
3
penyakit, tindakan kekerasan, trafiking (perdagangan anak) dan pelecehan seksual. Penanganan masalah anak merupakan tanggungjawab bersama antara masyarakat dan pemerintah, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, sebagaimana yang di amanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, diantaranya dalam pasal 22, 24, 25, dan 26, diantaranya; negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak; negara dan Pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak; kewajiban dan tanggungjawab masayarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Selain itu, perlindungan khusus terhadap anak jalanan sudah menjadi hak bagi anak jalanan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Kebijakan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child) Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bersama-sama dengan pemerintah pusat melalui Departemen Sosial yang memiliki kewenangan dan tanggungjawab dalam penanganan masalah anak jalanan, melalui Dinas Sosial, telah melakukan berbagai upaya sebagai bentuk tanggungjawab dalam penanganan masalah anak melalui dana dekonsetrasi, misalnya ditahun 2003 telah memberikan pelayanan kepada 60.187 anak di 17 provinsi dan tahun 2004, sebesar 55.930 anak yang tersebar 23 provinsi, serta di tahun 2005 telah melakukan pelayanan terhadap 46.800 anak di 22 provinsi. Dalam kerangka otonomi daerah, pelaksanaan pelayanan sosial anak jalanan yang bersumber dari dana dekonsentrasi disesuaikan dengan peran dan fungsi pemerintah daerah. Berbagai program implementasi atas penangan terhadap permasalahan anak jalanan dilakukan oleh pemerintah hingga masyarakat terkecil (nuclear family), namun dirasa belum optimal, ditengarai diantaranya disebabkan disparitas persepsi para pejabat yang berwenang terhadap kebijakan yang ada, kurangnya dukungan sumber daya (resources) dan faktor secara umum adalah munculnya masalah PMKS hingga menjadi masalah sosial yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, dimana gejalanya semakin meningkat diantaranya yang mendasar adalah globalisasi, pertumbuhan penduduk, krisis moneter, dan juga sebagai akibat kurangnya jaringan dan struktur sosial yang mendukung. Begitupun pandangan Edward III (1980:1) dan Wahab (1997:59) yang menyatakan, bahwa suatu kebijakan yang cemerlang, akan tetap mengalami kegagalan jika tidak diimplementasikan dengan kurang baik oleh para pelaksana dan juga kebijakan hanya akan menjadi impian atau
4
rencana yang bagus yang tersimpan rapi dalam dalam arsip jika tidak diimplementasikan dengan baik pula. Peneliti menfokuskan perhatian pada implementasi kebijakan penanganan anak jalanan karena implementasi kebijakan merupakan tahapan paling penting dan kritis dalam siklus kebijakan publik, karena sesungguhnya implementasi kebijakan jauh lebih penting dari sekedar merumuskan kebijakan. Untuk menjelaskan fenomena implementasi kebijakan penanganan anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan, peneliti tertarik untuk menggunakan model proses implementasi kebijakan dari seorang tokoh atau ahli kebijakan yang bernama George C. Edward III. Mengingat model ini, sering dipakai untuk mengeksplorasi dan memahami faktor yang membentuk keterkaitan antara kebijakan dengan kinerja kebijakan dalam kebijakan publik. Adapun permasalahannya adalah sebagai berikut: Bagaimana komunikasi dan sumberdaya manusia, struktur birokrasi dan sumberdaya manusia, komunikasi dan disposisi, dan struktur birokrasi dan disposisi menentukan implementasi kebijakan penanganan anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan TINJAUAN PUSTAKA Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang bersifat praktis dan dapat dibedakan dari formulasi kebijakan yang dapat dipandang sebagai tahapan yang bersifat teoritis. Dalam pandangan Anderson (1978:25) bahwa: “Policy Implementation is the application of the policy by the goverment’s administrative machinery to the problem”. Dilanjutkan oleh Edwards III (1980:1) mengemukakan bahwa : ”Policy Implementation ..., is the stage of plolicy making between the establishment of a policy ...., and the consequences of the policy for the people whom it effect”. Kemudian Grindle (1980:6) mengemukakan bahwa: “Implmentation, a general process of adminisrtative action that can be investigated at specific program level”. Implementasi kebijakan memiliki banyak pengertian dan keterkaitan berdasarkan persepsi dari berbagai ahli, diantaranya yang dikemukakan oleh Masmanian dan Sabatier (1983:71), bahwa Implementasi kebijakan menjadi pelaksanaan keputusan dari suatu perencanaan, apakah itu dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Implementasi kebijakan merupakan tindakan –tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta, yang diarahkan pada tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan (Van Meter dan Van Horn (1975:447). Implementasi kebijakan mengandung unsur-unsur seperti: 1) proses, yaitu rangkaian aktivitas atau aksi nyata yang dilakukan untuk mewujudkan sasaran / tujuan yang telah ditetapkan, 2) tujuan, yaitu sesuatu yang hendak dicapai melalui aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan, dan 3) hasil dan dampak, yaitu manfaat nyata yang dirasakan oleh kelompok sasaran. Dengan demikian, studi implementasi kebijakan publik
