PENANAMAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM OLEH ORANG TUA PADA SISWA TUNAGRAHITA SMPLB NEGERI SALATIGA
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh SITI MU’ASYAROH NIM 11112237
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2016
ii
iii
iv
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
QS. Ar-Rahman: 60
Tidak ada balasan kebaikan selain kebaikan
PERSEMBAHAN Untuk orang tuaku, Bapak Duryadi yang telah berperan ganda sebagai ibu dalam hidupku dan Alm Ibu Rukini yang semoga selalu dalam rengkuhan Allah SWT Kakak-kakak, keponakan-keponakan, keluarga besarku Bapak Kyai, guru-guru, dan para asatidz, serta siapapun mereka yang pernah berjasa dalam kehidupanku.
vi
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr.Wb. Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya hingga penulis dapat menyelesikan skripsi ini yang berjudul “Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan hingga terang benderang, semoga kita semua diakui sebagai umatnya yang kelak mendapatkan syafaatnya di akhirat. Selanjutnya penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini, kepada yang terhormat: 1.
Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor Intitut Agama Islam Negeri Salatiga.
2.
Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
3.
Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4.
Bapak Mukti Ali, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dalam memempuh studi di IAIN Salatiga.
5.
Ibu Dra. Nur Hasanah, M.Pd selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah dengan sabarnya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
vii
6.
Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi.
7.
Bapak,
keluarga, dan seluruh pihak yang selalu mendorong dan
memberikan motivasi dalam menyelesaikan kuliah di IAIN Salatiga. 8.
KH. Mahfudz Ridwan, Lc yang telah memberikan ridho dan bimbingan dalam menuntut ilmu.
9.
Keluarga besar Pondok Pesantren Edi Mancoro, para asatidz dan para santri yang telah mendewasakan penulis setiap harinya dalam warna-warni kehidupan.
10. Teman-teman Jurusan S1 Pendidikan Agama Islam angkatan 2012, terutama Kelas PAI G yang telah memberikan banyak cerita dan canda selama menempuh pendidikan di IAIN Salatiga Semoga skripsi ini dapat memberikan tambahan wawasan yang lebih luas dan dapat menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan skripsi ini. Wassalammu’alaikum wr.wb.
Salatiga, 23 September 2016 Penulis,
Siti Mu‟asyaroh NIM. 11112237
viii
ABSTRAK Mu‟asyaroh, Siti. Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga.Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga, Salatiga, 2016 Kata Kunci: Penanaman, Nilai-nilai Pendidikan Islam, Siswa Tunagrahita Tunagrahita adalah mereka yang memiliki keterbatasan intelegensi. Karena keterbatasan itu pula sikap sosial seseorang berkurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam yang ditanamkan oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga, untuk mengetahui metode penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga, serta untuk mengetahui faktor penghambat dan pendukung orang tua dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Sumber utama penelitian ini adalah orang tua siswa tunagrahita, anak tunagrahita dan guru pendidikan agama Islam di SMPLB Negeri Salatiga. Proses penyajian data dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptifkualitatif, yaitu dengan cara analisis yang cenderung menggunakan kata-kata untuk menangkap fakta, fenomena, variabel dan keadaan yang didapatkan ketika penelitian berlangsung dan menjelaskan data yang didapatkan. Hasil penelitian ini adalah, (1) Nilai Nilai-nilai pendidikan Islam yang ditanamkan orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga sudah berdasarkan ajaran pokok nilai-nilai pendidikan Islam yang meliputi nilai pendidikan akidah, ibadah, akhlak dan kemasyarakatan. (2) Orang tua menggunakan metode keteladanan, pembiasaan, nasihat, pengawasan dan hukuman.dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam. (3) Dalam proses penanaman nilai-nilai pendidikan Islam dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menghambat dan mendukung. Ketidaksabaran orang tua, keterbatasan intelegensi anak, kepribadian anak yang susah diatur, menjadi kendala dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam. Sedangkan motivasi kuat dimiliki orang tua dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam, kepribadian anak yang sudah tumbuh jiwa kemandirian, lingkungan masyarakat yang masih menjunjung tinggi tradisi Islam, dan lingkungan sekolah merupakan fakor pendukung dalam meningkatkan penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL SKRIPSI ………………………………………
I
LEMBAR BERLOGO………………………………………………..
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………
iii
PENGESAHAN KELULUSAN……………………………………...
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN…………………………….
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………………………
vi
KATA PENGANTAR………………………………………………...
vii
ABSTRAK……………………………………………………………
ix
DAFTAR ISI………………………………………………………….
x
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………
x
DAFTAR TABEL ………………………………………....................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………….
xvii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………....
1
B. Fokus Penelitian……………………………………………....
7
x
C. Tujuan Penelitian…………………………………………….....
7
D. Kegunaan Penelitian…………………………………………..
8
E. Penegasan Istilah……………………………………………...
9
F. Tinjauan Pustaka …………………………………………......
11
G. Metode Penelitian ………………………………………….....
14
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan …………………………..
15
2. Kehadiran Peneliti………………………………………….
15
3. Waktu dan Tempat Penelitian……………………………...
16
4. Sumber dan Jenis Data…………………………......………
16
5. Teknik Pengumpulan Data…………….......……………….
17
6. Pengecekan Keabsahan Data…………….....………………
21
7. Tahap-tahap Penelitian……..………………………………
22
H. Sistematika Penulisan…………………………………………...
23
BAB II: KAJIAN PUSTAKA A. Penanaman Nilai Pendidikan Islam ..………………………....
25
1. Pengertian Nilai Pendidikan Islam…………………...........
25
2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam ...............……………...
27
xi
3. Macam-macam Nilai Pendidikan Islam …………………....
30
4. Metode Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam ....
36
B. Anak Tunagrahita …………………………………….............
43
1. Pengertian Tunagrahita ...................................................…...
43
2. Klasifiksi Tunagrahita ..……………………………………
45
3. Karakteristik Tunagrahita ......................................………...
48
C. Pendidikan Islam bagi Tunagrahita ....................................……
51
BAB III: PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN A. PROFIL SUBYEK PENELITIAN ............…………………...
56
1. Data Informan ………………………………………............
56
2. Profil Keluarga ...............………………………………….
57
B. TEMUAN PENELITIAN...................…………………………
66
1. Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Ditanamkan oleh Orang 66 Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga .......... 2. Metode Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh 77 Orang Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga 3. Faktor
Penghambat
dan
Faktor
Pendukung
dalam
Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua
xii
pada Siswa Tunagrahita .....................................................
83
BAB IV: ANALISIS DATA A. Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Ditanamkan Orang Tua 89 pada SiswaTunagrahita SMPLB Negeri Salatiga ..................... B. Metode Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang 98 Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga……… C. Faktor Penghambat Dan Faktor Pendukung dalam Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB-N Salatiga ……………………………....
102
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………..
104
B. Saran ……………………………………………………….....
105
C. Penutup ……………………………………………………….
106
Daftar Pustaka Lampiran-lampiran
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.3: Analisis Data Model Interaktif
xiv
54
DAFTAR TABEL Tabel 1.3 Daftar Orang Tua dan Siswa Tunagrahita
xv
57
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I
: Gambar Selama Proses Penelitian
Lampiran II
: Lembar Rekaman Observasi
Lampiran III
: Data Siswa Tunagrahita Muslim SMPLB Negeri Salatiga
Lampiran IV
: Pedoman Observasi, Dokumentasi dan Wawancara
Lampiran V
: Surat Penunjukan Pembimbing
Lampiran VI
: Surat Ijin Penelitian
Lampiran VII
: Surat Keterangan Sudah Melakukan Penelitian
Lampiran VIII
: Riwayat Hidup Penulis
Lampiran IX
: Nota Pembimbing Skripsi
Lampiran X
: Lembar Konsultasi
Lampiran XI
: Nilai SKK
xvi
xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu proses pembekalan pengetahuan dimana seseorang akan berkembang menjadi manusia yang lebih baik. Pendidikan sangatlah dibutuhkan dalam setiap tatanan masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan diri seseorang sesuai dengan bakat dan minat yang dimilki. Muhaimin (2002:37) menuturkan bahwa istilah pendidikan biasanya lebih diarahkan pada pembinaan watak, moral, sikap atau kepribadian yang lebih mengarah pada afektif. Pendidikan merupakan hak setiap orang seperti yang tercantum dalam UUD‟45 Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Negara sudah memberi jaminan kepada semua warga negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan, tidak terkecuali warga negara yang mempunyai keterbatasan fisik, mental, maupun ekonomi. Keterbatasan warga negara bukan alasan untuk warga negara tersebut tidak mendapatkan pendidikan”. Sehingga, setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan. Keterbatasan yang dimiliki bukan berarti terbatas juga dalam mencari ilmu, karena keberlangsungan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus sudah difasilitasi oleh pemerintah dalam suatu ruang, yaitu lembaga Pendidikan Luar Biasa (PLB).
1
Hal ini sesuai dengan isi dari undang-undang tentang hak atas pendidikan bagi penyandang kelainan ditetapkan dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 32 disebutkan bahwa: “Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan pisik, emosional, mental, dan sosial”. Dalam Islam pun juga mengajarkan bahwa setiap individu di mata Allah SWT adalah sama, tidak pernah membedakan satu sama lain, karena yang membedakan adalah ketakwaannya. Disinilah dalam mencapai ketakwaan perlu adanya pendidikan Islam sebagai upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri individu. Pendidikan Islam adalah sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai kholifah di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran al-Qur‟an dan sunnah sehingga terciptalah insan kamil (Arief, 2002:16). Muhaimin
(2002:168)
mengungkapkan
bahwa
pembelajaran
pendidikan agama Islam yang selama ini berlangsung agaknya terasa kurang terkait
atau
kurang concern terhadap
persoalan
bagaimana
mengubah
pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk bergerak, berbuat, dan berperilaku secara konkrit-agamis dalam kehidupan praktis sehari-hari.
2
Namun di sisi lain, keberhasilan peserta didik dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan mereka tidak terlepas dari peran orang tua yang selalu bersinggungan secara langsung dalam lingkungan keluarga. Sebagai teladan utama kehidupan sebelum guru dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam di lingkungan masyarakat. Gunarsa (1995:3) menyatakan bahwa mengasuh, membesarkan dan mendidik anak merupakan satu tugas mulia yang tidak lepas dari berbagai halangan dan tantangan. Telah banyak usaha yang dilakukan orang tua maupun pendidik untuk mencari dan membekali diri dengan pengetahuanpengetahuan yang berkaitan dengan perkembangan anak. Dalam QS At-Tiin ayat 4 Allah SWT befirman:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna karena manusia telah diberi akal sebagai alat untuk berpikir. Manusia juga adalah makhluk yang tertinggi dan mulia. Namun tidak semua manusia terlahir dengan kesempurnaan karunia Tuhan. Sebagian diantara mereka terdapat yang memiliki kelainan sehingga menghambat perkembangan mereka. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan kelainan yang ia miliki selalu membawa keburukan. Padahal dengan penanganan yang khusus dan maksimal nantinya akan tergali bakat dan potensi yang dimilikinya.
3
Dalam realita sekarang, terdapat sebagian orang tua yang memiiki anak “berbeda” merasa malu, putus asa, kecewa dan pasrah hanya menerima sebagai takdir yang diberikan kepada mereka tanpa melakukan hal apapun yang terbaik untuk anaknya. Banyak juga yang merasa bahwa memiliki anak yang berkebutuhan khusus adalah sebuah kesia-siaan. Meskipun nantinya mereka juga mampu tumbuh besar, namun tetap saja mereka tidak mampu menggantikan sebagai tulang punggung keluarga. Dalam wikipedia Indonesia (Pratiwi, 2013:14) mengartikan anak yang memiliki kelainan atau biasa disebut dengan anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Anak yang menunjukkan pada ketidakmampuan mental disebut dengan tunagrahita. Tunagrahita adalah anak yang secara signifikan memiliki kecerdasan dibawah rata-rata anak pada umumnya dengan disertai hambatan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya. Mereka mengalami keterlambatan dalam segala bidang, dan itu sifatnya permanen. Rentang memori mereka pendek terutama yang berhubungan dengan akademik, kurang dapat berpikir abstrak dan pelik (Apriyanto, 2012:21). Sedangkan menurut Smart (2012:49) tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang memiliki kemampuan dibawah rata-rata. Tunagrahita ditandai dengan ketebatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial.
4
Aqila Smart (2012:33) mengungkapkan sebagai orang tua anak berkebutuhan khusus (ABK) pastilah merasakan bahwa anaknya memang berbeda. Namun, perbedaan itu bukanlah suatu kekurangan bagi anak. Maka, untuk mencapai bakatnya, orang tua harus memahami anaknya. Anak tunagrahita merupakan satu dari golongan anak luar biasa. Adapun golongan anak luar biasa yaitu tunanetra (penyandang hambatan penglihatan), tunarungu (penyandang hambatan pendengaran), tunagrahita (penyandang gangguan perkembangan intelegensi), tunadaksa (penyandang hambatan fisik dan gerak), tunalaras (berperilaku aneh), anak berbakat dan anak berkesulitan belajar. Walaupun sang anak memiliki keterbelakangan mental yang kemudian mengakibatkan kemandirian anak tidak berkembang sesuai usianya dan juga memiliki kelainan dalam hubungan sosialnya. Tidak menutup kemungkinan jika para orang tua anak penyandang tunagrahita selalu mendidik, memahami, mengarahkan dan memotivasi anaknya untuk selalu berkembang dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam. Maka sang anak pun akan terbiasa dalam menginternalisasi nilai-nilai itu dengan senang hati dan akan berkembanglah kemandirian serta jiwa sosialnya. Hal ini, karena pembinaan moral terjadi melalui pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua. Dalam hal ini agama memiliki peran penting, karena nilai-nilai moral yang datang dari agama bersifat tetap tidak berubah oleh waktu dan tempat. Berbeda dengan moral
5
yang bersumber pada nilai-nilai masyarakat akan berubah karena pengaruh waktu dan tempat (Islamiyah, 2013:73). Terkait dengan penerapan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPLB Negeri Salatiga, sekolah ini memiliki peserta didik dari berbagai jenis keterbatasan khusus. Antara lain, peserta didik yang memiliki keterbatasan dalam
berbicara
(tunawicara),
kelainan
intelegensi
(tunagrahita),
keterbelakangan fungsi gerak dan tubuh (tunadaksa) dan keterbatasan khusus yang lain. Namun, diantara seluruh peserta didik berkebutuhan khusus disana mayoritas adalah peserta didik yang memiliki keterbelakangan mental/ intelegensi atau yang biasa disebut dengan tunagrahita. Jadi, pada dasarnya, walaupun anak memiliki keterbelakangan intelegensi dan sosial. Mereka tetap memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam memperoleh pendidikan Islam baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Serta, selain mendapatkan pembelajaran di sekolah, khususnya di SMPLB Negeri Salatiga Salatiga, setiap anak juga harus dilatih dan dibimbing pula oleh orang tua, sebagai suri tauladan bagi anak dimanapun dan kapanpun mereka berada agar tertanamlah nilai-nilai pendidikan Islam pada anak. Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, maka penulis akan
melakukan
penelitian
dengan
judul
“Penanaman
Nilai-Nilai
Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga”.
6
B. Fokus Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah nilai-nilai pendidikan Islam yang ditanamkan orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga? 2. Bagaimana metode penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga? 3. Apakah faktor penghambat dan faktor pendukung dalam penanaman nilainilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan fokus penelitian yang telah dikemukakan diatas, maka secara umum tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam yang ditanamkan orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga 2. Untuk mengetahui metode penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga 3. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
7
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. 1. Secara Teoritis a. Secara akademik penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya kajian bidang pendidikan Islam, terutama dalam ruang lingkup kajian pendidikan agama Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). b. Memberikan informasi yang jelas tentang bagaimana upaya orang tua dalam menananamkan nilai-nilai pendidikan Islam bagi anak tunagrahita. 2. Secara Praktis a. Bagi orang tua, penelitian ini diharapkan mampu memberi motivasi agar lebih memperhatikan pendidikan agama bagi anak-anaknya, sebagai usaha untuk membina keagamaan anak. Walaupun dengan kondisi anak yang memiliki keterbelakangan mental (seorang tunagrahita). b. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pijakan dalam mengatasi problema keagamaan anak. Diharapkan masyarakat tidak memandang sebelah mata Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), khususnya para anak tunagrahita dan para orang tua yang telah berusaha dalam mendidik dan memberikan pendidikan terbaik bagi anak tunagrahita.
8
c. Bagi para guru, khususnya guru pendidikan agama Islam, penelitian ini diharapkan
dapat
digunakan
sebagai
landasan
untuk
lebih
mengembangkan keagamaan anak berkebutuhan khusus, terutama tunagrahita karena keterbatasan mental dan sosial yang dianggap sebagai penghambat agar anak tunagrahita tersebut dapat lebih mendalami pendidikan Islam dan mampu menanamkannya dimanapun dan kapanpun mereka berada.
E. Penegasan Istilah Penegasan istilah dari judul “Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga adalah sebagai berikut: 1. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Muhaimin (1983:7) mendeskripsikan bahwa nilai adalah sesuatu yang dianggap memiliki harga bagi sekelompok orang tertentu. Nilai itu sendiri adalah hakikat suatu hal yang menyebabkan hal itu dikejar oleh manusia. Nilai juga berarti keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Dengan demikian, penanaman nilai-nilai yang dimaksud disini adalah proses penanaman dan penghayatan nilai kedalam jiwa seseorang sehingga dapat tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari seseorang. Nilai yang telah dihayati tersebut kemudian dapat menyatu pada kepribadian seseorang.
9
Pendidikan sebagai suatu proses spiritual, akhlak, intelektual dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan (Langgulung, 1988:62). Pendidikan adalah suatu usaha yang berproses berisikan bimbingan yang akan mengarahkan seseorang pada perubahan sikap intelektual dan sosial. Pendidikan Islam adalah sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai kholifah di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran al-Qur‟an dan sunnah sehingga terciptanya insan kamil (Arief, 2002:16). Menurut Achmadi mendefinisikan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian muslim (Achmadi, 1992:14). Adapun menurut Chabib Thoha (1996:99) mendefinisikan pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek pendidikan berdasaarkan nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam al-Qur‟an dan Hadits. 2. Tunagrahita Anak tunagrahita merupakan satu dari golongan anak luar biasa. Adapun golongan anak luar biasa yaitu tunanetra (penyandang hambatan
10
penglihatan), tunarungu (penyandang hambatan pendengaran), tunagrahita (penyandang
gangguan
perkembangan
intelegensi),
tunadaksa
(penyandang hambatan fisik dan gerak), tunalaras (berperilaku aneh), anak berbakat dan anak berkesulitan belajar. Anak tunagrahita adalah anak yang secara signifikan memiliki kecerdasan dibawah rata-rata anak pada umumnya dengan disertai hambatan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya (Apriyanto, 2012:21-28). Sementara, pemerintah RI memiliki istilah resmi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1991, yaitu tunagrahita merujuk pada anakanak yang memiliki keterbelakangan mental (Pratiwi, 2013:46). Aqila Smart (2012:49) menuturkan bahwa anak tunagrahita ditandai dengan keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita yaitu seorang yang memiliki kecerdasan dibawah rata-rata anak pada umumnya dan mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi dan interaksi sosial. Sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
F. Tinjauan Pustaka Terkait dengan penanaman nilai-nilai pendidikan Islam pada anak tunagrahita hasil penelitian yang berhubungan dengan penelitian penulis diantaranya adalah:
11
Penelitian Rizqi Nurul Ilmi tentang Strategi Komunikasi Guru dalam Penanaman
Nilai-Nilai
Pendidikan
Agama
pada
Anak
Penyandang
Tunagrahita di SLB-C Tunas Kasih I Kabupaten Bogor Tahun 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adalah adanya bentuk strategi komunikasi yang digunakan oleh guru untuk mengajar kepada murid penyandang tunagrahita, cara atau strategi yang digunakan berupa metode ceramah yang mana guru terlihat lebih aktif untuk penanaman nilai-nilai agama islam pada anak penyandang tunagrahita di SLB Tunas Kasih I Kabupaten Bogor. Komunikasi verbal dan non verbal juga digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar. Adanya materi agama yang diajarkan kepada murid SLB Tunas Kasih I Kabupaten Bogor, dan materi ajar pun disesuaikan dengan kondisi anak muridnya karena keterbatasan mental yang dimiliki menjadi upaya dan faktor penentu keberhasilan komunikasi guru dalam penanaman nilai-nilai agama pada anak penyandang tunagrahita di SLB Tunas Kasih I Kabupaten Bogor. Penelitian V Tri Mulyani W tentang Penanaman Nilai Pada anak cacat mental mampu didik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh kesimpulan guru diharapkan dapat memberikan penjelasan maupun contohcontoh konkret tentang nilai-nilai baik buruk, berguna tidak berguna, disiplin, jujur, bijaksana, dan sebagainya. Dalam proses penanaman juga, guru diharapkan memberikan penjelasan singkat
mengingat anak cacat mental
didik sangat miskin dalam perbendaharaan kata, guru akan ditiru oleh siswa, maka guru harus menjadi pelaku dari nilai-nilai tersebut. Guru dalam
12
mengajar hendaknya juga menggunakan berbagai metode. Dalam pemakaian alat peraga misalnya dapat menggunakan warna-warni yang menyolok. Penanaman nilai hendaknya dimulai sedini mungkin, sehingga menjadi suatu kebiasaan. Penelitian Siti Nur Hidayah tentang Pendidikan Agama Pada Anak Tunagrahita (Studi Terhadap Sistem Pembelajaran PAI di SLB A, B, C, D Muhammadiyah Susukan Kabupaten Semarang Tahun 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Guru di SLB B A,B,C,D Muhammadiyah Susukan dalam menyampaikan,
materi kepada siswa menggunakan beberapa metode
pembelajaran diantaranya meliputi metode ceramah,tanya jawab, pemberian tugas dan demonstrasi. Selain itu, guru dalam menyampaikan materi kepada siswa dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang sampai siswa benar-benar paham terhadap materi yang disampaikan oleh guru. Skripsi yang ditulis oleh Siti Farihah, Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Yogyakarta Tahun 2006 yang berjudul “Upaya Orang Tua Dalam Mendidik Anak Autis (Perspektif Pendidikan Islam)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya orang tua dalam mendidik anak autis dalam proses perkembangan motorik, komunikasi, sosial dan kognitif serta metodenya. Hasil dari penelitian menujukkan untuk mendidik perkembangan anak autis, orang tua memberikan terapi-terapi khusus pada empat perkembangan anak autis yaitu
13
melalui terapi okupasi, terapi wicara, sosialisasi, terapi edukasi, reward dan punishment, metode pembiasaan, dan metode cerita. Dari beberapa penelitian diatas, memang cukup banyak tulisan ilmiah yang hampir sama dengan tema Penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua. Sehingga dari beberapa penelitian yang ada tersebut dapat saling melengkapi satu sama lain. Pada penelitian ini, penulis menekankan tentang penanaman nilai-nilai pendidikan Islam yang diterapkan orang tua pada anaknya yang merupakan anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga
G. Metode Penelitian Metode lahir dari kata methodos (Yunani) atau methodus (Latin); kata ini terbentuk dari kata meta (melampaui) dan hodos (jalan). Kata ini sekurangkurangnya mengandung dua arti pokok, yaitu (1) jalan atau cara untuk melakukan sesuatu, prosedur tertentu untuk mengajar atau meneliti; (2) keteraturan dan tatanan dalam bertindak, pikiran, sistem untuk melakukan sesuatu. Di dalam metode terdapat jalan, aturan, dan sistem yang mengatur unsur-unsur yang saling terkait dalam satu rangkaian kerja (Chang, 2014: 12) Metode penelitian adalah cara yang dipandang sebagai cara mencari kebenaran secara ilmiah. Penelitian ilmiah merupakan penyaluran hasrat ingin tahu manusia (Kasiram, 2008:31).
