PEMISAHAN BANK BERBADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS: TANPA MENGABAIKAN KEPENTINGAN PEMEGANG SAHAM MINORITAS DAN KARYAWAN Muhammad Syaifuddin
FH Universitas Sriwijaya, Palembang
[email protected]
Abstract The legal rules accomodate and facilitate legal needs and interest of a bank that legal personalized in limited company, in order to do split off or spin off, in the frame of corporate restructuring with out disregarding minority shareholders and employees, insist of the requirements, scheme of arrangement, publication and legal impact of split off or spin off. In the case of split off or spin off a bank that legal personalized in limited company, so that the legal rules protect interest of: first, minority shareholders that unagree will have the right to sell their shares on normal price, to settle dispute by arbitration and alternative dispute resolution, and to take a law suit through public court if their rights is damaged; second, the employees that unagree have the right to take objection and to solve dispute by bipartit, conciliation, arbitration, and mediation, and also to take a law suit through public court if their rights is damaged. In order to garanty a legal certainty in implementing split off or spin off the banks that legal personalized in limited company in Indonesia, so that recommended to revise the legal rules related in corporation and banking. Key Words: Split off or Spin off, Bank That Legal Personalized in Limited Company, Corporate Restructuring, Minority Shareholders, Employee. A. Pendahuluan Semangat hukum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat UU No. 40 Tahun 2007) adalah mengakomodasi dan memfasilitasi kebutuhan hukum yang pasti, adil dan efisien 1
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
agar perseroan terbatas (selanjutnya disingkat PT) dapat terus berkembang dan menghasilkan laba,1 sekaligus memproteksi kepentingan pihak internal PT (seperti pemegang saham, direksi, dewan komisaris, dan karyawan) dan pihak eksternal PT (seperti kreditor, pemasok, konsumen, pemerintah daerah, dan warga masyarakat), yang menghendaki “kesejahteraan” dari proses perkembangan PT. Semangat hukum UU No. 40 Tahun 2007 kemudian mendorong pengaturan hukum pemisahan (split off/spin off) sebagai konsep hukum baru yang tidak terdapat dalam aturan hukum yang berlaku sebelumnya (UU No. 1 Tahun 1995 tentang PT dan PP No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan PT), yang sangat diharapkan baik oleh praktisi hukum dan khususnya oleh pelaku usaha,2 termasuk bank-bank di Indonesia. Fred B.G. Tumbuan meyakini bahwa pasal-pasal tentang pemisahan PT mempunyai implikasi di bidang perbankan. Agar berkonsentrasi pada segmen pasar tertentu, suatu bank dapat saja melepas satu di antara beberapa divisinya. Misalnya, hendak fokus ke segmen kredit perusahaan. Divisi kredit konsumsi dapat dilepas untuk diakuisisi oleh perusahaan lain.3 Dalam praktik hukum perbankan di Indonesia, terdapat fenomena pemisahan sejumlah unit usaha syariah menjadi bank umum syariah tersendiri, seperti BNI Syariah, Bank Syariah Mandiri, Bukopin Syariah, BRI Syariah, Bank Panin Syariah, Bank Victoria Syariah, dan BCA Syariah, dengan alasan agar lebih fokus mengelola bisnis, independen, fleksibel dan responsif dalam memenuhi kebutuhan 1 Polak, dalam M.N. Purwosujipto, 1983, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Buku Kesatu: Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta, hal. 14 dan Abdulkadir Muhammad, 1993, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 8-9, memandang laba adalah tujuan utama setiap perusahaan. Sebaliknya, A. Prasetyantoko, 2008, Corporate Governance: Pendekatan Institusional, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 90, menegaskan bahwa menurut pendekatan stakeholder, tujuan utama perusahaan adalah hidup terus dalam suatu kesinambungan jangka panjang, antara lain, dengan cara memeroleh keuntungan. 2 Felix Oentoeng Soebagjo, “Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 dan Implikasinya pada Praktik Akuisisi Perusahaan, Penggabungan, dan Peleburan Usaha di Indonesia”, (Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No. 3-Tahun 2007), hal. 56 3 Fred B.G. Tumbuan, dalam ”Ketentuan tentang Pemisahan (Juga) Tak Komplet”, Berita, dalam http://202.153.129.35/berita/baca/hol16951/ketentuan-tentang-pemisahan, diakses pada 8 Juni 2011.
2
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
nasabah, sehingga meningkatkan market share.4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (selanjutnya disingkat UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998) tidak mengatur pemisahan, melainkan hanya mengatur merger (penggabungan usaha) dan konsolidasi antarbank serta akuisisi bank (vide Pasal 28), yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999. Namun, bagi ”bank berbadan hukum PT”5 yang akan melakukan pemisahan dapat merujuk kepada UU No. 40 Tahun 2007 sebagai aturan hukum umum (lex generalis) yang mengatur pemisahan. Kemudian, berdasarkan konstruksi hukum secara analogis dan penafsiran secara meluas, dengan tujuan mengisi kekosongan hukum, maka bagi bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan juga dapat merujuk secara mutatis mutandis pasal-pasal tertentu yang relevan dalam UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 bahkan PP No. 28 Tahun 1999 yang mengatur merger (penggabungan usaha) dan konsolidasi antarbank serta akuisisi bank. Pengaturan hukum pemisahan dalam UU No. 40 Tahun 2007 bertujuan mengakomodasi dan memfasilitasi kebutuhan hukum dan kepentingan PT, termasuk bank berbadan hukum PT yang melakukan kegiatan usaha di bidang perbankan,6 agar dapat berkembang sekaligus melindungi kepentingan pemegang saham minoritas dan karyawan selaku pihak-pihak internal dalam proses pemisahan tersebut. Bagi bank berbadan hukum PT, pemisahan adalah satu di antara beberapa upaya merestrukturisasi perusahaan, dalam arti kegiatan untuk 4 Perhatikan,”BNI Syariah Resmi Spin Off”, Berita, dalam http://www.pkesinteraktif. com/bisnis/perbankan-syariah/1202-bni-syariah-resmi-spin-off.htmk, diakses pada 8 Juni 2011. 5 Menurut Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998, selain berbadan hukum PT, bank juga dapat berbadan hukum koperasi atau perusahaan daerah. 6 Pengertian “perbankan” menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 1992 adalah ”Segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta tata cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”.
3
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
mengubah atau memperbesar struktur perusahaan.7 Selanjutnya, bagi pemegang saham minoritas, pemisahan bank berbadan hukum PT dapat dilaksanakan sepanjang hukum melindungi kepentingan pribadinya terhadap bank berbadan hukum PT berdasarkan hak perseorangan (personal rights) dan kepentingannya sebagai bagian dari bank berbadan hukum PT (derivative rights), khususnya Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disingkat RUPS)8 terhadap tindakan direksi9 dan dewan komisaris.10 Kemudian, bagi karyawan, pemisahan dapat dilaksanakan sepanjang hak-hak dasarnya menurut undang-undang11 dipenuhi selama dan setelah proses pemisahan. Logika sederhananya, pemegang saham dan karyawan bank berbadan hukum PT tidak akan menyetujui pemisahan jika pemisahan itu mengabaikan, dalam arti merugikan kepentingan mereka. Namun, persoalannya pemegang saham minoritas dan karyawan adalah pihak-pihak yang mempunyai posisi tawar menawar yang lebih lemah daripada pemegang saham mayoritas dalam proses pemisahan. Pemegang saham minoritas, apalagi karyawan, tidak jarang hanya dijadikan sebagai pelengkap dalam suatu perusahaan. Pemegang saham minoritas ini akan selalu kalah dengan pemegang saham mayoritas, 7 Menurut M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas,( Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 482, UU No. 40 Tahun 2007 mengatur restrukturisasi PT, yaitu penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan. Kemudian, menurut Gunadi, 2001, Restrukturisasi Perusahaan dalam Berbagai Bentuk dan Pemajakannya, Salemba Empat, Jakarta, hlm. 11, suatu restrukturisasi (perubahan struktur perusahaan makin membesar), terdiri dari akuisisi, penggabungan (merger), peleburan (consolidation), pemekaran unit/cabang (spin off) atau pemecahan usaha (split off). 8 RUPS menurut Pasal 1 angka 4 UU No. 40 Tahun 2007 adalah “Organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar”. 9 Direksi menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 40 Tahun 2007 adalah “Organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar”. 10 Dewan komisaris menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 40 Tahun 2007 adalah “Organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi”. 11 Hak-hak dasar karyawan diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, antara lain, hak atas kesejahteraan, hak atas uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima dari perusahaan yang memutuskan hubungan kerja.
4
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
karena pengambilan keputusan berdasarkan besarnya prosentase pemilikan saham. Sedangkan karyawan bukan organ PT, melainkan pekerja yang terikat hubungan kerja dengan PT, sehingga tidak mempunyai hak suara dalam pengambilan keputusan RUPS. Oleh karena itu, bersandar pada pemikiran hukum Salmond dan Fitzgerald, bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan, mengkoordinasikan, membatasi dan melindungi berbagai kepentingan dalam masyarakat,12 maka ketentuan UU No. 40 Tahun 2004 dan UU terkait lainnya di bidang perbankan seharusnya mengintegrasikan, mengkoordinasikan, membatasi dan melindungi berbagai kepentingan pihak-pihak internal dan eksternal bank berbadan hukum PT tersebut. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penting dianalisis isu hukum pemisahan bank berbadan hukum PT dengan rumusan permasalahan, sebagai berikut: 1) bagaimanakah aturan hukum (vide UU No. 40 Tahun 2007 dan UU terkait lainnya di bidang perbankan) mengatur proses pemisahan bank berbadan hukum PT sebagai upaya merestrukturisasi perusahaan tanpa mengabaikan kepentingan pemegang saham minoritas dan karyawan?; dan 2) bagaimanakah aturan hukum (vide UU No. 40 Tahun 2007 dan UU terkait lainnya di bidang perbankan dan ketenagakerjaan) melindungi kepentingan pemegang saham minoritas dan karyawan pada bank berbadan hukum PT yang melakukan pemisahan? B. Pembahasan 1. Pengaturan Hukum Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas sebagai Upaya Merestrukturisasi Perusahaan a. Pengertian, Persyaratan, dan Perancangan Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas Pengertian ”pemisahan” menurut Pasal 1 angka 12 UU No. 40 Tahun 2007 adalah “Perbuatan hukum yang dilakukan oleh PT untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva PT beralih karena hukum kepada dua atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva PT beralih karena 12 Salmond sebagaimana dijelaskan oleh Fitzgerald, dalam Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum. (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung), hal. 53.
