M.Z. Arifin et al
HEAD INJURY MANAGEMENT PENGELOLAAN PENDERITA CEDERA KEPALA Muhammad Zafrullah Arifin Departemen Bedah Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung
PENDAHULUAN Cedera otak traumatika masih merupakan penyebab kematian dan kecacatan tertinggi pada kelompok umur dibawah 40 tahun, sehingga menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan masyarakat dan sosial-ekonomi. Cedera otak traumatika, pada tahun 2020 akan menjadi penyebab kematian dan kecacatan terbanyak di dunia melebihi penyakit-penyakit yang lain. Meskipun insidensi cedera otak traumatika di negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia terus mengalami penurunan, namun insidensinya mengalami kenaikan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Peningkatan ini erat hubungannya dengan meningkatnya industrialisasi dan pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor.1-3 Di USA kejadian cedera otak traumatika setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus, dan 10% diantaranya meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Delapanpuluh persen dari penderita yang sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai cedera otak traumatika ringan, 10% termasuk cedera otak traumatika sedang dan 10% sisanya adalah cedera otak traumatika berat. Lebih dari 100.000 orang, menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera otak traumatika setiap tahunnya di USA.2-4 Di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, pada tahun 2011 terjadi peningkatan kejadian cedera otak traumatika sebanyak 14,5% jika dibandingkan dengan kejadian cedera otak traumatika tahun 2010. Pada tahun 2011, kejadian cedera otak traumatika 2.509 kasus yang terdiri atas 1.856 (74%) cedera otak traumatika ringan, 438 (17%) cedera otak traumatika sedang, dan 215 (9%) cedera otak traumatika berat. Angka kematian pasien dengan cedera otak traumatika berat juga mengalami peningkatan dari 33% pada tahun 2010 menjadi 43% pada tahun 2011.5 Data RSHS pada tahun 2011
1
M.Z. Arifin et al
(Gambar 1) didapatkan total pasien yang masuk IGD dalam tahun 2011 sebanyak 9608 pasien. Jumlah rata-rata pasien perbulannya sebanyak 800 pasien, rata-rata 384 pasien diantaranya adalah kasus kecelakaan lalulintas, rata-rata 67 pasien meninggal dan 14 pasien meninggal pada saat tiba di RSHS.6
Keterangan: DOA, Death on Arival; KLL, Kecelakaan Lalulintas Gambar 1. Data instalasi gawat darurat RSHS pada tahun 2011. Penyebab terjadinya cedera kepala termasuk kecelakaan lalulintas, kekerasan/pemukulan, jatuh, cedera olahraga, dan kecelakaan industri. Beragam faktor mempengaruhi terjadinya cedera kepala serius. Sebagai contoh, intoksikasi alkohol terlibat pada setangah dari semua kasus fatal dalam kecelakaan lalulintas. Pada sisi lain, mengurangi batas kecepatan pada jalur bebas hambatan, menggunakan sabuk pengaman, dan menggunakan pelindung kepala/helm untuk pengendara bermotor dan pekerja industri telah mengurangi jumlah kecelakaan serius. Tetapi, sangat disayangkan, masyarakat menolak menggunakan alat-alat pengaman atau menerapkan langkah-langkah keamanan. Jika morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh cedera kepala harus dikurangi, maka sangat penting bagi semua dokter untuk memahami aspek-aspek patofisiologi cedera kepala dan penatalaksanaan yang tepat untuk cedera kepala, tulang tengkorak dan otak.
2
M.Z. Arifin et al
CEDERA KULIT KEPALA Cedera kulit kepala sangat sering terjadi, dan walaupun pada umumnya minor, namun harus diperiksa dengan sangat hati-hati dan ditangani dengan sebaik-baiknya. Luasnya cakupan pemeriksaan dan penatalaksanaan tergantung pada kedalaman luka. Cedera kulit kepala yang paling ringan adalah abrasi/kontusio, yang pada umumnya membaik dengan terapi lokal (yaitu, membersihkan luka dan penggunaan antibiotik topikal dan kompres dingin). Pukulan yang lebih kuat dapat menyebabkan perdarahan pada rongga subgaleal (perdarahan diantara aponeurosis dan periosteum) atau subperiosteal (perdarahan diantara periosteum dan tulang tengkorak), dengan pembentukan sefal hematoma, yang paling sering terjadi pada neonatus. Jika cukup luas, sefalhematoma pada anak-anak dapat mengurangi angka hematokrit dengan signifikan. Selain mengamati volume darah dan mengawasi kemungkinan terjadinya hiper bilirubinemia, tidak ada terapi khusus lain yang dibutuhkan. Sefal hematoma tidak boleh di aspirasi secara rutin. Sangat jarang, terjadi kalsifikasi pada hematoma subperiosteal, yang membutuhkan operasi pengangkatan. Kadang kala setelah cedera kepala mayor, hematoma epidural dapat terdorong keluar melalui fraktur tulang tengkorak diatasnya dan laserasi periosteal dan menghasilkan akumulasi darah pada rongga subgaleal. Laserasi kulit kepala menjadi alasan utama sebagian besar kunjungan ke unit gawat darurat pada kasus terkait cedera kepala. Karena kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah, cedera pada dearah ini biasanya sembuh dengan baik. Rambut disekitar laserasi harus dipangkas (dicukur) untuk penanganan luka. Penanganan termasuk irigasi dengan saline steril yang sangat banyak dan membersikan/menggosok kuat luka dengan larutan sterilisasi kulit standar (yaitu, povidone-iodine). Setelah pemberian anastesi lokal, luka harus diperiksa dengan teliti dibawah lampu yang terang. Jika laserasi tidak menembus galea, biasanya ditangani dengan penutupan satu lapis kulit. Jika terdapat laserasi pada galea, tulang tengkorak dibawahnya harus diperiksa untuk memastikan tidak adanya fraktur. Jika ditemukan ada tanda-tanda fraktur, foto tulang tengkorak dan konsultasi bedah saraf dibutuhkan sebelum luka ditutup, karena
3
M.Z. Arifin et al
debridemen yang lebih luas atau terapi antibiotik yang lebih banyak/panjang mungkin diperlukan. Jika tidak ditemukan cedera pada tulang tengkorak, luka dapat ditutup dengan satu atau dua lapisan. Jika pada awalnya luka terkontaminasi, menutup satu lapis kulit lebih disarankan, karena jahitan yang tertimbun bisa terinfeksi. Toxoid tetanus diberikan berdasarkan status imunisasi pasien. Walaupun antibiotik profilaksis rutin disarankan, tidak ada penelitian yang dapat membuktikan efektivitas antibiotik tersebut dalam menurunkan terjadinya angka infeksi. Laserasi yang luas dapat mengeluarkan darah yang sangat banyak dan, terutama pada anak-anak, dapat menyebabkan anemia atau, jarang sekali, shok hipovolemik.
