Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 45-58 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK WASISTO RAHARJO JATI Peneliti di Pusat Penelitian Politik (P2P), LIPI Sasana Widya Graha, Lantai 11, Jalan Jend. Gatot Subroto, No.10, Jakarta 12710 Surel:
[email protected] Diterima: 24 Februari 2014 Disetujui: 10 April 2014
ABSTRACT This article aims to analyze the 2014 general election as a major determinant in electoral democracy in Indonesia. The election process held post-1998 was considered as a political base in succession after the New Order government. The elections held in 1999 and 2004 were claimed as consolidated elections after a transition period. The results of both elections are strengthening elite from political parties in control of the government. Consequently, it was then creating a type of government cartel based on transactional logic and principles of oligarchy. The said government was running in permissive logic that further generated many setbacks and scandals. Those conditions led to the needs of strengthening public representation and advocacy. The 2014 election will be decisive in predicting whether the cartel would still continue exist or public as demos would strengthen its role as watchdog of government.
Keywords: Election; Political Cartel; Representation; Electoral Democracy
Pendahuluan Pasca-lengsernya rezim otoriter Orde Baru pada 21 Mei 1998, Indonesia kemudian mengalami masa Reformasi. Reformasi di sini berarti segenap usaha untuk mengembalikan tatanan kelembagaan maupun produk legislasi pemerintah ke jalur yang lebih demokratis. Reformasi sendiri juga mengamanatkan agar demokrasi diberi jalan sebagai sistem suksesi kekuasaan eksekutif maupun legislatif yang langsung dipilih, diketahui, dan diawasi publik. Pe-
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 45
nyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) kemudian menjadi hal teknis transformasi kepemimpinan yang di dalamnya proses mufakat melalui sistem suara digunakan untuk menyelesaikan, dan memutuskan suatu permasalahan. Bersamaan dengan hal tersebut, euforia pemilu juga ditunjukkan dengan tumbuhnya sistem multipartai dalam sistem politik Indonesia. Munculnya banyak partai mengindikasikan idealisme politik dari masyarakat begitu besar untuk diwujudkan dan direalisasikan dalam sebuah kebijakan. Idealisme demokrasi yang
4/24/2014 8:52:18 AM
46
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
mencuat pada periode awal reformasi sa ngat jelas terpancar tatkala partisipasi publik begitu kuat pada pemilu tahun 1999. Pada pemilu tahun 1999 tercatat persentase pemilih sebesar 92,7 persen memilih partai maupun kandidat calon legislatif. Namun demikian, di tengah iklim de mokrasi yang menggelora tersebut, de ngan menjadikan publik sebagai pemegang mandat tertinggi kedaulatan negara, ternyata masih tersimpan beberapa kendala. Hal penting yang mesti dicatat juga dalam proses transisi rezim otoriter menuju rezim demokrasi adalah reorganisasi elite lama untuk bisa beradaptasi dalam nuansa demokrasi baru tersebut. Reorganisasi itu sangatlah erat dengan praktik survivalitas maupun sustainabilitas elite orde sebelumnya untuk bisa eksis memegang jabatan publik (Hadiz, 2013). Adanya kedua proses tersebut mengindikasikan adanya praktik politik predator dalam lingkup politik nasional maupun politik regional atau kedaerahan. Munculnya praktik predator tersebut sangatlah kontras dengan keingin an demokrasi yang dicita-citakan yaitu menjadikan demos sebagai penguasa republik dan bukan para kleptokrat elite. Ada nya proses dilematis dalam eksperimentasi demokrasi di Indonesia memberikan gambaran mengenai kontestasi kekuasaan, baik yang dilakukan dalam politik formal maupun politik informal. Adapun kajian-kajian politik nasional maupun lokal yang menitikberatkan pada proses pemilu sebagai lokus penelitian menegarai bahwa oligarki sebagai suatu ancaman terhadap eksistensi demokrasi semakin lama semakin jelas terlihat. Berbagai perspektif politik yang melihat historisitas pemilu cenderung melihat politik patrimonial masih berkuasa dalam proses demokrasi yang belum sempurna seperti halnya bos lokal, orang kuat, negara bayangan, tribalisme, politik etnis, pemburu rente, oligarki,
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 46
VOL II, 2014
politik kartel, politik dinasti, dan lain sebagainya. Gejala menguatnya elite dalam demokrasi kontemporer ditunjukkan de ngan hadirnya beragam perspektif tersebut. Tentunya kita perlu mempertanyakan mengenai konteks pemilu yang telah di langsungkan selama kurun waktu 15 tahun terakhir ini (1999 – 2014). Dalam kurun 15 tahun terakhir tercatat adanya penurunan suara partisipasi politik sebanyak 21 persen dengan rincian tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 sebesar 93,3 persen, pada Pemilu 2004 turun menjadi 84,9 persen, kemudian pada Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99 persen. Adapun pada pemilu tahun 2009 silam, tingkat golongan putih saja menjadi 63 persen. Hal itu tentu akan menjadikan pemilu di Indonesia tak terlegitimasi lagi dalam kerangka suksesi kepemimpinan nasional. Maka jangan sampai kemudian demokrasi elektoral yang kita bangun ini menjadi demokrasi yang membeku (frozen democracy) yakni hak politik publik menjadi tereduksi dan kekuasaan elite menjadi kian maksimal (Sorensen, 2007). Oleh karena itu lah, pelacakan terhadap akar permasalah an tersebut yakni menurunnya partisipasi maupun menguatnya elite perlu untuk ditelisik lebih lanjut. Pemilu 2014 bisa jadi merupakan kontinuitas dari pola oligarkis tersebut, namun bisa juga menjadi momentum publik untuk memperbaiki demokrasi. Tulisan berikut akan membahas secara lebih lanjut mengenai pemilu Indonesia sebagai sesuatu yang dilematis antara perta rungan kuasa representasi dengan elite. Namun demikian, kita perlu memahami terlebih dahulu mengenai definisi representasi dan elite yang menjadi lokus tulisan ini. Kedua hal tersebut menjadi urgen dan signifikan dalam mendedah proses demokrasi elektoral di Indonesia. Representasi berarti upaya mendudukkan publik sebagai demos yang memiliki kekua-
