*Kolom IBRAHIM ISA Sabtu, 16 Maret 2013 -----------------------------*
*PEMUTARAN PERDANA “THE ACT OF KILLING” Di LONDON” * Maret 2013, adalah peiode yang sarat dengan acara sekitar *Peristiwa 1965*. Reaksi yang telah melihatnya adalah positif; ada juga yang terkejut, marah, atau reaktif-negatif. Perkembangan perhatian masyarakat dalam dan luar negeri terhadap Peristiwa 1965 semakin menonjol. Jelas fokusnya. Bukan lagi cerita-cerita sekitar krisis ekonomi Indonesia pada periode itu. Juga bukan demo-demo anti-Presiden Sukarno oleh organisasi pemuda-pelajar KAMI dan KAPPI dengan dukungan militer. Fokus dewasa ini dan perhatian umumnya tertuju pada GENOSIDA di sekitar Peristiwa 1965. Pembunuhan masal ekstra-judisial oleh penguasa militer Indonesia beserta para pendukungnya dari kalangan sipil dan kolabarator mereka di pelbagai parpol. *** Jumlah korban dalam Peristiwa 1965 jauh melebihi genosida yang terjadi, misalnya di Kambodja. Namun, ketika itu media mancanegara Barat, -- di satu fihak mengangkat dan memfokuskan perhatian pada pelanggaran HAM di Kambodja. Tapi bngkam terhadap apa yang terjadi di Indonesia ketika terjadi pembantaian masal oleh Jendral Suharto dan kawan-kawannya, terhadap warga yang tidak bersalah. Mengapa bisa terjadi yang demikian? Banyak pendapat tidak keliru memahaminya. Tidak salah mengatakan bahwa media Barat menggunakan DUA UKURAN melihat apa yang terjadi di depan matanya. Mereka beranggap bahwa di Kambodja yang menjadi pelaku genosida adalah sebuah rezim Komunis. Yang mereka haramkan! Sedangkan dalam Peristiwa 1965, KORBANNYA ADALAH KOMUNIS dan yang dituduh Komunis -- SEDANG PALAKUNYA adalah militer dan pendukungnya, yang ANTI-KOMUNIS. Yang mereka dukung dan bantu, secara politik, materil, finansil, ekonomi dan senjata.! Mereka berpendirian membunuh sebanyak mungkin Komunis dan
simpatisannya, adalah sesuatu yang wajar dan keharusan!! Jangan heran bila menemukan bahwa sampai dewasa ini tidak sedikit orang di Indonesia terutama elite dan kalangan berkuasa militer dan sipil , dimana rezim otoriter Orba sudah diakhiri, namun, masih punya pendirian seperti itu. Sekarang memandang dengan dua ukuran seperti tsb di atas, -- rupanya sudah mulai ditinggalkan. Mudah-mudahan! Dewasa ini tampaknya *Fokusnya dalah pada pelanggara HAM yang dilakukan dimana terlibat aparat keamanan negara.* Fokusnya mulai pada *MENGUNGKAPKAN memberlakukan keadilan bagi korban!* ** * **
FAKTA!
Mengungkap
pelaku
dan
Film "The Act of Killing" adalah salah satu usaha positif untuk MENGUNGKAP FAKTA! Film dokumenter ini telah diputar di Canada, Amerika, Berlin, Stsockholm, dll tempat. Masih akan diputar di Den Haag, Amsterdam, Diemen, Leiden, dan tempat-tempat lainnya. Di Indonesia sudah juga diputar di beberapa kota dan lingkungan. Sambutan publik luar biasa! *Lampiran:* *Joshua Oppenheimer:* -- *"Kami sudah memulai proyek ini sekitar satu dekade lalu* –- *Setiap merekam gambar selalu didatangi polisi, tentara, maupun pejabat* *pemerintah lokal"* *Anwar Congo belakangan mengatakan dia merasa tertipu oleh Joshua. Joshua membantah tuduhan itu -- Semua pengambilan gambar diambil secara terbuka dengan sepengetahuan peserta film* *** **Pemutaran perdana The Act of Killing di London** < menggunakan gaya bercerita film di dalam film> BBC - 15 Maret 2013 - 19:45 WIB The Act of Killing Menggunakan teknik bercerita film dalam film untuk pembunuhan masa 1965. Film dokumenter yang kontroversial tentang Indonesa, The Act of Killing, mulai ditayangkan di Inggris dengan pemutaran perdana di Universitas Westminster, London.
