REPRESENTASI KEKERASAN NEGARA DALAM FILM THE ACT OF KILLING Manshur Zikri dan Muhammad Irvan Olii 1. Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2. Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
E-mail:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas representasi kekerasan negara di dalam sebuah film. Peneliti menggunakan teori Estetika Kejahatan Michelle Brown dengan perspektif kriminologi kultural, dipadukan dengan teori kejahatan dan kekerasan negara. Metodologi penelitian ini adalah analisis isi film yang didukung dengan data tanggapan 100 orang responden, yang kemudian digunakan dalam analisa wacana secara kontekstual. Penelitian ini menemukan sembilan adegan yang memiliki unsur representasi kekerasan negara di dalam The Act of Killing, serta mengajukan argumentasi bahwa produksi makna yang terjadi pada proses interaksi film dengan penontonnya menghasilkan pergeseran konsepsi mengenai kekerasan negara. Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat sublimasi pada film terkait wacana kekuasaan dan kekerasan yang merasuk dan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat kontemporer, khususnya di Indonesia.
Representation of state violence in The Act of Killing Abstract It discusses the representation of state violence in a film. I used the Aesthetics of Crime theory of Michelle Brown through the cultural criminology perspective, combined with the theory of state crimes and violences. I used the content analysis methodology toward the film which were supported by data from the responses of 100 respondents, which was then used in contextual discourse analysis. This study found nine scenes that had elements of representation of state violence in The Act of Killing, and argued that the production of meaning that occurs in the interaction between film and audiences produced a shift in the conception of state violence. This study concluded that there was a sublimation in the film related to the discourse of the power and violence that emerge and govern the contemporary social life.
Keywords: film, representation, state violence, aesthetics of crime, postmodern, criminology
PENDAHULUAN Peristiwa pembantaian massal yang terjadi sepanjang tahun 1965-1966 adalah salah satu sejarah yang kebenarannya masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Peristiwa tersebut hilang dari buku teks sejarah dan diskusi politik selama rezim Orde Baru (ORBA) berkuasa (Heryanto, 2012). Namun demikian, banyak kaum intelektual dan para aktivis sosial yang tanpa henti mencoba menggali kebenaran dari peristiwa itu, terutama ketika rezim 1
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
otoriter dan diktator itu tumbang pada Reformasi 1998. Gerakan ini muncul dari organisasi kemasyarakatan, lembaga non pemerintah, dan komunitas, yang bergerak di bidang sosial dan kebudayaan. Mereka menghasilkan berbagai produk pengetahuan yang mengoreksi sejarah versi ORBA, seperti buku, karya-karya ilmiah, dan karya-karya seni. Karya-karya ini berusaha melakukan penggambaran atau pendeskripsian ulang tentang peristiwa yang sesungguhnya terjadi pada kisaran tahun 1965-1966. Pada kandungan isi serta proses sosialisasai dan distribusi karya-karya kritis tersebut, agenda yang diutamakan ialah rekonsiliasi dan pengadilan bagi para pelaku kekerasan massal dan pelanggaran HAM berat (Tempo, 2012), dengan mengedepankan sudut pandang korban. Di tahun 2012, sebuah film dokumenter berjudul The Act of Killing (2012), atau Jagal (versi Bahasa Indonesia), karya Joshua Oppenheimer, dengan produser Signe Byrge Sørensen1, menghadirkan kritik terhadap ORBA melalui perspektif yang berbeda dengan film-film kritis sebelumnya. Film ini berlatarkan pada situasi masyarakat di Medan, Sumatera Utara, pasca Reformasi 1998, dan bercerita tentang pengungkapan peristiwa pembantaian massal 1965-1966 melalui perspektif dari orang-orang yang melakukan (dengan tangan mereka sendiri) tindakan kejahatan pembantaian dan kekerasan tersebut. Sebagian besar cerita dokumenter di dalam film ini adalah pengakuan dari seorang preman senior bernama Anwar Congo beserta teman-temannya, tentang pengalaman-pengalaman mereka melakukan penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang atau kelompok yang dituduh komunis atau yang pernah berhubungan dengan PKI. Film The Act of Killing menuai pendapat yang bersifat pro dan kontra. Pihak yang kontra melihat bahwa yang dilakukan Joshua Oppenheimer merupakan tindakan yang merusak nama dan citra baik kelompok tertentu. Aksi protes atau tindakan pencegahan penyelenggaraan pemutaran film tersebut oleh massa PP atau aparat kepolisian juga sempat terjadi di beberapa kota, seperti yang terjadi di Kota Blitar (Pribadi, 2013), Kabupaten Banyumas (Iswinarno, 2013) dan Kota Bogor (Haryudi, 2013). Bahkan, reaksi penolakan terhadap film ini juga berujung pada usaha-usaha pemblokiran website resmi dari film tersebut, yakni http://theactofkilling.com/ (Suryadhi, 2013).2 1
Pada credit title film The Act of Killing, disebutkan bahwa film ini merupakan hasil kerja kolaborasi antara Joshua Oppenheimer (sutradara), Christine Cynn (ko-‐sutradara) dan Anonymous (ko-‐sutradara). Lihat catatan tentang “Kredit” di halaman Facebook Fan Page Jagal (The Act of Killing), diakses dari https://www.facebook.com/notes/jagal-‐the-‐act-‐of-‐killing/kredit/236659263123906, tanggal 6 Maret 2013, 16:01 WIB. 2 Hingga penelitian ini ditulis, penulis menemukan bahwa website resmi film tersebut, http://theactofkilling.com/ sulit diakses di Indonesia. Perkembangan pemberitaan oleh pers atau pemuatan artikel-‐artikel tentang film tersebut yang sebelumnya dimuat dalam website, sebagian besar dialihkan oleh kru
2
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
Meskipun berada ditengah banyak kecaman, di sisi lain, film ini mendapat sambutan kritik yang positif, dan sudah diputar di berbagai forum dan festival film internasional. Beberapa kritikus menyatakan bahwa film The Act of Killing mengobrak-abrik penggambaran universal tentang kejahatan, tentang tindakan yang dikonstruksi oleh kekuasaan dan penguasa, dan menjadi representasi dari realitas tentang pemerintahan modern yang penuh dengan korupsi dan kecurangan sehari-hari (Hoffman, 2012; Kohn, 2012; Landis, 2012; Nayman, 2012; O'Brien, 2013; Schaer, 2013). Film dokumenter kontroversial The Act of Killing memiliki potensi yang cukup besar untuk dikaji dari perspektif kriminologi, khususnya tentang topik kejahatan yang dilakukan oleh negara. Penelitian ini bermaksud menelaah bagaimana bentuk representasi kekerasan negara di dalam film The Act of Killing, dan daya cerna penontonnya, serta bentuk produksi makna yang dihasilkan dari proses interaksi antara film dan penonton tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemaparan yang lengkap dan menyeluruh mengenai makna kejahatan melalui representasi kekerasan negara yang terdapat pada film The Act of Killing dalam konteks sosiokultural masyarakat Indonesia saat ini.
