JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
1
PEMODELAN ARIMA INTENSITAS HUJAN TROPIS DARI DATA PENGUKURAN RAINGAUGE DAN DISDROMETER Muhammad Zainuddin Fanani, Achmad Mauludiyanto Jurusan Teknik Elektro-FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected] Abstrak—Pada sistem komunikasi nirkabel yang handal dan berkecepatan tinggi dibutuhkan sistem komunikasi yang tahan terhadap gangguan dan berkapasitas besar. Pada sistem komunikasi tersebut menggunakan frekuensi tinggi yang dikenal dengan sistem gelombang millimeter pada frekuensi di atas 10 GHz. Salah satu permasalahan propagasi pada sistem komunikasi ini adalah redaman yang disebabkan oleh hujan karena frekuensi di atas 10 GHz rentan terhadap hujan. Apalagi di Indonesia termasuk negara dengan tingkat curah hujan yang tinggi dan memiliki periode musim penghujan yang lama, maka dari itu perlu dilakukan pemahaman mengenai model curah hujan yang terjadi setiap saat. Karena dengan mengetahui model curah hujan, maka dapat ditentukan model redaman hujannya[2]. Hal ini berguna dalam pertimbangan mendesain sistem telekomunikasi yang handal. Pada tugas akhir ini data pemodelan curah hujan didapatkan dari alat ukur hujan disdrometer optik dan raingauge. Lalu dari kedua alat pengukur hujan tersebut datanya akan diolah sedemikian rupa hingga menjadi model ARIMA menggunakan software statistik. Kemudian akan dilakukan proses pembangkitan supaya data hasil pengukuran dan data asli bisa divalidasi. Selain itu pada penelitian ini akan dibandingkan bagaimana hasil pemodelan antara dua alat ukur curah hujan yang berbeda yaitu disdrometer dan raingauge. Pada penelitian ini pengukuran curah hujan dilakukan selama kurang lebih dua setengah bulan. Didapatkan total event hujan dari dua alat pengukur hujan sebanyak 84 event. Kemudian dari 84 event tersebut didapatkan 3 jenis model ARIMA, yaitu model ARIMA (1 0 0), (2 0 0), (3 0 0). Kesemua model tersebut setelah dilakukan proses validasi memiliki hasil yang memuaskan dikarenakan didapatkan error yang sengat kecil, yaitu dibawah 1%. Sehingga pemodelan ini bisa digunakan. Kata
Kunci—ARIMA, Curah hujan, Raingauge Tipping Bucket.
Disdrometer,
I. PENDAHULUAN ebutuhan manusia akan layanan komunikasi nirkabel yang handal dan berkecepatan tinggi (misalnya: internet kecepatan tinggi, video conference dan audio broadcasting, dll), menuntut suatu sistem komunikasi yang tahan terhadap gangguan dan berkapasitas besar. Untuk
K
menunjang hal tersebut, pengembangan sistem komunikasi itu sendiri mulai dialihkan pada penggunaan frekuensi tinggi yang dikenal dengan sistem gelombang millimeter pada frekuensi di atas 10 GHz. Salah satu permasalahan propagasi pada sistem komunikasi ini adalah redaman yang disebabkan oleh hujan karena frekuensi di atas 10 GHz rentan terhadap hujan, sehingga diperlukan adanya pemodelan curah hujan sebagai salah cara untuk mengatasi hal tersebut, karena dengan data pemodelan tersebut bisa dijadikan sebuah acuan dalam mendesain suatu sistem komunikasi. Dalam tugas akhir ini dilakukan penelitian curah hujan yang didekati dengan model ARIMA. Penggunaan model ARIMA merupakan suatu solusi yang tepat untuk meminimalisasi pengaruh redaman hujan pada gelombang milimeter. Dengan menggunakan model ARIMA ini , curah hujan yang merupakan data nonstasioner, dapat didekati mendekati keadaan yang sebenarnya. Pengukuran curah hujan dilakukan di ITS Surabaya menggunakan alat ukur disdrometer optik dan raingauge. Kemudian dari kedua alat tersebut akan didapatkan data curah hujan yang kemudian akan diolah lebih lanjut untuk mendapatkan data hujan per event dimana pengolahannya menggunakan software, supaya di dapatkan data numerik yang dibutuhkan untuk pemodelan. Dari data numerik tersebut kemudian siap untuk dimodelkan menggunakan software statistik dan yang kemudian akan dianalisa dan dilakukan proses validasi bagaimana pemodelan tersebut dengan data pengukuran di lapangan. