LAPORAN KASUS
PENANGANAN KEGAWAT DARURATAN HEAD INJURY
Pembimbing : dr. Yutu Solihat, Sp.An
Disusun Oleh Oleh : Maral Bimanti Febrilina
090100133
Mentari Fitria Rachman
090100447
Gia Cellisa Sianosa
090100401
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
1
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izinya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Head Injury” Lapkas ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepanitriaan
Klinik
dibagian
Anestheiology dan Terapi
Intensif
yang
dilaksanakan di RSUP H Adam Malik Medan Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Yutu Solihat, Sp.An selaku dokter pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan agar laporan kasus ini lebih akurat dan bermanfaat Tentunya penulis menyadari bahwa refarat ini banyak kekurangan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar kedepannya penulis dapat memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan tersebut. Besar harapan penulis agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta dapat memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk meningkatkan keilmuannya.
Medan, 31 Oktober 2014
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………..
i
DAFTAR ISI ……………………………………………………….
ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………..
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………..
2
2.1
Trauma Kepala .....................................................
2
2.2
EDH ..........................................................................
24
2.3
Tindakan Anestesi .....................................................
33
BAB III LAPORAN KASUS ……….………………………………
42
BAB IV DISKUSI DAN PEMBAHASAN ..………………………
52
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I PENDAHULUAN
Trauma kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh (Langlois J.A, 2006) Trauma Kepala di negara maju merupakan sebab utama kerusakan otak pada generasi muda dan usia produktif. Di Amerika Serikat, 1.7 juta orang yang mengalami trauma kepala dengan 52.000 meninggal, 275.000 dirawat di rumah sakit dan 1.365 juta diobati dari Unit Gawat Darurat. Sedangkan di Inggris, 1.4 juta orang datang ke Unit Gawat Darurat dengan trauma kepala. Sekitar 33% sampai 55% diantaranya adalah anak usia dibawah 15 tahun. Di negara berkembang seperti Indonesia dengan meingkatnya pembangunan yang diikuti mobilitas masyarakat yang salah satu segi diwarnai dengan lalu lintas kendaraan bermotor yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas makin sering terjadi dan korban cedera kepala makin banyak. Di Indonesia pada tahun 1982 tercatat 55.495 penderita kecelakaan lalu lintas dan terdapat korban meninggal sebanyak 11.933 orang yang berarti tiap hari ada 34 orang mati akibat kecelakaan lalu lintas. Dari korban yang meninggal ini ± 80% disebabkan cedera kepala (Krisna, 2011) Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Pada penderita korban cedera kepala yang harus diperhatikan adalah pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neutologist harus dilakukan secara
4
serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di rumah sakit. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah ditemukan adanya battle’s sign (warna biru atau ekimosis dibelakang telinga diatas os. Mastoid), haemothypanum (perdarahan di daerah membran thympani telinga), periorbital echimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinnorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung), ottorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga). Kebanyakan pasien sembuh tanpa gangguan apapun, namun sebagian diantaranya memiliki kelumpuhan atau bahkan meninggal akibat efek dari komplikasi yang mungkin bisa diminimalisir atau dihindari dengan deteksi dini dan pengobatan yang tepat.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Trauma Kepala
2.1.1. Definisi Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois J.A, 2006)