TINJAUAN TEORETIK DAN PENELITIAN SEBELUMNYA Estetika Kejahatan Konsep teoretik mengenai estetika kejahatan (aesthetics of crime), yang dirumuskan oleh Michelle Brown (2006), merujuk pada perkembangan pemikiran mengenai studi kejahatan dalam bentuk representasi di media, khususnya film. Menurut Brown, ‘tontonan kejahatan’ (the spectacle of crime) yang biasanya ditandai dengan hukuman (pidana), dihapuskan dalam praktek, diterjemahkan ke dalam sebuah estetika dan metafisika yang secara gaib (tak terlihat) terputus dari aktualitas kejahatan itu sendiri. Dengan kata lain, hukuman dan kejahatan akan dipindahkan ke ranah representasi dan mediasi, dan hal ini akan mengungkap pengadaan transportasi makna tentang kejahatan ke ranah citra (Arrigo & Williams, 2006). Dalam perspektif kriminologi budaya, pemahaman atas ‘representasi yang termediasi dari kejahatan’ (mediated representation of crime) tidak terbatas pada persoalan tentang pengaruh-pengaruhnya terhadap perilaku individu dan kolektif, tetapi juga hubungannya The Act of Killing ke halaman Note di Facebook Fan Page Jagal (The Act of Killing). Lihat https://www.facebook.com/notes/jagal-‐the-‐act-‐of-‐killing/. Namun, ketika penulis mencoba mengkases kembali website tersebut pada September 2013, website tersebut sudah berfungsi baik seperti sedia kala.
3
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
dengan kekuasaan (power), dominasi (domination) dan ketidakadilan (injustice) (Ferrell, Hayward, & Young, 2008). Representasi, dengan kata lain, bukanlah sekedar perwakilan atas realitas, tetapi juga bagian dari sirkulasi dan hubungan kekuasaan yang melingkunginya. Sementara itu, Stuart Hall mendefinisikan representasi sebagai penciptaan atau produksi makna dari konsep-konsep di dalam benak melalui bahasa (sebagai teks), suatu mata rantai yang menghubungkan konsep-konsep dan bahasa, yang memungkinkan kita untuk mengacu ke dunia ‘nyata’ dari objek-objek, orang atau peristiwa-peristiwa, atau ke dunia imajiner dari objek-objek, orang atau peristiwa-peristiwa yang khayali (Hall, 2003). Dalam konsep estetika kejahatan, Brown (2006) menjelaskan bahwa “akumulasi pemaksaan disiplin mengakibatkan kemunculan kejahatan yang merembes tanpa henti di semua celah yang ada, meskipun dengan cara-cara yang terputus dari sumber-sumbernya, dalam artian, merajalela dalam citra-citra” (hlm. 232). Estetika kejahatan, dengan kata lain, ialah ‘bahasa’ dari segala hal yang melanggar atau melampaui norma-norma atau nilai-nilai yang ada (language of the transgressive). Estetika kejahatan bekerja dalam sebuah paradoks, di mana kejahatan itu sendiri sebagai transgresi tidak berkenaan dengan batasan antara hitam dan putih, melainkan sebagai hal-hal yang hubungannya membentuk spiral. Mengutip Alison Young (1996), Brown menyebutkan bahwa dikotomi antara dunia yang ‘riil’ dan dunia yang bersifat ‘representasi’ telah kabur. Brown menyebutkan: “…dalam kebingungan ‘substansi’ dan ‘kemiripan’, kejahatan menjadi paling dapat diakses melalui imajinasi…” (Brown, 2006, hlm. 233). Produk-produk budaya (produk massal) tidak lepas dari proses diskursus (sistem representasi). Film, salah satunya, mengekspresikan formula aesthetics of crime di dalam struktur-strukturnya.3 Pada film, terdapat sebuah pemecahan dalam pengetahuan yang menyajikan manifestasi dengan pemberitahuan tertentu mengenai sifat-sifat, kemungkinankemungkinan dan asosiasi-asosiasi dari kejahatan dan penghukuman (Brown, 2006). Sebagaimana asumsi Brown tentang kategori kriminalitas yang berfungsi sebagai “sebuah tempat untuk menyembunyikan sesuatu”, tetapi dapat secara simultan “menginspirasi wacanawacana politis baru”, menjadikannya sebagai sesuatu yang sublim (halus dan cerdik). Peneliti berasumsi bahwa pembongkaran terhadap proses diskursus tentang kekerasan negara dalam film The Act of Killing dapat dilakukan dengan “menaruh perhatian pada pembiasan
3
Dalam mengemukakan pemikirannya itu, Brown mengambil contoh Film The Silence of the Lambs dalam memperdebatkan polemik identitas yang berkaitan dengan orientasi gender, sehubungan dengan budaya kekerasan di Amerika (Lihat Brown, 2006: 251)
4
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
komunikasi kultural (obscuring of cultural communication) dan proses struktural.” (Brown, 2006). Kekerasan Negara Kekerasan (violence), menurut Gail Mason (2002) merupakan sebuah perilaku yang bersifat menindas (oppressive), di mana ‘opresi’ merujuk pada “bentuk tidak adil dari dominasi atau subordinasi yang beroperasi dengan menekan kelompok-kelompok individu melalui cara yang menimbulkan kerugian dan pembatasan-pembatasan yang tak diinginkan.” (Mason, hlm. 121). Dalam konsep kekuasaan (power), kekerasan (violence) adalah sebuah praktek produktif, karena kekuasaan itu sendiri, pada dasarnya, adalah proses yang bersifat produktif. Berangkat dari pemikiran Foucault tentang konsep kekuasaan, Mason mendefinisikan kekuasaan sebagai “sebuah hubungan antara kekuatan-kekuatan (forces) yang konstitutif dari posisi-posisi subjek tertentu dan kesadaran diri yang diperoleh dalam negosiasi-negosiasi dari posisi-posisi tersebut,” (ibid., hlm. 123). Green dan Ward (2004) menjelaskan bahwa negara (state) memiliki karakteristik, yakni klaim atas hak untuk melakukan hal-hal yang jika dilakukan oleh orang-orang maka akan dianggap sebagai tindakan kekerasan dan pemerasan. Monopoli yang dimiliki oleh negara dapat menekan kelompok-kelompok individu dalam ruang lingkup teritorialnya melalui seperangkat alat atau institusi yang bersifat koersif. Menurut Green dan Ward tersebut, masyarakat sipil (rakyat) juga memiliki peran penting dalam menilai aspek legitimasi yang dimiliki oleh negara. Jika aspek legitimasi yang dimiliki oleh negara itu diterapkan secara salah oleh negara, terutama dalam pelanggaran hak asasi manusia, masyarakat sipil dapat mencap tindakan tersebut sebagai penyimpangan. (Green & Ward, 2004, hlm. 2-4). Menggabungkan definisi dari Mason dan Green dan Ward, peneliti berpendapat bahwa kekerasan negara (state violence) adalah tindakan negara yang menyimpang dari aturanaturan dan keyakinan bersama, dilakukan secara organisasional dan bersifat koersif, serta bertentangan dengan asas-asas hak asasi manusia. Beberapa bentuk tindakan negara yang merujuk pada pengertian di atas ialah terror, torture, dan genocide. Teror, dalam pengertian ini, ialah kekerasan negara yang berhubungan dengan aktivitas klandestin (death squad) yang didefinisikan sebagai kelompok yang “melaksanakan eksekusi di luar hukum dan tindakan kekerasan lainnya terhadap kelompok atau individu tertentu,” (Campbell, 2000, hlm. 1-2). Klandestin didefinisikan juga sebagai sebuah operasi 5
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