5
pada prinsipnya berusaha memahami apa sesungguhnya yang nyata setelah suatu program dirumuskan. Maksudnya, peristiwa atau kegiatan apa saja yang terjadi setelah proses kebijakan ditetapkan, baik menyangkut usaha-usaha mengadministrasikan maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwapristiwa. Implementasi memiliki kedudukan yang cukup strategis dalam kebijakan pembangunan. Keberhasilan suatu kebijakan dirumuskan tidak akan bermakna, tanpa diikuti tindakan yang nyata. Pengalaman selama ini menurut Kartasasmita (1996:64) pembangunan yang dilakukan banyak mengalami hambatan karena pelaksanaan tidak maksimal. Untuk itu, dalam kebijakan publik ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan (Dye,1981:340), yaitu 1) problem identification, 2) formulstion , 3) legitimation, 4) implementation, dan 5) evaluation. Semua tahapan dalam proses kebijakan publik tersebut sama pentingnya dan berperan secara sebangun, karena semuanya memiliki peran masing-masing yang saling melengkapi satu sama lainnya. Dengan bertitik tolak dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa fungsi dan tujuan implementasi adalah membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan publik dapat diwujudkan sebagai “outcome” (hasil akhir) dari kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. Implementasi dapat disebut sebagai “policy delivery system”. Maksudnya, implementasi sebagai suatu sistem penyampaian/ penerusan kebijakan atau program. Implementasi kebijakan memiliki unsur-unsur yang mutlak harus ada, yaitu : “(1) Unsur pelaksana (implementor); (2) adanya program yang akan dilaksanakan, dan; (3) target group“ (Abdullah, 1988:11 Smith, 1977 : 261). Unsur pelaksana atau implementor adalah pihak yang terutama mempunyai kewajiban untuk melaksanakan suatu kebijakan adalah unitunit administratif atau unit-unit birokratif, sebagaimana dikemukakan oleh Ripley dan Grace A Franklin, (1986), pada setiap tingkat pemerintahan. Pihak-pihak inilah yang disebut oleh Smith dalam Quade (1977) sebagai “implementing organization” atau birokrasi pemerintah yang mempunyai tanggungjawab dalam melaksanakan kebijakan publik. Sebagaimana dikemukakan pula oleh Ripley & Grace A. Franklin (1986:33) bahwa: “Bureaucracies are dominat in the implementation of programs and policies and have verying degrees of importance in other stages of the policy process. In policy and program formulation and legitamation activities,bureaucratic units play a large role, although they are not dominat”. Hal dimaksudkan, bahwa unit-unit birokratik ini dominan dalam implementasi program dan kebijakan. Adapun dalam perumusan dan legitimasi kebijakan dan program walaupun mempunyai peran luas akan tetapi tidak dominan. Van Horn (Wahab, 1997:65) mengartikan implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh baik individu-individu/pejabatpejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan
6
pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam kebijakan kebijakan. Sedangkan Nakamura dan Smallwood (1980:17) mengemukakan bahwa implementasi adalah (1) a declaration gevernment preferences; (2) mediated by a number of actors who; dan (3) create a circular proces characterized by reciprocaal power relations and negotiations. Pandangan Edwads III bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: (1) komunikasi; (2) sumberdaya; (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi. Keterkaitan keempat variabel tersebut dapat digambarkan sebagai berikut Implementasi kebijakan dilakukan dengan ketentuan bahwa para implementor dapat memahami apa yang akan dilakukan sesuai isi kebijakan. Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C.Edward III (1980) disebutnya dengan “Direct and Indirect Impact on Implementation”. Edwards mengemukakan implementasi kebijakan sebagai “Policy Implementation ..., is the stage of policy making between the establishment of a policy ..., and the consequency of the policy for the people whom it affects” (Implementasi kebjakan ..., adalah langkah bagi pembuat kebijakan atas suatu kebijakan yang telah ditetapkan..., dan konsekuaensi dari kebijakan itu terhadap orang-orang yang mempengaruhi)". Menurutnya masalah utama administrasi publik adalah lack of attention the decission of policy makers will not be carried out successfully Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi dari suatu kebijakan, adalah komunikasi. Komunikasi menurut Edward, sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan. Implementasi yang efektif baru akan tercapai apabila para pembuat keputusan (deciasion maker) susah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan itu baru dapat berjalan manakala komunikasi berlangsung dengan baik. Artinya, suatu keputusan kebijakan atau peraturan impelementasi harus ditransmisikan kepada implementor yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Untuk mengetahui sejauhmana komunikasi itu dapat berfungsi secara tepat, akurat, dan konsistensi, ada tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi, yaitu : (a) Transmisi; dalam penyaluran komunikasi tidak jarang terjadi kesalahpahaman (miskomunikasi) disebabkan komunikasi melalui beberapa tingkatan birokrasi. Akibatnya, terjadi distorsi membuat ilmplementasi suatu kebijakan gagal. (b). Kejelasan : komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureaucrats) harus jelas dan tidak membingungkan. Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, tetapi pada tataran tertentu, para pelaksan membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Pada tataran yang lain, hal tersebut justeru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang hendak