CEDERA INTRAKRANIAL Konkusi Cedera otak paling ringan adalah konkusi. Cedera ini mengakibatkan penurunan kesadaran untuk beberapa saat dan amnesia, retrograde (sebelum kecelakaan) atau anterograde (postraumatik) amnesia. Model eksperimen dan data neuropatologik yang terbatas yang berhubungan dengan kematian pasien konkusi karena penyebab lain tidak dapat memberikan bukti yang meyakinkan, pada mikroskop cahaya, adanya lesi patologik didalam otak. Trauma yang mengakibatkan rotasi kepala seringkali menyebabkan penurunan kesadaran. Walaupun studi-studi awal melibatkan disfungsi fisiologis pusat batang otak pada cedera ini, belum ditemukan kasus dengan lesi patologik batang otak yang terisolasi. Pada kenyataannya, sebagian besar cedera kepala tampak sentripetal; yakni, bagian otak superfisial rusak terlebih dahulu sebelum bagian yang dalam. Seperti yang sering terlihat pada defisit amnesia postkonkusi yang dalam pada pasien-pasien dengan perubahan kesadaran yang sangat minimal dapat menegaskan bahwa cedera bersifat sentripetal. Walaupun mekanisme kerusakan selular yang terjadi pada konkusi tidak diketahui, berdasarakan fakta-fakta yang disampaikan diatas, diskoneksi fisiologis antara korteks dan batang otak menjadi dasar pemikiran utama.
4
M.Z. Arifin et al
Konkusi diklasifikasikan berdasarkan hebatnya derajat cedera primer dan hasil disfungsi neurologis. Lesi grade I menyebabkan kebingungan (confusion) sementara, lalu segera kembali ke kesadaran normal dan tanpa amnesia; grade II, kebingungan yang sedikit lebih berat dan sedikit amnesia (hanya postraumatik), grade III, kebingungan yang sangat berat pada awalnya, dengan amnesia postraumatik dan retrograde; grade IV (konkusi klasik), kehilangan kesadaran singkat, periode kebingungan yang bervariasi, dan amnesia postraumatik dan retrograde. Evaluasi awal semua pasien-pasien konkusi adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap. Banyak dokter-dokter menyarankan foto tulang tengkorak rutin, karena temuan positif pada radiografi menambah adanya kemungkinan hematoma intrakranial secara signifikan. Beberapa dokter juga menyarankan foto servikal rutin, tetapi foto ini harus selalu direncanakan pada pasien dengan nyeri leher atau pada pasien dengan gangguan kesadaran persisten. Pemeriksaan laboratorium lain disesuaikan berdasarkan keperluan masing-masing pasien. Jika periode kebingungan telah lewat, jika hasil dari berbagai investigasi negatif, dan jika ada seseorang yang dapat dipercaya dapat mengawasi pasien dengan bantuan "head sheet" (lembar instruksi cedera kepala; termasuk mengawasi timbulnya gejala dan tanda yang memerlukan bantuan medis sesegera mungkin) selama 24 jam, pasien boleh dipulangkan. Bahkan jika pasien sedikit kebingungan, temuan radiografi positif, tidak ada seseorang yang dapat dipercaya untuk mengawasi pasien, atau ada masalah-masalah lain terjadi, pasien harus dirawat untuk observasi. Tindakan pencegahan ini sangat penting, bahkan pada cedera kepala yang tampak ringan, karena pasien-pasien demikian dapat mengalami, kadang kala, hemorrhagik intrakranial yang mengancam nyawa dan keadaan umumnya memburuk dengan cepat. Sebagian kecil pasien datang kembali setelah dipulangkan dengan keluhan sakit kepala persisten, mual, susah berkonsentrasi, memori yang buruk, insomnia dan depresi. Gejala-gejala ini merupakan sindrom postkonkusi. Pada sebagian besar pasien-pasien ini, hasil pemeriksaan neurologis dan radiografi (seperti CT scan) singkat/tanpa perhatian khusus tampak normal, tetapi laporan dari studi-studi baru mengindikasikan adanya
5
M.Z. Arifin et al
abnormalitas pada tes neurofisiologik yang terperinci, bahkan pada pasien-pasien tanpa sindrom postkonkusi. Tidak ada terapi khusus untuk keluhan-keluhan ini, tetapi dengan konsultasi, penjelasan dan terapi simtomatik, sebagian besar pasien dalam keadaan baik. Hematoma Epidural Hematoma epidural tercatat sebanyak 1% sampai 3% dari semua kasus cedera kepala mayor. Walaupun dapat terjadi pada semua umur, kasus ini paling sering dijumpai pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Perbandingan rasio lelaki dan wanita sebesar 4:1. Kecelakaan berkendara menjadi penyebab utama, tetapi kejadian kecil, seperti terpeleset dan cedera olahraga, bisa menjadi pencetus yang fatal. Sumber permasalahan umumnya berasal dari arterial (85%), tetapi epidural hematoma juga dapat melibatkan vena meningeal atau sinus dural. Lokasi-lokasi epidural hematoma paling umum termasuk fosa temporal, regio subfrontal dan area oksipital-suboksipital (gambar 2).
Hematoma epidural fosa temporal, yang menyebabkan cedera arteri meningeal media, adalah epidural hematoma yang paling sering dijumpai. Fraktur tulang temporal menjadi penyebab pada setidaknya 80% kasus. Tanda-tanda klinis klasik dan rangakaian kejadian yang panjang pada hematoma tipe ini hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien saja. Pada dasarnya, konkusi menyebabkan periode awal penurunan kesadaran, kemudian, karena dura cukup erat dengan tulang tengkorak, akumulasi darah terhambat dan interval lucid menyusul, pada saat fungsi neurologis pasien relatif normal. Akhirnya, ketika lesi semakin membesar, kesadaran menurun secara drastis. Kejadian ini menggambarkan karakteristik yang disebut "talk and die patient" (pasien berbicara lalu meninggal). Interval lucid lebih panjang jika sumber perdarahan berasal dari vena (tekanan yang lebih rendah).