5
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
hukum kepada satu PT atau lebih”. Selanjutnya, pengertian bank berbadan hukum PT dapat dipahami berdasarkan penafsiran sistematis terhadap Pasal 1 angka 1 dan Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1997 jo. UU No. 10 Tahun 1998, yaitu bank sebagai badan usaha yang berbadan hukum PT,13 yang kegiatan usahanya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Memperhatikan substansi Pasal 1 angka 1 dan Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1997 jo. UU No. 10 Tahun 1998 dalam hubungannya dengan Pasal 1 angka 12 UU No. 40 Tahun 2007 tersebut di atas, dapat dipahami unsur-unsur yang membangun pengertian pemisahan bank berbadan hukum PT, yaitu: a. Pemisahan adalah perbuatan hukum bank berbadan hukum PT. Sama halnya dengan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan,14 pemisahan adalah perbuatan hukum yang juga tunduk kepada hukum perusahaan (vide UU No. 40 Tahun 2007), hukum perbankan (vide UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998), dan hukum perjanjian (vide Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)15. Perbuatan hukum dalam konteks pemisahan bank berbadan hukum PT dirancang dan dilakukan oleh 13 Ridwan Khairandy, “Perseroan sebagai Badan Hukum”, (Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No. 3-Tahun 2007), hal. 5, menegaskan bahwa PT adalah badan hukum yang mempunyai lima karakteristik, yaitu: 1) sebagai personalitas hukum; 2) memiliki tanggung jawab terbatas; 3) sahamnya dapat dialihkan; 4) pendelegasian manajemen oleh dewan direksi; dan 5) kepemilikan oleh investor. 14 Menurut UU No. 40 Tahun 2007, penggabungan adalah ”Perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum” (vide Pasal 1angka 9), peleburan adalah ”Perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum” (vide Pasal 1 angka 10), dan pengambilalihan adalah ”perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut (vide Pasal 1 angka 11). 15 Perjanjian diatur dalam KUH Perdata, Buku III, Bab Kedua tentang Perikatan-perikatan yang Dilakukan dari Perjanjian, yang meliputi Bagian Kesatu tentang Ketentuan Umum (Pasal 1313 s.d. Pasal 1319), Bagian Kedua tentang Syarat-syarat yang Diperlukan untuk Sahnya Perjanjian (Pasal 1320 s.d. Pasal 1337), dan Bagian Ketiga tentang Akibat Hukum Perjanjian (Pasal 1338 s.d. Pasal 1341).
6
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
direksi berdasarkan “persetujuan” dewan komisaris dan para pemegang saham yang berhimpun dalam RUPS. Jadi, “persetujuan” dari organ-organ PT, khususnya RUPS, adalah esensi dari perbuatan hukum pemisahan bank berbadan hukum PT. Dalam perspektif hukum perjanjian, persetujuan adalah kesepakatan yang mengikat secara yuridikal terhadap mereka yang telah bersepakat. b. Objek hukum pemisahan adalah “usaha” bank berbadan hukum PT. Pengertian “usaha” menurut Pasal 1 huruf d UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, yaitu “Setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apa pun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba”. Secara doktrinal, “usaha perusahaan” dijelaskan oleh Rachmadi Usman, yaitu kegiatan dalam bidang perekonomian (keuangan, industri dan perdagangan), yang dilakukan secara terus menerus atau teratur (regelmatig), terangterangan (openlijk) dan tujuan memeroleh keuntungan dan/atau laba (wints oogmerk).16 Adapun “usaha bank” secara umum, termasuk bank berbadan hukum PT, menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.17 Pemisahan bank berbadan hukum PT harus memerhatikan persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 126 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007, yaitu “harus” memerhatikan “kepentingan tertentu”, yang terdiri dari: pertama, kepentingan bank berbadan hukum PT itu sendiri, pemegang saham minoritas, dan karyawan; kedua, kepentingan kreditor dan mitra usaha lainnya dari bank berbadan hukum PT; dan ketiga, kepentingan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat. Menurut Penjelasan pasalnya, persyaratan tersebut bersifat kumulatif, sehingga pemisahan bank berbadan hukum PT tidak dapat dilaksanakan jika akan merugikan kepentingan “pihak-pihak tertentu” 16 Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta: Djambatan, Jakarta, 2000), hal. 27 17 Secara lebih rinci, kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank umum ditetapkan dalam Pasal 6, sedangkan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank perkreditan rakyat ditetapkan dalam Pasal 13 UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998.
7
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
tersebut. Selain itu, pemisahan bank berbadan hukum PT harus dicegah dari kemungkinan terjadinya monopoli atau monopsoni dalam berbagai bentuk persaingan usaha yang tidak sehat yang merugikan masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pemisahan bank berbadan hukum PT juga harus memerhatikan persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 123 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2007, yaitu harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Norma hukum dalam Pasal 123 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2007 sinkron dengan Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 yang dikonstruksikan secara analogis dan ditafsirkan secara meluas, yang esensinya adalah merger, konsolidasi, dan akuisisi, termasuk pemisahan, wajib terlebih dahulu mendapat “izin” pimpinan Bank Indonesia, dengan persyaratan yang wajib dipenuhi secara mutatis mutandis sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 8 PP No. 28 Tahun 1999, yaitu: a. Telah memperoleh persetujuan dari RUPS; b. Permodalan bank hasil pemisahan atau konsolidasi harus memenuhi ketentuan rasio kecukupan modal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; c. Calon anggota direksi untuk memproleh izin dan dewan komisaris yang ditunjuk tidak tercantum dalam daftar orang yang melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan. Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin merger, konsolidasi, dan akuisisi, termasuk pemisahan, diberikan oleh Bank Indonesia dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap. Jika dalam jangka waktu tersebut Bank Indonesia tidak memberi tanggapan, maka Bank Indonesia dianggap telah menyetujui permohonan izin tersebut. Pemisahan dapat bermanfaat bagi bank berbadan hukum PT. Namun, tidak semua bank berbadan hukum PT dapat melakukan pemisahan. Menurut Fred B.G. Tumbuan, PT (termasuk bank berbadan hukum PT, Pen-) yang masih dalam proses likuidasi atau kepailitannya masih berlangsung tidak boleh melakukan pemisahan.18 Pendapat Fred B.G. Tumbuan tersebut, kemudian 18 Fred B.G. Tumbuan, Loc. Cit..
8
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
mempunyai sandaran hukum dalam Pasal 142 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 yang menegaskan bahwa dalam hal terjadi pembubaran karena harta pailit PT yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi, wajib diikuti dengan likuidasi oleh likuidator atau kurator, PT tidak dapat melakukan perbuatan hukum, termasuk pemisahan, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan PT dalam rangka likuidasi. Dalam hal bank berbadan hukum PT memenuhi persyaratan untuk melakukan pemisahan, maka tahap pertama dalam proses pemisahan bank berbadan hukum PT tersebut adalah penyusunan rancangan pemisahan, yang dapat merujuk secara mutatis mutandis kepada Pasal 123 ayat (1), dan ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 dan Penjelasan atas pasalnya yang juga berlaku untuk penggabungan, peleburan dan pengambilalihan. Rancangan pemisahan disusun oleh direksi dan harus mendapat persetujuan dari dewan komisaris, untuk kemudian diajukan kepada RUPS untuk mendapat persetujuan. Jadi, yang merancang pemisahan bank berbadan hukum PT adalah dewan direksi dengan persetujuan dewan komisaris, sedangkan yang memutuskan jadi atau tidak jadi pemisahan bank berbadan hukum PT adalah RUPS, sehingga merefleksikan “asas akuntabilitas” yang mengharuskan adanya sistem internal checks and balances yang mencakup pengawasan efektif berdasarkan keseimbangan antara pemegang saham, komisaris, dan direksi19, sebagai upaya mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). 20 19 Muhammad Syaifuddin, ”Wewenang Dewan Komisaris Mengurus Perseroan Terbatas: Analisis Rasio dan Implikasi Hukum Pasal 118 dalam Kaitannya dengan Pasal 1 angka 6 dan Pasal 108 Undang-Undang PT No. 40 Tahun 2007”, (Simbur Cahaya, No. 41 Tahun XV, Januari 2010). 20 Good corporate governance (GCG), menurut The Organization for Economic Corporation and Development, dalam Camelia Malik, “Implikasi Adanya Komisaris Independen dalam Perseroan Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No. 3-Tahun 2007, hlm. 31, adalah sistem pengendalian perusahaan, mencakup pembagian tugas, hak dan kewajiban mereka yang berkepentingan terhadap perusahaan, termasuk para pemegang saham, dewan pengurus, para manajer, dan semua anggota the stakeholder non-pemegang saham. Adapun Jimmy E. Alias, “Peran Manajemen Risiko Strategik dalam Mendukung Good Corporate Governance”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23-No. 3-Tahun 2004, hlm. 52., menegaskan tujuan GCG, adalah: 1) memaksimakan nilai perusahaan; 2) mendorong pengelolaan perusahaan secara profesional, transparan dan efisien; dan 3) mendorong keputusan dan tindakan perusahaan dilandasi nilai moral dan kepatuhan terhadap aturan hukum.
