4
TINJAUAN PUSTAKA Sintanur merupakan salah satu varietas padi yang dilepas pada tanggal 12 Januari 2001 oleh Balai Penelitian Padi (BALITPA) Sukamandi. Sintanur berasal dari tetua Lusi/B7136E-MR-22-1-5 (Bengawan solo). Sintanur merupakan varietas padi sawah aromatik yang dirakit oleh pemulia Adijono P., Suwito T., Suwarno, B. Kustianto, Allidawati B. S., Shagir Sama. Sintanur memiliki potensi produksi rata-rata 6 ton/ha dan memiliki sifat sedikit tahan terhadap rebah. Padi varietas sintanur memiliki sifat tahan terhadap hama wereng coklat biotipe 1 dan 2, serta peka terhadap wereng coklat biotipe 3. Selain itu varietas ini memiliki ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri strain III, peka terhadap strain IV dan VIII. Sintanur sesuai untuk sawah irigasi dataran rendah sampai ketinggian kurang dari 500 m dpl. Varietas ini termasuk ke dalam golongan padi yang memiliki bulir kecil dan umur panen pendek. Padi varietas sintanur memiliki umur 120 hari serta memiliki bentuk tanaman tegak dengan tinggi 120 cm dan memiliki banyak anakan. Varietas Sintanur memiliki daun bendera tegak. Varietas Sintanur memiliki potensi hasil yang tinggi yaitu sebesar 6-7 ton/ha gabah kering giling, sedangkan berdasarkan hasil penanaman yang pernah dilakukan di Grobogan, varietas ini mampu menghasilkan hingga 7,78 ton/ha. Tanaman ini memiliki warna batang hijau serta tidak memiliki warna pada daun telinga dan lidah daunnya. Posisi daun tanaman ini tegak sampai miring dan daun benderanya tegak, permukaan daun terasa kasar dengan warna hijau. Gabah varietas ini berbentuk medium dengan warna kuning bersih dan tingkat kerontokannya sedang. Bobot 1000 butir gabah varietas Sintanur adalah sebesar 27,4 gram. Selain itu, varietas ini memiliki ciri khusus yaitu memiliki wangi mulai saat pertanaman hingga pada nasi yang dihasilkan. Beras yang dihasilkan memiliki tekstur pulen, rasa enak dan tingkat kadar amilosa sebesar 18% (Deptan, 2001).
5
Gambar 1.
Penampilan fenotipe padi varietas Sintanur yang di tanam di lahan sawah (Deptan, 2001)
Proses pembentukan embrio pada padi memberikan gambaran ilustrasi pada tipe tanaman monokotil. Proses embriogenesis pada padi terdiri dari lima tahap yaitu: 1. Tahap zigotik. Pada tahap ini terjadi peleburan antara sel telur dengan sperma. 2. Tahap globular. Tahap ini terjadi pada 2-4 hari setelah penyerbukan. Pada tahap ini terjadi pembagian pembentukan jaringan apikal dan basal oleh sel, sehingga terbentuk embrio globular yang terdiri dari beberapa lapisan . 3. Tahap koleoptil. Tahapan ini terjadi pada hari kelima setelah penyerbukan. Pada tahap ini terjadi pembentukan koleoptil, meristem apikal tunas dan akar, serta pembentukan radicle (akar embrionik). 4. Tahap vegetatif awal. Tahapan ini terjadi pada 6-10 hari setelah penyerbukan. Meristem apikal pucuk mulai menginisiasi pembentukan beberapa daun vegetatif. 5. Tahap pendewasaan. Tahapan ini terjadi pada 11-20 hari setelah penyerbukan. Pada tahapan ini salah satu cirinya adalah benih berada pada kondisi dormansi (Taiz dan Zeiger, 2011).
6
B
A Gambar 2.