2.1.2. Kareteristik Penderita Trauma Kepala a. Jenis Kelamin Pada populasi secara keseluruhan, laki-laki dua kali ganda lebih banyak mengalami trauma kepala dari perempuan. Namun, pada usia lebih tua perbandingan hampir sama. Hal ini dapat terjadi pada usia yang lebih tua disebabkan karena terjatuh. Mortalitas laki-laki dan perempuan terhadap trauma kepala adalah 3,4:1 (Jagger, Levine, Jane et al., 1984). Menurut Brain Injury Association of America, laki-laki cenderung mengalami trauma kepala 1,5 kali lebih banyak daripada perempuan. b. Umur Resiko trauma kepala adalah dari umur 15-30 tahun, hal ini disebabkan karena pada kelompok umur ini banyak terpengaruh dengan alkohol, narkoba dan kehidupan sosial yang tidak bertanggung jawab (Jagger, Levine, Jane et al., 1984). Menurut Brain Injury Association of America, dua kelompok umur mengalami risiko yang tertinggi adalah dari umur 0 sampai 4 tahun dan 15 sampai 19 tahun
6
2.1.3. Klasifikasi trauma kepala Trauma kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan : Mekanisme, beratnya dan morfologi cedera kepala A. Mekanisme trauma kepala Berdasarkan mekanisme trauma kepala dibagi atas a. Trauma kepala tumpul Trauma kepala tumpul, dapat terjadi 1. Kecepatan tinggi berhubungan dengan kecelakaan mobil-Motor. 2. Kecepatan rendah, biasanya disebabkan jatuh dari ketinggian atau dipukul dengan benda tumpul. b. Trauma kepala tembus Disebabkan oleh : -
trauma peluru
-
trauma tusukan
Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakah suatu trauma termasuk trauma tembus atau trauma tumpul (Krisna, 2011).
B. Beratnya trauma kepala Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera atau trauma kepala. Penilaian GCS terdiri atas 3 komponen diantaranya respon membuka mata, respon motorik dan respon verbal. GCS merupakan skala objktif untuk menilai keparahan Trauma kepala seperti yang dijabarkan pada Tabel 2.1 apa bila nilai GCS lebih rendah atau sama dengan 8 maka dapat digolongkan secara umum sebagai trauma kepala berat dan pasien dengan nilai GCS 9-12 dikategorikan sebagai trauma kepala sedang. Sedankan pasien dengan dengan nilai GCS 13-15 dikategorikan dalam pasien cidera kepala minor atau ringan. Pada penialaian GCS perlu diperhatikan apabila disapati parese pada salah saru bagian tubuh penting untuk memeriksa
7
pada bagian tubuh yang memiliki kekuatan motorik lebih kuat dimana hasil pemeriksaan dapat lebih akurat dan mewakili. Namun pemeriksaan tentunya tetap perlu dilakukan pada kedua bagian tubuh.
Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale Eye Opening Mata terbuka dengan spontan
4
Mata membuka setelah diperintah
3
Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri
2
Tidak membuka mata
1
Best Motor Response Menuruti perintah
6
Dapat melokalisir nyeri
5
Menghindari nyeri
4
Fleksi (dekortikasi)
3
Ekstensi (deserebrasi)
2
Tidak ada gerakan
1
Best Verbal Response Menjawab pertanyaan dengan benar
5
Salah menjawab pertanyaan
4
Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai
3
Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya
2
Tidak ada jawaban
1
C. Berdasarkan morfologi a) Fraktur Kranium Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
8
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat. Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut: 1. Gambaran fraktur, dibedakan atas : a. Linier, retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi, distorsi dan „splintering‟ b. Diastase c. Comminuted d. Depressed Fraktur depres adalah fraktur tulang kranium dimana tabula eksterna melesak ke arah duramater hingga melebihi tabula interna. 2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas : a. Calvarium/ Konveksitas ( kubah / atap tengkorak ) b. Basis cranii ( dasar tengkorak ) 3. Keadaan luka, dibedakan atas : a. Terbuka b. Tertutup
b) Lesi Intra Kranial 1. Perdarahan Epidural Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral. Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.
9
2. Perdarahan Subdural Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian iaitu: a. Perdarahan subdural akut
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah.
Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera batang otak.
b. Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
c. Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan.
Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.
Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas.
Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.
3. Perdarahan Subarakhnoid Perdarahan subarakhnoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak yaitu yang dikenal sebagai ruang sub arakhnoid.