4/24/2014 8:52:18 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
saan negara tertinggi. Sedangkan elite adalah sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan negara secara oligarkis melalui mekanisme pemilihan suara. Sesuatu yang perlu dicatat perihal kontestasi elite dan publik dalam kekuasaan negara sangatlah terkait dengan pemaknaan demokrasi itu sendiri. Secara konseptual, demokrasi memang mengamanatkan suara publik sebagai determinan utama dalam pemilihan jabatan publik. Elite sendiri merupakan manifestasi dari pejabat publik yang terpilih yang kurang peduli dengan pelayanan masyarakat. Tentunya pemaham an demokrasi elektoral menjadi penting dalam konteks ini. Elite melihat bahwa demokrasi elektoral menjadi penting sebagai upaya survivalitas politik di arena jabatan publik sehingga sangatlah pragmatis dalam mendekati publik. Sementara itu, publik condong melihat demokrasi elektoral sebagai ajang kontinuitas kekuasaan para pejabat korup untuk terus mengeruk kekayaan dan kekuasaan. Hal itulah yang membuat partisipasi publik semakin turun dari tahun ke tahun. Adanya depolitisasi partisipasi publik tersebut dalam demokrasi elektoral tentu akan mereduksi makna penyelenggaraan pemilu. Pemilu sendiri bertujuan untuk menghadirkan demokrasi yang menyejahterakan namun kenyataannya justru malah menyengsarakan publik. Tulisan ini bermaksud untuk mengelaborasi lebih lanjut mengenai konteks pemilu 2014 sejauh dihubungkan dengan posisi dilematis antara kartelisasi dengan representasi tersebut. Adapun argumen utama yang ingin disajikan dalam penulisan makalah ini adalah untuk memetakan sisi-sisi ambiguitas yang tercipta selama implementasi demokrasi elektoral di Indonesia. Ambiguitas yang dimaksud adalah kehadiran distorsi utama yaitu munculnya oposisi biner dalam implementasi demokrasi langsung di Indone-
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 47
WASISTO RAHARJO JATI
47
sia. Munculnya politik kartel yang terjadi paska pemilu 2004 mengindikasikan ada nya kontradiksi-kontradiksi dalam aktor, sistem, maupun struktur politik elektoral di Indonesia. Kontradiksi dalam sisi aktor dapat dilihat dari segi kecenderungan konvergensi politik yang dilakukan aktor guna mengamankan kekuasaan. Suksesi kekuasaan tersebut pada akhirnya hanya berlangsung pada ‘lingkaran dalam’ tertentu saja yang sejatinya lebih mengarah pada arisan kekuasaan. Secara sistem, kartel tercipta dari sistem demokrasi yang belum sempurna. Perumpamaan demokrasi sebagai manifestasi one man, one vote, one value masih dipahami secara literal dan tekstual, tanpa pernah ada usaha untuk memahami muatan aspirasi yang ingin diperjuangkan. Hal inilah yang menjadikan demokrasi, secara sistem, lebih dipahami sebagai cara mencari kuasa dengan menggunakan popularitas dan materialitas saja. Secara struktur, kartel juga mengubah demokrasi menjadi ajang patronase kekuasaan. Secara institusional sendiri, munculnya partai patron (patronage party) dalam sistem multipartai mengindikasikan adanya barter politik antara partai-partai terkait. Hal itulah yang menjadikan dimensi egalitarianisme dalam demokrasi justru menghilang ka rena adanya politik patronase partai tersebut. Representasi yang menjadi aksioma politik dalam makalah ini sebenarnya me rupakan sebentuk anti tesis terhadap pro ses kontradiksi demokrasi yang menghasilkan politik kartel tersebut. Adapun politik representasi yang menjadi perhatian dan kepedulian dalam pesta demokrasi sekarang ini adalah sebentuk resistensi populis yang dihadirkan pubik sebagai tanggap an atas proses demokrasi elektoral yang dijalankan oleh berbagai macam partai politik itu sendiri. Hadirnya semangat representasi sebenarnya mengindikasikan
4/24/2014 8:52:18 AM
48
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
adanya upaya reaktivasi makna demokrasi substantif yang diinginkan publik sendiri untuk mereduksi adanya praktik pembajakan demokrasi yang selama ini dilakukan partai politik. Maka isu penting dalam penulisan makalah ini adalah mengetahui seberapa jauh proses tarik menarik kekuasaan antara kekuatan politik formal yang diwakili institusi partai dengan kekuatan politik informal yang dilaksanakan oleh kekuatan politik ekstra parlementer publik dengan tujuan mengembalikan kembali esensi demokrasi substantif dalam pemilu. Tulisan ini akan mengelaborasi lebih lanjut mengenai kontestasi kedua kutub politis tersebut yakni bagaimana kekuat an politik kartel ingin menegaskan dominasi politiknya, namun di saat bersamaan muncul juga rasionalisme pemilih yang mengusung adanya representasi populis secara lebih meluas di ranah politik formal. Representasi dan Politik Kartel dalam Demokrasi Elektoral Membincangkan masalah representasi da lam demokrasi elektoral sangatlah ter kait dengan krisis kepercayaan dalam demokrasi itu sendiri. Dalam hal ini, terdapat tiga penyebab alasan mengapa proses demokrasi menjadi macet. Pertama, saluran aspirasi publik tidak diperhatikan oleh para pemangku pejabat publik ketika menjalankan roda pemerintahan. Para pejabat publik berkembang menjadi elite oligarkis yang lebih mementingkan kepentingan pribadi maupun kelompok di atas kepen tingan publik. Kedua, tidak adanya agen penghubung (intermediary) yang menjembatani antara kepentingan publik dengan pemerintah. Adapun media, organisasi non pemerintah, maupun partai politik yang selama ini menjembatani, kurang begitu memiliki peranan signifikan dalam konstelasi aspirasi. Ketiga, munculnya perilaku klep-
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 48
VOL II, 2014