7
ditetapkan. (c) Konsistensi, yakni perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas (untuk diterapka dan dijalankan). Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. Variabel kedua adalah Sumberdaya. Sumberdaya merupakan hal penting lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan degan baik. Variabel ketiga yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan, bagi George C. Edwad III, adalah disposisi. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan, tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Variabel keempat, hal yang tak kalah pentingnya menurut Edward III turut mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan adalah struktur birokrasi .Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang. Ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber-sumber daya menjadi tidak efektif dan dapat menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan, harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik. Model implementasi kebijakan Edward III, memiliki kelebihan yaitu kemampuan menyederhanakan fenomena-fenomena yang kompleks menjadi suatu model implementasi kebijakan yang tidak rumit. Kelemahannya adalah tidak mengidentifikasi dan menjelaskan faktorfaktor di luar organisasi pelaksana, atau birokrasi pemerintahan. METODE PENELITIAN Desain dan Jenis Penelitian Desain penelitian ini bersifat kualitatif dengan jenis penelitian menggunakan pendekatan studi kasus (case study). Studi kasus dalam penelitian ini adalah kasus pada implementasi kebijakan penanganan anak jalanan dari sekian banyak yang harus ditangani oleh Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan dan Dinas Sosial Kota Makassar yang berkaitan dengan anak. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini yaitu pada Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan dan Dinas Sosial Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Dipilihnya kedua lokasi tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu: (1) Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan, adalah lembaga pemerintah yang bertugas untuk meningkatkan profesionalisme pelayanan kesejahteraan sosial dan berperan untuk meningkatkan dan memperkuat peran kelembagaan masyarakat. Penanganan anak jalanan yang menjadi kasus penelitian ini yang berkaitan dengan implementasi kebijakan
8
merupakan salah satu dari sekian banyak yang ditangani oleh Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan, (2). Dinas Sosial Kota Makassar adalah lembaga pemerintah yang memiliki tanggungjawab dan kewenangan terhadap penanganan masalah anak jalanan dilihat dari jumlah atau frekuensi yang ditangani yang begitu kompleks. Obyek dan Fokus Penelitian Obyek utama dalam penelitian ini adalah tentang implementasi kebijakan yang berkaitan dengan permasalahan anak jalanan pada Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan. Informan penelitian ini adalah adalah kepala Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan dan Kepala Dinas Sosial Kota Makassar, selain itu, informan dalam penelitian ini pelaksana kebijakan yaitu Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD), Satuan Polisi Pamong Praja dan Kepolisian, Organisasi Sosial/LSM, dan sasaran implementasi kebijakan yaitu orang tua anak jalanan dan anak jalanan itu sendiri. Fokus penelitian ini diarahkan pada (1) Implementasi kebijakan penanganan masalah anak jalanan kurung waktu 2006 – 2009, komunikasi para implementor dalam implementasi kebijakan, sumberdaya manusia yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan, struktur birokrasi pelaksana dan (5) disposisi dalam implementasi kebijakan penanganan anak jalanan. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu: Tahap Pertama; langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi program kebijakan Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan dan Dinas Sosial Kota Makassar dalam kurun waktu 2006-2009. Tahap Kedua; melakukan wawancara kepada informan yang sama pada tahap pertama ditambah dengan pelaksana di lapangan dan sasaran implementasi yaitu anak jalanan. Analisis Data Modus yang digunakan dalam proses analisis data dalam penelitian ini adalah analisis yang dilakukan secara terus-menerus baik dalam proses pengumpulan data itu sendiri maupun setelah pengumpulan data selesai dilakukan. Sehubungan dengan itu, maka analisis dalam penelitian ini tidak mudah, karena memiliki proses yang begitu panjang. Proses analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Miles dan Huberman (1994). PEMBAHASAN a. Analisis Komunikasi dan sumberdaya menentukan implementasi kebijakan penanganan anak jalanan.