yang disponsori atau dilakukan oleh departemen atau lembaga pemerintah sedemikian rupa untuk menjamin kerahasiaan atau penyembunyian. (JP1-02, Department of Defense Dictionary of Military and Associated., 2007). Selain itu, Green dan Ward (2004, hlm. 105) menjelaskan bahwa teror negara (State terror), salah satunya dilakukan untuk tujuan intimidasi, yang mana pengerahan kelompok khusus (death squad) bertujuan untuk meluaskan dampak teror itu sendiri ke masyarakat. Sedangkan torture (penyiksaan), berdasarkan definisi UN Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, adalah: “...tindakan apapun yang menyebabkan rasa sakit atau penderitaan, baik fisik maupun mental, yang sengaja diberikan kepada seseorang dengan maksud memperoleh sesuatu darinya atau dari informasi atau pengakuan orang ketiga, menghukumnya atas tindakan yang ia atau orang ketiga lakukan atau dicurigai telah melakukan, atau mengintimidasi atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, ketika rasa sakit tertentu diderita yang dideritakan oleh atau atas hasutan atau dengan persetujuan dari pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi.” (Dikutip dari Green dan Ward, 2004, hlm. 125). Sedangkan genosida (genocide) menurut Green dan Ward (2004) berdasarkan Genocide Convention tahun 1948, ialah serangkaian tindakan pembunuhan yang disengaja yang dilakukan dengan maksud untuk memusnahkan, sebagian atau keseluruhan, sebuah bangsa, etnis, ras atau agama, kelompok-kelompok tertentu, dan sebagainya (hlm. 165). Lebih lengkap, dengan mengutip Chalk dan Jonassohn (1990), Green dan Ward mendefinisikan genosida sebagai “tindakan sistematis berupa pembunuhan massal terhadap orang-orang terpilih atas dasar keanggotaan mereka dalam kelompok etnis dan komunal, dengan tujuan untuk menghilangkan kelompok tersebut secara keseluruhan, atau menghilangkan apa pun yang dianggap menimbulkan ancaman.” (lihat Green dan Ward, 2004, hlm. 166). Penelitian Sebelumnya Penelitian atau kajian terhadap film, dalam perspektif kriminologi, mulai berkembang secara berarti di kisaran tahun 1990-2000 (Rafter, 2007), baik yang membahasnya secara umum maupun secara khusus pada satu karya film saja, atau fokus pada genre (gaha bahasa film) tertentu. Perkembangan ini seiring dengan kesadaran tentang pentingnya kajian visualvisual yang berhubungan dengan kejahatan melalui metodologi baru yang mencakup makna, pengaruh, situasi, kekuatan simbolik dan efisiensi, dan tontonan, yang mampu memadukan perhatian visual yang tepat dengan analisis yang bermuatas secara politis agar selaras dengan 6
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
representasi dan gaya yang menjadi kanal bagi dampak budaya populer terhadal perilaku individu dan kolektif (Hayward & Presdee, 2010). Beberapa contoh kajian dari sudut pandang kriminologi terhadap film, antara lain adalah penelitian yang dilakukan O’Brien (et al. 2005) terhadap film Gangs of New York (Martin Scorsese, 2002). Penelitian tersebut menjadikan film sebagai ruang kritis guna memankai hukum, kejahatan dan negara dari perspektif yang berbeda. Penelitian Tzanelli (et al, 2005) terhadap film Catch Me if You Can (Steven Spielberg, 2002), menguji efektifitas representasi kejahatan di media populer dalam mempertahankan konsepsi tertentu dari pengaruh timbal-balik antara kejahatan dan kondisi sosial, serta melakukan pembacaan mengenai bagaimana film tersebut mengomunikasikan konsekuensi dan sebab-musabab perilaku kriminal. Di Indonesia sendiri, studi mengenai representasi dalam film, terkait peristiwa 1965, pernah dilakukan oleh B.I. Purwantari (2010). Studi ini menemukan bahwa film-film yang menjadikan peristiwa 1965 sebagai narasi utama mengkonstruksi tragedi tersebut sebagai situasi horor melalui kemunculan hantu di dalam film. Namun, studi ini masih menggunakan perspektif kultural yang tidak berienterelasi dengan kajian kriminologi. Penempatan film sebagai pusat eksplorasi kriminologi, di Indonesia, pernah dilakukan oleh Andre Saputra (2010), dalam skripsi berjudul Tinjauan Kriminologis Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI. Andre Saputra melakukan analisis film tersebut dengan metode analisis wacana tiga dimensi Norman Fairclough (teks, diskursus, dan sosiokultural), dan menjelaskan bagaimana praktek propaganda negara melalui film itu dari sudut pandang Richard Quinney tentang kejahatan oleh negara. Hasilnya menunjukkan bahwa film mampu menjadi alat kekuasaan dan wadah doktrinasi publik sekaligus alat manipulasi sejarah demi kepentingan penguasa (Andre Saputra, 2010). Kerangka Berpikir Penelitian Secara skematis, desain penelitian untuk memaparkan secara ringkas alur pemikiran penelitian ini, dapat digambarkan sebagai berikut:
7
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
Gambar 1 Kerangka Berpikir Penelitian
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode analisis isi (analisis isi film), yang dipertajam dengan penggunaan data pendukung yang didapatkan melalui survei (penyebaran angket) terhadap 100 orang responden yang telah menonton film The Act of Killing. Teknik Pengumpulan Data Data primer pertama didapatkan melalui analisis isi terhadpa film The Act of Killing, yang bertujuan untuk memetakan scenes (adegan-adegan) yang secara kuat membicarakan kekerasan negara. Indikator yang digunakan berdasarkan teori kekerasan negara, yakni (1) pembunuhan, (2) pemusnahan kelompok tertentu, (3) perbudakan, (4) penyiksaan, (5) perkosaan, (6) persekusi, (7) pengusiran secara paksa, (8) perampasan kemerdekaan dan kebebasan secara paksa; dan (9) penghilangan secara paksa. Pemetaan dilakukan pada dua aspek, yakni dialog dan visual di dalam film. 1. Dialog Peneliti menentukan tiga jenis bentuk dialog yang ada di dalam Film Dokumenter The Act of Killing. Ketiga jenis dialog itu ialah (1) Dialog dengan Joshua, (2) Dialog Acting, dan (3) Dialog Pemuda Pancasila. 8
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
1.
Jenis yang pertama, Dialog Dengan Joshua, adalah isi perbincangan antara subyek atau tokoh-tokoh di dalam film dengan Joshua Oppenheimer sebagai orang di belakang kamera.
2.
Jenis dialog yang kedua, Dialog Acting, adalah isi percakapan berdasarkan skenario film fiksi yang dibuat oleh Anwar dan kawan-kawannya.
3.
Jenis dialog yang ketiga, Dialog Pemuda Pancasila, adalah isi percakapan yang terjadi antara Anwar dan kawan-kawannya, yang dilakukan di luar intervensi Joshua dan juga di luar skenario film fiksi mereka (aktivitas yang bukan acting untuk film fiksi).
2. Visual Pada pengamatan terhadap sajian visual Film Dokumenter The Act of Killing, peneliti juga memetakan dua kategori isi. Kategori yang pertama, visual yang kontekstual, yakni visual yang tidak merepresentasikan kekerasan negara secara eksplisit pada materi visualnya, tetapi secara kontekstual dapat ditarik ke persoalan kekerasan negara tersebut. Kategori yang kedua, visual yang substansial, yakni visual yang dilihat dari materi visualnya dapat diindikasi merepresentasikan kekerasan negara. Dalam analisis isi visual ini, peneliti juga melakukan pengamatan secara kuantitatif dengan menghitung jumlah adegan dan jumlah durasi visual-visual yang merepresentasikan kekerasan negara. Sementara itu, untuk data pendukung, didapatkan melalui survei terhadap 100 orang responden berusia di atas atau sama dengan 18 tahun, yang telah menonton film The Act of Killing, dengan teknik nonprobabilita sampling, guna mengetahui bentuk daya cerna penonton. Di sini, peneliti mengistilahkannya sebagai montase publik, yakni bangunan elemen-elemen yang saling berbenturan dalam ruang abstraksi publik, di mana bangunan itu dikonstruksi oleh kekuasaan yang melingkunginya untuk tujuan tertentu. Peneliti meminta para responden untuk memberikan penilaian mengenai unsur kekerasan negara dalam adeganadegan yang telah peneliti pilih dalam proses analisis isi. Penilaian itu menggunakan skala likert, dari nilai 1 (Sangat Tidak Setuju) hingga nilai 5 (Sangat Setuju). Kemudian, untuk setiap adegan, peneliti juga meminta responden untuk menuliskan pendapatnya guna memverifikasi penilaian yang mereka berikan. Teknik Analisa Analisa yang dilakukan adalah dengan menggabungkan hasil analisis isi film dengan data dari responden, dengan mengikuti pedoman sebagai berikut: 9
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
Tabel 1 Pedoman Analisa Data
Tahap analisis
Tahap I
Analisis isi film Teori
Dialog
Pernyataan-‐ pernyataan yang State Violence merujuk pada kekerasan negara.
