PEMURNIAN DAN KARAKTERISASI PROTEIN INSEKTISIDAL DARI BAKTERI ENTOMOPATOGEN Serratia marcescens
PUTRI JUMIARTI
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRAK PUTRI JUMIARTI. Pemurnian dan Karakterisasi Protein Insektisidal dari Bakteri Entomopatogen Serratia marcescens. Dibimbing oleh I MADE ARTIKA dan TRI PUJI PRIYATNO. Pengendalian serangga hama merupakan masalah utama yang dihadapi olah para petani Indonesia, namun belum ada solusi tepat dalam penanganannya. Penggunaan insektisida berbahan aktif kimia yang selama ini dilakukan menimbulkan dampak negatif seperti resistensi, resurgensi, dan fenomena biotipe pada hama. Selain itu juga timbul dampak negatif terhadap lingkungan serta terhadap organisme bukan sasaran. Pemanfaatan protein insektisidal dari bakteri entomopatogen Serratia marcescens berpotensi dalam menekan pertumbuhan serangga hama. Penelitian ini bertujuan melakukan pemurnian protein insektisidal dari S. marcescens dan mengetahui tingkat toksisitasnya terhadap larva serangga hama Tenebrio molitor. Protein insektisidal dimurnikan dengan metode presipitasi dengan ammonium sulfat, dialisis, dan kromatografi penukar ion. Selain itu juga dilakukan uji toksisitas terhadap larva serangga T. molitor instar II-III serta penentuan nilai LC50. Protein yang telah dimurnikan kemudian dianalisis bobot molekulnya. Hasil menunjukkan adanya pita protein yang berukuran 30.42 KDa sampai dengan 95.29 KDa. Berdasarkan hasil penelitian, protein insektisidal S. marcescens merupakan protein toksin yang bersifat oral dengan nilai LC50 terendah yang ditunjukkan oleh protein insektisidal fraksi B, yaitu pada konsentrasi 4.82 µg/ml. Kata kunci: bakteri entomopatogen, protein insektisidal, Serratia marcescens, dan Tenebrio molitor.
ABSTRACT PUTRI JUMIARTI. Purification and Characterization of Insecticidal Protein Isolated from Entomopathogenous Bacteria Serratia marcescens. Under the direction of I MADE ARTIKA and TRI PUJI PRIYATNO. Insect pest control has been a major problem faced by farmers in Indonesia, and there has been no perfect solution to handle it. The use of insecticides derived from chemically active compound has made a negative impact such as the emergence of resistant pest, pest resurgence, and phenomenon of biotype. In addition, it has other negative impacts on the environment and on non-target organisms. Use of insecticidal proteins from the bacterium Serratia marcescens entomopathogenic is one potential solution in suppressing the growth of insect pests. This study aims to isolate and purify the insecticidal protein from S. marcescens and determine the level of toxicity against Tenebrio molitor larvae of insect pests. After the isolation, the insecticidal protein was purified by the method of precipitation with ammonium sulphate, dialysis, and ion exchange chromatography. It was also subjected to toxicity test using insect larvae T. molitor instar II-III as well as determination of LC50 values. The purified protein was subjected to molecular weight analysis. Results showed that the protein bands were 30.42 to 95.29 kDa. Based on the results of the study, the insecticidal protein S. marcescens is a protein toxin that is active orally with the lowest LC50 value indicated by the insecticidal protein fraction B, which is at a concentration of 4.82 ug / ml. Key words: Entomopathogenic bacteria, insecticidal protein, Serratia marcescens, and Tenebrio molitor.
PEMURNIAN DAN KARAKTERISASI PROTEIN INSEKTISIDAL DARI BAKTERI ENTOMOPATOGEN Serratia marcescens
PUTRI JUMIARTI
Skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi : Pemurnian dan Karakterisasi Protein Insektisidal dari Bakteri Entomopatogen Serratia marcescens Nama : Putri Jumiarti NIM : G84080011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. I Made Artika, MApp. Sc. Ketua
Dr. Tri Puji Priyatno Anggota
Diketahui, Ketua Departemen Biokimia
Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc NIP : 19630117 198903 1 000
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan karya ilmiah yang berjudul ” Pemurnian dan Karakterisasi Protein Insektisidal dari Bakteri Entomopatogen Serratia marcescens”. Penelitian ini bertujuan memurnikan protein insektisidal dari S. marcescens dan mengetahui tingkat toksisitasnya terhadap larva serangga hama Tenebrio molitor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2012 di Laboratorium Kimia dan Biokimia, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen). Melalui penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan protein insektisidal yang potensial untuk dikembangkan sebagai biopestisida untuk pengendalian hama tanaman. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing utama Dr. Ir. I Made Artika, MApp. Sc. serta pembimbing kedua Dr. Tri Puji Priyatno yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, serta waktunya selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada orang tua tercinta dan keluarga atas doa, dukungan, dan kasih sayang yang telah diberikan. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada Ibu Ifa Mandzila, Mbak Pipiet, yang telah banyak membantu dalam penelitian ini, Arena YP, Cinthya LHD, Daniel RSN, M Faris Fathin, temanteman Wisma Jelita, serta teman-teman Biokimia 45 yang telah banyak memberikan dukungan. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan dalam penulisan selanjutnya. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca. .
Bogor, Juli 2012
Putri Jumiarti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 4 Maret 1990 dari ayah Joko Sumanto dan ibu Sumarni Parmi. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan penulis dimulai dari TK Pewa Natar, SD Al-Kautsar Bandar Lampung, kemudian melanjutkan ke SLTP Al-Kautsar Bandar Lampung. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Al-Kautsar Bandar Lampung dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih program studi mayor Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Profesi Mahasiswa Biokimia Community Research and Education of Biochemistry (CREBs) pada tahun 2009/2010 sebagai staf Divisi Keilmuan Metabolisme. Penulis pernah mendapatkan Beasiswa Penelusuran Prestasi Akademik (PPA) (2009/2010). Prestasi yang didapat penulis saat kuliah antara lain, lolos seleksi Program Kreatifitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKMGT) Dikti dengan judul karya ilmiah “Biji Kelor (Moringa oleifera) sebagai Alternatif Penjernih Air yang Alami dan Murah pada Daerah Rawan Banjir” pada tahun 2010 dan mendapat pendanaan dalam Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) dengan judul karya ilmiah “Pengendalian Masa Pembungaan Padi Lokal Beaq Ganggas Asal NTB dengan Mengekspresikan Gen Umur Genjah” pada tahun 2011. Tahun 2011 penulis juga melakukan kegiatan praktik lapang di Laboratorium Genetika Tumbuhan, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Science Centre Cibinong Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Entomopatogen ........................................................................... Serratia marcescens ................................................................................. Protein Toksin (Insecticidal Toxin).......................................................... Pemurnian dan Karakterisasi Protein Insektisidal.................................... Tenebrio molitor .......................................................................................
2 2 3 4 5
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat ........................................................................................ Metode Penelitian ...................................................................................
5 6
HASIL DAN PEMBAHASAN Biakan Bakteri Serratia marcescens ....................................................... 8 Isolasi protein Insektisidal ...................................................................... 8 Hasil Presipitasi Protein Menggunakan Amonium Sulfat ...................... 8 Hasil Dialisis Protein Presipitat Amonium Sulfat ................................... 9 Hasil Pemurnian Protein Insektisidal Menggunakan Kromatografi Kolom Penukar Ion ............................................................................................ 9 Profil protein Insektisidal pada Natif Gel ............................................... 9 Profil Protein Insektisidal pada Elektroforegram SDS PAGE ................ 10 Toksisitas Protein Serratia marcescens ................................................... 11 Penentuan LC50 ...................................................................................... 13 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ............................................................................................... 13 Saran ....................................................................................................... 13 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 13 LAMPIRAN ...................................................................................................... 16
DAFTAR TABEL 1 Data mortalitas protein insektisidal terhadap larva T. molitor .....................
12
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Sel Bakteri Entomopatogen Serratia marcescens ........................................
3
2 Ilustrasi Metode kromatografi ......................................................................
5
3 Larva Tenebrio molitor .................................................................................
5
4 Kromatogram Protein Hasil Kromatografi Penukar Ion ................................
9
5 Hasil Natif PAGE Protein Insektisidal ........................................................
10
6 Hasil SDS PAGE Protein Insektisidal .......................................................... 11 7 Hasil SDS PAGE Protein Insektisidal dan Ukuran Pita ................................ 11 8 Gejala Toksisitas pada Larva Tenebrio molitor ............................................ 12
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Alur metode penelitian ................................................................................
18
2 Bagan uji toksisitas protein Serratia marcescens terhadap larva Tenebrio molitor. ........................................................................................................
19
3 Kurva pertumbuhan Serratia marcescens ....................................................
20
4 Data pengukuran konsentrasi protein hasil kromatografi penukar ion ........
20
5 Kurva standar protein ...................................................................................
21
6 Hasil penentuan konsentrasi protein dengan uji Bradford dan contoh perhitungan .................................................................................................