Jadi, secara umum, metode penelitian
adalah serangkaian langkah-langkah dan arah yang pasti dalam rangkaian proses penelitian.
14
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research). Disini penulis
mengumpulkan
data
dari
lapangan
dengan
mengadakan
penyelidikan secara langsung di lapangan untuk mencari berbagai masalah yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, yaitu kajian berbagai studi dan kumpulan berbagai jenis materi empiris, seperti studi kasus, kisah hidup, pengalaman personal, pengkuan introspektif, wawancara, artifak, berbagai teks dan produksi kultural, pengamatan, sejarah, interaksional, dan berbagai teks visual (Setiawan, 2007: 5). Menurut Strauss dan Corbin (2007:4) istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Dengan demikian, penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga Salatiga yang dalam prosesnya menggambarkan dan menganalisis dari hasil data yang diperoleh peneliti atau menggambarkan permasalah yang akan diteliti secara mendalam. 2. Kehadiran Peneliti Peneliti kualitatif kedudukan peneliti sebagai instrumen utama. Kehadiran
peneliti
dilapangan
untuk
melakukan
pengamatan
dan
wawancara mendalam untuk mendapatkan data dari informan yang
15
diperlukan peneliti guna untuk melengkapi data penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti terjun langsung ke lapangan tanpa mewakilkan kehadirannya pada orang lain agar data dari informan didapat secara akurat. 3. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMPLB Negeri Salatiga dan di rumah orang tua anak tunagrahita dan dilaksanakan pada tanggal 11 Juni 2016 sampai 20 September 2016. Dengan alasan, peneliti ingin mengetahui bagaimana cara orang tua dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak tunagrahita. 4. Sumber dan Jenis Data Mengungkapkan sebuah karya ilmiah haruslah berdasarkan fakta dan data yang nyata, baik diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, dalam penelitian ini dapat memperoleh data melalui data primer dan data sekunder. a. Data Primer Yaitu data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian. Kata-kata dan tindakan merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan dengan mengamati atau mewawancarai. Peneliti menggunakan data ini untuk memperoleh informasi langsung tentang bagaimana cara orang tua dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak tunagrahita. Adapun sumber data langsung penulis dapatkan dari para orangtua, anak tunagrahita, guru, dan kepala sekolah SMPLB Negeri Salatiga.
16
Dalam hal ini penulis mengambil 10 orang tua wali sebagai responden utama, wakil kepala sekolah, dan guru PAI SMLB Negeri Salatiga sebagai sumber pelengkap. b. Data Sekunder Yaitu data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari surat-surat pribadi, buku harian, notula rapat perkumpulan, sampai dokumen-dokumen resmi dari instansi pemerintah. Data ini dapat berupa buletin, majalah, publikasi dari berbagai organisasi, hasil-hasil studi, hasil survei, studi historis, dan sebagainya. Data sekunder yang diperoleh penulis adalah data siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga dan profil keluarga siswa tunagrahita. Penulis menggunakan data sekunder ini untuk memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan para narasumber. 5. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara
adalah
percakapan
dengan
maksud
tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
yang
mengajukan
pertanyaan
dan
terwawancara
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2011:186). Ada kalanya wawancara dilaksanakan secara individu maupun kelompok.
17
Adapun teknik ini penulis gunakan untuk mencari data tentang penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga dengan pihakpihak yang terkait. b. Observasi Metode observasi bisa diartikan sebagai
pengamatan dan
pencatatan dengan sistematika fenomena-fenomena yang diselidiki (Sukandarrumidi,2004:69). Metode ini penulis gunakan sebagai alat bantu dalam penelitian. Observasi di dasarkan atas pengamatan langsung. Teknik observasi juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mengamati perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya. Observasi juga dapat memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan yang langsung di peroleh dari data (Moleong, 2008:174). Adapun pada teknik ini penulis gunakan untuk mencari data bagaimana proses penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga Salatiga. Dengan ini, penulis akan mengadakan observasi pada pihak sekolah dan pihak keluarga.
18
c. Dokumentasi Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar, maupun elektronik (Sukmadinata, 2012: 221). Guba dan Lincoln mendefinisikan antara dokumen dan record. Record adalah setiap pernyataan tertulis yang disusun oleh seseorang atau lembaga untuk keperluan pengujian
suatu peristiwa atau
mengajukan akunting. Sedangkan dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film (Moleong, 2011:216). Teknik ini penulis gunakan untuk memuat data atau data gambar tentang bagaimana penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga. d. Analisis Data Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang di pelajari, dan memutuskan apa yang diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2011: 248). Pengumpulan dan analisis data bersifat interaktif, berlangsung dalam lingkaran yang saling tumpang tindih. Langkah-langkahnya biasa disebut strategi pengumpulan dan analisis data. Teknik yang digunakan fleksibel, tergantung pada strategi terdahulu yang digunakan dan data yang telah diperoleh (Sukmadinata, 2012:114).
19
Gambar 3.1: Analisis data model interaktif Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan deskriptif, yakni cara analisis yang menggunakan kata-kata untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang diperoleh dalam suatu penelitian. Pada tahap pertama, peneliti sebisa mungkin untuk memperoleh data sebanyakbanyaknya
yang
berkaitan
dalam
penelitian,
dimana
peneliti
mengumpulkan berbagai data dari orang tua siswa tunagrahita dan dari pihak SMPLB Negeri Salatiga. Setelah itu, data-data yang telah diperoleh kemudian direduksi dengan memilah, memusatkan dan menyederhanakan data yang sudah diperoleh sebelumnya. Miles (1992:16) mengungkapkan bahwa proses reduksi data berlangsung terus menerus selama penelitian kualitatif berlangsung. Melalui tahap ini, akan terlihat mana saja data yang diperlukan
untuk
mengetahui
bagaimana
penanaman
nilai-nilai
pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga.
20
Setelah direduksi, data yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan kemudian disajikan dalam bentuk deskripsi maupun narasi, karena jenis penelitian yang peneliti lakukan yaitu
kualitatif deskriptif. Setelah
penyajian data disusun secara sistematis, dilanjutkan tahap selanjutnya yaitu penarikan kesimpulan sesuai rumusan masalah yang ditetapkan pada awal penelitian. 6. Pengecekan Keabsahan Temuan Lexy J.Moleong (2011: 326-327) mengungkapkan masing-masing teknik pengecekan diuraikan terlebih dahulu ikhtisarnya. Ikhtisar itu terdiri dari kriteria yang di cek dengan satuatau beberapa teknik pengecekan tertentu. Kriteria-kriteria mencakup kredibilitas (derajat kepercayaan), kepastian (uraian rinci), kebergantungan, dan kepastian (audit kepastian). Peneliti mengupayakan keabsahan data dengan cara mendalami wawancara secara kontinyu, sambil mengenali subjek dan memperhatikan suatu peristiwa secara lebih cermat. Hasil analisis sementara selalu dikonfirmasikan dengan informasi baru yang diperoleh dari sumber lain. Prosedur ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda, misalnya observasi, wawancara, dan dokumentasi, yang masingmasing dibandingkan sebagai upaya pengecekan temuan. Dalam memperoleh keabsahan data, maka peneliti menggunakan teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2009:331). Ada dua macam trianggulasi yang digunakan, yaitu :
21
1) Trianggulasi sumber data Trianggulasi sumber data untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama (Sugiyono, 2011:241). 2) Trianggulasi metode Trianggulasi metode dilakukan dengan cara mengecek derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama (Moleong, 2011:331) 7.
Tahap-tahap Penelitian Tahap ini terdiri atas tahap pralapangan, tahap pekerjaan lapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data. 1. Tahap Pralapangan Tahap ini terdiri dari enam tahapan yaitu: menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurusi perizinan, menjajaki dan menilai lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan perlengkapan penelitian, dan persoalan etika penelitian. 2. Tahap Pekerjaan Lapangan Tahapan ini terdiri dari tiga bagian yaitu: memahami latar penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan, dan berperan serta sambil mengumpulkan data yang akan di cari tentang penanaman nilainilai pendidikan Islam oleh orang tua pada anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB NegeriSalatiga.
22
3. Tahap Analisis Data Pada bagian ini yang dibahas adalah prinsip pokok, tetapi tidak akan dirinci bagaimana cara analisis data itu dilakukan karena ada bab khusus yang mempersoalkannya. Yang di uraikan tentang analisis data dikemukakan pada bab berikutnya (Moleong, 2011:127-148). 4. Tahap Penulisan laporan Langkah-langkah yang harus di lakukan antara lain: 1. Menyusun materi data sehingga bahan-bahan itu dapat secepatnya tersedia apabila di perlukan. 2. Penyusunan kerangka laporan. 3. Mengadakan uji silang antara indeks bahan data dengan kerangka baru yang di susun. Setelah pekerjaan tersebut selesai, barulah peneliti siap menghadapi penulisan yang sebenarnya dengan mengikuti kerangka yang telah disusun itu (Moleong, 2011: 361-362).
H. Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang skripsi ini, maka dibuat sistematika penulisan skripsi. Adapun wujud dari sistematika yang dimaksud adalah: BAB I: Pendahuluan meliputi: Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
23
BAB II: Pada bab ini lebih banyak memberikan tekanan pada kajian atau landasan teoritis dalam menunjang permasalahan penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga BAB III: Pada bab ini akan dikemukakan tentang profil orang tua dan bentuk gambaran umum penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga BAB IV: Pada bab ini berisi pemaparan data beserta analisis deskriptif penanaman nilai-nilai pendidikan agama Islam oleh orang tua pada anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga BAB V: Pada bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran.
24
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penanamaman Nilai Pendidikan Islam 1. Pengertian Nilai Pendidikan Islam Nilai merupakan ukuran untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk. Nilai-nilai tersusun secara hirarkis dan mengatur rangsangan kepuasan hati dalam mencapai tujuan kepribadiannya (Sauri & Hufad, 2007: 46). Sidi Gazalba berpendapat sebagaimana dikutip oleh Muhaimin (1996:110) bahwa nilai bersifat ideal, abstrak, dan tidak dapat disentuh oleh panca indra. Sedangkan yang dapat ditangkap hanya barang atau tingkah laku yang mengandung nilai tersebut. Nilai juga bukan fakta yang berbentuk kenyataan dan konkret. Oleh karena itu, masalah nilai bukan soal benar dan salah, tetapi soal dikehendaki atau tidak, disenangi atau tidak. Dalam kaitannya dengan kejiwaan, nilai ialah sesuatu yang diinginkan. Seberapa besar keinginan terhadap sesuatu menentukan kadar nilainya. Misalnya bagi orang yang hampir mati kehausan, air sangat dibutuhkan, maka nilai air sangat tinggi, lebih tinggi dibandingkan emas dan berlian. Sedang, bagi orang lain yang tidak haus, nilai air biasa saja (Achmadi, 2005: 53).
25
Dengan
demikian,
nilai
merupakan
sesuatu
yang
diyakini
kebenarannya dan dijadikan sebagai acuan seseorang maupun masyarakat dalam menentukan suatu perkara atau tindakan yang dianggap baik. Nilai sebagai pendorong dalam kehidupan seseorang yang bermakna dan akan mewarnai kehidupan seseorang. Sedangkan, penanaman menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan menanam, menanami atau menanamkan (KBBI, 2007: 1134). Istilah penanaman sama halnya dengan internalisasi. Dalam hal ini, menurut Langgulung (1988:365-371) mengungkapkan bahwa penghayatan (internalizazion) adalah satu jenis proses belajar dimana manusia-manusia atau hal-hal tertentu menjadi perangsang bagi seseorang untuk mengamalkan atau menghayati nilai-nilai tertentu dan perbuatan itu mendapat ganjaran dari dalam perbuatan itu sendiri. Dengan kata lain, seseorang merasa puas sebab mengerjakan pekerjaan itu dan merasa tidak enak jika tidak mengerjakan pekerjaan itu. Motivasi untuk menghayati nilai atau kepercayaan tertentu adalah keinginan untuk benar. Maka, penghayatan atau penanaman terhadap suatu ajaran yang kemudian akan mempribadi dalam diri seorang individu yang tercermin dalam perilaku yang diwujudkannya.. Pendidikan merupakan sebagai suatu proses spiritual, akhlak, intelektual dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan
26
memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan (Langgulung, 1988:62). Pendidikan Islam menurut Ahmad Tafsir (2001:32) adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan menurut Muhaimin dan Mujib (1993:136) pendidikan Islam adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya gun mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya. . Dengan demikian, penanaman nilai pendidikan Islam yang dimaksud disini adalah proses penghayatan nilai agama Islam kedalam jiwa seseorang sehingga dapat tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari seseorang. Nilai yang telah dihayati tersebut kemudian dapat menyatu pada kepribadian seseorang. 2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam Pendidikan adalah suatu proses yang berisikan bimbingan yang akan mengarahkan seseorang pada perubahan sikap dan kepribadian seorang Muslim. Sedangkan pendidikan agama Islam merupakan usaha yang lebih khusus
ditekankan
untuk
mengembangkan
fitrah
keberagamaan
(religiousitas) subyek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam (Achmadi, 2005:29 ).
27
Dengan ini, pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar sebagai landasan acuan. Melalui dasar ini, kemudian akan memberikan arah bagi pelaksana pendidikan yang akan dipraktikkan. Untuk itu, dasar terpenting dari pendidikan Islam dalam menentukan arah adalah al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah (hadis) sebagai sumber utama yang berisi nilai kebenaran dalam Islam. Selain itu, Azyumardi Azra (2002:9) juga mengungkapkan bahwa nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan alQur‟an dan sunnah juga merupakan dasar pendidikan Islam. Dengan catatan nilai-nilai tersebut akan mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan bagi manusia. Secara lebih luas, dasar pendidikan Islam menurut Sa‟id Ismail Ali, sebagaimana dikutip Langgulung terdiri dari atas 6 macam, yaitu: alQur‟an, sunnah, qaul al-shahabat, masalih al-mursalah, urf dan pemikiran hasil ijtihad intelektual muslim (Al-Rasyidin, 2005:35). Al-Qur‟an berisikan aturan-aturan yang pasti kebenarannya dan dibuat oleh yang Maha Benar dan Maha Pintar. Semua perbuatan manusia belum tentu benar, pasti ada salahnya. Untuk itu, manusia khususnya orang Islam meyakini bahwa Tuhanlah yang Maha Benar dan aturan Tuhanlah yang kemudian dijadikan sebagai dasar dalam pendidikan. Dari berbagai dasar tersebut, kemudian terumuskan tujuan-tujuan dalam pendidikan Islam, diantaranya:
28
a. Asy-Syaibani mengemukakan bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat b. Abdul Fattah Jalal sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir (2001:46) mengungkapkan bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah SWT. c. Muhammad Athiyah al-Abrasyi sebagaimana dikutip oleh Zulkarnain (2008:20) mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu: (1) Pembentukan akhlak mulia. (2) Persiapan kehidupan dunia dan akhirat.(3) Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara dari segi-segi kemanfaatannya. (4) Menumbuhkan ruh ilmiah para pelajar dan memenuhi keinginan untuk mengetahui serta memiliki kesanggupan untuk mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu. (5) Mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga ia mudah untuk mencari rezeki. d. Al-Rasyidin (2005:38) mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membimbing dan membina fitrah seseorang secara maksimal yang bermuara pada terciptanya pribadi muslim paripurna (insan kamil) Dari berberapa rumusan tujuan pendidikan diatas, dapat dimaklumi bahwa tujuan pendidikan Islam mempunyai dua sasaran yang ingin dicapai yaitu pembinaan individu dan pembinaan sosial sebagai instrumen kehidupan di dunia dan akhirat. Tujuan individu yang ingin diwujudkan adalah pembentukan pribadi-pribadi muslim yang berakhlak, beriman, dan
29
bertakwa dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sedangkan tujuan sosial adalah membangun peradaban manusia yang Islami serta memajukan kehidupan sosial kemasyarakatan (Zulkarnain, 2008:21) 3. Macam-Macam Nilai dalam Pendidikan Islam Nawawi (1993:229) mengungkapkan bahwa al-Qur‟an penuh berisi nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia secara pribadi dan sebagai anggota masyarakat, seperti dalam kehidupan keluarga, bertetangga, dan persahabatan. Di samping itu bahkan juga berupa nilai yang mengatur kehidupan sebagai makhluk yang mengabdi, menghambakan diri dan menyembah Sang Pencipta. Nilai dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, berikut adalah pembagian nilai dilihat dari sumber yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, antara lain: a. Nilai Ilahiyah Nilai Ilahiyah adalah nilai yang dititahkan Tuhan melalui para rasul-Nya, yang berbentuk takwa, iman, adil, yang diabadikan dalam wahyu ilahi. Nilai ilahi selamanya tidak mengalami perubahan. Nilainilai Ilahi yang fundamental mengandung kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat, serta tidak berkecenderungan untuk berubah-ubah sesuai dengan hawa nafsu manusia dan berubah-ubah sesuai dengan tuntutan perubahan sosial dan tuntutan inddividual (Muhaimin dan Mujib, 1993:111)
30
Muhadjir (dalam Thoha, 1996:64) membagi nilai Ilahiyah terdiri dari nilai ubudiyah dan muamalah. b. Nilai Insaniyah Nilai Insaniyah adalah nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai Insaniyah bersifat dinamis, sedangkan keberlakuan dan kebenarannya relatif (nisbi) yang dibatasi oleh ruang dan waktu (Muhaimin dan Mujib, 1993:111). Sedangkan menurut Isna (2001:98) mengungkapkan bahwa nilai Insaniyah merupakan nilai yang lahir dari kebudayaan masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Melihat dari uraian diatas, memembuktikan bahwa manusia adalah makhluk budaya dan sosial. Sebagai makhluk sosial manusia selalu hidup bersama dalam arti manusia hidup dalam interaksi dan interdependesnsi sesamanya. Manusia saling membutuhkan sesamanya baik jasmaniah maupun ruhaniah. Maka, dalam proses interaksi inilah diperlukan nilainilai yang merupakan faktor inheren dengan antar hubungan sosial itu. Celcius mengatakan “Di mana ada masyarakat, di sana ada hukum”. Hukum ialah norma-norma atau nilai-nilai untuk mengatur antar hubungan sosial manusia (Mohammad Noor Syam, 1988:127). Sedangkan menurut Yusuf Amir Feisal (1995:230) berpendapat bahwa Islam mengandung berbagai sistem norma yang mencakup norma akidah, norma syariah dan norma akhlak.