tokrat yang dilakukan oleh para pemangku jabatan publik. Dalam hal ini, perilaku kleptokrat sendiri ditunjukkan dengan adanya perilaku korupsi yang dilakukan oleh para elite dalam menjarah anggaran publik. Adanya politik predatoris tersebut mengindikasikan adanya kejengahan publik terhadap aksi pejabat publik. Demokrasi yang diharapkan membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi semua kalangan justru tergantikan dengan pemerintahan plutokrat yang hanya memperkaya diri sendiri maupun kelompok. Hal itu tentu sudah menyalahi arti demokrasi sendiri dengan menjadikan demokrasi sebagai ajang unjuk kekuasaan pribadi dan kelompok. Publik tidak lagi dilihat esensinya sebagai demos yang memiliki kekuasaan atas pemerintahan dan negara. Kondisi tersebut yang mendorong munculnya kedaulatan publik untuk kembali berkuasa dengan menggantikan para pemangku jabatan yang tidak peduli dengan nasib masyarakat. Maka kata ‘chain of popular sovereignty’ menjadi artikulasi menarik dalam mewujudkan representasi publik tersebut. Hal itu merupakan respons dari adanya hubungan negara dan masyarakat yang serba terbelakang (underdeveloped) yang di dalamnya peran masyarakat semakin termarjinalkan dalam negara. Kondisi itu pula yang memicu urgensi ditegakkannya popular control dari dalam masyarakat yang meliputi tiga pilar berikut, yakni: (1) demos (2) public affairs, (3) intermediary (Tonrquist, 2009:10). Representasi dalam hal ini bisa juga mengarah pada proses depolitisasi di karenakan ketiga fungsi tersebut di atas tidak dijalankan oleh intermediary sebagai penghubung antara masyarakat dengan negara. Yang terjadi justru model pembajakan demokrasi yang di dalamnya elite semakin memperkuat dirinya dalam bentuk kartel oligarkis sedangkan publik justru
4/24/2014 8:52:18 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
kian teralienasi dengan menguatnya kartel tersebut. Jika sudah demikian, maka makna pemilu sebagai sarana suksesi kekuasaan justu semakin terkaburkan. Adapun pemahaman elite sendiri sebenarnya terletak pada kemampuan mereka dalam memberikan peran dan pengaruh lebih besar pada masyarakat berkat keunggulan-keunggulan yang dimilikinya. Secara sederhana, elite sendiri dapat dikate gorisasikan sebagai pemuncak dalam hirarki masyarakat berkat keistimewaan yang mereka miliki. Oleh karena itulah, sejatinya kelompok bernama elite ini me rupakan minoritas dalam masyarakat, namun yang kemudian memiliki kekuasaan besar. Melalui kemampuannya tersebut, mereka bisa memaksa orang lain untuk mengakui pengaruh politisnya. Pengerti an elite bukanlah pengertian yang tunggal saja, melainkan memiliki tingkatan atau jenjang seperti elite sebagai penguasa (governing elite), elite yang tak memerintah (non governing elite), dan terakhir adalah masyarakat (Haryanto, 2007). Kartel yang dipaparkan dalam tulisan ini sebenarnya merupakan sekelompok elite yang telah menjadi satu organ de ngan memiliki monopoli kekuasaan. Istilah kartel merupakan istilah baru dalam lanskap sosial dan politik di Indonesia karena kartel berasal dari bahasa ekonomi yang mengindikasikan adanya politisasi kekuasaan ekonomi dalam satu kelompok berikut dengan regulatornya. Istilah kartel sendiri dipopulerkan oleh Dodi Ambardi (2009) yang menyebutkan adanya sekelompok oligarkis yang berkuasa atas supremasi kekuasaan negara dengan basis aliansi beberapa partai politik. Istilah kartel dalam politik Indonesia sendiri pertama kali digunakan oleh Slater (2004) yang menyebutkan kartel sebagai usaha untuk membangun aliansi kekuasaan antara partai pemenang dengan partai yang kalah dalam pemilu
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 49
WASISTO RAHARJO JATI
49
demi harmonisasi kekuasaan. Partai pemenang membutuhkan suara partai yang kalah untuk menjaga stabilitas kekuasaan dan meminimalkan suara kritis dari pihak yang kalah terhadap jalannya pemerintahannya. Yang terjadi kemudian adalah proses pragmatisme yang terjalin dalam dinamika kekuasaan yakni pengejaran terhadap rente ekonomi, survivalitas, dan sustainibilitas kekuasaan. Adapun karakteristik mendasar daripada kelompok kartel sen diri kemudian meniadakan adanya batasan antara pemenang dan oposisi. Konteks ideologi dan progam menjadi tidak pen ting untuk dibicarakan dan konsekuensi untuk masuk pemerintahan terbuka bagi semua partai asal masuk menjadi anggota koalisi. Maka keberadaan dan posisi kartel tersebut justru berbanding terbalik dengan representasi publik dalam arti nyata yang diinginkan oleh demos secara murni dan seluas-luasnya. Bagi publik, pemilu merupakan sebentuk instrumen representasi suara mayoritas yang perlu diperjuangkan dan direalisasikan. Namun justru dalam proses tersebut terjadi proses pembajakan yang dilakukan oleh para elite. Dalam hal ini, esensi demokrasi substantif yang ingin direalisasikan oleh demos dalam sistem demokrasi perwalian justru tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Posisi kartel yang sedemikian kuat sendiri sudah membuat posisi publik kian terjepit dalam memperjuangkan aspirasi dalam pemilu. Kartel sendiri merupakan bentuk daripada embrio reorganisasi elite yang ingin mempertahankan cara-cara politik pre datorisme. Mereka memanfaatkan celah keluguan publik dalam melihat demokrasi sebagai alat perjuangan. Mayoritas penduduk Indonesia masih melihat bahwa demokrasi masih dipahami secara terbatas. Bagi masyarakat Indonesia, terutama yang berada di kalangan akar rumput, proses
4/24/2014 8:52:18 AM
50
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