21
7 Presentase mortalitas larva terhadap protein nondialisis ...........................
22
8 Presentase mortalitas larva terhadap protein dialisis. .................................
22
9 Presentase mortalitas larva terhadap protein fraksi A .................................
23
10 Presentase mortalitas larva terhadap protein Fraksi B ................................
23
11 Tabel transformasi persentase mortalitas ke nilai probit.............................
23
12 Hasil analisis probit protein insektisidal Nondialisis......................................
23
13 Hasil analisis probit protein insektisidal Dialisis............................................
24
14 Hasil analisis probit protein insektisidal Fraksi A ......................................
24
15 Hasil analisis probit protein insektisidal Fraksi B.......................................
24
16 Contoh perhitungan probit dan penentuan nilai LC50 .................................
24
1
PENDAHULUAN Masalah hama sudah menjadi rutinitas yang dihadapi oleh petani dalam budidaya tanaman. Berbagai teknologi pengendalian hama telah diaplikasikan tetapi persoalan hama belum juga terselesaikan. Pengendalian hama menggunakan insektisida berbahan kimia, meskipun efektif tetapi juga memiliki dampak negatif seperti timbulnya resistensi, resurgensi, dan dampak negatif lainnya terhadap lingkungan serta terhadap organisme bukan sasaran (Arifin 2011). Munculnya fenomena biotipe, yaitu berkembangnya strain serangga baru yang mampu beradaptasi secara fisiologis ataupun genetis terhadap tanaman yang tahan, juga merupakan salah satu persoalan pengendalian serangga hama (Clarige & Hollander 1983). Program pengendalian hama terpadu merupakan strategi pengendalian yang dianggap paling tepat dan efektif dalam menekan pertumbuhan serangga hama (Priyatno et al 2011). Strategi ini memerlukan beberapa komponen pengendalian yang kompatibel dan dapat diaplikasikan secara terpadu, disamping kemampuan petani dalam mengaplikasikannya. Selain itu komponen pengendalian yang digunakan dalam program pengendalian hama terpadu (PHT) juga harus selalu dikembangkan untuk meningkatkan efektivitasnya serta kemudahan dalam pengaplikasiannya oleh petani. Dalam program PHT, agensia pengendalian hayati, seperti Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana, dan Bacillus thuringiensis menjadi komponen utama pengendalian (Iman & Priyatno 2001). Pemanfaatan agensia hayati mempunyai beberapa kelebihan terutama selektivitasnya, meski harus diakui tidak seefektif insektisida berbahan aktif kimia. Agensia hayati yang sudah sangat umum digunakan untuk pengendalian hama serangga salah satunya adalah B. thuringiensis (Bt). Bakteri ini menghasilkan protein insektisidal deltaendotoksin yang sudah dikembangkan menjadi insektisida dan gen penyandi protein insektisidalnya dimanfaatkan dalam pengembangan tanaman transgenik (Iman & Priyatno 2001). Bakteri lain yang menghasilkan protein insektisidal di antaranya adalah Photorhabdus luminescens, Xenorhabdus nematophilus, Serratia entomophila and Serratia proteamaculans (Binglin et al 2006). Bakteri entomopatogen dari genus Serratia, kecuali S. entomophila dan S.
proteamaculans, dikenal sebagai patogen oportunistik atau fakultatif. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan adanya tingkat kematian wereng batang coklat yang tinggi akibat terinfeksi bakteri merah. Tingkat kematian wereng batang cokelat menjadi tinggi ketika serangga terinfeksi dalam keadaan mengalami tekanan kuat akibat suhu lingkungan tinggi, kualitas pakan rendah, populasi berlimpah, luka, atau faktor-faktor lainnya (Mohan et al. 2011). Bakteri merah yang diisolasi dari wereng batang cokelat yang mati (isolat SM201102) telah diidentifikasi dengan cara perbandingan sekuen 16S rRNA isolat bakteri merah dengan sekuen 16S rDNA bakteri lain yang terdapat dalam database GeneBank, melalui analisis Blastn menunjukkan bahwa bakteri merah mempunyai tingkat kesamaan 99% dengan Serratia sp. endosimbion WBC (No. aksesi GU124498) dan S. marcescens (No. aksesi HQ154570), serta 98% dengan S. entomophila (Priyatno et al 2011). Faktor virulensi S. entomophila dan S. proteamaculans terletak dalam plasmid pADAP (amber disease-associated plasmid) yang berukuran 153 kb. Hurst et al (2000) telah mengidentifikasi tiga gen toksin dalam pADAP, yaitu sepABC (untuk patogenisitas dari S. entomophila). Protein dari sepABC mempunyai kesamaan sekuen asam aminonya dengan toksin insektisidal yang dihasilkan oleh Photorhabdus luminescens (Bowen et al. 1998) dan Xenorhabdus nematophilus (Morgan et al. 2001), yang dikenal dengan nama komplek toksin (TC). Namun pada kedua bakteri tersebut, gen penyandi Tc ini berada dalam DNA genomnya. Kompleks toksin memiliki berat molekul tinggi (≈1 MDa) dan menunjukkan aktvitas insektisidal terhadap serangga dari ordo Coleoptera, Dictyoptera, Hymenoptera, dan Lepidoptera (Bowen et al. 1998). Komplek toksin (TC) ini memiliki potensi untuk menjadi salah satu kandidat pengganti toksin B. thuringiensis (Bt) dalam pengembangan tanaman transgenik tahan hama serangga. Serratia marcescens diduga memiliki gengen yang menyandikan komplek toksin yang berpotensi sebagai salah satu penghasil protein insektisidal. Oleh karena itu perlu dilakukan pemurnian serta karakterisasi protein insektisidal dari S. marcescens. Sementara itu, faktor-faktor virulensi S. marcescens terhadap manusia akan dikendalikan oleh gen-gen yang menyandikan nuklease, hemolisin, lipopolisakarida, dan protease (Leopold Kurz et al. 2003). Belum
2 ada laporan yang menyatakan bahwa komplek toksin insektisidal menjadi salah satu faktor virulensi S. marcescens terhadap manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah memurnikan protein insektisidal dari S. marcescens dan mengetahui tingkat toksisitasnya terhadap larva serangga hama Tenebrio molitor. Hipotesis dari penelitian ini adalah protein insektisidal yang dimurnikan dari bakteri entomopatogen S. marcescens toksisitasnya bersifat oral dan dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida.
TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Entomopatogen Pengendalian hama serangga menggunakan musuh alaminya merupakan hal yang banyak dianjurkan oleh pakar perlindungan tanaman saat ini dibandingkan pengendalian dengan insektisida berbahan aktif kimia. Musuh alami berupa entomopatogen terdiri dari jamur, bakteri, protozoa, dan virus, dapat menghasilkan suatu metabolit yang bersifat toksin terhadap serangga hama. Keunggulan entomopatogen adalah kekhususan atau selektivitas inangnya relatif tinggi, sehingga tidak menimbulkan polusi dan kontaminasi pada lingkungan hidup. Hal ini sangat selaras dengan tujuan program pengendalian hama terpadu (PHT) yang memperketat penggunaan insektisida kimia ataupun program pertanian organik (Iman & Priyatno 2001). Entomopatogen potensial yang banyak dimanfaatkan dan tersedia produk komersialnya adalah Bacillus thuringiensis atau Bt, Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV), serta jamur entomopatogen misalnya Metarizhium anisopliae dan Beauveria bassiana. Salah satu entomopatogen yang potensial adalah bakteri. Bakteri entomopatogen merupakan parasit atau bakteri patogen dari serangga hama yang menghasilkan protein toksin yang dapat mengendalikan populasi serangga hama. (Akhdiya et al 2007). Bakteri entomopatogen merupakan bakteri yang menjadi musuh alami atau bakteri pengganggu bagi serangga. Bakteri akan tumbuh pada tubuh serangga yang mati, ketika berada pada fase stasioner bakteri akan melepaskan berbagai macam faktor virulensi seperti kompleks protein toksin (Toxin complex) dengan bobot molekul tinggi, lipopolisakarida (LPS), lipase, protease, dan berbagai macam antibodi (Forst & Nealson 1996).
Bakteri entomopatogen yang sampai sekarang banyak dimanfaatkan adalah Bacillus thuringiensis. Salah satu keunggulan B. thuringiensis sebagai agen hayati adalah kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik misalnya untuk mengendalikan serangga hama dari golongan ordo Lepidoptera, namun diketahui juga mampu menginfeksi ordo yang lain seperti ordo Diptera dan Coleoptera. Cara kerja bakteri B. thuringiensis adalah kristal bakteri yang berupa matriks protein di dalam saluran makanan tengah (mesonteron) tubuh serangga yang rentan akan mengalami hidrolisis. Hasil hidrolisis ini menghasilkan fraksi-fraksi yang lebih kecil yang menimbulkan efek toksik tehadap dinding saluran makanan. Kerusakan dinding saluran makanan mengakibatkan serangga sakit dan dapat menyebabkan kematian serangga. Contoh lain bakteri entomopatogen lain yang telah berhasil dikembangkan sebagai biopestisida adalah bakteri entomopatogen non-sporing forming dari genus Serratia, yaitu S. entomophila dan S. proteamaculans. Kedua bakteri entomopatogen tersebut telah dimanfaatkan sebagai biopestisida yang efektif untuk mengendalikan grass grub (Costelytra zealandica) di New Zealand (Priyatno et al 2011). Serratia marcescens Serratia marcescens merupakan bakteri Gram negatif dari keluarga Enterobacteriaceae. Bakteri ini telah lama dikenal dalam dunia penelitian, terutama pada bidang kesehatan karena pernah menjadi penyebab terjadinya infeksi pencernaan pada manusia. Bakteri merah ini dikenal juga dengan nama Chromobacterium prodigiosum, karena memiliki kemampuan menghasilkan pigmen merah yang disebut prodigiosin. Habitat S. marcescens berada di air, tanah, permukaan daun, dalam tubuh serangga, hewan, dan manusia (Khanafari et al. 2006). Bakteri ini dapat tumbuh dalam keadaan anaerob. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, S. marcescens mengalami pertumbuhan yang tinggi pada keadaan anaerob. Bakteri ini memiliki kemampuan hidup pada keadaan ekstrim misalnya pada lingkungan yang terpapar antiseptik, desinfektan, dan pada air destilasi (Mame & Costerton 1998). Sel bakteri S. marcescens berbentuk basil (bulat lonjong) dan beberapa galur membentuk kapsul, Bakteri ini juga termasuk organisme yang bergerak dengan cepat (motil)
3 karena memiliki flagela peritrik. Bakteri S. marcescens dapat tumbuh dalam kisaran suhu 5oC sampai dengan 40oC dan dalam kisaran pH antara 5 hingga 9. Serratia marcescens dapat digambarkan secara detil karena merupakan spesies yang sudah umum ditemukan dalam spesimen ilmu pengobatan. Sel bakteri S. marcescens ditunjukkan pada Gambar 1. Salah satu karakteristik dari bakteri ini dapat menghasilkan pigmen merah yang disebut prodigiosin. Warna prodigiosin yang dihasilkan bergantung pada umur biakan, mulai dari warna merah muda hingga merah tua. Berdasarkan penelitian, pigmen biologis yang dihasilkan oleh bakteri ini ternyata memiliki aktivitas antifungal, imunosupresi, dan antiproliferasi (Lauzon et al 2003). Serratia marcescens merupakan bakteri yang patogen terhadap serangga karena dapat menghasilkan beberapa enzim hidrolitik seperti protease, kitinase, nuclease, dan lipase yang bersifat toksin (Flyg et al 1983). Bakteri ini juga dapat menghasilkan serrawetin, senyawa surfaktan yang membantu dalam proses kolonisasi (Hejazi &Falkiner 1997). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Flyg pada tahun 1983 di Universitas Stockholm, strain S. marcescens yang diisolasi dari serangga sering kali memproduksi protease dibandingkan tipe liarnya. Protease ekstraseluler dari S. marcescens yang telah dimurnikan bersifat toksik pada serangga. Penelitian mengenai efek virulensi strain Serratia terhadap larva Costelytra zealandica (ulat rumput New Zealand) juga membuktikan bahwa strain Serratia memiliki efek toksik yang tinggi terhadap serangga hama ketika protein toksiknya diinjeksikan ke tubuh serangga (Biglin et al 2006). Marga Serratia terdiri atas bakteri patogen serangga (Binglin et al 2006). Entomopatogen dari marga Serratia, kecuali Serratia entomophila dan Serratia proteamaculans, dikenal sebagai patogen oportunistik atau fakultatif karena tidak virulen ketika berada dalam saluran pencernaan, tetapi menjadi sangat virulen ketika masuk ke dalam haemolim akibat serangga terluka atau dalam keadaan stres (Mohan et al. 2011). Entomopatogen Serratia entomophila dan Serratia proteamaculans merupakan strain Serratia yang telah diketahui secara pasti merupakan bakteri entomopatogen yang virulensinya tinggi terhadap serangga hama. Kedua strain Serratia ini menghasilkan kompleks toksin yang mekanisme toksinnya mirip dengan kompleks toksin yang dihasilkan
oleh Photorhabdus luminescens Xenorhabdus nematophila.