9
Komunikasi antar organisasi dan sumberdaya pelaksana menentukan implementasi kebijakan penanganan masalah anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan. Implementasi kebijakan penananganan anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan. Dilakukan dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan harapan tidak ada lagi anak jalanan yang beroperasi dijalanan, tetapi kenyataannya masih banyak anak jalanan yang beroperasi di jalanan. Kebijakan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan berkaitan dengan penanganan anak jalanan adalah peningkatan profesionalisme sumberdaya manusia (SDM) aparatur pelaksana sebagai motor penggerak dan aktor utama pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial. Tenaga profesional (pekerja sosial) dalam penanganan masalah sosial, termasuk anak jalanan belum mampu mengimbangi jumlah bobot dan kompleksitas permasalahan kesejahteraan sosial yang ada. Dalam melaksanakan kebijakan berpedoman pada standar dan sasaran kebijakan yang menentukan komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksanaan kebijakan penanganan anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan. Standar dan sasaran kebijakan ditentukan melalui standarisasi pelayanan sosial anak jalanan melalui lembaga yang didasari oleh pertimbangan prinsip-prinsip pelayanan sosial anak jalanan dan penetapan komponen standar pelayanan sosial anak jalanan melalui lembaga berdasarkan pada prinsipprinsip perlindungan, berlaku umum baik lembaga yang dikelola oleh pemerintah, swasta, LSM dan masyarakat yang mengacu pada asas-asas profesional, mudah diakses sehingga terjadi komunikasi antar organisasi atau lembaga, sehingga memudahkan dalam aktivitas pelaksanaan kebijakan implementasi penanganan anak jalanan. Pentingnya sumberdaya manusia dalam implementasi kebijakan dalam penelitian ini sejalan dengan pendapat Edwar III (1980: 53) yang menyatakan “implementation orders may be accurately tranmitted, clear, and consistent, but implementers lack of the resources necessary to carry out policies, impelemntation is likely to be inefective’. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memahami bahwa sumberdaya manusia sangat menentukan dalam implementasi program penanganan anak jalanan, olehnya itu pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melakukan kerjasama dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya para pekerja lapangan (Peksos). Peningkatan kemampuan sumberdaya ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pekerja sosial, termasuk dalam melakukan komunikasi dan koordinasi antara pekerja sosial dan pengambil kebijakan. Dalam komunikasi di butuhkan kemampuan untuk mentransmisi (kejelasan dan konsistensi) dalam komunikasi. Konsep implementasi kebijakan yang berkaitan dengan penanganan anak jalanan sebenarnya sudah jelas, namun terkadang dalam pelaksanaan kurang konsisten, karena keterbatasan anggaran dan kemampuan komunikasi antara penyelenggara program pelayanan anak.
10
b. Analisis Struktur Birokrasi dan Sumberdaya Implementasi Kebijakan Penanganan Anak Jalanan
Menentukan
Struktur birokrasi dan sumberdaya menentukan impelementasi kebijakan penanganan anak di Provinsi Sulawesi Selatan. Permasalahan sosial anak jalanan tidak bersifat stagnan melainkan akan terus bertambah dan membentuk lingkaran setan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, melalui Dinas Kesejahteraan Sosial dan Perlindungan Masyarakat mulai tahun 2006 telah mengambil kebijakan program penanganan anak jalanan yaitu: Sosialisasi pelayanan dan rehabilitasi sosial anak jalanan. Program sosialisasi pelayanan dan rehabilitasi sosial anak jalanan, telah melibatkan berbagai unsur baik pengurus organisasi sosial (LSM) yang menangani anak jalanan, pokja, dinas terkait seperti Departemen Tenaga Kerja, Departemen Perdagangan, Kepolisian, Kejaksaan, Perguruan Tinggi selama 1 (satu) hari kegiatan. Program pembinaan melalui pelatihan Peksos pendamping sosial anak jalanan. Program pembinaan melalui pelatihan pekerja sosial untuk pendamping sosial anak jalanan, telah dilaksanakan dengan melibatkan 20 RPSA, yang dilaksanakan selama 3 hari. Masalah yang dihadapi dalam penanganan anak jalanan adalah masalah profesionalisme pekerja sosial, selain kurangnya tenaga ahli dari pekerja sosial, berbanding terbalik dengan kuantitas anak jalanan