31
Zulkarnain (2008:27-29) mengungkapkan bahwa berdasarkan dari dasar-dasar utama pendidikan di atas, maka setiap aspek pendidikan Islam mengandung beberapa unsur pokok yang mengarah kepada pemahaman dan pengamalan doktrin Islam secara menyeluruh, pokok yang harus diperhatikan oleh pendidikan Islam mencakup tauhid, ibadah, akhlak dan kemasyarakatan
sebagai
nilai-nilai
pendidikan
Islam
yang
perlu
ditanamkan oleh anak. Nilai-nilai pendidikan Islam ini antara lain: a. Nilai Tauhid/Akidah Menurut etimologi, akidah adalah ikatan, sangkutan. Disebut demikian karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu (Ali, 2008:199). Sedangkan menurut terminologi, akidah adalah iman, keyakinan (Ali, 2008:134). Setiap muslim haruslah memiliki keyakinan dari hati sehingga akan tumbuhlah benih-benih iman yang akan menjadi landasan hidup. Dengan berlandaskan akidah, seorang akan menjalani kehidupannya dengan penuh makna dan terpenuhilah kebutuhan jiwanya dengan iman. Dengan demikian, pendidikan akidah merupakan pendidikan pertama yang harus ditanamkan pada anak. Untuk itu, orang tualah yang memiliki tanggungjawab utama dalam menanamkan nilai akidah pada anak dengan sebaik-baiknya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Al-Ghazali bahwa apabila akidah tauhid sudah tertanam kokoh pada jiwa anak, maka ia
32
akan mewarnai kehidupannya sehari-hari karena terpengaruh oleh suatu pengakuan tentang adanya kekuatan yang menguasainya yaitu Tuhan Allah Yang Maha Esa. Sehingga timbul rasa takut berbuat kecuali yang baik-baik saja dan semakin matang perasaan ke-Tuhanannya, semakin pula matang segala perilakunya (Zainuddin 1991: 99). Ruang lingkup kajian akidah berkaitan erat dengan rukun iman, antara lain iman kepada Allah SWT, iman kepada malaikat Allah, iman kepada kitab suci Allah SWT, iman kepada Nabi & Rasul, iman kepada hari akhir dan iman kepada qodho dan qodar Allah SWT. Makbuloh (2013: 95-96) mengungkapkan bahwa orang-orang mukmin yang mantap imannya hanyalah mereka yang membuktikan pengakuan iman mereka dengan perkataan dan perbuatan. Iman yang sempurna itu terhujam mantap dalam hati. Iman yang benar tampak dalam perbuatan yang benar pula. Pendidikan Islam pada akhirnya ditujukan untuk menjaga dan mengaktualisasikan potensi ketauhidan melalui berbagai upaya edukatif yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam (Zulkarnain, 2008:27).
b. Nilai Ibadah/’ubudiyah Ibadah menurut bahasa artinya taat, tunduk, turut, ikut dan do‟a. Karena pada hakikatnya ibadah adalah menumbuhkan kesadaran pada diri manusia bahwa ia sebagai insan yang diciptakan Allah SWT khusus untuk mengabdi kepadaNya (Ali, 2008:244-246).
33
Demikianlah menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk menjalani serangkaian ibadah-ibadah sesuai perintah Allah SWT. Apalagi sebagai orang tua diharapkan untuk menanamkan pendidikan ibadah secara mendalam sedikit demi sedikit kepada anak. Agar anak mampu terbiasa dengan ibadah yang mereka laksanakan. Mohammad Daud Ali (2008:247) juga mengungkapkan bahwa Ibadah dibagi menjadi dua, yaitu ibadah mahdah (ibadah yang ketentuan pelaksanaannya sudah pasti ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya) dan ibadah umum („ammah) yakni semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan kepada diri sendiri dan orang lain, dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah SWT, seperti belajar, mencari nafkah, menolong orang susah dan sebagainya. Sedangkan kajian dalam ibadah mahdah berkisar tentang thoharoh (bersuci), sholat, zakat, puasa dan haji. Menurut Qomarulhadi muatan ibadah dalam pendidikan Islam diorientasikan kepada bagaimana manusia mampu memenuhi hal-hal diantaranya: Menjalin hubungan utuh dan langsung dengan Allah SWT, menjaga hubungan dengan sesama insan dan kemampuan menjaga dan menyerahkan dirinya sendiri (Zulkarnain, 2008:28). Dengan demikian seluruh aspek ibadah dapat digunakan sebagi media dalam memperbaiki akhlak diri. c. Akhlak
34
Rachmat
Djatnika
mengungkapkan,
sebagaimana
dikutip
Mohammad Daud Ali (2008:346) akhlaq berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jamak kata khuluq atau al-khulq, yang secara etimologi berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi‟at. Dr. Ulil Amri Syafri (2014:72) juga mengungkapkan bahwa secara terminologi para ulama sepakat mengatakan akhlak adalah yang berhubungan dengan perilaku manusia. Menurut
Imam
Ghozali
dalam
Kitab
Ihya’
Ulumuddin
sebagaimana dikutip oleh Syafri (2014:72) mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatanperbuatan
dengan
mudah,
tanpa
memerlukan
pemikiran
dan
pertimbangan. Barmawy Umary mengungkapkan bahwa akhlak dalam diri manusia timbul dan tumbuh dalam jiwa, kemudian berbuah dalam segenap anggota yang menggerakkan amal-amal serta menghasilkan sifat-sifat yang baik serta menjauhi segala larangan terhadap sesuatu yang buruk yang membawa manusia ke dalam kesesatan (Zulkarnain, 2008:29) Dengan demikian, akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam diri seseorang yang diwujudkan dalam perbuatan, berupa perbuatan baik dan buruk yang dilakukan tanpa berpikir panjang. Dalam implementasinya, akhlak terpuji mengatur bagaimana cara menjalin hubungan antara seorang manusia dengan Allah SWT,
35
manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam sekitar dan manusia dengan diri sendiri. Didalamnya tediri dari konsep-konsep yang disebut dengan ruang lingkup akhlak, antara lain: a) Akhlak kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW b) Akhlak pribadi dan keluarga c) Akhlak bermasyarakat dan mu’amalah d. Kemasyarakatan Bidang kemasyarakatan ini mencakup pengaturan pergaulan hidup manusia diatas bumi (Zulkarnain, 2008:29) 4. Metode Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam Menurut Abdullah Nashih Ulwan (1992:1) seorang pendidik yang sadar, akan selalu berusaha mencari metode yang lebih efektif dan mencari pedoman-pedoman
pendidikan
yang
berpengaruh
dalam
upaya
mempersiapkan anak secara mental, moral saintifikal, spiritual dan sosial sehingga anak tersebut mampu meraih puncak kesempurnaan, kedewasaan dan kematangan berpikir. Dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam, sebaiknya digunakan metode-metode diantaranya: a.
Metode Keteladanan Dalam proses pendidikan, setiap pendidik harus berusaha menjadi teladan bagi anak didiknya. Teladan dalam semua kebaikan dan bukan teladan dalam keburukan. Dengan keteladanan itu, diharapkan anak 36
didik akan mencontoh atau meniru segala sesuatu yang baik di dalam perkataan dan perbuatan pendidiknya (Nawawi, 1993:215). Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah metode paling ampuh dan efektif dalam mempersiapkan dan membentuk anak secara moral, spiritual, dan sosial. Sebab seorang pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingkah laku dan sopan santunnya akan di tiru, disadari atau tidak, bahkan semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, yang bersifat material,
indrawi,
maupun
spiritual.
Karenannya
keteladanan
merupakan faktor penentu baik buruknya anak didik. Jika seorang pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, pemberani, dan tidak berbuat maksiat, maka kemungkinan besar anak akan tumbuh dengan sifat-sifat mulia ini. Allah SWT mengutus nabi Muhammad saw untuk menjadi panutan yang baik bagi umat Islam sepanjang sejarah , dan bagi semua umat manusia, di setiap masa dan tempat. Allah SWT berfirman dalam Qs.Al-Ahzab: 21, sebagai berikut:
ٌلََق ْد َكان لَ ُك ْم ِِف َر ُس ْوِل اهللِ اُ ْس َوةٌ َح َسنَة Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah saw itu suri teladan yang baik bagimu..... (Al-Ahzab: 21). Dalam sebuah hadits juga di jelaskan bahwa Aisyah r.a pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. Beliau menjawab:
37
َكا َن ُخلُ ُقهُ الْ ُق ْرآ َن Artinya: “Akhlak beliau adalah quran.” b.
Metode Pembiasaan Pendidikan dengan membentuk kebiasaan harus dilakukan dan dilatih secara berulang-ulang. Untuk itu, setiap pendidik terutama orang tua harus mampu memilih kebiasaan-kebiasaan yang baik sifatnya dan berlaku di masyarakat. Terdapat dua jenis kebiasaan yang perlu diteruskan melalui proses pendidikan. Kedua jenis kebiasaan itu adalah: 1) Kebiasaan yang bersifat otomatis, yang harus dilakukan meskipun seorang anak tidak mengerti makna atau tujuannya. Misalnya kebiasaan menyikat gigi pada pagi dan malam hari sebelum tidur, kebiasaan bangun pagi dan segera menunaikan shalat subuh. 2) Kebiasaan yang dilakukan atas dasar pengertian dan kesadaran akan manfaat dan tujuannya. Misalnya kebiasaan menunaikan shalat lima waktu yang dipahami betapa meruginya orang yang meninggalkan sholat (Nawawi, 1993:219-220). Diantara masalah-masalah yang diakui dan ditetapkan dalam syari‟at Islam adalah, bahwa pada awal penciptaannya seorang anak itu dalam keadaan suci dan bertauhid murni, beragama yang lurus dan beriman kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
38
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ك الدِّين الْ َقيِّم و ِ لك ْن َ فطَْر َ ُ ُ ْ َ ذَال،َّاس َعلَْي َهاالَتَْبديْ َل ِلَْلق اهلل َ ت اهلل الِّ ِْت فَطََرالن ِ اَ ْكثَرالن َّاسالَيَ ْعلَ ُم ْو َن َ Artinya: ..... fitrah Allah yang dengannya Dia ciptakan manusia, tidak ada penggantian pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tapi kebanyakan manusia tdiak mengetahui (Qs. Ar-Rum:30). Dari sini dimulailah peran pembiasaan, pengajaran, dan pendidikan dalam menumbuhkan dann menggiring anak kedalam tauhd murni, akhlak mulia, keutamaan jiwa, dan untuk melakukan syari‟at yang hanif (hanif) (Ulwan, 1992:45). c.
Metode Nasihat Nasihat merupakan cara mendidik yang mengandalkan bahasa, baik lisan maupun tertulis dalam mewujudkan interaksi antara pendidik dengan anak didik. Nasehat bersifat penyampaian pesan dari sumbernya
kepada
pihak
yang
memerlukan
atau
dipandang
memerlukan (Nawawi, 1993:221). Untuk itu, seorang orang tua perlu memerhatikan perilaku anaknya, apabila terdapat kesalahan yang dilakukan olehnya, seorang orang tua diharapkan untuk menasehati anak-anaknya. Nasihat sangat penting berperan dalam menjelakan kepada anak tentang segala hakikat, menghiasinya dengan moral yang mulia, dan mengajarinya tentang prinsip-prinsip Islam. Jiwa yang menerima nasihat yang tulus dan ikhlas itu jiwa yang suci, hati yang terbuka, dan
39
akal yang bijak, maka nasihat itu akan lebih cepat mendapat respon dan akan lebih membekas (Ulwan, 1992:65 & 70). d.
Metode Pengawasan Setiap orang tua perlu mengawasi setiap perilaku anaknya. Sehingga dengan pengawasan setiap perbuatan yang dilakukan anak akan terkendali. Apabila anak melakukan suatu kesalahan akan langsung diketahui orang tua dan akan dibenarkan. Pengawasan perlu dilakukan sejak kecil. Pada saat usianya semakin bertambah, pemeliharaan dan perlindungan akan semakin rumit, karena tidak sekedar fisik dan material, tetapi juga mengenai psikis, khususnya yang berkenaan dengan aqidah, akhlak dan syariah. Anak memerlukan perlindungan agar tidak mendapat pengaruh buruk dari kawan-kawan dan masyarakat sekitarnya (Nawawi, 1993:239) Pendidikan dengan pengawasan berupaya mendampingi anak dalam membentuk akidah dan moral, dan mengawasinya dalam mempersiapkannya secara psikis dan sosial, dan menannyakan secara terus-menerus tentang keadaannya, baik dalam hal pendidikan jasmani maupun dalam hal belajarnya. Dalam hal ini pendidikan termasuk dasar terkuat dalam mewujudkan manusia yang seimbang, yang dapat menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik dalam kehidupan ini (Ulwan, 1992:128-129).
e.
Metode Hukuman
40
Menurut Ulwan (1992:160-161) berikut adalah metode yang diterapkan Islam dalam memberi sanksi terhadap anak, antara lain: 1) Memperlakukan anak dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Seperti tertera dalam hadits riwayat Bukhari, sebagai berikut:
ش َ َّاالرفْ ِق َواِي ِّ ِك ب َ َعلَْي َ اك َوالْ َعْن َ ف َوالْ َف ْح Artinya: “Engkau, wahai pendidik harus bersikap lembut pada anak. Hindari bersikap keras atau kasar”.
ص ََّّي اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم بَ َعثَهُ َوُم َع ًادااِ ََل الْيَ َم ِن ِّ َع ْن اَِِب ُم ْو َسى اْالَ ْش َع ِر َ َّي اَ َّن النَّبِي يَ ِّسَرَوالَتُعَّ ِسَر َاو ِعلِّ َم َاوالَتُنَ فَِّرا:ال ََلَُما َ فَ َق
Artinya: “Dari Abu Musa Al-asy’ari bahwa ketika mengutus Mu’adz bin Jabbal ke Yaman, Nabi berpesan: permudahlah, jangan kau persulit. Ajarilah jangan kau tinggalkan.” Kedua hadits tersebut menganjurkan kepada setiap pendidik baik guru maupun orang tua yang akan memberikan sebuah hukuman kepada anak-anaknya, hendaknya mereka mengutamakan sikap lemah lembut kepada anak-anaknya dan hindari sikap kekerasan yang akan menimbulkan pertikaian, serta permudahlah apa yang menjadi urusannya jangan kau persulit agar mereka juga mudah menyerapnya dalam hati dan pikirannya dan ajarkan kepada mereka suatu ajaran yang baik dan yang bisa mendidiknya. 2) Memberi sanksi terhadap anak yang salah Diantara anak-anak itu kecerdasannya tidak sama, begitu juga responsi dan sebagainya. Diantara mereka ada yang penurut, mudah
41
bergaul, ada juga yang berwatak keras. Semua ini kembali kepada keturunan, lingkungan dan faktor-faktor pertumbuhan dan pendidikan. Ibnu Khaldun mengatakan: “Barang siapa di perlakukan keras dan kasar, harga dirnya akan turun, semangatnya akan lemah, membuatnya malas, dan akan sering berdusta karena takut dimarahi. Lama-kelamaan kebiasaan jeleknya ini akan menjadi kepribadiannya. Dan rusaklah arti kemanusiaan yang dimilikinya” (Ulwan. 1992:161162). Selain itu, Rosyadi (2004:216) juga mengungkapkan beberapa metode yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, antara lain:
1. Metode hiwar (percakapan Qur‟ani dan Nabawi) 2. Mendidik dengan kiah-kisah Qur‟ani dan Nabawi 3. Mendidik dengan amtsal (perumpamaan) Qur‟ani dan Nabawi 4. Metode keteladanan 5. Metode pembiasaan diri dan pengalaman 6. Mendidik dengan mengambil ibrah (pelajaran) dan mau‟izhah (peringatan) 7. Mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).
42
B. Anak Tunagrahita 1. Pengertian Tunagrahita Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang perkembangannya berbeda dengan anak pada umumnya. Karena perbedaan tersebut, anak berkebutuhan khusus memerlukan perlakuan khusus pula sesuai dengan kecacatannya agar kemampuannya dapat berkembang. Tunagrahita merupakan salah satu dari beberapa jenis anak berkebutuhan khusus. Apriyanto (2012:28) mengungkapkan bahwa tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna berarti merugi. Grahita berarti pikiran. Retardasi mental (mental retardation atau mentally retarded) berarti terbelakang mental. Menurut Apriyanto (2012:30) Tunagrahita adalah seseorang yang mempunyai kecerdasan di bawah rata-rata mengalami kesulitan dalam komunikasi dan sosial, terjadi pada masa perkembangan, memerlukan layanan pendidikan khusus dan kondisi tersebut tidak bisa disembuhkan. Walaupun demikian, bukan berarti pendidikan bagi anak tunagrahita hanyalah sia-sia. Melalui pendidikan, fitrah dan bakat mereka akan lebih berkembang. Karena, di suatu lembaga pendidikan mereka akan dilatih semaksimal mungkin sehingga terbentuklah bakat yang dimiliki. Selain itu, orang tua juga sangat menentukan perkembangan kehidupan mereka, terutama dalam pendidikan agama. Orang tua harus menanamkan nilai-nilai ajaran agama sejak kecil agar anak tunagrahita
43
dapat terlatih dalam membiasakan ajaran Islam dan dapat tertananam dalam kepribadian mereka. Definisi lain yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah definisi yang dirumuskan oleh Grossman yang secara resmi digunakan AAMD (American Association of Mental Deficiency) yaitu “Mental retardation refers to significantly sub average general intellectual functioning resulting in or adaptive behaviour and manifested during to developmental ” Sedangkan menurut Aqila Smart (2012:49) menuturkan bahwa anak tunagrahita ditandai dengan keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita yaitu seorang yang memiliki kecerdasan dibawah rata-rata anak pada umumnya dan mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi dan interaksi sosial. Sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. 2. Klasifikasi Tunagrahita Berdasarkan perbedaan individual dari setiap penyandang tunagrahita, perlu adanya pengklasifikasian bagi mereka. Banyak pengarang dan para ahli yang mengklasifikasikan anak tunagrahita berbeda-beda sesuai bidang ilmu dan pandangannya masing-masing. a.
Berdasarkan tinggi rendahnya kecerdasan intelegensi yang diukur dengan menggunakan tes Stanfort Binet dan skala Wescheler (WISC) tunagrahita digolongkan menjadi empat golongan:
44
1) Tunagrahita ringan (Moron atau Debil) Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut skala Weschler memiliki IQ 69-55. Mereka dapat membaca, menulis, dan berhitung sederhana serta dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan dan pekerjaan rumah tangga. Namun, disisi lain anak tunagrahita ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen. 2) Tunagrahita sedang (imbesil) Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada skala Binet dan 54-40 menurut skala Weschler (WISC). Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun masih dapat menulis secara sosial, misalnya menulis namanya sendiri, alamat rumah, dan lain-lain. Masih dapat dididik mengurus diri, seperti mandi, berpakaian, makan, minum, menyapu dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sederhana lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari, anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus-menerus. 3) Tunagrahita berat dan sangat berat
45
Tunagrahita berat memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-25 menurut skala Weschler. Anak tunagrahita berat memerlukan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya. b. Secara klinis, tunagrahita dapat digolongkan atas dasar tipe atau ciriciri jasmaniah secara berikut (Apriyanto, 2012:33): 1) Sindroma Down atau Sindroma Mongoloid merupakan kelainan genetik yang terjadi pada kromosom yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas merupakan kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental n mentl. 2) Hydrocephalus yaitu ukuran kepala besar dan berisi cairan 3) Microcephalus
yaitu
ukuran
kepala
terlalu
kecil
dan
Macrosephalus yaitu ukuran kepala terlalu besar. c. Menurut America Assosciation on Mental Retardation, klasifikasi tunagrahita antara lain: 1) Educable Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 sekolah dasar. 2) Trainable
46
Mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri, pertahanan diri, dan penyesuaian sosial. Sangat terbatas kemampuan untuk pendidikan secara akademik.
3) Custodial Dengan pemberian latihan yang terus menerus dan khusus dapat melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan kemampuan yang bersifat komunikatif. d.
Penggolongan tunagrahita menurut B3PTKSM sebagaimana yang dikutip oleh Ramadhan (2012:15) adalah sebagai berikut: 1) Taraf perbatasan (border line) dalam pendidikan disebut sebagai lamban belajar (slow learner) dengan IQ 70-85 2) Tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded) dengan IQ 50-75 3) Tunagrahita mampu latih (trainable mentally retarded) dengan IQ 30-50 atau IQ 30-55 4) Tunagrahita butuh rawat (dependent of proudly mentally retaeded) dengan IQ 25-30.
3. Karakteristik Tunagrahita Seperti yang telah diungkapkan diatas, bahwa tunagrahita merupakan kondisi dimana seorang anak memiliki hambatan kecerdasan yang
47
menyebabkan tahap perkembangannya kurang maksimal.