Visual Bentuk kekerasan negara dalam simbol dan tanda.
Violence & Power
Tahap II
Tahap III
Pernyataan-‐ pernyataan melalui mana kejahatan Representasi diperbincan dan Diskursus gkan dalam dinamika sosial menjadi produk budaya.
Citra (image) kejahatan sebagai bahasa komunikasi kultural dan struktural.
Analisis data angket Tanggapan Montase publik penonton
Faktor sosiokultural yang mempengaruhi pola pikir publik. Terpaan citra-‐citra itu menjadi bagian kehidupan sehari-‐hari yang tak terpisahkan. Konsepsi mengenai kejahatan dan kekuasaan ‘dipaksakan’ melalui medium-‐ medium representatif (media populer; film).
Bentuk dan daya cerna penonton terhadap bentuk kekerasan negara pada film.
Diskursus yang melingkungi kepala publik sehingga menentukan hasil cernaannya.
Film The Act of Killing inheren dengan kekuasaan negara (konteks sejarah pembantaian massal 1965), dan begitu pula masyarakat Indonesia.
Benturan antara bahasa film (estetika kejahatan di dalam film) dengan montase publik menjelaskan bentuk produksi makna yang dihasilkan mengenai kekerasan negara.
Estetika kejahatan (Aesthetic of crime)
10
Interpretasi wacana film
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
HASIL PENELITIAN Hasil Analisis Isi Film Berdasarkan analisis isi yang telah dilakukan, peneliti menemukan terdapat 45 dialog dan 23 visual di dalam film The Act of Killing yang mengandung unsur kekerasan negara. Total durasi dialog tersebut adalah 1726 detik (28,766 menit), dan nilai rata-rata (mean) sebesar 38,36 detik. Dialog terpanjang (nilai maksimal) ialah 147 detik, sedangkan dialog terpendek (nilai minimal) ialah 4 detik. Sementara itu, total durasi visual tersebut adalah 1127 detik (nilai rata-rata sebesar 49 detik). Durasi terpanjang adalah 129 detik, sedangkan durasi terpendek adalah 2 detik. Dari total 23 visual tersebut, terdapat 4 sajian visual atau 17% diantaranya yang secara kontekstual merepresentasikan kekerasan negara (dengan total durasi 102 detik dan nilai rata-rata sebesar 25,5 detik), dan 19 sajian visual atau 83% diantaranya, secara substansial merepresentasikan kekerasan negara (dengan total durasi 1025 detik dan nilai-rata-rata sebesar 53,94 detik). Dengan menggabungkan hasil pemetaan terhadap dialog dan visual, peneliti menetapkan bahwa terdapat sembilan adegan yang secara kuat merepresentasikan kekerasan negara. ‘Kuat’ yang dimaksud di sini adalah adegan yang sesuai dengan indikator berdasarkan landasan teoretik, dan telah dipadupadankan antara dialog dan visual, yang baik secara kualitas maupun kuantitas (durasi) memiliki keunggulan dibandingkan dengan adegan-adegan yang lain. Kesembilan adegan tersebut adalah (1) Adegan Pendapat Syamsul Arifin di detik 00:09:47; (2) Adegan Pengakuan Ibrahim Sinik di detik 00:15:47; (3) Adegan Pidato Yapto di detik 00:18:15; (4) Adegan Pidato Jusuf Kalla di detik 00:34:04; (5) Adegan Gerwani di Padang Rumput di detik 00:38:37; (6) Adegan Suryono di Studio di detik 00:49:09; (7) Adegan Pemuda Pancasila Diundang ke Acara Talkshow TVRI Sumatera Utara di detik 01:21:01; (8) Adegan Kampung Kolam di detik 01:24:56; (9) Adegan Penyiksaan Korban (Korban Diperankan oleh Anwar) di detik 01:36:09. Hasil Survei terhadap Responden Hasil survei terhadap 100 orang responden yang menonton film The Act of Killing, menunjukkan bahwa hanya 47% dari total responden yang mengaku mengetahui peristiwa pembantaian massal 1965, yang mana 16% diantaranya mengaku mengetahui dari buku bacaan, 5% tahu dari orang tua, 4% mengaku tahu dari film, 3% mengaku tahu dari media massa, 11% mengaku tahu dari sumber lainnya, dan 8% mengaku mengetahui dari sumber yang lebih dari satu (gabungan dari beberapa sumber). Dari total 53% responden yang 11
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
mengaku tidak tahu tentang peristiwa pembantaian massal 1965, ketika diminta pendapatnya, 23 orang responden memberikan pendapat yang menurut peneliti mendekati konteks, 13 orang responden memberikan pendapat yang sesuai konteks, 14 orang memberikan pendapat di luar konteks, dan 1 orang memberikan pendapat yang sangat jauh melenceng dari konteks. Sementara itu, 100% dari total responden mengaku mengetahui atau pernah mendengar tentang Pengkhianatan G 30 S/PKI. 36% responden mengaku tahu hanya dari buku bacaan, 6% tahu hanya dari film, 4% hanya dari orang tua, dan 1% mengaku hanya dari media massa. Terdapat 35% responden yang menjawab lebih dari satu sumber, 18% menyebutkan sumber lainnya (di luar kategori yang peneliti ajukan). Sehubungan dengan Pemuda Pancasila, dari 99 responden orang yang menjawab, 55 diantaranya tidak memahami apa dan siapa itu Pemuda Pancasila karena dalam jawaban mereka secara tegas dinyatakan bahwa Pemuda Pancasila adalah orang-orang yang membela Pancasila. Sementara itu, 22 diantaranya sekedar tahu bahwa Pemuda Pancasila adalah organisasi masyarakat yang sering berbuat rusuh dan tindakan kekerasan. Sedangkan 22 sisanya, secara ringkas dapat dianggap memahami konteks dalam pembahasan ini karena di dalam pernyataan mereka, disebutkan bahwa Pemuda Pancasila sebagai ‘alat negara’ dalam melakukan pembantaian massal, khususnya dalam kasus yang pembantaian massal 1965. Sementara itu, untuk pendapat responden mengenai sembilan adegan yang telah peneliti pilih, rata-rata responden memilih TIDAK TAHU (nilai rata-rata mendekati 3) untuk tiga adegan, yakni “Adegan Pengakuan Ibrahim Sinik”, “Adegan Pidato Yapto Soerjosoemarno, Pemimpin Organisasi Pemuda Pancasila”, “Adegan Pidato Jusuf Kalla”. Sementara itu, rata-rata responden memilih SETUJU (nilai rata-rata mendekati 4) bahwa tiga adegan (Adegan Suryono di Studio, Adegan Kampung Kolam, dan Adegan Penyiksaan Korban (Korban Diperankan oleh Anwar) mengandung unsur kekerasan negara pada visualnya (lihat Tabel 3).