9
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
Kemudian, mengacu kepada Pasal 123 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007, maka rancangan pemisahan bank berbadan hukum PT sekurang-sekurangnya memuat hal-hal, sebagai berikut: a. nama dan tempat kedudukan dari masing-masing bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama) dan bank berbadan hukum PT yang akan menerima pemisahan (bank baru); b. alasan, persyaratan, dan penjelasan direksi bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama); c. tata cara penilaian dan konversi saham bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama) terhadap saham bank berbadan hukum PT yang menerima pemisahan (bank baru); d. rancangan perubahan anggaran dasar bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama) dan rancangan anggaran dasar bank berbadan hukum PT yang akan menerima pemisahan (bank baru); e. laporan keuangan bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a,21 meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir, yang keseluruhannya mencakup 36 (tiga puluh enam) bulan; f. rencana kelanjutan kegiatan usaha dari bank berbadan hukum PT yang akan melakukan ”pemisahan tidak murni atau spin off” (bank lama) atau pengakhiran kegiatan usaha dari bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan murni atau split off (bank lama), dan rencana kegiatan usaha dari bank berbadan hukum PT yang akan menerima pemisahan (bank baru); g. neraca proforma bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama) sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku 21 Rumusan Pasal 66 ayat (2) huruf a UU No. 40 Tahun 2007 selengkapnya, adalah “Laporan tahunan PT harus memuat sekurang-kurangnya: a. laporan keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya neraca akhir tahun buku yang baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan tersebut”.
10
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
umum di Indonesia.22 f. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota direksi, dewan komisaris, dan karyawan bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama); g. cara penyelesaian hak dan kewajiban bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama) terhadap pihak ketiga; h. cara penyelesaian hak pemegang saham bank berbadan hukum PT yang tidak setuju terhadap pemisahan; i. nama anggota direksi dan dewan komisaris serta gaji honorarium dan tunjangan bagi anggota direksi dan dewan komisaris bank berbadan hukum PT yang akan menerima pemisahan (bank baru); j. perkiraan jangka waktu pelaksanaan pemisahan bank berbadan hukum PT; k. laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama); l. kegiatan utama bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama) dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; m. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang memengaruhi kegiatan bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama).23 Semangat hukum Pasal 123 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007) mengarahkan rancangan pemisahan bank berbadan hukum PT sebagai upaya merestrukturisasi perusahaan tanpa mengabaikan kepentingan pemegang saham minoritas dan karyawan, yang dapat ditunjukkan dari substansinya, yang meliputi juga cara penyelesaian status, hak dan kewajiban karyawan 22 Johar Arifin dan Muhammad Fakhruddin, Kamus Istilah Pasar Modal, Akuntansi Keuangan dan Perbankan,(PT. Elex Media Komputindo, Jakarta), hal. 235, menjelaskan neraca proforma adalah neraca yang disusun berdasarkan perhitungan transaksi atau kegiatan usaha dalam suatu periode yang akan datang (proforma banlance sheet). 23 Menurut Pasal 123 ayat (5) UU No. 40 Tahun 2007, Pasal 123 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 40 Tahun 2007 juga berlaku untuk PT terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
11
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama) dan cara penyelesaian hak pemegang saham bank berbadan hukum PT yang tidak setuju terhadap pemisahan. Selanjutnya, direksi mengumumkan ringkasan rancangan pemisahan bank berbadan hukum PT yang telah disetujui oleh dewan komisaris, mengacu kepada Pasal 127 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007, sebagai berikut: 1) Jumlah dan sarana pengumumannya paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar;24 2) Bentuk dan sasaran pengumumannya secara tertulis dan ditujukan pula kepada karyawan bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama); 3) Waktu pengumumannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS; 4) Isi pengumumannya harus memuat pula ”pemberitahuan” bahwa pihak yang berkepentingan dapat memeroleh rancangan pemisahan bank berbadan hukum PT di kantor bank berbadan hukum PT terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal penyelenggaraan RUPS. b. Pengesahan, Pengumuman Hasil dan Akibat Hukum Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas Tahap berikutnya dari proses pemisahan bank berbadan hukum PT adalah pengesahan keputusan RUPS mengenai pemisahan bank berbadan hukum PT mengacu kepada Pasal 127 UU No. 40 Tahun 2007, yang memuat ketentuan imperatif bahwa keputusan RUPS mengenai pemisahan sah jika diambil sesuai dengan Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89 UU No. 40 Tahun 2007. Menurut Pasal 87 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 dan Penjelasan pasalnya, keputusan RUPS diambil berdasarkan ”musyawarah untuk mufakat”, yaitu hasil kesepakatan yang disetujui oleh pemegang saham yang hadir atau diwakili dalam RUPS, sehingga pasal ini merefleksikan konsistensi norma-norma dan konsep-konsep hukum dalam UU No. 40 Tahun 2007 24 Menurut Pasal 1 angka 4 UU No. 40 Tahun 2007, surat kabar adalah surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional.
12
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
dengan nilai dalam sila keempat Pancasila yang merupakan ”cita hukum perusahaan Indonesia”25 yang diwadahi oleh ”sistem hukum Pancasila” yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat26 sebagai upaya pencegahan dan penghindaran sengketa, karena keputusan RUPS harus dimufakati bersama. Jika keputusan RUPS mengenai pemisahan bank berbadan hukum PT gagal diambil, karena musyawarahnya tidak mencapai mufakat, maka pengambilan keputusan RUPS dilaksanakan dengan cara pemungutan suara (voting) mengacu kepada Pasal 89 ayat (1) UU PT No. 40 Tahun 2007, yang memuat ketentuan imperatif bahwa RUPS untuk menyetujui pemisahan hanya dapat dilaksanakan jika memenuhi ”kuorum kehadiran yang sah”, yaitu dalam rapat paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, hadir atau diwakili dalam RUPS. Jika tidak memenuhi kuorum kehadiran yang sah tersebut, maka RUPS tidak dapat dilaksanakan. Anggaran dasar PT dilarang mengatur kuorum kehadiran yang sah ”lebih kecil” dari ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara. Sebaliknya, anggaran dasar dibolehkan mengatur kuorum kehadiran yang sah ”lebih besar” dari ¾ (tiga perempat) bagian.27 Secara prinsipil, keputusan RUPS mengenai pemisahan bank berbadan hukum PT adalah sah mengacu kepada Pasal 89 ayat (1) UU No. 40 Tahun 25 Penjelasan UUD NRI Tahun 1945 angka III menegaskan bahwa Pancasila adalah cita hukum dan sumber tertib hukum nasional Indonesia. Makna ”cita hukum” ditegaskan oleh Rudolf Stammler yang dikutip dari Roeslan Saleh, 1996, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, Karya Dunia Fikir, Jakarta, hal. 6, yaitu konstruksi pikir yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan oleh masyarakat. Walaupun disadari benar bahwa titik akhir dari cita-cita masyarakat itu tidak mungkin dicapai sepenuhnya. Jadi, Pancasila sebagai cita hukum perusahaan Indonesia bermakna bahwa Pancasila adalah konstruksi pikir yang mengarahkan hukum perusahaan Indonesia (vide UU No. 40 Tahun 2007) kepada cita-cita yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. 26 Musyawarah, menurut Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,2003), hal. 10, adalah karakter nilai yang sangat khas yang tumbuh dan ada di Indonesia, selain kekeluargaan, kebapakan, keseimbangan, yang diwadahi dalam ”sistem hukum Pancasila”, yang semuanya merupakan akar-akar dari budaya hukum negeri ini. 27 Penggunaan istilah “lebih kecil” dan “lebih besar” dalam penentuan ”kuorum kehadiran yang sah” dalam Pasal 89 ayat (1) UU PT No. 40 Tahun 2007 adalah tidak tepat, karena bermakna ’keadaan atau sifat” yang bernilai kualitatif. Istilah yang tepat adalah ”lebih sedikit” dan ”lebih banyak”, karena bermakna jumlah yang bernilai kuantitatif.
13
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
2007, selain harus memenuhi ”kuorum kehadiran yang sah”, juga harus memenuhi ”kuorum persetujuan yang sah”, yaitu disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan dalam RUPS tersebut. Anggaran dasar PT dilarang mengatur jumlah yang ”lebih kecil” dari ¾ (tiga perempat). Sebaliknya, anggaran dasar PT dibolehkan mengatur jumlah yang ”lebih besar” dari ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan.28 Pasal 89 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 memberlakukan prinsip super majority dalam pengambilan keputusan RUPS mengenai pemisahan, sehingga untuk dapat menyetujui pemisahan bank berbadan hukum PT, yang diperlukan bukan hanya persetujuan pemegang saham dalam RUPS dengan simple majority (lebih dari 50% (lima puluh persen)) pemegang saham yang harus menyetujuinya, melainkan lebih dari itu, yaitu lebih dari ¾ (tiga perempat) atau 75% pemegang saham yang harus menyetujuinya. Bagaimanakah jika kuorum kehadiran yang sah tidak tercapai? Mengacu kepada Pasal 89 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 40 Tahun 2007, dapat diadakan RUPS kedua dengan ”kuorum kehadiran yang sah”, yaitu paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, hadir atau diwakili dalam RUPS, dan ”kuorum keputusan yang sah”, yaitu disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan. Jika RUPS kedua ini juga gagal karena tidak mencapai ”kuorum kehadiran yang sah”, maka dapat diadakan lagi RUPS ketiga mengacu kepada Pasal 86 ayat (5) UU No. 40 Tahun 2007, dengan cara bank berbadan hukum PT mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri agar ditetapkan kuorum RUPS ketiga. Alasan bank berbadan hukum PT mengajukan permohonan penyelenggaraan RUPS ketiga kepada ketua pengadilan negeri pada dasarnya
28 Penggunaan istilah “lebih kecil” dan “lebih besar” dalam penentuan ”kuorum persetujuan yang sah” dalam Pasal 89 ayat (1) UU PT No. 40 Tahun 2007 juga tidak tepat, karena juga bermakna ’keadaan atau sifat” yang bernilai kualitatif. Istilah yang tepat adalah ”lebih sedikit” dan ”lebih banyak”, karena bermakna jumlah yang bernilai kuantitatif.