Selain itu
tunagrahita juga sulit untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang lain. Dari keterbatasan itulah yang menyebabkan anak tunagrahita sulit untuk mengikuti program pendidikan seperti anak pada umumnya. Oleh karena itu, perlu adanya sekolah khusus dengan pendidikan yang khusus pula sebagai wadah pembelajaran dalam mengembangkan potensi-potensi anak tuagrahita. Ada beberapa karakteristik umum tunagrahita, antara lain: a. Keterbatasan intelegensi Kemampuan belajar anak sangat kurang, terutama yang bersifat abstrak, seperti membaca dan menulis, belajar dan menghitung sangat terbatas. Mereka tidak mengerti apa yang sedang dipelajari dan cenderung belajar dengan membeo (Smart, 2012:49). Di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan mengingat, kemampuan memahami serta kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Keadaan seperti itu sulit dilakukan oleh anak tunagrahita karena mengalami kesulitan untuk berpikir secara abstrak, belajar apapun harus terkait objek yang bersifat konkrit. Kondisi seperti itu ada hubungannya dengan kelemahan ingatan jangka pendek, kelemahan dalam bernalar dan sukar sekali dalam mengembangkan ide (Apriyanto, 2012:49). Anak tunagrahita tidak akan menerima pelajaran yang bersifat teoritis. Karena tingkat pemahaman dalam mencerna suatu teori yang
48
masuk dalam otak terhitung rendah. Dalam setiap materi yang diterima olehnya juga harus bersifat nyata dan praktek, sehingga mereka dapat memahami materi itu dengan senang hati. b. Keterbatasan Sosial Somantri (2006:105) mengungkapkan bahwa anak tunagrahita memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat. Oleh karena itu mereka membutuhkan bantuan. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana. Sehingga mereka harus dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya. Anak tunagrahita sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan dimana mereka berada. Tingkah laku anak tunagrahita sering dianggap aneh oleh sebagian masyarakat karena mungkin tindakannya tidak lazim dilihat dari ukuran normatif atau karena tingkah lakunya tidak sesuai dengan perkembangan umurnya (Apriyanto, 2012:50) c. Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya Menurut Somantri (2006:106) mengungkapkan bahwa anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya apabila mengikuti hal-hal yang secara rutin dan konsisten
49
dialaminya dari hari ke hari. Anak tunagrahita tidak dapat menghadapi suatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam ilmu penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi, melainkan karena pusat pengolahan (pembendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk itu mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya. Selain itu, perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang-ulang. Latihan-latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, perlu menggunakan pendekatan yang konkret (Smart, 2012:50) Mereka juga mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian. Minatnya sedikit dan cepat beralih perhatian, pelupa, sukar membuat asosiasi-asosiasi, sukar membuat kreasi baru. Mereka cenderung menghindar dari berpikir (Apriyanto, 2012:35).
C. Pendidikan Islam bagi Tunagrahita Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Anggota-anggotanya terdiri dari ayah, ibu dan anakanak. Bagi anak-anak keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama yang dikenalnya. Dari awal kelahiran, ayah mengazankan ke telinga bayi yang baru lahir, kemudian mengakikahi, memberi nama yang baik mengajarkan membaca al-Qur‟an, membimbing untuk shalat dan perintah agama yang lain. Dengan demikian kehidupan keluarga menjadi
50
fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan anak (Jalaluddin, 1996:220-221). Pembentukan jiwa keagamaan ini juga diperlukan bagi anak tunagrahita yang notabene-nya adalah tetap sebagai seorang anak yang memiliki hak dalam memperoleh pendidikan. Hal ini mencakup pendidikan umum dan pendidikan agama. Untuk itu, perlu kesabaran dan pemahaman khusus bagi para orang tua dalam mendidik mereka. Firman Allah SWT dalam QS. Abasa ayat 1-11 yang berbunyi:
Artinya:“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman) dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran) sedang ia takut kepada (Allah), Maka kamu mengabaikannya.. sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan” (QS. Abasa: 111). Diterangkan oleh beberapa kalangan mufassir, “Pada suatu hari, Rasulullah SAW berdialog dengan beberapa orang pembesar Qurays. Beliau sangat sering melayani mereka dan sangat menginginkan agar
51
mereka beriman. Tiba-tiba, datang kepada beliau seorang laki-laki buta, yaitu Abdullah bin Ummi Maktum. Mulailah Abdullah meminta Nabi SAW untuk membacakan beberapa ayat al Quran kepadanya dan berkata „Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku apa yang telah Allah ajarkan kepada engkau.‟ Rasulullah berpaling darinya dengan wajah yang masam, menghindar dan tidak suka berbicara dengannya, lalu melanjutkan dialog dengan orang lain. Setelah selesai melaksanakan urusannya, Rasulullah SAW pun kembali pulang, tiba-tiba Allah SWT menahan pandangannya dan menundukkan kepalanya. Selanjutnya turunlah ayat ini dan keberpalingan Rasulullah dikarenakan beliau sangat menginginkan kalau sesaat saja saat itu dihentikan pastilah dia tidak akan mendapatkan kesempatan untuk berbicara dihadapan para pembesar tersebut, sebab beliau sangat mengharapkan mereka mendapat hidayah (Ar-Rifa‟i, 2000: 911). Ayat ini adalah sebagai teguran terhadap Nabi Muhammad SAW atas kekeliruan sikap yang telah diambil oleh beliau. Anak berkebutuhan khusus atau orang yang memiliki kekurangan juga memerlukan pendidikan
sebagaimana
anak
normal
lainnya.
Tidak
boleh
mengabaikannya sebab kekurangan yang dimilikinya. Karena Allah SWT tidak memandang seseorang dari bentuk fisik dan kelemahan-kelemahan seseorang. Namun, Allah SWT melihat seseorang seberapa dalamnya ia menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
52
Zakiyah Daradjat (1982:43) mengungkapkan bahwa orang tua harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Terutama pendidikan dari orang tua lah yang akan menjadi dasar pembinaan kepribadian anak. Dengan kata lain, orang tua jangan sampai membiarkan pertumbuhan anak berjalan tanpa bimbingan, atau diserahkan kepada guru-guru sekolah saja. Pendidikan, bimbingan dan pelatihan atau apapun istilahnya yang diperuntukkan untuk anak tunagrahita memiliki tujuan untuk menumbuh kembangkan kemampuan yang dimiliki anak penyandang tunagrahita. Hal tersebut tentunya harus dapat mengakomodasi dan memberikan ruang gerak terhadap berbagai keragaman kondisi anak, baik secara fisik, mental intelektual, maupun emosional anak (Smart, 2012:98). Dalam proses pengajaran, orang tua diharapkan dapat memahami sepenuhnya kekurangan anak untuk dapat belajar dengan baik dan mudah menangkap apa saja yang telah diajarkan olehnya. Kasih sayang yang mendalam dan kesabaran yang besar dari guru ataupun orang terdekatnya sangat diperlukan. Smart (2012:97) mengungkapkan bahwa orang tua ataupun guru sebaiknya berbahasa yang lembut, sabar, supel atau murah senyum, rela berkorban dan memeberikan contoh perilaku yang baik agara anak tersebut tertarik mencoba dan berusaha mempelajarinya meski dengan keterbatasan pemahamannya
53
Membiasakan anak pada hal-hal baik perlu dilakukan orang tua Pembiasaan ini sebaiknya dilakukan secara bertahap. Orang tua diharapkan memberikan dorongan dan penghargaan kepada anak-anak untuk memacu mereka agar mengerjakan suatu kebaikan. Orang tua hendaknya membuat anak-anak suka meniru perbuatan orang dewasa sebagai kesempatan untuk membiasakan diri dalam beribadah (Hartati, 2004:37-38). Jadi, orang tualah yang berkewajiban dalam membimbing, menuntun dan membina agama pribadi anak. Orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam pribadi anak. Sehingga dengan sendirinya anak dapat dengan mudah untuk masuk kedalam apa yang telah diajarkan oleh orang tuanya. Tidak terkecuali apabila anak memiliki kekurangan fisik, mental ataupun kekurangan lainnya yang nantinya akan menghambat dalam proses penanaman agama anak.
BAB III PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN 54
A. PROFIL SUBYEK PENELITIAN 1. Data Informan Tabel 1.4 Daftar Orang Tua dan Siswa Tunagrahita NO
SUAMI
ISTRI
Sugiyanto
Yesi
2
Giyono
Rubini
3
Tamyiz
Mukinah
ANAK
USIA
Rombel
41/37/12
7-C
56/51/14
8-C1
65/57/14
9-C
M. AliTamimi
47/22
9-C1
Mustianah
60/56/27
9-C1
Sumiyati
Sugiyarti
54/21
7-C
Sri
Aprila Hana 47/13
7-C
58/16
7-C
65/61/14
8-C1
Erika Indah 1
Pratiwi Sintiya Saputri Adi Nugroho Febriyanto
4
Alm
5
Sumardi
Sriyatun Siti Romlah
Alm 6 Yusmin
7
8
9
Alm Rahayu
Dewi Hartatik
Alm Sri
Faisal
Windarsih
Firmansyah
Siti
Lathif Mudzi
Parjan
Ngatman
55
10
Khalimah
Khanafi
Rosita
Iqbal Angga
Pramastuti
Kusuma
Giyono
49/44/15
8-C1
2. Profil Keluarga a. Profil Keluarga Bapak SGY dan Ibu YS Bapak SGY lahir 41 tahun yang lalu di Gendongan, Salatiga. Sedangkan istrinya YS lahir pada tahun 1979 lalu di Banyuputih, Salatiga. SGY dan YS menikah pada tahun 2003. Keluarga ini memiliki tiga anak, anak pertama perempuan yang bernama ERK yang merupakan siswi kelas VII SMPLB Negeri Salatiga, anak yang kedua AGT yang masih duduk di bangku kelas II Sekolah Dasar, dan anak yang ketiga seorang laki-laki yang masih berusia enam bulan. Selain itu, pendidikan terakhir SGY adalah SMA/sederajat, sedangkan ibu YS hanya lulusan SD. Bapak SGY adalah seorang ahli pijat syaraf dan peternak pembibitan lele di depan rumahnya. Sedangkan ibu YS adalah seorang mantan pekerja pabrik rokok yang sekarang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Pada saat itu, Bapak SGY dan Ibu YS tidak menyadari jika ERK memiliki keistimewaan tunagrahita. Kecurigaannya muncul ketika ERK memasuki sekolah Roudhotul Athfal (RA) yang setara dengan TK.
56
Ketika duduk di bangku RA, secara fisik ERK berekembang selayaknya anak berusia lima tahun pada umumnya. Namun yang diherankan oleh Ibu YS adalah ERK tidak mau diam di kelas. Maunya hanya bermain saja. Selama dua tahun perkara itu Ibu YS maklumi mungkin karena masih kecil. Setelah selesai belajar di RA, ERK melanjutkan pendidikannya di bangku Madrasah Ibtida‟iyah (MI) yang setara dengan Sekolah Dasar (SD) selama satu tahun saja. Saat itu kecurigaan Ibu YS terhadap ERK semakin bertambah ketika melihat ERK yang tidak mau duduk diam di kelas dan selalu berada di luar kelas. Setiap pulang sekolah Ibu YS harus pergi ke rumah teman ERK untuk mencatat mata pelajaran pada hari itu. Lama kelamaan YS tersadar, apakah
YS harus begini terus dan
membiarkan ERK tidak berkembang selayaknya anak lain. Kemudian Ibu YS membawa ERK ke psikolog dan barulah Ibu YS mengetahui yang sebenarnya. Kemudian ERK di sekolahkan di SLB Negeri Salatiga atas saran dari psikolog tersebut. b. Profil Keluarga Bapak GYN dan Ibu RBN Bapak GYN lahir pada tahun 1960, yaitu 56 tahun yang lalu. Sedangkan istrinya, Ibu RBN lahir pada tahun 1965, yang saat ini telah berusia 51 tahun. Dalam kesehariannya Bapak GYN yang merupakan lulusan SD menjalani aktivitasnya mencari rumput untuk hewan ternaknya. Sedangkan Ibu RBN sudah 10 tahun berprofesi sebagai seorang
57
pembantu rumah tangga di perumahan Gliko Indah, batas kota Salatiga. Bapak GYN dan Ibu RBN memiliki tiga anak. Anak pertama sudah menikah, anak yang kedua sudah bekerja di daerah Karangjati, dan anak ketiga adalah STY, siswa kelas 8-C1. STY lahir selayaknya anak normal seperti biasanya. Ibu RBN mulai menyadari kejanggalan STY ketika bersekolah di TK yang kalau pelajaran menulis tidak mau diam, tapi untuk hafalan mudah hafal, tapi setelah itu lupa lagi dan tidak ada perkembangannya. Setiap pulang sekolah juga STY langsung pergi dari rumah, pergi bermain entah kemana. Seusai pendidikan TK-nya Ibu RBN pernah merasa berputus asa karena tidak melihat perkembangan yang sewajarnya pada diri STY. Kemudian Ibu RBN mendapat penuturan dari kepala sekolah TK, bahwa STY berbeda dari teman-temannya dan disarankan untuk melanjutkan pendidikannya di SLB N Salatiga. c. Profil Keluarga Bapak TMY dan Ibu MKN Bapak TMY lahir di Ambarawa, Kab. Semarang pada tanggal 12 Agustus 1951 lalu. Istrinya, MKN berasal dari Pabelan, Kab. Semarang yang lahir 57 tahun yang lalu. Bapak TMY memiliki tiga anak. Anak pertama baru lulus SMK PGRI dua tahun lalu dan sekarang sudah bekerja. Anak kedua masih duduk di bangku kelas IX SMP dan anak ketiga yaitu ANF sekarang masih duduk di bangku kelas IX pula di SMPLB Negeri Salatiga.
58
Bapak TMY adalah seorang pensiunan PNS yang berlatar belakang pendidikan terakhir SMP/sederajat. Sedangkan istrinya merupakan lulusan SD yang saat ini menjadi pekerja swasta. ANF lahir 14 tahun yang lalu tumbuh dan berkembang layaknya anak seusianya. Namun dari cara berpikirnya lambat dan bicaranya tidak jelas. Ketika kelas I SD, ANF tidak naik kelas sampai tiga kali dan setiap kali pulang sekolah pasti dia menangis karena ANF tidak bisa apa-apa. Kemudian, Bapak TMY merasa kasihan dan ANF pindah sekolah di SLB Negeri Salatiga. d. Profil Keluarga Ibu SRY Ibu SRY adalah seorang janda yang ditinggal meninggal suami keduanya 6 tahun yang lalu. Suami pertama Ibu SRY, yaitu Bapak kandung dari TMM masih ada dan menetap di Madura. Ibu SRY lahir di Sukodono, Banyubiru Kab. Semarang pada tanggal 17 Desember 1969, tepatnya 47 tahun yang lalu. Beliau adalah seorang penjahit rumahan yang dikaruniani dua anak. Anak pertama sudah menikah dan anak kedua yaitu TMM adalah siswa kelas IX SMPLB N Salatiga yang lahir 22 tahun yang lalu. Ketika berusia delapan bulan, TMM mengalami panas yang tinggi kemudian diperiksakan ke dokter dan disuntik. Setelah dinyatakan sembuh kala itu, TMM mengalami keterlambatan dalam berjalan. TMM mulai dapat berjalan ketika usianya mencapai 3,5 tahun setelah dipijatkan di ahli pijat Blotongan.
59
TMM tumbuh di Madura sampai berumur 10 tahun, karena hak asuh Ibu SRY baru diperoleh kala itu dan diajaklah TMM menetap di Salatiga. Selama di Madura TMM bersekolah di salah satu Madrasah Pondok Pesantren. Selama sekolah, setiap teman-teman dan guru-guru masuk kelas, TMM pasti langsung berada di luar kelas dan TMM tidak bisa
mengikuti
pelajaran
yang
ada
di
madrasah.
Sehingga
perkembangannya mengalami kelambatan. Sesampainya di Salatiga, TMM langsung dimasukkan di SLB Negeri Salatiga dan berkembanglah kemandirian TMM setelah bersekolah di sekolah tersebut. e. Profil Keluarga Bapak SMD dan Ibu SR Bapak SMD berasal dari Karang Padang, Kecandran, Sidomukti, Salatiga. Sedangkan istrinya, Ibu SR berasal dari Banyubiru, Kab. Semarang. Pasangan ini memiliki enam anak dan tiga cucu. Semua anaknya sudah bekerja kecuali MST yang sekarang masih duduk di bangku SMPLB Negeri Salatiga. Bapak SMD adalah lulusan SD yang saat ini sudah tidak bekerja dikarenakan kondisinya yang semakin tua dan sering sakit-sakitan. Sedangkan Ibu SR juga lulusan SD adalah seorang ibu rumah tangga Ketika berusia tujuh bulan, MST mengalami panas tinggi dan step. Sepengetahuan Ibu SR, MST hanya masuk angin biasa dan dipriksakan ke dokter saja. Setelah sembuh, ternyata ada kejanggalan pada telapak tangan MST yang hanya bisa menggenggam. Kejanggalan lain juga terlihat dari kemampuan berjalan MST yang mengalami keterlambatan.
60
MST mulai dapat berjalan setelah umurnya mencapai 10 tahun lebih walaupun sampai saat ini masih terseok-seok. Setelah tumbuh besar, MST kemudian dimasukkan ke SLB Negeri Salatiga oleh Ibu SR setelah mendapat nasihat dari salah satu pegawai puskesmas. MST juga pernah bersekolah di Solo, namun hanya berjalan satu tahun. f. Profil Keluarga Ibu SYT Ibu SYT adalah seorang petani dan janda yang di tinggal meninggal suaminya tiga tahun lalu disebabkan penyakit darah tinggi yang menyerangnya. Ibu SYT memiliki empat orang anak. Ketiga anaknya sudah berkeluarga semua kecuali GYT yang masih duduk di bangku kelas VII SMPLB N Salatiga. Sedangkan ibu SYT saat ini juga sudah memiliki tujuh cucu. Pada saat melahirkan GYT, Ibu SYT merasa bahwa bayinya sehatsehat saja. Setelah masa pertumbuhan, GYT juga sudah mampu berjalan layaknya anak seusianya. Akan tetapi pendengaran dan bicaranya yang kurang jelas. Selain itu GYT juga memiliki keterlambatan dalam berpikir yang menyebabkan GYT tidak naik kelas hingga berkali-kali di salah satu sekolah umum dekat desa tempat tinggalnya. GYT merasa bosan bersekolah disana dan didukung oleh kakak laki-lakinya, akhirnya GYT bersekolah di SLB Salatiga pada kenaikan kelas VI. g. Profil Keluarga Ibu SRH
61
Ibu SRH adalah wanita berusia 47 tahhun yang merupakan salah seorang guru di TK Aisyiyah yang terdapat di Kota Salatiga. Suaminya sudah meninggal dua tahun yang lalu, sehingga ia tinggal bersama ketiga anaknya dan ditambah satu anak asuh, yaitu HN yang merupakan siswa kelas VII SMPLB N Salatiga. Sebenarnya HN adalah anak dari keponakan Ibu SRH. Jadi, Nenek HN adalah kakak dari Ibu SRH. Sedangkan Bapak dan Ibu kandung HN sudah bercerai sejak HN masih kecil. Karena sejak umur 3 tahun HN sudah terbiasa dengan keluarga Ibu SRH maka ketika diajak pindah bersama ibu kandungnya ke Suruh, HN tidak mau dan juga dilarang oleh Nenek buyutnya kala itu. Sejak HN masuk SD umum,ibu kandung HN sudah diberi tahu masalah perkembangan HN yang terasa sulit di sekolah itu dan HN tidak bisa mengikuti pelajaran layaknya teman-temannya. Namun hal itu tidak begitu ditanggapi oleh ibu kandungnya dan akhirnya HN tidak naik kelas. Oleh sebab itu, HN dipindahkan sekolah ke Suruh bersama keluarga Ibunya yang baru akan tetapi hanya bertahan satu tahun dan HN tinggal kelas kembali. Kemudian HN kembali lagi bersekolah di Sekolah Dasar pertama kalinya bersama Ibu SRH sampai kelas IV SD. Namun, perkembangan HN masih saja nol dan pada akhirnya dipindahkan ke SLB Banjaran Salatiga. h. Profil Keluarga Bapak PRJ
62
Di usianya yang telah mencapai 58 tauhun, Bapak PRJ berperan ganda sebagai ayah dan ibu bagi FSL dan kakaknya yang duduk pada bangku kuliah mengambil jurusan keperawatan di salah satu universitas swasta Solo. Istri beliau, Alm. Sri Windarsih sudah meninggal pada tahun 2009 silam. Sehingga peran ganda pun dikuasainya sejak saat itu. Bapak PRJ bekerja di Dinas Pendidikan Kota Salatiga dan menjabat sebagai pengawas yang statusnya saat ini adalah seorang PNS. Saat mengandung FSL, alm ibunya mengalami kondisi kandungan yang lemah dan menyebabkan pendarahan pada usia kandungan kurang lebih dua bulan. Setelah itu diperiksakan ke Rumah Sakit dan diminta untuk mempertahankan kandungannya. Masa kelahiran juga berjalan dengan nomal. Ketika usia FSL mencapai 8 bulan, ia mengalami panas tinggi dan kejang-kejang. Sepemahaman Bapak PRJ kejadian ini hanya kejadian biasa layaknya anak kecil pada umumnya. Namun hal itu terulang kedua kali dan Dokter pun pernah berpesan kalau kejang-kejang begini bisa jadi ada gangguan di jaringan otak anak. Ketika usia FSL menginjak usia Taman Kanak-kanak, berbagai keterbatasan FSL sudah terdeteksi sejak usia ini. FSL menunjukkan sikapnya dalam bermain yang kurang, sosialisasi kurang, teman juga kurang dan kelemahan berpikirnya kurang juga, apalagi dalam hal membaca, menulis dan berhitung.