dan
Gambar 1 Sel bakteri entomopatogen Serratia marcescens (Singh et al 2008) Protein Toksin (Insecticidal Toxin) Protein toksin yang memiliki efek insektisidal dapat diisolasi dari bakteri entomopatogen. Protein toksin kompleks dengan berat molekul tinggi mempunyai spektrum toksin yang luas terhadap berbagai kelas serangga (Bowen and Ensign 1998). Terdapat dua bentuk toksin bakteri. Jenis yang pertama adalah endotoksin. Endotoksin merupakan komponen lipopolisakarida (LPS) membran luar bakteri Gram negatif berikatan dengan dinding sel bakteri sehingga bentuk protein toksin ini tidak disekresikan ke lingkungan ekstraseluler. Jenis protein toksin yang kedua adalah eksotoksin. Eksotoksin merupakan protein toksin yang disekresikan oleh bakteri Gram negatif ataupun bakteri Gram positif. Protein toksin pada umumnya merupakan bentuk eksotoksin yang dapat dilepaskan atau disekresikan ke lingkungan ekstraseluler dari sel bakteri penghasilnya. Gen penyandi protein toksik biasanya terdapat pada plasmid bakteri. Protein toksin jenis eksotoksin terdiri atas dua subunit. Unit yang pertama merupakan unit yang berikatan pada membran sel dan akan masuk ke dalam sel, sementara unit yang kedua merupakan unit yang memiliki aktivitas toksik. Eksotoksin termasuk ke dalam substansi yang paling toksik dan berperan dalam patogenesis penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri patogen (Muliawan 2009). Salah satu sub kelas dari eksotoksin adalah enterotoksin, yaitu protein toksin ekstraseluler bakteri yang umumnya memberikan efek toksik pada saluran pencernaan (Akhdiya et al 2007). Hingga saat ini telah diketahui tiga klasifikasi protein toksin insektisida. Kelas yang pertama adalah kompleks toksin yang aktif secara oral terhadap larva hama serangga. Saat ini kompleks toksin jenis ini
4 banyak digunakan oleh peneliti di luar negeri dalam perakitan tanaman transgenik (varietas tahan) (Liu et al 2003). Kelas yang kedua merupakan toksin “Make Caterpillar Flopy” (Mcf toxin). Toksin jenis ini akan aktif ketika diinjeksikan secara langsung ke dalam tubuh larva serangga (Waterfield et al 2005). Kelas yang ketiga merupakan toksin yang bersifat biner. Protein toksin jenis ini dapat aktif baik ketika diinjeksikan secara langsung ke tubuh larva serangga (Waterfield et al 2005) maupun secara oral dengan cara ditambahkan ke dalam pakan larva serangga, contohnya adalah toksin “Photorhabdus insect-related protein” atau lebih dikenal sebagai toksin pirAB (Duchaud et al 2003). Salah satu contoh protein toksin yang bersifat insektisidal adalah kristal protein Bt yang dihasilkan oleh bakteri entomopatogen serangga penggerek kapas Bacillus thuringiensis. Kristal protein Bt di alam berupa protoksin, Bt-protoksin kemudian dapat berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga. Toksin yang telah aktif dalam sistem pencernaan serangga kemudian akan berinteraksi dengan sel-sel epithelium di midgut (usus tengah) serangga. Toksin Bt ini menyebabkan terbentuknya pori-pori (lubang yang sangat kecil) atau kebocoran pada sel membran di saluran pencernaan dan mengganggu keseimbangan osmotik dari selsel tersebut. Karena keseimbangan osmotik terganggu, sel menjadi bengkak dan pecah dan menyebabkan matinya serangga (Hofte & Whiteley 1989). Selain Kristal protein Bt, terdapat juga contoh protein toksin insektisidal yang memiliki mekanisme toksisitas yang serupa. Misalnya protein toksin Photorabdus luminescens. Pemurnian dan Karakterisasi Protein Terdapat banyak metode yang dapat digunakan dalam pemurnian protein toksin. Metode pemurnian dapat ditentukan berdasarkan jenis protein yang akan diisolasi serta tingkat kemurnian protein yang diinginkan. Tahap-tahap pemurnian yang akan dilakukan harus disesuaikan dengan jenis protein, maksudnya apakah protein tersebut merupakan protein ekstraseluler atau protein intraseluler (Scopes 1993). Secara umum pemurnian protein selalu diawali dengan tahap isolasi protein (pemisahan sel) hingga dihasilkan ekstrak kasar yang mengandung protein. Hal yang membedakan pada protein intraseluler,
terdapat tahap perusakan sel terlebih dahulu sebelum dilakukan isolasi protein. Perusakkan sel dapat dilakukan secara kimia, fisika, dan enzimatik (Koolman & Roehm 2005). Isolasi protein dapat dilakukan dengan cara sentrifugasi pada kecepatan yang tinggi (5000-10000 rpm) atau presipitasi menggunakan garam seperti ammonium sulfat (Scopes 1993). Kedua metode tersebut bertujuan menghilangkan molekul atau partikel pengotor dari sel seperti organel sel, karbohidrat atau lipid yang tidak diinginkan agar didapat isolat protein yang murni. Tahap yang selanjutnya adalah memisahkan protein dari senyawa yang berbobot molekul rendah yang berada dalam ekstrak sel dengan proses dialisis. Protein merupakan molekul yang berukuran besar, hal ini menyebabkan molekul protein akan terjebak di dalam kantong membran dialisis sementara molekulmolekul kecil akan berdifusi dengan sendirinya keluar dari kantung membran. Selanjutnya dapat dilakukan pemisahan protein yang diinginkan berdasarkan ukuran atau muatannya (Lehninger 1982). Metode yang sudah umum digunakan dalam pemisahan protein berdasarkan ukurannya adalah filtrasi gel. Pada filtrasi gel protein akan dialirkan pada butiran berpori kecil dari polimer hidrofilik. Protein yang berukuran kecil akan teradsorb pada pori sementara protein yang berukuran besar akan keluar lebih dulu. Sementara itu pemisahan berdasarkan muatan protein dapat dilakukan dengan metode kromatografi penukar ion. Kromatografi penukar ion akan memisahkan protein berdasar perbedaan densitas dan tanda muatan listrik pada pH tertentu (Bollag et al 1996). Ilustrasi mengenai filtrasi gel dan kromatografi penukar ion dapat diamati pada Gambar 2. Setelah proses permurnian protein, masih harus dilakukan langkah untuk memastikan apakah kemurnian protein sudah mencapai tingkat kemurnian yang diinginkan atau belum. Tingkat kemurnian protein yang diinginkan umumnya dipastikan dengan metode elektroforesis gel poliakrilamid natrium dedosil sulfat (SDS PAGE). Protein akan terdenaturasi menjadi subunitnya, kemudian protein akan terpisah berdasarkan ukurannya. Melalui metode elektroforesis SDS PAGE ini dapat diketahui apakah protein yang diisolasi merupakan protein dengan bobot molekul yang diinginkan dan apakah masih terdapat molekul protein nontarget (Koolman & Roehm 2005).