demokrasi lebih dimaknai pada pemenuh an kebutuhan sehari-hari dan mereka belum mengerti adanya proses advokasi terhadap kepentingan mereka ke dalam ranah publik. Celah itulah yang kemudian dimanfaatkan dalam kerangka pragmatisme politik yang dilakukan oleh elite, terutama oleh para kandidat, untuk menjalankan mekanisme politik jual beli suara di ranah masyarakat. Dari proses tersebut, lahirlah yang disebut sebagai patronase politik yang berjalan secara turun temurun dalam setiap peristiwa pemilu. Adanya pelbagai proses advokasi terbarukan yang muncul pada era sekarang ini cenderung melihat adanya suatu kejengahan luar bisa dari publik yang sudah semakin skeptis terhadap proses politik selama ini. Representasi simbolis melalui keterpilihan pejabat publik tidak membuahkan hasil, malah justru kian menumbuhkan pemerintahan yang plutokrat. Kondisi itulah yang menjadikan representasi menjadi kata kunci menarik untuk melawan gejala kartelisasi. Lahirnya Kartelisasi Politik Paska Pemilu 2004 Lahirnya kartelisasi dalam ranah demokrasi di Indonesia terjadi paska pemilu 2004. Hal tersebut didasari pada perimbangan kekuasaan yang berlainan antar partai pemenang pemilu presiden dan pemilu legislatif. Dalam pemilu 2004, partai Golkar muncul sebagai pemenang pemilu legislatif dengan 24.480.757 suara atau dengan persentase 21,58 persen; sedangkan partai Demokrat sendiri-- sebagai pemenang pemilu Pre siden---hanya memenangi 8.455.225 suara atau setara dengan 7,45 persen. Adanya perimbangan kekuasaan yang berbeda dalam dua ranah tersebut yang kemudian menimbulkan adanya kompromi politik. Golkar sebagai penguasa mayoritas legislatif sendiri tentu tidak bisa mewujudkan
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 50
VOL II, 2014
ide-idenya dalam bentuk progam-program kebijakan. Sedangkan Demokrat tidak bisa mengesahkan produk kebijakan maupun progamnya tanpa lewat pengesahan suara mayoritas dari legislatif maupun partai minoritas yang memiliki kursi di DPR. Kondisi itulah yang kemudian menciptakan adanya pragmatisme politik di antara beberapa partai politik yang akhir nya mengerucut pada pembentukan koalisi permanen dan menimbulkan pola oligarki kekuasaan dalam bentuk kartel. Kartel tercipta lantaran masih kentalnya penguat an faktor suka atau tidak suka pada sosok figur yang mencitrakan etnis tertentu dalam pembentukan preferensi memilih pada pemilu 2004 hingga 2009 (Aspinall, 2010:85). Gejala tersebut merupakan ekses reduksi dari makna demokratisasi selama era transisi politik yang lebih mengarahkan pada proses representasi formal institusional di ranah pemerintahan nasional maupun lokal. Dikarenakan terjadi proses penguat an pada ranah representasi formal, maka proses penyerapan aspirasi dari bawah kemudian cenderung terpolitisasi sesuai dengan selera partai maupun elite. Model pelembagaan yang terjadi paska 2004 kemudian menghasilkan party based government atau party based democracy electoralism, serta voting centric. Party based government adalah konsepsi yang memberikan justifikasi pada peran partai di pemerintahan. Adanya model pelembagaan itulah yang menyebabkan posisi partai politik menjadi menggurita baik sebagai pengawas, pelaksana, maupun pengontrol kebijakan negara. Dalam kondisi demikian, publik sebagai demos hanya menjadi partisipan pasif dalam proses demokrasi tersebut. Sejalan dengan itu, proses pembangun an demokratisasi dalam ranah informal dan masyarakat sendiri kurang diperhatikan. Fenomena itulah yang kemudian menimbulkan adanya pembusukan dalam
4/24/2014 8:52:18 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
demokrasi. Pemahaman demokrasi yang melulu dipahami secara formal inilah yang mengebiri hak dan kewajiban masyarakat. Pemilu kemudian hanya dipahami secara formal sebagai manifestasi demokrasi oleh publik. Pemilu 2004 sendiri menjadi ajang politik pengharusan bagi para kandidat legislator untuk mendekati publik. Publik merasa diperlakukan sebagai tuan dalam proses seremonial tersebut. Dalam proses itu, para kandidat mendekati publik de ngan segenap janji dan impian manis. Ada berjuta harapan dan janji yang disampaikan para kandidat dalam proses kampanye tersebut. Namun setelah pemilihan selesai dilangsungkan, para pemilih kemudian ditinggalkan, utamanya ketika para kandidat sudah merengkuh kekuasaan dalam genggaman tangannya. Adanya model pemilihan langsung yang mulai dijalankan pada tahun 2004 merupakan hal baru dalam eksperimentasi demokrasi Indonesia. Dalam konteks tersebut, demokrasi masih dianggap awam dalam pendidikan politik Indonesia secara keseluruhan. Hal itu dikarenakan masyarakat Indonesia tengah memasuki periode rekonsiliasi dan konsolidasi paska konflik sekaligus transisi demokrasi. Maka konteks pemilu langsung kemudian masih dianggap sebagai suatu selebrasi politik semata yang dilakukan oleh elite dan masyarakat. Dikarenakan sifatnya yang masih eksperimentatif, maka proses demokrasi elektoral pada akhirnya mulai mengenalkan istilah-istilah baru guna meningkatkan kualitas pemilu seperti threshold (bilangan pembagi pemilih), baik itu electoral thresh-
WASISTO RAHARJO JATI
51
old maupun parliamentary threshold. Implementasi kebijakan elektoral tersebut dirasa urgen dan signifikan mengingat konteks multipartai di Indonesia mempunyai indikasi patologis yakni hanya mengejar rente kekuasaan dan berebut materi anggaran. Asumsi tersebut sebenarnya tidaklah salah mengingat esensi pendirian partai adalah mewujudkan aspirasi publik dalam ranah kebijakan dan pemerintahan. Namun rupanya, ada pelbagai upaya distorsi yang dilakukan oleh para elite baik dari pejabat maupun partai politik dalam rangka mengukuhkan hegemoninya. Salah satunya adalah dengan penerapan nominal persen dalam threshold. Alibi yang dikemukakan selama ini adalah untuk penguatan elektoral, namun hal tersebut sebenarnya merupakan dalih saja untuk memperkuat sistem kartel yang dibangun paska 2004. Ada perubahan yang cukup drastis dalam eskalasi nominal threshold tersebut mulai dari 2,5 persen, 3,5 persen, hingga ada yang mewacanakan dinaikkan menjadi 5 persen. Adanya kebijakan sporadis semacam ini tentu hanya akan meningkatkan popularitas partai besar saja yang memiliki sumber daya lebih tinggi daripada partai kecil dalam setiap peristiwa pemilu. Implikasi yang ditimbulkan ialah membesarnya fungsi dan pengaruh kartel partai dalam setiap pembuatan kebijakan. Maka jika dilacak dari segi historisitasnya, komparasi pemilu 2004 dengan pemilu 2009 dapat dilihat sebagai manifestasi penguatan kartel terutama dalam pembuatan sistem demokrasi elektoral, yang secara lengkap dapat dilihat dalam tabulasi berikut ini.