yang akan ditangani, sehingga menyebabkan anak jalanan tidak dapat dilayani secara optimal. Fungsi RPSA Baruga Sayang Anak II, adalah “Back to School”, dan program “live Skill”. Inti program ini adalah mengembalikan anak jalanan usia sekolah 6 – 15 tahun untuk bersekolah kembali, yang terputus sebagai akibat masalah ekonomi atau pembiayaan. Berdasarkan data pada RSPA Baruga Sayang Anak II, terdapat sudah menyekolahkan 600 anak usia sekolah 6 – 15 tahun melalui sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang tersebar di sekolah negeri maupun swasta di Kota Makassar. Implementasi program ini, berkat kerjasama dengan RPSA Baruga Sayang Anak II dengan Dinas Sosial Kota Makassar, bentuk kerjasama adalah proses seleksi, tenaga pendamping atau pekerja sosial (program pendampingan sosial) serta kerjasama dalam pembinaan dan pembuatan laporan. RPSA Baruga Sayang Anak II, juga bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Makassar dalam hal penempatan sekolah anak jalanan dan RPSA menyediakan beasiswa dan perlengkapan sekolah. Kekurangan implementasi program kebijakan ini diantaranya karena tidak menyediakan berbagai fasilitas belajar bagi anak jalanan, sehingga masih rentang bagi anak jalanan selepas dari RPSA, karena tuntutan kebutuhan mereka akan turun ke jalan lagi. Dan selanjutnya program Pelatihan kewirausahaan UEP bagi orang tua anak jalanan, PBK, dan Bantuan Operasional Kegiatan. Sekitar 900 orang tua anak jalanan telah dibina melalui pelatihan kewirausahaan dan pemberian bantuan dalam bentuk Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Diberikan keterampilan kerja melalui kerjasama dengan lembaga keterampilan. Pemerintah bukan
11
hanya membantu anak jalanan dan orang tua anak jalanan tetapi juga memberikan bantuan operasional kegiatan kepada organisasi sosial/yayasan/LSM untuk penanganan anak jalanan. Namun karena keterbatasan anggaran menyebabkan program ini tidak dapat berlangsung secara optimal karena tidak mampu menjangkau secara keseluruhan anak jalanan dan orang tua anak jalanan. Model pendekatan penanganan anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu melalui pendekatan sistem rumah semi panti (half-way house services) seperti yang dikembangkan oleh Rumah Persinggahan Sosial Anak Jalanan (RPSA) Baruga Sayang Anak II. Model pelayanannya adalah dengan membuat rumah singgah bagi anak jalanan dan orang tuanya. Meskipun dilakukan tidak rutin hanya sekitar 2 (dua) kali sebulan dalam bentuk pertemuan antara anak jalanan dan orang tuanya dengan pekerja sosial. Dalam pertemuan tersebut tentunya dibahas adalah perkembangan anak-anak mereka dalam pembelajarannya di sekolah, terutama dalam hal penyelesaian tugastugas sekolah melalui bimbingan para pekerja sosial. Kelebihan program penanganan anak jalanan model semi panti adalah orang tua anak jalanan dapat mempergunakannya sebagai tempat atau wadah untuk mengungkapkan segala permasalahan yang dihadapi kepada para pekerja sosial, sehingga para pekerja sosial dapat memberikan bantuan sesuai dengan permasalahan yang dihadapinya. Sedangkan kelemahannya yaitu sangat dimungkinkan anak jalanan masih kembali turun kejalanan karena kurang mendapat kontrol atau pengawasan dari para pekerja sosial. Keempat model pendekatan dalam penanganan anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan, jika dikaitkan dengan model implementasi kebijakan lebih dekat pada model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Edward III dan Donald Van Meter dan Carel Van Horn (1975) yaitu implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta. Penanganan anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan baik oleh individu dalam hal ini pekerja sosial yang dipekerjakan oleh pemerintah, begitu juga kelompok pemerintah melalui panti sosial seperti PSBR Makkareso Maros milik pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan milik swasta berupa pembinaan melalui semi panti seperti BK3S dan RPSA Baruga Sayang Anak II. Menurut model ini, bahwa dalam implementasi program kebijakan dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas yang saling berkaitan, seperti standar dan sasaran kebijakan. Menurut model ini, kinerja implementasi kebijakan dapat di ukur berdasarkan tingkat keberhasilan yang di capai oleh para pelaksana berdasarkan standar kebijakan yang telah ditetapkan. Di samping itu pula sangat ditentukan oleh sumberdaya, karena keberhasilan daripada implementasi program sangat tergantung pada kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia, tentunya dari hasil penelitian yang dimaksudkan adalah para pekerja sosial. Selain