6
M.Z. Arifin et al
Gambar 2. Lokasi Epidural (Sumber: Netter) Hematoma yang terus membesar dapat mendorong lobus temporal ke arah medial,
7
M.Z. Arifin et al
menyebabkan herniasi unkus dan girus hipokampal melalui dan melampaui lekukan tentorial. Karakteristik sindrom herniasi unkal adalah penurunan kesadaran, dilatasi pupil ipsilateral dini, dan hemiparesis. Hemapresis pada kasus ini umumnya kontralateral, karena dekusasi pada traktus piramid desenden; namun, jika pedunkulus serebri kontralateral tertekan ke tepi tentorial (Kernohan's notch), hemiparesis ipsilateral dapat terjadi. Bukti lain menunjukkan hematoma epidural disertai dengan kontusi kulit kepala ditempat cedera, fraktur tulang temporal, atau hematoma subgaleal temporal yang diakibatkan oleh ekstravasasi darah epidural melalui fraktur tulang tengkorak dan laserasi periosteum. Hematoma epidrual frontal atau subfrontal paling sering terjadi pada anak-anak atau orang tua, dan dikaitkan dengan pukulan langsung pada bagian frontal. Cedera ini dapat melibatkan cabang anterior arteri meningeal media, arteri meningeal anterior, atau sinus venosus. Gejala dan tanda yang umum termasuk sakit kepala, perubahan kepribadian dan anisokoria. Interval lucid biasanya lebih panjang dan evolusi dari lesi lebih lambat jika dibandingkan dengan lesi temporal. Studi-studi baru menyarankan bahwa kasus ini dapat ditangani secara konservatif. Hematoma epidural fosa posterior biasanya disebabkan oleh pukulan pada bagian oksipital, dan dikaitkan dengan fraktur yang melewati sinus transversus. Presentasi klinis bisa akut atau kronis. Gejala dan tanda yang umum termasuk sakit kepala, meningismus, dysmetria, ataxia dan defisit nervus kranialis. Herniasi fosa posterior melalui foramen magnum dapat menyebabkan trias Cushing─depresi pernafasan, tekanan darah yang tinggi, dan denyut nadi yang rendah. Hematoma epidural jarang bilateral, tetapi terkadang terkait dengan lesi subdural. Diagnosa dapat dipastikan dengan CT scan; namun, kadang kala, tidak ada waku untuk penundaan dan diagnosa dan terapi harus dikerjakan bersamaan, dalam bentuk kraniektomi. Mortalitas pada kasus-kasus lampau dilaporkan mencapai 50%; namun, studi baru, dengan diagnosis dan teknik terapi yang agresif, lebih memberikan harapan, melaporkan mortalitas sekitar 20%.
8
M.Z. Arifin et al
Hematoma Subdural Hematoma subdural pada umumnya merupakan hasil dari hemorrhagik vena akut yang diakibatkan oleh ruptur bridging veins. Sumber perdarahan lain yang jarang ditemukan dapat berasal dari arteri kortikal, aneurisma, malformasi arterivena dan tumor metastasis. Hematoma subdural akut terjadi didalam 1 minggu setelah cedera (biasanya dalam jam). Separuh kasus berkaitan dengan fraktur tulang tengkorak; kecelakaan bermotor merupakan penyebab utama. Sering disertai oleh kontusi serebral atau batang otak yang sangat berat, atau keduanya, menghasilkan mortalitas yang tinggi (50%). Tanda-tanda umum termasuk penurunan kesadaran, dilatasi pupil ipsilateral, dan hemiparesis kontralateral. Seperti hematoma epidural, hemiparesis pada kasus ini jarang ipsilateral. Tanda-tanda lain yang disebut sebagai lokalisasi palsu termasuk homonimus hemianopia akibat dari trombosis arteri serebral posterior pada herniasi unkal, tatapan/pandangan abnormal yang disebabkan oleh cedera batang otak, dan, kadang-kadang, dilatasi pupil kontralateral karena kompresi nervus okulomotor terhadap tentorium. Hematoma subdural akut hampir selalu terletak pada konveksitas serebral dan ditemukan bilateral pada 15% sampai 20% pasien. Diagnosa definitif dapat diperoleh dari CT scan atau angiografi. Hematoma subdural subakut biasanya terjadi di dalam 7 sampai 10 hari setelah cedera. Gejala dan tandanya mirip dengan hematoma subdural akut, tetapi perjalanannya lebih lambat dan mortalitasnya lebih rendah. Diagnosa definitif dapat diperoleh dari CT scan, walaupun angiografi terkadang dibutuhkan karena isodensitas hematoma ini. Hematoma subdural kronis paling sering dijumpai pada orang tua dan pemabuk kronis, yang pada umumnya mengalami atrofi otak ringan, yang menghasilkan rongga subdural yang lebih besar. Pasien yang mengkonsumsi terapi antikoagulan dalam waktu yang lama atau pasien dengan dyscrasia juga memiliki faktor risiko yang lebih tinggi. Trauma pencetus biasanya sangat sepele sehingga terlupakan. Pada awalnya, hemorrhagik kecil memenuhi rongga subdural, dan kira-kira setelah 2 minggu, membran vaskular terbentuk disekeliling lesi. Semula, diperkirakan bahwa hasil darah dari dalam hematoma subdural menarik cairan serebrospinal secara osmosis, menambah ukuran hematoma, meregangkan
9
M.Z. Arifin et al
membran, dan menyebabkan hemorrhagik lebih lanjut. Namun, telah dibuktikan bahwa tidak ada gradien osmotik terhadap membran. Meskipun demikian, pada beberapa pasien hematoma tampaknya terus membesar sampai menimbulkan gejala. Gejala dan tanda hematoma subdural kronis mirip dengan penyakit serebrovaskular, ensefalitis, ensefalopati metabolik atau psikosis, dan cenderung bervariasi. Sakit kepala kronis dan nyeri perkusi pada bagian lesi ditemukan pada 80% pasien, dan sebagian besar pasien menderita demensia progresif dengan rigiditas menyeluruh (paratonia). Radiografi tulang tengkorak menunjukkan abnormalitas pada 25% pasien, elektroensefalogram menggambarkan pernurunan voltase pada daerah lesi, dan konsentrasi protein di dalam cairan serebrospinal sering kali menurun. Diagnosa dapat dipastikan dengan CT scan atau angiografi. Tatalaksana Awal dan Evaluasi Cedera intrakranial akut seringkali berkaitan dengan kerusakan neurologis yang berat. Seringkali, pasien dibawa ke unit gawat darurat dalam keadaan koma─yakni, "tidak dapat membuka mata, mengeluarkan kata-kata yang dapat dimengeri, atau mengikuti perintah." Penatalaksanaan awal cedera kepala yang berat (gambar 3) adalah ABC yang menjadi inti dari ilmu kegawatdaruratan medis moderen.