Komparasi Pemilu 2004 dan Pemilu 2009
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 51
4/24/2014 8:52:18 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
52
VOL II, 2014
Tabel 1: Rule of Electoral Reform / Pemilu 2004 ke Pemilu 2009 No
Faktor Pembeda
Pemilu 2004
Pemilu 2009
1
Sistem Pemilihan Umum A. Pemilu DPR / DPRD dan DPRD Kabupaten / Kota
A. Pada Pemilu 2004, sistem yang digunakan adalah sistem proporsional dengan daftar terbuka yang merupakan persilangan hibrida antara sistem distrik dan proporsional (Joko Prihatmoko, 2008) B. Adapun setiap daerah pemilihan (district magnitude), kursi yang diperebutkan baik DPR dan DPRD adalah 3-12 kursi. (M. Nadjib, 2005 : 4)
A. Masih sama dengan sistem pemilu sebelumnya yakni sistem proporsional dengan daftar terbuka B. Berbeda dengan pemilu 2004, kursi DPR yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan yakni berkisar antara 3 – 10 kursi sedangkan kursi DPRD yang diperebutkan berkisar antara 3 – 12 kursi (Sigit Pamungkas, 2009 : 143)
2
B. Pemilu DPD
A. Pemilu DPD menggunakan sistem distrik berwakil banyak dengan setiap distrik pemilihan / provinsi memperebutkan 4 kursi (M. Nadjib, 2005 : 3 ; Sigit Pamungkas, 2009 : 149)
B. Sama dengan sistem pemilu sebelumnya.
3
C. Pemilu Presiden / Wakil Presiden
A. Pemilu Presiden dan Wapres menggunakan sistem dua putaran pemilu / Run - Off Election
B. Sama dengan sistem pemilu sebelumnya
Tabel 2: Elements of Electoral System (Unsur – unsur sistem Pemilu) No
Unsur – unsur Sistem Pemilu
1
Balloting (Penyuaraan)
Pemilu 2004
Pemilu 2009
A. Mengacu pada UU No. 12 tahun 2003 yang menyatakan bahwa “surat suara dinyatakan sah apabila tanda coblos pada tanda gambar partai politik dan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten / Kota berada pada kolom yang disediakan. Atau tanda coblos pada tanda gambar partai politik berada pada kolom yang disediakan B. Suara dinyatakan tidak sah apabila pemilih hanya mencoblos nama calon saja dan tidak disertai dengan mencoblos tanda gambar partai nama calon yang dicoblosnya. C. Implikasi lain adalah persilangan antara open list system yakni pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calonnya tanpa intervensi partai politik nama calon yang dicoblosnya dan closed list system yakni pemilih hanya memilih partai saja, untuk
A. Mekanisme penyuaraan / balotting dengan menandai (mencontreng) salah satu di antara gambar partai, nomor urut calon, atau nama calon. Suara tidak sah apabila memberi tanda lebih dari satu kali pada kertas suara. B. Tipe penyuaraan bertipe kategorikal yakni memilih partai atau calon saja C. Oleh karena itu kemudian, Pemilu 2004 menggunakan mekanisme menandai / pencontrengan dalam penyuaraannya.
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 52
4/24/2014 8:52:18 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
WASISTO RAHARJO JATI
53
kemudian partai itu mendistribusikan suara tersebut kepada daftar para calon kader partai politik tersebut. Oleh karena itu kemudian, Pemilu 2004 menggunakan mekanisme pencoblosan dalam penyuaraannya. 2
Jumlah Kursi Legislatif
A. Jumlah kursi bagi DPR sebesar 550 kursi. B. Implikasi yang muncul adalah fenomena The New State Paradox yakni kenaikan kursi tidak memperhitungkan daerah propinsi pemekaran baru.
A. Jumlah kursi bagi DPR sebesar 560 kursi. B. Rasionalitas penambahan kursi antara lain seperti : 1) Mengikuti alur penambahan daerah pemekaran 2) Mengatasi disproporsionalitas pemilih jawa dan luar jawa 3) Standarisasi proporsi jumlah pemilih dengan jumlah kursi di parlemen.
3.
Threshold (Ambang Batas)
A. Pemilu 2004 masih menggunakan mekanisme electoral threshold yakni 3% dari jumlah kursi DPR atau sekurang – kurangnya 4% kursi dari jumlah kursi DPRD. B. Implikasi yang muncul adalah The Threshold Paradox yakni ambang batas melebihi 4% dari yang semestinya 3%.
A. Pemilu 2009 menggunakan dua threshold yakni electoral threshold sebesar 3 % dan parliamentary threshold sebesar 2,5 %.
4.
Election Formula (Rumusan Pemilu)
A. Dalam Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 sama – sama memakai sistem pemilu hibrida yakni campuran antara sistem distrik dan sistem proporsional. Penggabungan tersebut justru menimbulkan berbagai problematika antara lain sebagai berikut ini : 1) Sistem pemilihan ini dirasa sangat rumit karena penentuan daftar pemilih ini dirasa sangat dilematis. Posisi dilematis terletak pada penduduk pada daerah pemilihan tersebut yakni jika menggunakan sistem proporsionalitas akan lebih efisien karena hanya menggunakan daerah pemilihan yang besar dan tunggal dan tak perlu membuat batas – batas daerah pemilihan lainnya sehingga efisien dan murah akan tetapi tidak memperhatikan aspek sosio kultural, ekonomi, maupun aspek geografis warganya dan terkesan “kurang demokratis” karena daerah pemilihan yang tunggal dan tidak jamak sehingga kurang mampu menjaring aspirasi masyarakat secara luas. Sedangkan kalau menggunakan sistem distrik, justru yang terjadi adalah kerepotan karena mengurusi dan mengawasi banyaknya daerah pemilihan sehingga sering kali muncul permasalahan seperti data kependudukan maupun administrasi kependudukan tumpang tindih dikarenakan arus mobilisasi penduduk yang begitu dinamis. 2) Permasalahan kemudian yang muncul adalah fenomena The Population Paradox yakni kuota kursi di setiap pemilihan sering kali berubah – ubah mengikuti alur dinamisasi penduduk tersebut seperti alur peningkatan dan penyusutan penduduk yang selalu terjadi terutama di bekas daerah konflik. Maka permasalahan yang jamak terjadi kasus pemilih ganda yang memilki hak pilih ganda, kasus munculnya pemilih di bawah umur, kasus orang yang sudah meninggal punya hak pilih, anggota TNI / Polri yang punya hak pilih padahal dalam undang – undang dikatakan tidak boleh berpolitik praktis, kasus pemilih yang tak mempunyai hak pilih karena tidak terdaftar dalam data kependudukan.