C
D
Tahapan proses pembentukan embrio pada padi. A. Tahap globular. B. Tahap koleoptil. C. Tahap vegetatif awal. D. Tahap pendewasaan (kiri-kanan) Kebutuhan Air Padi dan Tekanan Osmotik Padi
Menurut Ibrahim (2001), nilai rata-rata Eto (Evapotranspirasi potensial) di daerah Jawa Barat dan Banten adalah 6,28 mm/hari, sedangkan nilai Eto yang seharusnya terjadi di daerah tropis adalah 6,5 mm/hari. Ibrahim (2001) juga menyatakan bahwa rasio rata-rata ETo terhadap pengukuran pada lisimeter adalah 0,97. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kahowna et al. (2007), padi di daerah Pakistan membutuhkan irigasi sebanyak 4987 m3/ha untuk menghasilkan gabah sebanyak 3,257 ton/ha. Tanaman padi yang ditanam di Indonesia membutuhkan curah hujan minimal 200 mm/bulan atau sebanyak 2000 mm per tahun yang terdistribusi selama 4 bulan agar dapat tumbuh dengan baik (Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2000). Cekaman kekeringan pada padi dataran rendah varietas IR20 dan IR72 telah diteliti oleh Wopereis, Kropff, Maligaya, dan Tuong tahun 1992 dengan cara menanam padi pada pot PVC (polyvinyl chloride). Berdasarkan penelitian tersebut, titik kritis tekanan osmotik tanaman padi yang berada pada pertengahan fase pertumbuhan disaat musim kemarau berkisar antara -50 kPa (kilopascal) hingga -160 kPa. Pada musim hujan, titik kritis tekanan osmotik berkisar antara -50 kPa hingga -260 kPa (pada umur tanaman yang sama). Apabila permukaan air tanah diturunkan menjadi <-200 kPa, akan mengakibatkan penggulungan daun pada semua varietas dan perlakuan. Penggulungan daun secara penuh akan terjadi bila tekanan osmotik turun hingga -1 Mpa (megapascal) atau lebih rendah. Tanaman
7 padi bila terkena cekaman kekeringan maka akan menyebabkan penurunan luas daun serta terjadi hambatan pada produksi hijauan (daun). Selain itu, kekerigan akan menyebabkan penutupan stomata sehingga fotosintesis akan berkurang. Terhambatnya fotosintesis akan menyebabkan tanaman menjadi kerdil dan proses pembungaan akan terhambat. Selain itu, kekeringan juga mampu mengurangi jumlah malai yang terbentuk serta meningkatkan angka kematian malai sehingga jumlah bulir yang dihasilkan akan menurun (Wopereis et al., 1996).
Perakitan Varietas Tanaman melalui Mutasi Kromosom Perakitan varietas dalam pemuliaan tanaman dapat dilakukan secara konvensional maupun secara kultur in vitro. Perakitan varietas melalui pemuliaan konvensional salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan persilangan, sedangkan pemuliaan tanaman melalui kutur in vitro dapat dilakukan melalui: 1. Variasi somaklonal yang menyebabkan penyimpangan pada pembelahan sel kalus dan suspensi sel sehingga muncul sifat yang tidak tampak pada induk asalnya. 2. Mutasi dan transformasi seperti mutasi pada klorofil yang menyebabkan tanaman menjadi albino. 3. Hibridisasi somatik, dan lain-lain (Hartman et al., 1990). Perbanyakan vegetatif secara kultur jaringan dapat dilakukan dengan cara kultur
meristem,
perbanyakan
tunas
samping,
induksi
tunas
adventif,
organogenesis, embriogenesis somatik. Pemuliaan padi secara in vitro lebih banyak menggunakan teknik kultur kalus (Musa, 2008) dan perbanyakan tunas samping. Perbanyakan dengan tunas samping lebih sering digunakan karena menggunakan bahan perbanyakan yang lebih besar bila dibandingkan dengan perbanyakan dengan menggunakan jaringan meristem (Hartman et al., 1990). Sistem perbanyakan dengan menggunakan tunas samping terdiri dari empat tahapan yaitu: 1. Tahap pemantapan eksplan. Pada tahap ini eksplan diperbanyak dan ditanam pada media steril yang mengandung garam mineral, sumber energi, vitamin dan beberapa zat pengatur tumbuh bila diperlukan. Jumlah tunas yang