Langkah pertama pada ABC adalah Airway/saluran nafas (A) dan membebaskan jalan nafas dari benda-benda obstruktif (seperti, gigi palsu, vomitus). Karena pasien mungkin mengalami cedera cervikal, radiografi lateral cervikal harus diperoleh terlebih dahulu sebelum leher dapat dimanipulasi untuk intubasi trakeal. Namun, jika pernafasan tampak terancam, intubasi nasotrakeal atau endotrakeal dengan leher pada posisi netral harus dilakukan dengan sangat hati-hati sesegera mungkin. Kadang kala, trauma pada wajah mencegah pemasangan intubasi, dan krikotiroidektomi atau trakeostomi dapat menjadi pilihan jika diperlukan.
10
M.Z. Arifin et al
Gambar 3. Penatalaksanaan cedera kepala berat (Sumber: Netter)
11
M.Z. Arifin et al
Setelah saluran nafas dibebaskan, langkah berikutnya adalah Breathing/pernafasan (B). Rata-rata dan ritme pernafasan, juga suara nafas, harus dievaluasi. Perubahan pola pernafasan dapat mencerminkan disfungsi sistem saraf pusat pada level tertentu. Lesi hemisferik bilateral yang dalam dan basal ganglia dapat menyebabkan respirasi Cheyne-Stokes (pernafasan dengan periode hiperventilasi dan apnea yang silih berganti), dan hiperventilasi neurogenik sentral dapat diakibatkan oleh lesi pada mesensefalik atau pontine bagian atas. Pernafasan ataksik muncul pada fase terminal, dimana hanya medullary yang masih dapat berfungsi. Analisa gas darah harus diperiksa pada semua pasien dengan cedera kepala, karena hipoksemia sering terjadi. Oksigen harus diberikan untuk menjaga kadar PaO2 dalam batas normal; hiperventilasi direkomendasikan untuk menjaga PaCO2 diantara 25 dan 30 mmHg, karena hipokarbia merupakan serebral vasokontriktor yang kuat, mengurangai volume darah otak dan, oleh sebab itu, tekanan intrakranial. Foto polos dada harus diperoleh untuk memastikan tidak ada cedera pada rongga dada seperti pneumothorak, kontusi paru atau aspirasi. Kemudian perhatian diarahkan pada status Circulatory/sirkulasi (C) pasien, yang dapat digambarkan oleh tekanan darah. Karena shok jarang terjadi akibat cedera kepala murni, pemeriksaan dengan teliti harus dilakukan untuk mencari penyebab lain (yaitu, ruptur lien atau fraktur tulang panjang). Kateter vena sentral, pada subklavian atau vena jugular interna, seringkali memiliki peran yang tak ternilai dalam mengevaluasi dan mengobati pasien-pasien dengan cedera multipel. Bersamaan dengan nilai hematokrit, tekanan vena sentral dapat membedakan shok hipovolemik dengan beberapa kasus shok neurogenik yang disebabkan oleh cereda kord spinal. Pada shok neurogenik, disfungsi saraf servikal mengganggu aliran simpatis ke jarigan, menyebabkan pooling vena dan hipotensi. Shok tipe ini biasanya ditandai dengan hipotensi, bradikardia, tekanan vena sentral relatif normal, dan nilai hematokrit yang normal, sedangkan shok hipovolemik menyebabkan takikardia, tekanan vena sentral yang sangat rendah, dan nilai hematokrit yang menurun. Shok neurogenik biasanya dapat diatasi dengan menundukan kepala pasien dan memberikan terapi cairan yang tidak terlalu banyak; kadang-kadang atropin atau vasopresor juga dibutuhkan. Sedangkan, pasien dengan shok hipovolemik membutuhkan cairan intravena yang sangat banyak,
12
M.Z. Arifin et al
yang dapat menyebabkan kelebihan cairan pada sirkulasi dan menimbulkan edema paru pada pasien dengan hipotensi neurogenik. Pada saat dan setelah penilaian ABC, pemeriksaan fisik lengkap juga dilakukan. Evaluasi neurologis harus difokuskan pada tingkat kesadaran pasien, reaksi pupil, gerakan ekstraokular, dan reaksi motorik. Anggota medis dan paramedis dapat melakukan pemeriksaan tersebut di tempat kejadian trauma, unit gawat darurat, dan ruang rawat intesif. Dengan demikian, perubahan pada pasien dapat dikenali lebih awal dan penatalaksanaan dapat diterapkan sesegera mungkin. Bermacam-macam isitilah, seperti koma, semikoma, stupor dan obtundation, digunakan untuk menggambarkan tingkat kesadaran pasien, tetapi istilah-istilah berikut tidak dapat diterapkan secara seragam di senter-senter dan bahkan di antara pemeriksa. Oleh karena itu, penilaian yang dikembangkan oleh Jennett dan Teasdale's, pada tahun 1974, yang dikenal sebagai Glasgow Coms Scale (GCS) menjadi kemajuan yang berarti. Pada skala ini, kemampuan pasien melakukan tiga tes fungsi neurologis─membuka mata, reaksi motorik dan reaksi verbal─menentukan skor total, seperti yang diilustrasikan pada gambar 4. Definisi standar koma─"tidak dapat membuka mata, mengeluarkan kata-kata yang dapat dimengerti, atau mengikuti perintah"─sesuai dengan nilai maksimum 8 pada GCS. Glasgow Coma Scale sangat mudah diterapkan dan dapat dilakukan berulang-ulang, memberikan gambaran perjalanan keadaan pasien dan dapat digunakan untuk melakukan perbandingan pada institusi yang sama atau institusi-institusi lain. GCS telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diagnosa dan terapi moderen cedera kepala. Berbagai macam abnormalitas pupil dapat ditemukan pada kasus cedera kepala. Yang paling dikenal adalah kelumpuhan unilateral nervus ketiga karena herniasi unkal, yang menyebabkan dilatasi pupil ipsilateral dan respons yang buruk terhadap cahaya (Hutchinson's pupil). Kemudian, fungsi otot ekstraokular juga terganggu, menghasilkan dilatasi maksimal pupil dan menempatkan bola mata ke arah inferolateral. Pada keadaan lain, anisokoria dapat mencerminkan sindrom Horner's. Sindrom Horner's traumatik pada umumnya berhubungan dengan cedera pada serviko-thorakal kord spinal, pleksus brakhialis atau arteri karotis. Cedera ini menyebabkan denervasi simpatis mata ipsilateral, yang menimbulkan trias klasik: miosis, ptosis dan anhidrosis.