12
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
No. 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tabel 2. Penilaian Responden Mengenai Kandungan Unsur Kekerasan Negara Dalam Adegan Skala 1 (Sangat Tidak Setuju) hingga 5 (Sangat Setuju) Frequency (Valid Persent) Standard Nama Adegan Valid Missing Mean Deviation STS TS TT S SS Total Adegan Pendapat Syamsul Arifin (Gubernur 99 1 2,96 1,078 8,1 27,3 33,3 23,2 8,1 100 Sumatera Utara) Adegan Pengakuan 97 3 3,29 1,108 9,3 11,3 32,0 36,1 11,3 100 Ibrahim Sinik Adegan Pidato Yapto Soerjosoemarno, 92 8 3,00 1,069 12,0 14,1 42,4 25 6,5 100 Pemimpin Organisasi Pemuda Pancasila Pidato Jusuf Kalla 98 2 2,83 1,210 19,4 15,3 37,8 18,4 9,2 100 Adegan Gerwani di 95 5 3,61 1,065 4,2 9,5 29,5 34,7 22,1 100 Padang Rumput Adegan Suryono di Studio 99 2 3,95 1,049 4,1 7,1 11,2 44,9 32,7 100 Adegan Pemuda Pancasila Diundang Ke Acara 93 7 3,24 1,192 7,5 21,5 28,0 25,8 17,2 100 Talkshow TVRI Sumatera Utara Adegan Kampung Kolam 95 5 4,26 0,890 3,2 1,1 7,4 43,2 45,3 100 Adegan Penyiksaan Korban (Korban 95 5 3,84 1,188 7,4 6,3 15,8 35,8 34,7 100 Diperankan oleh Anwar) Sumber: Hasil olahan peneliti
PEMBAHASAN Representasi Lingkaran Kekuasaan dan Teror Negara Salah satu bentuk dari kekerasan negara adalah adanya death squad sebagai alat negara untuk melakukan aktivitas klandestin dan menyebarkan teror. Narasi film ini memberitahukan kepada kita bahwa Pemuda Pancasila adalah organisasi paramiliter, yang pada tahun 1965 menjadi alat negara sebagai death squad. Anwar Congo, sebagai salah satu algojo dari Pemuda Pancasila, menegaskan bahwa Ibrahim Sinik adalah salah satu orang yang memutuskan apakah seseorang yang dituduh PKI atau komunis itu perlu dibunuh atau tidak (Lihat Adegan Pengakuan Ibrahim Sinik di detik 00:15:47). Tindakan klandestin, dalam konsepsi teror sebagai kejahatan negara, tidak hanya berupa pembunuhan dan penghilangan kobrna- yang menjadi target, tetapi juga dalam bentuk intimidasi kepada masyarakat luas yang dilakukan melalui media massa. Aksi yang dilakukan oleh Ibrahim Sinik sebagai ‘orang media’ merupakan salah satu usaha untuk mengarahkan opini publik agar membenci PKI atau ideologi komunis, dan juga sebagai bentuk intimidasi bagi orang-orang yang memiliki hubungan dengan komunis itu sendiri. Ibrahim Sinik sendiri merupakan sosok yang memiliki 13
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
kedekatan dengan tokoh-tokoh kunci di kalantan elit politik. Kedekatan ini membentuk jaringan kekuasaan: posisi Ibrahim Sinik yang begitu kuat membuatnya mampu menjadi penyokong kegiatan-kegiatan anggota Pemuda Pancasila. Pada Adegan Pidato Yapto Soerjosoemarno (detik 00:18:15), sosok Yapto menjadi sentral. Posisinya sebagai orang berkuasa, tentunya, tidak dapat dilihat hanya dari perannya sebagai pemimpin organisasi paramiliter Pemuda Pancasila. Secara representatif, kekuasaan yang dimiliki oleh Yapto justru terlihat pada scene yang lain. Peneliti berfokus pada shot di detik 00:21:55. Keberanian Yapto yang menggoda seorang caddy girl dalam bentuk pelecehan seksual, di depan kamera, sesungguhnya merupakan representasi dari kekuasaan Yapto itu sendiri. Sebagai film dokumenter, film ini dengan sengaja menunjukkan kesan bahwa narasumber yang diwawancarai oleh Joshua Oppenheimer menyadari kehadiran kamera. Namun, tanpa ada rasa takut dengan kamera, Yapto justru bersikap cuek dan mengucapkan kata-kata senonoh dengan santai. Yapto berani mengucapkan perkataan yang bisa jadi merusak citranya sebagai seorang tokoh politik. Akan tetapi, ancaman citra buruk justru terlihat tidak menjadi persoalan bagi Yapto (mengingat latar belakang kekuasaan yang ia miliki sebagai pemimpin Pemuda Pancasila). Dengan demikian, adegan ini menjadi representasi kekuasaan yang dimiliki oleh Yapto secara simbolik. Selain terlihat pada adegan ketika memimpin upacara dengan berseragam loreng warna oranye, mengenakan baret merah dengan lencana burung garuda, simbol-simbol kekuasaan Pemuda Pancasila sebagai organisasi paramiliter yang mendapat dukungan dari negara juga terlihat pada Adegan Pidato Jusuf Kalla. Pada adegan tersebut, secara tersirat, Kalla menunjukkan dukungan terhadap segala tindakan organisasi Pemuda Pancasila yang seringkali menggunakan kekerasan dalam menjalankan aksi-aksinya. Dalam pidatonya, secara politis, Jusuf Kalla memilih kalimat ‘Pergunakan otot kita…otot kita bukan untuk berkelahi, walaupun berkelahi bukan hal yang tidak perlu.’. Peneliti berpendapat, kalimat tersebut justru menyiratkan adanya izin oleh pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan jika memang diperlukan (untuk membasmi musuh, seperti kelompok komunis). Representasi Penyiksaan dan Genosida Representasi tindakan penyiksaan dalam konteks kekerasan negara (torture) terdapat pada Adegan Suryono di Studio (detik 00:49:09) dan Adegan Penyiksaan Korban (Korban Diperankan oleh Anwar) (detik 01:36:09). Peneliti berpendapat bahwa adegan itu mengandung unsur-unsur penyiksaan karena adanya tindakan yang menimbulkan rasa sakit
14
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
atau penderitaan, baik secara fisik maupun mental terhadap korban, yang bertujuan untuk mendapatkan informasi atau pengakuan tertentu dari si korban. Pada adegan yang pertama, kita dapat mengindikasinya melalui pertanyaan-pertanyaan yang diucapkan oleh sang interogator: “Apa kegiatan Bapak sehari-hari? Akui saja!” (dialog di detik 00:55:30) Atau pada adegan yang ketiga: Penyiksa: “Ayo jawab! Atau kaki kau kupatahkan!” Interogator: Jadi, selain Titi Kuning…?” Korban: “Hamparan Perak…” (dialog di detik 01:37:10 – 01:37:19) Dialog-dialog demikian menegaskan usaha dari para pelaku kekerasan untuk mendapatkan informasi dari korban siksaan. Kata ‘kegiatan sehari-hari’ dan lokasi ‘Titi Kuning’ dan ‘Hamparan Perak’ merujuk pada aktivitas komunis yang ada di Sumatera Utara. Dialog-dialog ini diucapkan seiring dengan tindakan secara fisik (seperti yang tertera pada gambar), seperti pemukulan, pencekikan, menempelkan pisau ke wajah korban dengan maksud mengancam. Penggambaran yang terdapat pada dua adegan ini sesuai dengan konsep torture, yaitu penyiksaan yang dilakukan untuk tujuan intimidasi atau pemaksaan agar si korban mengaku. Tindakan-tindakan yang dilakukan tersebut berdasarkan persetujuan pejabat publik atau orang yang bertindak dalam kapasitas resmi. Pada adegan pertama, atribut topi tentara menunjukkan simbol uniformal tentara negara, sedangkan pada adegan ketiga, pakaian penyiksa menjadi simbolisasi birokrat yang bertugas mendapatkan informasi. Penyiksaan tidak lagi ditentukan oleh aturan hukum, tetapi oleh pembatasan-pembatasan yang dipaksaan oleh kepentingan birokrasi tersebut. Sementara itu, adegan kedua, yakni Adegan Kampung Kolam (detik 01:24:56), menggambarkan tindakan pemusnahan atau genosida. Peneliti berpendapat bahwa adegan ini menggambarkan
tindakan-tindakan
pembunuhan,
penyiksaan,
pemusnahan
(seperti
pembakaran rumah penduduk dan pembantaian manusia) dengan mengerahkan serdadu berseragam yang merupakan simbol kekuatan negara. Kampung Kolam, merupakan sebuah daerah di Deliserdang, yang dahulunya menjadi salah satu pusat kegiatan komunis. Penggambaran pemusnahan dalam adegan ini menjadi sebuah representasi dari aksi pembasmian manusia atas dasar keanggotaan mereka dalam kelompok atau komunal tertentu.