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan model ARIMA curah hujan yang didapatkan dari data curah hujan yang diukur secara langsung menggunakan dua alat hujan disdrometer optik dan raingauge. Yang kemudian akan dibandingkan bagaimana hasil pemodelan antara dua alat pengukur hujan tersebut. II. METODOLOGI A. Pengukuran Pada tugas akhir ini dalam mengukur curah hujan menggunakan 2 alat, yaitu Disdrometer dan Raingauge. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 Alat Disdrometer yang terletak di ruangan terbuka secara langsung terhubung dengan komputer pengukuran yang berada di lab B306. Pada komputer tersebut sudah terinstall software ASDO yang berfungsi untuk mencatat curah hujan secara realtime dari disdrometer. Prinsip kerja dari Disdrometer yaitu mendeteksi butir-butir air hujan yang melewati sensor laser dari disdrometer secara horisontal yang kemudian data disalurkan ke PC dan dapat dilihat secara langsung curah hujan yang terjadi dengan periode sampling yang dapat diatur secara manual pada software ASDO. Hasil pencatatan curah hujan dari software ASDO dapat di simpan dalam format .txt yang kemudian bisa diolah lebih lanjut dengan software. Komputer diharuskan selalu menyala selama pengukuran dengan harapan ketika hujan turun komputer sudah siap untuk mencatat curah hujan yang sedang berlangsung. Sedangkan pengukuran untuk alat Raingauge berbeda dengan disdrometer dalam melakukan pencatat curah hujan, yaitu tidak menggunakan komputer secara langsung, melainkan menggunakan sebuah logger yang diletakkan di dalam alat raingauge itu sendiri. Setelah hujan selesai turun logger tersebut bisa diambil, kemudian di ambil datanya menggunakan software pembaca data logger yang kemudian didapatkan data dalam format .txt. Pada alat raingauge periode samplingnya adalah 1 menit.
2
Gambar 1. Diagram alir pemodelan ARIMA
B. Pengolahan Data Pada alat Disdrometer, data mentah curah hujan yang masih dalam format .txt diamati kemudian dipilih event hujan yang sesuai. Lalu diolah menggunakan software untuk menjadikan data tersebut dalam bentuk numerik sehingga dapat dibaca oleh software statistik. Sedangkan pada alat Raingauge, setelah data hujan selasai di “readout” menggunakan software pembaca data logger, langkah selanjutnya yaitu melakukan perhitungan manual untuk mendapatkan nilai curah hujan dari konversi inchi ke mm. Sehingga didapatkan data curah hujan dalam mm/h yang kemudian bisa dimodelkan menggunakan software statistik. C. Pemodelan ARIMA Curah Hujan Berikut ini merupakan diagram alir langkah-langkah pemodelan ARIMA.
Gambar 2. Diagram alir penentuan model ARIMA 1. Stasioneritas dalam Varians Pengecekan kestasioneran dalam varians dilakukan dengan Box-Cox. Data yang sudah stasioner dalam varians lambdanya bernilai 1. Jika pada Box-Cox lambda tidak bernilai 1 maka perlu dilakukan transformasi Box-Cox untuk menjadikannya stasioner dalam varians sesuai dengan Gambar 1 diatas. 2. Stasioner dalam Mean Pengecekan kestasioneran dalam mean dilakukan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
3
dengan mengamati plot ACF (Autocorrelation Function). Jika dari pengamatan secara visual ACF menunjukkan pola menurun secara perlahan atau melambat maka dilakukan proses differencing. Proses difference merupakan suatu proses mencari perbedaan antara data satu periode dengan periode lainnya. 3. Identifikasi Model Tahap ini dilakukan dengan cek ACF dan PACF (Partial Autocorrelation Function) dengan mengamati plotnya kemudian diidentifiasi sesuai dengan Tabel 1. Identifikasi ACF dan PACF ini adalah untuk menentukan model dugaan ARIMA. Dari pengamatan plot ACF akan diperoleh q. Sedangkan dari pengamatan plot PACF akan diperoleh nilai p. Nilai d ditentukan dengan ada tidaknya atau dilakukan proses differencing.