13
M.Z. Arifin et al
Gambar 4. Pemeriksaan Glasgow Coma Scale (Sumber: Netter)
14
M.Z. Arifin et al
Miosis pupil bilateral, pada umumnya mengindikasikan intoksikasi obat, dapat juga diakibatkan oleh cedera pontin. Cedera pada retina atau nervus optikus dapat menyebabkan defek pupil aferen Marcus Gunn. Pada situasi ini, respons cahaya indirek lebih kuat dibandingkan respons cahaya direk pada mata yang cedera. Mengayunkan cahaya dari mata yang normal ke mata yang cedera memperlihatkan dilatasi pupil yang berlawanan? Respons pupil lain, seperti pupil tektal dan hippus, kadang kala dapat dijumpai setelah cedera kepala. Saat menilai motilitas ekstraokuler, akan sangat membantu jika pemeriksa mengigat bahwa terdapat dua area besar yang mengendalikan gerakan horizontal bola mata. Didalam formasi retikular pontin terdapat pusat tatapan horizontal. Pusat ini terhubung, melalui median longitudinal fasikulus, ke servikal kord spinal dan vestibular dan kranial ekstraokular nuclei. Kerusakan pada pusat ini menyebabkan deviasi kedua bola mata ke arah berlawanan. Pusat yang lain terletak didalam lobus frontal (area mata frontal, Brodmann's area 8). Kerusakan pada pusat ini menyebabkan deviasi kedua bola mata dan kepala ke arah lesi. Jika lokasi cedera berada di lobus frontal, kedua bola mata berdeviasi menjauh dari sisi hemiparetik (traktus motorik menyebrang pada medulla); pada cedera batang otak, kedua mata berdeviasi ke arah sisi hemiparetik. Ditemukannya deviasi atau tidak, motilitas okular harus dinilai dengan lengkap. Jika servikal tidak terlibat, fenomena doll's-head dapat digunakan. Menggerakan kepala dari satu sisi ke sisi lain dapat menstimulasi akar-akar saraf dan vestibular nuclei dan, ketika batang otak tidak terlibat, menyebabkan pergerakan bola mata ke arah berlawanan, agar dapat mempertahan posisi relatifnya didalam ruang. Jika batang otak mengalami cedera, gerak bola mata tidak terpengaruh oleh gerakan kepala (tanda prognosis yang buruk). Sebagai alternatif, test kalorik dengan air-es dapat digunakan. Kepala diangkat 30 derajat dari posisi supine, agar kanal semisirkular horizontal berada dalam posisi vertikal. Jika kanal bebas dan membran timpani utuh, air-es dapat dimasukkan. Pada pasien sadar, air-es menstimulasi vestibular nuclei, menghasilkan nistagmus dengan fase cepat ke sisi kontralateral (COWS: Cold Opposite, Warm Same. Dingin berlawanan, hangat sama). Pada pasien koma, namun, fase cepat tidak dapat dilihat sehingga kedua mata sebenarnya
15
M.Z. Arifin et al
berdeviasi ke arah irigasi air-es. Hasil negatif tes kalorik juga merupakan prognosa yang buruk. Beberapa kategori respons motorik termuat dalam Glasgow Coma Scale pada gambar 4. Walaupun sederhana, skema ini sangat membantu menilai beratnya kasus cedera kepala. Jika pasien dapat mematuhi perintah, melokalisasi nyeri, menghindari nyeri, berarti semua traktus motorik desenden utuh. Traktus rubrospinalis mengatur respons fleksi tetapi hanya mempersarafi ekstrimitas bagian atas pada manusia. Dekortikasi (fleksi tangan dan ekstensi kaki), oleh sebab itu, mencerminkan cedera fisiologis pada level diantara korteks dan red nuclei. Traktus vestibulospinal mengatur ekstensi pada keempat ekstrimitas. Deserebrasi (ekstensi keempat ekstrimitas), oleh sebab itu, mencerminkan cedera pada level diantara red nuclei dan vestibular nuclei. Respons motorik yang nihil menandakan cedera pada level dibawah vestibular nuclei. Respons motorik lain (seperti monoplegia, paraplegia atau quadriplegia) mencerminkan cedera pada berbagai area sistem saraf. Lengkapnya pemeriksaan lanjutan tergantung pada beratnya cedera dan dilakukan setalah evaluasi awal. Radiografi tulang tengkorak diperoleh pada saat bersamaan. Tes laboratorium standar harus diajukan untuk semua pasien trauma. Fokus kemudian diarahkan pada radiografi definitif atau langkah-langkah terapi, atau keduanya. Radiografi yang dimaksudkan termasuk CT scan otak, yang pada beberapa tahun terakhir merevolusi diagnosa lesi intrakranial. Pada CT scan, kepala pasien diletakkan didalam alat scan sirkular yang tersusun oleh tabung-tabung roengten. Karena kepala tidak boleh bergerak selama pemeriksaan, anastesi pada umumnya dibutuhkan untuk pasien dengan agitasi, pasien muda atau pasien yang tidak kooperatif. Pada saat scan berrotasi, sinar x melintasi intrakranial dari berbagai sudut tetapi pada satu bidang horizontal yang sama. Dengan menganalisa derajat struktur intrakranial yang menipiskan/melemahkan sinar x, komputer memproduksi video atau gambar yang menunjukkan radiodensitas pada bagian yang di scan. CT scan masa kini dapat menghasilkan potongan-potongan dengan resolusi tinggi kurang dari 1 menit. Gambar 5 menunjukkan CT scan otak normal dan beberapa kasus hematoma intrakranial.