10
4. Perdarahan Intraventrikular Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral. 5. Perdarahan Intraserebral Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di mana terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman, ini dikenali sebagai counter coup phenomenon (Japardi, 2002).
2.1.3. Patofisiologi Trauma Kepala Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya trauma kepala yang terjadi, proses trauma kepala dibagi: 1. Proses primer Ini adalah kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan oleh benturan/proses mekanik yang membentur kepala. Derajat kerusakan tergantung pada kuatnya benturan dan arahnya, kondisi kepala yang bergerak/diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan segera dalam rongga tengkorak/otak, robekan dan regangan serabut saraf dan kematian langsung neuron pada daerah yang terkena
2. Proses sekunder Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya struktur anatomi maupun fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berlanjut, iskemia fokal/global otak, kejang, hipertermi. Insult sekunder pada otak berakhir dengan kerusakan otak iskemik yang dapat melalui beberapa proses:
11
a. Kerusakan otak berlanjut (progressive injury) Terjadi kerusakan berlanjut yang progresif terlihat pada daerah otak yang rusak dan sekitarnya serta terdiri dari 3 proses:
Proses kerusakan biokimia yang menghancurkan sel-sel dan sistokeletonnya. Kerusakan ini dapat berakibat: -
Edema sitotoksik karena kerusakan pompa natrium terutama pada dendrit dan sel glia
-
Kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan pada pompa kalsium mengenai semua jenis sel
Inhibisi dari sintesis protein intraseluler
Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti vasoparisis, disfungsi membran kapiler disusul dengan edema vasogenik. Pada mikrosirkulasi regional ini tampak pula sludging dari sel-sel darah merah dan trombosit. Pada keadaan ini sawar darah otak menjadi rusak.
Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekial otak yang kemudian membengkak akibat proses kompresi lokal dari hematoma dan multipetekial. Ini menyebabkan kompresi dan bendungan pada pembuluh di sekitarnya yang pada akhirnya menyebabkan peninggian tekanan intrakranial Telah diketahui bahwa trauma otak primer menyebabkan depolarisasi neuronal yang luas yang disertai dengan meningkatnya kalsium intraseluler (dan meningkatnya kadar neurotransmitter eksitatorik. Peningkatan dan kebocoran neurotransmitter eksitatorik akan merangsang terjadinya delayed neuronal death. Selain itu kerusakan dalam hemostasis ionik mengakibatkan meningkatnya kadar kalsium (ca) intraseluler serta ion natrium. Influks ca ke dalam sel disertai rusaknya sitoskeleton karena enzim fosfolipase dan merangsang terlepasnya radikal bebas yang memperburuk dan merusak integritas membran sel yang masih hidup (Japardi, 2002).
12
b. Insult otak sekunder berlanjut (delayed secondary barin injury) Penyebab dari proses inibisa intrakranial atau sistemik:
Intrakranial Karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat secara berangsur-angsur dimana suatu saat mencapai titik toleransi maksimal dari otak sehingga perfusi otak tidak cukup lagi untuk mempertahankan
integritas
neuron
disusul
oleh
hipoksia/hipoksemia otak dengan kematian akibat herniasi, kenaikan TIK ini dapat juga akibat hematom berlanjut misalnya pada hematoma epidural. Sebab TIK lainnya adalah kejang yang dapat menyebabkan asidosis dan vasospasme/vasoparalisis karena oksigen tidak mencukupi
Sistemik Perubahan sistemik akan sangat mempengaruhi TIK. Hipotensi dapat menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak berlanjut dengan iskemia global. Penyebab gangguan sistemik ini disebut oleh Dearden (1995) sebagai nine deadly Hs yaitu hipotensi , hipokapnia, hiperglikemia, hiperkapnia, hiperpireksia, hipoksemia, hipoglikemia, hiponatremia dan hipoproteinemia.