63
Namun, Bapak PRJ tetap memasukkan FSL di salah satu Sekolah Dasar sampai menginjak kelas V dan FSL sudah tidak naik sampai tiga kali dan akhirnya Bapak PRJ memindahkan FSL ke SLB N Salatiga. i. Profil Keluarga Bapak NGT dan Ibu SK Bapak NGT alias Muh. Zuhdi adalah laki-laki berusia 65 tahun merupakan seorang buruh harian pertukangan yang memiliki istri bernama SK seorang ibu rumah tangga yang berusia 61 tahun. Pasangan suami istri ini telah memiliki 7 anak yang 5 diantaranya sudah menikah semua kecuali 2 anak terakhir, yaitu LTF dan adiknya yang masih bersekolah jenjang SMP sama halnya dengan LTF yang sekarang kelas VIII SMPLB N Salatiga. Kelahiran LTF mengejutkan Bapak NGT karena ketika LTF lahir ia tidak menangis seperti halnya bayi lain yang baru lahir. Selain itu dari wajah juga terdapat perbedaan. LTF memiliki wajah yang kebiru-biruan kala itu. Bapak NGT mengira hal itu adalah peristiwa yang biasa-biasa saja. Namun, setelah umur LTF bertambah, dari bulan ke bulan, LTF mengalami keterlambatan dalam berjalan yaitu pada usia 14-15 bulan baru bisa berjalan. Dalam berbicara LTF mengucapkan kata terakhirnya saja dan kurang jelas pula pengucapannya. Dalam berkomunikasi LTF sangat hobi bercerita, akan tetapi hanya penangkapannya yang kurang. Oleh Bapak NGT, LTF dimasukkan pada salah satu TK dalam jangka waktu satu tahun. Setelah itu, ketika akan mendaftar pada sebuah Sekolah Dasar Bapak NGT diberi tahu oleh pihak sekolah bahwa
64
alangkah baiknya jika LTF bersekolah di sekolah khusus saja. Pada akhirnya LTF bersekolah di SLB N Salatiga sampai sekarang. j. Profil Keluarga Bapak GYN dan Ibu RST Bapak GYN adalah warga asli Sragen yang berusia 49 tahun dan istrinya warga asli Semarang yang saat ini berusia 44 tahun. Menjadi pegawai DISBUN dan tinggal di perumahan DISBUN dilalui Bapak GYN sejak tahun 1999. Sedangkan istrinya adalah seorang ibu rumah tangga yang mengurusi 2 putra dan satu putrinya di rumah. Anak pertama Bapak GYN dan Ibu RST lahir pada tahun 1995 mengalami keterbatasan berbicara. Sedangkan AGG anak kedua adalah anak yang tergolong hiperaktif dan memiliki keterbatasan dalam intelegensinya. Sedangkan anak ketiga dari Bapak GYN dan Ibu RST menginjak pada bangku sekolah SMP. Ketika
mengandung
AGG,
Ibu
RST
tidak
menemukan
kejanggalan-kejanggalan. Namun, ketika umur AGG menginjak dua tahun, gerakan-gerakan AGG mulai banyak. Ketika masuk TK gerakangerakan dari AGG semakin tidak terkontrol dan tidak bisa diam di kelas. Setelah itu AGG langsung dimasukkan ke SLB N Salatiga.
B. TEMUAN PENELITIAN 1. Nilai-nilai Pendidikan Islam yang Ditanamkan Orang Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
65
Dalam penanaman nilai-nilai pendidikan Islam, diperlukan adanya kerjasama oleh setiap anggota keluarga, terutama orang tua. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua akan menjadi suatu kebiasaan dalam diri anak. Keagamaan orang tua pun akan mempengaruhi bagaimana perkembangan keagamaan anak. Berdasarkan hasil observasi selama penelitian berlangsung, sebagian besar orang tua dari anak tunagrahita memiliki tingkat keagamaan tergolong masih awam. Terkecuali kedua orang tua LTF yang merupakan seorang ustadz mengaji di kampungnya. Namun, para orang tua tetap mengupayakan pendidikan Islam yang terbaik bagi anaknya yang notabene nya adalah seorang anak tunagrahita. Salah satu contoh sebagai salah satu upaya orang tua seperti yang diungkapkan oleh YS: “Ketika disekolah juga pernah saya minta tolong dengan seorang guru untuk mengajari ERK ngaji. Tapi karena gurunya saat itu hamil dan memiliki bayi jadinya ngajinya berhenti” (W/MP/YS/06/12-08-16/R-06). Demikian hal nya dengan orang tua lain yang mengupayakan pendidikan Islam anaknya dengan memasukkan anaknya ke TPA. Walaupun berlangsung tidak dalam jangka panjang karena berbagai faktor. Di bawah ini akan penulis paparkan nilai-nilai pendidikan Islam yang ditanamkan oleh orang tua pada anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga. a. Tauhid/Akidah
66
Dalam menanamkan akidah pada anak, ibu SYT mengalami kesulitan disebabkan karena keterbatasan yang dimiliki oleh GYT sendiri dalam memahami sesuatu. Sesuai pernyataan ibu SYT: “Njeh, sebatas tahu kalau tuhannya itu Allah SWT dan agamanya Islam mbak. Soalnya ya dari kondisinya saja seperti itu, kurang bisa memahami dengan baik” (W/PN/SYT/08/1609-16/R-08). Sama halnya dengan anak tunagrahita lain yang memiliki keterbatasan pemahaman dalam hal yang bersifat abstrak. Ungkap Ibu SRH sebagai berikut: “Kalau Tuhan Allah tahu, agama Islam agamaku tahu. Tapi untuk malaikat-malaikat atau kitab-kitab itu masih kurang mbak, karena keterbatasannya mbak” (W/PN/SRH/09/17-0916/R-09). Bapak PRJ mengungkapkan hal yang sama dengan orang tua lain dalam menanamkan nilai akidah pada FSL: “Untuk masalah akidah saya hanya mengajarkan bahwa agama FSL adalah agama Islam dan Tuhannya adalah Allah SWT. Dari sisi kemampuan untuk yakin atau tidaknya saya juga tidak tahu.” (W/PN/PRJ/10/18-09-16/R-10). Penanaman akidah yang diungkapkan oleh Bapak NGT agak berbeda dengan orang tua lain, berikut ungkapan Bapak NGT: “Sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk mbak. Kami memberitahu kepadanya bahwa perbuatan ini baik berarti surga. Sedangkan yang ini buruk berarti masuk neraka.” (W/PN/NGT/11/18-09-16/R-11). Pernyataan yang hampir sama juga diungkapkan oleh Ibu RST dalam menanamkan nilai akidah pada AGG. “Ya sekarang sudah tahu Tuhannya itu siapa mbak, agamanya juga dia sudah paham. Dulu pernah mau ikut agama temannya, agama kristen. Tapi kemudian saya nasihati kalau hal itu tidak
67
boleh, karena belum tahu itu mbak”(W/PN/GYN/12/18-0916/R-12). Dalam hasil observasi pada tanggal 18 September 2016 AGG mengungkapkan kembali kepada Ibu RST bahwa AGG adalah umat Islam tidak boleh ikut dengan agama teman. Dari peristiwa tersebut membuktikan bahwa AGG mencoba membahas kembali apa yang telah menjadi nasihat ibunya. b. Nilai Ibadah Dalam proses penanaman
nilai-nilai pendidikan Islam oleh
Bapak PRJ, beliau lebih menekankan pada penanaman materi akhlak dan ibadah FSL. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak PRJ sebagai berikut: “Kalau di rumah saya coba untuk baca tulis Al-Qur’an, tapi ya susah. Kemudian juga belajar sama tetangga setiap habis maghrib. Akhlak dan sholatnya sering saya tekankan juga. Untuk sholatnya FSL mau, tapi ya kadang kalau di rumah itu harus sering diperintah” (W/PN/PRJ/10/18-09-16/R-10). Sama halnya dengan Bapak PRJ, Ibu SRY juga lebih menekankan pada nilai ibadah dan akhlak yang bersifat konkret walaupun baru diterapkan sedikit demi sedikit supaya TMM tidak merasa dipaksakan. “Ibadah, akhlak saya terapkan sedikit-sedikit semampu saya. Meskipun dia tidak memahami semuanya tapi saya mencoba menerapkannya sedikit-sedikit. Alhamdulillah juga sekarang rutin jama’ah di masjid, kecuali subuhnya yang susah bangun. Paling sering itu maghrib sama isya’, untuk dhuhur sudah jama’ah di sekolah. Kalau sore itu rutin habis mandi langsung jama’ah dimasjid.Tapi untuk bacaan sholatnya ya cuma bisa alfatihah saja, untuk lainnya tidak hafal.Yang penting niatnya dulu, lillahi ta’ala”(W/PN/SRY/05/11-08-16/R-05).
68
Sedangkan dalam penanaman nilai ibadah GYT, Ibu SYT mengungkapkan bahwa: “GYT sudah rutin sholat lima waktu mbak, tapi ya bacaannya belum bisa. Setiap dhuhur juga sholat berjama’ah di sekolah, bawa mukena. Yang penting sudah melakukan itu sudah baik mbak. Sejak dari kelas IV itu sudah bisa mandiri untuk melakukan sholat dan tidak usah disuruh-suruh. Dulu waktu kecil rajin sekali mengaji, ikut TPA, tapi sekarang ya masih sampai iqro’4 belum naik-naik. Puasa dan tarawihnya juga sudah tidak pernah bolong mbak” (W/PN/SYT/08/16-09-16/R08). Sedangkan Bapak GYN mengupayakan dalam pembiasaan ibadah, terutama sholat lima waktu. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Bapak GYN sebagai berikut: “Sholat lima waktunya sekarang sudah lumayan. Kalau dengar adzan dia bangun terus sholat. Untuk ngajinya sekarang sudah tidak tertib mbak. dulu ketika kecil ya ikut TPA tapi sekarang sudah tidak” (W/PN/GYN/12/18-09-16/R-12). Ibu SRH mengungkapkan bahwa HN masih agak sulit untuk diatur, dalam ibadah sholat juga masih belum tertib. Berikut penuturan Ibu SRH: Pernah TPA tapi ya hanya beberapa kali, disuruh sholat juga susah, mungkin ya hanya beberapa hari saja. Kalau diajari iqro’ juga susah paham mbak. Untuk diarahkan juga susah mbak. Kalau dinasihati suka membantah. Dia mulai puasa dari kelas IV SD kalau dibangunkan ya masih susah dulu. Mulai kelas VI kemarin kalau dibangunkan sudah lebih mudah. Puasanya full satu bulan mbak”(W/PN/SRH/09/17-09-16/R-09). Sama halnya yang dirasakan Ibu RBN dalam menanamkan nilai ibadah, STY belum dapat menjalankan perintah agama dengan baik,
69
padahal Ibu RBN selalu mengajak dan mengingatkannya. Berikut ungkap Ibu RBN: “Untuk sholatnya itu pas disekolah saja, yaitu sholat dzuhur berjama’ah itu saja ketika kelas 7 dulu mbak. Selama kelas 8 ini tidak mau bawa mukena. Kalau lagi ada kemauan sholat saja, tidak mau diam dia kemarin pas tarawih saja dia berangkat sholat jika saya berangkat, tapi ya usil terus orangnya. Puasanya juga dia belum menjalankannya, tapi ya mending saat ini dia tidak jajan pas di sekolah. Ketika masih SD dia masih jajan, jika dilarang malah nangis dia”(W/PN/RBN/07/12-0816/R-07). Ibu SR juga menuturkan bahwa MST agak sulit untuk diminta sholat. Akan tetapi untuk puasa ramadhan MST sudah rutin menunaikannya. Ibu SR mengungkapkan: “Untuk ngajinya sekarang sudah tidak mengaji. Susah ngajinya, baca iqro saja susah, jadinya sekarang ya tidak ikut ngaji lagi. Untuk masalah sholat juga susah. Padahal ya sudah diingatkan, tapi palah jawab, kalau nggak ya pergi keluar rumah. Kemarin pas tarawih saja ikut jama’ah di mushola tapi cuma beberapa hari saja, palah nonton sinetron di rumah. Akan tetapi kalau puasa ramadhan rajin mbak. Kalau yang lain belum bangun ya dia bangunin saya sama lainnya. Kalau hutang puasa ya nanti pas senin kamis dibayar puasanya yang bolong itu mbak. Bolongnya juga karena halangan menstruasi” (W/PN/SR/03/06-08-16/R-03). Di sisi lain, Ibu YS sangat menginginkan sekali untuk menerapkan nilai-nilai Islam seluruhnya. Namun,hal ini terkendala oleh keterbatasan pemahaman ERK. Berikut ungkapan Ibu YS: “Pengennya ya, semua nilai dalam Islam yang saya terapkan. Namun, masalahnya ERK sulit memahami sesuatu. Jadinya saat ini saya tidak pernah menuntutnya untuk bisa pinter ngaji misal. Untuk sholat itu ya masih jarang-jarang, kalau mau saja dia sholat” (W/PN/YS/06/12-08-16/R-06).
70
Walaupun masih semaunya sendiri untuk menunaikan sholat, ibu YS selalu mengingatkan putrinya, ERK untuk menunaikan sholat lima waktu. Hal ini sesuai hasil observasi pada tanggal 20 September 2016 ketika adzan maghrib berkumandang, ERK dan adiknya ijin pada Ibu YS untuk pergi ke masjid. Kemudian Ibu YS mengijinkan ERK untuk pergi ke masjid.
c. Nilai Akhlak Penanaman nilai akhlak dan kemasyarakatan LTF sendiri juga sudah baik. Seperti ungkapan Bapak NGT sebagai berikut: “Kalau akhlak pada orang tua itu bagus sekali mbak, dia perhatian sekali. Kalau dengan anak kecil dia terlalu mengalah. Bila ada anak kecil/keponakannya dinakali oleh orang lain itu ya marah beneran mbak” (W/PN/NGT/11/18-09-16/R-11). Sama halnya yang dituturkan oleh Ibu SRY bahwa akhlak dari TMM selama ini sudah berkembang lebih baik. Berikut penuturan Ibu SRY: “TMM sudah tahu nyapu, sudah mandiri dia.TMM anak yang suka menolong. Kalau disana ada temannya yang membutuhkan kursi roda pasti akan cepat dan tanggap dalam menolong” (W/PN/SRY/05/11-08-16/R-05). Akhlak yang dimiliki oleh GYT juga sudah bagus. GYT sudah mampu mandiri dan sudah menegrti tentang sopan santun. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu STY berikut: “Orangnya patuh sama orang tua, kalau disuruh mencuci baju, menyapu sudah mau mandiri mbak. sama tetangga juga baik. Sama orang lain juga bagus. Tidak pernah marah dia mbak, kalau tidak diganggu dulu dia tidak akan mengganggu juga.
71
Setiap malam sudah selalu menata pelajarannya sendiri untuk besuk di setiap malamnya dan setiap hari berangkat naik angkot sendiri” (W/PN/SYT/08/16-09-16/R-08). Tidak jauh dari GYT, ERK juga telah mengetahui tentang sopan santun, bagaimana bersikap kepada orang tua dan orang lain. Ungkap Ibu YS sebagai berikut: “Sama orang tua sudah bagus mbak. kalau disuruh apa nanti ya akan melakukannya meskipun agak nanti-nanti. Sama orang lain juga bersikap sopan dan ramah pada siapapun” (W/MP/YS/06/12-08-16/R-06). Sikap ramah ERK juga selalu ia tunjukkan ketika bertemu dengan penulis sengaja atupun tidak sengaja ketika penulis sedang berada di rumah maupun di sekolah. Demikian halnya dengan akhlak LTF yang sudah tergolong baik. Seperti yang dituturkan oleh Bapak NGT sebagai berikut: “Kalau akhlak pada orang tua itu bagus sekali mbak, dia perhatian sekali. Kalau dengan anak kecil dia terlalu mengalah. Bila ada anak kecil/ keponakannya dinakali oleh orang lain itu ya marah beneran mbak” (W/PN/NGT/11/18-09-16/R-11). Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 17 September 2016 setelah penulis selesai melakukan wawancara, penanaman nilai pendidikan Islam juga tampak ketika LTF menaikkan kakinya diatas kursi, kemudian oleh Bapak NGT menurunkan kaki LTF dan menasihatinya bahwa hal itu adalah tidak baik. Ibu RST menuturkan hal yang sama mengenai akhlak AGG, berikut penuturan Ibu RST: “Anaknya penurut, bagus. Dulu kalau sama teman-temannya suka berantem, tapi sekarang sudah tidak lagi. Dulu ya saya kerasi ketika berantem sama temannya, sukanya mondar-mandir 72
kesana kemari. Sekarang sudah bisa diarahkan. Kalau saya minta tolong untuk membuangkan sampah. Nanti ya akan dibuangkan” (W/PN/GYN/12/18-09-16/R-12). Berbeda halnya dengan HN yang masih belum mampu membiasakan dalam berakhlak yang baik dan menjauhi akhlak buruk. Berikut penuturan Ibu HN: “Pernah saya menasihatinya tentang bagaimana batasanbatasan bergaul dengan lawan jenis mbak, ya didengarkan alhamdulillah. Sama orang tua kadang-kadang membantah juga. Pernah juga HN meninggikan suaranya ketika Neneknya menuduh sembarangan kemudian saat itu saya nasihati langsung” (W/PN/SRH/09/17-09-16/R-09). Selain HN, sikap MST juga agak sulit untuk diarahkan. Hal ini seperti halnya yang diutarakan oleh Ibu SR: “Dia keras kepala mbak. Kalau saya temani belajar gitu dianya malah marah. Kalau diingatkan, dinasihati sama orang tua tu dia malah jengkel mbak. Kadang ya keluar rumah, kadang banting pintu kamar, kadang juga keluar rumah sambil nangis dan berteriak membantah. Disangka tetangga kan palah orang tuanya ngapa-ngapain gitu lho mbak. Sampai –sampai Bapaknya saja sudah tidak mau lagi menemani belajar. Tapi herannya saya kok kalau disekolah dia itu patuh sama gurunya, nilai-nilainya juga bagus mbak” (W/PN/SRY/05/11-08-16/R05). Bapak EPW, selaku guru PAI di sekolah SMPLB Negeri Salatiga menuturkan bahwa karakteristik dari sebagian dari anak tunagrahita memang agak susah menerima pendidikan akhlak. EPW menuturkan: “Kebanyakan juga diantara siswa tunagrahita itu lebih taat kepada gurunya dari pada orang tua, mereka sering membantah pada orang tua. Karena kebiasaannya perintah dari orang tua itu agak keras Kebanyakan anak tunagrahita juga akhlaknya kurang maksimal karena memang IQ-nya kurang”
73
(W/PN/EPW/02/04-08-16/R-02). d. Kemasyarakatan Dalam menanamkan nilai kemasyarakatan, lingkungan tempat tinggal
dan
penerimaan
masyarakat
sangat
mempengaruhi
perkembangan sosial kemasyarakatan anak tunagrahita. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu SRY berikut: “Alhamdulillah masyarakat disini bisa menerima kehadiran anak saya. Setiap ada perilaku yang keliru dari TMM pasti ada laporan dari masyarakat. Saya malah senang mbak, berarti masyarakat banyak yang menerimanya. Sosialnya juga bagus terhadap semua orang mbak” (W/PN/SRY/05/11-08-16/R-05). Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 19 September 2016, ketika TMM hendak berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat maghrib, TMM berhenti di depan rumah tetangganya dan berbincangbincang agak lama sambil menunggu adzan selesai. Dari sini terlihat bahwa nilai sosial TMM yang sudah baik. Dalam bermasyarakat, LTF juga sangat bagus. Bapak NGT mengungkapkan “Sama tetangga juga bagus mbak, bermain badminton atau main ke rumah-rumah tetangga juga sering. Bermainnya tidak hanya dengan yang lebih kecil, namun yang seumuran dan yang lebih tua juga baik hubungannya. Kalau ada kegiatan di mushola atau di masjid itu rajin . Tidak ada yang ditakuti juga, entah Kyai itu ya bersalaman dan dengan para jama’ah yang lain juga bersalaman.” (W/PN/NGT/11/18-09-16/R-11). Begitu juga MST yang sudah mampu bersosialisasi sedikit demi sedikit. MST sering ikut kegiatan berjanjenan di desa setempat. Berikut ungkap Ibu SR:
74
“Sering ikut berjanjenan mbak. Kalau setiap ada pengajian juga sudah mau ikut, maunya ikut itu kalau diajak salah satu tetangga saja mbak. Untuk sosialnya sudah bagus sama semua orang mbak. Kalau mengerjakan sesuatu ya harus maunya sendiri mbak. (W/PN/SR/03/06-08-16/R-03). Ibu YS juga menuturkan bahwa sebenarnya aspek sosial ERK sudah baik. Akan tetapi pasti terdapat beberapa kekurangan. Berikut penuturan dari Ibu YS: “Untuk sosialnya sebenarnya bagus mbak tapi ya pastinya berbeda mbak, soalnya kurang bisa nyambung. Sering mengikuti acara pidak (ketika ada orang yang meninggal dunia) dan sering mengikuti kegiatan remaja” (W/MP/YS/06/12-0816/R-06). Berbeda halnya dengan STY yang kurang mampu bersosialisasi dengan masyarakat. Ungkap Ibu RBN sebagai berikut: “Sosialnya kalau dirumah kurang mbak, karena mungkin di merasa nggak bisa nyambung dengan teman-temannya jadi dia hanya dirumah saja mbak. Jadi kepercayaan dirinya kurang mbak. kemandiriannya juga kurang” (W/PN/RBN/07/12-0816/R-07). Begitu juga dengan SGT yang masih susah bersosialisasi dengan para kerabat dan tetangganya. Sebenarnya dia anak yang patuh dan baik, tapi ketidakpercayaan diri SGT yang kemudian berpengaruh pada sosialnya. Berikut ungkap Ibu SYT: “GYT jarang keluar rumah mbak. seringnya di rumah saja main sama keponakan-keponakan. Tapi ya kalau sama tetangga sebenarnya baik. Misalkan ada yang meninggal nanti ya ikut saya yasinan, namun jarang juga mbak. Hanya saja misalkan ada acara yang ramai-ramai, tujuh belasan, atau perkumpulan remaja dia tidak berangkat. Cuma mau kalau ikut lomba-lomba di sekolahan, malu katanya. Soalnya bicaranya kurang jelas dan kurang nyambung kalau ditanya, karena pendengarannya juga kurang mbak” (W/PN/SYT/08/16-09-16/R-08).