16
M.Z. Arifin et al
CT Scan pada Cedera Kepala
A. Normal brain. Transaksial CT scan kepala menunjukan struktur normal otak dengan sulkus, giris dan sisterna yang masih terbuka
B. Epidural Hematom. CT scan kepala menunjukan gambaran hiperdens berbentuk lentikular (bikonkaf) di area temporal kiri (panah).
Gambar 5. CT scan pasien trauma kepala (Sumber: Departemen Bedah Saraf FK Unpad-RSHS) CT scan memperlihatkan perbedaan densitas antara struktur-struktur intrakranial. Densitas serebrum pada CT adalah isodens. Struktur-struktur hiperdens termasuk tulang tengkorak, kelenjar pineal dan darah segar; struktur-struktur hipodens termasuk cairan serebrospinal, lemak dan air. Struktur-struktur yang berdampingan memiliki densitas yang berbeda agar dapat dengan mudah diidentifikasi pada CT scan. Pergeseran struktur normal, seperti kelenjar pineal atau sistem ventrikular, dapat menunjukkan adanya lesi. Hematoma epidural dan subdural keduanya hiperdens tetapi seringkali memilik bentuk yang berbeda. Hematoma epidural berbentuk lentikular karena kerekatan dura mater dengan tabula dalam tulang tengkorak pada kedua tepi/ujung lesi. Hematoma epidural dapat menggeser sistem ventrikuler dan kelenjar pineal. Hematoma subdural akut biasanya berbentuk bulan sabit (cekung). Hematoma subdural pada umumnya terletak disekeliling konveksitas serebral, dan biasanya menggeser sedikit bagian dari sistem ventrikuler. Hematoma subdural subakut, jika isodens, sulit dilihat pada CT scan. Kasus subakut biasanya dapat terdeteksi karena adanya pergeseran struktur
17
M.Z. Arifin et al
normal dalam otak, tetapi pergeseran ini tidak dapat ditemukan jika hematoma terjadi pada kedua sisi (bilateral), dijumpai pada 15% sampai 20% kasus. Pada kasus-kasus tersebut, CT scan dengan kontras dapat menggambarkan batas/tepi korteks. Jika tidak, angiografi karotis, biasanya melalui kateter transfemoral, dapat berperan penting untuk menunjukkan pembuluh darah kortikal yang lepas/geser dari tabula dalam tulang tengkorak pada lokasi hematoma. Hematoma subdural kronik pada umumnya hipodens dan, oleh sebab itu, mudah dilihat pada CT scan. Hematoma subdural kronis kadang kala berbentuk lentikular, karena terbungkus/terisolasi didalam membran subdural. Hematoma intraserebral terlihat hiperdens pada CT dan biasanya ditemukan pada lobus temporal dan frontal setelah trauma. Struktur-struktur normal dapat tergeser. Terkadang hemorrhagik intraserebral lobus temporal terlihat berangkaian dengan hematoma subdural diatasnya─yang dinamakan lobus temporal burst (gambar 6), dan memiliki prognosis yang cukup buruk. Tidak jarang, CT scan pada kasus cedera kepala mayor gagal menunjukkan adanya lesi. Dengan cara lain, area dengan hipodensitas relatif dapat dilihat didalam struktur white matter, mencerminkan adanya edema serebral postraumatik.
PERTUKARAN RESPIRASI PADA CEDERA KEPALA Sangat penting dalam penatalaksanaan medis pasien cedera kepala adalah memahami pertukaran respirasi yang kacau/tidak teratur. Otak sangat bergantung pada metabolisme aerobik pada situasi fisiologis dan sebagian besar patologis. Metabolisme otak normal untuk oksigen adalah 3,5 ml/100 g • menit, yang mewakili 20% dari total oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh. Aliran darah otak dan, oleh sebab itu, tekanan intrakranial bergantung pada PaCO2 dan pH darah. Sebagai contoh, inhalasi 5% karbondioksida meningkatkan aliran darah otak sebanyak 50%, dimana hipokapnia yang dihasilkan dari hiperventilasi dapat menurunkan aliran darah otak sebanyak 60%. Setelah cedera serebral, oleh sebab itu, hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis yang berhubungan dengan abnormalitas pernafasan dapat menyebabkan perburukan metabolisme neuronal dan hipertensi intrakranial. Keadaan ini kembali mempengaruhi respirasi, menciptakan siklus perburukan yang fatal.