14
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
adalah suatu ”kepentingan hukum”29 atau posita yang berisi ”alasan hukum”30 yang mendasari permohonan penyelenggaraan RUPS ketiga tersebut, yaitu kepentingan hukum untuk mengakhiri stagnasi (dead lock), sehingga ada kepastian tentang dilaksanakan (berhasil) atau tidak dilaksanakannya (gagal) pemisahan bank berbadan hukum PT. Selanjutnya, penetapan kuorum RUPS ketiga oleh ketua pengadilan negeri atas dasar permohonan yang diajukan oleh bank berbadan hukum PT31 berlaku sebagai norma hukum positif yang merupakan dasar hukum bagi penyelenggaraan RUPS untuk mengambil keputusan menyetujui atau tidak menyetujui pemisahan bank berbadan hukum PT, sesuai dengan fungsi pengawasan preventif lembaga peradilan.32 Rancangan pemisahan bank berbadan hukum PT yang telah mendapat persetujuan berdasarkan keputusan RUPS, menurut Pasal 128 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007, harus dituangkan ke dalam akta pemisahan berbentuk akta notaris yang sah, yaitu akta yang secara formil harus dibuat di hadapan notaris33 dan dalam bahasa Indonesia. Ini berarti bahwa pemisahan bank berbadan hukum PT yang tidak berdasarkan akta pemisahan berbentuk akta notaris dalam bahasa Indonesia adalah batal demi hukum, karena melanggar ketentuan imperatif dalam Pasal 128 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007. 29 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 82-84, menegaskan bahwa ”kepentingan hukum” dalam perkara perdata sesuai dengan asas ”point d’interet, point d’action”, tidak ada kepentingan, tidak ada tuntutan. Namun, hanya kepentingan yang ”cukup dan layak” serta ”mempunyai dasar hukum” saja yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan haknya. 30 M. Yahya Harahap. Op. Cit., hal. 532, menjelaskan bahwa dari segi teknis yustisial, setiap permohonan wajib memuat dalil yang disebut posita (fundamentum petendi) yang berisi alasan hukum yang mendasari permohonan, sehingga harus jelas, terang, dan pasti. 31 Permohonan penyelenggaraan RUPS ketiga oleh PT kepada ketua pengadilan negeri adalah tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa, sehingga keputusan hukumnya adalah penetapan (beschikking, decree), bukan putusan (vonnis, award). 32 Tugas lembaga peradilan dilakukan oleh hakim di pengadilan yang memberikan keputusan hukum yang akan berlaku sebagai kaidah hukum, yang berpijak pada koridor hukum, berdasarkan realitas sosial dan menjunjung tinggi perikemanusiaan. Cermati, Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Kualitas Putusan Pengadilan Niaga”, (Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22-No. 4-Tahun 2003), hal. 23. 33 Habib Adjie, Saksi Perdata dan Aministratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal. 54-55, menjelaskan bahwa akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan di hadapan notaris, agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta notaris.
15
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
Notaris harus memerhatikan pemenuhan syarat formalitas pelaksanaan RUPS sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk menjaga keotentikan dan keabsahan berita acara rapat yang dibuatnya. Karena, jika akta notaris tidak memuat kebenaran formil dan materil, maka notaris dapat dimintakan pertanggungjawabannya oleh pihak-pihak yang dirugikan, bahkan dapat dikenakan sanksi, jika terbukti melakukan kesalahan.34 Akta notaris tentang pemisahan bank berbadan hukum PT wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, karena hal ini sudah merupakan satu karakter akta notaris sebagai akta otentik35 yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna,36 sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan notaris.37 Selanjutnya, Pasal 128 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 yang mengharuskan akta akta notaris tentang pemisahan dalam bahasa Indonesia konsisten dan sinkron dengan Pasal 7 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 yang mengharuskan perjanjian pendirian PT, termasuk bank berbadan hukum 34 Hani Yuniarti, “Kewenangan Notaris Membuat Akta Risalah Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tentang Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas”, (Repertorium, Volume: 1 Nomor: 1 Mei-September 2010), hal. 51 35 Pasal 1 angka 7 UU No. 30 Tahun 2004 menegaskan akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris berkedudukan sebagai akta otentik. Kemudian, Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak atas Tanah di Indonesia, (Arkola, Surabaya), hal. 148, menjelaskan ada 3 (tiga) syarat formal akta otentik, yaitu: 1) dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang; 2) dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang; dan 3) di tempat di mana akta itu dibuat. 36 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3199 K/Pdt/1994, tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut ex Pasal 165 HIR jo. Pasal 285 Rbg. jo. Pasal 1868 BW merupakan bukti yang sempurna. Perhatikan, M. Ali Boediarto, “Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad”, (Jakarta: Swa Justitia, 2005), hal. 150 37 M.J.A. van Mourik, “Civil Law and The Civil Law Notary in a Modern World”, (Media Notariat, No. 22-23-24-25, Jan-April-Juli-Oktober 1992, Ikatan Notaris Indonesia), hal. 26
16
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
PT, dituangkan dalam bentuk akta notaris dalam bahasa Indonesia, yang merefleksikan: pertama, kehendak untuk menempatkan bahasa Indonesia sebagai sarana pemersatu, identitas dan wujud eksistensi bangsa, simbol kedaulatan dan kehormatan negara; dan kedua, kehendak untuk memudahkan dan menyamakan pemahaman terhadap substansi akta notaris, sehingga dapat mengeliminasi potensi terjadinya perbedaan penafsiran kata-kata dan istilahistilah dalam akta notaris yang mengarah pada terjadinya sengketa. Kemudian, jika ternyata pemisahan bank berbadan hukum PT mengalami ”perubahan anggaran dasar tertentu” 38 yang dimaksud oleh Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007, yang mencakup perubahan: a. nama bank berbadan hukum PT dan/atau tempat kedudukan bank berbadan hukum PT; b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha bank berbadan hukum PT; c. jangka waktu berdirinya bank berbadan hukum PT; d. besarnya modal dasar; e. pengurangan modal ditempatkan dan disetor; atau f. status bank berbadan hukum PT yang tertutup menjadi PT terbuka39 dan sebaliknya, maka pemisahan bank berbadan hukum PT, menurut Pasal 129 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007, harus mendapat persetujuan Menteri.40 Untuk itu, direksi harus mengajukan permohonan persetujuan Menteri dengan cara melampirkan salinan akta pemisahan bank berbadan hukum PT dalam permohonan tersebut. Jika pemisahan bank berbadan hukum PT disertai perubahan anggaran dasar yang dimaksud oleh Pasal 21 ayat (3) UU No. 40 Tahun 207, 38 Muhammad Syaifuddin, ”Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: Perkembangan Teori dan Relevansinya dengan Tujuan Hukum Perusahaan”, (Simbur Cahaya, No. 31 Tahun XI, Mei 2006), hal. 232, menegaskan bahwa anggaran dasar PT adalah ”dokumen konstitusi yang pokok dari PT, yang di dalamnya ditetapkan struktur, jenis kegiatan usaha dan maksud serta tujuan PT. 39 PT tertutup adalah PT pada umumnya yang tidak menjual saham atau menambah modalnya kepada publik melalui pasar modal, sedangkan PT terbuka adalah PT yang menjual saham dan menambah modalnya secara resmi kepada publik melalui pasar modal, yang disebut juga “perusahaan publik”, yaitu, PT yang sahamnya dimiliki oleh sekurang-kurangnya 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya 3.000.000.000,00 (tiga milyar) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah (vide Pasal 1 angka 12 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal). 40 Menurut Pasal 1 angka 16 UU No. 40 Tahun 2007, Menteri adalah “Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia”.