Trauma yang mengenai kepala, dapat diredam oleh rambut dan kulit kepala. Selanjutnya bagian yang terberat dari benturan diteruskan ke tengkorak, yang cukup mempunyai elastisitas hingga dapat mendatar, bila kepala terbentur pada objek yang tumpul atau datar. Bila pendataran tengkorak melebihi toleransi elastisitas, tulang akan patah/retak. Hal ini dapat menyebabkan fraktur linear yang sederhana, meluas dari pusat pukulan sampai ke basis. Benturan yang lebih hebat dapat menyebabkan fraktur stellata dan bila lebih hebat lagi dapat menyebabkan depresi fraktur. Tipe-tipe dari fraktur tidak hanya tergantung dari kecepatan pukulannya, tetapi yang lebih penting ditentukan oleh besar permukaan objek yang mengenai
13
tengkorak. Objek yang runcing dapat menyebabkan perforasi pada tengkorak sedangkan objek yang lebih besar dgnkecepatan yang sama menyebabkn depresi fraktur. Jarang fraktur terjadi pada lawan dari tempat benturan. Tengkorak bergerak lebih cepat dari otak bila terkena benturan. Meskipun otak mengalami contusio pada tempat bawah benturan, tetapi kerusakan lebih berat terjadi pada permukaan tengkorak yang kasar, pada tonjolan-tonjolan tulang, crista galli, pada sayap sphenoid mayor dan ospetrosus, seperti sering terlihat pada contusio pada fossa anterior (frontal basal) dan fossa media (temporal basal). Pada benturan didaerah frontal, otak bergerak dari anterior ke posterior, sedangkan benturan pada daerah ocipital menyebabkan otak bergerak sepanjang sumbu axis, sedangkan lateral impact menyebabkan otak bergerak dari satu sisi ke sisi lain (Japardi, 2002).
Gambar 2.1: Tanda panah menunjukkan tempat dan arah pukulan
Menurut Gurjian, ciri khas biomekanik dari coup contra coup dan contusio adalah sebagai berikut: Coup contusio disebabkan oleh efek langsung dari tulang yang membentur
14
Contra coup contusio disebabkan oleh gerakan otak terhadap permukaan tulang yang tidak rata Bila kepala relatif diam, benturan langsung menyebabkan coup lesi tanpa contra coup efek Bila kepala bebas bergerak, benturan pada kepala menyebabkan lesi contra coup tanpa lesi coup (Japardi, 2002).
2.1.5. Gejala Klinis Trauma Kepala Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut: Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah: a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid) b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga) c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung) d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung) e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan; a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh. b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan. c. Mual atau dan muntah. d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun. e. Perubahan keperibadian diri. f. Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat; a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau meningkat. b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria). 15
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan). d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstrimitas.
Tekanan Intra Kranial Kranium dan kanalis vertebralis yang utuh, bersama-sama dengan durameter membentuk suatu wadah yang berisi jaringan otak, darah dan cairan serebrospinalis. Apabila terjadi trauma kepala maka dapat merubah tekanan intra kranial normal. Jika diukur tekanan intrakranial yang normal adalah 5-15 mm Hg. Penulis lain mencatat tekanan intrakranial adalah 5-20 mm Hg. Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan tekanan tinggi intrakranial. Sebab volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan memindahkan cairan serebrospinalis dari ronga tengkorak ke kanalis spinalis dan disamping itu volume darah intrakranial akan menurun oleh karena berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara tekanan dan volume ini dikenal dengan complience. Jika otak, darah dan cairan serebrospinalis
volumenya
terus
menerus
meninggi,
maka
mekanisme
penyesuaian ini akan gagal dan terjadilah tekanan tinggi intrakranial.