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 53
4/24/2014 8:52:19 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
54
B.
C.
D.
E.
VOL II, 2014
3) Selain itu permasalahan lain yang mucul adalah The Alabama Paradox yang muncul akibat kuota kursi yang tidak tetap (tentatif) menimbulkan kerugian bagi calon maupun partai politik yakni seorang calon yang sudah dipastikan mendapat kursi di daerah pemilihan tersebut sewaktu -waktu bisa hilang serta partai yang mendapatkan “bonus” ekstra karena mendapat limpahan kursi baru yang seharusnya mendapat satu kursi bisa mendapat lebih. Hal ini dikarenakan pergeseran kuota jumlah kursi tersebut yakni bertambah kursinya atau berkurang kursinya. Pengingkaran terhadap sistem distrik telah menimbulkan banyak kekhawatiran yakni kurangnya derajat demokrasi karena partai – partai politik yang kecil justru kalah bersaing dengan partai – partai besar yang sudah mapan sehingga “demokrasi” hanya berlaku bagi partai besar bukan bagi partai kecil. Setiap daerah pemilihan yang dibentuk didasarkan pada data dan administrasi kependudukan dan partai yang telah lolos verifikasi untuk menjadi partai peserta pemilu. Hal ini tentu saja rawan diskriminasi, sebagai contoh partai A lolos verifikasi tingkat daerah akan tetapi tak lolos verifikasi nasional sehingga partai A tersebut tidak bisa menjadi peserta pemilu. Munculnya oligarki elite dalam proses pencalonan di tingkat kader artinya calon yang akan bertarung dalam arti calon yang diusung ternyata calon yang dekat dengan elite serta yang punya banyak uang sehingga kader yang kompeten digusur demi kader “instan” tersebut. Sistem ini belum menjamin hadirnya aktor independen untuk bertarung dalam proses pemilihan umum karena saling tumpang tindih peraturan KPU dan MK yang masing – masing sangat paradoksal. Dalam hal ini MK dalam amar keputusannya memperbolehkan calon independen untuk bertarung dalam pemilu. Akan tetapi KPU “setengah hati” untuk melaksanakannya (Joko Prihatmoko, 2008 : 303).
Tumpang tindih sistem, artinya dalam regulasi jelas dikatakan bahwa menganut sistem daftar terbuka yang memberikan keleluasaan dalam memilih calon dan partai. Akan tetapi sering juga ditemui praktek daftar tertutup yakni praktek nomor urut calon yang potensial meraih suara banyak dan memenangkan partai tersebut akan ditempatkan pada nomor urut yang lebih kecil. Adapun kebaikan dari sistem campuran ini adalah bisa meminimalisasi konflik dan menghapuskan pembilahan (cleavage) yang terjadi antara calon yang dipilih berdasar nomor urut (sistem proporsionalitas) dan lolos dari Bilangan Pembagi Pemilih. 5
District Magnitude
Permasalahan yang kerap muncul dalam setiap penentuan district magnitude antara lain: A. DM sering kali ditetapkan pada border yang kurang tepat sehingga saling tumpang tindih satu sama lainnya. B. DM tidak selalu memperhatikan aspek sosial kultural, budaya, maupun geopolitik masyarakatnya sehingga sering kali merugikan partai politik yang kehilangan konstituen mereka. C. DM sering kali ditempatkan pada kontur geografi yang berlainan seperti kasus pemilih di salah satu distrik di beberapa kabupaten yang terletak di daerah pegunungan Jayawijaya (Papua) yang harus berjalan kaki beberapa kilometer untuk mencapai TPS.
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 54
4/24/2014 8:52:19 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
WASISTO RAHARJO JATI
55
Tabel 3: Controlling of Vote / Structure of the Ballot BPP (Sistem Distrik) Daftar Nomor Urut (Proporsional)
No
Pemilu
1
Pemilu 2004
Walaupun dalam pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Akan tetapi masih ditemui beberapa kendala seperti Penyuaraan dengan mencoblos tanda gambar partai sah A. Calon yang terpilih memperoleh suara sama / lebih dari BPP setara dengan calon yang dipilih berdasar nomor urut pada daftar calon partai. B. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan bias dalam mekanisme kontrol suara dalam pemilu 2004. Di satu sisi calon dapat terpilih dengan berjuang mati – matian memperebutkan dukungan suara sebanyak – banyaknya dari masyarakat sehingga merasa “berhutang budi kepada rakyat” dan saluran akuntabilitas dan kredibilitasnya dapat dikontrol masyarakat. Sementara di sisi lainnya, calon dapat terpilih tanpa “berkeringat” yakni dengan distribusi suara partai kepada daftar calon partainya. Tentu saja dalam hal ini calon yang berada di nomor urut kecil mempunyai harapan besar untuk terpilih dibandingkan mereka yang bernomor urut besar sehingga calon yang terpilih cenderung memperjuangkan aspirasi partai daripada rakyat
2
Pemilu 2009
Dalam Pemilu 2009, struktur penyuaraan maupun mekanisme penyuaraan teregulasi pada mekanisme perolehan dukungan suara minimal 30 % BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Oleh karena itu kemudian : 1) Calon yang terpilih harus memperoleh dukungan lebih besar atau kurang dari 30 % BPP. 2) Calon yang terpilih memiliki dukungan suara yang persentasenya sama atau sekurang – kurangnya 30 % BPP dengan syarat jumlah suara sama / kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu Oleh karena itu kemudian, intervensi partai politik dalam pemenangan calonnya dijamin tidak akan terjadi sehingga dalam hal ini baik calon yang bernomot urut kecil dan banyak harus berjuang mendapat 30 % suara BPP untuk terpilih (Sigit Pamungkas, 2009 : 148-149).