17
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
berarti bukan perubahan anggaran dasar tertentu yang dimaksud oleh Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007. Oleh karena itu, direksi cukup ”menyampaikan pemberitahuan” pemisahan bank berbadan hukum PT kepada Menteri, yang dilampiri dengan akta pemisahannya. Untuk pemisahan bank berbadan hukum PT yang tidak disertai dengan perubahan anggaran dasar, merujuk kepada Pasal 129 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007, salinan akta pemisahannya harus disampaikan kepada Menteri. Kemudian, Menteri mencatat pemisahan bank berbadan hukum PT itu dalam daftar PT. Agar pihak ketiga yang berkepentingan41 mengetahui telah dilakukan pemisahan bank berbadan hukum PT, maka Direksi bank berbadan hukum PT yang akan melakukan pemisahan (bank lama) diwajibkan oleh Pasal 133 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 untuk mengumumkan hasil pemisahan bank berbadan hukum PT tersebut dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal sejak tanggal: a. persetujuan Menteri atas perubahan anggaran dasar dalam hal terjadi pemisahan; b. pemberitahuan diterima Menteri dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud oleh Pasal 21 ayat (3) maupun tidak disertai dengan perubahan anggaran dasar. Akibat hukum pemisahan bank berbadan hukum PT tergantung pada cara pemisahannya. Merujuk kepada Pasal 135 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 serta Penjelasan pasalnya, dapat dipahami bahwa pemisahan bank berbadan hukum PT dapat dilakukan dengan cara, yaitu: a. Pemisahan murni (split off),42 yaitu pemisahan bank berbadan hukum PT yang mengakibatkan: pertama, ”seluruh” aktiva dan pasiva bank berbadan hukum PT yang melakukan pemisahan (bank lama) ”beralih 41 Pihak ketiga yang berkepentingan adalah pihak ekternal PT, antara lain, kreditor dan pemasok yang menginginkan piutang atau tagihannya tetap dilunasi oleh PT meskipun terjadi pemisahan PT, dan warga masyarakat yang menginginkan perlindungan konsumen dari persaingan usaha yang tidak sehat yang potensial terjadi karena pemisahan PT. 42 Pemisahan murni disebut juga dengan istilah “pemecahan usaha” atau split off. Perhatikan, Gunadi, Loc. Cit. dan juga Suad Husnan, Manajemen Keuangan, Teori dan Penerapan (Keputusan Jangka Pendek) Buku I,( Yogyakarta: BPFE, 1998)
18
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
karena hukum” kepada 2 (dua) bank berbadan hukum PT atau lebih yang menerima pemisahan (bank baru); dan kedua, bank berbadan hukum PT yang melakukan pemisahan (bank lama) ”berakhir” karena hukum. Makna ”beralih karena hukum” adalah beralih berdasarkan titel umum, sehingga tidak diperlukan akta peralihan; atau b. Pemisahan tidak murni (spin off),43 yaitu pemisahan bank berbadan hukum PT yang mengakibatkan: pertama, sebagian aktiva dan pasiva bank berbadan hukum PT yang melakukan pemisahan (bank lama) beralih karena hukum kepada 1 (satu) bank berbadan hukum PT lain atau lebih yang menerima pemisahan (bank baru); dan kedua, bank berbadan hukum PT yang melakukan pemisahan tersebut (bank lama) ”tetap ada”. Perbedaan antara pemisahan murni (split off) bank berbadan hukum PT dengan pemisahan tidak murni (spin off) bank berbadan hukum PT, adalah: pertama, pada pemisahan murni, aktiva dan pasiva beralih karena hukum dari bank berbadan hukum PT yang melakukan pemisahan (bank lama) kepada masing-masing bank berbadan hukum PT yang menerima pemisahan atau menerima peralihan (dua atau lebih bank baru) adalah ”seluruhnya”, sedangkan pada pemisahan tidak murni, aktiva dan pasiva yang beralih karena hukum dari bank berbadan hukum PT yang melakukan pemisahan (bank lama sebagai perusahaan induk) kepada bank berbadan hukum PT yang menerima pemisahan atau menerima peralihan (satu) atau lebih (bank baru sebagai anak perusahaan) adalah ”sebagian”; kedua, pada pemisahan murni, jumlah bank berbadan hukum PT yang menerima pemisahan atau menerima peralihan aktiva dan pasiva adalah 2 (dua) atau lebih bank berbadan hukum PT sebagai bank baru, sedangkan pada pemisahan tidak murni, jumlah bank berbadan hukum PT yang menerima pemisahan atau menerima peralihan aktiva dan pasiva adalah 1 (satu) atau lebih bank berbadan hukum PT sebagai ”anak perusahaan baru”; dan ketiga, pada pemisahan murni, eksistensi dan validitas bank berbadan hukum PT yang melakukan pemisahan (bank lama) berakhir karena hukum, sedangkan pada pemisahan tidak murni, eksistensi 43 Pemisahan tidak murni disebut juga dengan istilah “pemekaran unit/cabang” atau spin off. Perhatikan Ibid.
19
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
dan validitas bank berbadan hukum PT yang melakukan pemisahan (bank lama) masih ”tetap ada”, bahkan seringkali menjadi ”perusahaan induk”. Mengingat akibat hukum pemisahan bank berbadan hukum PT adalah terjadinya peralihan aktiva dan pasiva, maka keputusan RUPS yang menyetujui pemisahan bank berbadan hukum PT seharusnya juga menegaskan pembagian pihak siapa yang berhak atas aktiva berupa tanah dan bangunan, dan pihak mana yang berhak atas aset-aset lainnya. Sebaliknya, juga perlu menegaskan pembagian pihak siapa yang wajib menyelesaikan pasiva atau membayar utang atau kewajiban bank, sehingga porsi utang atau kewajiban masing-masing bank berbadan hukum PT hasil pemisahan (bank lama dan bank baru) harus jelas diatur dalam keputusan RUPS, yang kemudian dituangkan dalam akta pemisahan (akta notaris). 2. Perlindungan Hukum terhadap Kepentingan Pemegang Saham Minoritas dan Karyawan dalam Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas a. Perlindungan Hukum terhadap Kepentingan Pemegang Saham Minoritas Menurut Muhamad Djumhana, pada dasarnya kepentingan pemegang saham terhadap banknya adalah mencari laba, karena laba merupakan rangsangan ekonomi yang mendorong para pemilik menanamkan modalnya dalam kegiatan usaha di bidang perbankan. Laba optimum hanya dapat diperoleh para pemegang saham jika dilakukan optimalisasi penerimaan dan minimalisasi biaya umum dan biaya langsung dengan melaksanakan fungsifungsi ekonomi bank dalam perekonomian secara optimum. Dalam rangka untuk itu, para pemilik bank meminta: pertama, adanya kepastian hukum dalam melaksanakan fungsi-fungsi ekonomi bank dalam perekonomian; dan kedua, adanya kebebasan dan otonomi dalam melaksanakan fungsi-fungsi ekonomi bank dalam perekonomian.44
44 Muhamad Djumhana, Asas-asas Hukum Perbankan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 188.
20
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
Pemegang saham sebagai pemilik bank berbadan hukum PT mempunyai kepentingan mengendalikan kegiatan usaha banknya, dengan tujuan memaksimalisasi laba. Namun, di sisi lain, ada pula kepentingan pemegang saham minoritas yang perlu dilindungi, jangan sampai dirugikan oleh pemegang saham mayoritas yang mempunyai hak mengendalikan kegiatan usaha bank berbadan hukum PT, sehingga perlu ada keseimbangan di antara keduanya yang diatur dan ditegakkan dalam suatu sistem hukum perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan hukum perusahaan. Sistem hukum perusahaan modern, menurut Munir Fuady, tidak membolehkan pemegang saham mayoritas merugikan kepentingan pemegang saham minoritas, sebaliknya pemegang saham minoritas tidak boleh menjadi tirani minoritas. Lazimnya, dijalin suatu keseimbangan dalam bentuk majority rule and minority protection, sehingga yang berkuasa pemegang saham mayoritas, tetapi memerhatikan kepentingan pemegang saham minoritas.45 UU No. 40 Tahun 2007, apalagi UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998, tidak memuat pengertian “pemegang saham minoritas”. Secara doktrinal, pengertian “pemegang saham minoritas” adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai saham secara sah pada PT dalam jumlah atau prosentase yang sedikit (kurang dari 50%) dari keseluruhan jumlah saham PT. Pengertian “saham” menurut Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, adalah “Hak pada sebagian modal suatu perseroan; andil dalam perseroan atau perusahaan, bagian-bagian modal pada perusahaan yang telah dibagibagi pada akte pendirian”.46 Selanjutnya, UU No. 40 Tahun 2007 melindungi kepentingan pemegang saham minoritas dengan cara memberikan hak-hak untuk melakukan tindakan-tindakan hukum jika dirugikan dalam pemisahan bank berbadan hukum PT yang diputuskan oleh RUPS berdasarkan persetujuan pemegang saham mayoritas, yaitu: 45 Munir Fuady, Hukum tentang Akuisisi, Take Over dan LBO (Berdasarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 125 46 Kamus Hukum Fockema Andreae, dalam Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2006), hal. 48-49
21
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
a. Hak Menjual Saham dengan Harga yang Wajar Merujuk kepada Pasal 126 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 berikut Penjelasan pasalnya, pemegang saham yang ”tidak setuju” terhadap keputusan RUPS mengenai pemisahan bank berbadan hukum PT berhak menjual sahamnya dengan ”harga yang wajar” kepada bank berbadan hukum PT sesuai dengan Pasal 62 UU No. 40 Tahun 2007. Konsep ”harga yang wajar” dari saham bank berbadan hukum PT adalah harga menurut Pasal 128 ayat (2) huruf c UU No. 40 Tahun 2007 dan Penjelasan pasalnya, yaitu harga yang wajar saham dari bank berbadan hukum PT baru yang menerima pemisahan (kriteria dasar ini berlaku untuk pemisahan murni atau split off), atau harga wajar saham dari bank berbadan hukum PT yang melakukan pemisahan (bank lama/perusahaan induk) dan harga yang wajar saham dari bank berbadan hukum PT yang menerima pemisahan (bank baru) untuk menentukan perbandingan penukaran saham dalam rangka konversi saham (kriteria dasar ini berlaku untuk pemisahan tidak murni atau spin off). Sehubungan dengan konsep ”harga yang wajar” dari saham bank berbadan hukum PT yang merujuk kepada Pasal 128 ayat (2) huruf c tersebut di atas, terdapat 3 (tiga) teori hukum yang dapat menjelaskannya, yaitu: 1) Teori Nilai Perolehan, yaitu menentukan harga saham berdasarkan nilai perolehan atau investasi perusahaan (earnings value) di masa yang akan datang (future earnings) setelah didiskon dengan nilai perolehan perusahaan sekarang (present value); 2) Teori Nilai Pasar, yaitu menentukan harga saham berdasarkan nilai pasar dari saham tersebut sebelum diumumkan pemisahan. Namun, nilai pasar dari saham ini sulit ditentukan secara pasti bagi perusahaan tertutup; 3) Teori Nilai Aset, yaitu menentukan harga saham berdasarkan harga aset di pasar yang wajar, untuk meningkatkan harga saham tersebut seandainya dalam perusahaan terdapat aset-aset yang untuk sementara tidak menghasilkan, tetapi harganya masih tinggi.47
47 Munir Fuady, 2008, Hukum tentang Akuisisi..., Op. Cit., hal. 135
22
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
Bank berbadan hukum PT menurut Pasal 37 UU No. 40 Tahun 2007 mempunyai hak untuk membeli kembali saham-sahamnya yang dimiliki dan dijual oleh pemegang saham minoritas dalam rangka pemisahan bank berbadan hukum PT tersebut. Namun, hak bank berbadan hukum PT untuk membeli kembali saham-sahamnya ini ada batas maksimalnya, yaitu tidak boleh melebihi 10% (sepuluh persen) dari modal ditempatkan.48 Selanjutnya, jika pembelian saham oleh bank berbadan hukum PT dari pemegang saham minoritas yang tidak menyetujui pemisahan bank berbadan hukum PT tersebut akan melebihi jumlah 10% (sepuluh persen), maka menurut Pasal 62 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 bank berbadan hukum PT wajib mengusahakan agar pembelian saham tersebut dilakukan oleh pihak lain (pemegang saham lain atau pihak luar). Kemudian, terlepas dari usaha bank berbadan hukum PT agar saham milik pemegang saham minoritas berhasil atau tidak berhasil dibeli oleh pihak lain, menurut Pasal 126 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007, tidak menghentikan proses hukum pemisahan bank berbadan hukum PT tersebut. Hak menjual saham dengan harga yang wajar yang diberikan oleh hukum (vide UU No. 40 Tahun 2007) kepada pemegang saham minoritas dalam proses pemisahan bank berbadan hukum PT, dalam kepustakaan hukum disebut dengan “appraisal rights”, yang mempunyai sandaran teoretik, yaitu: 1) Pemegang saham minoritas tidak dapat dipaksa oleh pemegang saham mayoritas (dalam forum RUPS) untuk tetap menjadi bagian dari pemilikan saham bank berbadan hukum PT yang sudah mempunyai visi, misi dan strategi bisnis yang berbeda dengannya selama dan setelah proses pemisahan bank berbadan hukum PT tersebut; 48 Modal yang ditempatkan adalah modal yang disanggupi para pendiri untuk disetor ke dalam kas PT pada saat didirikan. Modal yang ditempatkan belum memberikan kekuatan finansial riil PT, karena modal tersebut belum berupa uang tunai atau belum ada sama sekali dalam kas PT. Perhatikan Ridwan Khairandy, dkk., Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hal 40. Modal ditempatkan menurut Pasal 33 UU No. 40 Tahun 2007 paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar PT dan harus disetor penuh dengan bukti penyetoran yang sah.