Etiologi tekanan tinggi intrakranial 1. Volume intrakranial yang meninggi Volume intrakranial yang meninggi dapat disebabkan oleh:
Tumor serebri
Infark yang luas
Trauma
Perdarahan
Abses
Hematoma ekstraserebral
Acute brain swelling
2. Dari faktor pembuluh darah
16
Meningginya tekanan vena karena kegagalan jantung atau karena obstruksi mediastinal superior, tidak hanya terjadi peninggian volume darah vena di piameter dan sinus duramater, juga terjadi gangguan absorpsi cairan serebrospinalis. 3. Obstruksi pada aliran dan pada absorpsi dari cairan serebrospinalis, maka dapat terjadi hidrosefalus.
Gejala klinik tekanan tinggi intrakranial
Nyeri Kepala Nyeri kepala pada tumor otak terutama ditemukan pada orang dewasa dan kurang sering pada anak-anak. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu bangun tidur, karena selama tidur PCO2 arteril serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan dari serebral blood flow dan dengan demikian mempertinggi lagi tekanan intrakranium. Juga lonjakan tekanan intrakranium sejenak karena batuk, mengejan atau berbangkis akan memperberat nyeri kepala. Pada anak kurang dari 10-12 tahun, nyeri kepala dapat hilang sementara dan biasanya nyeri kepala terasa didaerah bifrontal serta jarang didaerah yang sesuai dengan lokasi tumor. Pada tumor didaerah fossa posterior, nyeri kepala terasa dibagian belakang dan leher.
Muntah Muntah dijumpai pada 1/3 penderita dengan gejala tumor otak dan biasanya disertai dengan nyeri kepala. Muntah tersering adalah akibat tumor di fossa posterior. Muntah tersebut dapat bersifat proyektil atau tidak dan sering tidak disertai dengan perasaan mual serta dapat hilang untuk sementara waktu.
Kejang Kejang umum/fokal dapat terjadi pada 20-50% kasus tumor otak, dan merupakan gejala permulaan pada lesi supratentorial pada anak sebanyak 15%. Frekwensi kejang akan meningkat sesuai dengan pertumbuhan
17
tumor. Pada tumor di fossa posterior kejang hanya terlihat pada stadium yang lebih lanjut. Schmidt dan Wilder (1968) mengemukakan bahwa gejala kejang lebih sering pada tumor yang letaknya dekat korteks serebri dan jarang ditemukan bila tumor terletak dibagian yang lebih dalam dari himisfer, batang otak dan difossa posterior.
Papil edem Papil edem juga merupakan salah satu gejala dari tekanan tinggi intrakranial. Karena tekanan tinggi intrakranial akan menyebabkan oklusi vena sentralis retina, sehingga terjadilah edem papil. Barley dan kawankawan, mengemukakan bahwa papil edem ditemukan pada 80% anak dengan tumor otak. Gejala lain yang ditemukan: o False localizing sign: yaitu parese N.VI bilateral/unilateral, respons ekstensor yang bilateral, kelainann mental dan gangguan endokrin o Gejala neurologis fokal, dapat ditemukan sesuai dengan lokalisasi tumor.
Hipotesa Monro-Kellie Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih konstan ). Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal (Lombardo, 2003
18
2.1.6. Penatalaksanaan Trauma Kepala Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera, dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya (American College Surgeon. 2012). a. Trauma Kepala Ringan (GCS = 13 – 15 ) Trauma Kepala Ringan pasien dengan nilai GCS 13-15 dapat mengalami amnesia, hilangnya kesadaran yang transien dan dapat adanya riwayat disorientasi. Gejala Disorientasi dan penurunan kesadaran ini sering juga disebabkan oleh penggunaan Alkohol atau zat toksik lainnnya. Penatalaksanaan untuk trauma kepala ringan ditunjukan pada Gambar 2.2. Sebagian besar pasien sembuh sempurna dan hanya sekitar 3% dari penderita trauma kepala ringa mengalami perburukan dan disfungsi neurologis yang berat.