5 yaitu dengan suhu lingkungan yang terkontrol serta nutrisi yang baik membutuhkan waktu kurang lebih sembilan bulan. Sementara jika dibiakkan pada keadaan suboptimal atau kondisi alaminya, serangga ini membutuhkan waktu kurang lebih dua puluh bulan untuk perkembangan dari telur hingga imago dengan dua puluh fase instar. Umumnya serangga ini memiliki fase instar yang cukup panjang, serangga ini memiliki fase instar sebanyak 9 hingga 18 periode dan fase instar larva serangga ini dapat bertahan selama 90 hingga 140 hari (Rand & Laing 2011). Larva serangga T. molitor instar II-III yang digunakan untuk uji toksisitas ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 2 Ilustrasi dua metode kromtografi. (A) Kromatografi penukar ion: muatan protein digunakan dalam pemurnian protein. (B) Filtrasi gel: fraksinasi protein berdasarkan ukuran (Hedhammar et al 2005). Tenebrio molitor Tenebrio molitor merupakan serangga yang tergolong ke dalam ordo coleopteran dan berasal dari famili Tenebrionidae. Tenebrio molitor merupakan salah satu hama bagi dunia agrikultur, biasanya serangga ini merupakan hama perusak bagi produk pascapanen. Serangga ini merupakan hama pada produk biji-bijian atau serealia. Larva dari Tenebrio molitor ini umumnya dikenal masyarakat sebagai “ulat hongkong” atau “yellow mealworm” yang sering digunakan sebagai pakan burung ataupun ikan (Herman et al 2004). Tenebrio molitor sudah sangat umum digunakan sebagi hewan uji dalam penelitian atau studi biokimia. Alasannya adalah ukuran stadium larva dari serangga ini yang relatif besar jika dibandingkan dengan serangga coleopteran lainnya. Selain itu serangga ini juga memiliki waktu generasi yang lambat jika dibandingkan dengan serangga Tenebrionidae lainnya, sehingga serangga ini dirasa lebih cocok digunakan sebagai hewan uji pada penelitian atau studi yang membutuhkan serangga dengan fase larva dalam waktu yang cukup lama (Oppert 2010). Tenebrio molitor merupakan serangga yang sangat mudah proses pembiakannya. Hal ini dikarenakan serangga ini memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan yang sangat baik, serta tergolong mudah dalam hal pemberian pakan. Larva serangga T. molitor yang dibiakkan dalam keadaan optimum,
Gambar 3 Larva Tenebrio molitor instar II-III yang digunakan dalam bioasai
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kultur sel bakteri S. marcescens isolat SM201102 yang diisolasi dari wereng batang cokelat koloni Sukamandi yang mati dengan gejala tubuh berwarna merah, larva serangga Tenebrio molitor instar II-III (larva yang berumur 3-4 minggu) (Prabhakar 2001), media Luria Bertani (LB) cair, K2HPO4 50 mM dan 1 M, KOH 5 M, KCl 150 mM pH 6.3, KCl 300 mM, akuades, reagen Bradford, bufer salin fosfat (PBS) 1x, poliakrilamid 10%, Tris HCl pH 6.8 dan 8.8, ammonium persulfat 10%, serbuk ammonium sulfat, suspensi DEAE-sepharos (Pharmacia Biotech, Uppsala Swedia), kantong dialisis (Sigma), kertas saring, dan pakan buatan larva. Sementara alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gelas plastik volume 50 ml, tabung vial 1.5 ml, kuvet 1 ml, pinset, shaker, stirrer, pipet volumetrik, pipet mikro Gilson Pipetman, alat-alat gelas (tabung reaksi, gelas Erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, dan labu ukur), sudip, neraca analitik, sentrifus Hitachi CR-21F, spektrofotometer
6 UV Vis Hitachi U 2000, pH meter Thermo Orion 410 A+, indikator universal, kolom berukuran 2.6 x 40 cm, kolom sephacryl S400, laminar Hitachi Clear Bench, penangas air, alat freeze drier, dan peralatan elektroforesis SDS PAGE Biorad. Metode Penelitian Pembuatan Media Pertumbuhan S. marcescens Media yang digunakan dalam pembiakan S. marcescens adalah media Luria Bertani. Media dibuat dengan cara melarutkan 5 g ekstrak yeast, 10 g tripton, dan 10 g NaCl dalam 1L akuades. Larutan dihomogenkan menggunakan pengaduk magnet selama beberapa menit hingga benar-benar larut. Setelah larut media tersebut diautoklaf selama 20 menit pada suhu 121oC dan pada tekanan 1 atm. Pembiakan S. marcescens Bakteri S. marcescens yang digunakan pada penelitian ini adalah isolat SM201102 yang diisolasi dari wereng batang coklat koloni Sukamandi. Bakteri dikulturkan pada media Luria Bertani (LB) agar miring dalam tabung reaksi. Kemudian bakteri diinokulasikan ke dalam 1 L media LB cair dan diinkubasikan selama 48 jam dalam orbital dengan kecepatan 75 rpm pada suhu ruang (±25oC). Isolasi Protein Insektisidal S. marcescens Pemisahan Sel Bakteri. Biakan bakteri S. marcescens yang telah diinkubasi, disentifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit pada suhu 4oC untuk memisahkan sel dari supernatannya. Supernatan yang didapat akan dipisahkan dengan peletnya untuk kemudian dipurifikasi proteinnya. Purifikasi protein dilakukan dengan dua metode, yaitu purifikasi menggunakan kromatografi kolom dan purifikasi protein insektisidal dengan cara presipitasi menggunakan amonium sulfat dan dialisis. Purifikasi Protein Insektisidal Menggunakan Metode Presipitasi Amonium Sulfat dan Dialisis. Fraksi supernatan yang didapat setelah proses pemisahan sel dengan sentrifugasi, ditambahkan dengan 307.17 g amonium sulfat hingga fraksi supernatan menjadi jenuh 100%. Penambahan amonium sulfat dilakukan sedikit demi sedikit dengan cara ditunggu hingga larut sebelum penambahan
selanjutnya, larutan dihomogenkan dengan menggunakan batang pengaduk magnetik. Setelah fraksi supernatan mencapai 100% jenuh, fraksi supernatan diinkubasi semalaman (±18 jam) pada suhu 4oC. Selanjutnya fraksi supernatan tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit, pelet yang didapat dilarutkan dengan bufer salin fosfat (PBS). Volume protein yang didapat diukur, sebagian didialisis menggunakan bufer salin fosfat (PBS) dan sebagian lainnya disimpan dalam tabung tersendiri pada suhu 4oC. Dialisis dilakukan selama semalam, setelah didialisis protein yang didapat disimpan dalam tabung yang telah dilabel pada suhu 4oC. Selanjutnya protein insektisidal hasil dialisis dan protein nondialisis dipekatkan dengan cara freeze drying. Protein insektisidal yang dihasilkan juga diuji toksisitasnya dengan bioasai. Purifikasi Protein Insektisidal dengan Kromatografi Kolom. Fraksi supernatan dari presipitasi amonium sulfat ditambah K2HPO4 1 M hingga konsentrasinya menjadi 50 mM K2HPO4. Kemudian pH-nya diatur hingga menjadi 8.6 dengan KOH 1 M. Selanjutnya 200 ml suspensi DEAESepharos (Pharmacia Biotech, Uppsala, Swedia) dicampurkan dengan K2HPO4 50 mM. Campuran resin ini kemudian dicuci dengan 50 mM KH2PO4, melalui sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 10 menit sebanyak lima kali. Penambahan K2HPO4 dilakukan pada pelet campuran resin setiap kali selesai sentrifugasi hingga lima kali sentrifugasi. Pencucian dihentikan ketika etanol sudah hilang dari campuran resin. Setelah etanol pada suspensi DEAESepharos hilang, resin ditambahkan ke dalam supernatan dan dihomogen selama 15 menit menggunakan pengaduk magnetik, lalu diinkubasi semalam hingga protein insektisidal terabsorbsi pada resin. Setelah inkubasi maka resin dan protein yang terabsorbsi akan mengendap, sementara air yang berada di permukaan atas dibuang. Campuran protein yang telah terabsorsi pada resin dituang ke dalam kolom berukuran 2.6 x 40 cm, harus dipastikan kandungan air pada resin dalam jumlah paling minimal. Selanjutnya resin dielusi menggunakan KCl dengan konsentrasi 300 mM. Fraksi ditampung berdasarkan volume, yaitu setiap volume 2 ml. Setelah elusi setiap fraksi diukur absorbannya pada panjang gelombang 280 nm. Fraksi-fraksi yang memiliki puncak yang baik selanjutnya dipekatkan dengan metode freeze dry. Fraksi hasil purifikasi yang
7 mengandung protein insektisidal akan dimurnikan lebih lanjut dan akan diuji toksisitasnya dengan bioasai. Penentuan konsentrasi protein fraksi. Uji Bradford. Sampel protein diencerkan menjadi 5x, 10x, 50 x, 100x, 200x, 400x, dan 800x dengan PBS hingga volume akhir mencapai 800 µL. Kemudian ke dalam campuran ditambahkan reagen Bradford sebanyak 200 µL dan dihomogenkan dengan vorteks. Absorban diukur pada panjang gelombang 595 nm setelah campuran diinkubasi pada suhu ruang (±25oC) selama 10 menit. Konsentrasi protein ditentukan dengan persamaan kurva standar. Pengukuran Konsentrasi Protein dengan Spektrofotometer UV 280 nm. Sampel protein dipipet hingga volume 200 µl ke dalam kuvet, kemudian diukur absorbannya pada panjang gelombang 280 nm dan konsentrasi protein ditentukan dengan mengkonversi bahwa sampel dengan absorbansi 1.3 memiliki konsentrasi 1 mg/ml. Perbandingannya adalah sebagai berikut : 1.3
1
/
Keterangan : [X] : konsentrasi protein sampel Ax : absorban sampel (Grimsley & Pace 2003) Analisis Natif Gel Pembuatan natif gel 10%. Separation gel dibuat dengan cara mencampurkan 1.95 µL dH2O, buffer Tris HCl pH 8.6 1.3 ml, 1.7 mL 30% akrilamid (30:1), 50 µL APS (amonium persulfat) 10%, dan 2 µL TEMED (N,N,N’,N’-tetrametil-etilendiamin). Campuran tersebut kemudian diaduk dan dicetak ke dalam cetakan gel hingga mencapai 2/3 bagian cetakan, kemudian 1/3 bagian diisi dengan akuades dan didiamkan sampai gel mengeras. Selanjutnya stacking gel dibuat dengan mencampurkan 1.4 mL dH2O, 250 µL bufer Tris-HCl pH 6.8 1 M, 330 µL 30% akrilamid, 20 µL SDS 10%, 20 µL APS 10%, dan 2 µL TEMED. Selanjutnya campuran tersebut diaduk, sementara itu akuades dalam 1/3 bagian cetakan dibuang, untuk kemudian diganti dengan campuran stacking gel. Sisir pencetak sumur disisipkan pada cetakan. Preparasi dan running sampel. Sampel protein ditambahkan dengan 2x SB (sample buffer) dalam volume 30 µL dengan perbandingan 1:1. Gel dimasukkan ke dalam bak elektroforesis yang telah diisi running
buffer. Sampel yang telah disiapkan dimasukkan sebanyak 10-20 µL ke dalam sumur. Elektroforesis dijalankan pada tegangan listrik 110 V dengan arus 120 mA hingga sampel mencapai batas bawah gel. Pewarnaan gel. Gel SDS-PAGE dimasukkan ke dalam wadah yang berisi reagen pewarna (0.25 g Coomassie Brilliant Blue R250, 125 mL metanol, 25 mL asam asetat glasial, dan 100 mL akuades). Pewarnaan dapat dilakukan selama 2-3 jam. Pewarna yang tidak berikatan dengan sampel dalam gel dicuci dengan proses destaining. Gel dimasukkan ke dalam wadah yang berisi larutan pencuci (10 mL metanol, 100 mL asam asetat glasial, dan 800 mL akuades). Pencucian warna dilakukan sekitar 24 jam pada orbital. Analisis bobot molekul. Gel yang telah diwarnai, kemudian didokumentasikan. Bobot molekul dianalisis dengan perangkat lunak Photocapt-MW. Perkiraan Bobot Molekul dengan Analisis SDS PAGE Pembuatan Gel 10% SDS-PAGE. Pembuatan gel SDS PAGE diawali dengan pembuatan separation gel. Akuades sebanyak 1.9 mL ditambahkan dengan 1.3 mL buferTris-HCl pH 8.8 1.5 M, 1.7 mL 30% akrilamid (30:1), 50 µL SDS 10%, 50 µL APS (amonium persulfat) 10%, dan 2 µL TEMED (N,N,N’,N’-tetrametil-etilendiamin). Campuran tersebut kemudian diaduk dan dicetak ke dalam cetakan gel hingga mencapai 2/3 bagian cetakan, kemudian 1/3 bagian diisi dengan akuades dan didiamkan sampai gel mengeras. Stacking gel dibuat dengan campuran 1.4 mL akuades, 250 µL buferTrisHCl pH 6.8 1 M, 330 µL 30% akrilamid, 20 µL SDS 10%, 20 µL APS 10%, dan 2 µL TEMED. Selanjutnya campuran tersebut diaduk, sementara itu akuades dalam 1/3 bagian cetakan dibuang, untuk kemudian diganti dengan campuran stacking gel. Sisir pencetak sumur disisipkan pada cetakan. Preparasi dan Running Sampel. Sampel protein ditambahkan dengan 2x SB (sample buffer) dalam volume 30 µL dengan perbandingan 1:1. Campuran protein dan SB dididihkan dalam tabung vial 1.5 mL selama 10 menit. Gel dimasukkan ke dalam bak elektroforesis yang telah diisi running buffer. Sampel yang telah disiapkan dimasukkan sebanyak 10-20 µL ke dalam sumur. Elektroforesis dijalankan pada tegangan listrik 110 V dengan arus 120 mA hingga sampel mencapai batas bawah gel.