12
itu menurut Edward III dan Donal Van Meter dan Carl Van Horn, keberhasilan implementasi program ditentukan oleh karakteristik organisasi pelaksana, sekaitan dengan ini, tentunya keberadaan PSBR Makkareso Maros sebagai tempat pembinaan dan rehabilitasi sosial anak jalanan dengan sistem panti sosial, cukup menentukan dalam pencapain tujuan pembinaan dan rehabilitas, begitupun RPSA Baruga Sayang Anak II dan BK3S sebagai tempat pembinanan semi panti dalam melakukan pembinaan terhadap anak jalanan. Adanya standar dan sasaran pelaksanaan dan model penanganan anak jalanan tersebut, membantu dalam penanganan anak jalanan, sebagaimana dikemukakan oleh Edward III (1980 : 125) “police implementers may know what to do and have sufficient desire and recouncers to do it, but they may still be hampered in implementation by the structures of the organizations in which they serve. Two prominent characteristics of bureaucracies are standard operationg procedurs (SOPs). c. Komunikasi dan Disposisi Menentukan Implementasi Kebijakan Penanganan Anak Jalanan. Komunikasi antar organisasi dan disposisi menentukan kinerja kebijakan dalam penanganan masalah anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan. Keluarnya Perda No. 2 Tahun 2008 oleh Pemerintah Kota Makassar, yang berkaitan dengan penanganan anak jalanan, pengemis, gelandangan dan pengamen, telah terjadi perubahan signifikan kondisi riil anak jalanan dan pengemis di Kota Makassar, baik dari aspek perilaku anak, orang tua, dan sikap masyarakat. Di tahun 2006, perilaku anak jalanan di Kota Makassar, masih berkeliaran (in the street), anak bolos sekolah, orang tua menfasilitasi dan menjaga anak di jalanan, sikap masyarakat yaitu aktif memberi uang di jalanan, bahkan ditemukan data preman menjadi pelaku eksploitasi, maka memasuki tahun 2009, perilaku anak jalanan sudah mulai tertib dan terkendali, anak jalanan sekolah gratis, memiliki keterampilan dan mulai bekerja, orang tua anak jalanan mulai sadar akan tanggungjawab serta sikap masyarakat sudah mulai tidak memberi uang di jalanan. Dikaitkan dengan hasil penelitian dengan pandangan Edward III bahwa diperlukan komunikasi antar organisasi-organisasi pelaksana dalam hal ini, komunikasi antar PSBR Makkareso Maros, RPSA Baruga Sayang Anak II dan BK3S sehingga anak jalanan dan orang tua serta keluarga anak jalanan tidak terjadi tumpah tindih dalam penanganannya. Peran dan sikap para pelaksana (implementor) juga dibutuhkan dan sangat berpengaruh terhadap kinerja implementasi kebijakan publik, karena program ini bersifat top down, bukan hasil formulasi masyarakat setempat yang mengenal persoalan atau permasalahan tetapi kebijakan yang dilaksanakan implementor semata-mata lahir dari atas yang cenderung bersifat general.
13
Faktor lainnya yang berpengaruh adalah lingkungan sosial, ekonomi dan politik, partisipasi masyarakat dalam membantu penanganan anak jalanan dan orang tua anak jalanan sangat berperan, seperti dalam model pendekatan penanganan anak jalanan berbasis masyarakat cukup sejalan dengan faktor ini. Keterlibatan masyarakat dalam penanganan masalah anak jalanan akan memberikan konstribusi dalam penyelesaian masalah anak jalanan. Anak jalanan akan tetap dekat dengan orang tuanya dan mendapatkan kasih sayang dan perlindungan oleh orang tuanya, namun dari sisi lainnya orang tua atau keluarga yang belum berubah cara pandangannya tentang hak anak, akan tetap menjerumuskan anaknya dalam pekerjaan sebagai anak jalanan sebagai tuntutan ekonomi yaitu mencarai nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau karena faktor sosial dan politik dimana dieksploitasi oleh para preman dan orang tua anak jalanan. Berdasarkan hasil penelitian dikaitkan dengan pandangan Edward III (1980: 11) yang mengatakan bahwa “if implementation is to proceed effectively, not only must implementers know what to do and have the capacity to do it, but they must also desire to carry out a police”. Disposisi mempunyai atau menentukan terhadap kualitas pelayanan anak jalanan. Asumsi menyatakan bahwa tidak ada jaminan keberhasilan implementasi kebijakan