19
Gambar 2.2 Alogaritma penangan pada pasien dengan trauma kepala ringan (American College Surgeon, 2012)
Secondary Survey penting untuk mengevaluasi pasien dengan trauma kepala ringan untuk mengetahui mekanisme trauma, riwayat penurunan kesadaran seperti berapa lama, kejang, amnesia. Pemeriksaan yang sangat penting untuk
20
dilakukan adalah CT-Scan. CT-Scan harus dlakukan pada seluruh pasien yang dicurigai mengalami cedera kepala yang diduga memiliki tanda klinis berupa fraktur kepala terbuka, tanda-tanda fraktur basis cranii, riwayat pasien muntah lebih dari 2 kali, atau pasien dengan usia >65 tahun. CT-Scan juga perlu dilakukan pada pesien dengan hilang kesadaran lebih dari 5 menit dan amnesia retrograde lebih dari 30 menit, mekanisme trauma yang sangat berbahaya, sakit kepala yang parah dan kelainan neurologis fokal. Apabila ditemukan kelainan pada CT-Scan atau pasien mengalami kelainan neurologis yang menetap maka penting untuk segera dirujuk kepada Bedah Saraf. Namuan apabila pasien sadar dan tidak ada kelainan neurologis pasien dapat di observasi selama beberapa jam dan dapat dipulangkan. Idealnya apabila pasien dipulangkan dengan seorang penolong yang dapat melakukan pemantauan secara terus meneus selama 24 jam dan dapat membawa pasien kembali ke rumah sakit apa bila paseien terus mengalami sakit kepala, penurunan kesadaran, ataupun kelainan neurologis fokal. Penatalaksanaan di Rumah sakit dapat berupa Obat nyeri ataupun Toksoid apa bila terdapat luka terbuka. b. Trauma Kepala Sedang ( GCS 9-12 ) Sekitar 15% pasien dengan trauma kepala yang datang ke IGD merupakan Pasien dengan trauma kepala sedang, paisen basanya masih mampu menuruti perintah sederhana, tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis. Pada 10-20 % kasus mengalami perburukan dan jatuh dalam koma harus diperlakukan sebagai pasien dengan trauma kepala berat. Alur tatalaksana pada Trauma kepala sedang digambarkan pada Gambar 2.3. Tindakan di UGD dapat berupa anamnese singkat, stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis. Pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan. Penderita harus dirawat untuk diobservasi secara ketat selama 24 jam. CT-Scan follow up 24 jam direkomendasikan apabila ada abnormalitas pada hasil scan sebelumnya atau perburukan gejala neurologis. Pasien dapat dipulangkan setelah dirawat bila status neulologis membaik, CT-Scan berikutnya tidak
21
ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan pembedahan. Selama masa observasi airway tetap harus dijaga patensinya.
Gambar 2.3. Alogaritma penatalaksanaan Trauma Kepala Sedang (American College Surgeon, 2012)
c. Trauma Kepala Berat ( GCS 3-8 ) Paien dengan Trauma kepala berat tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah distabilkan. Pasien dengan trauma kepala berat mempunyai resiko memburuk dan morbiditas yang sangat tinggi. Diagnosa dan
penanganan sangat penting dan perlu untuk dilakukan
dengan segera. Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita Trauma kepala berat harus dilakukan secepatnya. Pemeriksaan CT-Scan tidak boleh ditunda. Alogaritma penangan pasien dengan trauma kepala berat dijelaskan pada Gambar 2.4.
22
Gambar 2.4. Alogaritma penangan Trauma Kepala Berat (American College Surgeon, 2012)
Primary survey dan resusitasi 1.
Airway dan breathing Sering terjadi gangguan henti nafas sementara dan hipoksia dapat
menyebabkan Secondary bran injury sehingga penting untuk dilakukan Intubasi endotracheal
secara cepat pada pasien koma. Pasien harus
diberikan ventilasi denga oksigen 100 %. Hingga hasil pemeriksaan AGDA keluar dan barulah FiO2 diatur sesuai dengan hasil pemeriksaan, saturasi O2 dijaga agar selalu >98%. Tindakan
hyeprveltilasi
mengoreksi sementara
dilakukan
secara
hati-hati
untuk
asidosis dan menurunkan TIK pada penderita
dengan pupil telah dilatasi dan penurunan kesadaran. PCo2 harus dipertahankan sekitar 35 mm Hg Hiperventilasi (PCO2 <32 mmHg) harus berhati-hati pada pasien dengan trauma kepala berat dan hanya dilakukan apabila terjadi kelainan neurologic akut. 2.