Sekitar 200 penonton -sebagian kecil di antaranya warga Indonesia- memadati gedung teater universitas yang dijadikan tempat pemutaran film yang mengangkat pembunuhan pada masa pemberantasan Komunis Indonesia tahun 1965. Saat mengantarkan filmnya, sutradara Joshua Oppenheimer -yang lancar berbahasa Indonesia- mengatakan film dimaksudkan untuk membuka kebisuan tentang pembunuhan atas orang-orang yang dituduh anggota maupun pendukung PKI. "Kalau kami tidak memfilmkannya, maka para korban akan meninggal dan tidak pernah akan terungkap kekerasan tersebut," tutur Joshua di depan panggung, Kamis 14 Maret malam waktu London. Setelah pemutaran perdana, //The Act of Killing// juga akan diputar di Goldsmith University, London tenggara, dan Curzon Soho, bioskop di pusat kota London yang sering menayangkan film-film alternatif dan dokumenter. Diskusi dengan pegiat HAM --"Saya mengucapkan terima kasih kepada semua awak di Indonesia yang tidak bisa saya sebutkan namanya." Di Universitas Westminser, yang ditayangkan adalah versi lengkap dengan durasi 157 menit, jauh lebih panjang dari versi untuk khalayak umum berdurasi 115 menit. "Kami sudah memulai proyek ini sekitar satu dekade lalu namun setiap merekam gambar selalu didatangi polisi, tentara, maupun pejabat pemerintah lokal," tambah Joshua. Dia kemudian berdiskusi dengan para pegiat hak asasi manusia dan memutuskan untuk meneruskannya dengan memusatkan perhatian pada pelaku pembunuhan. "Seseorang dari pegiat HAM itu mengatakan harus bisa." Dngan bantuan para awak Indonesia -yang dirahasiakan namanya sebagai //anonymous// dalam kredit film- Joshua membuatnya dengan lokasi di Medan, perkebunan Sumatera Utara, maupun di Jakarta. Kisahnya didasarkan pada pengakuan Anwar Congo dan beberapa orang lain yang terlibat dalam pembunuhan massal itu. Joshua Oppenheimer membuat filmnya di Medan dan perkebunan Sumatera Utara. "Saya mengucapkan terima kasih kepada semua awak di Indonesia yang tidak bisa saya sebutkan namanya."
Rekonstruksi pembunuhan //The act of Killing// -yang diproduksi tahun 2012menggunakan gaya bercerita film di dalam film. Tokoh Anwar Congo -yang memerankan diri sendiri dan mengaku sebagai preman Medanmencoba merekonstruksi pembunuhan yang dia lakukan setelah 30 September 1965.Rekaman rekonstruksi dilengkapi dengan wawancara para pemain maupun adegan mengikuti kehidupan sehari-hari mereka, antara lain ketika Anwar memberi makan bebek bersama kedua cucunya. Saat merekonstruksi pembunuhan, Anwar dibantu dengan beberapa temannya, antara lain Herman Koto, Ibrahim Sinik, maupun Adi Zulkadry. Beberapa pemimpin maupun anggota organisasi Pemuda Pancasila juga muncul dalam film ini, seperti Yapto Soerjosoemarno. Anwar Congo -seperti dilaporkan berbagai media di Indonesia- belakangan mengatakan dia merasa tertipu oleh Joshua. Namun Joshua membantah tuduhan itu dengan alasan semua pengambilan gambar diambil secara terbuka dengan sepengetahuan peserta film. *
*
*
Kesan D. Lusi Setelah melihat film “The Act Of Killing” Para sahabat yb. Setelah melihat film "The Act of Killing" yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer, betul-betul bisa kita gambarkan dengan nyata betapa kekejaman dan kengerian yang menimpa para korban dan rakyat yang tidak tahu-menahu di tanahair kita - Indonesia pada tahun-tahun 1965-an. Yang digambarkan si jagal itu baru yang terjadi di Medan. Jangan lupa kejadian ini tidak hanya di Sumatra Utara, namun meliputi seluruh wilayah Indonesia, apakah di Jawa Tengah, di Jawa Timur, di Bali maupun di wilayah tanah air lainnya. Berdasarkan pengakuan Jendral Sarwo Edi yang memimpin pelaksanaan penjagalan ini telah memakan korban sampai tiga juta orang. Semua perbuatan itu adalah atas perintah Jendral fasis Soeharto. Joshua juga menjelaskan bahwa si pelaku yang di Medan itu senantiasa