15
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
Representasi Kekerasan Negara pada Adegan Pemuda Pancasila Diundang Ke Acara Talkshow TVRI Pada Adegan Pemuda Pancasila Diundang ke Acara Talkshow TVRI Sumatera Utara itu, Joshua menggambarkan sikap jumawa dan kebanggaan yang ada pada seluruh anggota Pemuda Pancasila. Kebengisan mereka, khususnya Anwar Congo, sebagai mantan pembunuh muncul melalui percakapan para kru TV di belakang studio, dan juga melalui wawancara yang dilakukan oleh pembawa acara televisi. Joshua mendokumentasikan peristiwa riil ini menjadi bagian dari narasi Film The Act of Killing, sebagai sebuah usaha untuk melengkapi pemaparan pada adegan-adegan sebelumnya, mengenai posisi negara terhadap kelompok yang dahulu dimusnahkannya, dan posisi pelaku pembunuhan di antara negara dan masyarakat. Tidak lain, penyisipan ini menjadi metafor yang memancing kita untuk mendeskripsikan pengalaman-pengalaman historis Bangsa Indonesia, terkait praktek-praktek kekerasan yang pernah dilakukan oleh rezim terdahulu (Orde Baru). Pernyataan-pernyataan yang mengandung unsur kebencian terhadap kelompok komunis, yang keluar dari mulut para anggota Pemuda Pancasila, baik yang menjadi bintang tamu (Anwar Congo, Ibrahim Sinik dan lainnya) maupun para audiens yang hadir pada acara itu,
merepresentasikan
efek
lanjut
dari
usaha
propaganda
penguasa
yang
mengambinghitamkan kelompok yang dianggap komunis. Dalam hal ini, keberadaan TVRI sebagai stasiun televisi milik pemerintah, menjadi kunci atau simbol utama yang mempertalikan elemen kekuasaan dengan penerimaan wajar atas praktek kekerasan yang dilakukannya. Tanpa ada rasa malu, para anggota Pemuda Pancasila (yang juga dielu-elukan sebagai pahlawan oleh pembawa acara TV, yang di saat itu juga berperan mengarahkan opini pemirsa TVRI) menunjukkan sikap yang menegaskan bahwa pembunuhan atau penumpasan PKI adalah sebuah ke-halal-an, atau bahkan keharusan atau kewajiban. “Tuhan pasti anti komunis!” sebagaimana yang dinyatakan tokoh bernama Usman, menegaskan hal ini. Adegan ini menjadi visualisasi memori ketimbang presentasi arsip. Ini lah yang menjadi ciri khas bahasa dokumenter Joshua. Dia menempatkan bagaimana praktek sebuah rezim dalam konteks masyarakat sekarang, tanpa bersusah payah mengangkut harta terpendam (arsip) sebagai suatu jalan untuk membuktikan bahwa kekuasaan negara, yang melanggengkan praktek kekerasan dapat berdiri di atas ketidakadilan yang dialami oleh warga masyarakatnya. Sisa-sisa kejayaan rezim masih berbekas dan tetap berkembang di dalam lingkungan impunitas sebuah bangsa. TVRI yang menjadi latar peristiwa riil pada adegan tersebut merupakan ‘saksi hidup’ yang menjadi kunci bagi kita untuk mengingat kembali bagaimana benak publik dikuasai oleh negara dalam melancarkan tindakannya melakukan 16
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
kekerasan.4 Estetika Kejahatan yang digagas oleh Brown, melihat hal ini sebagai kompleksitas hubungan-hubungan kultural yang diproduksi secara inheren bersifat ideologis. Mengembangkan pemikiran Foucault, peneliti melihat TVRI, dalam kasus ini, sebagai salah satu bukti dari adanya media (milik negara) yang mentransformasikan praktek-praktek punishment (dalam konteks pembahasan ini, punishment tersebut diperluas maknanya sebagai salah satu bentuk tindak kekerasan negara, seperti torture atau penyiksaan) ke ranah representasi. Peneliti berargumentasi bahwa yang dilakukan rezim Orde Baru melalui media (TVRI), dalam melancarkan propagandanya mengenai peristiwa 1965-1966 menurut versinya itu, merupakan sebuah act of erasure. Dalam pandangan Brown (2010: 230), act of erasure atau ‘aksi yang berusaha disembunyikan’ (atau sehubungan dengan pembahasan ini, ialah ‘aksi menyembunyikan [tindakan kekerasan]) tersebut sepadan dengan visi Foucault mengenai disappearance of punishment, di mana kejahatan, karena pemberlakukan kebijakan dan hukuman oleh penguasa, bersemayam dalam wujud citra atau representasi, mengaburkan pemahaman publik mengenai konsepsi tentang kejahatan. Brown memaparkan lebih jauh bahwa dengan demikian, kejahatan berubah dan “berkembang biak dalam dalam jaringanjaringan atau lapisan-lapisan pantangan (peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang melarang)” (ibid.) yang akhirnya “mengikat masyarakat ke dalam suatu bentuk hubungan khusus dengan sebuah struktur disiplin” (ibid.). ‘Persembunyian sikap’ atau ‘aksi melenyapkan kebenaran sejarah yang mengandung noda karena praktek kekerasan’ yang ada pada negara itu akhirnya tersembunyi dalam sejumlah aturan yang dipropagandakan, salah satunya melalui Film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang disosialisasikan melalui TVRI. Berdasarkan penjelasan Green dan Ward, kekuatan itu diyakini adalah hak dan kewajiban negara. Namun, dalam konteks state crime, masyarakat juga memiliki peran dalam menentukan apakah negara melakukan suatu pola tingkah laku yang sesuai aturan main atau tidak. Dan pada adegan yang kita bahas ini, negara (yang diwakili oleh simbol TVRI) melanggar aturan main: perbincangan tentang kekerasan, yang menentang prinsip-prinsip kemanusiaan, diperbolehkan (dibiarkan, atau bahkan didukung) terjadi. Dukungan TVRI terhadap kebengisan para anggota Pemuda Pancasila, atau kebanggan Pemuda Pancasila atas kebengisan yang mereka lakukan, dianggap sebagai bentuk dukungan atas tindak kekerasan, dan dengan kata lain, negara ‘melakukan’ (dalam bentuk yang representasional) kekerasan itu sendiri. 4
Heryanto (2006) memaparkan bahwa dalam menangkal pengaruh orang tua yang menjadi korban kekerasan 1965-1966, rezim Orde Baru mengeluarkan kebijakan berupa kewajiban bagi anak-anak usia sekolah untuk menyaksikan Film Pengkhianatan G 30S/PKI di stasiun TV (yang dalam hal ini ialah TVRI) (Lihat Conroe, 2012: 55).