23
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
2) Pemegang saham minoritas akan merasa “tidak nyaman” secara psikologis akibat berbeda pendapat dengan pemegang saham mayoritas, baik di dalam maupun di luar forum RUPS, selama dan setelah proses pemisahan bank berbadan hukum PT, sehingga akan lebih baik jika dia keluar dan mencari bank berbadan hukum PT lain yang dirasakannya lebih kondusif; 3) Pemegang saham minoritas, yang kepentingannya dilanggar selama dan setelah proses pemisahan bank berbadan hukum PT, berhak memperoleh kompensasi yang adil, karena saham-sahamnya dibeli kembali oleh bank berbadan hukum PT dengan harga yang wajar. 4) Pemegang
saham
mayoritas
yang
“menguasai”
RUPS
dan
“mengendalikan” bank berbadan hukum PT akan berhati-hati untuk menyetujui pemisahan bank berbadan hukum PT tersebut, sehingga berupaya untuk tidak merugikan kepentingan pemegang saham minoritas, sebab bank berbadan hukum PT dapat berkurang dananya, karena harus membeli saham pemegang saham minoritas yang tidak menyetujui pemisahan bank berbadan hukum PT tersebut, sehingga berpotensi secara langsung atau tidak langsung menggagalkan pemisahan bank berbadan hukum PT meskipun pemisahan tersebut mungkin sangat bermanfaat bagi bank berbadan hukum PT. b. Hak Menyelesaikan Sengketa secara Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemegang saham minoritas sebagai subjek hukum mempunyai hak perseorangan (personal right) yang dapat dipertahankan dan dapat menuntut pelaksanaan haknya yang dilanggar dalam proses pemisahan bank berbadan hukum PT, untuk dapat diselesaikan di luar pengadilan secara arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (APS), yang meliputi: konsultasi, negosiasi,
24
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
mediasi, konsiliasi atau cara lain,49 dalam kerangka hukum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase adalah mekanisme penyelesaian sengketa dengan bantuan arbiter sebagai pihak ketiga yang netral dan bertindak sebagai ”hakim” yang diberikan wewenang penuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa perdata di antara mereka. Jadi, logis bahwa arbiter sebagai pihak ketiga yang netral itu mempunyai hak mengambil putusan (award) yang terakhir (final) dan bersifat mengikat (binding) serta mempunyai kekuatan hukum tetap.50 Sedangkan APS (singkatan dari alternatif penyelesaian sengketa) adalah terjemahan dari istilah asing (Inggris), yaitu Alternative Dispute Resolution, yang berarti: pertama, alternative to litigation, yang mencakup seluruh penyelesaian sengketa di luar pengadilan, termasuk arbitrase; dan kedua, alternative to adjudication, yang meliputi mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif, seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi.51 Dasar hukum umum arbitrase dan APS sebagai lembaga dan mekanisme hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan (nonlitigasi), terdapat dalam Pasal 10 ayat (2) dan Penjelasannya pada Undang-Undang 49 Negosiasi, digunakan dengan prosedur dan daya mengikatnya bergantung kepada kesepakatan dan maksud baik para pihak, tetapi masih terikat prinsip-prinsip hukum. Kemudian, mediasi, dilakukan dengan bantuan pihak ketiga sebagai mediator yang netral, yang memerlukan. kesepakatan para pihak mulai dari proses mediasi, menerima atau tidak menerima usulan mediator, sampai kepada pengakhiran tugas mediator. Selanjutnya, konsiliasi, sifatnya lebih formal oleh konsiliator atau badan konsiliasi yang ditentukan oleh para pihak, untuk memperoleh fakta-fakta, analisis dan kesimpulan serta usulan penyelesaian sengketanya, yang dapat diterima atau ditolak oleh para pihak. Cara lain, misalnya penyelidikan atau penemuan fakta, yang dilakukan oleh pihak ketiga yang sifatnya kurang formal dan bergantung kepada penguraian fakta-fakta sebenarnya yang tidak disepakati oleh para pihak. Perhatikan Peter Behrens, “Alternative Methods of Dispute Settlement in International Economic Relations”, dalam Ernst-Ulrich Petersmann and Gunther Jaenicke, 1992, Adjudication of International Trade Dispute in International and National Ecomic Law, Friborg U.P., p. 17. Perhatikan juga Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 254-255 50 Muhammad Syaifuddin, 2009, Hukum Paten: Analisis Paten dalam Perspektif Filsafat, Teori, dan Dogmatik Hukum Nasional dan Internasional, (Tunggal Mandiri Publishing Bekerjasama dengan AA Law Firm (Advocates & Solicitors), Malang), hal. 173. 51 Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hal. 36
25
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disingkat UU No. 48 Tahun 2009), yang menyatakan bahwa ”Ketentuan ini tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”, dan Pasal 38 ayat (2) huruf e., yang memuat penegasan bahwa fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi pula penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Kemudian, upaya penyelesaian sengketa perdata, menurut Pasal 58 UU No. 48 Tahun 2009, dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Khusus untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase, pemegang saham minoritas dan bank berbadan hukum PT harus membuat perjanjian arbitrase sebagai forum dan mekanisme penyelesaian sengketa yang telah timbul di antara mereka (pactum de compromittendo) selama dan setelah proses pemisahan bank berbadan hukum PT (vide Pasal 7 UU No. 30 Tahun 1999). APS sebagai suatu lembaga dan mekanisme penyelesaian sengketa secara nonlitigasi atau di luar pengadilan yang juga perlu digunakan oleh pemegang saham minoritas dan bank berbadan hukum PT dalam menyelesaikan sengketa yang timbul selama dan setelah proses pemisahan bank berbadan hukum PT, karena selain keputusannya bersifat final dan mengikat, APS prosedurnya tunggal, tidak birokratis, cepat, dan biaya rendah, berdasarkan musyawarah untuk manfaat, dan ada kepastian yang dapat diterima oleh semua pihak yang bersengketa.52 APS dapat dikembangkan oleh pemegang saham minoritas dan bank berbadan hukum PT sebagai pihak-pihak yang bersengketa sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik sengketanya yang timbul selama dan setelah proses pemisahan bank berbadan hukum PT, dengan memerhatikan hak dan kewajiban pihak-pihak yang bersengketa tersebut secara pasti, adil atau seimbang dan efisien.