75
HN juga anak yang selalu di rumah saja tidak pernah main kemana-mana. Selain itu HN juga tidak menyukai keramaian. Hal inilah yang kemudian membuat ia kurang dalam sosialnya. Ungkap Ibu SRH sebagai berikut: “HN tidak pernah pergi-pergi dari rumah mbak. kalau pulang sekolah ya langsung di rumah saja, tidak pernah main kemanamana. HN juga tidak pernah ikut kegiatan-kegiatan di sekitar rumah. Pernah saya suruh memanggilkan anak saya yang pertama ketika sedang ada acara di rumah tetangga. Sesampainya di sana HN tidak berani memanggil Kakaknya itu karena ramai kerumunan orang. Mungkin HN merasa kurang percaya diri sepertinya mbak” (W/PN/SRH/09/17-09-16/R-09). Dalam masalah kemasyarakatan FSL mengalami beberapa kendala dalam bersosialisasi. Akan tetapi, pada dasarnya sikap dengan orang tua sudah baik. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak PRJ sebagai berikut: “Untuk perilakunya, baik tidak ada masalah mbak. FSL anak yang penurut kalau sama orang tua. Namun, akhlak kepada orang lain yang agak kurang mbak. Hanya kepada orang-orang tertentu dia sukanya/cocoknya”(W/PN/PRJ/10/18-09-16/R-10).
2. Metode Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islamoleh Orang Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga Dalam setiap keluarga memiliki metode dan cara masing-masing dalam proses menanamkan nilai pendidikan Islam pada anak. Hal ini karena setiap anak dan orang tua pastilah memiliki karakteristik yang berbeda. Sehingga, dalam prosesnya pun akan berbeda pula. Dibawah ini akan penulis paparkan metode orang tua dalam menanamkan nilai
76
pendidikan Islam pada anak berkebutuhan khusus tunagrahita berdasarkan wawancara dengan informan. a. Metode Keteladanan Dalam mengawasi dan mendidik perkembangan penanaman nilai pendidikan Islam LTF, Bapak NGT dan Ibu SK lebih menekankan pada metode teladan. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak NGT berikut: “Teladan pasti saya lakukan juga mbak. Misalnya ketika shubuh saya sudah bangun dulu nanti saya selimuti anak saya LTF yang masih tidur. Pasti setelah itu dia langsung menyusul di belakang saya” (W/MP/NGT/11/18-09-16/R-11). Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibu RBN pada STY. Berikut pernyataan Ibu RBN: “Kalau pas mau sholat saja tidak mau diam mbak, kemarin pas tarawih saja dia akan berangkat sholat jika saya berangkat, tapi ya usil terus mbak”(W/MP/RBN/07/12-08-16/R-07). Karena Ibu RBN menyadari bahwa STY merasa lebih dekat dengan beliau. Jadi, untuk setiap hari Ibu RBN mengusahakan untuk selalu sholat tarawih. Bapak TMY juga menggunakan metode demikian pada ANF. Bapak TMY menuturkan: “Metode yang saya gunakan ya ngasih teladan mbak. Kalau dulu misalkan saya sholat ya dia ikut-ikutan sholat. Lama kelamaan dia tahu sendiri terus ya sholatnya di masjid” (W/MP/TMY/04/10-08-16/R-04) Keteladanan selalu Ibu SR terapkan sebagai seorang orang tua yang
memang
sudah
kewajibannya
77
untuk
mendidik
dan
mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Seperti halnya pernyataan Ibu SR berikut: “Untuk teladan pasti saya terapkan. Kalau saya sendiri itu sholat jama’ah di mushola pas maghrib sama isya’, selain itu di rumah. Bapaknya seringnya sholat di rumah mbak, cuma tarawih sajayang di mushola. Saya ingatkan terus mbak, ya kadang dianya susah” (W/MP/SR/03/06-08-16/R-03). Keteladanan orang tua tampak ketika peneliti melakukan wawancara dan observasi sebagian besar orang tua sangat terbuka dalam menjawab pertanyaan dan menerima dengan ramah.
b. Metode Pembiasaan Setiap orang tua memiliki andil dalam perkembangan seorang anak. Apalagi perkembangan keagamaan anak yang akan menuntunnya menuju pembiasaan sikap sebagai penuntun hidup. Sebagaimana Ibu YS yang selalu mengingatkan dan menasihati ERK untuk melaksanakan sholat dan dalam berakhlak dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya diungkapkan oleh Ibu YS dibawah ini: “Harus saya ingatkan terus mbak, nasihat juga selalu saya terapkan. Untuk ngaji iqro’nya kadang saya belajari sendiri. Tapi ya kayaknya kurang maksimal mbak kalau saya belajari sendiri.Saya sendiri juga bingung mau nyari guru ngaji tapi apakah ada guru ngaji yang mau mengajari anak seperti anak saya ini”(W/MP/YS/06/12-08-16/R-06). Sedangkan, LTF sejak kecil sudah dididik untuk mandiri. Keteladanan dari Bapak NGT dan Ibu SK selalu mereka terapkan. Berikut penuturan Bapak NGT: Yang paling penting menurut saya ya pembiasaan sholat saja mbak. Untuk masalah sholat di mushola saya acungi jempol mbak.
78
Misalkan ketika shubuh saya sudah bangun dulu nanti saya selimuti anak saya LTF yang masih tidur. Pasti setelah itu dia langsung menyusul di belakang saya. Anak saya LTF sudah terbiasa mandiri dari kecil mbak. Kalau mau mandi ya tidak usah disuruh-suruh, nanti ambil handuk sendiri dan pergi ke kali. (W/PN/NGT/11/18-09-16/R-11). Ibu SRH menekankan dalam pembiasaan untuk membentuk kemandirian HN dalam mengurus diri. Ungkap Ibu SRH sebagai berikut: “Untuk pembiasaan dalam kemandirian diri HN sendiri yang saat ini saya tekankan. Misalkan mencuci baju, saya suruh untuk mencuci bajunya sendiri tidak peduli mau tertumpuk atau tidak” (W/MP/SYT/09/17-09-16/R-09). Hasil dari metode pembiasaan yang diterapkan oleh orang tua tampak ketika TMM pergi ke masjid untuk menunaikan shalat maghrib berjama‟ah tanpa disuruh (Observasi pada tanggal 20 September 2016) c. Metode Nasihat Ibu
SRY
mengungkapkan
bahwa
beliau
lebih
sering
menggunakan metode nasihat dan tidak pernah memakai metode hukuman. Berikut ungkapan ibu SRY: “Metode yang paling sering saya terapkan mungkin ya nasihat mbak. Selain itu saya selalu mengingatkan saja mbak. Sebenarnya ya sudah kewajiban tapi ya tetap harus diingatkan mbak. Dari SD dia sudah mandiri, tapi perlu selalu diingatkan” (W/MP/TMY/04/10-08-16/R-04). Dalam kesehariannya, GYT merupakan anak yang patuh pada orang tua. Akan tetapi Ibu SYT sering memberi teladan terlebih dahulu baru menasihati. Sama halnya yang diungkapkan oleh Ibu SYT berikut: “Saya selalu memberi contoh dulu mbak. ketika GYT salah ya saya beri nasihat. Untuk mengingatkan sholat, saya jarang
79
melakukannya karena alhamdulillah GYT sudah bisa melaksanakan kewajiban sholatnya dengan baik. Tapi untuk hal lain tetap saya ingatkan. Misalnya ada tetangga yang meninggal, nanti kalau saya ajak kadang mau berangkat kadang juga tidak” Sama halnya dengan metode yang sering diterapkan oleh GYN dan Ibu RST teladan dan nasihat. Seperti yang diungkapkan oleh GYN dan Ibu RST: “Teladan saya menerapkannya, nasihat setiap dia salah ya saya kasih tahu” (W/MP/GYN/12/18-09-16/R-12). Hal ini tampak ketika penulis berada di rumah Ibu RBN dan meminta STY yang baru terlihat dari belakang untuk bersalaman dengan penulis. (Observasi pada tanggal 12 Juni 2016) Dalam menasihati STY, Ibu RBN juga harus secara halus, dengan penuh kasih sayang. Kesabaran Ibu RBN juga selalu dijagadalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam. Berikut penuturan Ibu RBN: “Harus dihalusi mbak, misalkan saya marahi dia ya palah berani membantah mbak. Kalau melakukan sesuatu ya berdasarkan maunya sendiri, tidak mau mendengarkan nasihat” (W/MP/RBN/07/12-08-16/R-07). d. Metode Pengawasan Setelah melakukan berbagai metode dalam menanamkan nilai pendidikan
Islam,
orang
tua
harus
mengawasi
bagaimana
perkembangan agama yang telah dimiliki anak di manapun dan kapanpun anak tunagrahita berada. Sama halnya dengan Ibu SRY juga selalu menggunakan prinsip pengawasan. Seperti yang diungkapkan Ibu SRY:
80
“Saya pelan-pelan mbak, dilepas tapi tetap ditarik. Maksudnya dengan pelan-pelan saya membiarkan anak saya berkembang dengan lingkungan sosial misalnya, tapi ya tetap saya awasi, dikontrol dimanapun itu” (W/MP/SRY/05/11-08-16/R-05). Ibu YS juga selalu mengawasi perkembangan dari ERK. Hal ini tersirat dari pernyataan berikut: “Ketika disekolah juga pernah saya minta tolong dengan seorang guru untuk mengajari ERK ngaji. Tapi karena gurunya saat ituhamil dan memiliki bayi jadinya ngajinya berhenti” (W/MP/YS/06/12-08-16/R-06). Selain itu, metode pengawasan ini tampak ketika ERK ijin pada Ibu YS untuk pergi ke masjid untuk menunaikan sholat maghrib. Ibu YS tetap menanyakan bersama siapa nantinya ERK akan pergi. (Observasi pada tanggal 19 September 2016) e. Metode Hukuman Diperlukan berbagai pertimbangan untuk menerapkan metode hukuman pada anak tunagrahita. Orang tua butuh kesabaran dan rasa kasih sayang yang lebih dalam mendidik anak tunagrahita, karena memang keterbatasan pemahaman yang dimiliki oleh anak. Bapak PRJ telah mampu memahami keterbatasan yang dimiliki FSL dan tidak berharap lebih dalam pencapaian FSL. Ungkap Bapak PRJ sebagai berikut: “Untuk hukuman tidak pernah saya lakukan, membentak juga saya jarang melakukannya. Kami sadari kondisinya seperti ini mbak” (W/MP/PRJ/10/18-09-16/R-10).
81
Begitu juga dengan Bapak TMY yang tidak pernah menghukum ANF. Hukuman yang diterapkan oleh Bapak TMY adalah dengan diam. Seprti ungkapan Bapak TMY berikut: “Tapi kalau hukuman saya sendiri tidak tega mbak.Soalnya anak saya kecil hatinya.Misal saya bentak sedikit gitu dia sakit hati. Kalau sudah gitu ya saya nasihati lagi, biar besar hatinya.Kalau anak saya agak sulit diatur seringnya saya diam saja mbak.Nanti mereka akan tahu sendiri ketika saya diam pasti ada apaapa”(W/MP/TMY/04/10-08-16/R-04) Sama halnya yang dirasakan oleh Ibu SRY yang tidak tega untuk menghukum TMM, Membentakpun dilakukan Ibu SRY karena terpaksa. Ibu SRY menuturkan: “Untuk hukuman saya tidak pernah mbak, dulu ketika masih kecil saja TMM sering dihukum Bapaknya saja saya tidak tega mbak. Mungkin saya cuma suara saja yang agak keras. Tapi ya sebenarnya nggak tega, bagaimanapun anak sendiri” (W/MP/SRY/05/11-08-16/R-05). Hal yang sama Ibu SYT juga tidak pernah memarahi putrinya GYT selama ini. Ibu SYT mengungkapkan: “Selain itu saya tidak pernah memarahi anak saya yang putri mbak. Cuma anak saya yang laki-laki saja yang sering saya agak kerasi”(W/MP/SYT/08/16-09-16/R-08). Ungkapan serupa diungkapkan oleh Bapak NGT sebagai berikut: “Tapi untuk hukuman saya tidak tega melakukannya mbak. LTF kalau dibentak sedikit dia menangis mbak. Maka dari itu saya tidak tega untuk membentaknya”(W/MP/NGT/11/18-09-16/R-11).
Berbeda halnya dengan Ibu SRH yang kadang suka membentak HN ketika ia melakukan kesalahan. Berikut ungkapan Ibu SRH: “Untuk metode hukuman kadang saya membentak HN mbak kalau dia melakukan kesalahan” (W/MP/SYT/09/17-09-16/R-09).
82
3. Faktor Penghambat dan Faktor Pendukung dalam Penanaman NilaiNilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada Siswa Tunagrahita Dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak tunagrahita bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan perkara yang mampu mendukung dalam melakukannya. Dalam melakukan setiap pekerjaan kerapkali muncul masalahmasalah yang dapat menghambat proses pelaksanaan pekerjaan tersebut. Begitu pula dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak. Tidak sedikit masalah-masalah yang dihadapi oleh orang tua dalam menanamkannya. Ada kalanya permasalahan tersebut bersumber dalam diri individu anak dan ada kalanya masalah tersebut bersumber dari luar diri pribadi anak. a. Faktor yang Mendukung ANF adalah anak yang penurut, mandiri dan mudah diatur. Selain itu lingkungan sosialnya juga mampu menerima ANF dengan baik. Seperti ungkapan Bapak TMY berikut: “Orangnya penurut mbak, mudah diatur, kalau dibangunin juga mudah bangun. Dia sudah lumayan mandiri mbak, PR saja dia mengerjakan sendiri. Sosialnya juga bagus, banyak yang suka dengannya”(W/FP/TMY/04/10-08-16/R-04). Begitu juga GYT yang memiliki pribadi mudah diatur dan orang tuanya selalu mengingatkan dalam pelaksanaan nilai pendidikan Islam. Bahkan bisa dikatakan jarang Ibu SYT mengingatkan GYT untuk sholat
83
karena GYT sudah langsung melaksanakan sholat tanpa diperingatkan dahulu. Ungkap Ibu SYT sebagai berikut: “GYT mudah diatur, saya juga selalu mengajak dia kalau ada yasinan. Di sekolah juga banyak kegiatan yang mampu mengembangkan agamanya”(W/FP/SYT/08/16-09-16/R-08). Sama halnya dengan GYT dan ANF, ERK anaknya lumayan mudah diatur dan diarahkan. Lingkungan sekolahnya juga berpengaruh dengan perkembangan dalam penanaman nilai agama ERK. Hal ini diketahui
dengan
adanya
kegiatan-kegiatan
keagamaan
yang
dilaksanakan oleh pihak sekolah. Seperti halnya yang diungkapkan Bapak WP: “Proses penanaman nilai PAI untuk tunagrahita di sekolah secara teoritis memang tidak ditekankan, yang penting dalam kesehariannya itu dia bisa surat-surat pendek, sholat rutin, sholat berjama’ah, cara berwudhu, baca al-Qur’an bagi yang mampu. Selain itu juga ada kegiatan keagamaan di sekolah antara lain: pesantren kilat, mabit (bermalam di sekolah pada bulan puasa), halal bi halal, dan PHBI” (W/FP/WP/01/04-08-16/R-01). Bapak EPW juga menuturkan tentang kegiatan keagamaan yang ada di sekolah sebagai berikut: “Setiap pagi mereka datang harus bersalaman dan ada apel untuk do’a bersama. Untuk muslim dan non muslim berada di baris yang berbeda. Selain itu jika siswa tidak sholat jama’ah dhuhur, kita hukum untuk membersihkan kamar mandi.Maka dari itu biasanya mushola itu penuh”(W/FP/SRY/05/11-08-16/R-05). Selain itu, lingkungan masyarakat tempat tinggal ERK juga masih menjunjung tinggi tradisi, misalkan yasinan dan pidak (takziyah). Dengan
adanya
tradisi
tersebut
juga
sebagai
wahana
menanamkan nilai-nilai tradisi Islam. Berikut ungkapan Ibu YS:
84
dalam
“Lingkungannya bagus, masih ada tradisi-tradisi keagamaan di desa yang sering diikutinya, seperti pidak dan yasinan remaja”(W/FP/YS/06/12-08-16/R-06). Orang tua yang selalu mengingatkan dalam segala hal merupakan faktor pendukung utama dalam penanaman nilai-nilai pendidikan Islam, Ibu SRH juga mengungkapkan sebagai berikut: “Kami sudah tahu dengan keadaan HN sehingga tidak menuntut banyak. Banyak keluarga dari Nenek kandungnya yang rumahnya di Karangpete yang perhatian juga” (W/FP/SRH/09/17-09-16/R09). Selain itu terdapat kegiatan rutinan desa yaitu berjanjen (sholawat) yang dapat menumbuhkan semangat dalam beragama MST. Berikut ungkapan dari Ibu SR: “Dari saya sendiri pas tidak terburu-buru selalu mengingatkan mbak, di desa juga dia sering ikut berjanjenan. Rumahnya dekat mushola” (W/FP/SR/03/06-08-16/R-03). Lingkungan rumah FSL yang masih mengedepankan BTA anakanak. Seperti ungkapan dari Bapak PRJ berikut: “Lingkungan rumah disini mendukung walaupun masih tradisional yang lebih mengedepankan BTA” (W/FP/PRJ/10/1809-16/R-10). Sama
halnya
yang
dirasakan
oleh
Bapak
NGT
yang
mengungkapkan: “Lingkungan rumah saya sangat menerima keadaan anak saya mbak, keluarga saya juga sangat perhatian dengan LTF”(W/FP/NGT/11/18-09-16/R-11). Apabila dari keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya mendukung terealisasinya penanaman nilai pendidikan Islam. Maka
85
orang tua akan lebih mudah dalam menanamkan nilai pendidikan Islam tersebut pada sang anak. b. Faktor yang Menghambat Tunagrahita
adalah
mereka
yang
memiliki
keterbatasan
intelegensi. Karena keterbatasan itu pula sikap sosial seseorang berkurang. Sama halnya dalam menanamkan nilai pendidikan Islam pula
mengalami
hambatan
untuk
mencapainya.
Seperti
yang
diungkapkan oleh Bapak PRJ sebagai berikut: “Menurut saya faktor penghambat penanaman nilai pendidikan Islam pada anak saya hanya karena kemampuannya yang terbatas”(W/FP/PRJ/10/18-09-16/R-10). Untuk faktor yang menghambat pada ERK bersumber dari pribadi dalam diri ERK sendiri karena memiliki IQ yang rendah. Sehingga kemampuan berpikirnya lambat dan sulit untuk memahami sesuatu. Faktor lain karena ERK malas untuk melakukan sholat, sehingga ERK melaksanakan sholat jika dia ingin melakukannya saja. Berikut penuturan dari Ibu YS: “Faktor yang menghambat penenaman nilai pendidikan Islam pada ERK yaitu IQ-nya rendah, kemampuan berpikirnya lambat, mau melakukan sholat harus dari kemauan sendiri” (W/FP/YS/06/12-08-16/R-06). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ibu RBN, STY sendiri orangnya keras kepala dan semaunya sendiri. Sehingga, walaupun sudah diberi contoh dan sudah dinasihati tetap saja STY tidak mau mendengarkannya. Berikut ungkapan dari Ibu RBN:
86
“Dalam proses penanaman nilai pendidikan Islam harus dihalusi, misalkan saya marahi dia berani membantah. Kalau melakukan sesuatu ya berdasarkan maunya sendiri, tidak mau mendengarkan nasihat” (W/FP/RBN/07/12-08-16/R-07). Sedangkan faktor utama yang menjadi kendala juga berasal dari diri individu MST sendiri yang keras kepala dan sering membantah jika dinasihati. Seperti pernyataan dari Ibu SR: “Dia keras kepala mbak. Kalau saya temani belajar gitu dianya malah marah. Kalau diingatkan, dinasihati sama orang tua tu dia malah jengkel mbak. Kadang ya keluar rumah, kadang banting pintu kamar, kadang juga keluar rumah sambil nangis dan berteriak membantah”(W/FP/SR/03/06-08-16/R-03). Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Bapak EPW, bahwa kebanyakan anak tunagrahita bersifat kurang patuh kepada orang tuanya. Berikut pernyataan Bapak EPW: “Kebanyakan untuk anak tunagrahita itu akhlaknya kurang maksimal karena memang IQ-nya kurang. Kebanyakan juga diantara siswa tunagrahita itu lebih taat kepada gurunya dari pada orang tua, mereka sering membantah pada orang tua.Karena kebiasaannya perintah dari orang tua itu agak keras”(W/FP/EPW/02/04-08-16/R-02). Bapak NGT mengungkapkan sebagai berikut: “Mungkin ya karena keterbatasan kemampuan anak saya mbak”(W/FP/NGT/11/18-09-16/R-11). Keterbatasan waktu yang dimiliki Ibu SRH juga membuat penanaman nilai pendidikan Islam yang akan diterapkan juga terbatas. Selain itu dari sisi HN sendiri agak susah diatur. Seperti ungkapan dari Ibu SRH berikut: “Anaknya susah mbak, kalau dibentak seringnya jengkel, kalau dihalusi takutnya jadi manja”(W/FP/SRH/09/17-09-16/R-09).