kalau hanya mengandalkan kemampuan para pelaksana, namun hal yang tidak kalah pentingnya diperhatikan adalah sikap para pelaksana di lapangan terhadap kebijakan. Adanya kesesuaian sikap antara para pelaksana (pekerja sosial) dengan tujuan kebijakan, tentunya menentukan keberhasilan implementasi kebijakan tersebut, dan sebaliknya tentunya, jika tidak ada kesesuaian sikap para pekerja sosial dengan isi kebijakan, tentunya dapat mendorong kegagalan dalam implementasi kebijakan. Bahkan Van Meter dan Van Horn (1975: 472) menyatakan, bahwa “three elements of the implementors’ responce may affect their abilty and willingness to carry out the policy; their cognition (comprehension, understanding) of policy, the direction of the responce toward it (acceptance, neutrality, rejection), the intensity of the responce. Keberhasilan implementasi kebijakan merupakan akumulasi dari kognisi, kecenderungan tanggapan, dan intensitas para pekerja sosial dalam melaksanan kebijakan penanganan anak jalanan. Kognisi merupakan akumulasi dari pengertian dan pemahaman tentang tujuan atau isi kebijakan dan hal ini tentunya menjadi tugas dari pejabat pelaksana dalam memberikan pengertian dan pemahaman kepada para petugas lapangan atau pekerja sosial karena yang menentukan lahirnya kebijakan adalah para pejabat pelaksana. Pejabat dalam mengangkat para pelaksana di lapngan memerlukan kecermatan dalam memilih para petugas lapangan, dengan menggunakan prinsip “the right man and the right job”.
14
d. Struktur Birokrasi dan Disposisi Menentukan Kebijakan Penanganan Anak Jalanan.
Implementasi
Struktur birokrasi dan disposisi menentukan implementasi kebijakan penanganan masalah anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan didasarkan pada standar dan sasaran kebijakan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam melakukan program pelayanan dan penanganan anak jalanan, dilaksanakan melalui lembaga diantaranya; UPTD Panti Sosial Bina Remaja Makkareso Maros, dalam bentuk pemberian bimbingan sosial dan keterampilan kerja. Program pelayanan dan penanganan anak jalanan ini sudah ditata sedemikian baik, mulai dari registerasi dan penerimaan anak jalanan, wawancara dan identifikasi anak jalanan, tes psikologi dan assesmen, orientasi dan pengenalan, pembahasan kasus, bimbingan sosial dan keterampilan kerja, kegiatan praktek belajar kerja (PBK), pemantapan dan penyaluran, rekreasi, evaluasi, penamatan, terminasi pemulangan, dan bimbingan dan pembinaan lanjut. Program kebijakan penanganan anak jalanan melalui panti yang diaksanakan oleh PSBR Makkareso Maros milik pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan adalah program usaha rehabilitasi sosial. Berbagai faktor pendukung yang berpengaruh terhadap keberhasilan dari suatu impelementasi kebijakan. Menurut Edward (1980), bahwa ada 4 faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Jika dikaitkan dengan data penelitian menunjukkan bahwa memang betul apa yang dikemukakan oleh Edward, bahwa komunikasi sangat berperan dalam penanganan masalah anak jalanan. Penanganan anak jalanan di Provinsi Sulawesi Selatan yang ditangani oleh PSBR Makkareso Maros, RSPA Baruga Sayang Anak, BK3S, maupun yayasan dan LSM lainnya diperlukan koordinasi dan komunikasi sehingga dalam penangannya tidak terjadi tumpang tindih. Begitupun aspek sumberdaya manusia pelaksana terutama pekerja sosial dibutuhkan kemampuan ekstra untuk penanganan anak jalanan. Data menunjukkan bahwa jumlah anak jalanan dan orang tua anak jalanan tidak sebanding dengan jumlah pekerja sosial yang menangani anak jalanan dan orang tua anak jalanan. Olehnya dibutuhkan sumberdaya manusia untuk implementasi kebijakan penanganan anak jalanan, sehingga anak jalanan dapat ditangani secara optimal. Perilaku atau disposisi baik anak jalanan maupun orang tua anak jalanan, perlu mendapat perhatian khusus, mengingat tidak jarang anak jalanan kembali kejalanan karena pengaruh orang tua atau keluarga anak jalanan yang belum dapat merubah cara pandang hindup mereka yang selalu mencari belas kasihan dari masyarakat lainnya, padahal pada hakekatnya ini adalah hak mereka untuk hidup dan mendapat penghidupan yang lebih layak. Begitupun dalam implementasi kebijakan dibutuhkan struktur birokrasi yang memadai sehingga dapat menata dengan baik implementasi kebijakan yang telah ditetapkan. Keempat
15