Tabel 1. Identifikasi ACF dan PACF[5]
Dengan : : Nilai variabel pada waktu t : Konstanta : Nilai dari koefisien : Residual pada waktu t •
\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ 4. Penentuan Model Model dugaan ARIMA yang diperoleh dari identifikasi ACF dan PACF bisa terjadi lebih dari 1 (satu) model. Untuk itu tahap selanjutnya adalah estimasi parameter delta & phi dan diagnosis dengan cara uji Ljung-Box. Apabila model dugaan memenuhi parameter-parameter tersebut maka proses selanjutnya adalah adalah diagnosis dengan melakukan uji normalisasi residual kolmogorov-Smirnov [4]. Semua proses-proses tersebut sesuai dengan diagram alir penentuan model ARIMA pada Gambar 2 diatas. D. Analisis Pada tahap analisis ini dilakukan validasi data dan analisis terhadap hasil pemodelan dengan data pengukuran asli. Lalu kemudian akan dibandingkan juga pemodelan dari alat pengukuran curah hujan menggunakan alat disdrometer dengan alat pengukuran curah hujan menggunakan raingauge.
Model Autoregressive Moving Average (ARMA) [3]
Dengan : : Nilai variabel pada waktu t : Konstanta : Nilai dari koefisien : Nilai dari koefisien : Residual pada waktu t Data hasil pembangkitan model dan data hasil pengukuran selanjutanya diplot menggunakan kurva CDF dan Time Series. Dari dua kurva tersebut nantinya bisa diperoleh suatu analisis visual maupun secara matematis dengan menghitung nilai error menggunakan metode mean squared error (MSE), yaitu dengan cara menjumlahkan selisih ratarata dari data pengukuran dan data pembangkitan yang kemudian dikuadratkan dan dibagi dengan jumlah banyaknya data. Kemudian untuk diagram alir tahapan validasi model dapat dilihat pada Gambar 3.
• Model Autoregressive (AR) [1] Gambar 3. Diagram alir validasi data (1)
(3)
1. Validasi model Proses validasi model dilakukan dengan cara membandingkan data curah hujan hasil pembangkitan model dengan data hasil pengukuran curah hujan dilapangan. Untuk proses pembangkitan menggunakan nilai residual yang dihasilkan dari pemodelan sebagai nilai error ( . Kemudian, sesuai dengan modelnya, data ini akan diolah dalam suatu persamaan sebagai berikut.
(2)
Dengan : : Nilai variabel pada waktu t : Konstanta : Nilai dari koefisien : Residual pada waktu t •
PACF Model ACF \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ Terpotong (cut-off) AR (p) Turun (dies down) \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ setelah lag ke-p \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ Turun (dies down) MA (q) Terpotong (cut-off) \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ setelah lag ke-q \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ Turun (dies down) ARMA (p,q) turun (dies down) \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ Terpotong (cut-off) Terpotong (cut-off) AR (p) atau \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ (q) setelah lag ke-q setelah lag ke-p MA
Model Moving Average (MA) [1]
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
4
2. Analisis Hasil Pemodelan Pada tahapan ini akan dilakukan perbandingan antara data asli dengan data hasil pembangkitan dalam sebuah plot CDF dan Time Series. Lalu kemudian dianalisa hubungan diantara keduanya. Selain itu akan juga diamati perbedaan antara model dari alat pengukuran disdrometer dengan alat pengukuran raingauge. III. ANALISA DATA A. Hasil Pengukuran Pada tugas akhir ini data yang digunakan adalah curah hujan yang diukur dengan disdrometer dan raingauge. Pengukuran curah hujan dilakukan dalam rentang periode akhir November 2011 hingga pertengahan Februari 2012. Untuk rincian pengukuran curah hujan dari kedua alat tersebut adalah sebagai berikut : • Untuk pengukuran curah hujan menggunakan alat disdrometer didapatkan 49 event hujan. Pengukuran pertama kali dilakukan pada tanggal 29 November 2011 hingga 12 Februari 2012. • Untuk pengukuran curah hujan menggunakan alat raingauge didapatkan 34 event hujan. Pengukuran pertama kali dilakukan pada tanggal 29 November 2011 hingga 6 Februari 2012. Data hasil pengukuran diatas sudah dipilih-pilah dari beberapa event hujan yang ada dalam satu hari, sehingga hanya data yang dianggap cocok saja yang digunakan dalam pemodelan ARIMA ini.