17
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
Representasi Kekerasan Negara Berbasis Gender ‘Film fiksi’ di dalam film dokumenter ini tidak menggunakan pemeran perempuan dalam skenarionya. Sosok perempuan justru diperankan oleh laki-laki (yakni tokoh yang bernama Koto). Satu hal yang perlu ditangkap pada adegan ini, selain sandiwara yang memvisualkan bagaimana kekejaman para serdadu dalam memperlakukan perempuan yang menjadi korban, adalah label yang dilekatkan kepada si tokoh perempuan sebagai sosok manusia yang dipandang buruk. Dialog yang terjadi antara Anwar Congo dan temantemannya ketika memberikan pengarahan terkait adegan sandiwara yang akan mereka mainkan, menunjukkan kepada kita siapa kelompok yang menjadi korban terkait peristiwa 1965-1965, yakni anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), atau dengan kata lain, perempuan. Gerwani menjadi salah satu kelompok yang dituduh terlibat dalam gerakan makar. Menurut Nadia (et al., 2007), tuduhan terhadap Gerwani ini membuat “para perempuan yang menjadi anggota, simpatisan, maupun yang dianggap anggota…menjadi sasaran penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, kekerasan seksual, perkosaan, penghilangan paksa, dan pembunuhan.” (Nadia, Nelson, Sawitri, & Widyawati, 2007, hlm. 49). Pada adegan di dalam The Act of Killing, umpatan yang diucapkan Anwar (sebagai bagian dari dialog dalam skenario sandiwara yang akan mereka perankan), kita mendengar: “Gerwani! Cuih!”. Ini langsung mengingatkan kita tentang label yang melekat pada Gerwani sebagai “lonte”, “penyilet penis jenderal” atau “pembunuh jenderal” (ibid.). Dalam hal ini, kekerasan negara terjadi dan dialami secara konkret oleh Gerwani (perempuan). Aparat keamanan negara melakukan persekusi berbasis gender, perkosaan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual sebagai bagian dari tindakan penyerangan terhadap masyarakat sipil yang luas dan sistemik, dan tentunya negara terlibat secara langsung dalam kejahatan-kejahatan itu (ibid., hlm. 161-170). Kekosongan Pengetahuan Publik sebagai Dampak Lanjutan yang Riil Dari Kekerasan Negara Berdasarkan hasil survei yang telah peneliti lakukan, didapatkan bahwa pada umumnya responden tidak mengetahui peristiwa pembantaian massal 1965, dan mengetahui secara tidak kritis perisitwa G 30S/PKI dari sumber-sumber yang berasal dari negara (umumnya film Pengkhianatan G 30S/PKI). Demikian juga halnya dengan pengetahuan responden mengenai apa dan siapa Pemuda Pancasila dan Gerwani (lihat hlm. 12-15). 18
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
Kondisi ini menunjukkan bagaimana telah tercipta suatu kekosongan pengetahuan mengenai sejarah bangsa Indonesia yang disebabkan oleh propaganda dari rezim terdahulu, Orde Baru (ORBA). Dengan kata lain, responden dalam penelitian ini berada pada posisi penonton yang terkonstruksi secara sosial dan budaya benaknya oleh penguasa di masa lalu. Hal itu menunjukkan dampak lanjutan dari trauma bangsa kita terhadap kekerasan yang pernah dipraktekkan secara nyata. Dalam Film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer ini, kita dihadapkan pada sebuah representasi kekerasan yang mengaburkan mana yang riil dan mana yang fiksi, sebuah kelindan yang justru menyadarkan kita tentang realitas kejahatan itu sendiri, bahwa dalam era kontemporer, konsepsi tentang kejahatan mengalami pergeseran paradigma: adegan kekerasan sebagai sebuah penampakan, bisa jadi adalah kenyataan dari kekerasan itu sendiri, dan sebaliknya, apa yang kita rasa nyata mungkin hanya sebuah penggambaran. Pada Film The Act of Killing, apa yang dirasa benar-benar riil kemudian adalah hanya tata kehidupan yang dirasa belum adil. Sebagaimana pemikiran kriminologi sosialis, persoalan kejahatan, meluas pada pelanggaran terhadap harga diri manusia (Mustofa, 2010). Dan dalam konteks pembahasan film The Act of Killling, kita mendapati bahwa ketidakadilan dalam bentuk kekerasan itu menjadi sebuah pengalaman ‘yang selalu ada dan kini’, bukan hanya masa lampau, terus hidup sebagai hal yang tak terpisahkan dari kita. Interaksi yang terjadi antara film dan penonton, pada akhirnya ‘menghadirkan kembali’ (represents) kekerasan negara dalam bentuk yang lain. Ketidaktahuan atau ketidakpahaman responden (penonton) terhadap unsur-unsur kekerasan negara yang dipaparkan oleh film tersebut, pada akhirnya memunculkan sebuah makna baru bahwa publik kita, bahkan dalam masa paling kini, sejatinya masih mengalami represi kekerasan penguasa atas sejarah masa lalu.
PENUTUP Pembacaan terhadap representasi kekerasan negara di dalam Film The Act of Killing, tidak hanya berhenti pada pembacaan film itu sebagai aspek material. Penelaahan terhadap wacana yang melingkupinya menjadi penting. Baik wacana yang ada di belakang film maupun wacana yang ada di belakang kepala penonoton menjadi satu kesatuan dalam memahami di mana posisi wacana kekuasaan negara yang melingkungi segala aspek berkehidupan kita. Makna representasi tidak muncul dari salah satu pihak, film atau penonton, melainkan dari hubungan resiprokal keduanya. Dan penelitian ini menyimpulkan bahwa 19
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
makna representasi kekerasan negara dalam Film The Act of Killing tumbuh dari proses interaksi antara penonton, yang dipengaruhi oleh sistem bahasa di lingkungan budaya kita, dengan film The Act of Killing yang mereka saksikan. Sebagai sebuah kesimpulan akhir dari penelitian ini, penelitian ini menyatakan bahwa representasi kekerasan negara di dalam Film The Act of Killing dapat dibaca sebagai sebuah referensi dalam mempertanyakan kembali definisi-definisi konseptual mengenai kejahatan dan kekerasan. Produksi makna yang dihasilkan adalah konsepsi mengenai pengertian tentang kejahatan dan kekerasan negara yang telah mengalami pergeseran: dari konstruksi yang merujuk pada realitas, bertransformasi pada pendeskripsian di ranah representasi. Artinya, memahami representasi kekerasan negara merupakan sebuah proses sublimasi untuk melihat keterhubungan wacana kekuasaan yang merasuk dan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat kontemporer. Kekuasaan dan praktek kekerasan bersemayam dalam hal-hal yang bersifat representasional, berkelindan dengan realitas, sehingga sulit untuk melacak perbedaannya. Dengan demikian, praktek kekerasan merupakan dampak dari pewacanaan kekuasaan yang berdiri di atas ketidaksetaraan dan menjadi bagian yang tak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai sebuah rekomendasi, penelti menganjurkan rangkaian penelitian lanjutan terhadap Film The Act of Killing, dan juga film-film lain yang bersifat dokumenter dan berisikan pemaparan tentang kejahatan, pelaku kejahatan, reaksi sosial masyarakat, dan korbannya. Penelitian yang dimaksud harus lebih komprehensif memeriksa keterhubungan atau korelasi antara aspek-aspek sosikultral yang ada di wilayah publik penonton terhadap bagaimana pemaknaan mereka, yang mana fokus ini menjadi masalah dan data utama. Harapannya, penelitian lanjutan tersebut dapat mendukung kesimpulan-kesimpulan dalam penelitian ini, terkait dengan makna kejahatan. Penelusuran seara valid mengenai persepsi publik terhadap makna kejahatan menjadi suatu hal yang sangat dianjurkan. Selain itu, dalam rangka meluaskan wacana kriminologi, peneliti merekomendasikan untuk diadakan kajian-kajian yang lebih intens dan holistik terhadap karya-karya bersifat representasional mengenai kejahatan, dengan menggunakan sudut pandang kriminologi posmodern, atau meluaskan pengkajian ke arah media (news-making criminology) dan kriminologi visual (visual criminology) dalam konteks perkembangan masyarakat kontemporer. Hal ini menjadi suatu anjuran yang tak kalah penting demi mengembangkan paradigma pemikiran kirminologi ke arah yang lebih filosofis, dan menjadi wacana baru yang dapat melegakan dahaga dan menyuburkan kekeringan perkembangan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang ada di Indonesia, khususnya di bidang kajian media dan kejahatan. 20