52 Muhammad Syaifuddin. Op. Cit., hal. 182
26
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
c. Hak Mengajukan Gugatan Biasa Berdasarkan Hak Perseorangan Pemegang saham minoritas sebagai subjek hukum mempunyai hak perseorangan (personal right) yang dapat dipertahankan dan dapat menuntut pelaksanaan haknya yang dilanggar dalam proses pemisahan bank berbadan hukum PT berdasarkan Pasal 61 UU No. 40 Tahun 2007 yang memberikan hak kepada setiap pemegang saham (tanpa memerhatikan prosentase minimal saham yang dipegangnya) untuk mengajukan gugatan biasa (direct suit) terhadap bank berbadan hukum PT yang telah melaksanakan pemisahan (bank lama) melalui pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan bank berbadan hukum PT tersebut. Merujuk kepada Penjelasan pasalnya, gugatan terhadap bank berbadan hukum PT diajukan jika pemegang saham dirugikan karena tindakan bank berbadan hukum PT itu dianggap tidak adil dan tanpa alasan yang wajar sebagai akibat keputusan RUPS, direksi atau komisaris. Kemudian, merujuk kepada Penjelasan pasalnya, dapat ditegaskan bahwa sebenarnya Pasal 61 UU No. 40 Tahun 2007 hanya deklarasi berlakunya hukum perdata pada umumnya yang mengarahkan gugatan yang diajukan oleh pemegang saham tersebut mencapai target, sebagai berikut: 1) Penghentian pemisahan, maksudnya mencegah kelanjutan dan menghentikan proses pemisahan yang telah dilaksanakan oleh bank berbadan hukum PT. 2) Penindakan secara preventif, maksudnya melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap pemisahan bank berbadan hukum PT di kemudian hari. 3) Penindakan secara kuratif, maksudnya melakukan tindakan-tindakan pemulihan dalam proses pemisahan bank berbadan hukum PT yang telah dilaksanakan, misalnya memberikan ganti rugi kepada pemegang saham minoritas yang dirugikan. Pemegang saham minoritas juga dapat menuntut ganti kerugian dengan cara mengajukan gugatan biasa terhadap bank berbadan hukum PT yang melaksanakan pemisahan (bank lama) melalui pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan bank berbadan hukum PT tersebut berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, dengan alasan hukum bahwa 27
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
bank berbadan hukum PT telah melakukan perbuatan melawan hukum,53 yang mengandung unsur kesalahan dan menimbulkan kerugian bagi pemegang saham minoritas. d. Hak Mengajukan Gugatan Derivatif Berdasarkan Hak Utama Pasal 97 ayat (6) dan Pasal 144 ayat (6) UU No. 40 Tahun 2007 merupakan dasar hukum bagi kepada pemegang saham minoritas yang tidak menyetujui pemisahan bank berbadan hukum PT sebagai akibat dari keputusan dewan direksi atau dewan komisaris, untuk mengajukan gugatan derivatif ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan bank berbadan hukum PT tersebut, dengan ketentuan-ketentuan normatif, sebagai berikut: 1) mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara; 2) anggota dewan direksi atau anggota dewan komisaris melakukan kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian pada bank berbadan hukum PT. Menurut Munir Fuady, gugatan derivatif adalah gugatan yang berdasarkan hak utama (primary rights) dari PT, tetapi dilaksanakan oleh pemegang saham untuk dan atas nama PT, gugatan mana dilakukan karena adanya suatu kegagalan dalam PT. Jika dalam gugatan biasa, direksi yang mewakili PT, tetapi dalam gugatan derivatif, justru pemegang saham yang mewakili PT untuk menggugat PT atau direksi PT.54 Jadi, berbeda dengan gugatan biasa yang diajukan oleh pemegang saham minoritas untuk mewakili dirinya sendiri, gugatan derivatif dapat diajukan oleh pemegang saham minoritas untuk dan atas nama bank berbadan hukum PT. 53 Mariam Darus Badruzzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 106-107, menjelaskan bahwa Yurisprudensi Arrest Lindenbaum-Cohen tahun 1919 H.R. 31 Januari, Hoetink No. 110, menafsirkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, melanggar hak orang lain, dan bertentangan dengan kesusilaan yang mengandung unsur kesalahan (schuld), dan menimbulkan kerugian (schade), sehingga mewajibkan pihak yang karena salahnya menimbulkan kerugian, mengganti kerugian tersebut. 54 Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 174
28
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
e. Hak Mengajukan Permohonan Pemeriksaan Perseroan Terbatas Berdasarkan Pasal 138 UU No. 40 Tahun 2007, pemegang saham minoritas yang menderita kerugian dalam proses pemisahan bank berbadan hukum PT berhak mengajukan permohonan pemeriksaan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan bank berbadan hukum PT tersebut,55 atas nama sendiri atau atas nama bank berbadan hukum PT jika mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa bank berbadan hukum PT atau anggota direksi maupun dewan komisaris melakukan perbuatan melawan hukum dalam proses pemisahaan bank berbadan hukum PT tersebut, antara lain melanggar hak pemegang saham untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar yang diatur dalam Pasal 62 UU No. 40 Tahun 2007. Setelah pemeriksaan bank berbadan hukum PT yang dilakukan oleh ahli yang ditetapkan oleh pengadilan negeri56 berdasarkan Pasal 139 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 dinyatakan selesai, maka laporan hasil pemeriksaan yang telah dibuat oleh ahli itu, menurut Pasal 140 UU No. 40 Tahun 2007, diserahkan kepada ketua pengadilan negeri dengan jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal pengangkatan ahli sebagai pemeriksa bank berbadan hukum PT tersebut. Pengadilan negeri tidak akan mengeluarkan penetapan lebih lanjut, melainkan hanya wajib menyerahkan salinan laporan hasil pemeriksaan kepada pemegang saham minoritas selaku pemohon dan bank berbadan hukum PT sebagai termohon dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan diterima ketua pengadilan negeri. Selanjutnya, pemegang saham minoritas dapat mengajukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 55 Perkara pemeriksaan PT adalah perkara perdata umum yang termasuk wewenang atau kompetensi absolut peradilan umum. Oleh karena itu, pengadilan yang berwenang (kompetensi relatif) menetapkan dapat atau tidak dapatnya dilakukan pemeriksaan PT adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan PT. 56 Pengangkatan ahli sebagai pemeriksa PT berdasarkan penetapan oleh pengadilan negeri bukan karena kedudukan hakim atau jabatan hakimnya (ex officio), tetapi karena perintah undang-undang. Ahli mempunyai wewenang memeriksa semua dokumen dan kekayaan PT yang dianggap perlu (vide Pasal 139 ayat (5) UU No. 40 Tahun 2007) dan memeriksa setiap anggota direksi, anggota dewan komisaris dan semua karyawan PT yang dianggap perlu oleh ahli (vide Pasal 139 ayat (6) UU No. 40 Tahun 2007).
29
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
1365 KUH Perdata terhadap bank berbadan hukum PT yang melaksanakan pemisahan (bank lama), anggota direksi atau dewan komisarisnya jika hasil pemeriksaan terhadap bank berbadan hukum PT tersebut menerangkan fakta tentang terjadinya perbuatan melawan hukum yang merugikannya. 2. Perlindungan Hukum terhadap Kepentingan Karyawan Menurut Muhamad Djumhana, kepentingan karyawan terhadap banknya adalah adanya suasana dan kehidupan yang memungkinkan timbulnya dorongan yang berkesinambungan dalam melaksanakan tugasnya secara baik dan bertanggung jawab.57 Lebih lanjut, Muhamad Djumhana menjelaskan bahwa sebagai pelaku dan penggerak dari organisasi bank, mereka membutuhkan iklim manajemen yang menjamin karier dan masa depan mereka. Harapan itu, antara lain, berbentuk: 1) Jaminan pekerjaan, artinya setiap karyawan dan pengurus memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan tingkat dan kemampuan mereka. 2) Jaminan berserikat, artinya setiap karyawan dan pengurus memperoleh hak untuk berkumpul dan berorganisasi demi menampung aspirasi mereka. 3) Jaminan imbalan materi, artinya setiap karyawan dan pengurus memperoleh hak untuk menerima imbalan berupa upah, gaji, bonus, tunjangan, biaya pengobatan, dan lain-lain. 4) Jaminan imbalan nonmateri, artinya setiap karyawan dan pengurus memperoleh hak untuk menerima imbalan nonmateri, seperti kenaikan pangkat, penempatan, pendidikan, dan jenjang karier. 5) Jaminan hari tua, artinya setiap karyawan dan pengurus memperoleh hak untuk diperlakukan sama tanpa memandang ras, agama, garis keturunan keluarga, dan suku bangsa.58 Pengertian ”karyawan”, yang mempunyai kepentingan dengan bank, khususnya bank berbadan hukum PT, ternyata tidak ada dalam UU No. 40 Tahun 2007, apalagi UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998. Namun, berdasarkan Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007, dapat ditafsirkan bahwa 57 Muhamad Djumhana, Op. Cit., hal. 191-192. 58 Ibid.
30
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
“karyawan” bukanlah organ PT, melainkan orang perseorangan yang membuat perjanjian kerja dengan PT. Jadi, dalam konteks ini karyawan adalah pekerja yang mempunyai hubungan kerja (hubungan hukum berdasarkan perjanjian kerja) dengan bank berbadan hukum PT selaku pengusaha, sehingga selain tunduk pada UU No. 40 Tahun 2007 dan UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998, juga tunduk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disingkat UU No. 13 Tahun 2003). Hak-hak dasar karyawan sebagai pekerja pada bank berbadan hukum PT diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, antara lain, hak atas kesejahteraan, hak atas uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima dari perusahaan yang memutuskan hubungan kerja. Menurut UU No. 40 Tahun 2007, hak-hak dasar karyawan merupakan kepentingan yang tidak boleh diabaikan selama dan setelah proses pemisahan bank berbadan hukum PT. Merujuk kepada Pasal 127 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 yang ditafsirkan secara analogis dan meluas, direksi bank berbadan hukum PT wajib melakukan pengumuman tertulis kepada karyawan PT mengenai ringkasan rancangan pemisahan bank berbadan hukum PT tersebut, dengan rasio hukum yang merujuk kepada Penjelasan pasalnya, adalah memberikan kesempatan kepada karyawan sebagai pihak internal yang berkepentingan agar mengetahui rencana pemisahan bank berbadan hukum PT dan dapat memperoleh rancangan pemisahannya sejak tanggal pengumuman sampai tanggal penyelenggaraan RUPS, sekaligus memberikan hak kepada mereka untuk mengajukan ”keberatan” jika kepentingannya dirugikan.59 Mekanisme hukum ”keberatan” merupakan alternatif penyelesaian perselisihan kepentingan secara musyawarah oleh karyawan dengan bank berbadan hukum PT, guna mencapai mufakat tentang pemisahan bank berbadan hukum 59 Selain pengumuman tertulis yang sifatnya legal formalistis, dalam praktiknya direksi dengan persetujuan dewan komisaris dan RUPS PT juga melakukan serangkaian kegiatan sosialisasi kepada karyawan guna menjelaskan rencana pemisahan PT. Sebaliknya, karyawan PT juga melakukan “pengawalan” terhadap pembahasan rencana pemisahan PT agar tidak merugikan kepentingan mereka. Perhatikan, ”Lakukan Spin Off, Pusri Tak Akan Pecat Karyawan”, Berita, dalam http://www.pusri.co.id/50publikasi01.php?tipeid =DD&pubid=pub201011940, diakses pada 8 Juni 2011.