8 Pewarnaan Gel. Gel SDS-PAGE dimasukkan ke dalam wadah yang berisi reagen pewarna (0.25 g Coomassie Brilliant Blue R250, 125 mL metanol, 25 mL asam asetat glasial, dan 100 mL akuades). Pewarnaan dapat dilakukan selama 2-3 jam. Pewarna yang tidak berikatan dengan sampel dalam gel dicuci dengan proses destaining. Gel dimasukkan ke dalam wadah yang berisi larutan pencuci (10 mL metanol, 100 mL asam asetat glasial, dan 800 mL akuades). Pencucian warna dilakukan sekitar 24 jam pada orbital. Analisis Bobot Molekul. Gel yang telah diwarnai, kemudian didokumentasikan. Bobot molekul dianalisis dengan perangkat lunak Photocapt-MW. Bioasai Sebanyak 100 μl suspensi protein toksin dengan konsentrasi 0.5, 1, 2.5, 5, 10, 20, dan 40 μg/ml dicampur dengan 0.5 g pakan buatan hingga merata. Kemudian pakan diletakkan dalam gelas plastik (vol. 50 ml) lalu dikering anginkan selama semalam (±18 jam) pada suhu ruang (25oC). Selanjutnya pada setiap tabung diinfestasikan 5 ekor larva Tenebrio molitor instar II-III. Mortalitas larva diamati setiap hari selama 7 hari (Tan et al 2006). Setelah dilakukan pengamatan tingkat mortalitas pada larva, dilakukan pula penentuan nilai LC50 untuk setiap protein toksin.
HASIL DAN PEMBAHASAN Biakan Bakteri S. marcescens Bakteri entomopatogen yang digunakan pada penelitian ini adalah bakteri Serratia marcescens isolat SM201102 yang diisolasi dari wereng batang coklat koloni Sukamandi. Setelah pengkulturan didapatkan biakan bakteri yang berwarna merah. Hal ini menandakan bakteri merah (S. marcescens) benar-benar tumbuh pada media tersebut. Pigmen merah tersebut merupakan prodigiosin, yaitu biopigmen yang dihasilkan oleh bakteri ini ketika berada pada rentang suhu 27oC-30oC (Sundaramoorthy et al 2009). Pigmen merah yang dihasilkan menandakan bahwa bakteri merah sedang berada pada fase stasioner, hal ini sesuai dengan kurva pertumbuhan S. marcescens yang menunjukkan terjadinya fase stasioner pada jam ke 40-50 inkubasi (Hardjito et al 2002). Kurva pertumbuhan S. marcescens dapat diamati pada Lampiran 3. Fase stasioner
ditandai dengan banyak dihasilkannya produk-produk metabolit oleh sel bakteri. Produk metabolisme yang dihasilkan tersebut antara lain adalah fosfolipase, lipase, protease dan beberapa antibiotik, kompleks protein toksin (kompleks toksin) berberat molekul tinggi, lipopolisakarida, serta berbagai macam antibodi (Akhdiya et al 2007). Hasil Isolasi Protein Insektisidal Isolasi protein insektisidal dilakukan menggunakan metode sentrifugasi dengan kecepatan tinggi. Setelah proses sentrifugasi dihasilkan supernatan yang merupakan ekstrak bebas sel yang berwarna kuning kemerahan (warna kuning berasal dari media LB dan kemerahan merupakan pigmen prodigiosin yang dihasilkan bakteri) serta masih memiliki bau khas biakan S. marcescens. Supernatan yang dihasilkan tersebut merupakan ekstrak kasar yang mengandung protein insektisidal S. marcescens. Protein insektisidal yang ada dalam supernatan kemudian akan dimurnikan lebih lanjut menggunakan metode presipitasi ammonium sulfat, dialisis, dan kromaografi kolom penukar ion. Hasil Presipitasi Protein Insektisidal Menggunakan Amonium Sulfat Ekstrak kasar protein insektisidal yang dihasilkan dari proses pemisahan sel dipresipitasikan dengan ammonium sulfat hingga mencapai konsentrasi ammonium sulfat 100%. Setelah proses presipitasi didapatkan endapan protein yang kemudian diresuspensi menggunakan buffer salin fosfat (PBS 1x) hingga didapat protein presipitat sebanyak 10 ml. Protein presipitat yang dihasilkan berwarna cokelat pekat dan berbau sama dengan biakan awal bakteri S. marcescens. Protein insektisidal yang dihasilkan dari proses pengendapan dengan ammonium sulfat ini (selanjutnya disebut protein insektisidal nondialisis) ditentukan konsentrasinya menggunakan metode Bradford. Protein insektisidal nondialisis memiliki konsentrasi sebesar 6415.909 µg/ml. Presipitasi dengan kejenuhan 100% ini dimaksudkan agar protein insektisidal yang terdapat pada ekstrak kasar tersebut dapat terendapkan dengan sempurna. Presipitasi menggunakan garam amoniun sulfat dipilih karena umumnya presipitasi menggunakan garam ini bersifat lebih dapat balik dibandingkan presipitasi menggunakan pelarut organik. Setelah proses presipitasi dengan ammonium sulfat, protein presipitat
9
Hasil Dialisis Protein Insektisidal Dialisis merupakan suatu metode yang digunakan untuk memisahkan molekulmolekul yang berukuran lebih besar dari molekul yang ukurannya lebih kecil dalam suatu media. Dialisis dilakukan pada protein insektisidal yang dihasilkan melalui proses presipitasi menggunakan ammonium sulfat. Protein presipitat diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam kantung membran selofan. Proses dialisis dilakukan selama semalam (±18 jam) dalam bufer PBS. Setelah proses dialisis didapat protein dialisat sebanyak 3 ml yang berwarna cokelat tua dan masih memiliki bau khas biakan S. marcescens. Protein hasil dialisis kemudian ditentukan konsentrasinya menggunakan uji Bradford. Berdasarkan hasil uji, didapat konsentrasi protein dialisis sebesar 2335.227 µg/ml. Dialisis yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kantung membran selofan sebagai membran semipermiabel dengan ukuran porinya (cut off) maksimal 12 KDa. Hal ini dimaksudkan agar molekul protein yang memiliki ukuran yang lebih kecil akan terdistribusi dengan sendirinya keluar membran (ke larutan bufer) semipermiabel hingga tercapai kesetimbangan antara cairan di dalam dan di luar kantung. Sementara molekul protein insektisidal yang lebih besar dari 12 KDa akan tetap berada di dalam kantung membran (Koolman & Roehm 2005). Ketepatan ukuran molekul protein yang didapat pada proses dialisis akan terlihat dari hasil analisis bobot molekul protein menggunakan SDS PAGE. Protein hasil dialisis ini (selanjutnya disebut protein dialisis) selanjutnya akan diuji toksisitasnya pada larva serangga T. molitor instar II-III. Hasil Pemurnian Protein Insektisidal menggunakan Kromatografi Kolom Penukar Ion Adanya variasi muatan pada kompleks protein yang satu dengan lainnya memungkinkan untuk digunakannnya metode
kromatografi penukar ion dalam pemurniannya. Protein insektisidal yang terdapat dalam supernatan kultur dimurnikan menggunakan metode kromatografi kolom penukar ion. Elusi dilakukan menggunakan KCl dengan konsentrasi 300 mM agar menjaga aktivitas protein insektisidal serta mereduksi adanya protein-protein lainnya (Bowen & Esign 1998). Setelah proses elusi, dihasilkan 35 fraksi yang ditampung berdasarkan volumenya. Setiap 2 ml fraksi yang dihasilkan ditampung. Fraksi-fraksi yang dihasilkan kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 280 nm dengan spektrofotometer UV Vis. Hasil pembacaan absorban untuk 35 fraksi protein insektisidal disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan pembacaan absorban dari fraksi-fraksi yang ditampung dihasilkan kromatogram pada Gambar 4. Diambil dua fraksi protein yang masingmasing terletak pada titik A dan B. Berdasarkan pembacaan absorban, diduga pada titik tersebut terdapat protein insektisidal yang memiliki aktivitas tosik. Kedua fraksi tersebut dipekatkan dengan metode freeze dry, kemudian diukur konsentrasinya dengan metode Bradford. Setelah uji Bradford diketahui bahwa protein insektisidal fraksi A dan Fraksi B, masing-masing memilki konsentrasi sebesar 2196.591 µg/ml dan 76.222 µg/ml. Keduanya memiliki konsentrasi yang jauh berbeda. Efek toksik protein insektisidal Fraksi A dan B akan ditentukan melalui uji toksisitas terhadap serangga hama T. molitor instar II-III.