18
M.Z. Arifin et al
Gambar 6. Perdarahan kompleks intracranial (Sumber: Netter)
19
M.Z. Arifin et al
Pernafasan dikontrol secara volunter dan otomatis. Pusat volunter tertinggi belum ditemukan, namun tiga pusat otomatis telah diidentifikasi didalam batang otak: pusat pneumotasik, yang terletak di pons rostral dan menyempurnakan pusat lain; pusat apneustik, yang terletak di formasi retikuler midpontine dan mungkin berfungsi sebagai terminal dari stimulus yang mengakhiri inspirasi; dan pusat medular, yang mempertahankan ritme intrinsik pernafasan. Stimulus aferen dari perifer (karotis dan badan aorta dan paru-paru) dan reseptor sentral memberikan input pada pusat-pusat ini. Output sistem volunter berada di dalam traktus kortikospinal, sedangkan sistem otomatis terletak di dalam kuadran ventrolateral. Lesi yang dibuat pada traktus spinotalamikus untuk menghilangkan rasa sakit (kordotomi) dapat mempengaruhi traktus ini. Kadang kala, tindakan ini dapat mengakibatkan "Ondine's curse," kondisi dimana pasien berhenti bernafas saat tidur. Kelainan yang spesifik pada rata-rata dan pola pernafasan dapat mencerminkan disfungsi fisiologis atau anatomis sistem saraf pusat. Lesi hemifer bilateral yang dalam atau ganglia basal, atau keduanya, dapat menyebabkan pernafasan Cheyne-Stoke, yang dihubungkan dengan ensefalopati atau herniasi unkal yang tertunda. Mesensefalik atau lesi pontine bagian atas dapat menyebabkan hiperventilasi neurogenik sentral, yang juga dapat diakibatkan oleh hipoksia dan asisdosis. Respirasi apneustik, ditandai dengan inspirasi yang memanjang, disebabkan oleh lesi pada pusat respirasi apneustik; terjadi pada pasien dengan infark pontine, hipoglisemia atau anoxia. Pola pernafasan ataksik dapat terjadi akibat lesi masa yang mempengaruhi pusat pernafasan medulari. Pengawasan gas darah arterial sangat penting dalam mendiagnosa dan menangani kelainan pernafasan pada pasien-pasien koma. Hipoksemia sering terjadi pada pasien-pasien ini, dan perubahan pada gas darah arterial hampir selalu mendahului perubahan radiografis (lebih cepat 12 jam atau lebih). Pengawasan gas darah arterial juga bisa menjadi sangat berarti dalam menentukan penyebab koma. Asidosis metabolik dapat mensinyalir adanya uremia, ketoasidosis diabetik, asidosis laktat atau keracunan. Alkalosis metabolik dapat disebabkan oleh konsumsi alkali, emesis yang lama atau hipokalemi. Asidosis respiratori dapat diakibatkan oleh depresi sistem saraf pusat (pada trauma atau obat-obatan) atau gagal nafas. Alkalosis respiratori merumitkan keracunan
20
M.Z. Arifin et al
aspirin (salisilisme), esefalopati hepatikum dan sepsis. Edema paru akut terkadang dijumpai bersama dengan cedera kepala, mungkin karena cedera hipotalamik menyebabkan discharge simpatetik masal, dengan konsekuensi vasokonstriksi dan shunting volume darah yang banyak ke dalam area vaskular dengan resistensi yang relatif rendah, termasuk paru-paru. Banyak faktor lain yang menyebabkan kesulitan bernafas pada pasien yang mengalami trauma multipel (gambar 7). Terapi medis dan pernafasan yang agresif dapat meringankan semua abnormalitas tersebut, memperbaiki hasil akhir pasien dengan cedera pada sistem saraf pusat.
METABOLISME AIR DAN GARAM PADA CEDERA KEPALA Otak, melalui hipotalamus dan neurohipofisis, berperan penting dalam mengatur metabolisme air dan garam di dalam tubuh. Kelainan/kekacauan pada sistem yang peka ini dapat menghasilkan hipertoni atau hipotoni yang berat pada darah, keadaan ini dapat memperburuk kondisi neurologis yang sudah terlebih dahulu terancam (gambar 8). Metabolisme normal sodium bergantung pada tiga faktor. Pertama, manusia dan mamalia lebih menyukai makanan asin dalam jumlah yang melebihi kebutuhan hemostatiknya. Kedua, aldosterone, mineralokortikoid yang disekresi oleh kelenjar adrenal─terutama dalam merespons sistem renin-angiotensin tetapi juga memberikan respons terhadap hormon adrenokortikoid (ACTH)─mempertahankan sodium dengan cara meningkatkan absorpsi ginjal. Ahli mempercayai adanya faktor natriuretik sentral: hormon antidiuretik (ADH, vasopresin), oksitosin, melanocyte-stimulating hormone atau neurofisin. Banyak faktor dapat mempengaruhi pertukaran air dan garam pada penyakit sistem saraf pusat. Pemberian solusi hipertonik (seperti, manitol) atau restriksi cairan yang berlebihan untuk mengurangi edema serebral dapat menyebabkan dehidrasi yang berat. Sebaliknya, pemberian cairan hipotonik melalui intravena yang berlebihan dapat mengakibatkan hiposmolaritas dan meningkatkan edema serebral. Hipertermi, masalah paru-paru, shok, dan lain-lain, dapat mempengaruhi kebutuhan cairan, dan keadaan ini harus ditangani dengan tepat. Pengawasan serum elektrolit dan urin menjadi sangat amat penting.
21
M.Z. Arifin et al
Gambar 7. Multipel injury pada pasien cedera kepala (Sumber: Netter)
22
M.Z. Arifin et al
Gambar 8. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit (Sumber: Netter)
23
M.Z. Arifin et al
Masalah metabolisme air dan garam yang paling umum pada kelainan sistem saraf pusat (seperti cedera kepala, ensefalitis atau tumor) terkait dengan gangguan pada mekanisme kerja ADH. Tiadanya ADH, menyebabkan ekskresi dilute urin (berat jenis <1,005) dalam jumlah yang besar (8 sampai 10 L/hari)─kondisi yang dikenal sebagai diabetes insipidus. Jika sadar, pasien merasakan kehausan yang hebat dan meminum sejumlah cairan untuk menggantikan cairan yang keluar. Namun, jika kesadaran pasien atau mekanisme haus terganggu, atau keduanya, seperti yang sering terjadi pada kasus cedera kepala, pasien akan mengalami dehidrasi yang berat. Kasus ringan dapat ditangani dengan obat yang meningkatkan aktifitas ADH yang bersikulasi dalam darah, seperti klorpropamid dan klofibrat. Terapi lini pertama untuk dehidrasi berat akut adalah administrasi cairan. Jika pemberian cairan tidak mencukupi atau kondisi ini berlangsung selama lebih dari 24 sampai 48 jam, terapi hormone vasopresin encer (aqueous vasopresin) atau vasopresin tannate di dalam oli dapat diberikan; vasopresin tannate memiliki efek yang lebih lama. Diabetes insipidus kronik yang berat sekarang ditangani dengan sintesis analog vasopresin melalui nasal insuflasi, desmoprsin asetat (DDAVP). Sekresi ADH yang berlebihan merupakan kelanjutan dari cedera kepala, tumor otak, infeksi sistem saraf pusat, dan hidrosefalus, diantara banyak kondisi. Telah diperkirakan bahwa kondisi ini, syndrome of inappropriate ADH secretion (SIADH atau sindrom Schwartz-Bartter), ditemukan pada 30% pasien bedah saraf pada masa perawatan di rumah sakit. Jika berat, dapat menyebabkan intoksikasi air, diindikasikan dengan mual, lemah, letargi, bingung, koma dan kejang. Kriteria laboratorium untuk diagnosa SIADH termasuk konsentrasi serum sodium dibawah 135 mEq/L, konsentrasi sodium urin melebihi 25 mEq/L, serum hiposmolalitas, dan konsentrasi urin yang abnormal. Kriteria ini menyingkirkan penyebab serum hiponatremia lain, seperti dehidrasi, gagal jantung kongestif, sirhosis, penyakit ginjal atau adrenal, dan pemberian diuretik. Pada pasien asimtomatis, restriksi cairan (600 sampai 800 ml/hari) menurunkan filtrasi glomerular dan meningkatkan absorpsi sodium di ginjal. Jika pasien simptomatis, pemberian intravena solusi saline hipertonik memperbaiki kadar serum sodium. Sebagai
24
M.Z. Arifin et al
alternatif, furosemide dapat diberikan, disertai dengan penggantian serum elektrolit yang hilang melalui kemih. SIADH kronik memberikan reaksi yang baik terhadap demeklosiklin, tetrasiklin yang bereaksi pada tabula renal distal, menyebabkan diabetes insipidus "nefrogenik".