31
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
PT tersebut. Selain dapat mengajukan ”keberatan” sebagai wujud ketidaksetujuannya terhadap pemisahan bank berbadan hukum PT, karyawan baik secara orang perseorangan maupun serikat pekerja yang kepentingannya dirugikan selama dan setelah proses pemisahan bank berbadan hukum PT juga dapat mengajukan gugatan terhadap bank berbadan hukum PT tersebut melalui hakim di pengadilan negeri berdasarkan dugaan terjadinya pelanggaran hukum terhadap Pasal 126 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 dan/ atau perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 KUH Perdata, dengan tuntutan berupa perintah penghentian pemisahan bank berbadan hukum PT tersebut, ganti rugi, atau perintah penghentian pemisahan bank berbadan hukum PT disertai ganti rugi. Kemudian, jika dipahami bahwa ”keberatan” karyawan terhadap pemisahan bank berbadan hukum PT adalah fakta hukum yang menjelaskan terjadinya ”perselisihan hak dan perselisihan kepentingan” antara karyawan selaku pekerja dengan bank berbadan hukum PT selaku pengusaha, sehingga dapat dikualifikasi sebagai ”perselisihan hubungan industrial” yang diarahkan oleh Pasal 136 UU No. 13 Tahun 2003 untuk dapat diselesaikan di luar pengadilan dengan prosedur hukum yang diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (selanjutnya disingkat UU No. 2 Tahun 2004), yang meliputi: bipartit, konsiliasi, arbitrase, dan mediasi.60
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial juga diarahkan
60 Bipartit bersifat wajib dilakukan di tingkat perusahaan, melibatkan langsung pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja yang berselisih, dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan pertama. Kemudian, konsiliasi bersifat pilihan sukarela, melibatkan konsiliator berdasarkan kesepakatan para pihak yang berselisih dan harus menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari kerja sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan. Selanjutnya, arbitrase bersifat pilihan sukarela, melibatkan arbiter berdasarkan kesepakatan para pihak yang berselisih dan harus menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter. Berikutnya, mediasi bersifat wajib, dilakukan oleh mediator yang telah memenuhi syarat, jika kedua pilihan sebelumnya (konsiliasi atau arbitrase) tidak disepakati oleh para pihak. Untuk lebih detail, cermati Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), hal. 267-274
32
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
oleh Pasal 136 UU No. 13 Tahun 2003 untuk dapat diselesaikan di dalam pengadilan, yaitu pengadilan hubungan industrial yang diatur dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 115 UU No. 2 Tahun 2004, yang merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum, yang memiliki karakteristik khusus61 yang membedakannya dengan pengadilan negeri. C. Kesimpulan Analisis terhadap dua isu hukum yang telah diuraikan sebelumnya, menghasilkan kesimpulan, sebagai berikut: 1) aturan hukum (vide UU No. 40 Tahun 2007 dan UU terkait lainnya di bidang perbankan) mengatur proses pemisahan bank berbadan hukum PT sebagai upaya merestrukturisasi perusahaan, yang mencakup persyaratan, perancangan, pengesahan, pengumuman hasil dan akibat hukum pemisahan bank berbadan hukum PT; dan 2) aturan hukum (vide UU No. 40 Tahun 2007 dan UU terkait lainnya di bidang perbankan dan ketenagakerjaan) melindungi kepentingan pemegang saham minoritas dan karyawan yang dirugikan dalam proses pemisahan bank berbadan hukum PT, dengan cara-cara: pertama, memberikan hak kepada pemegang saham minoritas untuk: a) menjual saham dengan harga yang wajar; b) menyelesaikan sengketa secara arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa; c) mengajukan gugatan biasa berdasarkan hak perseorangan; d) mengajukan gugatan derivatif berdasarkan hak utama; dan e) mengajukan permohonan pemeriksaan bank berbadan hukum PT; kedua, memberikan hak kepada karyawan untuk mengajukan “keberatan” dan menyelesaikan perselisihannya secara bipartit, konsiliasi, arbitrase dan mediasi, serta mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri atau pengadilan hubungan industrial. 61 Karakteristik khusus pengadilan hubungan industrial, adalah: 1) kewenangannya khusus memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan hubungan industrial, yakni perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja dalam satu perusahaan; 2) selain hakim karier, juga terdapat hakim ad-hoc dari unsur serikat pekerja yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung; dan 3) adanya hukum khusus (lex specialis), seperti kuasa hukum, pengajuan gugatan, hukum acara, pemeriksaan, jangka waktu penyelesaian, biaya perkara, dan upaya hukum. Perhatikan kembali Ibid.
33
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
Selanjutnya, guna menjamin kepastian hukum pelaksanaan pemisahan bank-bank berbadan hukum PT di Indonesia, direkomendasikan perlunya merevisi aturan hukum tentang perusahan dan perbankan, meliputi: pertama, PP No. 27 Tahun 1999 sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 135 UU No. 40 Tahun 2007; kedua, Pasal 28 UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 berikut PP No. 28 Tahun 1999 sebagai peraturan pelaksananya.
Daftar Pustaka Buku: Adjie, Habib, Saksi Perdata dan Aministratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009 Adolf, Huala, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003 Arifin, Johar dan Muhammad Fakhruddin, Kamus Istilah Pasar Modal, Akuntansi Keuangan dan Perbankan, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Badruzzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001 Behrens, Peter, “Alternative Methods of Dispute Settlement in International Economic Relations”, dalam Ernst-Ulrich Petersmann and Gunther Jaenicke, 1992, Adjudication of International Trade Dispute in International and National Ecomic Law, Friborg U.P. Djumhana, Muhamad, Asas-asas Hukum Perbankan Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008 Fuady, Munir, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003 ---------, , Hukum tentang Akuisisi, Take Over dan LBO (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008 34
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
Gunadi, , Restrukturisasi Perusahaan dalam Berbagai Bentuk dan Pemajakannya, Jakarta: Salemba Empat, 2001 Harahap, M. Yahya, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Husnan, Suad, Manajemen Keuangan, Teori dan Penerapan (Keputusan Jangka Pendek) Buku I, Yogyakarta: BPFE, 1998 Khairandy, Ridwan, dkk., Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Yogyakarta: Gama Media, 1999 Khakim, Abdul, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009 Margono, Suyud, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta Ghalia Indonesia, 2000 Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2006 Muhammad, Abdulkadir, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993 Prasetyantoko, A., Corporate Governance: Pendekatan Institusional, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008 Purwosujipto, M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Buku Kesatu: Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Jakarta: Djambatan, 1983 Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000 ---------, Sisi-sisi Lain dari Hukum Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003 Saleh, Roeslan, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1996 Sembiring, Sentosa, Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas, Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2006 35
Muhammad Syaifuddin: Pemisahan Bank Berbadan Hukum Perseroan Terbatas...
Soerodjo, Irawan, Kepastian Hukum Hak atas Tanah di Indonesia, Surabaya: Arkola, 2003 Syaifuddin, Muhammad, , Hukum Paten: Analisis Paten dalam Perspektif Filsafat, Teori, dan Dogmatik Hukum Nasional dan Internasional, Malang: Tunggal Mandiri Publishing Bekerjasama dengan AA Law Firm (Advocates & Solicitors), 2009 Usman, Rachmadi, , Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta: Djambatan, 2000 Berkala Ilmiah: Alias, Jimmy E., “Peran Manajemen Risiko Strategik dalam Mendukung Good Corporate Governance”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23-No. 3-Tahun 2004 Boediarto, M. Ali, “Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad”, Swa Justitia, Jakarta, 2005 Khairandy, Ridwan, “Perseroan sebagai Badan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No. 3-Tahun 2007 Malik, Camelia, “Implikasi Adanya Komisaris Independen dalam Perseroan Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No. 3-Tahun 2007 Nusantara, Abdul Hakim Garuda, “Kualitas Putusan Pengadilan Niaga”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22-No. 4-Tahun 2003 van Mourik, M.J.A., “Civil Law and The Civil Law Notary in a Modern World”, Media Notariat, No. 22-23-24-25, Jan-April-Juli-Oktober 1992, Ikatan Notaris Indonesia Soebagio, Felix Oentoeng, “Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 dan Implikasinya pada Praktik Akuisisi Perusahaan, Penggabungan, dan Peleburan Usaha di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No. 3-Tahun 2007 36
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
Syaifuddin, Muhammad, ”Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: Perkembangan Teori dan Relevansinya dengan Tujuan Hukum Perusahaan”, Simbur Cahaya, No. 31 Tahun XI, Mei 2006 ---------, ”Wewenang Dewan Komisaris Mengurus Perseroan Terbatas: Analisis Rasio dan Implikasi Hukum Pasal 118 dalam Kaitannya dengan Pasal 1 angka 6 dan Pasal 108 Undang-Undang PT No. 40 Tahun 2007”, Simbur Cahaya, No. 41 Tahun XV, Januari 2010 Yuniarti, Hani, “Kewenangan Notaris Membuat Akta Risalah Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tentang Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas”, Repertorium, Volume: 1 Nomor: 1 MeiSeptember 2010. Website/Situs: ”BNI Syariah Resmi Spin Off”, Berita, dalam http://www.pkesinteraktif. com/bisnis/perbankan-syariah/1202-bni-syariah-resmi-spin-off.htmk, diakses pada 8 Juni 2011. ”Lakukan Spin Off, Pusri Tak Akan Pecat Karyawan”, Berita, dalam http://www.pusri.co.id/50publikasi01.php?tipeid=DD&pubid=p ub201011940, diakses pada 8 Juni 2011.
37