Gambar 5. Plot Time Series model ARIMA (1 0 0) untuk alat ukur disdrometer
Gambar 6. Plot CDF model ARIMA (2 0 0) untuk alat ukur disdrometer
B. Validasi Model Pada bagian validasi model ini akan akan ditampilkan dan dianalisa plot CDF dan Time Series berdasarkan model ARIMA-nya yang sama, yang telah dijadikan satu sehingga menjadi multi event. Kemudian akan dibandingkan antara kurva dari data curah hujan asli dengan kurva hasil pembangkitan.
Gambar 7. Plot Time Series model ARIMA (2 0 0) untuk alat ukur disdrometer
Gambar 4. Plot CDF model ARIMA (1 0 0) untuk alat ukur disdrometer
Gambar 8. Plot CDF model ARIMA (3 0 0) untuk alat ukur disdrometer
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
5 C. Perbandingan model ARIMA pada alat ukur disdrometer dan raingauge Untuk perbandingan antara disdrometer dan raingauge dalam pemodelan ARIMA dapat dilihat dalam tabel 2 berikut ini : Tabel 2. Perbandingan disdrometer dan raingauge N0
1 2 3
Gambar 9. Plot Time Series model ARIMA (3 0 0) untuk alat ukur disdrometer
Gambar 10. Plot CDF model ARIMA (1 0 0) untuk alat ukur raingauge
Gambar 11. Plot Time Series model ARIMA (1 0 0) untuk alat ukur raingauge
4
Parameter Pembanding Total event hujan selama pengukuran Model ARIMA yang bisa dimodelkan Banyak event hujan dalam model yang sama (AR (1)) Banyak sampel dalam 1 event
Alat Pengukur Curah Hujan Disdrometer Raingauge 49 event hujan 34 event hujan 3 model, yaitu : AR (1), AR(2), AR(3) 31 event hujan
1 model, yaitu : AR (1) 16 event hujan
cenderung lebih banyak dibanding raingauge
cenderung lebih sedikit dibanding disdrometer
Dari tabel perbandingan diatas dapat dilihat bahwa model ARIMA yang sama antara kedua alat ukur tersebut adalah model AR (1). Maka dari itu akan coba ditampilkan model AR (1) pada dua alat ukur yang berbeda dalam satu plot CDF dan Time Series. Dalam menggabungkan data kedua alat ukur tersebut tidak semua data, melainkan data yang terjadi dalam hari yang sama dan waktu event yang hampir bersamaan saja. Sehingga data yang ditampilkan adalah yang kurang lebih adalah event hujan yang sama namun berbeda dalam alat pengkurannya saja. Plotnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 12 Plot CDF Model ARIMA (1 0 0) Disdrometer dan Raingauge
Nilai error pada kurva-kurva diatas dari tiap model tertera pada tabel berikut ini. Tabel 1. Nilai error pada kurva untuk tiap model No 1 2 3 4
Alat Ukur Disdrometer Disdrometer Disdrometer Raingauge
Model ARIMA (1,0,0) (2,0,0) (3,0,0) (1,0,0)
Nilai Error 141,575 62,70 95,9098 153,980
%Error 0,04% 0,052% 0,106% 0,18%
Dikarenakan error yang didapatkan kecil sekali pada proses validasi antara data pengukuran asli dengan data pemodelan maka berarti model ini bisa digunakan.