8 dihasilkan pada tahap ini dipengaruhi oleh dominansi apikal masing-masing tanaman. 2. Multiplikasi. Pada tahap ini tunas samping akan diperbanyak dan dipisahkan atau subkultur. Perbanyakan tunas samping dilakukan dengan mengatur konsentrasi dan rasio sitokinin terhadap auksin. 3. Pretransplanting. Tahap ini dilakukan untuk mempersiapkan tunas mikro sebelum dipindahkan dari lingkungan aseptik menuju lingkungan luar (lapang). Pada tahap ini tunas yang akan dipindahtanamkan akan diakarkan terlebih dahulu pada media yang mengandung konsentrasi auksin tinggi dan kandungan sitoknin rendah. 4. Pindah tanam dan aklimatisasi. Pada tahap ini tanaman akan mengalami pergantian kondisi dari heterotrof menjadi autotrof. Tanaman yang akan dipindahtanamkan harus memiliki tingkat kelembaban tinggi dan secara bertahap ditaruh pada kondisi lapang (Hartman, et al., 1990). Induksi mutasi pada tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan baik mutagen kimia maupun mutagen fisik. Mutagen fisik maupun kimia memiliki beberapa kekurangan dan kelebihan. Penggunaan mutagen fisik memiliki kelebihan yaitu energi penetrasi yang tinggi sehingga mampu menyebabkan mutasi pada multisel jaringan tanaman. Percobaan induksi mutasi menggunakan mutagen fisik dapat dengan mudah dilakukan percobaan ulang dengan cara yang sama bila dosis dan dosis rata-rata diketahui. Keunggulan lainnya adalah prosedur kerja yang lebih aman baik untuk peneliti maupun lingkungan dibandingkan dengan penggunaan mutagen kimia. Akan tetapi penggunaan mutagen fisik memiliki kekurangan seperti menyebabkan kerusakan pada kromosom lebih banyak dibandingkan dengan mutagen kimia. Mutasi yang disebabkan oleh mutagen fisik memiliki frekuensi mutasi lebih rendah dibandingkan dengan mutasi akibat mutagen kimia. Pada kultur in vitro, mutagen fisik juga menyebabkan terbentuknya pengaruh kimia pada media yang dapat bersifat racun bagi tanaman sehingga tanaman harus dipindahkan ke media baru (Harten, 1990). Perakitan varietas dengan mutasi fisik dapat dilakukan melalui induksi radiasi. Radiasi dapat dilakukan dengan menggunakan sinar gelombang
9 elektromagnet. Gelombang yang biasa digunakan adalah ultraviolet, sinar-x dan sinar gamma. Sinar gamma dan sinar-x memiliki energi yang cukup tinggi untuk mengionisasi atom pada molekul yang terpapar. Selain cara di atas, radiasi juga dapat terjadi secara alami. Sumber-sumber radiasi secara alami adalah: 1. Radon. 2. Radiasi dari dalam tubuh manusia. 3. Radiasi matahari dan kosmik. 4. Radiasi dari bebatuan, tanah dan air tanah (Harten, 1998). Dosis radiasi yang diterima merupakan jumlah energi yang diterima dan diserap objek dari sumber pada saat proses radiasi. Unit radiasi dinyatakan dalam beberapa satuan, yaitu: 1.
Joule.
2.
Electronvolt.
3.
Roentgen atau Röntgen (R) merupakan unit spesial lama yang digunakan untuk menyatakan kuantitas dari ionisasi yang terjadi di udara.
4.
Gray (Gy) merupakan satuan unit radiasi yang sesuai dengan standar internasional (SI), yang mana 1 Gy = 100 rad. Dosis radiasi yang diterima objek biasa dinyatakan dalam satuan Gy.min-1 atau Gy.s-1.