Sirkulasi Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cidera kepala itu sendiri
kecuali pada tahap terminal dimana terjadi kegagalan medula atau adanya
23
trauma pada medula spinalis. Perdarahan intrakranial saja tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Apabila terjadi perdarahan akubat trauma multipel maka perlu dilakuakn resusitasi secra cepat untuk mencapai euvolumia. .Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade jantung dan tension pneumothorax. Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk mengganti cairan yang hilang
UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan
adanya akut abdomen (American College Surgeon, 2012).
Pemeriksaan Neurologis Dilakukan
segera
setelah
status
cardiovascular
penderita
stabil,
pemeriksaan terdiri dari: GCS, Reflek cahaya pupil, Gerakan bola mata, Tes kalori dan refleks kornea. Apabila pasien mengalami kejang maka dapat mengurangi respon pasien selama beberapa menit atau jam. Sangat penting melakukan pemeriksaan neurilogis sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis. Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik Catat respon terbaik/terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita. Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan pasien (American College Surgeon, 2012).
Secondary survey Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli bedah saraf. Riwayat AMPLE (alergi, medikasi, past illness, last meal, event). Perlu dilakukannya pemeriksaan serial mengenai GCS, lateralisasi dan refleks pupil untuk memeiksa kelainan neurologi secepat mungkin. Tanda awal herniasi uncal adalah hilangnya respon pupil, walaupun trauma langsung pada mata juga dapat menghilangkan respon pupil namun pada pasien dengan trauma kepala kelianan intrakranial harus dipertimbangkan (American College Surgeon, 2012).
24
Tatalaksana Medikamentosa Fase Akut Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap otak yang telah mengaalami cedera (American College Surgeon. 2012) A. Cairan Intravena -
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.
-
Penggunaan
cairan
yang
mengandung
glucosa
dapat
menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. -
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl. Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresif.
B. Hiperventilasi -
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Namun hiperventilasi berkepanjangan dapa menyebakan iskemia pada otak yang telah trauma sebelumnya karena perfusi otak menurun.
-
Secara umum PaCO2 dipertahankan pada 35-45mmHg , Hiperventilasi dimana mempertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg perlu dilakukan pada perburukan respon neurologis akut.
-
Hiperventilasi dapat menyebabkan vasokonstriki pembuluh darah sehingga menghambat peningkatan intrakranial sampai dapat dilakukannya craniotomy.
25
C. Manitol -
Manitol digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial. Sediaan yang biasa digunakan adalah 20% ( 20g dalam 100ml)
-
Manitol tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipotensi. Karena manitol tidak dapat dapat menurunkan tekanan intrakranial pada pasien hipovolemi dan dapat menyebabkan diuresis osmotik yang dapat memperburuk hipovolemi.
-
Dilatasi
pupil,
merupakan
hemiparesis,
indikasi
dan
pemberian
penurunan
manitol.
kesadaran
Manitol
dapat
langsung diberikan secara bolus 1 gram/kg BB iv secara cepat (dalam 5 menit). -
Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV
D. Hypertonic saline -
Diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Konsentrasi yang digunakan adalah 3%-23,4%, ini dapat digunakan untuk pasien dengan hipotensi karena tidak bersifat osmosis diuretik.
E. Barbiturat -
Barbuturat dapat digunakan untuk menurunkan Tekanan intrakranial. Namun tidak dapat digunakan untuk pasien dengan hipotensi. Sedangkan hipotensi itu sendiri dapat timbul akubat penggunaan barbiturat tersebut. Oleh karena itu tidak dapat digunakan pada resusitasi akut.