berhubungan dengan perwakilan US di Medan. Berikut saya turunkan terjemahan dari bahasa Jerman wawancara Joshua Oppenheimer dengan Anett Keller yang di muat dalam majalah Der Spiegel 17.03.2013 yang lalu. Dari tanya-jawab pada wawancara ini bisa kita ikuti betapa luarbiasa sadisnya perbuatan si jagal-jagal itu. Dan jangan dilupakan, klas penguasa sekarang ini adalah juga satu klas dengan pelaku sadisme ini. Masihkah kita diam seribu basa di tengah-tengah pesta-pora kanibalisme ini? Salam Lusi.-
Wawancara dengan Anett Keller: Doku "The Act of Killing": “Kita menjadi tamu suatu pesta-pora kanibalisme“ Bagaimana orang membunuh manusia? Dengan Film Dokumentasi "The Act of Killing" pada Festival-film Berlinale mantan paramiliter dari Indonesia membanggakan pembunuhan massal di tahun enam puluhan. Sutradara Joshua Oppenheimer menjelaskan dalam wawancara, mengapa kita semua jauh lebih dekat pada pembunuh itu dibanding dengan yang kita sangka? SPIEGEL ONLINE: Tuan Oppenheimer, film Anda "The Act of Killing" menceritakan tentang kelompok paramiliter Pemuda Pancasila di Indonesia, yang setelah terjadinya kudeta Jendral Suharto 1965 ikut melakukan pembunuhan antara limaratus ribu sampai tiga juta manusia, suatu skala pembunuhan massal yang sampai hari ini tidak pernah dibenahi. Bagaimana di depan kamera para pembunuh yang lalu itu bisa membangga-banggakan diri mereka dengan perbuatannya itu. Bagaimana itu bisa terjadi? Oppenheimer: Setelah terjadi pembunuhan massal, orang-orang itu masih tetap berada pada posisi sebagai penguasa. Tetap masih ada sejumlah besar orang yang memandang mereka sebagai pahlawan. Kebanggaan mereka mempunyai tiga alasan. Pertama: Mengurangi perasaan bersalah. Kedua: Membantu menakut-nakuti masyarakat diluar itu terutama bagi mereka yang terhindar dari pembunuhan untuk membungkam mulut mereka. Ketiga: Mitos kepahlawan dijadikan dasar untuk menulis sejarah yang terlepas dari masalah moral, karena para pembunuh
massal itu menikmati privilese. Pembunuhan massal dirayakan bagaikan sesuatu yang mengandung mitos kepahlawanan dan menjadi alasan kebal hukum. SPIEGEL ONLINE: Bagaimana Anda telah berhasil mendekati para tokoh utamanya? Apakah mereka tidak tahu, kalau dalam film Anda mereka itu tidak bisa melepaskan diri sebagai manusia yang tidak baik? Oppenheimer: Ketika saya bertemu mereka, mereka menekankan, kalau mereka dielu-elukan orang sebagai pahlawan. Mereka beranggapan, bahwa saya berada di pihak mereka. Bagaimanapun USA telah mendukung pembunuhan massal setelah kudeta militer melawan kaum komunis pada tahun 1965. Teman-teman dan tokoh pimpinan saya selama terjadinya pembunuhan mandi darah itu, selalu mengadakan hubungan secara teratur dengan Konsulat US di Medan. Mereka beranggapan, bahwa sebagai pembuat film dari US-Amerika, mestinya saya memihak kepada mereka. SPIEGEL ONLINE: Anda mempersilahkan tokoh utamanya menampilkan kembali perbuatan mereka. Apakah yang menjadi tantangan terbesar bagi Anda selama pembuatan film? Oppenheimer: Menekan rasa kengerian. Saya dibesarkan di lingkungan suatu keluarga, yang banyak kehilangan anggota keluarganya melalui peristiwa Holocaus. Keluarga ayah saya datang dari Berlin dan Frankfurt, famili fihak ibu tiri dari Wina. Sedangkan keluarga, yang tidak berhasil ke USA, sebagian besar dibunuh. Bagi saya, pandangan politik dan moral terpenting selama periode pendewasaan: „Bagaimana kita bisa menghindarkan, hal semacam ini tidak terulang?