5.
Rad merupakan satuan lama yang digunakan untuk menyatakan dosis radiasi yang diterima. Satuan yang biasa dipakai adalah rad.s-1 atau rad.min-1 yang menyatakan jumlah radiasi yang diterima selama waktu tertentu.
6.
Sievert (Sv) merupakan satuan SI yang digunakan untuk menyatakan pengaruh biologi yang ditimbulkan oleh radiasi sebesar 1 gray bagi manusia.
7.
Rem (röntgen equivalen man) merupakan satuan unit radiasi lama yang penggunaannya serupa dengan sievert.
8.
Becquerel (Bq) merupakan satuan SI yang menyatakan aktivitas dari radionuklida atau radioaktivitas.
9.
Curie (Ci) merupakan satuan lama yang menyatakan radioaktivitas dan telah digantikan dengan Bq.
10 10. LET (Linear Energy Transfer) merupakan energi per unit perlakuan yang memberikan ukuran untuk kepadatan energi yang dikeluarkan oleh partikel selama perlakuan (radiasi). Dosis yang diterima oleh objek dipengaruhi oleh jarak antara sumber dan objek radiasi. Dosis yang diterima berbanding terbalik dengan jarak sehingga semakin besar jarak antara sumber dan objek maka radiasi yang diterima akan semakin kecil (Harten, 1998). Radiasi sinar gamma ditemukan oleh fisikawan Perancis, Henri Becquerel tahun 1896. Henri menemukan sinar gamma dipancarkan oleh radium226 yang merupakan bagian dari perombakan rantai uranium. Radiasi sinar gamma memiliki energi ionisasi yang sangat tinggi sehingga mampu menembus beberapa jenis materi termasuk jaringan tubuh manusia. Sinar gamma berbeda dengan sinar-x pada sasaran atau target ionisasi. Target radiasi sinar gamma adalah nukleus sedangkan target sinar-x adalah elektron yang melingkupi inti (nukleus) (Environmental Protection Agency, 2010). Sumber radiasi sinar gamma yang sering digunakan adalah Cessium-137, Cobalt-60 dan Technetium-99m. Cessium-137 biasa digunakan untuk pengobatan kanker, mengukur dan mengendalikan aliran cairan pada proses industri, menyelidiki jenis minyak pada sumur minyak bawah tanah, mengukur kepadatan tanah pada lokasi konstruksi, serta meastikan keakuratan isi pada pengemasan makanan, obat dan produk lain. Cobalt-60 banyak digunakan untuk sterilisasi peralatan medis, pasturisasi makanan tertentu, pengobatan kanker, dan mengukur ketebalan logam pada penggilingan baja. Technetium-99m menggunakan isotop radioaktif untuk studi diagnostik. Komposisi kimia yang berbeda digunakan untuk menggambarkan organ otak, tulang, hati, limpa, ginjal dan aliran darah (Environmental Protection Agency, 2010). Tingkat efektivitas radiasi yang diterima tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi tingkat efektivitas radiasi adalah sensitivitas objek yang akan diiradiasi. Sebagai contoh, tanaman berkayu lebih sensitif 2-2,5 kali dibandingkan tanaman semak. Faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat efektivitas radiasi adalah oksigen,
11 kandungan air, kondisi selama penyimpanan setelah radiasi dan temperatur (Harten, 1998). Iradiasi sinar gamma pada wasabi menurunkan kemampuan regenerasi eksplan. Semakin tinggi dosis maka kemampuan regenerasi semakin menurun. (Hung dan Johnson, 2008).