Dari hasil komparasi dua hasil Pemilu di atas, beberapa temuan yang menarik sebenarnya lebih merujuk pada penguatan politik kartel. Berbagai indikasi maupun parameter bisa dilihat dari tabulasi di atas. Yang pertama, tentu saja eksperimentasi sistem pemilu yang selalu fluktuatif. Dalam setiap peristiwa pemilu di Indonesia sangat terlihat bahwa penguatan kekuasaan semakin lama semakin mengerucut pada penguatan politik kartel. Penegasannya adalah pencampuran sistem pemilu kadang kala membingungkan dan lebih mengutamakan pada pengistimewaan kandidat dan partai politik. Yang kedua, menguatnya nominal dalam ambang batas yang sejatinya memarjinalkan representasi suara pemilih yang tidak memilih pada sosok figur yang populer maupun partai
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 55
besar. Hal itulah yang menjadikan konteks pelaksanaan pemilu di Indonesia semakin tidak terlegitimasi dari penyelenggaraan pemilu dari ke tahun ke tahun. Indikasinya bisa tercermin dari semakin menurunnya tingkat partisipasi pemilih yang semula mencapai 92,7 persen pada pemilu 1999 kini hanya menyisakan 70,2 persen pada pemilu 2009. Menurunnya tingkat partisipasi pemilih sebanyak 20 persen tentu menjadi tanda waspada kuning terhadap penyelenggaran pemilu selama ini. Yang ketiga adalah semakin bertambahnya jumlah kasus korupsi paska pemerintahan otoriter, baik yang dilakukan oleh partai maupun kandidatnya selama mereka memegang kekuasaan. Implikasinya adalah menguatnya rasa distrust maupun distract yang ditunjukkan oleh publik selama pe-
4/24/2014 8:52:19 AM
56
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
merintahan yang dihasilkan kurang begitu maksimal dalam memberikan pelayanan publik. Adanya fait accompli yang dihasilkan dalam proses pemilu dikorelasikan dengan gejala deprivasi politik yang dialamatkan publik kepada para elite yang berkuasa di tampuk kekuasaan baik level legislatif maupun eksekutif. Secara makro, temuan-temuan baru (kernel points) yang bisa diuraikan dalam perbincangan representasi publik dengan politik kartel adalah 1) menguatnya proses advokasi publik yang dilakukan melalui jaringan-jaringan masyarakat sipil dari berbagai macam latar belakang isu gencar dalam membuat framing isu kepada kartel elite demi menurunkan kredibilitasnya. 2) politik kartel di Indonesia hanya bersifat temporer dan berbasis nir ideologi yang mengikat bersama, akibatnya konsolidasi dan kohesivitas politik kartel sendiri dalam menanggapi isu kritikan dari publik tidak lah seia sekata. 3) Representasi populis yang hendak ditujukan oleh publik dalam demokrasi elektoral di Indonesia sebenar nya juga setali tiga uang dengan pemba ngunan basis politik kartel yakni hanya berbasis by issue yang didesain secara artifisial saja. Representasi menguat hanya ketika isu korupsi mencuat selama peme rintahan, sedangkan kartel menguat berkat adanya figur yang kuat. Maka yang perlu dielaborasi lebih lanjut dari temuan makalah ini sebenar nya adalah menemukan institusionalisasi yang tepat dalam menampung aspirasi demokratis baik yang berada di tataran intraparlementer maupun tataran ekstraparlementer. Adapun di tataran intra sendiri, sebenarnya lebih pada penguatan moral dan etika untuk melihat kekuasaan sebagai wakaf politik yang dimandatkan oleh publik. Sedangkan di level ekstra, institusionalisasi bisa mengarah pada pembentukan jaringan epistemik baik itu di dalam or-
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 56
VOL II, 2014
ganisasi maupun yang berbasis komunitas, namun tetap saja kedua-duanya memiliki kepedulian dan resistensi kritis yang kuat untuk mengawal pemerintahan. Pemilu 2014 Sebagai Pertaruhan Politik Membaca konstelasi yang berkembang selama peristiwa pemilu saat ini sejatinya merupakan pertaruhan politik antara melemahnya politik kartel dengan menguatnya representasi publik. Dalam beberapa tahun terakhir disebutkan tingkat ketertarikan publik terhadap masalah-masalah politik sendiri kini berkisar 23 persen. Secara lebih lengkap menurut rilis Pusat Penelitian Politik (P2P LIPI) pada 2012-2013 menyebutkan bahwa hanya 12,8% responden yang merasa bisa mempengaruhi pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Selain itu, hanya 30% responden yang merasa keluhannya diperhatikan pemerintah. Menguatnya dimensi apolitis yang ditunjukkan oleh publik khususnya menjelang perhelatan pemilu legislatif ini menunjukkan bahwa geliat tingkat informasi publik sendiri sudah semakin menguat dari tahun ke tahun. Adanya gejala penguatan apolitisasi tersebut tentunya dapat dilacak melalui semakin terbukanya sumber informasi yang sudah semakin plural untuk disimak oleh masyarakat. Setidaknya preferensi budaya politik yang berkembang saat ini lebih banyak didominasi sekitar 48,5% pemberitaan media. Paradigma pemberitaan yang dibangun media yakni bad news is good news rupanya memberikan andil besar dalam mempengaruhi pilihan politik masyarakat. Praktik jurnalisme yang menghasilkan pemberitaan negatif tentu memberikan pengaruh signifikan terhadap elektabilitas partai politik maupun kandidat yang terkena efek media tersebut. Adapun bahasa politik pencitraan yang selama ini digunakan tidak bisa digunakan kembali un-
4/24/2014 8:52:19 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