“ Di kalangan umat Yahudi mantra "tidak akan terulang" terlalu sering dibatasi menjadi hal "tidak akan terulang pada kita" SPIEGEL ONLINE: Persisnya apa yang Anda maksud? Oppenheimer: Apabila kita betul bersungguh-sungguh dengan "Tidak akan terulang", artinya yang kita maksud adalah „Tidak akan terulang pada siapapun“. Untuk itu kita harus mengerti, mengapa insan manusia saling melakukan sesuatu terhadap yang lain. Adalah suatu tantangan untuk mengakui, bahwa pelakunya adalah manusia juga, kalau tokh kita dikonfrontasi dengan pelaku kekerasan yang paling ganaspun. Hitler itu bukannya belum berpengalaman, bukan bersisik-melik dan tidak punya gigi tajam. Dia adalah suatu machluk manusia. Kita cenderung untuk
menstempel dia sebagai raksasa yang mengerikan. Namun kalau kita beranggapan demikian, kita memastikan diri, bahwa kita tidak seperti dia. Kendati dengan kekejamannya, bagaimanapun pelaku utama saya yang memperagakan perbuatannya di depan kamera, selalu dipandang sebagai manusia, disinilah yang menjadi tantangan terberat bagi saya. SPIEGEL ONLINE: Dari sudut pandang Anda, berhasilkah itu? Oppenheimer: Bagi pemirsa Indonesia yang melihat film kami, telah menimbulkan pertanyaan yang mendalam mengenai masyarakat mereka. Apa yang telah terjadi di Indonesia itu merupakan suatu metafora atas kekebalan hukum dimanapun di dunia, termasuk tanahair saya sendiri. Kita masih beranggapan, bahwa sebagian besar kejahatan terhadap kemanusiaan – seperti di Ruanda, Kamboja atau Jerman – telah ditebus. Bahwa suatu perubahan total kekuasaan menuju ke pemerintahan baru, yang menafsirkan pembunuhan itu salah. Tetapi pesan yang lebih dalam dari film, bahwa Ruanda, Kamboja dan Jerman sesungguhnya merupakan perkecualian dari hukum. Semua masyarakat dibangun oleh kekuasaan massa. Amerika, Britania Raya, Belanda, Rusia, Tiongkok. Pada umumnya si pelaku tidak dituntut untuk bertanggungjawab. SPIEGEL ONLINE: Mengapa Anda tidak membuat film tentang para korban? Oppenheimer: Karena kami lebih dekat dengan si pelaku saat kami ingin memperkenalkan diri. Tentu saja sejarah mereka yang masih hidup sangatlah penting. Dalam film kami yang berikutnya, saya akan membuat dokumentasi perjuangan satu keluarga yang berusaha menggugat, mengapa si pembunuh anak lelaki mereka tidak dihukum. SPIEGEL ONLINE: Namun demikian Anda sekarang betul-betul dengan si pelaku... Oppenheimer: Sampai sekarang film-film dokumenter memusatkan pada para korban, karena mereka ingin menunjukkan kepada kita, bahwa sikap moral dan politik kita dekat dengan para korban. Tetapi setiap hari saya menulis di suatu computer yang dibuat di suatu pabrik, yang syarat-syarat hidup kaum buruhnya jelek, bahwa di balkon asrama tempat tinggal mereka ada jerat, yang melindungi loncatan ke kematian. Dan syarat-syarat mereka begitu jelek, karena ada orang-orang semacam paramiliter yang saya tampilkan itu yang mengancam mereka dengan paksa, manakala mereka ingin berjuang untuk perbaikan nasibnya.
SPIEGEL ONLINE: Tapi apa artinya buat kita? Oppenheimer: Kita semua ini adalah tamu di suatu pesta pora kanibalisme. Dan kita menyadarinya karena itu kita merasa bersalah, namun demikian kita masih terus saja melakukannya, hidup, belanja, melahapnya. Bukankah kita lebih dekat dengan pelaku dari pada yang kita sangka?