87
Di sisi lain, keterbatasan dalam pendengaran dan pemahaman yang dimiliki GYT menjadi faktor penghambat dalam penanaman nilai pendidikan agama Islam. Ibu SYT mengungkapkan sebagai berikut: “Mungkin ya karena keterbatasan pendengaran dan pemahaman yang dimiliki mbak” (W/FP/SYT/08/16-09-16/R-08). Karena keterbatasan yang dimiliki oleh GYT tersebut, membuat GYT
menjadi
minder
sehingga
kemasyarakatan.
88
jarang
mengikuti
kegiatan
BAB IV ANALISIS DATA A. Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Ditanamkan Orang Tua pada Siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga Menurut Muhaimin dan Mujib (1993:110) mengungkapkan bahwa nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat. Pendidikan, yang mengandung proses alih nilai (transfer of value) perlu diperhatikan oleh setiap orang, terutama bagi orang tua yang memiliki keterbelakangan mental (tunagrahita). Islampun memiliki nilai-nilai pendidikan sebagai upaya dalam menanamkan nilai-nilai tersebut kepada anak. Hal ini perlu diperhatikan karena anak tunagrahita tidaklah sama dengan anak normal seperti biasa. Dalam hal penanaman nilai pendidikan Islam pun diperlukan kesabaran dan ketelatenan yang besar. Setiap anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga sudah barang tentu mendapat pembelajaran Pendidikan Agama Islam sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Namun, pendidikan di sekolah tidaklah cukup untuk mencetak pribadi yang berbudi luhur. Pendidikan yang lebih utama dan berpengaruh dalam kehidupan anak adalah pendidikan keluarga. Disini lah peran orang tua sangat diperlukan untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak tunagrahita. Zulkarnain (2008:27-29) mengungkapkan bahwa berdasarkan dari dasardasar utama pendidikan di atas, maka setiap aspek pendidikan Islam 89
mengandung beberapa unsur pokok yang mengarah kepada pemahaman dan pengamalan doktrin Islam secara menyeluruh, pokok yang harus diperhatikan oleh pendidikan Islam mencakup: 1. Tauhid/Akidah Pendidikan akidah merupakan pendidikan pertama yang harus ditanamkan pada anak. Untuk itu, orang tualah
yang memiliki
tanggungjawab utama dalam menanamkan nilai akidah pada anak dengan sebaik-baiknya. Al-Ghazali mengungkapkan bahwa apabila akidah tauhid sudah tertanam kokoh pada jiwa anak, maka ia akan mewarnai kehidupannya sehari-hari karena terpengaruh oleh suatu pengakuan tentang adanya kekuatan yang menguasainya yaitu Tuhan Allah yang maha esa. Sehingga timbul rasa takut berbuat kecuali yang baik-baik saja dan semakin matang perasaan ke-Tuhanannya, semakin pula matang segala perilakunya (Zainuddin 1991: 99). Berbeda halnya dengan penanaman nilai pendidikan Islam yang ditanamkan oleh para orang tua untuk anak tunagrahita. Dalam prosesnya, para orang tua lebih mengedepankan aspek penanaman nilai akhlak dan ibadahnya. Sedangkan penanaman nilai akidah ditanamkan sesuai dengan berjalannya waktu. Hal ini mereka lakukan karena para orang tua telah mengerti bagaimana kemampuan anak tunagrahita dalam memahami sesuatu yang tergolong lemah. Anak tunagrahita memperoleh penanaman
90
keyakinan melaui nasihat-nasihat dan pembiasaan mengenai perbuatan yang baik dan buruk oleh orang tuanya. Dengan mengenalkan bahwa perbuatan baik akan diberi pahala surga dan perbuatan buruk akan mendapat dosa dan akan masuk neraka. Dalam hasil observasi pada tanggal 18 September 2016
AGG
mengungkapkan kembali kepada Ibu RST bahwa AGG adalah umat Islam tidak boleh ikut dengan agama teman. Dari peristiwa tersebut membuktikan bahwa AGG mencoba membahas kembali apa yang telah menjadi nasihat ibunya. Ruang lingkup kajian akidah berkaitan erat dengan rukun iman, antara lain iman kepada Allah SWT, iman kepada malaikat Allah, iman kepada kitab suci Allah SWT, iman kepada Nabi & Rasul, iman kepada hari akhir dan iman kepada qodho dan qodar Allah SWT. Sedangkan, proses penanaman nilai akidah pada anak tunagrahita sebatas pengetahuan tentang apa agama anak dan siapa Tuhan mereka. Keterbatasan ini dikarenakan sulitnya menumbuhkan pemahaman bagi anak tunagrahita dalam menerima pengajaran tentang akidah yang banyak mengandung hal-hal yang abstrak. Sebagian anak juga telah mampu membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk. Dari penanaman nilai keyakinan tersebut, terdapat anak tunagrahita yang telah mampu mempercayai Allah SWT dan mengiplementasikan bentuk
91
keyakinannya dengan menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim seperti sholat lima waktu, berpuasa dan berakhlak baik. Salah satu sikap dari penanaman nilai tauhid adalah anak selalu menjaga perkataannya untuk selalu jujur. Contoh penanaman kejujuran dari anak tunagrahita adalah ketika peneliti menanyakan apakah tadi pagi melaksanakan sholat shubuh maka anak pun menjawabnya dengan tersenyum malu. 2. Ibadah/‟ubudiyah Demikianlah menjadi kewajiban bagi orang tua dalam menanamkan nilai ibadah bagi anak tunagrahita untuk menjalani serangkaian ibadahibadah sesuai perintah Allah SWT. Mohammad Daud Ali (2008:247) juga mengungkapkan bahwa Ibadah dibagi menjadi dua, yaitu ibadah mahdah (ibadah yang ketentuan pelaksanaannya sudah pasti ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya) dan ibadah umum („ammah) yakni semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan kepada diri sendiri dan orang lain, dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah SWT, seperti belajar, mencari nafkah, menolong orang susah dan sebagainya. Sedangkan kajian dalam ibadah mahdah berkisar tentang thoharoh (bersuci), sholat, zakat, puasa dan haji. Para orang tua banyak yang mengalami kesulitan dalam menanamkan ibadah mahdhah pada diri anak, karena suatu perkara yang dituju bersifat abstrak. Namun, dalam praktiknya, para orang tua selalu mengingatkan 92
anaknya untuk menjalankan ibadah mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh seperti halnya sholat 5 waktu, mengaji, dan berpuasa. Sebagian anak tunagrahita ada yang sudah mampu memahami kewajibannya dalam beribadah dan sudah rutin melaksanakan sholat 5 waktu dengan berjama‟ah. Namun, sebagian yang lain belum mampu memahaminya. Hal ini tampak ketika TMM pergi ke masjid untuk menunaikan shalat maghrib berjama‟ah tanpa disuruh (Observasi pada tanggal 20 September 2016) Dalam urusan mengaji, anak tunagrahita masih kesulitan dalam mengingat-ingat huruf hijaiyah, mereka baru mampu mengeja sedikit demi sedikit dan belum bisa lancar dan fasih dalam membacanya. Mereka cenderung menirukan dan menghafalnya, terutama untuk hafalan surat-surat pendek seperti QS. al-Fatihah, QS. al-Ikhlas, QS. al-Falaq dan al-Ashr. Maka dari itu banyak dari anak tunagrahita yang sudah tidak rutin mengaji, karena mereka merasa kesulitan untuk mengenal dan mengingat-ingat huruf hijaiyah. Mayoritas dari mereka masih rutin mengaji ketika kecil saja. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Apriyanto (2012:49) bahwa di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan mengingat, kemampuan memahami serta kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Keadaan seperti itu sulit dilakukan oleh anak tunagrahita karena mengalami kesulitan untuk berpikir secara abstrak. Kondisi seperti itu ada hubungannya dengan kelemahan ingatan jangka
93
pendek, kelemahan dalam bernalar dan sukar sekali dalam mengembangkan ide. 3. Akhlak Barmawy Umary mengungkapkan bahwa akhlak dalam diri manusia timbul dan tumbuh dalam jiwa, kemudian berbuah dalam segenap anggota yang menggerakkan amal-amal serta menghasilkan sifat-sifat yang baik serta menjauhi segala larangan terhadap sesuatu yang buruk yang membawa manusia ke dalam kesesatan (Zulkarnain, 2008:29) Dengan demikian, akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam diri seseorang yang diwujudkan dalam perbuatan, berupa perbuatan baik dan buruk yang dilakukan tanpa berpikir panjang. Didalamnya tediri dari konsep-konsep yang disebut dengan ruang lingkup akhlak, antara lain: d) Akhlak kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW Dalam penanaman nilai akhlak kepada Allah SWT, para anak tunagrahita menunjukkan sikapnya melalui aspek ritual keagamaan. Hal ini terdiri dari pembiasaan sholat lima waktu, puasa ramadhan dan ritualritual lain sebagai upaya mendekatkan diri pada Allah SWT. e) Akhlak pribadi dan keluarga Dalam hal ini kemandirian anak tunagrahita sangat diupayakan. Kemandirian dalam hal ini meliputi kemampuan mengurus diri sendiri seperti meyiapkan kebutuhan pribadi seperti makan, perlengkapan
94
sekolah dan membersihkan rumahnya. Perkara ini sepertinya sederhana bagi anak normal pada umumnya. Namun, kemampuan mengurus diri ini tergolong sulit dilakukan dan dibiasakan oleh anak tunagrahita. Terkait akhlak keluarga, seorang anak tentunya harus patuh dan taat terhadap perintah dan nasihat-nasihat dari orang tua. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 17 September 2016 setelah penulis selesai melakukan wawancara, penanaman nilai pendidikan Islam juga tampak ketika LTF menaikkan kakinya diatas kursi, kemudian oleh Bapak NGT menurunkan kaki LTF dan menasihatinya bahwa hal itu adalah tidak baik. Namun,
terdapat
sebagian
anak
tunagrahita
yang
sering
membangkang terhadap petuah-petuah orang tuanya. Hal ini karena keterbatasan pemahaman yang dimiliki oleh anak tunagrahita yang tidak tahu menahu tujuan apa yang nantinya akan dicapai setelah melaksanakan perintah ataupun petuah dari para orang tua. Selain itu, cara orang tua yang terlalu keras dalam memerintah ataupun menasihati anak menyebabkan anak menjadi lebih sulit diatur. Dalam hal ini peneliti mengamati tutur kata dan sikap dari salah satu anak tunagrahita ketika peneliti melakukan wawancara yang menunjukkan tutur kata pada orang tua seperti dengan teman sendiri dan menjawab dengan nada yang agak tinggi tanda tidak setuju dengan pernyataan dari orang tuanya.
95
f) Akhlak bermasyarakat dan mu’amalah Dalam
akhlak
bermasyarakat,
anak
tunagrahita
memiliki
keterbatasan dalam bidang sosial. Sehingga banyak diantara anak tunagrahita yang kurang berperan serta dalam kegiatan bermasyarakat. Diantara akhlak dalam bermuamalah salah satunya adalah bersikap sopan santun dan menyapa orang lain dengan ramah. Sikap ini ditunjukkan oleh salah beberapa anak tunagrahita ketika sedang berkomunikasi dengan tetangganya ketika akan pergi sholat maghrib berjama‟ah di masjid. Selain itu sikap sopan santun juga ditunjukkan ketika bertemu dengan peneliti. 4. Kemasyarakatan Bidang kemasyarakatan ini mencakup pengaturan pergaulan hidup manusia diatas bumi (Zulkarnain, 2008:29). Somantri (2006:105) mengungkapkan bahwa anak tunagrahita memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat. Oleh karena itu mereka membutuhkan bantuan. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana. Sehingga mereka harus dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
96
Dalam hal ini terdapat anak tunagrahita yang sudah mampu bersosialisasi dengan lingkungannya dengan baik, yang tergolong sebagai tunagrahita ringan. Sebagian yang lain ada yang belum mampu bersosialisasi dengan orang lain dengan baik, yang tergolong sebagai tuangrahita sedang. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya, keluarga dan karakteristik dari anak tunagrahita itu sendiri. Dalam penerapannya, sebagian anak tunagrahita yang mampu bersosialisasi dengan baik mereka wujudkan dengan selalu menyapa orang lain, kemampuan berkomunikasi dengan ramah dan sopan santun serta dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat seperti takziyah atau pidak ketika ada orang meninggal, dan ikut serta dalam kegiatan keagamaan di mushola atau masjid setempat. Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 19 September 2016, ketika TMM hendak berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat maghrib, TMM berhenti di depan rumah tetangganya dan berbincang-bincang agak lama sambil menunggu adzan selesai. Dari sini terlihat bahwa nilai sosial TMM yang sudah baik.
B. Metode Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada SiswaTunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
97
Zakiyah Daradjat (1982:43) mengungkapkan bahwa orang tua harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Terutama pendidikan dari orang tualah yang akan menjadi dasar pembinaan kepribadian anak. Dengan kata lain, orang tua jangan sampai membiarkan pertumbuhan anak berjalan tanpa bimbingan, atau diserahkan kepada guru-guru sekolah saja. Dalam proses pengajaran, orang tua diharapkan dapat memahami sepenuhnya kekurangan anak untuk dapat belajar dengan baik dan mudah menangkap apa saja yang telah diajarkan olehnya. Kasih sayang yang mendalam dan kesabaran yang besar dari guru ataupun orang terdekatnya sangat diperlukan. Dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam, sebaiknya digunakan metode-metode diantaranya: 1. Metode Keteladanan Keteladanan merupakan faktor penentu baik buruknya anak didik. Jika seorang pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, pemberani, dan tidak berbuat maksiat, maka kemungkinan besar anak akan tumbuh dengan sifat-sifat mulia. Dalam hal ini setiap orang tua dari anak tunagrahita pasti menjadi seorang teladan dalam melakukan segala sesuatu. Keteladanan yang diupayakan oleh orang tua diharapkan nantinya seorang anak mampu menerima, menjalankan, menghargai dan menghayati dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
98
Dalam hal ini beberapa orang tua menunjukkan sikap dan tutur kata yang sopan dengan anak dan dengan peneliti. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan anak dalam kesehariannya. 2. Metode Pembiasaan Pembiasaan-pembiasaan harus dilatih dan dilakukan secara berulangulang. Maka dari itu orang tua harus memilah-milah kebiasaan baik yang perlu ditanamkan pada anak. Dalam hal ini, orang tua melatih pembiasaan seperti kemandirian dalam mengurus diri sendiri seperti mencuci baju sendiri, mencuci piring, menjadwal mata pelajaran di hari besuk, dan kemandirian dalam berangkat sekolah. Pembisaan yang dilakukan atas dasar pengertian dan kesadaran akan manfaat dan tujuannya juga selalu orang tua terapkan. Pada pembiasaan ini, orang tua berupaya membiasakan anak untuk melaksanakan sholat lima waktu dan pembiasaan bertutur kata baik dan sopan Pembiasaan yang dipraktikkan oleh anak tunagrahita tergantung baagaimana kontinuitas dalam penanaman yang dilakukan oleh orang tua. Karena suatu perbuatan akan menjadi kebiasaan jika dilakukan secara berulang-ulang. Contoh dari pembiasaan yang ditanamkan oleh orang tua adalah ketika peneliti sedang melangsungkan wawancara dan sang anak baru terlihat, orang tua LTF menyuruh untuk bersalaman dengan peneliti. 3. Metode Nasihat
99
Nasihat merupakan cara mendidik yang mengandalkan bahasa, baik lisan maupun tertulis dalam mewujudkan interaksi antara pendidik dengan anak didik. Melalui metode nasihat, hendaknya orang tua perlu memperhatikan perilaku anak. Ketika anak melakukan kesalahan hendaknya orang tua memberitahu manakah yang berdampak baik dan manakah yang berdampak buruk. Contoh dari metode nasihat adalah ketika anak sedang duduk dan kakinya diangkat ke atas kursi kemudian Bapak NGT menegur dan menyuruh untuk menurunkan kakinya di lantai. 4. Metode Pengawasan Setiap orang tua perlu mengawasi setiap perilaku anaknya. Sehingga dengan pengawasan setiap perbuatan yang dilakukan anak akan terkendali. Pada saat usianya semakin bertambah, pemeliharaan dan perlindungan akan semakin rumit, karena tidak sekedar fisik dan material, tetapi juga mengenai psikis, khususnya yang berkenaan dengan aqidah, akhlak dan syariah. Anak memerlukan perlindungan agar tidak mendapat pengaruh buruk dari kawan-kawan dan masyarakat sekitarnya (Nawawi, 1993:239) Pengawasan selalu diterapkan oleh orang tua dalam mengetahui perkembangan penanaman nilai pendidikan Islam anak tunagrahita. Karena melalui pengawasan seorang anak akan terkendali dan terkontrol segala perilakunya.
100
Contoh dari metode pengawasan yang dilakukan oleh orang tua adalah ketika sang anak ijin untuk pergi ke masjid. Sang ibu menanyakan bersama siapa dan akhirnya di ijinkan untuk pergi jama‟ah sholat di masjid. 5. Metode Hukuman Metode hukuman dalam proses penanaman nilai pendidikan Islam adalah hanya sebagai teguran agar tidak mengulangi perbuatan buruk yang telah dilakukannya tersebut. Hampir dari setiap orang tua tidak pernah memakai metode hukuman ini. Para orang tua dari anak tunagrahita memahami keterbatasan yang dimiliki anaknya. Sehingga orang tua juga tidak menuntut apapun dari anak. Kebanyakan orang tua bersikap halus pada anak dan sebagian yang sering membentak anak ketika anak melakukan kesalahan. Smart (2012:97) mengungkapkan bahwa orang tua ataupun guru sebaiknya berbahasa yang lembut, sabar, supel atau murah senyum, rela berkorban dan memeberikan contoh perilaku yang baik agara anak tersebut tertarik mencoba dan berusaha mempelajarinya meski dengan keterbatasan pemahamannya. Dengan berbahasa yang lembut dan halus seorang anak akan mampu menerimanya dengan baik dan akan ringan untuk melakukan apa yang diperintah orang tua melalui penggunaan tutur kata yang halus tersebut.
101
C. Faktor Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua pada SiswaTunagrahita SMPLB-N Salatiga Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penanaman nilai pendidikan Islam pada anak tunagrahita baik yang bersifat mendukung maupun menghambat. Di antara faktor yang mendukung, yaitu: 1. Dari Orang Tua a. Motivasi yang kuat dimiliki orang tua dalam menanamnkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak tunagrahita walaupun sedikit demi sedikit. b. Kesabaran dan ketelatenan orang tua dalam mendidik anak tunagrahita c. Perhatian dan kasih sayang besar yang ditujukan pada anak karena merupakan harta titipan yang berharga. 2. Dari Anak Tunagrahita a. Rasa hormat anak kepada orang tua, sehingga anak menjadi sosok yang penurut. b. Anak yang sudah tumbuh jiwa kemandiriannya 3. Dari Lingkungan a. Lingkungan tempat tinggal yang masih menjunjung tinggi tradisi keagamaan b. Lingkungan masyarakat yang menerima kehadiran anak tunagrahita di tengah-tengah masyarakat c. Lingkungan sekolah yang terdapat berbagai kegiatan keagamaan dan menjunjung tinggi nilai luhur
102
Sedangkan, faktor yang menghambat penanaman nilai pendidikan Islam pada anak tunagrahita antara lain: 1. Dari Orang Tua a. Orang tua yang kurang sabar b. Orang tua belum mengerti sepenuhnya dengan keterbatasan anak 2. Dari Anak a. Keterbatasan intelegensi (IQ) yang rendah b. Kepribadian anak yang susah diarahkan/diatur c. Sifat malas anak dalam menanamkan nilai pendidikan Islam 3. Dari Lingkungan a. Berada di lingkungan yang jauh dari tradisi-tradisi Islam.
103
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian tentang penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga yang didukung oleh landasan teori, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Nilai-nilai pendidikan Islam yang ditanamkan orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga sudah berdasarkan ajaran pokok nilainilai pendidikan Islam yang meliputi nilai pendidikan akidah, ibadah, akhlak dan kemasyarakatan. 2. Adapun proses penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Negeri (SMPLB-N)
Salatiga menggunakan metode keteladanan, pembiasaan,
nasihat, pengawasan dan hukuman. 3. Dalam proses penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menghambat dan mendukung. Ketidaksabaran orang tua yang belum mengerti sepenuhnya dengan keterbatasan anak, keterbatasan intelegensi anak, kepribadian anak yang susah diatur, sifat malas anak dalam menanamkan nilai pendidikan Islam. Sedangkan motivasi kuat dimiliki orang tua dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam, kesabaran dan ketelatenan orang tua dalam mendidik anak tunagrahita,
104
perhatian dan kasih sayang yang besar dari keluarga dan orang
tua,
kepribadian anak yang sudah tumbuh jiwa kemandirian dan mudah diatur, lingkungan masyarakat yang masih menjunjung tinggi tradisi Islam, lingkungan sekitar yang menerima kehadiran anak tunagrahita di tengah masyarakat, dan lingkungan sekolah yang masih terdapat kegiatan keagamaan merupakan fakor pendukung dalam meningkatkan penanaman nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada anak tunagrahita yang bersekolah di SMPLB Negeri Salatiga.