PROGNOSIS PADA CEDERA KEPALA Glasgow Outcome Scale sering digunakan untuk menilai hasil terapi pada kasus cedera kepala berat. Kategori-kategeri hasil akhir termasuk kematian, status vegetatif persistent, disabilitas berat (memerlukan bantuan untuk menjalani aktifitas hidup sehari-hari), disabilitas sedang (tidak memerlukan bantuan dalam aktifitas hidup sehari-hari), dan sembuh
(dapat
menjalani
pekerjaan
sebelumnya).
Pada
seri
Becker,
yang
merepresentasikan operasi dan terapi agresif, hasilnya adalah sebagai berikut: mortalitas, 32%; disabilitas berat/status vegetatif, 11%; disabilitas sedang/sembuh, 57%. Semua pasien pada seri ini berada dalam keadaan koma saat penerimaan. Bermacam-macam faktor pretrauma mempengaruhi prognosis cedera kepala berat (gambar 9). Umur adalah faktor yang paling penting, karena mortalitas cedera kepala meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Tren ini disebabkan oleh insidens komplikasi medis yang tinggi pada pasien tua dengan cedera kepala berat; terlebih lagi, lesi masa intrakranial lebih sering terjadi pada pasien tua. Adanya cedera atau penyakit terdahulu (sebelum trauma) pada otak juga memperburuk prognosis. Contohnya adalah sindrom "punch-drunk" pada petinju, dimana cedera kepala minor yang berulang menghasilkan kumulatif prognosis yang buruk. Berbagai macam aspek koma sangat berhubungan erat dengan hasil akhir. Nilai Glasgow Coma Scale berhubungan dengan hasil akhir. Kematian atau status vegetatif adalah hasil akhir pada 80% pasien dengan nilai 3 sampai 4, pada 54% pasien dengan nilai 5 sampai 7, pada 27% pasien dengan nilai 8 sampai 10, dan pada 6% pasien dengan nilai 11 sampai 15. Tanda-tanda disfungsi batang otak merupakan faktor prognosis yang buruk. Jika respons pupil terhadap cahaya negatif pada kedua mata, mortalitasnya mencapai 65% pada pasien dengan lesi masa dan 82% pada pasien dengna cedera otak difus. Jika respons okulovestibular nihil, mortalitas mendekati 60%. Postur deserebrasi terkait dengan 50% mortalitas.
25
M.Z. Arifin et al
Gambar 9. Prognosis cedera kepala berat (Sumber: Netter)
26
M.Z. Arifin et al
Gangguan otonomik, seperti pola pernafasan yang abnormal dan hipertensi, juga memberikan prognosis yang buruk, dan jenis/asal cedera juga menjadi faktor penentu. Contohnya, adanya lesi masa meningkatkan mortalitas secara signifikan; oleh karena itu, CT scan sangatlah penting dalam prognosis. Hasil akhir yang paling baik berhubungan dengan scan normal atau scan dengan lesi densitas rendah (edema). Prognosis semakin bertambah buruk pada lesi densitas tinggi berikut: hematoma epidural, hematoma subdural akut, hematoma intraserebral akut (atau kontusi hemorrhagik), urutan diatas dimulai dari prognosis yang terburuk.
Pada seri dimana pengawasan tekanan intrakranial diterapkan sejak awal, tekanan intrakranial meningkat pada semua pasien cedera kepala paska operasi. Pada dua per tiga pasien nonoperatif dengan cedera otak difus, tekanan intrakranial melebihi 10 mmHg. Terjadinya tekanan intrakranial yang sulit dikontrol (>40 mmHg) selalu menurunkan tekanan perfusi serebral dan membawa hasil akhir yang buruk. Rangkaian kejadian ini bertanggung jawab atas separuh kematian pada cedera kepala berat. Pada pasien dengan cedera kepala difus, hipertensi intrakranial yang tidak terlalu tinggi meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
PENUTUP Kesimpulannya, cedera kepala adalah masalah kesehatan umum. Namun, pengetahuan tentang patofisiologi telah meningkat pesat, dan penggunaan terapi-terapi agresif, termasuk pengawasan tekanan intrakranial, telah menurunkan morbiditas dan mortalitas yang masih sangat tinggi. Ada banyak alasan untuk berharap agar masa depan memberikan kemajuan lebih lanjut.
27
M.Z. Arifin et al
DAFTAR PUSTAKA
1.
Bullock MR, Hovda DA. Introduction to Traumatic Brain Injury. In : Youman’s (ed) Neurological Surgery 6th.ed. Philadelphia : Elsevier Saunders. 2011 : 3267-69.
2.
Schouton JW, Maas AIR. Epidemiology of Traumatic Brain Injury. In : Youman’s (ed) Neurological Surgery 6th.ed. Philadelphia : Elsevier Saunders. 2011 : 3267-69.
3.
Fearnside MR, Simpson DA. Epidemiology. In : Head Injury Pathophysiology and Management. London : Hodder Arnold. 2005 : 3-25.
4.
Fane RA, Nassar T, Mazuz A, Waked O, Heyman SN, dkk. Neuroprotection by glucagon: role of gluconeogenesis. J Neurosurg 114:85-91, 2011.
5.
Imron A. Pola pasien cedera otak traumatika di RSHS. 2012.
6.
Data Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2011.
28