F. Anticonvulasan -
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya epilepsi pasca trauma. Dan atikonvulsan dapat
menghambat
penyembuhan
otak
sehingga
harus
digunakan saat diperlukan 26
-
Phenytoin sering dipakai dalam fase akut dimana dosis awal pada orang dewasa adalah 1 g iv dengan kecepatan tidak lebih dari 50mg/menit dengan rumatan 100mg/8jam. Diazepam dan lorazepam dapat digunakan untuk tambahan hingga kejang berhenti.
-
Kejang yang lama (30-60 menit) dapat menyebabkan kerusakan otak sekunder.
Tatalaksana Konservatif 1) Manitol 20% Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm (Japardi, 2002). 2) Loop diuretik (Furosemid) Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/IV (Japardi, 2002). 3) Terapi barbiturat (Fenobarbital) Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Terapi ini bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain. Fenobarbital bekerja dengan cara menekan metabolisme otak sehingga kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
27
berkurang. Cara pemberiannya: bolus 10 mg/kgBB/IV selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari (Japardi, 2002).
4) Cairan Intravena Prinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan perfusi serebral yang adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan tekanan darah. Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia, jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak (De Jong, 2004). Strategi terbaik adalah mempertahankan volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak (Seth & Morris, 2004).
5) Antikonvulsan Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma
bukan
prediksi
epilepsi
tetapi
kejang
dini
bisa
memperburuk secondary brain injury dengan menyebabkan hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan peningkatan ICP (Feliciano et al., 2004). Pengobatan (Japardi, 2002): a. Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
28
b. Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral c. Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang.
Tatalaksana Pembedahan Indikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan Status
neurologis, Status radiologis, Pengukuran tekanan intrakranial. Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial : •
Massa hematoma kira-kira 40 cc
•
Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
•
ICD dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran Baris tengah dengan GCS 8 atau kurang.
•
Konstusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
• Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai berkembangnya tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25 mm Hg. Sedangkan Indikasi operasi pada fraktur depres adalah lebih dari satu tabula, adanya defisit yang berhubungan dengan bagian otak dibawahnya, LCS leakage, fraktur depres terbuka, preventif growing fracture pada anak.
29
Nonmedikamentosa 1) Posisi Tidur Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar (Japardi, 2002). 2) Nutrisi Adekuat Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 22,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari (Japardi, 2002).
2.1.7
Prognosis Prognosis tergantung pada (Heegaard & Biros, 2007): a. Lokasinya ( infratentorial lebih jelek ) b. Besarnya c. Kesadaran saat masuk kamar operasi. Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi (Heegaard & Biros, 2007).
30
DAFTAR PUSTAKA
Langlois J.A., Rutland-Brown W., Thomas K.E., Traumatic brain injury in the United States: emergency department visits, hospitalizations, and deaths. Atlanta (GA): Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Injury Prevention and Control, 2006. Jagger J, Levine JI, Jane JA, Rimel RW. Epidemiologic features of head injury in a predominantly rural population. Journal of Trauma 1984;24:40-44. Krisna Veni, 2011. Gambaran Penderita Trauma Kepala di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2009. Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. American College Surgeon. 2012. Advanced Trauma Life Support Edisi Ke 9. United States of America. De Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. 2004. Trauma. 5th Ed. New York: McGraw-Hill. Heegaard, William dan Michelle Biros. 2007. Traumatic Brain Injury. Emerg Med Clin N Am. 25: 655–678. Japardi, Iskandar. 2002. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. (online). Available at:
library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi37%20.pdf.
Diakses tanggal 30 Oktober 2014. Seth J. Karp, MD. James P. G. Morris, MD. David I. Soybel. 2004. Blueprints Surgery. Third Edition. UK: Blackwell Publishing.
31