Polyethylene Glycol (PEG) sebagai Agen Seleksi Ketahanan Kekeringan Polyethylene glycol (PEG) digunakan dalam bidang pertanian untuk menyeleksi tanaman yang tahan cekaman kekeringan, karena tidak semua somaklonal hasil kultur jaringan tahan terhadap kekeringan (Bouslama, 1984). PEG merupakan polimer hasil kondensasi dari oksida etilen dan air yang memiliki rumus kimia H(OCH2CH2)nOH. Nilai n pada rumus kimia polietilen berkisar antara 4 hingga 180. Polimer yang memiliki nilai n=2 (dietilen glikol) hingga n=4 (tetraetilen glikol) dapat terbentuk secara alami. Polimer yang memiliki berat molekul (BM) lebih rendah dari 700 memiliki sifat tidak berwarna, tidak berbau, berwujud cair dengan titk beku -100C (dietilen glikol). Sementara untuk polimer yang memiliki BM lebih dari 1000 memiliki bentuk padat di suhu ruang dan memiliki titik leleh tertinggi 670C (untuk polietilen dengan n=180). Polyethylene glycol dapat larut dalam air dan beberapa pelarut organik termasuk hidrokarbon aromatik (non alifatik). Polyethylene glycol juga memiliki sifat tidak beracun, tidak berbau, tidak bereaksi dengan senyawa lain (netral), non volatil dan tidak menyebabkan iritasi (Chemicalland, 2010). Cekaman lingkungan dapat memberikan pengaruh fisiologi dan biokimia yang berbeda-beda pada tanaman. Pengaruh yang diterima pada tanaman bergantung pada mekanisme metabolisme masing-masing tanaman. Respon tanaman padi terhadap cekaman kekeringan adalah dengan cara memproduksi sitotoksik ROS (reactive oxygen species) seperti superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2) dan gugus hidroksi
(OH-). Ketiga molekul tersebut dapat
mengganggu metabolisme normal yang nantinya akan mengkibatkan hilangnya klorofil, peroksidasi pada membran lipid, karboksilasi protein dan menonaktifkan enzim yang mengandung gugus –SH. Selain menghasilkan senyawa di atas, ROS juga memproduksi antioksidan (unsur nonenzimatis) untuk detoksifikasi seperti
12 tocopherols, antosianin, flavonoid, karotenoid. ROS juga memproduksi enzim seperti SOD (superoxide dismutase) yang merubah superoksida menjadi peroksida dan air, katalase (mengubah H2O2 menjadi air dan oksigen), GPX (guaiacol peroxidase), ascorbate peroksidase dan glutathione reductase. Berdasarkan penelitian Basu et. al. (2010), beberapa varietas padi yang diberi perlakuan induksi kekeringan akan memiliki klorofil lebih rendah dibandingkan pada kondisi normal. Selain itu, produksi peroksida pada tanaman padi yang mengalami induksi kekeringan akan meningkat, hal yang sama juga terjadi pada pembentukan senyawa MDA (Malondialdehyde), LOX (Lipoxygenase) dan senyawa oksida. Akan tetapi, induksi cekaman kekeringan pada tanaman padi akan meningkatkan sintesis senyawa antosianin, flavonoid dan fenolik. Berdasarkan penelitian Husni, Kosmiatin dan Mariska (2006), induksi cekaman kekeringan pada tanaman kedelai dapat dilakukan dengan menambahkan PEG ke dalam media tanam dengan konsentrasi 10%-30%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan tunas pada eksplan kedelai akan menurun seiring dengan kenaikan konsentrasi PEG. Pemberian induksi cekaman pada tanaman padi juga telah dilakukan oleh Biswas et al. (2001) dengan cara menambahkan PEG sebanyak 5 g/l hingga 15 g/l ke dalam media tanam Murashige dan Skoog (MS). Induksi cekaman kekeringan telah dilakukan pula oleh Lestari dan Mariska (2005) pada beberapa jenis padi ladang (gogo), yaitu dengan memberikan PEG dengan konsentrasi 10% (-1,9 bar) hingga 20% (-6,7 bar) pada media pada saat mengecambahkan benih. Berdasarkan hasil penelitian Musa (2008), induksi cekaman kekeringan pada tanaman tebu dapat dilakukan dengan memberikan 10 g/l hingga 20 g/l PEG.