B. Saran 1. Untuk siswa Tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga a. Anak tunagrahita merupakan anak yang memiliki tingkat intelegensi yang rendah dibanding anaka pada umumnya. Namun ia masih bisa dilatih dan dididik. Untuk itu janganlah berputus asa dengan keterbatasan yang kalian miliki. b. Tidak sedikit juga masyarakat yang memandang sebelah mata kondisi anak tunagrahita. Namun, tidak menutup kemungkinan sederet prestasi yang menunggu kedatanganmu 2. Untuk guru dan karyawan SMPLB Negeri Salatiga a. Selalu tanamkan keikhlasan dan kesabaran dalam membimbing dan mendidik anak berkebutuhan khusus. b. Selalu menjadi teladan dan panutan bagi siswa-siswa.
105
3. Untuk keluarga dan lingkungan di mana anak tunagrahita tinggal. a. Anak merupakan amanah dari Allah SWT yang akan mengantarkan orang tua ke surga. Motivasi dan berikan dorongan pada anak berkebutuhan khusus, khususnya tunagrahita agar mereka lebih percaya diri, mandiri dan mampu membanggakan orang tua. b. Kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua akan mempengaruhi perkembangan mental anak tunagrahita. Maka dari itu hargai prestasi yang diperoleh karena sekecil apapun prestasi yang dimiliki anak tunagrahita maka akan membuat mereka bersemangat untuk merih prestasi lainnya.
C. Penutup Alhamdulillah, penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan kesempatan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
Dalam
penyusunan
skripsi
ini
penulis
sudah
mengupayakan yang terbaik. Namun, penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis selalu mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini. Tak lupa penulis haturkan terimakasih atas bantuan semua pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita berserah diri.
106
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. 2005. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ali, Mohammad Daud. 2008. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Press Al-Rasyidin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis. Yogyakarta: Ciputat Press Apriyanto, Nunung. 2012. Seluk Beluk Tunagrahita & Strategi Pembelajarannya. Jakarta: Javalitera Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press Azra, Azyumardi. Pendidikan Isam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Ar-Rifa‟i, Muhammad Nasib.2000. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4. Jakarta: Gema Insani Press Chang, William. 2014. Metodologi Penulisan Esai, Skripsi, Tesis dan Disertasi untuk Mahasiswa. Jakarta: Penerbit Erlangga Chaplin, J.P..1898. Kamus Lengkap Psikologi, Penerjemah (Dr. Kartini Kartono). Jakarta: Rajawali Press. Daradjat, Zakiah.1982. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental . Jakarta: Bulan Bintang Daradjat, Zakiyah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakrta: Bumi Aksara Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka Feisal, Yusuf Amir.1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press Gunarsa 1995. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia Hartati, Netty.2004. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Islamiyah, Djami‟atul. 2013. Psikologi Agama. Salatiga: STAIN Salatiga Press Isna, Mansur. 2001. Diskursus Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Jalaluddin. 1996. Psikologi Agama. Cet 1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Kasiram, Muh. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif. Malang: UINMALIKI PRESS Langgulung, Hasan. 1988. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka AlHusna Makbuloh, Deden.2013. PAI: Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Press Miles, Matthew B & Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-Press Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bamdung: PT Remaja Rosdakarya Muhaimin & Abdul Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya. Muhaimin. 2002. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya Nawawi, Haidar.1993. Pendidikan Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas Pratiwi, Ratih Putri & Afin Murtiningsih. Kiat Sukses Mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Ramadhan. M. 2012. Ayo Belajar Mandiri: Pendidikan Ketrampilan & Kecakapan Hidup untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jogjakarta: Javalitera Santana, Septiawan. 2007. Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Buku Obor Smart, Aqila. 2012. Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Katahati Somantri. Sutjihati T.2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2007. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: pustaka pelajar offset Sukandarrumidi. 2004. Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Bagi Pemula. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Syafri, Ulil Amri. 2014. Pendidikan Berkarakter Berbasis Al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Press Syam, Mohammad Noor.1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat: Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Tafsir, Ahmad. 2001. Ilmu Pendidikan dalam Perspektof Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Thoha. Chabib.1993. Kapita Selekta Pendidikan Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Uhbiyati, Nur. 2009. Long Life Education. Semarang: Walisongo Press Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak Menurut Islam: Kaidah-Kaidah Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset Ulwan, Abdullah Nashih.2009. Mencintai Islami.Yogyakarta: Darul Hikmah
dan Mendidik Anak Secara
Zainuddin, dkk.1991. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara Zulkarnain.2008. Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lampiran I Gambar Selama Proses Penelitian
Keluarga Bapak TMY
Wawancara Keluarga Bapak NGT
MST ketika akan menjalankan Sholat Ashar
TMM ketika selesai menunaikan Sholat Maghrib
ERK bersama Adiknya setelah Menunaikan Sholat Maghrib
Bapak PRJ dan FSL
Faktor Pendukung Kegiatan MABIT di SLB N Salatiga
Peringatan Isra‟ Mi‟raj di SLB N Salatiga
Lampiran II
No Nama 1 Aprila Hana Dewi Hapsari 3 Eko Yulianto 4 Erika Indah Pratiwi 5 Faisal Firmansyah 6 Savitri Dewi Anggraeni 7 Sugiarti 8 Galih Ari Perdana 9 Iqbal Angga Kusuma 10 Latiful Mudzi Khanafi 11 Sintiya Saputri 12 Adi Nugroho Febriyanto 13 M. Alpha Teddy 14 Muhammad Ali Tamimi 15 Mustianah
Tanggal Lahir 2003-04-23 2002-07-15 2004-04-16 2000-08-20 1999-02-04 1995-02-21 2000-02-23 2001-12-22 2002-09-20 2002-03-31 2002-02-09 2001-05-22 1994-03-11 1989-05-03
Agama Alamat RT RWDesa/KelurahanKecamatan Islam Karang Pete 9 6 Kutowinangun Kec. Tingkir Islam Butuh 9 6 Krajan Kec. Tengaran Islam Pulutan Lor 3 2 Pulutan Kec. Sidorejo Islam Ngepos 1 7 Tingkir Tengah Kec. Tingkir Islam Perum Cindelaras 6 8 Karang Tengah Kec. Tuntang Islam Kadipiro 2 6 Karang Tengah Kec. Tuntang Islam Padaan 0 0 Gedangan Kec. Tuntang Islam Jl. Hasanudin No. 833 9 6 Mangunsari Kec. Sidomukti Islam Kadipurwo 4 8 Bener Kota Salatiga Islam Soka 9 7 Sidorejo Lor Kota Salatiga Islam Jl. Kendalisodo No. 13 5 6 Kalicacing Kec. Sidomukti Islam Randu Kuning 5 1 Gintang Kab. Boyolali Islam Jl. Surowijoyo II Pengilon 8 3 Mangunsari Kec. Sidomukti Islam Karang Padang 1 3 Kecandran Kec. Sidomukti
Data Peserta Didik Tunagrahita Muslim SMPLB Negeri Salatiga Tempat Lahir Salatiga Kab. Semarang Salatiga Salatiga Salatiga Semarang Yogyakarta Semarang Kab. Semarang Salatiga Salatiga Salatiga Kab. Semarang Kab. Semarang
Nama Ayah Rombel Suyono 7-C Ashani 7-C Sugiyanto 7-C Parjan 7-C Suratmin 7-C Yusmin 7-C Arif Arianto 8-C1 Giyono 8-C1 Ngatman Als. Muh8-C1 Zuhdi Giyono 8-C1 Tamdjis 9-C Suryadi 9-C 9-C1 9-C1
Sumardi
INSTRUMEN PENELITIAN I. PEDOMAN OBSERVASI A. Mengamati kegiatan anak tunagrahita yang menunjukkan proses penanaman nilai-nilai Pendidikan Islam di rumah keluarga masing-masing. B. Mengamati metode orang tua dalam memberi pegasuhan dalam rangka penanaman nilai-nilai Pendidikan Isam. C. Mengamati faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam II. PEDOMAN DOKUMENTASI A. Data siswa tunagrahita SMPLB Negeri Saatiga B. Keadaan Keluarga Siswa Tunagrahita C. Identitas Responden D. Proses Penanaman Pendidikan Islam Anak Tunagrahita III. PEDOMAN WAWANCARA A. KEPALA SEKOLAH 1.
Apa yang melatarbelakangi berdirinya SMPLB Negeri Salatiga?
2.
Kurikulum PAI apa yang diterapkan di SMPLB Negeri Salatiga?
3.
Bagaimana keadaan siswa, guru dan karyawan di SMPLB Negeri Salatiga?
4.
Bagaimana karakteristik siswa tunagrahita di SMPLB Negeri Salatiga?
5.
Nilai-nilai pendidikan Isam apa saja kah yang ditanamkan pada siswa tunagrahita
6.
Bagaimana
pelaksanaan proses penanaman nilai-nilai pendidikan
Isam pada siswa tunagrahita di SMPLB Negeri Salatiga? 7.
Bagaimana upaya pendidik dalam meningkatkan proses penanaman nilai-nilai PAI pada siswa tunagrahita dalam kehidupan sehari-hari?
8.
Faktor
apa
saja
yang menghambat
dan
mendukung dalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan Isam pada siswa tunagrahita? 9.
Apakah ada komunikasi antara pendidik dengan wali murid mengenai penanaman nilai-nilai pendidikan Isam siswa tunagrahita?
B. GURU PAI 1.
Bagaimana karakteristik siswa tunagrahita di SMPLB Negeri Salatiga?
2.
Materi apa yang ditekankan di SMPLB Negeri dalam rangka menanamkan nilai-nilai pendidikan Isam pada siswa tunagrahita?
3.
Sektor dalam penyampaian materi dalam rangka menanamkan nilainilai pendidikan Isam pada tunagrahita?
4.
Bagaimana
pelaksanaan proses penanaman nilai-nilai pendidikan
Isam pada siswa tunagrahita di SMPLB Negeri Salatiga? 5.
Metode
apa
yang
diterapkan
dalam
menanamkan
nilai-nilai
pendidikan Isam pada siswa tunagrahita? 6.
Bagaimana upaya pendidik dalam meningkatkan proses penanaman nilai-nilai PAI pada siswa tunagrahita dalam kehidupan sehari-hari?
7.
Faktor
apa
saja
yang menghambat
dan
mendukung dalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan Isam pada siswa tunagrahita?
8.
Tujuan serta hasil seperti apa yang ingin dicapai dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Isam pada anak tunagrahita?
9.
Apakah ada komunikasi antara pendidik dengan wali murid mengenai penanaman nilai-nilai pendidikan Isam siswa tunagrahita?
10. Bagaimana
solusi
guru
untuk
mengatasi
hambatan
dalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan Isam pada siswa tunagrahita?
C. ORANG TUA 1.
Identitias narasumber?
2.
Bagaimana kondisi/latarbelakang keluarga Bapak/Ibu?
3.
Bagaimana latarbelakang/faktor penyebab tungrahita pada anak Bapak/Ibu?
4.
Materi apa saja yang Bapak/Ibu terapkan dalam menanamkan nilainilai pendidikan Islam bagi anak?
5.
Bagaimana proses penanaman nilai akidah pada anak Bapak/Ibu ?
6.
Bagaimana proses penanaman nilai ibadah pada anak Bapak/Ibu ?
7.
Bagaimana proses penanaman nilai akhlak pada anak Bapak/Ibu ?
8.
Bagaimana proses penanaman nilai kemasyarakatan pada anak Bapak/Ibu ?
9.
Metode apa yang Bapak/Ibu terapkan dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak?
10. Faktor apa saja yang menghambat dan mendukung Bapak/Ibu dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak? 11. Bagaimana upaya dari Bapak/Ibu untuk meningkatkan proses penanaman nilai pendidikan Islam anak? 12. Bagaimana keterlibatan antara sekolah dan orang tua dalam upaya menanamkan niai-nilai pendidikan Islam pada anak? 13. Apa motivasi Bapak/Ibu dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak?
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Siti Mu‟asyaroh
Tempat, Tanggal Lahir
: Kab. Grobogan, 19 Juli 1995
NIM
: 111-12-237
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
Alamat
: Dusun Jaten Rt.02/03 Desa Rawoh Kec. Karangrayung Kab. Grobogan
Pendidikan SD
: SD Negeri 02 Rawoh lulus 2006
SLTP
: MTs Yasemi Karangrayung lulus 2009
SLTA
: MAN Salatiga lulus 2012
Perguruan Tinggi
: IAIN Salatiga lulus 2016
DAFTAR NILAI SKK
No
Nama
: Siti Mu‟asyaroh
NIM
: 111-12-237
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
Fakultas
: Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Tanggal
Kegiatan
Penyelenggara
Sebagai
Nilai
Jenis SKK: Sertifikat Kegiatan 1
05-07
OPAK STAIN Salatiga
September
DEMA STAIN
Peserta
3
Peserta
3
Peserta
2
Peserta
2
Peserta
2
Peserta
2
Peserta
3
Panitia
3
Salatiga
2012 2
08-09
OPAK Jurusan Tarbiyah
HMJ Tarbiyah
September
STAIN Salatiga
STAIN Salatiga
10 September
Orientasi Dasar Keislaman
CEC-ITTAQO
2012
(ODK)
STAIN Salatiga
11 September
Seminar Entrepreneurship dan
Mapala
2012
Koperasi
MITAPASA dan
2012 3
4
KSEI STAIN Salatiga 5
6
12 September
Achievment Motivation
JQH dan LDK
2012
Training
STAIN Salatiga
13 September
Library User Education
UPT Perpustakaan
2012 7
STAIN Salatiga
15 Oktober
Pendidikan dan Latihan Calon
Racana Kusuma
2012
Pramuka Pandega ke-22
Dilaga-Woro
(PLCPP XXII)
Srikandhi Pangkalan STAIN Salatiga
8
21 Desember
HARLAH Pondok Pesantren
Pondok Pesantren
9
10
2012
Edi Mancoro
Edi Mancoro
05 April 2013
Bedah Buku “Berhenti
Komunitas
Bekerja Semakin Kaya”
Pengusaha Muslim
bersama Aqua Dwipayana
Salatiga
Seminar Nasional dan Dialog
HMJ Tarbiyah &
Publik “Minimnya Pasokan
HMJ Syari‟ah
Energi dalam Negeri,
STAIN Salatiga
20 April 2013
Peserta
2
Panitia
8
4
Pembatasan Subsidi BBM, dan Peran Masyarakat dalam Penghematan Energi” 11
28 April 2013
Lomba Temu Tegak (LTT)
RACANA Yogi
Juri Lomba
ke-X Se-Eks Karisidenan
Praja Parang
Desain
Surakarta
Garuda Pangkalan
Batik
Universitas Widya Dharma Klaten 12
13
Khotmil Qur‟an Juz 30
Pondok Pesantren
Bilghoib
Edi Mancoro
03 Agustus
Amalan Ramadhan Racana
Racana Kusuma
2013
XV
Dilaga-Woro
10 Juni 203
Peserta
2
Panitia
4
Panitia
3
Panitia
4
Panitia
8
Srikandhi Pangkalan STAIN Salatiga 14
15
03 Agustus
Asramanisasi Ramadhan 1434
Pondok Pesantren
2013
H
Edi Mancoro
23 September
Pendidikan dan Latihan Calon
Racana Kusuma
2013
Pramuka Pandega ke-23
Dilaga-Woro
(PLCPP XXIII)
Srikandhi Pangkalan STAIN Salatiga
16
30 September
Sosialisasi dan Silaturahim
HMJ Tarbiyah &
2013
Nasional “Sosialisasi UU
HMJ Syariah
No.1 Th. 2013, Peran serta
STAIN Salatiga
Fungsi OJK & Peran Pemerintah dalam Pengawasan LKM (Lembaga Keuangan Mikro)” 17
06 Oktober
Temu Pramuka Penggalang
Racana Kusuma
2013
Penegak (TPPP) ke-2
Dilaga-Woro
Panitia
4
Panitia
8
4
Srikandhi Pangkalan STAIN Salatiga 18
18 November
Seminar Nasional “Guru
HMJ Tarbiyah
2013
Kreatif dalam Implementasi
STAIN Salatiga
Kurikulum 2013” 19
23 Maret
Lomba Temu Tegak (LTT)
RACANA Yogi
Juri Lomba
20014
ke-XI Se-Eks Karisidenan
Praja Parang
Sigap Ceria
Surakarta dan sekitarnya
Garuda Pangkalan
Putra
Universitas Widya Dharma Klaten 20
08 Juli 2014
Gerakan Santri Menulis
Suara Merdeka
Peserta
3
Peserta
3
Sarasehan Jurnalistik Ramadhan 2014 21
28 Agustus
Latihan Gabungan
BRIGSUS Naga
2014
(LATGAB) Ke-9 Brigade
Sandhi Pangkalan
Khusus Naga Sandhi STAIN
STAIN Salatiga &
Salatiga dan Brigade Khusus
BRIGSUS Nogo
Nogo Sosro-Sabuk Inten
Sosro-Sabuk Inten
STAIN Kudus Bersama
Pangkalan STAIN
Racana Perguruan Tinggi Se-
Kudus
Jawa
22
17 Mei 2015
Bedah Novel “Gus Dur dan
UPT Perpustakaan
Sinta”
Pondok Pesantren
Panitia
2
Enumerator
5
Pemateri
4
Peserta
8
Peserta
2
Panitia
3
Pemateri
4
Edi Mancoro 23
08 Juni 2015
Research Dissertation Entitled
Dr. Muna Erawati,
of “Student’s Academic
S.Psi, M.Si
Motivation, Perception of Parental Academic Support and Role” at Junior High Schools in Salatiga 2013 until 2014 24
10-11 Juli
Pesantren Kilat
2015
Seksi Kerohanian Islam SMK Diponegoro Salatiga
25
04 November
Seminar Nasional “Perbankan
HMJ Hukum
2015
Syari‟ah di Indonesia: antara
Ekonomi Syari‟ah
Teori dan Praktik”
Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
26
27
21 Februari
Bedah Buku “Ulama-Ulama
UPT Perpustakaan
2016
Aswaja Nusantara yag
Pondok Pesantren
Berpengaruh di Negeri Hijaz”
Edi Mancoro
Resik-Resik Dusun
Mahasiswa IAIN
07 Februari 2016
Salatiga di Dusun Kayuares Desa Ringinanom Kec. Tempuran Kab. Magelang
28
22 Februari 2016
Pelatihan Pembuatan Bros
Mahasiswa IAIN Salatiga di Dusun Kayuares Desa
Ringinanom Kec. Tempuran Kab. Magelang 29
27 Februari
Lomba TPA Tingkat Desa
Mahasiswa IAIN
2016
Ringinanom
Salatiga di Dusun
Panitia
3
Pemateri
4
Panitia
3
Panitia
3
Panitia
3
Kayuares Desa Ringinanom Kec. Tempuran Kab. Magelang 29
31 Maret 2016
Bimbingan Belajar:
Mahasiswa IAIN
Borobudur Smart Bimble
Salatiga di Dusun Kayuares Desa Ringinanom Kec. Tempuran Kab. Magelang
28
31 Maret 2016
Pelatihan Tilawatil Qur‟an
Mahasiswa IAIN
Remaja
Salatiga di Dusun Kayuares Desa Ringinanom Kec. Tempuran Kab. Magelang
29
31 Maret 2016
Pelatihan Reparasi Komputer
Mahasiswa IAIN
“Langgeng Jaya Abadi”
Salatiga di Dusun Kayuares Desa Ringinanom Kec. Tempuran Kab. Magelang
30
31 Maret 2016
Senam Minggu Pagi Ceria
Mahasiswa IAIN Salatiga di Dusun Kayuares Desa
Ringinanom Kec. Tempuran Kab. Magelang Jenis SKK : Surat Keputusan4 31
17 Januari
Surat Keputusan Ketua
2013
Jurusan Tarbiyah STAIN
4
Salatiga Nomor: Sti.036/JT.0/PP.009/001/2013 tentang Pengangkatan Pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tarbiyah STAIN Salatiga Masa Bakti 2012-2013 32
26 Agustus
Surat Keputusan Ketua
2013
Jurusan STAIN Salatiga
3
Nomor: Sti.24/JT.0/PP.009/022/2013 Tentang Pengangkatan Panitia Orientasi Perkenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK) Pada Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga 33
17 Februari
Surat Keputusan Ketua
2014
STAIN Salatiga Nomor : Sti.24/K-0/PP.00.9/439/2014 tentang Pengangkatan Pengurus Racana Kusuma Dilaga-Woro Srikandhi Gudep Kota Salatiga 02.237-
4
02.238 STAIN Salatiga Masa Bakti 2014 34
05 April 2014
Surat Keputusan Ketua
4
STAIN Salatiga Nomor: Sti.24/K0/PP.00.9/1184A/2014 Panitia dan Pemateri Gladian Pimpinan Pandega (GPP) Racana Kusuma Dilaga-Woro Srikandhi STAIN Salatiga Tahun 2014 35
22 Juli 2014
Surat Keputusan Nomor:
Pengasuh PP. Edi Mancoro dan
007/YEM/A-k/VII/2014
Pengurus Harian Yayasan Edi
penetapan Susunan Pengurus
Mancoro
Organisasi Santri PP. Edi Mancoro masa khidmat 20142015
7