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA Buku Arrigo, B. A., & R. Williams (2006). Philosophy, Crime, and Criminology. Chicago: University of Illionis Press. Ferrel, J., Hayward, K., Morrison, W., & Presdee, M. (2004). Cultural Criminology Unleashed. London: GlassHouse. Ferrell, J., Hayward, K., & Young, J. (2008). Cultural Criminology: An Invitation. London: SAGE Publications Ltd. Foucault, M. (1995). Discipline and Punish: The Birth of the Prison (2nd Edition ed.). New York: Vintage Books. Green, P., & Ward, T. (2004). State Crime: Governments, Violence, and Corruption. London: Pluto Press. Hall, S. (2003). Introduction. Dalam S. Hall (Ed.), Representation: Cultural Representations and Signiying Practices (pp. 1-12). London: SAGE Publications Ltd. Mason, G. (2002). The Spectacle of Violence. New York: Routledge. Mustofa, M. (2010). Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. (Edisi 2). Jakarta: Penerbit Sari Ilmu Pratam (SIP). Presdee, Mike. (2000). Cultural Criminology and the Carnival of Crime. London: Routledge. Rafter, N., & Brown, M. (2011). Criminology Goes to Movies: Crime Theory and Popular Culture. New York & London: New York University Press. Roosa, J. (2008). Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. (A. Ratih, H. Farid, Eds., & H. Setiawan, Trans.) Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia & Hasta Mitra. Roosa, J., Ratih, A., & Farid, H. (2004). Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65. (J. Roosa, A. Ratih, & H. Farid, Eds.) Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Jurnal Ilmiah Internasional Ferrell, J. (1999). Cultural Criminology. Annual Review of Sociology , 25, 395-418. O'Brien, M., Tzanelli, R., Yar, M., & Penna, S. (2005). "The Spectacle of Fearsoma Acts": Crime In the Melting P(l)ot In Gangs of New York. Critical Criminology , 13, 17-35. Rafter, N. (2007). Crime, Film and Criminology: Recent Sex-crime Movies. Theoritical Criminology , 11 (3), 403-420. Tzanelli, R., Yar, M., & O'Brien, M. (2005). ’Con me if you can’ : Exploring crime in the American cinematic imagination. Theoritical Criminology , 9 (1), 97-117. Karya Ilmiah Purwantari, B.I. (2010). Representasi Tragedi 1965 Dalam Film (Antropologi Media dan Film-Film Bertema Tragedi 1965). Tesis: Universitas Indonesia. Saputra, A. (2010). Tinjauan Kriminologis Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI. Skripsi: Universitas Indonesia. 21
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
Media Massa (Cetak) Heryanto, A. (2012, Oktober 7). Film, Teror Negara, dan Luka Bangsa. TEMPO , pp. 118121. TEMPO. (2012, Oktober 7). Dari Pengakuan Algojo 1965. TEMPO , p. 29. ______________________ Dari Serdang Badagai Sampai Medan. TEMPO, pp. 112-113. Sumber dari Internet Agustinus, R. (2012, September 3). Kekerasan Massal dan Manusia Bebas dalam The Act of Killing. Retrieved Maret 9, 2013, from Jurnal Footage: http://jurnalfootage.net/v4/artikel/kekerasan-massal-dan-manusia-bebas-dalam-theact-of-killing Haryudi. (2013, Oktober 8). Kantor Radar Bogor didemo Pemuda Pancasila. Retrieved Maret 9, 2013, from SindoNews.com: http://metro.sindonews.com/read/2012/10/08/31/677953/kantor-radar-bogor-didemopemuda-pancasila Hasibuan, S. M. (2013, Oktober 1). Anwar Congo Protes Film 'The Act of Killing'. Retrieved Maret 6, 2013, from Tempo.co: http://www.tempo.co/read/news/2012/10/01/078432996/p-Anwar-Congo-Protes-FilmThe-Act-of-Killing Hoffman, J. (2012, September 10). TIFF Movie Review: THE ACT OF KILLING. Retrieved Maret 10, 2013, from Badass Digest: http://badassdigest.com/2012/09/10/tiff-moviereview-the-act-of-killing/ Ikhwan, K. (2012, September 26). Pemuda Sumut Berencana Bikin Film Tandingan 'Act of Killing'. Retrieved Maret 9, 2013, from Detik Hot: http://hot.detik.com/movie/read/2012/09/26/182505/2038732/229/pemuda-sumutberencana-bikin-film-tandingan-the-act-of-killing Iswinarno, C. (2013, Januari 13). PP Banyumas Tonton Act of Killing. Retrieved Maret 6, 2013, from VHRMedia.com: http://www.vhrmedia.com/new/berita_detail.php?id=938 Kohn, E. (2012, September 4). Telluride Review: Harrowing 'Act of Killing' Is the Most Unsettling Movie About Mass Killing Since 'Shoah'. Retrieved Maret 10, 2013, from indiewire: http://www.indiewire.com/article/telluride-review-harrowing-act-of-killingis-the-most-unsettling-movie-about-mass-killing-since-shoah Landis, T. (2012, September 11). TIFF 2012: ‘The Act of Killing’ disturbs in its universal depiction of evil. Retrieved Maret 9, 2013, from Sound on Sight: http://www.soundonsight.org/tiff-2012-the-act-of-killing-disturbs-in-its-universaldepiction-of-evil/ O'Brien, R. (2013, Februari 8). The Act of Killing: Berlin screens film about Indonesia’s purges. Retrieved Maret 6, 2013, from asiancorrespondent: http://asiancorrespondent.com/97063/the-act-of-killing-berlin-screens-film-aboutindonesias-purges/ Pribadi, D. W. (2013, Februari 4). Polisi Datangi Panitia Pemutaran Film 'The Act of Killing'. Retrieved Maret 6, 2013, from KOMPAS.com: http://regional.kompas.com/read/2013/02/04/20274425/Polisi.Datangi.Panitia.Pemutar an.Film.The.Act.of.Killing 22
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014
Schaer, C. (2013, Februari 12). 'The Act of Killing': Re-Staging War Crimes with Indonesian Gangsters. Retrieved Maret 6, 2013, from Spiegel Online International: http://www.spiegel.de/international/world/the-act-of-killing-reenacting-war-crimeswith-indonesian-gangsters-a-882970.html Siaran Pers Indonesia Menonton "Jagal". (2012, Desember 10). Retrieved Maret 6, 2013, from Facebook (Fan Page): https://www.facebook.com/notes/jagal-the-act-ofkilling/siaran-pers-indonesia-menonton-jagal/272385066217992 Siaran Pers Pemutaran Perdana "Jagal" di Bioskop. (2013, Februari 7). Retrieved Maret 6, 2013, from Facebook(Fan Page): https://www.facebook.com/notes/jagal-the-act-ofkilling/siaran-pers-pemutaran-perdana-jagal-di-bioskop/302827099840455 Suryadhi, A. (2013, Januari 13). Situs Film Kontroversial 'The Act of Killing' Diblokir? Retrieved Maret 6, 2013, from Detik inet: http://inet.detik.com/read/2013/01/13/155349/2140755/398/situs-film-kontroversialthe-act-of-killing-diblokir
23
Representasi kekerasan..., Manshur Zikri, FISIP UI, 2014