faktor tersebut, saling berkait satu sama lain dan bergerak secara simultan atau bersamaan agar dapat membantu proses implementasi PENUTUP Berbagai kebijakan penanganan anak jalanan telah di implementasikan oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Olehnya itu, dibutuhkan koordinasi dan dukungan, bukan saja dari pihak eksekutif, tetapi juga dari pihak legislatif, sehingga penanganan anak jalanan dapat terkoordinasi dengan baik. Begitupun dalam implementasinya sebaiknya melibatkan berbagai unsur terkait dengan koordinasi yang baik antara tiap-tiap organisasi terkait sehingga penanganan anak jalanan dalam implementasinya tidak tumpang tindih. Dari tujuh model implementasi penanganan anak jalanan yang dikeluarkan oleh Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi anak. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan hanya menggunakan atau mengimplementasikan 4 model, sehingga harapan kedepan bukan saja keempat model yang digunakan dalam implementasi tetapi juga bertumpuh pada model lainnya, bahkan model implementasi kebijakan yang telah dikembangkan oleh berbagai ahli, bukan saja model implementasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga ditemukan variasi-variasi dalam implementasi penanganan anak jalanan. Telah ditemukan berbagai kelemahan dalam implementasi kebijakan penanganan anak jalanan yaitu faktor kelembagaan yaitu kurangnya komunikasi antar organisasi pelaksana, keterbatasan anggaran, kurangnya sumberdaya manusia pelaksana kebijakan. Olehnya dibutuhkan berbagai lembaga yang dapat menangani permasalahan anak jalanan dengan koordinasi yang memadai, penambahan anggaran melalui kebijakan APBN dan APBD, penambahan tenaga atau pekerja sosial dan dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam penanganan masalah anak jalanan, dengan partisipasi dari masyarakat diharapkan mampu memotivasi anak jalanan untuk tidak turun lagi kejalanan tetapi mereka dapat sekolah, dan bekerja dengan keterampilan yang sudah dilatihkan. DAFTAR PUSTAKA Atmosudirdjo, Prajudi. 2003. Teori Administrasi. STIA LAN PRES. Jakarta. Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Dun, N William. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. (Diterjemahkan oleh: Samodra Wibawa, Dkk.) Gajamada University Pres, Yogyakarta. Edward, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC. Conggresional Quarterly Press. Islamy, Irfan, M. 1994. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara.Bumi Aksara. Jakarta.
16
Marele S. Grindle, 1980. Politic and Policy Implementation in the Third Word. Princeton University Press. Miles, B. Matthew dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. (Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi) UI-Press. Jakarta. Moleong, Lexys. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rusda Karya. Bandung. Naihasya, Syahrir. 2006. Kebijakan Publik Menggapai Masyarakat Madani. Mida Pustaka. Jogyakarta. Nasution. 1988. Metode Penelitian Kualitatif Naturalistik. Tarsito. Bandung. Ndhara, Taliziduhu, 1997. Budaya Organisasi. Jakarta; Rineka Cipta. Robbin, P. Stephen. 2002. Perilaku Organisasi. Jilid 2. (Diterjemahkan oleh: Hadyana Pujaatmaka dan Benyamin Molan). Prenhallindo. Jakarta. Pidarta, Made. 2005. Perncanaan Pendidikan Partisipatori Dengan Pendekatan Sistem.(Edisi Revisi). Rineka Cipta. Jakarta. Parsons, Wayne. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Dialihbahasakan oleh Tri Wibowo Budi Santoso. Kencana. Jakarta. Siagian, S. P. 1987. Teori dan Praktek Pengambilan Kebijakan. Haji Mas Agung. Jakarta. .1986. Sistem Informasi Untuk Pengambilan Kebijakan. Haji Mas Agung. Jakarta. Sugandha, Dann. 1989. Administrasi, Strategi, Taktik dan Penciptaan Efisiensi. Intermedia. Jakarta. Suparlan, S. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Program Kajian Wilayah Amerika. Universitas Indonesia, Jakarta. Tangkilisan, S Nogi, Hessel. 2002. Evaluasi Kebijakan Publik. Balirung & Co. Yogyakarta. .2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI). Yogyakarta. Undang-Undang Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak Van Meter, Donald S. dan Carl E. Van Horn, 1975. The Policy Implementation Process; A Conceptual Framework. Departement of Political Science Ohio State University. Wibawa, Samodra. Dkk. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Raja Grafindo Persada. Jakarta.