Absorban λ 280 nm
tidak terdenaturasi dan aktivitasnya dapat diperbaiki selama pelarutan pelet kembali. Selain itu, garam-garam ini dapat menstabilkan protein melawan denaturasi, proteolisis ataupun kontaminasi bakteri (Mutiah 2005). Protein insektisidal presipitat yang dihasilkan sebagian dimurnikan kembali dengan metode dialisis. Protein insektisidal nondialisis kemudian diuji toksisitasnya pada larva Tenebrio molitor instar II-III secara oral.
1.400 1.200 1.000 0.800 0.600 0.400 0.200 0.000
A B
0
50 Fraksi protein
100
Gambar 4 Kromatogram fraksi-fraksi hasil pemurnian protein insektisidal dengan kromatografi kolom penukar ion. Profil Protein Insektisidal pada Natif Gel Analisis natif PAGE ini dilakukan untuk mengetahui bobot molekul protein sebelum terdenaturasi dan untuk mengetahui apakah
10 protein insektisidal terdiri atas satu kompleks toksin atau beberapa kompleks toksin (Bollag et al 1996). Analisis natif PAGE dilakukan pada sampel protein insektisidal yang masih berupa protein hasil presipitasi ammonium sulfat. Setelah dilakukan elektroforesis didapat elektroforegram seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Hasil natif PAGE tersebut menunjukkan bahwa protein insektisidal terdiri atas beberapa kompleks toksin dengan ukuran yang berbeda. Protein insektisidal S. marcescens terdiri atas tiga subkompleks toksin yang ditandai dengan munculnya tiga pita protein pada gel natif. Masing-masing berukuran 87.50, 57.40, dan 53.21 KDa. Sebagai perbandingan, hasil analisis natif gel untuk protein insektisidal bakteri P. luminescens menghasilkan tiga pita pula dengan bobot molekul yang berkisar antara 55 hingga 66.2 KDa. Berdasarkan hasil analisis natif PAGE tersebut diduga bahwa protein insektisidal S. marcescens merupakan protein yang bersifat multimerik, artinya efek toksin baru akan ditimbulkan ketika protein berada dalam bentuk kompleks. Jika dilihat dari mekanisme toksisitas dari penelitian mengenai protein toksin P. luminescens, menyatakan pula bahwa efek toksik baru akan muncul ketika subkompleks protein toksin ini berinteraksi dengan subkompleks protein lainnya (Binglin et al 2007). Ketiga protein subkompleks yang telah terseparasi tersebut diduga memiliki perannya masing-masing dalam menimbulkan efek toksin. Namun belum dapat dipastikan apakah ketiga protein subkompleks tersebut merupakan produk dari satu gen ataukan produk dari gen yang berbeda (Bowen & Esign 1998).
Gambar
5
Hasil natif PAGE protein insektisidal : Marker protein (M) dan protein sampel (S)
Profil Protein Insektisidal pada Elektroforegram SDS PAGE Analisis bobot molekul keempat protein insektisidal yang telah dimurnikan dilakukan dengan SDS PAGE. Prinsip dasar metode ini adalah pergerakan molekul protein pada media yang dialiri arus listrik. Molekul protein akan bergerak dari katoda ke anoda, pergerakan molekul protein dipengaruhi oleh ukuran, bentuk, dan muatan elektrik protein tersebut (Koolman & Roehm 2005). Selain analisis ukuran molekul dari protein, dengan dilakukannya analisis SDS PAGE juga dapat menunjukkan tingkat kemurnian protein yang dihasilkan (Barker 1998). Berdasarkan hasil SDS PAGE yang ditunjukkan pada Gambar 6 dan 7, terlihat bahwa protein insektisidal fraksi A, fraksi B, dialisis, dan nondialisis memiliki jumah pita yang berbeda setelah diwarnai. Protein insektisidal fraksi A (lajur 2) memperlihatkan adanya 10 pita protein dengan bobot molekul 14.00 KDa hingga 95.29 KDa. Protein insektisidal fraksi B (lajur 1) memperlihatkan adanya 6 pita protein yang berbobot molekul 30.42 KDa hingga 95.29 KDa. Protein insektidal dialisis (lajur 3) memperlihatkan jumlah pita protein yang sama dengan protein fraksi A, namun dengan rentang ukuran molekul yang berbeda. Protein insektisidal hasil dialisis memiliki rentang ukuran molekul protein dari 12.75 KDa hingga 95.29 KDa. Sementara protein nondialisis (lajur 4) memiliki jumlah pita protein yang paling banyak, yaitu 11 pita protein dengan rentang ukuran molekul 12.25 KDa hingga 95.29 KDa. Perbedaan jumlah pita protein pada hasil analisis SDS PAGE ini menandakan tingkat kemurnian masing-masing protein insektisidal yang juga berbeda. Terlihat pada Gambar 6 dan 7 protein insektisidal dengan tahap pemurnian terendah, protein nondialisis (lajur 4) memiliki jumlah pita protein yang paling banyak yaitu sebnayak 11 pita protein. Berdasarkan hasil elektroforesis keempat protein insektisidal tersebut, masing-masing protein memiliki pita dengan ukuran yang mirip. Terlihat pada Gambar 6 dan 7 masingmasing protein insektisidal memiliki kesamaan rentang bobot molekul dari 30 KDa hingga yang tertinggi 95.29 KDa. Hal ini dibuktikan dengan adanya pita dengan ukuran 95.29 KDa dan 58~59 KDa pada masingmasing protein insektisidal. Hasil SDS PAGE ini sesuai dengan penelitian mengenai protein insektisidal bakteri entomopatogen Photorabdus luminescens yang pernah dilakukan oleh Bowen dan Esign pada tahun
11 1998, bahwa kompleks toksin bakteri entomopatogen memiliki beberapa pita protein dengan bobot molekul 30 KDa hingga lebih dari 212 KDa. Jika dihubungkan dengan hasil uji toksisitas, protein insektisidal fraksi B memiliki efek toksin yang paling baik. Hal ini ditunjukkan oleh grafik persentase mortalitas larva serangga uji terhadap protein insektisidal fraksi B (grafik terdapat pada Lampiran 10) yang cenderung naik seiring dengan naiknya dosis toksin yang diberikan. Namun belum dapat dipastikan pita protein mana yang memiliki efek toksin, karena belum diketahui apakah pita-pita tersebut merupakan suatu subunit yang berasal dari satu protein insektisidal atau masing-masing pita protein tersebut memiliki aktivitas toksinnya sendiri (Akhdiya et al 2007). Oleh karena itu diperlukan penelitian yang lebih lanjut agar dapat diketahui apakah terdapat aktivitas toksin pada masing-masing pita protein atau apakah jenis protein insektisidal S. marcescens bersifat multimerik.
2
4
Gambar
Gambar
M
6
Hasil SDS PAGE insektisidal. Marker (M), protein fraksi protein fraksi A (2), dialisis (3), dan nondialisis (4)
1
protein protein B (1), protein protein
3
7
Hasil SDS PAGE protein insektisidal dan ukuran masingmasing pita protein. Marker protein (M), protein fraksi B (1), protein fraksi A (2), protein dialisis (3), dan protein nondialisis (4)
Toksisitas Protein Insektisidal Serratia marcescens Biosai atau uji toksisitas dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan efek oral yang dimiliki oleh protein toksin S. marcescens yang dihasilkan pada setiap tahap pemurnian. Tingkat mortalitas serta gejala kematian diamati pada uji toksisitas ini. Uji toksisitas ini dilakukan selama tujuh hari dan diamati setiap harinya (Tan et al 2006). Pengamatan tingkat mortalitas dilakukan terhadap larva T. molitor instar II-III. Uji toksisitas tidak dilakukan langsung pada wereng, hal ini disebabkan tipe mulut wereng merupakan mulut pencucuk dan penghisap sehingga kurang cocok digunakan sebagai hewan uji untuk protein insektisidal yang bersifat oral (Prriyatno et al 2011). Larva serangga T. molitor merupakan larva serangga
12 yang sudah umum digunakan sebagai hewan uji protein insektisidal karena memiliki nafsu makan yang cukup besar (mudah lapar), mudah dibiakkan, serta memiliki fase instar yang cukup lama sebelum berubah menjadi serangga (Herman et al 2004). Larva serangga yang diberi perlakuan protein insektisidal baru menimbulkan gejala keracunan setelah hari ke tiga uji toksisitas. Gejala keracunan yang terjadi adalah mulai timbulnya warna kehitaman pada bagian atas tubuh larva, kemudian larva berhenti makan, dan seluruh tubuh larva berubah warna hitam ketika mati. Gejala toksisitas ini mirip dengan gejala toksisitas yang ditimbulkan oleh deltaendotoksin Bt. Gejala toksik yang dtimbulkan pada larva serangga dapat diamati pada Gambar 8. Larva yang mati
Gambar 8 Gejala toksisitas pada larva T. molitor Berdasarkan hasil pengamatan, tingkat mortalitas yang ditimbulkan oleh setiap protein insektisidal berbeda. Presentase mortalitas masing-masing protein insektisidal disajikan pada Tabel 1 dan presentase mortalitas dalam bentuk grafik dapat diamati pada Lampiran 7, 8, 9, dan 10. Berdasarkan data bioasai pada Tabel 1 terlihat bahwa dari keempat protein insektisidal yang diujikan terhadap larva serangga hanya protein insektisidal fraksi B yang menunjukkan persentase mortalitas yang semakin tinggi seiring dengan dinaikannya dosis protein insektisidal. Sementara jika diperhatikan tingkat mortalitas yang diakibatkan oleh ketiga protein insektisidal yang lainnya, terjadi ketidaksesuaian antara mortalitas yang terjadi dengan dosis yang diberikan. Contohnya pada protein insektisidal nondialisis yang memberikan efek mortalitas yang tinggi pada tingkat dosis terendah, sementara ketika dosis dinaikkan mortalitas yang terjadi justru menurun. Hal ini dapat terjadi karena ketahanan individu larva yang secara genetik berbeda terhadap protein insektisidal. Selain itu diduga karena proses
makan oleh larva yang terhenti sebelum protein insektisidal menimnbulkan efek toksin. Namun tingkat mortalitas yang ditimbulkan oleh setiap protein insektisidal dapat dipastikan bukan terjadi karena keracunan pelarut, hal ini terlihat dari tidak adanya kematian pada setiap kontrol. Kontrol yang digunakan adalah pakan buatan larva yang dicampur dengan pelarut saja tanpa protein insektisidal. Tabel 1 Data mortalitas protein insektisidal terhadap larva T. molitor Protein Konsentrasi % Mortalitas± µg/ml SE Nondialisis 0 0 0.5 40±20 1 26.7±11.5 2.5 33.3±23.1 5 40±20 10 44.4±13.9 20 26.7±11.5 40 26.7±11.5 Dialisis 0 0 0.5 19.3±1.3 1 27.8±10.7 2.5 20±0 5 33.3±11.5 10 40±0 20 53.3±11.5 40 45.9±12.2 Fraksi A 0 0 0.5 40±20 1 40±20 2.5 25.9±10.3 5 40±20 10 49.9±10 20 37.7±3.2 40 46.7±11.5 Fraksi B 0 0 0.5 26.7±11.5 1 26.7±11.5 2.5 40±20 5 53.3±11.5 10 57.8±3.9 20 71.1±15.4 40 66.7±11.5 Keterangan: Standar deviasi (SE)