tuk menutupi berbagai kebopengan politik yang dimiliki oleh partai politik maupun kandidat. Hal tersebut justru menimbulkan efek paradoksal terhadap proses elektabilitas politik karena akan berimplikasi pada munculnya efek politik hipokrit yang disematkan pada elite. Pemilu 2014 baik dari segi aturan regulasi threshold maupun sistem pemilu memang menawarkan aturan yang tidak jauh berbeda dengan pemilu 2009 dengan batas 3,5 persen bagi suara legislasi nasional maupun 25 persen bagi gabungan partai untuk mengajukan calon presiden pada pemilihan presiden 9 Juli 2014 mendatang. Adanya persyaratan tersebut tentu saja akan lebih menguntungkan eksistensi partai kartel yang telah berada dalam lingkar kuasa selama 10 tahun ini. Namun hal itu bisa saja menjadi blunder politik bagi kartel di tengah lesunya keinginan memilih yang ditunjukkan partai politik. Tingkat kematangan dan kecerdasan publik tentu sudah semakin tinggi pada Pemilu 2014 ini. Hal inilah yang justru menjadi titik balik antara tenggelamnya politik kartel maupun me nguatnya proses representasi publik dalam demokrasi elektoral. Selain menjadi titik balik, hal penting lainnya adalah pemilu ini merupakan momentum adanya transisi politik pada era kekuasaan presidensialisme. Selama dua periode ini terlihat bahwa pola reorganisasi yang berlangsung selama ini justru telah menghasilkan pembajakan demokrasi yang dilakukan para elite. Para elite yang kembali memerintah pada era ini justru mengarah pada kembalinya kekuasaan neo-otoriter yang dikemas secara komoditas demokrasi semu (pseudo democracy). Hal itulah yang membuat proses pemerintahan hasil elektoral selama ini lebih mengarah pada proses transaksional maupun patronase politik yang justru mengarahkan kekuasaan terbentuk dan terkonsolidasi di
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 57
WASISTO RAHARJO JATI
57
puncak menara gading. Hal tersebut pada gilirannya malah dapat memicu munculnya gejala depolitisasi pada ranah lokal maupun nasional yakni gelombang apa tisme yang semakin membuncah dan semakin menguat. Gerontokrasi yang berada dalam lingkar kekuasaan, yakni munculnya para politisi uzur yang sudah lama eksis dalam lingkar kekuasaan istana maupun gedung kura-kura, sudah waktunya diakhiri. Pemilu 2014 mendatang ini dinilai tepat untuk memberikan tongkat estafet kepada generasi muda yang lebih akuntabel dan kredibel dalam mengelola pemerintahan agar sesuai dengan jalur treknya yang benar. Konsekuensinya, hasil pemilihan umum tahun ini menarik untuk dicermati. Apakah melanjutkan adanya kartelisasi edisi ketiga ataukah menjadi era baru dalam pemerintahan yang di dalamnya hak publik sebagai demos sangatlah dihargai dalam pemerintahan lima tahun mendatang (2014 – 2019)?
Penutup Menguatnya proses demokratisasi yang kini telah mengalami proses pematangan (matured) perlu diapresiasi sebagai bentuk pendewasaan politik kontemporer. Hal inilah yang membuat pemilu menjadi sarana penting dalam hal transfer kekuasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berkaca pada pengalaman Indonesia, bentuk pemilu selalu bernuansa temporer dari satu fase ke fase berikutnya. Pemilu 1999 dan 2004 sendiri masih dianggap sebagai pemilu konsolidasi sekaligus pemilu rekonsiliasi antara hubungan negara dengan masyarakat. Masyarakat masih mengalami pengobatan atas trauma konflik yang menjadikan konteks pemilu sendiri lebih pada usaha pencapaian stabilitas politik. Namun
4/24/2014 8:52:19 AM
58
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
demikian, tak dinyana, proses demokratisasi tersebut justru menghasilkan adanya reorganisasi elite yang semakin membesar. Pemilu tahun 2004 mengindikasikan adanya perubahan signifikan terhadap sistem politik. Sistem politik yang dulunya serba otoriter menuju akumulasi kekuasaan yang bernama kartel. Kartel dibangun atas logika kompromistis dan transaksional demi mengejar kursi publik. Adapun kondisi dalam publik sendiri masih belum memahami benar mengenai konteks pemilu. Hal itulah yang kemudian menjadikan pemahaman demokrasi menjadi formal institusional. Proses representasi publik cukup diwakilkan oleh partai politik yang berimplikasi pada menguatnya organisasional di tingkat elite. Maka tidaklah mengherankan apabila luaran hasil pemilu tahun 2004 hingga pemilu tahun 2009 hanya menghasilkan pemerintahan eksekutif dan legislatif nasional yang tidak efektif dan efisien dalam mengeksaminasi kebijakan. Kondisi tersebut jelas saja menimbulkan kegeraman publik terhadap proses peme rintahan yang tidak stabil dengan skandal negatif yang memicu menguatnya proses advokasi dan representasi publik. Pemilu 2014 adalah determinan utama dalam mengukur tingkat kecerdasan publik maupun juga mengukur memudarnya elitisme dalam ranah masyarakat. Maka patut disimak pula dinamika rivalitas, dan kontestasi yang akan berlangsung di dalamnya. Baik elite maupun publik mau tidak mau harus siap dengan dinamika yang berkembang selama maupun sesudah pemilihan legislatif dilangsungkan pada April ini.
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 58
VOL II, 2014
Sedangkan publik dalam arti sebagai demos perlu menguatkan posisinya sebagai suatu forum yang kuat dalam mengawal, dan mengawasi jalannya pemerintahan, siapapun yang memegang kekuasaan formal di kursi legislatif maupun eksekutif, ke depannya. DAFTAR PUSTAKA Ambardi, Kuskridho. (2009). Mengungkap Politik Kartel. Jakarta: Gramedia. Aspinall, Edward. (2010). Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapura: ISEAS Publishing. Hadiz, Vedi. (2013). Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia. Indonesia 96 (2), 3557. Haryanto. (2007). Kekuasaan Elite. Yogyakarta: PolGov UGM. Nadjib, Muhammad. (2005). Pemilu 2004 dan Eksperimentasi Demokrasi. Yogyakarta: KPU DIY. Pamungkas, Sigit. (2009). Perihal Pemilu. Yogyakarta: PolGov UGM. Prihatmoko, Joko. (2008). Mendemokratiskan Pemilu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Slater, Dan. (2004). Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition. Indonesia 78 (2), 61-92. Sorensen, Georg. (2007). Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tornquist, Olle. (2009). Rethinking Popular Representation. London: Palgrave Macmillan.
4/24/2014 8:52:19 AM