Gambar 13 Plot Time Series Model ARIMA (1 0 0) Disdrometer dan Raingauge Berdasarkan pengamatan pada dua plot CDF dan Time Series, terlihat bahwa kurva dari raingauge dan disdrometer
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 pada awal-awal nilainya relatif sama. Namun lambat laun kurva yang berasal dari raingauge menghilang dan nilai-nya tidak sama lagi dengan kurva dari disdrometer. Hal ini disebabkan karena banyak sampel dari satu event disdrometer tidaklah sama dengan banyak sampel dari event raingauge. Dimana sampel dari disdrometer relatif lebih banyak. Sehingga untuk membandingkan data disdrometer dan raingauge dari awal sampai akhir tidaklah memungkinkan karena perbedaan dalam segi banyak sampel per-eventnya. Namun demikian kedua model dari masing-masing alat tersebut sudah dikatakan baik karena error-nya yang kecil meskipun jika dibandingkan secara langsung keduanya tidaklah identik hasilnya. IV KESIMPULAN Berdasarkan serangkaian pembahasan dan analisa yang telah dilakukan pada tugas akhir yang berjudul Pemodelan ARIMA Intensitas Hujan Tropis Dari Data Pengukuran Raingauge Dan Disdrometer, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Dari pengukuran curah hujan menggunakan alat ukur disdrometer didapatkan 49 event hujan dan 3 jenis model ARIMA. Tiga model tersebut antara lain : • Model ARIMA (1 0 0) sebanyak 31 event hujan (63,3% dari data keseluruhan) • Model ARIMA (2 0 0) sebanyak 10 event hujan (20,4% dari data keseluruhan) • Model ARIMA (3 0 0) sebanyak 3 event hujan (6,1% dari data keseluruhan) 2. Untuk pengukuran curah hujan menggunakan alat ukur raingauge didapatkan 34 event hujan dan 1 jenis model ARIMA. Model tersebut adalah ARIMA (1 0 0) sebanyak 16 event hujan (47% dari data keseluruhan). Selebihnya 53% data hujan tidak bisa dimodelkan karena tidak memenuhi syarat untuk dimodelkan. 3. Adapun setelah dilakukan proses validasi pada setiap model didapatkan hasil sebagai berikut : • Model ARIMA (1 0 0) dari alat ukur disdrometer persentase error-nya sebesar 0,04%. • Model ARIMA (2 0 0) dari alat ukur disdrometer persentase error-nya sebesar 0,052%. • Model ARIMA (3 0 0) dari alat ukur disdrometer persentase error-nya sebesar 0,106%. • Model ARIMA (1 0 0) dari alat ukur raingauge persentase error-nya sebesar 0,18%. Sehingga dari seluruh jenis pemodelan yang telah dilakukan baik itu dari alat pengukuran disdrometer maupun raingauge menunjukkan hasil yang bagus dikarenakan didapatkan nilai persentase error yang kecil ketika dilakukan proses validasi. 4. Jika dibandingkan secara langsung pada pemodelan antara alat disdrometer dan raingauge dengan mengambil data dari event yang terjadi bersamaan, maka pada plotnya terlihat hasil yang relatif mirip pada nilainya. Namun lambat laun grafik semakin berbeda dan malah hilang pada bagian grafik raingauge. Hal ini disebabkan karena banyak sampel data pada raingauge tidaklah sebanyak sampel data
6 pada disdrometer. Sehingga tidak dimungkinkan untuk mendapatkan model yang identik dari kedua alat pengukur curah hujan ini. DAFTAR PUSTAKA [1] W. W. S.Wei (2006) “Time Series Analysis Univariate and Multivariate Methods, Second Edition”, Pearson Education , Inc. [2] A. Mauludiyanto, G. Hendrantoro, M. H. Purnomo, T. Ramadhany, A. Matsushima “ARIMA Modeling of Tropical Rain Attenuation on a Short 28-GHz Terrestrial Link”, antennas and wireless propagation letters, IEEE Antennas and Wireless Propagation letters, vol. 9, 2010. [3] S. Halim, (2006), “Diktat-Time Series Analysis”, Diktat, Surabaya. [4] “Uji Normalitas dengan Kolmogorov Smirnov”. (Maret2009).Available:www.konsultanstatistik.com/2 009/03/uji-normalitas-dengan-kolmogorov.html [5] A. Mauludiyanto, G. Hendrantoro, M. Hery, Suharto, “Pemodelan ARIMA dan Deteksi Outlier Data Curah Hujan Sebagai Evaluasi Sistem Radio Gelombang Milimeter”. JUTI, Vol.7 No.3, Januari 2009.