13 Penentuan LC50 Lethal concentration (LC50) merupakan konsentrasi toksin yang dapat membunuh 50% dari populasi hewan uji. Setelah dilakukan pengamatan selama 7 hari (Tan et al 2006), didapatkan persentase kematian larva. Kemudian dilakukan analisis probit untuk menentukan nilai LC50 dari setiap protein insektisidal yang diujikan. Nilai probit didapat dengan cara mentransformasikan persentase kematian ke unit probit menggunakan tabel tranformasi nilai probit yang terdapat pada Lampiran 11. Nilai probit yang didapat kemudian diregresikan terhadap Log konsentrasi protein insektisidal yang diujikan. Selanjutnya didapat grafik dan persamaan linier untuk masingmasing protein insektisidal. Grafik serta persamaan linier untuk masing-masing protein insektisidal dapat diamati pada Lampiran 12, 13, 14, dan 15. Penentuan LC50 dilakukan dengan cara memasukkan nilai probit 5 sebagai nilai y pada persamaan grafik probit hingga didapat nilai x. Nilai antiLog x tersebut merupakan konsentrasi LC50 dari protein insektisidal yang diujikan. Setelah dilakukan analisis probit persentase mortalitas dan perhitungan LC50 didapatkan konsentrasi LC50 untuk masingmasing protein insektisidal. Protein insektisidal fraksi A memiliki nilai LC50 pada konsentrasi 9.33µg/ml, protein insektisidal fraksi B memiliki nilai LC50 pada konsentrasi 4.82µg/ml, protein dialisis pada konsentrasi 23.44µg/ml, dan protein nondialisis pada konsentrasi 19.49µg/ml. Hasil analisis probit menunjukkan nilai LC50 yang berbeda-beda antara keempat protein insektisidal yang diujikan. Hal ini sesuai dengan tingkat kematian yang juga sangat bervariasi di antara keempat protein insektisidal. Tingkat kemurnian protein insektisidal (tahap pemurnian yang didapat) juga mempengaruhi nilai LC50 setiap protein insektisidal. Hasil analisis probit menunjukkan bahwa protein fraksi B memiliki nilai LC50 yang paling kecil dibandingkan dengan ketiga protein insektisidal lainnya. Telah diketahui bahwa protein insektisidal Fraksi B merupakan protein insektisidal yang diperoleh melalui proses pemurnian hingga tahap kromatografi penukar ion, sehingga dapat dikatakan protein insektisidal yang melalui pemurnian dengan kromatografi penukar ion ini merupakan protein insektisidal yang memiliki tingkat kemurnian paling tinggi pada penelitian ini. Sementara itu protein insektisidal fraksi A yang juga melewati proses pemurnian dengan
kromatografi penukar ion juga memiliki nilai LC50 yang cukup rendah dibandingkan dengan protein insektisidal yang hanya melewati proses pemurnian presipitasi amonium sulfat (nondialisis) dan dialisis.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Protein insektisidal yang diisolasi dari bakteri entomopatogen Serratia marcescens merupakan protein toksin yang bersifat oral. Hasil natif PAGE dan SDS PAGE protein toksin menunjukkan adanya kemungkinan protein toksin bersifat multimerik dengan bobot molekul protein yang diduga berkisar antara 30.42 KDa sampai dengan 95.29 KDa. Berdasarkan hasil analisis probit, protein toksin fraksi B merupakan protein toksin dengan nilai LC50 terendah, yaitu pada konsentrasi 4.82 µg/ml.
Saran Penelitian protein insektisidal dari bakteri entomopatogen Serratia marcescens ini perlu dilanjutkan hingga jenis kompleks toksin dapat diidentifikasi apakah merupakan toksin TCa atau TCd. Teknik bioasai perlu diperbaiki agar didapat hasil yang lebih maksimum dan perlu juga dilakukan uji toksisitas lanjutan untuk mengetahui apakah protein toksin ini berspektrum luas atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA Akhdiya A, Pratiwi E, dan Samudra I M. 2007. Protein toksin dari bakteri pathogen serangga Photorjabdus luminescens HJ. Berita Biologi 8 (6). Arifin K. 2011. Penggunaan musuh alami sebagai komponen pengendalian hama padi berbasis ekologi. Pengembangan Inovasi Pertanian 4:29-46. Barker K. 1998. At the Bench : A Laboratory navigator. New York : Cold Spring Harbor Laboratory Press. Baskoro et al. 2002. Pengendalian serangga hama dengan menggunakan bakteri merah. Laporan Hasil Penelitian, Balai Pengamatan dan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman.
14 Binglin T, Trevor AJ, dan Mark RHH. 2006. Virulence of Serratia strains against Costelytra zealandica. Applied and Environmental Microbiology 72: 6417-6418. Blackburn M, Golubeva E, Bowen D, ffrenchConstant RH. 1998. A novel insecticidal toxin from Photorhabdus luminescens, Toxin complex a (Tca) and its histopathological effects on the midgut of Manduca sexta. Appl Environ Microbiol64(8):3036-3041. Bollag DM, Rozycki MD, Edelstein SJ. 1996. Protein Methods. Ed ke 2. Michigan: Willey-Liss. Bowen DJ dan Ensign JC. 1998. Purification and characterization of high molecular weight insecticidal protein complex produced by entomophatogenic bacteriumPhotorabdus luminescens. Appl. Environ Microbiol 64: 30293035. Bowen D, Rocheleau T, Blackburn M, Andreev O, Golubeva E, Bhartia R, dan Ffrench-Constant RH. 1998. Insecticidal toxins from the bacterium Photorhabdus luminescens. Science 280:2129-2132. Buell CR, Joardar V, Lindeberg M et al. 2003. The complete genome sequence of the Arabidopsis and tomato pathogen Pseudomonas syringae pv. tomato DC3000. Proc Natl Acad Sci USA 100: 10181–10186. Claridge M F, J Den Hollander. 1983. The biotype concept and itsapplication to insect pests of agriculture.Crop Protection 2:85-95. Dodd SJ, Hurst MR, Glare TR, O'Callaghan M, Ronson CW. 2006. Occurrence of sep insecticidal toxin complex genes in Serratia spp. and Yersinia frederiksenii. Appl Environ Microbiol 72:6584-6592. Duchaud et al. 2003. The genome sequence of the enthomopathogenic bacterium Photorabdus luminescens. Nat. Biotechnol 21: 1307-1313.
Finney DJ. 1952. Probit Analysis. Cambridge : Cambridge University Press. Flyg Casper dan Xanthopoulos G Kleanthis. 1983. Insect phatogenic properties of S. marcescens passive and active resistance to insect immunity studied with protease-deficient and phage – resistance mutants. Journal of General microbiology 129 :453-464. Forst, S. and K. Nealson. 1996. Molecular biology of the symbioticpathogenic bacteria Xenorhabdus spp. and Photorhabdus spp. Microbiological Reviews 60:21-43. Granados, G. 2000. Maize insects. Tropical Maize. Improvement and production. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. p. 81−349. Hardjito L, Huq A, dan Colwell R R. 2002. The influence of environmental conditions on the production of pigment by Serratia marcescens. Biotech Bioprocess Eng 7:100-104. Hedhammar M, Karlstrom AE, dan Hober S. 2005. Chromatographic Methods for Protein Purification. Stockholm : AlbaNova University Press. Herman M, Kusumawati K, dan Diani D. 2004. Perakitan dan Bioasai Tanaman Transgenik Tahan Serangga Hama. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Hofte H, Whitely HR. 1989. Insecticidal crystal protein of Bacillus thuringiensis. Microbiol. Rev. 53:242–255. Hurst MRH, Glare TR, Jackson TA, dan Ronson CW. 2000. Plasmid-located pathogenicity determination of Serratia entomophila, the causal agent of amber diseases of grass grub, showing similarity to the insecticidal toxins of Photorhabdus luminescens. J. Bacteriol. 182:5127– 5138.
15 Iman M dan Priyatno TP. 2001. Paradigma Baru Pengendalian Wereng Batang Coklat. Buletin AgroBio 4:50-55. Khanafari et al. 2006. Review of prodigiosin, pigmentation in Serratia marcescens. Biological Sciences 6 (1): 1-13. Koolman J, Roehm KH. 2005. Atlas of Biochemistry. Ed ke-2. New York : Thieme. Lauzon CR, Bussert TG, Sjogren RE, Prokopy RJ. 2003. Serratia marcescens as a bacterial pathogen of Rhagoletis pomonella flies. J entomol 100:8792. Leopold Kurz et al. 2003. Virulence factors of the human opportunistic pathogen S. marcescens identified by in vivo screening. EMBO Journal 22(7): 1451-1460. Liu D et al. 2003. Insect resistence conffered by 283 kDa Photorabdus luminescens TcdA in Arabidopsis thaliana. Nat. Biotechnol 21: 12221228. Mame TJ, Costerton Jw. 1998. Prolonged survival of S. marcescens in chlorhexidine. Appl Envimn Micmbiol 42:1093-1102. Muliawan SY. 2009. Bakteri Anaerob yang Erat Kaitannya dengan Problem di Klinik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Mutiah D. 2005. Ultrafiltrasi, presipitasi bertingkat dan kromatografi penukar ion sebagai tahapan pemurnian enzim proteaseBacillus megaterium MS-961 [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut pertanian Bogor. Mutuura A, and Munroe E, 1970. Taxonomy and distribution of the European corn borer and allied species: genus Ostrinia (Lepidoptera:Pyralidae). Memoirs of the Entomological Society of Canada No.71, 112 pp. Mohan M, Selvakumar G, Sushil SN, Bhatt JC dan Gupta HS, 2011. Entomopathogenicity of endophytic S. marcescens strain SRM against
larvae of Helicoverpa armigera (Noctuidae: Lepidoptera). World J. Microbiol. Biotechnol. Published online: 07 April 2011. Morgan JA., M Sergeant, D Ellis, M Ousley, and P Jarrett. 2001. Sequence analysis of insecticidal genes from Xenorhabdus nematophilus PMFI296. Appl. Environ. Microbiol. 67:2062–2069. Oppert B. 2010. Rapi bioassay to screen potential biopesticides in T. molitor larvae. Biopesticide International. 6 : 67-73 Parkhill J et al. 2001. Genome sequence of Yersinia pestis, the causative agent of plague. Nature 413:523–527. Prabhakar S. 2006. Molecular characterization of digestive proteases of the yellow mealworm, Tenebrio molitor L. [Disertasi].Manhattan : Kansas state University. Priyatno
TP et al. 2011. Identifikasi Entomopatogen Bakteri Merah pada Wereng Batang Coklat (Nilaparva lugens Stål.). Jurnal AgroBiogen 7:85-95.
Rand & Laing. 2011. Determination of insecticidal toxicity of three species of entomopathogenic spore-forming bacterial isolates against T. molitor. African Journal of Microbiology Research. 5:2222-2228. Scopes RK. 1993. Protein Purification: Principles and Practice. Ed ke-3. New York: Springer Press. Singh G, Sharma R Joginder, dan Hoondal S Gurinder. 2008. Chitinase Production by Serratia marcescens GG5. Turk J Biol. 32: 231-236. Simpson J R. 2002. Proteins and Proteomics : A Laboratory Manual. New York : Cold Spring Harbor Press. Sundaramoorthy N, Yogesh P, Rhandapani R. 2009. Production of prodigiosin from Serratia marcescens isolated from soil. Indian Journal of Science and Technology 2: 32-34.
16 Vasconcelos et al. 2003. The complete genome sequence of Chromobacterium violaceum reveals remarkable and exploitable bacterial adaptability. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 100:11660–11665. Waterfield N, Dowling A, Sharma S, Daborn PJ, Potter U, dan Ffrench CRH. 2001. Oral toxicity of Photorhabdus luminescens W14 toxin complexes in Escherichia coli. Appl. Environ. Microbiol 67:5017–5024. Waterfield N, Hares M, Yang G, Dowling A, dan Ffrench-Constant R. 2005. Potentiation and cellular phenotypes of the insecticidal toxin complexes of Photorhabdus bacteria. Cell Microbiol 7: 373–382. Yuwono
Triwibowo. 2005. Biologi Molekular. Jakarta : Erlangga.
17
LAMPIRAN
18
Lampiran 1 Alur metode penelitian Kultur bakteri Serratia marcescens Pemisahan sel bakteri
Supernatan yang mengandung protein insektisidal Pengendapan ammonium sulfat
Protein nondialisis
Fraksi didialisis
Protein dialisis
Kromatografi kolom dengan eluen KCl 300 mM
Fraksi dengan puncak terbaik ditampung
protein Fraksi A dan B
SDS PAGE
Bioasai menggunakan serangga
19
Lampiran 2 Bagan uji toksisitas protein insektisidal Serratia marcescens terhadap Larva Tenebrio molitor Protein insektisidal S. marcescens yang telah dimurnikan
Protein Nondialisis
Protein Dialisis
Protein Fraksi A
Protein Fraksi B
Masing-masing protein di buat ke dalam 7 konsentrasi (dosis) : 0.5 µg/ml, 1 µg/ml, 2.5 µg/ml, 5 µg/ml, 10 µg/ml, 20 µg/ml, dan 40 µg/ml.
Dilakukan tiga ulangan untunk setiap dosis Protein insektisidal S. marcescens Pakan buatan luntuk larva Lima ekor larva T. molitor instar II-III diinveskan pada setiap ulangan dosis
Pengamatan dilakukan selama 7 hari
20
Lampiran 3 Kurva pertumbuhan Serratia marcescens
(Hardjito et al 2002) Lampiran 4 Data pengukuran konsentrasi protein insektisidal hasil kromatografi penukar ion pada A280 Elusi KCl 300 mM
No Fraksi
A280
[protein] (mg/ml)
[protein] (u/ml)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1.206 1.195 1.139 1.101 1.060 1.035 1.019 1.232 1.243 0.950 0.924 1.012 1.188 1.252 1.250 1.232 1.225 1.212 1.226 1.224 1.229 1.235 1.216 1.238 1.226
0.928 0.919 0.876 0.847 0.815 0.796 0.784 0.948 0.956 0.731 0.711 0.778 0.914 0.963 0.962 0.948 0.942 0.932 0.943 0.942 0.945 0.950 0.935 0.952 0.943
927.692 919.231 876.154 846.923 815.385 796.154 783.846 947.692 956.154 730.769 710.769 778.462 913.846 963.077 961.538 947.692 942.308 932.308 943.077 941.538 945.385 950.000 935.385 952.308 943.077
21
Tabel lanjutan.. 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
1.219 1.202 1.204 1.188 1.173 1.198 1.180 1.178 1.175 1.173
0.938 0.925 0.926 0.914 0.902 0.922 0.908 0.906 0.904 0.902
937.692 924.615 926.154 913.846 902.308 921.538 907.692 906.154 903.846 902.308
Lampiran 5 Kurva standar protein 0.300 0.250
Absorban
0.200 y = 0.0088x + 0.0729 R² = 0.9458
0.150 0.100 0.050 0.000 0
5
10
15
20
25
konsentrasi albumin (µg/ml)
Lampiran 6 Hasil penentuan konsentrasi protein insektisidal S. marcescens dengan uji Bradford dan contoh perhitungan Protein
FP
A595
A595 terkoreksi
[protein] (mg/ml)
[protein] xFP (ug/ml)
Dialisis
200 800 400 800 200 400 5 10
0.27 0.205 0.313 0.25 0.292 0.216 0.287 0.256
0.166 0.101 0.209 0.146 0.188 0.112 0.183 0.152
10.580 3.193 15.466 8.307 13.080 4.443 12.511 8.989
2115.909 2554.545 6186.364 6645.455 2615.909 1777.273 62.557 89.886
Nondialisis Fraksi A Fraksi B
Contoh perhitungan : Protein Dialisis A595 terkoreksi = 0.166 Faktor pengenceran (FP) = 200x
y = 0.166 x = konsentrasi protein
[protein] rata-rata (ug/ml) 2335.227 6415.909 2196.591 76.222
22
Persamaan kurva standar y = 0.0088x + 0.0729 0.0729 0.0088 0.166 0.0729 0.0088 10.580 10.580 200 2115.909 /ml
Persentase mortalitas
Lampiran 7 Persentase mortalitas larva terhadap protein insektisidal nondialisis 100.0 80.0 44.4±13.9
60.0
40.0±20.0 26.7±11.5 33.3±23.1 40.0±20.0
40.0 20.0
26.7±11.5
26.7±11.5
0.0
0.0 0
0.5
1
2.5 5 Dosis µg/ml
10
20
40
Persentase mortalitas
Lampiran 8 Persentase mortalitas larva terhadap protein insektisidal dialisis 100.0 80.0 60.0
19.3±1.3
27.8±10.7
20.0±0
1
2.5
33.3±11.5 40.0±0
53.3±11.5
45.9±12.2
40.0 20.0
0.0
0.0 0
0.5
5
10
20
40
Dosis µg/ml
Persentase mortalitas
Lampiran 9 Persentase mortalitas larva terhadap protein insektisidal Fraksi A 100.0 80.0 40.0±20.0
60.0
40.0±20.0
25.9±10.3
1
2.5
40.0±20.0
49.9±10.0
5
10
37.7±3.2 46.7±11.5
40.0 20.0
0.0
0.0 0
0.5
Dosis µg/ml
20
40
23
Lampiran 10 Persentase mortalitas larva terhadap protein insektisidal Fraksi B
Persentase mortalitas
100.0 80.0
26.7±11.5
26.7±11.5
0.5
1
40.0±20.0
53.3±11.5
57.8±3.9
71.1±15.4
10
20
66.7±11.5
60.0 40.0 20.0 0.0 0.0 0
2.5
5
Dosis µg/ml
Lampiran 11 Transformasi presentase mortalitas ke nilai probit
(Finney DJ. 1952)
Probit mortalitas
Lampiran 12 Hasil analisis probit protein insektisidal Nondialisis 4.9 4.8 4.7 y = 0.4898x + 4.3678 R² = 0.9565
4.6 4.5 4.4 4.3 0
(A)
0.2
0.4
0.6
0.8
Log konsentrasi dosis
1
1.2
40
24
Lampiran 13 Hasil analisis probit protein insektisidal Dialisis Probit mortalitas
6 5 4
y = 0.508x + 4.3007 R² = 0.8938
3 2 1 0
‐0.5
0
(B)
0.5 Log konsentrasi dosis
1
1.5
Lampiran 14 Hasil analisis probit protein insektisidal Fraksi A Probit mortalitas
5.2 5 4.8 4.6
y = 1.0478x + 3.9768 R² = 0.9819
4.4 4.2 0
(C)
0.5
1
1.5
Log konsentrasi dosis
Lampiran 15 Hasil analisis probit protein insektisidal Fraksi B
Probit mortalitas
6 5 4 y = 0.8642x + 4.4098 R² = 0.9852
3 2 1 0
(D)
0
0.5 1 Log konsentrasi dosis
1.5
Lampiran 16 Contoh perhitungan analisis probit dan penentuan nilai LC50 protein insektisidal fraksi B Persentase mortalitas (%) 0 27 40 53 58 71
Nilai probit 4.39 4.75 5.08 5.20 5.55
Konsentrasi protein (µg/ml) 0 1 2.5 5 10 20
Log konsentrasi protein 0 0.39 0.69 1 1.30
Persamaan kurva LC50 untuk protein fraksi B adalah y = 0.8642x + 4.4098
25
LC50 ditentukan dengan cara memasukkan nilai probit 5 ke persamaan Y=5 5
X = Log konsentrasi protein untuk LC50
0.8642
4.4098
0.8642
4.4098
5
4.4098 0.8642
0.6829 4.8184
/